Anda di halaman 1dari 22

PENUGASAN BLOK KESEHATAN MASYARAKAT

DAN PENGARUH LINGKUNGAN


~KELUARGA SADAR GIZI


Disusun Oleh :

Nama : Septiani Kusumaningtyas
NIM : 08711150
Kel. Tutorial : 15


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2011

PENDAHULUAN
Derajat kesehatan yang tinggi dalam pembangunan ditujukan untuk
mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, dan produktiI. Salah satu unsur penting
dari kesehatan adalah masalah gizi. Gizi sangat penting bagi kehidupan.
Kekurangan gizi pada anak dapat menimbulkan beberapa eIek negatiI seperti
lambatnya pertumbuhan badan, rawan terhadap penyakit, menurunnya tingkat
kecerdasan, dan terganggunya mental anak. Kekurangan gizi yang serius dapat
menyebabkan kematian anak (Suwiji, 2006)
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki Iisik
yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti
empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik.
Status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi.
Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh Iaktor konsumsi
pangan dan penyakit inIeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh,
ketersediaan pangan, Iaktor sosial ekonomi, budaya dan politik. Apabila gizi
kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi Iaktor penghambat dalam
pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada
tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan
hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya partisipasi
sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi (Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007).
Kesepakatan global berupa Millenium Development Goals (MDGS) yang
terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa pada tahun
2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi
pada tahun 1990. Untuk Indonesia, indikator yang digunakan adalah peresentase
anak berusia di bawah 5 tahun (balita) yang mengalami gizi buruk (severe
underweight) dan persentase anak-anak berusia 5 tahun (balita) yang mengalami
gizi kurang (moderate underweight) (Ariani, 2007).
Masalah gizi di Indonesia yang terbanyak meliputi gizi kurang atau yang
mencakup susunan hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi keseluruhan
yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Anak balita berumur dari 1 sampai 5
tahun merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan
gizi (KEP) atau termasuk salah satu kelompok masyarakat yang rentan gizi.
(Himawan, 2006).
Masalah gizi makin lama makin disadari sebagai salah satu Iaktor
penghambat proses pembangunan nasional. Masalah gizi yang timbul dapat
memberikan berbagai dampak diantaranya meningkatnya Angka Kematian Bayi
dan Anak, terganggunya pertumbuhan dan menurunnya daya kerja, gangguan
pada perkembangan mental dan kecerdasan anak serta terdapatnya berbagai
penyakit tertentu yang diakibatkan kurangnya asupan gizi. Masalah kekurangan
zat gizi ada 4 yang dianggap sangat penting yaitu; kurang energi-protein, kurang
Vitamin A, kurang Yodium (Gondok Endemik) dan kurang zat besi (Anemia Gizi
Besi), (Paramata, 2009).
Kurang gizi atau gizi buruk dinyatakan sebagai penyebab tewasnya 3,5
juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia. Mayoritas kasus Iatal gizi
buruk berada di 20 negara, yang merupakan negara target bantuan untuk masalah
pangan dan nutrisi. Negara tersebut meliputi wilayah AIrika, Asia Selatan,
Myanmar, Korea Utara, dan Indonesia. Hasil penelitian yang dipublikasikan
dalam jurnal kesehatan Inggris The Lanchet ini mengungkapkan, kebanyakan
kasus Iatal tersebut secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak
mampu atau lambat untuk berobat, kekurangan vitamin A dan zinc selama ibu
mengandung balita, serta menimpa anak pada usia dua tahun pertama. Angka
kematian balita karena gizi buruk ini terhitung lebih dari sepertiga kasus kematian
anak di seluruh dunia (Malik, 2008).
Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan
balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Resiko meninggal dari anak yang
bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO
memperkirakan bahwa 54 penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh
keadaan gizi anak yang jelek (Irwandy, 2007).
Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita adalah 5,4, dan Gizi Kurang
pada Balita adalah 13,0. Keduanya menunjukkan bahwa baik target Rencana
Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi (20),
maupun target Millenium Development Goals pada 2015 (18,5) telah tercapai
pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi Gizi
Buruk dan Gizi Kurang diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara,Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo,
Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua (Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008).
Tahun 2005 ditemukan 1,8 juta balita dengan status gizi buruk, dan dalam
waktu yang sangat singkat menjadi 2,3 juta di tahun 2006. Sekitar 37,3 juta
penduduk hidup dibawah garis kemiskinan, separuh dari total rumah tangga
mengkonsumsi kurang dari kebutuhan sehari-hari, 5 juta balita berstatus gizi
kurang, dan lebih dari 100 juta penduduk berisiko terhadap berbagai masalah
kurang gizi (Hadi, 2005).
Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak
dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan
pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan Undang-undang nomor 23 tahun tentang
kesehatan. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
menyatakan bahwa pemerintah wajib memenuhi kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan serta perlindungan terhadap anak. Kebutuhan
dasar anak untuk tumbuh dan berkembang, yaitu kasih sayang dan perlindungan,
makanan bergizi seimbang (sejak lahir sampai 6 bulan hanya ASI saja, sesudah 6
bulan sampai 2 tahun ASI ditambah makanan pendamping ASI), imunisasi dasar
dan suplementasi kapsul vitamin A, pendidikan dan pengasuhan dini, perawatan
kesehatan dan pencegahan kecatatan, cedera dan lingkungan yang sehat dan aman,
orangtua berkeluarga berencana (Depkes RI, 2005).
Dengan terjadinya peningkatan balita gizi buruk, maka diperlukan suatu
langkah evaluasi terhadap upaya program pencegahan dan penanggulangan balita
gizi buruk sehingga dapat diketahui kendala dan Iaktor apa yang dapat
memberikan manIaat lebih baik untuk perencanaan program yang lebih tepat
untuk program berikutnya dan tercapainya hasil yang diinginkan.

