Anda di halaman 1dari 17

ANALISA JUAL BELI ONLINE MELALUI E-COMMERCE DALAM

PERSPEKTIF FIQIH MUAMALAH

Abstrak
Penelitian dilakukan untuk menganalisa kesesuaian prinsip yang ada di dalam jual beli
online melalui e-commerce dengan jual beli yang diatur dalam fiqih muamalah umat
Islam, mengingat pada jaman peradaban Nabi Muhammad SAW, internet belum
dikembangkan sehingga transaksi jual beli masih dilakukan dengan cara tradisional
yaitu pertemuan antara penjual dan pembeli dalam satu tempat dan waktu yang sama.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan konseptual. Data
dikumpulkan melalui metode studi pustaka dan analisa dilakukan secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam ajaran muamalah, transaksi melalui e-
commerce dapat disamakan dengan bai’as-salam yaitu jual beli dimana pembayaran
dilakukan secara tunai di awal sementara penyerahan barang dilakukan kemudian. Pada
dasarnya memang tidak ada jual beli yang dilarang dalam Islam selama objek yang
diperjualbelikan bukanlah barang yang diharamkan dan dilarang dijual menurut Islam
sehingga transaksi e-commerce tetap sah dimata hukum Islam karena tetap terjadi
kesepakatan, terdapat para pihak, dan juga barang yang diperdagangkan. Hanya saja
untuk transaksi melalui e-commerce harus dipastikan hak khiyar dari pembeli terpenuhi.
Kata Kunci: e-commerce, muamalah, jual beli, online

Abstract
Research was conducted to analyze the suitability of existing principles in buying and
sellingonline through e-commercewith buying and selling as regulated in muamalah
fiqh Muslims, remember that at the time of the civilization of the Prophet Muhammad
SAW, the internet had not yet been developed so that buying and selling transactions
were still carried out in the traditional way, namely meetings between sellers and
buyers in one place and at the same time. This research uses qualitative methods with a
conceptual approach. Data was collected through the literature study method and
analysis was carried out descriptively. The research results show that in muamalah
teachings, transactions are carried out through e-commerce can be equated with bai'
as-salam namely buying and selling where payment is made in cash at the beginning
while delivery of the goods is made later. Basically, there is no buying and selling that
is prohibited in Islam as long as the object being traded is not an item that is forbidden
and prohibited from being sold according to Islam so that the transactione-commerce
remains legal in the eyes of Islamic law because there is still an agreement, there are
parties, and also the goods being traded. Only for transactions via e-commerce rights
must be ensured cucumber from buyers are fulfilled.
Keywords:e-commerce,muamalah, buying and selling,online

PENDAHULUAN
Perkembangan dan kemajuan dibidang teknologi dan ilmu pengetahuan tentu juga
akan merambah pada bidang lainnya, salah satunya adalah bidang ekonomi. Aktivitas
perdagangan yang menjadi sumbu utama dari kegiatan perekonomian juga turut
terdampak adanya perkembangan teknologi. Jual beli yang semula hanya bisa dilakukan
saat adanya pertemuan antara penjual dan pembeli di tempat dan waktu yang sama,
berkembang menjadi jual beli online yang mana transaksi jual beli bisa terjadi tanpa
penjual dan pembeli harus bertemu. Aktivitas jual beli online yang dilakukan melalui
media internet disebut dengan e-commerce. Berbagai platform e-commerce banyak
dijumpai di Indonesia, misalkan saja shopee, tokopedia, maupun lazada. Keberadaan e-
commerce membuat transaksi jual beli tidak lagi dibatasi oleh kondisi ruang dan waktu.
Seorang penjual yang berasal dari Indonesia dapat menerima pesanan produk dari
pembeli yang berasal dari negara tetangga, pun juga seorang pembeli dapat melakukan
transaksi kapan saja dan dimana saja. Seperti itulah garis besar keuntungan yang
diperoleh dari memanfaatkan e-commerce dalam aktivitas perdagangan dunia. Adanya
e-commerce akan meningkatkan efisiensi aktivitas perdagangan terkhusus jual beli
karena dengan keberadaannya membuka peluang bagi pebisnis yang baru saja merintis
usahanya untuk mampu bersaing dengan pebisnis lainnya serta memberikan kemudahan
bagi pembeli untuk melakukan transaksi.
