Anda di halaman 1dari 5

Kebutuhan Manusia kepada Agama

Pada dasarnya manusia tidak bisa lepas dari agama. Manusia selalu butuh kepada agama, dan karenanya selalu
membutuhkan Tuhan. Sejarah memperlihatkan bahwa tidak satupun pembicaraan tentang manusia dan
masyarakat manusia, kapan pun dan di mana pun mereka berada, kecuali selalu dibicarakan pula tentang agama
atau kepercayaaan mereka. Sekurang-kurangnya terdapat tiga alasan kuat mengapa manusia selalu memiliki suatu
agama atau keyakinan, temasuk yakin tentang Tuhan:

1. Faktor Naluri

Naluri adalah segala sesuatu yang terkait dengan kebutuhan dasar manusia untuk bertahan hidup. Di saat manusia
merasa lapar, maka ia pasti sedang membutuhkan makanan. Ketika dia haus, berarti dia sedang membutuhkan
minum. Di saat cuaca panas ataupun sebaliknya, maka manusia membutuhkan atap atau rumah, demikian
seterusnya. Kebutuhan manusia kepada agama juga bersifat naluriah karena terkait dengan kebutuhan hidup
mereka. Manusia membutuhkan agama, termasuk di dalamnya Tuhan, karena mereka mengahadapi persoalan-
persoalan hidup yang lebih besar. Kegagalan, perasaan takut, sedih, lemah, dan terutama kematian adalah
sebagian persoalan besar yang tidak sanggup dihadapi oleh manusia sendiri. Dalam hal ini manusia membutuhkan
kekuatan lain di luar dirinya untuk dapat menyelesaikannya, yang kemudian disebut Tuhan. Jadi, keyakinan
manusia terhadap Tuhan dan agama bersifat naluriah Di dalam agama Islam, naluri manusia untuk beragama ini
disebut dengan fitrah. Dua ayat al-Qur‘an berikut menunjuk dengan jelas fitrah beragama yang dimiliki oleh
manusia:

‫۝‬٣ ‫َفَاِقْم َو ْج َهَك ِللِّدْي ِن َحِنْيًفۗا ِفْط َر َت ِهّٰللا اَّلِتْي َفَطَر الَّناَس َع َلْيَهۗا اَل َتْبِد ْيَل ِلَخ ْلِق ِۗهّٰللا ٰذ ِلَك الِّدْيُن اْلَقِّيُۙم َو ٰل ِكَّن َاْكَثَر الَّناِس اَل َيْع َلُم ْو َۙن‬

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui‖. (Qs. Al-Rum, 30: 30)

172 ‫َو ِاْذ َاَخ َذ َر ُّبَك ِم ْۢن َبِنْٓي ٰا َد َم ِمْن ُظ ُهْو ِر ِه ْم ُذ ِّر َّي َت ُهْم َو َاْش َهَدُه ْم َع ٰٓلى َاْنُفِس ِه ْۚم َاَلْس ُت ِبَر ِّب ُكْۗم َق اُلْو ا َب ٰل ۛى َش ِه ْد َن اۛ َاْن َت ُقْو ُلْو ا َي ْو َم اْلِقٰي َمِة ِاَّن ا ُكَّن ا َع ْن ٰه َذ ا ٰغ ِفِلْي َۙن‬

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? mereka menjawab: ―Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: ―Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).
(Qs. Al-A‘raf, 7:172) Selain perasaan takut, sedih, lemah dan semisalnya, fitrah manusia sebagai makhluk beragama
juga dapat dilihat dalam tinjauan historis dan antropologis. Bukti-bukti historis-antropologis menunjukkan bahwa
manusia primitif yang tidak pernah mendapatkan informasi tentang Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya
Tuhan, sekalipun Tuhan yang mereka percayai itu sebatas pada daya khayal mereka. Benda-benda yang
menimbulkan kesan misterius dan

mengagumkan seperti pohon dan batu mereka anggap memiliki kekuatan magis sehingga mereka jadikan Tuhan.
Keyakinan seperti ini lantas disebut dinamisme. Animisme dan politeisme sejatinya juga merupakan keyakinan-
keyakinan yang dikembangkan dari daya khayal manusia. Sementara daya khayal yang memunculkan keyakinan
kepada Tuhan tersebut didorong oleh naluri beragamanya.(Abuddin Nata, 2001).