Program Pemerintah
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi
sumber daya manusia, serta memiliki kontribusi yang besar untuk meningkatkan
Indeks Pembangunan Manusia. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan bagi
semua pihak untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan demi
kesejahteraan masyarakat. Keadaan gizi yang baik merupakan prasyarat utama
dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas Masalah gizi terjadi di
setiap siklus kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan (janin), bayi, anak,
dewasa dan usia lanjut. Periode dua tahun pertama kehidupan merupakan masa
kritis, karena pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat
pesat. Gangguan gizi yang terjadi pada periode ini bersiIat permanen, tidak dapat
dipulihkan walaupun kebutuhan gizi pada masa selanjutnya terpenuhi.
Gambaran status gizi balita diawali dengan banyaknya bayi berat lahir
rendah (BBLR) sebagai cerminan tingginya masalah gizi dan kesehatan ibu hamil.
Sekitar 30 juta wanita usia subur menderita kurang energi kronis (KEK), yang bila
hamil dapat meningkatkan risiko melahirkan BBLR. Setiap tahun, diperkirakan
sekitar 350 ribu bayi yang BBLR (_ 2500 gram), sebagai salah satu penyebab
utama tingginya angka gizi kurang dan kematian balita.
Pada tahun 2005 terdapat sekitar 5 juta balita gizi kurang; 1,7 juta
diantaranya menderita gizi buruk. Pada usia sekolah, sekitar 11 juta anak
tergolong pendek sebagai akibat dari gizi kurang pada masa balita. Masalah
kurang gizi lainnya yaitu Anemia Gizi Besi (AGB) yang diderita oleh 8,1 juta
anak balita, 10 juta anak usia sekolah, 3,5 juta remaja putri dan 2 juta ibu hamil.
Masalah Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) diderita oleh sekitar 3,4 juta
anak usia sekolah dan sekitar 10 juta balita menderita Kurang vitamin A (KVA).
Sementara masalah gizi kurang dan gizi buruk masih tinggi, ada
kecenderungan peningkatan masalah gizi lebih sejak beberapa tahun terakhir.
Hasil survei di perkotaan menunjukkan bahwa sekitar 12 penduduk dewasa
menderita gizi lebih. Data lain menunjukkan adanya peningkatan prevalensi
penyakit degeneratiI yang berkaitan dengan gaya hidup.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang
Kesehatan 2005-2009 menetapkan 4 (empat) sasaran pembangunan kesehatan,
satu diantaranya adalah menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-
tingginya 20 .
Untuk menanggulangi masalah tersebut melalui Inpres nomor 8 tahun
1999, pemerintah mencanangkan Gerakan Penanggulangan Masalah Pangan dan
Gizi. Gerakan tersebut dilaksanakan melalui 4 strategi utama yaitu pemberdayaan
keluarga, pemberdayaan masyarakat, pemantapan kerjasama lintas sektor serta
peningkatan mutu dan cakupan pelayanan kesehatan.
Sejalan dengan gerakan tersebut, didalam Undang-undang nomor 25 tahun
2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan di dalam visi
Indonesia Sehat 2010, ditetapkan bahwa 80 keluarga menjadi Keluarga Mandiri
Sadar Gizi (KADARZI), karena keluarga mempunyai nilai yang amat strategis
dan menjadi inti dalam pembangunan seluruh masyarakat, serta menjadi tumpuan
dalam pembangunan manusia seutuhnya.
Guna mempercepat pencapaian sasaran tersebut, di dalam Rencana
Strategis Departemen Kesehatan 2005-2009 telah ditetapkan 4 strategi utama,
yaitu 1) Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat; 2)
Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas;
3) Meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan inIormasi kesehatan, dan 4)
Meningkatkan pembiayaan kesehatan. Selanjutnya dari empat strategi utama
tersebut telah ditetapkan 17 sasaran prioritas, satu diantaranya adalah seluruh
keluarga menjadi Keluarga Sadar Gizi (KADARZI), sebagai komponen Desa
Siaga.
Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) adalah suatu keluarga yang mampu
mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya. Suatu
keluarga disebut KADARZI apabila telah berperilaku gizi yang baik yang
dicirikan minimal dengan:

a. Menimbang berat badan secara teratur.
b. Memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur
enam bulan (ASI eksklusiI).
c. Makan beraneka ragam.
d. Menggunakan garam beryodium.
e. Minum suplemen gizi sesuai anjuran.
Untuk mewujudkan perilaku KADARZI, sejumlah aspek perlu dicermati.
Aspek ini berada di semua tingkatan yang mencakup 1) tingkat keluarga, 2)
tingkat masyarakat, 3) tingkat pelayanan kesehatan, dan 4) tingkat pemerintah. Di
tingkat keluarga, aspek tersebut adalah i) pengetahuan dan keterampilan keluarga
dan ii) kepercayaan, nilai dan norma yang berlaku. Sementara, di tingkat
masyarakat yang perlu diperhatikan sebagai Iaktor pendukung perubahan perilaku
keluarga, adalah i) norma yang berkembang di masyarakat dan ii) dukungan
pemangku kepentingan (stakeholders) yang mencakup eksekutiI, legislatiI, tokoh
agama/masyarakat, LSM, ormas, media massa, sektor swasta dan donor. Di
tingkat pelayanan kesehatan mencakup pelayanan preventiI dan promotiI. Di
tingkat pemerintahan mencakup adanya kebijakan pemerintah yang mendukung
dan pelaksanaan kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Adapun cara-cara lain dalam penanggulangan gizi buruk yang dilakukan
pemerintah adalah sebagai berikut :
Upaya kesehatan mengatasi masalah gizi
1. Upaya Kesehatan KuratiI dan RehabilitatiI
O Penemuan aktiI dan rujukan kasus gizi buruk
O Perawatan balita gizi buruk
O Pendampingan balita gizi buruk pasca perawatan
2. Upaya Kesehatan PromotiI dan PreventiI
O Pendidikan (penyuluhan) gizi melalui promosi kadarzi
O Revitalisasi posyandu.
O Pemberian suplementasi gizi.
O Pemberian MP ASI bagi balita gakin

Kerangka kerja pencegahan dan penanggulangan gizi buruk meliputi :
1. Dari peran Keluarga:
- Penyuluhan/Konseling Gizi:
a. ASI eksklusiI dan MP-ASI;
b. Gizi seimbang;
c. Pola asuh ibu dan anak
- Pemantauan pertumbuhan anak
- Penggunaan garam beryodium
- PemanIaatan pekarangan
- Peningkatan daya beli keluarga miskin
- Bantuan pangan darurat: a. PMT balita, ibu hamil, b. Raskin
2. Peran Masyarakat dan Lintas Sektor
- MengaktiIkan Posyandu: SKDN
- Semua balita mempunyai KMS,
- Penimbangan balita
- Konseling
- Suplementasi gizi
- Pelayanan kesehatan dasar
- Berat badan naik (N) sehat dikembalikan ke peran keluarga
- BB Tidak naik (T1), Gizi kurang diberikan PMT Penyuluhan dan
Konseling
- Berat badan Tidak naik (T2), BGM, Gizi buruk, sakit, dirujuk ke RS
3. Peran Pelayanan Kesehatan
- Mengatasi masalah medis yang mempengaruhi gizi buruk
- Balita yang sembuh dan perlu PMT, perlu dikembalikan ke Pusat
Pemulihan Gizi untuk diberikan PMT
- Balita yang sembuh, dan tidak perlu PMT, dikembalikan kepada
masyarakat