E-commerce pertama kali dikenal oleh peradaban manusia adalah di tahun 1994
untuk mengirimkan invoice atau bukti pembayaran kepada pembeli. Itu artinya saat
awal mula peradaban Islam dimulai, dunia perdagangan Islam belum mengenal adanya
e-commerce dan itu artinya pelaksanaan e-commerce belum diatur dalam sumber-
sumber Islam baik itu Al-Qur’an ataupun Hadist yang dikeluarkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Namun tetap saja meskipun keberadaan e-commerce bersifat
kontemporer, hukum Islam harus mampu menyesuaikan perkembangan zaman dengan
menyediakan peraturan hukum yang akan melindungi umat Islam dari transaksi yang
sifatnya dilarang oleh Islam ataupun transaksi yang hanya mendapatkan kerugian bagi
umat Islam1. E-commerce telah menyatu dengan realitas sosial masyarakat sehingga saat
ini penggunaannya sangat sulit dipisahkan dari masyarakat. Segala aktivitas yang
berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat dalam Islam memiliki pengaturannya
sendiri yaitu dibidang muamalah2.
Ketentuan dalam muamalah, tidak ada transaksi yang dilarang selama transaksi
tersebut tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang dan/atau transaksi yang telah
dirumuskan sebagai transaksi haram di dalam Al-Qur’an ataupun Hadist. Namun tetap

1
Haris Faulidi Asnawi, Transaksi Bisnis E-Commerce Persfektif Islam (Yogyakarta: Magistra Insania
Press, 2004).
2
Panji Adam, Fikih Muamalah Adabiyah (Bandung: PT Refika Aditama, 2018).
dalam setiap transaksi yang dilakukan oleh umat Islam harus memenuhi rukun dan
syarat sah jual beli yang dirumuskan dalam Islam. Keberadaan rukun dan syarat sah ini
akan memberikan batasan terhadap pelaksanaan jual beli yang terjadi. Pembatasan
inilah yang selanjutnya akan penulis analisa untuk menilai apakah transaksi jual beli
online melalui e-commerce telah memenuhi rukun dan syarat sah transaksi jual beli
dalam Islam atau belum karena jika tidak memenuhi satu saja rukunnya dapat dikatakan
bahwa transaksi tersebut tidak sah dan dilarang untuk dilakukan.
METODE PENELITIAN
Metode merupakan serangkaian cara yang dapat ditempuh oleh seseorang yang
disusun secara sistematis guna menemui suatu jawaban atas permasalahan yang hendak
diselesaikan atau untuk mengetahui sesuatu. Metode penelitian merupakan rangkaian
proses yang tersusun secara sistematis mulai dari mengumpulkan data hingga
merumuskan simpulan atas suatu permasalahan yang ada untuk kepentingan
perkembangan ilmu pengetahuan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
kualitatif dimana analisa dilakukan dengan berdasar teori-teori yang relevan untuk
kemudian dianalisis menjadi rangkaian kata dan bukan data statis seperti pada penelitian
kuantitatif. Penjelaskan yang eksplanatif akan dipaparkan untuk menyelesaikan
persoalan yang ada.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah pendekatan
konseptual dimana pendekatan menggunakan doktrin atau pendapat para ahli dibidang
fikih muamalah Islam sebagai dasar melakukan analisa. Kemudian sumber data yang
diperoleh merupakan sumber data sekunder yang perolehannya berasal dari jurnal,
buku, laporan penelitian sebelumnya, koran, ataupun sumber tertulis lainnya yang isinya
dapat dipertanggungjawabkan. Sumber data utama untuk menganalisa tentu adalah dari
Al-Qur’an dan Hadist baru kemudian turun kepada teori-teori para tokoh Islam.