2. Faktor Lingkungan Atau Keturunan

Dalam kelompok-kelompok masyarakat yang telah mapan dalam hal agama, budaya maupun pranata sosial
lainnya, konsep keyakinan mereka pun akan cenderung established, dan karenanya berjalan repetitif. Artinya,
keberagamaan masyarakat tidak lagi didominasi oleh faktor naluri, tetapi oleh lingkungan. Persoalan yang timbul
bukan lagi tentang apakah manusia membutuhkan agama atau tidak, tetapi tentang keyakinan apakah yang
sepatutnya dianut? Hal ini karena di dalam masyarakat yang lebih mapan pranata sosialnya, umumnya sudah mulai
banyak pilihan model keyakinan. Dalam situasi seperti ini, kebanyakan masyarakat tidak akan memilih, tetapi
mengikuti begitu saja apa yang menjadi keyakinan kelompoknya. Dalam istilah lain, agama bersifat turun temurun,
menetap dan tidak (a) pergi (gama). Dalam hal ini Nabi Muhammad pernah menyatakan:

―Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih). Lantas kedua orang tuanya lah yang menjadikan dia
seorang Yahudi, Nasrani maupun Majusi‖. Keyakinan seseorang terhadap agama kelompoknya bahkan seringkali
tidak bersifat kritis. Ia tidak perlu bertanya ulang apakah sistem keyakinan yang berlaku di dalam masyarakat atau
kelompoknya telah teruji kebenarannya ataukah tidak. Tidak ada verifikasi ulang. Kebenaran adalah apa yang
diyakini masyarakat benar (common sense). Allah SWT sendiri merilis realitas sosial ini:

‫َو ِاَذ ا ِقْيَل َلُهُم اَّتِبُعْو ا َم ٓا َاْنَز َل ُهّٰللا َقاُلْو ا َبْل َنَّتِبُع َم ٓا َاْلَفْيَنا َع َلْي ِه ٰا َبۤا َء َنۗا َاَو َلْو َك اَن ٰا َبۤا ُؤُهْم اَل َيْع ِقُلْو َن َشْئًـا َّو اَل َيْهَتُد ْو َن‬

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak),
tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?". (Qs. Al-Baqarah, 2:170)

3. Faktor Pengetahuan

Jika menggunakan pendekatan Comte, maka keyakinan kepada agama sekaligus kepada Tuhan yang Maha Kuasa
hanya diperlukan untuk manusia pada masa kanak-kanak. Pada tahap selanjutnya, ketika penemuan-penemuan
ilmiah sudah dapat memberikan penjelasan-penjelasan rasional atas pelbagai rahasia alam semesta beserta
mekanisme kerjanya; kapan, di mana, seberapa besar sebuah gunung berapi akan meletus, atau sebuah badai
topan akan terjadi, banjir dan lain sebagainya, ketika fenomena-fenomena tersebut bisa dijelaskan secara ilmiah,
maka manusia akan meninggalkan keyakinannya. Pernyataan semacam ini mudah dilihat kebenarannya dalam
kenyataan sehari-hari masyarakat.

Tetapi fakta lebih besar ternyata menunjukkan kebalikannya. Bukti-bukti ilmiah justru semakin menunjukkan
kelemahan manusia mengungkap misteri sesungguhnya alam semesta, dan pada saat yang bersamaan, menuntun
mereka untuk tetap mengakui eksistensi Tuhan dan kebesaran kuasa-Nya, terlepas dari definisinya.. Pencarian
tentang eksistensi Tuhan secara ilmiah, atau setidaknya secara filosofis, telah dilakukan oleh para ahli sejak
puluhan abad yang lalu. Seorang filosof Yunani, Aristoteles, telah sampai pada kesimpulan bahwa alam semesta
tidak bergerak secara otomatis, tetapi karena sebuah kesengajaan. Penggerak utama alam semesta ia sebut
dengan istilah prima causa. Sementara dalam sejarah Islam, Ibn Rushd adalah filosof Muslim yang mengelaborasi
bukti-bukti adanya Tuhan dengan 3 argumentasi rasional:

a. Bukti penciptaan alam (dalil ikhtira’). Maksudnya, terjadinya alam dengan segala isinya adalah bukti kuat adanya
tuhan. Segala sesuatu di jagat raya ini, bila diperhatikan, memiliki tahapan dari tidak ada – ada – tumbuh dan
berkembang – musnah dan seterusnya. Tidak satupun diantaranya yang ada begitu saja dan abadi. Dari sinilah
kemudian akal manusia memastikan bahwa di dunia ini ada yang maha pencipta, yang memulai penciptaan segala
sesuatu dan mengakhirinya.

b. Bukti pergerakan alam (dalil harakah). Bukan saja ada, alam semesta beserta isinya ternyata juga mengalami
pergerakan secara terus menerus, yang tentu saja membutuhkan energi yang tak ternilai jumlahnya. Atas dasar
itulah maka logika manusia mengharuskan adanya kekuatan maha dahsyat yang disebut dengan tuhan
c. Bukti pemeliharaan alam (dalil ‘inayah). Jika diamati dengan seksama, maka diperoleh keismpulan bahwa
pergerakan alam semesta berikut isinya ternyata mengikuti satu pola yang teratur dan sistematis. Manusia sebagai
mikrokosmos mudah dijadikan contoh atas keteraturan alam tersebut. Misalnya, terdapat bagian rambut manusia
yang tumbuh terus menerus seperti rambut, kumis dan jenggot dengan kecepatan tumbuh yang berebeda-beda.
Sementara bulu mata, bulu tangan dan alis mata manusiamengalami pertumbuhan yang jauh lebih lambat.
Keteraturan ini tentu saja tidak dapat disebut sebagai kebetulan karena berkaitan erat dengan fungsi masing-
masing bagian tubuh manusia tersebut. Dari sanalah kemudian akal manusia mengharuskan adanya tuhan yang
menciptakannya secara sistemnatis dan terprogram. Hanya saja, meskipun akal manusia dapat menjangkau
pengetahuan bahwa tuhan wajib adanya, namun dia memiliki keterbatasan untuk mendeskripsikan seperti apakah
tuhan. Keterbatasan inilah yang kemudian membuka kemungkinan munculnya konsepsi yang beragam tentang
tuhan. Maka muncullah konsep batu besar, pohon besar, matahari, bintang, bulan atau bahkan manusia tertentu
serta isi alam semesta lainnya sebagai tuhan. Di dalam ajaran Islam, situasi inilah yang memberi penjelasan
mengapa Allah Swt. mengutus Nabi dan Rasul. Allah Swt. memilih utusannya di atas bumi agar manusia mengenal-
Nya dan mendeskripsikan sifat-sifat-Nya yang Maha Agung serta mengekspresikan ketundukan kepada-Nya secara
tepat dan akurat, tidak menyimpang serta jauh dari syirk (meyekutukan). Kisah Nabi Ibrahim As. dalam Qs. Al-
An‘am/6: 74 -79 adalah sebagian contoh yang menunjukkan keadaan tersebut. Berawal dari kegelisahan beliau
terhadap keyakinan yang berkembang di masyarakat, Nabi Ibrahim As. Melakukan perenungan intelektual-spiritual
yang pada akhirnya mengantarkan beliau kepada Tuhan yang sesungguhnya. Menggunakan penalaran yang
sederhana, beliau meruntuhkan pondasi keyakinan masyarakat yang bersifat politeis, untuk kemudian sampai
pada kesimpulan bahwa semua yang menjadi bagian dari alam

semesta bukanlah Tuhan. Beliau menyatakan:

‫ِاِّن ْي َو َّج ْه ُت َو ْج ِه َي ِلَّلِذْي َفَط َر الَّس ٰم ٰو ِت َو اَاْلْر َض َح ِنْي ًفا َّو َمٓا َاَن ۠ا ِمَن اْلُم ْش ِر ِكْي َۚن‬

―Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung
kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan‖. (Qs. Al-
An‘am/6: 79)

Karakteristik ajarab islam

Karakteristik Agama Islam

Mendeskripsikan karakteristik agama Islam bukanlah pekerjaan mudah. Para ahli keislaman pun tidak satu kata
dalam menjelaskan ciri-ciri khas agama Islam. Nurcholis Madjid misalnya lebih menekankan pluralisme sebagai
konsep besar yang diusung oleh ajaran Islam. Sementara Yusuf Qardlawi melihat karakteristik agama Islam pada
sifat-sifat ajarannya secara umum, seperti rabbaniyyah (ketuhanan), insaniyyah (kemanusiaan), syumuliyyah
(universal), al- Wasatiyyah (keseimbangan), al-Waqi’iyah (kontekstual), al-Wuduh (kejelasan), thabat dan
munanah (konsisten dan luwes). Ada lagi Seyyed Hossein Nasr yang menilai kekhasan ajaran Islam dalam
mengkonsepsikan agama itu sendiri. “In the Islamic perspective, religion is not seen as a part of life or a special
kind of activity like art, thought, commerce, social discourse, or politics. Rather, it is the matrix and worldview
within wich these and all other human activities, efforts, creations, and thoughts take place or should take
place”, (dalam sudut pandang Islam, agama tidak (saja) dilihat sebagai bagian dari suatu aktifitas khusus seperti
seni, pemikiran, kegiatan komersial, wacana sosial ataupun politik. Lebih dari itu, (Islam) adalah matriks dan
pandangan dunia di mana semuanya itu, bersama seluruh pemikiran, kreatifitas, pencarian dan aktifitas
manusia mengambil perannya),tuturnya. (Seyyed Hossein Nasr, 2002.). Kalimat singkat dari Schuon berikut juga
menggambarkan kekhasan agama Islam dari sudut pandang yang bernuansa komparatif: “Islam is the religion of
certitude and equilibrium, as christianity is the religion of love and sacrifice”. (Schuon. 1998). Nu‘man ̳abd al-
Razzaq al-Samarrai juga membuat komparasi antara ajaran Islam dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat
non muslim termasuk bangsa Barat dengan melihat dari dua aspek, yakni akidah dan akhlaq. Dalam hal
keyakinan, konsep tauhid merepresentasikan monoteisme murni yang sejalan dengan naluri dan nalar manusia,
kapan pun dan di mana pun. Bahkan nilai-nilai kesetaraan, keadilan, hak asasi manusia, kebebasan
berpendapat, bahkan kebebasan beragama hanya bisa muncul dari keyakinan tauhid.[13] Adapun dalam hal
etika atau akhlak, Islam sesungguhnya telah mengaitkannya dengan akidah, sebagaimana hubungan antara akar
pohon dengan buahnya.[14] Karenanya, ketika akidah tauhid tertanam dengan benar dan kuat dalam diri
seseorang, maka di antara pengaruh yang muncul adalah satunya pikiran, tindakan dan akhlak. Maknanya, Islam
tidak menghendaki adanya split personality (kepribadian ganda). Juga tidak dibenarkan munculnya etika
personal dan etika publik yang berlainan. Dalam contoh masyarakat kontemporer, situasi ini justru banyak
terjadi. Misalnya, hukum tidak boleh mengintervensi persoalan-persoalan privat seperti free sex, berjudi dan
meminum khamr, selama tidak menggangu orang lain. Hukum hanya mengatur tentang etika publik seperti
patuh berlalu lintas, mengikuti antrian dalam memperoleh sesuatu, membuang sampah padatempatnya, serta
contoh-contoh lain yang menunjang terwujudnya social order.(al-Samarrai. 1984).