Tujuan penanggulangan gizi buruk
Tujuan Umum : Menurunnya prevalensi Kurang Energi Protein (KEP)
menjadi setinggi-tingginya 15 dan gizi buruk menjadi setinggi-tingginya 2,5
pada tahun 2014.
Tujuan Khusus :
1. Meningkatnya cakupan deteksi dini gizi buruk melalui penimbangan
balita di Posyandu, Puskesmas dan jaringannya.
2. Meningkatnya cakupan suplementasi gizi terutama pada kelompok
penduduk rawan dan keluarga miskin.
3. Meningkatnya jangkauan dan kualitas tata laksana kasus gizi buruk di
Rumah Tangga, Puskesmas dan Rumah Sakit.
4. Meningkatnya kemampuan dan ketrampilan keluarga dalam
menerapkan Keluarga Sadar Gizi (KADARZI). BerIungsinya Sistem
Kewaspadaan Pangan Dan Gizi (SKPG).
Kebijakan operasional pencegahan dan penanggulangan gizi buruk
merupakan Program Nasional: Perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi dilaksanakan secara berkesinambungan antara pusat dan daerah.
Pendekatan komprehensiI: Mengutamakan upaya pencegahan dan upaya
peningkatan, yang didukung upaya pengobatan dan pemulihan. Semua
kabupaten/kota secara terus menerus melakukan upaya pencegahan dan
penanggulangan gizi buruk, dengan koordinasi lintas instansi/dinas dan organisasi
masyarakat. Menggalang kemitraan antara pemerintahan, dunia usaha dan
masyarakat di berbagai tingkat. Pendekatan Pemberdayaan masyarakat serta
keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan.
Strategi pencegahan dan penanggulangan gizi buruk dimulai dengan cara :
1. Mengembalikan Iungsi posyandu dan meningkatkan kembali partisipasi
masyarakat dan keluarga dalam memantau, mengenali dan menanggulangi
secara dini gangguan pertumbuhan pada balita.
2. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan SDM puskesmas beserta
jaringannya dalam tatalaksana gizi buruk dan masalah gizi lain,
manajemen laktasi dan konseling gizi.
3. Menanggulangi secara langsung masalah gizi yang terjadi pada kelompok
rawan termasuk keadaan darurat melalui suplementasi zat gizi mikro, MP-
ASI, makanan tambahan dan diet khusus.
4. Mewujudkan keluarga sadar gizi melalui advokasi, sosialisasi dan KIE
gizi seimbang.
5. Mengoptimalkan surveilans berbasis masyarakat melalui SKDN, Sistem
Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) Gizi Buruk, dan
Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), untuk meningkatkan
manajemen program perbaikan gizi.
6. Mengembangkan model intervensi gizi tepat guna yang evidence based.
7. Menggalang kerjasama lintas sektor dan kemitraan dengan masyarakat
beserta swasta/dunia usaha dalam memobilisasi sumberdaya untuk
penyediaan pangan di tingkat rumah tangga, peningkatan daya beli
keluarga, dan perbaikan pola asuhan gizi keluarga.

Data Statistik
Berdasarkan perkembangan masalah gizi, pada tahun 2005
diperkirakan sekitar 5 juta anak menderita gizi kurang (berat badan
menurut umur), 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Dari anak yang
mmenderita gizi buruk tersebut ada 150.000 menderita gizi buruk tingkat
berat yang disebut marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor,
yang memerlukan perawatan kesehatan yang intensiI di Puskesmas dan
Rumah Sakit. Masalah gizi kurang dan gizi buruk terjadi hampir di semua
Kabupaten dan Kota.
Pada saat ini masih terdapat 110 Kabupaten/Kota dari 440
Kabupaten/Kota di Indonesia yang mempunyai prevalensi di atas 30
(berat badan menurut umur). Menurut WHO keadaan ini masih tergolong
sangat tinggi.
Berdasarkan hasil surveilans Dinas Kesehatan Propinsi dari bulan
Januari sampai dengan bulan Desember 2005, total kasus gizi buruk
sebanyak 75.671 balita. Kasus gizi buruk yang dilaporkan menurun setiap
bulan.
Semua anak gizi buruk mendapatkan penanganan berupa:
perawatan di Puskesmas dan di Rumah Sakit serta dilakukan tindak lanjut
paska perawatan berupa rawat jalan, dan melalui posyandu untuk dipantau
kenaikan berat badan dan mendapatkan makanan tambahan.
Jumlah kasus gizi buruk yang meninggal dunia dilaporkan dari
bulan Januari 2005 sampai Desember 2005 adalah 286 balita. Kasus gizi
buruk yang meninggal tersebut pada umumnya disertai dengan penyakit
inIeksi seperti ISPA, diare, TB, campak dan malaria. Jumlah kasus gizi
buruk yang meninggal tertinggi terjadi pada bulan Juni sebanyak 107
kasus, selanjutnya pada bulan-bulan berikutnya kasus gizi buruk yang
meninggal cenderung menurun, bahkan pada bulan Nopember tidak ada
laporan kasus gizi buruk yang meninggal dunia. Namun demikian pada
bulan Desember 2005 terjadi peningkatan kasus gizi buruk yang
meninggal dunia sebanyak 54 kasus yang merupakan laporan dari 7
propinsi yaitu dari Jatim 14 kasus, Sulsel 13 kasus, Gorontalo 13 kasus,
NTT 6 kasus, Lampung 4 kasus, Sulteng 2 kasus, serta Maluku dan Malut
masing-masing 1 kasus.
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Indonesia, pada
tahun 2004, kasus gizi kurang dan gizi buruk sebanyak 5,1 juta. Kemudian
pada tahun 2005 turun menjadi 4,42 juta. Tahun 2006 turun menjadi 4,2
juta (944.246 di antaranya kasus gizi buruk) dan tahun 2007 turun lagi
menjadi 4,1 juta (755.397 di antaranya kasus gizi buruk).
Berdasarkan data Departemen Kesehatan Indonesia pada tahun
2009, gizi buruk pada balita tersebar hampir merata di seluruh Indonesia.
Tabel 1 menunjukkan ranking propinsi tertinggi penderita gizi buruk
berdasarkan jumlah kasus. Tabel 2 menunjukkan ranking propinsi tertinggi
penderita gizi buruk berdasarkan persentase jumlah penduduk.
Tabel 1
No. Provinsi No
.
Provinsi No
.
Provinsi No
.
Provinsi
1 Sulsel 9 Sumbar 17 Banten 25 Bali
2 Sumut 10 Sulteng 18 Sultra 26 Jambi
3 NTT 11 Kaltim 19 Papua 27 Maluku Utara
4 Jatim 12 Kalsel 20 DKI Jakarta 28 Maluku
5 Jateng 13 NTB 21 Kalteng 29 DI Yogya
6 Jabar 14 Sumsel 22 Sulut
7 Kalbar 15 Gorontalo 23 Bengkulu
8 Riau 16 Lampung 24 Bangka
Belitung