Pengumpulan data dilakukan untuk mempermudah seorang peneliti mendapatkan
data. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah studi kepustakaan
dimana peneliti akan melakukan kajian literatur dari berbagai sumber data sekunder
yang telah dikumpulkan, untuk kemudian di kelompokkan sekiranya teori atau bahan
analisa apa yang sesuai dengan permasalahan yang dijaki. Baru kemudian data tersebut
dikumpulkan dan disusun secara analitik. Deskriptif analitik merupakan metode
pengolahan data yang tepat dalam penelitian kali ini karena setiap data yang terkumpul
akan dianalisa secara mendalam, menyeluruh, dan kritis untuk kemudian dapat ditarik
sebuah kesimpulan.
PEMBAHASAN
1. Transaksi Jual Beli Online melalui E-Commerce
E-commerce merupakan perkembangan lanjutan dari transaksi jual beli yang
memanfaatkan media elektronik khususnya perangkat yang terhubung ke internet.
Perkembangan e-commerce begitu pesat di kalangan masyarakat melihat dari sisi
keuntungan yang ditawarkannya. Mulai dari penghematan waktu, biaya, dan ruang
menjadikan e-commerce tidak hanya menguntungkan bagi pembeli namun juga bagi
penjual. E-commerce memungkinkan pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi
jual beli tanpa bertemu satu sama lain. Secara bahasa, e-commerce merupakan sistem
yang memfasilitasi terjadinya transaksi perdangan berupa pertukaran barang dan/atau
jasa antara penjual dan pembeli dengan menggunakan internet sebagai media utamanya.
E-commerce sendiri pertama kali diperkenalkan di tahun 1994 yang dipergunakan
untuk mengirimkan dokumen komersial invoice yang merupakan bukti transaksi jual
beli atau penyerahan pesanan kepada pembeli. Berkembang setelahnya e-commerce
menjadi ajang untuk memasang iklan produk yang dicantumkan ke dalam sebuah web
khusus. Negara yang mengembangkan e-commerce pada saat itu masih terbatas pada
negara-negara maju saja seperti Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa. Baru
kemudian di tahun 1999, pembelian produk dengan sistem langsung atau online mulai
dikenal oleh masyarakat Amerika Serikat. Saat ini di dekade ke 20, penggunaan e-
commerce telah meluas bahkan tidak hanya digunakan oleh negara maju saja, negara
berkembangpun turut merasakan salah satu bentuk perkembangan teknologi di bidang
ekonomi ini3.
Di Indonesia sendiri, transaksi melalui e-commerce dilakukan dengan pembeli
yang memilih barang yang mereka inginkan dengan memasukkan nama atau merek
barang tersebut ke dalam kolom pencarian. Nantinya berbagai produk dari berbagai
penjual di seluruh penjuru Indonesia akan nampak. Pembeli dapat memilih produk yang
mereka cari dengan harga murah dan kualitas terbaik menurut mereka dengan cara
melihat ulasan yang dituliskan oleh pembeli lainnya untuk meyakinkan bahwa produk

3
Nazhara Azka Nadianti and Arif Rijal Anshori, “Tinjauan Fikih Muamalah Terhadap Praktik Jual
Beli Dengan Sistem Cashback Di Tokopedia,” Jurnal Riset Ekonomi Syariah (JRES) 3, no. 1 (2023):
27–34.
yang hendak mereka beli adalah produk asli. Kemudian setelah memilih, produk akan
dimasukkan ke dalam keranjang belanja. Pembeli tidak hanya bisa memasukkan satu
barang saja ke dalam keranjang belanja. Seperti shopee, aplikasi tersebut membatasi
produk yang ada di dalam keranjang belanja tidak lebih dari produk yang berasal dari
200 toko. Pembeli tidak harus membeli semua produk yang mereka masukkan ke dalam
keranjang belanja saat itu juga. Pembeli dapat membelinya sesuai dengan kebutuhan
dan keinginan. Jika pembeli berniat membelinya maka pilih produk yang hendak dibeli
lalu pilih check out untuk lanjut kepada laman memasukkan identitas beserta alamat,
memilih jasa ekspedisi yang dapat digunakan, dan terakhir memilih cara pembayaran.