Agama (yaitu agama Islam) yang dibawa oleh nabi Muhammad saw ialah apa yang diturunkan Allah di dalam
Quran dan yang tersebut dalam sunnah yang sahih. Di dalam kedua sumber itu terdapat perintah-perintah dan
larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.

Menurut Ruslan, secara garis besar, ajaran Islam mencakup empat aspek. Pertama, aspek akidah, yaitu keyakinan
kepada Allah, para Malaikat, Kitab-kitab Suci, para Nabi dan Rasul, Hari Akhir, dan takdir. Aspek akidah merupakan
hal yang paling mendasar. Keislaman seseorang dapat dibatalkan bila tidak memiliki keyakinan terhadap Allah dan
turunan-Nya. Konsekuensi dari pada keyakinan adalah tunduk/patuh, dan melaksanakan perintah Allah.

Kedua, ibadah, yaitu segala cara dan pengabdian kepada Allah yang telah diperintahkan dan diatur tata cara
pelaksanaannya dalam Al Quran dan Sunah seperti salat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya. Ketika menyangkut
ibadah (dan akidah), maka berlaku ketentuan purifikasi. Maksudnya, mengembalikan akidah dan ibadah kepada
kemurniannya sesuai dengan tuntunan yang terdapat dalam Sunnah Nabi saw.

Ketiga, akhlak, yaitu nilai dan perilaku baik yang harus diikuti seperti sabar, syukur, tawakal, berbakti kepada orang
tua, berani dan lain-lain, maupun nilai dan perilaku buruk yang harus dijauhi seperti sombong, takabur, riya,
dengki, durhaka kepada orang tua, dan lain-lain.

“Di manapun kita hidup, selama kita memiliki akhlak yang mulia di tengah masyarakat, insyaAllah kehadiran kita
diharapkan oleh lingkungan sekitar,” ucap Ruslan dalam Materi Keislaman Darul Arqam Madya Kader Tingkat III
Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta pada Selasa (30/05).

Keempat, muamalah duniawiyah, yaitu aspek kemasyarakatan yang mengatur pergaulan hidup manusia di atas
bumi, baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antara negara dan
penduduknya, dan lain-lain. Berbeda dengan aspek akidah dan ibadah, persoalan muamalah duniawiyah justru
mesti diselaraskan dengan perkembangan zaman.

“Generasi-generasi yang rahmatan lil-‘alamin, lulusan-lulusan Muallimin, apapun profesinya, akhlak Islam harus
sebagai wujud konkrit kepribadiannya,” ucap Ruslan.

Selain aspek ajaran Islam, Ruslan juga menjelaskan tentang karakteristik agama Islam. Menurutnya, karakteristik
agama Islam adalah agama yang bersumber dari Allah baik melalui Al Quran maupun lewat perantara Rasulullah
Saw (QS. Ali Imran: 32). Ajarannya bersifat komprehensif atau mencakup seluruh aspek kehidupan (QS. Al An’am:
38), universal atau berlaku untuk seluruh manusia baik dulu hingga sekarang (QS. Al-A’raf: 158), dan sesuai dengan
fitrah kemanusiaan (QS. Al-Rum: 30).
Karakteristik agama Islam yang lain ialah menempatkan akal manusia secara proporsional atau tidak mendewakan
dan tidak pula menghinakannya (QS. Al-A’raf: 79). Hal ini terlihat dari ajarannya yang menjadi rahmat (QS. Al-
Anbiya’: 107) dan berorientasi ke masa depan dan tanpa melupakan masa kini (QS. Al-Qashash: 77). Siapa saja
yang menjalankan ajaran-ajaran Islam akan mendapatkan Surga dan bila sengaja meninggalkannya akan
mendapatkan Neraka (QS. Al-Bayyinah: 7-6).

“Karakter Muhammadiyah dalam beragama selalu berpegang teguh pada Al Quran dan Sunah, kapanpun, di
manapun, apapun profesi yang akan dipegang. Harus kokohkan sikap bahwa kita berpegang teguh pada dua
sumber pokok ini,” ucap Ruslan.

Anda mungkin juga menyukai