Tabel 2




No. Provinsi No
.
Provinsi No
.
Provinsi No
.
Provinsi
1 Gorontalo 9 Riau 17 Sulut 25 Jateng
2 Papua 10 Kalsel 18 Banten 26 Jabar
3 Kalbar 11 Sulteng 19 Bengkulu 27 Bali
4 NTT 12 Bangka
Belitung
20 Lampung 28 DI Yogya
5 Sumut 13 Kalteng 21 Sumbar 29 Jambi
6 NTB 14 Maluku 22 DKI Jakarta
7 Sumsel 15 Maluku Utara 23 Sultra
8 Sulsel 16 Kaltim 24 Jatim
Pelaksanaan program
Guna mempercepat pencapaian sasaran pengurangan angka gizi
buruk di masyarakat, di dalam Rencana Strategis Departemen Kesehatan
2005-2009 telah ditetapkan 4 strategi utama, yaitu 1) Menggerakkan dan
memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat; 2) Meningkatkan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas; 3)
Meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan inIormasi kesehatan, dan
4) Meningkatkan pembiayaan kesehatan. Selanjutnya dari empat strategi
utama tersebut telah ditetapkan 17 sasaran prioritas, satu diantaranya
adalah seluruh keluarga menjadi Keluarga Sadar Gizi (KADARZI),
sebagai komponen Desa Siaga.
1. Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)
KADARZI adalah suatu keluarga yang mampu mengenal,
mencegah dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya. Suatu keluarga
disebut KADARZI apabila telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan
minimal dengan:
a. Menimbang berat badan secara teratur.
b. Memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai
umur enam bulan (ASI eksklusiI).
c. Makan beraneka ragam.
d. Menggunakan garam beryodium.
e. Minum suplemen gizi sesuai anjuran.
2. Promosi Kesehatan
Promosi Kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama
masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta
mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat sesuai sosial
budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan
kesehatan.
Promosi KADARZI adalah upaya untuk meningkatkan
kemampuan keluarga melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama
masyarakat, agar dapat mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi
setiap anggotanya, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya
masyarakat sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan
publik yang mendukung upaya KADARZI.
Pemantauan promosi KADARZI merupakan upaya supervisi dan
mereview kegiatan promosi yang dilaksanakan secara sistimatis oleh
pengelola program untuk melihat apakah pelaksanaan kegiatan sudah
sesuai dengan yang direncanakan.