Cara pembayaran yang ditawarkan oleh berbagai e-commerce di Indonesia rata-rata
menggunakan dompet digital masing-masing e-commerce, cash on delivery yang
memungkinkan pembeli untuk melakukan pembayaran nanti saat barang yang
dipesannya sampai ke tangannya, melalui supermarket terdekat, ataupun pembayaran
melalui transfer bank. Pembeli bebas memilih cara pembayaran baru setelah
pembayaran selesai dilakukan, transaksi akan dilanjutkan ke proses pengemasan dan
pengiriman oleh jasa ekspedisi yang telah dipilih. Produk yang dibeli akan sampai
sesuai dengan pilihan waktu pengiriman ataupun jarak antara si pembeli dengan
penjual4.
Sebagaimana yang telah disinggung di awal bahwa e-commerce tidak hanya
mendatangkan keuntungan bagi penjual saja namun juga pembeli 5. Beberapa
keuntungan yang diperoleh oleh penjual diantaranya adalah:
a. Jika penjual konvensional membutuhkan suatu tempat berupa toko atau lapak
khusus untuk berjualan maka penjual di e-commerce tidak membutuhkan hal yang
demikian sehingga keberadaan e-commerce akan mengurangi biaya produksi;
b. Penjual dapat memberikan pelayanan selama 24 jam penuh sehingga pendapatan
yang didapatkan akan jauh lebih besar;
c. Persaingan yang lebih mudah daripada persaingan pada pasar umumnya
Sementara itu keuntungan yang didapatkan oleh pembeli diantaranya adalah:

4
Tira Nur Fitria, “BISNIS JUAL BELI ONLINE (ONLINE SHOP) DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM
NEGARA,” Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam 3, no. 1 (2017): 52–62.
5
Fahmi Khalamillah, “Transaksi Jual Beli Online (E-Commerce) Dalam Perspektif Hukum Islam,”
Jurnal Munich Personal RePEc Archive, 2019.
a. Platform e-commerce dapat diakses kapan saja dan dimana saja selama perangkat
elektronik yang dimiliki seperti handphone atau laptop tersambung dengan
jaringan internet. ;
b. Platform e-commerce menyediakan berbagai pilihan metode pembayaran
sehingga pembeli dapat dengan bebas memilih sesuai dengan kemampuannya.
Pembayaran bisa dilakukan melalui transfer bank, dompet digital, melalui kasir
minimarket atau supermarket, ataupun cash on delivery;
c. Pembeli akan mendapatkan pelayanan yang cepat dan tanggap tanpa terbatasnya
jam operasional. Jika jual bei konvensional, pembeli harus menunggu sampai toko
buka dan datang langsung ke toko tersebut namun dengan e-commerce, pembeli
cukup mengirim pesan ke fitur yang memang disediakan dan admin dari toko
online tersebut akan membalas;
d. Pembeli tidak datang langsung ke toko melainkan produk akan sampai dengan
dibawa oleh kurir ekspedisi sehingga sangat menghemat waktu dari pembeli.
Namun berbelanja melalui e-commerce bukan tanpa sebuah risiko. Risiko tinggi
juga menjadi salah satu sisi negatif dari kegiatan jual beli melalui e-commerce.
Banyaknya penipuan yang dialami oleh penjual ataupun pembeli kemudian bocornya
data pribadi dan kemudian disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab,
barang yang sampai tidak sesuai dengan keinginan dan visualisasi dari yang
disampaikan oleh penjual, dan/atau penjual yang ditipu oleh pembeli dimana ketika
barang sampai pembeli enggan untuk membayar adalah contoh-contoh risiko dari jual
beli online melalui e-commerce. Hanya saja saat ini 80% dari seluruh masyarakat
Indonesia setidaknya pernah melakukan transaksi jual beli melalui e-commerce.
2. Transaksi Jual Beli menurut Fikih Muamalah
Istilah jual beli dalam ekonomi Islam disebut sebagai al-bay yang artinya secara
etimologi adalah saling tukar menukar. Kemudian secara terminologi atau syariat yang
dimaksud dengan jual beli adalah peristiwa tukar menukar harta dengan harta untuk
dimiliki atau dimanfaatkan sehingga perpindahan harta terjadi secara sukarela sesuai
dengan imbalan yang didapatkan. Dalam hukum Islam, untuk dapat dikatakan sah,
transaksi jual beli harus memenuhi beberapa rukun dan syarat sah jual beli menurut
fiqih muamalah. Berikut adalah rukun jual beli menurut Islam6:

6
Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015).