Tujuan, sasaran, kebijakan dan strategi kadarzi
A. Tujuan
1. Tujuan Umum
Meningkatnya persentase keluarga Indonesia yang menerapkan
perilaku sadar gizi.
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan dukungan kebijakan peningkatan KADARZI dari
para pengambil keputusan di pusat, provinsi dan kabupaten/kota
b. Meningkatkan aksi nyata berbagai komponen masyarakat untuk
menumbuh kembangkan perilaku KADARZI
c. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga yang
sadar gizi
B. Sasaran
1. Seluruh pengambil keputusan di pusat, provinsi dan kabupaten/kota
memahami dan mengeluarkan kebijakan yang mendukung promosi
KADARZI.
Para pengambil keputusan terdiri dari:
a. Pimpinan departemen terkait
b. Ketua DPR/DPRD
c. Gubernur dan Bupati/walikota
d. Kepala dinas sektor terkait
2. Seluruh mitra potensial yang terkait melakukan aksi nyata untuk
menumbuhkembangkan perilaku KADARZI. Para mitra potensial yaitu:
sektor terkait, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat,
asosiasi proIesi, tokoh masyarakat, media massa, dunia usaha/swasta,
lembaga donor.
3. Terbentuknya Jejaring KADARZI di pusat, provinsi dan kabupaten/kota
4. 80 keluarga menerapkan perilaku KADARZI.
C. Kebijakan
1. Promosi KADARZI diselenggarakan dalam rangka desentralisasi
untuk mewujudkan otonomi daerah di bidang peningkatan gizi untuk
mencapai visi Masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat.
2. Strategi dasar utama promosi KADARZI adalah menggerakkan dan
memberdayakan masyarakat untuk sadar gizi yang diperkuat dengan
bina suasana dan advokasi serta didukung oleh kemitraan.
3. Upaya mengubah dan atau menciptakan perilaku sadar gizi harus
didukung oleh upaya-upaya lain yang berkaitan, seperti:
Pemberlakuan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang
mendukung KADARZI, peningkatan keterjangkauan pelayanan gizi,
peningkatan ketahanan pangan di seluruh kelurahan dan desa, serta
subsidi pangan bagi keluarga miskin.
4. Dinas kesehatan kabupaten/kota merupakan penanggung jawab
promosi KADARZI di kabupaten/kota, yang bertugas
mengkoordinasikan, meningkatkan dan membina pemberdayaan
Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) yang dilaksanakan oleh puskesmas
dan sarana-sarana kesehatan lain melalui berbagai tatanan (rumah
tangga, institusi pendidikan, institusi kesehatan, tempat kerja dan
tempat-tempat umum), juga memIasilitasi sektor terkait untuk
mempromosikan KADARZI.
5. Dinas kesehatan provinsi merupakan penanggung jawab promosi
KADARZI di provinsi. Dinas kesehatan provinsi bertugas
mengkordinasikan, mengembangkan dan memIasilitasi dan
memperkuat dinas kesehatan kabupaten/kota dalam promosi
KADARZI, juga memIasilitasi sektor terkait untuk mempromosikan
KADARZI.
6. Direktorat Bina Gizi Masyarakat merupakan penanggung jawab
program pengembangan KADARZI. Dalam melaksanakan promosi
KADARZI bekerja sama dengan Pusat Promosi Kesehatan.
7. Peningkatan kapasitas promosi KADARZI, baik di kabupaten/kota
maupun di provinsi dan di pusat, dilakukan dengan mengutamakan
pengembangan sumber daya manusia baik lintas program maupun
lintas sektor.
8. Peningkatan promosi KADARZI berlandaskan pada Iakta (evidence
based). Hal ini dilakukan sejak dari kabupaten/kota sampai provinsi
dan nasional.
9. Mengembangkan kemitraan lintas departemen, lintas sektor,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi masyarakat, dunia
usaha dan swasta, media massa dan lembaga donor dalam promosi
KADARZI.
10.Mempromosikan KADARZI melalui berbagai metode dan media.