Pertama, adanya ijab wa qabul. Ijab merupakan kalimat persetujuan yang keluar
dari pihak pembeli dan penjual dimana penjual sepakat untuk menjual barang yang
dimilikinya sesuai dengan harga yang disepakati dengan pembeli dan pembeli sepakat
untuk membayar barang tersebut dengan sejumlah uang yang dimilikinya. Tidak semua
transaksi jual beli memerlukan ijab wa qabul, hanya transaksi untuk barang yang
bernilai saja dibutuhkan adanya ijab hanya saja kembali lagi kepada keperluan dari
masing-masing pihak yang terpenting baik penjual dan pembeli sama-sama secara
sukarela melepas barang dan yang yang dimilikinya.
Kedua, ada pihak yang melakukan kesepakatan. Dalam transaksi jual beli maka
pihak yang dimaksud adalah penjual dan pembeli. Penjual merupakan pihak yang
menyediakan barang sementara penjual merupakan pihak yang memiliki uang untuk
membeli barang. Kedua belah pihak haruslah memenuhi kategori berakal menurut Islam
yaitu sudah dewasa, tidak gila, dan tidak dalam keadaan mabuk. Bagi anak yang ingin
melakukan transaksi jual beli maka akan diwakilkan oleh walinya.
Ketiga, ada objek atau barang yang diperjualbelikan. Barang yang
diperjualbelikan harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya adalah (1) tidak
boleh memperdagangkan barang haram dalam artian barang yang diperjualbelikan tidak
boleh dilarang dalam syariah Islam; (2) mendatangkan manfaat bagi pembeli jika
barang tersebut berpindah tangan; (3) barang yang diserahkan kepada pembeli adalah
barang yang sepenuhnya kepemilikannya berada di tangan penjual dalam artian penjual
tidak menjual barang yang bukan miliknya; (4) ketika melakukan transaksi, barang yang
menjadi objek jual beli berada dalam jangkauan dari penjual saat proses akad
berlangsung kecuali memang barang yang bentuknya adalah pesanan; dan (5) barang
harus memiliki jenis yang jelas sehingga tidak akan mendatangkan kerugian bagi kedua
belah pihak yang melakukan transaksi.
Keempat, adanya saksi. Namun sifat saksi disini bukanlah menyatakan sebuah
kewajiban melainkan hanya sunah yang apabila disediakan akan jauh lebih baik karena
tujuannya juga untuk kebaikan dan penjaminan bagi kedua belah pihak.
Abdullah al-Mushlil dan Shalah al-Shawi membagi jual beli ke dalam beberapa
kategori, diantaranya adalah:
a. Kategori jual beli berdasarkan jenisnya;
Jual beli dalam kategori ini dibedakan kembali menjadi beberapa jenis,
diantaranya adalah:
1) Jual beli umum, merupakan jual beli dimana sejumlah barang akan ditukar dengan
sejumlah uang. Nilai tukar antara barang dan uang haruslah sama besar sehingga
tidak ada pihak yang dirugikan;
2) Jual beli al-sharf, merupakan jual beli dimana sejumlah uang akan ditukar dengan
sejumlah uang dalam jumlah yang sama hanya saja dalam mata uang yang
berbeda. Konsep ini digunakan dalam money changer;
3) Jual beli muqayyadah, merupakan jual beli dimana sejumlah barang akan ditukar
dengan barang. Tidak ada takaran pasti mengenai nilai barang yang ditukarkan.