Temuan di masyarakat
Program Kadarzi adalah salah satu program dari pemerintah dan
termasuk dalam Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional (RAPGN) 2005
2010. Undangundang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas) dan Indonesia sehat 2010 yang
ditujukan guna memperbaiki status gizi seluruh penduduk Indonesia.
Pengertian dari Kadarzi adalah keluarga yang mampu melakukan perilaku
gizi seimbang, mampu mengenali masalah kesehatan dan gizi bagi setiap
anggota keluarganya dan mampu mengambil langkahlangkah untuk
mengatasi masalah gizi yang dijumpai oleh anggota keluarga. Untuk
mencapai Kadarzi diperlukan serangkaian kegiatan pemberdayaan di
berbagai tingkat mulai dari keluarga, masyarakat dan petugas yang
diarahkan untuk meningkatkan kepedulian terhadap perbaikan gizi
masyarakat melalui gerakan nasional. (Depkes, 2007)
Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang
penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan
pelayanan kesehatan saja. Masalah gizi disamping merupakan sindroma
kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan
ditingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku
yang kurang mendukung pola hidup sehat. Keadaan gizi masyarakat akan
mempengaruhi tingkat kesehatan dan umur harapan hidup yang
merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan keberhasilan
pembangunan negara yang dikenal dengan istilah Human Development
Index (HDI). Secara umum, di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama
yaitu kurang gizi makro dan kurang gizi mikro. Kurang gizi menyebabkan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan Iisik maupun mental,
mengurangi tingkat kecerdasan, kreatiIitas dan produktiIitas penduduk
(Dinkes 2008).
Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang
umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi
buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi
menahun. Menurut Departemen Kesehatan (2004), pada tahun 2003
terdapat sekitar 27,5 (5 juta balita kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2)
dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3). Pada tahun
1999, WHO mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi gizi kurang
ke dalam 4 kelompok yaitu: rendah (di bawah 10), sedang (10 -19),
tinggi (20 -29) dan sangat tinggi ( 30) (Nancy, 2005).
Melalui Inpres no.8 tahun 1999, pemerintah mencanangkan
gerakan penanggulangan masalah pangan dan gizi. Gerakan tersebut
dilaksanakan melalui 4 strategi utama yaitu pemberdayaan keluarga,
pemberdayaan masyarakat, pemantapan kerjasama lintas sektor serta
peningkatan mutu dan cakupan pelayanan kesehatan. Sejalan dengan
gerakan tersebut, dalam undangundang nomor 25 tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan dalam visi Indonesia
sehat 2010, ditetapkan bahwa 80 keluarga menjadi keluarga sadar gizi
(Kadarzi), karena keluarga mempunyai nilai yang amat strategis dan
menjadi inti dalam pembangunan seluruh masyarakat, serta menjadi
tumpuan dalam pembangunan manusia seutuhnya (Rachmi, 2002).
Evaluasi Program
Berdasarkan hasil survei pendahuluan diperoleh data yaitu pada
tahun 2008 di Puskesmas Mondokan Kabupaten Sragen Jawa Tengah,
diketahui bahwa masih ditemukan balita BGM (Bawah Garis Merah)
sebesar 4,25 , cakupan ASI EksklusiI (6 bulan) sebesar 5,39 , cakupan
Fe 90 untuk ibu hamil sebesar 90 , cakupan konsumsi Iodium sebesar
45,5 serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan posyandu
sebesar 70,56 . Selain permasalahan tersebut masih terdapat
permasalahan lain yang menyangkut sistem manajemen yaitu pada dana
atau modal terbukti dengan belum dilaksanakanya program pemetaan
kadarzi secara menyeluruh/merata, Berdasarkan laporan tahunan gizi
tersebut maka pemenuhan target program kadarzi sebesar 80 belum
tercapai, hal tersebut menunjukan bahwa program Kadarzi belum
maksimal dilaksanakan. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan
penelitian tentang program pemetaan Kadarzi pada tahun 2007 yang
meliputi Input, Process, output dan Ieed back . (Laporan tahunan gizi,
2008).
Banyaknya Iaktor yang berpengaruh terhadap perilaku keluarga
sehari-hari khususnya dalam asuhan gizi sehingga menyebabkan sulitnya
mengukur perilaku gizi seimbang keluarga. Perilaku gizi keluarga sangat
beragam, dan erat kaitannya dengan kebiasaan, asal daerah, dan agama
yang dianut. Oleh karena itu, disamping indikator yang telah disepakati
sangat dimungkinkan daerah untuk mengembangkan indikator tersebut
sesuai dengan kondisi yang ada.

Untuk mencapai target 80 keluarga menjadi kadarzi sebagaimana
yang tertuang dalam Propenas, maka perlu adanya gerakan secara
menyeluruh dan terpadu dari mulai keluarga, masyarakat dan petugas.