Semuanya bergantung pada kesepakatan antara para pihak. Namun jenis jual beli
yang satu ini tidak lagi diterapkan di dunia modern mengingat rawan merugikan
salah satu pihak.
b. Kategori jual beli berdasarkan standar harganya;
Jual beli dalam kategori ini dibedakan kembali menjadi beberapa jenis, yaitu
diantaranya:
1) Jual beli yang didahului dengan tawar menawar. Dalam transaksi ini artinya
penjual belum menetapkan harga jual yang pasti, pembeli masih bisa menawar
harga sesuai dengan keinginannya karena penjual juga tidak memberitahukan
besaran modal dari barang yang dijualnya;
2) Jual beli amanah, merupakan transaksi jual beli yang harganya sudah pasti dan
penjual memberitahukan jumlah modalnya kepada pembeli. Jenis jual beli ini
dibedakan lagi menjadi tiga yaitu:
a) Jual beli murabahah, yaitu jual beli yang jumlah keuntungannya diketahui
oleh kedua belah pihak. Itu artinya penjual terbuka perihal modal yang
dikeluarkan dan keuntungan yang akan didapatkan dari transaksi jual beli;
b) Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli yang jumlah kerugiannya diketahui oleh
pembeli, akibat pembeli membeli barang dengan harga dibawah modal yang
dikeluarkan oleh penjual sehingga dalam transaksi jenis ini penjual akan
mengalami kerugian;
c) Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dimana penjual tidak memperoleh
keuntungan sama sekali dengan kata lain besaran modal yang dikeluarkan
sama dengan harga beli yang dibayarkan oleh pembeli.
3) Jual beli muzayyadah, merupakan jual beli lelang yang dilakukan dengan
menawarkan barang yang dijualnya kepada lebih dari satu pembeli. Pembeli yang
berminat untuk membeli barang tersebut akan berlomba-lomba untuk memasang
harga tinggi demi mendapatkan barang tersebut. Dengan kata lain tidak ada harga
pasti dari produk yang dijual. Penjual hanya akan menjual kepada pembeli yang
berhasil memenangkan proses lelang lewat penawaran tertinggi. Lelang biasanya
dilakukan untuk jual beli barang antik dan mewahl
4) Jual beli munaqashah, merupakan jual beli yang berkebalikan dari sistem lelang.
Penjual akan menawarkan harga yang jauh dari harga modal yang dikeluarkannya,
kemudian pembeli akan membeli dengan harga termurah.
c. Kategori jual beli berdasarkan cara pembayaran dan penyerahan barangnya;
Dalam kategori ini, jual beli dibedakan kembali menjadi beberapa macam yaitu
diantaranya:
1) Jual beli biasa, dimana pembayaran dilakukan oleh pembeli setelah penjual
menyerahkan barangnya dalam kurun waktu yang sama. Itu artinya pembayaran
dilakukan secara langsungl
2) Jual beli dengan pembayaran yang ditunda namun barang diserahkan saat itu juga.
Biasanya diterapkan pada pembiayaan bank syariah dimana dengan layanan kredit
yang diberikan oleh bank, nasabah bank dapat menikmati sejumlah uang yang
diberikan oleh bank dan pembayarannya ditunda dalam artian tidak langsung
diberikan melainkan dibayarkan secara bertahap melalui skema cicilan;
3) Jual beli dengan pembayaran yang dilakukan secara langsung namun penyerahan
barangnya ditunda. Konsep inilah yang nantinya menjadi dasar dari e-commerce
dalam Islam. Jual beli kategori ini disebut juga dengan al-salam;
4) Jual beli yang baik pembayaran ataupun penyerahan barangnya dilakukan secara
tertunda. Jenis jual beli ini biasanya diterapkan dalam sistem pre-order atau
pesanan, dimana di tahap awal saat melakukan pemesanan, pembeli akan
membayarkan sejumlah uang untuk down payment, kemudian pelunasan baru
dibayarkan setelah barang yang dipesan jadi.
3. Jual Beli Online melalui E-Commerce dalam Perspektif Fikih Muamalah
Jual beli online melalui e-commerce jika dilihat dari kategori jual beli yang telah
dijelaskan di atas maka termasuk ke dalam kategori jual beli yang pembayarannya
dilakukan secara langsung namun penyerahan barangnya tertunda. Dikatakan demikian
mengingat pembeli pada e-commerce akan melakukan pembayaran terlebih dahulu
melalui minimarket, transfer bank, ataupun dompet digital seperti shopeepay, gopay,
maupun ovo. Baru kemudian beberapa hari kemudian barang yang mereka pesan akan
diantarkan dan sampai pada alamat yang mereka cantumkan. Namun untuk pembayaran
yang dilakukan melalui sistem cash on delivery dapat digolongkan sebagai jual beli
pembayaran yang ditunda namun barang diserahkan saat itu juga. Penjual dalam hal ini
tidak langsung mendapatkan uang yang diserahkan oleh pembeli, sedangkan pembeli
langsung mendapatkan barang yang dipesannya melalui kurir ekspedisi.