Perbandingan pelaksanaan program sejenis dengan negara
lain
Pada saat ini diperkirakan terdapat 38,4 juta penduduk Indonesia
yang hidup dibawah garis kemiskinan; 50 dari total rumah tangga
mengkonsumsi makanan kurang dari kebutuhan sehari-hari; lebih dari 5
juta anak dibawah usia lima tahun menderita kurang gizi; dan sekitar 100
juta orang berisiko dari berbagai masalah gizi lainnya (kurang zat besi,
kurang yodium, kurang vitamin A, kurang kalsium, kurang zink, dan lain-
lain).
Hal ini berdampak pada kondisi Indonesia yang jauh tertinggal dari
negara lain. Negara-negara lain sudah memasuki era kompetisi kemajuan
teknologi, sedangkan Indonesia masih harus menghadapi angka kematian
dan kesakitan yang tinggi. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke
111 untuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development
Index/HDI) dari 177 negara yang dinilai. Angka ini jauh lebih rendah
daripada Malaysia (59), Thailand (76), atau Filipina (73). Rendahnya HDI
ini mencerminkan bahwa tingkat pendidikan, kesehatan, dan pendapatan
per kapita penduduk Indonesia masih rendah. Masalah ini sangat erat
kaitannya dengan keadaan gizi penduduk.
Masalah gizi penduduk merupakan masalah yang tersembunyi,
yang berdampak pada tingginya angka kesakitan dan kematian. Saat ini
diperkirakan ada 2 balita yang meninggal setiap menit, 1 kematian karena
kurang gizi dan 1 kematian lainnya karena inIeksi. Masalah gizi juga
berdampak pada rendahnya pendidikan di Indonesia.
Diperkirakan hanya 3-4 persen dari total penduduk di Indonesia
berpendidikan D3 ke atas, dan hanya sekitar 1 berpendidikan S1 ke atas.
Bahkan masih dijumpai 4-5 persen dari total penduduk tidak pernah
mendapat pendidikan Iormal (13 persen penduduk 15 tahun keatas buta
huruI).
Sesungguhnya telah banyak upaya penanggulangan masalah gizi
yang dilakukan. Akan tetapi, keberhasilan upaya tersebut masih dirasakan
belum optimal, dan masalah gizi kurang masih bervariasi cukup lebar
antar kabupaten/kota. Di Indonesia masih tercatat ada 100 kabupaten
dengan angka kematian bayi tinggi (~50 per 1000 kelahiran hidup),
disertai dengan masalah gizi kurang pada balita cukup tinggi (~30), dan
kemiskinan tinggi (~30).
Disisi lain, masalah gizi lebih yang ditandai dengan indeks massa
tubuh (IMT)~30 mulai meningkat terutama di wilayah perkotaan. Hasil
penelitian menunjukkan prevalensi sudah lebih dari 5 khususnya pada
wanita usia diatas 30 tahun. Obesitas ini dapat berdampak pada timbulnya
penyakit degeneratiI seperti diabetes, jantung, dan kanker. Kematian
karena penyakit jantung menurut survei kesehatan rumah tangga tahun
2001 pada wanita adalah 191 per 100,000 penduduk, lebih tinggi
dibandingkan dengan laki- laki 123,1 per 100,000 penduduk.
Berdasarkan besarnya masalah gizi dan kesehatan serta variasi
Iaktor penyebab masalah antar wilayah, maka diperlukan program yang
komprehensiI dan terintegrasi, baik di tingkat kabupaten, provinsi,
maupun tingkat nasional. Jelas sekali kerja sama antar sektor terkait
menjadi penting, selain mengurangi aktivitas yang tumpang tindih dan
tidak terarah.
Banyak hal yang harus diperkuat untuk melaksanakan program
perbaikan gizi, mulai dari ketersediaan data dan inIormasi sampai dengan
kajian strategi program secara periodik, sehingga dapat digunakan dalam
perencanaan program yang eIektiI dan eIisien. Untuk yang akan datang,
program perbaikan gizi dan kesehatan yang bersiIat preventiI sangat
diperlukan, sementara program yang bersiIat kuratiI diberikan pada
kelompok yang benar-benar membutuhkan.
Bentuk program eIektiI seperti perbaikan perilaku kesehatan dan
gizi tingkat keluarga yang dilakukan secara proIesional harus mulai
dipikirkan, dengan mempertimbangkan kondisi spesiIik lokal. Untuk yang
akan datang, diperkenalkan Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) yang
merupakan visi dan misi dari program perbaikan gizi secara nasional,
bertujuan untuk mengurangi dan mencegah masalah gizi.
KADARZI adalah keluarga yang berperilaku gizi seimbang,
mampu mengenali masalah gizi setiap anggota keluarga dan mengambil
langkah-langkah untuk mengatasi masalah gizi anggota keluarga.
KADARZI mempunyai 2 ciri yaitu seluruh anggota keluarga berperilaku
yang mengarah pada perbaikan gizi, dan seluruh anggota keluarga
berstatus gizi baik. Untuk mencapai kadarzi diperlukan upaya- upaya
eIektiI berdasarkan kajian ilmiah, dan dituangkan dalam visi, misi dan
strategi. Strategi yang digunakan dalam melaksanakan kebijakan program
perbaikan gizi tersebut meliputi 6 strategi dasar, yaitu 1) Pemberdayaan
keluarga; 2) Peer pressure; 3) Kampanye media massa; 4) Kebijakan
publik di bidang gizi; 5) Kemitraan dan kerjasama lintas sektor dan 6)
Penelitian dan Pengembangan. Pertemuan ini sebagai salah satu upaya
agar pemegang kebijakan di tingkat propinsi memahami kerumitan
masalah gizi dan merencanakan program yang tepat di wilayahnya.








DAFTAR PUSTAKA
RI-WHO. 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-
2005, Jakarta. U No 20. 2003. Sistem Pendidikan Nasional yang juga
mengatur tentang "Wajib belajar 9 tahun".
Depkes RI. 2005. Pedoman Umum Rencana Aksi Nasional
Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009.Departemen
Kesehatan RI. Jakarta
Supariasa, I.D.N. 2002. Penentuan Status Gizi. Penerbit EGC.
Jakarta.
Supriyanto, S, Damayanti, NA. 2007. Perencanaan dan Evaluasi.
Airlangga University Press. Surabaya
Trihono. 2005. Manajemen Puskesmas Berbasis Paradigma Sehat.
Sagung Seto. Jakarta
Wijono, Djoko.2007. Manajemen Umum Pelayanan Kesehatan.
Airlangga University Press. Surabaya.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2009. Survei DemograIi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2006-2008.
Dewan Ketahanan Pangan. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan
Nasional. 2005.
Gizi dalam Angka sampai dengan 2005. Departemen Kesehatan.
2006.
Government oI Indonesia (GOI). 2004. Indonesia Progress Report
on the Millenium Development Goal.
Peraturan Pemerintah No.7 tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan JangkaMenengah Tahun 2004-2009.
WHO. Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health, A
Framework to Monitor and Evaluate Implementation. Geneva. 2006.

Anda mungkin juga menyukai