Analisa kali ini akan melihat bahwa transaksi e-commerce sama dengan bai’ as-
salam dalam konsep fikih muamalah dimana barang tidak langsung diterima setelah
pembayaran dilakukan. Untuk dapat dikatakan sebagai bai’ as-salam, suatu transaksi
jual beli harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut7:
a. Pembayaran dilakukan secara lunas di awal transaksi. Tidak ada istilah mencicil
ataupun hanya menyerahkan sebagian jumlah pembayaran dan baru melunasinya
ketika barang sampai di tangan pembeli. Pembayaran harus dilakukan langsung
setelah pembeli memutuskan untuk membeli barang tersebut;
b. Barang yang menjadi objek jual beli harus memiliki bentuk dan jenis yang jelas
karena sifatnya yang akan datang dimasa pendatang maka pembeli harus terlebih
dahulu memastikan bahwa barang yang mereka pesan adalah benar barang yang
mereka inginkan. Kepastian jenis barang harus selesai sebelum akad
dilangsungkan;
c. Jika di dalam proses menuju akad terdapat kriteria-kriteria tertentu maka kriteria
tersebut harus disebutkan saat pelaksanaan akad, agar penjual nantinya
memberikan barang yang sesuai dengan kriteria yang diberikan;
d. Sampainya barang kepada pembeli memiliki rentang waktu yang jelas dan dapat
diprediksi sehingga pembeli mendapatkan kepastian atas transaksi pembayaran

7
Larasati Dhinarti and Firda Amalia, “E-Commerce Dalam Perspektif Fiqh Muamalat,” Conference on
Islamic Management, Accounting, and Economics (CIMAE) Proceeding 2 (2019): 162–69.
yang dilakukannya. Rentang waktu datangnya barang ini juga menjadi salah satu
poin kesepakatan akad antara penjual dan pembeli;
e. Penjual harus memastikan bahwa objek yang menjadi barang dagangan yang akan
diserahkan kepada pembeli adalah barang yang sesuai dengan kriteria yang
sebelumnya telah disepakati.
Kemudian selayaknya jual beli dalam syariat umumnya, bai’ as-salam juga
memiliki unsur-unsur yang harus dipenuhi supaya transaksi jual beli yang dilakukan sah
dimata agama8.
a. Adanya sighat dalam transaksi
Sighat merupakan akad atau ijab dimana pernyataan sepakat muncul dari kedua
belah pihak. Pihak pembeli sepakat untuk membeli barang tersebut dan
mengeluarkan sejumlah uang sebagai nilai tukar dari barang yang dibelinya dan
pihak penjual harus menyerahkan barang tersebut. Pernyataan ijab ini bisa
dilakukan secara lisan ataupun tertulis selama kedua belah pihak akan paham
dengan pernyataan yang disebutkan.
b. Adanya pelaku transaksi
Pelaku transaksi adalah penjual dan pembeli yang telah mengucap kata sepakat
dalam sighat. Pembeli dalam Islam disebut sebagai rab assalam atau muslim,
sementara penjual disebut dnegan istilah muslam ilaihi. Dalam ketentuan fiqih
muamalah, pihak yang dapat melakukan transaksi jual beli hanyalah orang yang
telah cukup umur, tidak gila, dan tidak berada di bawah pengampuan, atau
kondisi-kondisi lainnya seperti pingsan, mabuk, tidur atau kondisi lainnya dimana
seseorang tidak memiliki kesadaran penuh.
c. Adanya objek transaksi
Objek merupakan suatu barang yang diperjualbelikan, dimana barang tersebut
tidak boleh dilarang atau dianggap haram di dalam ajaran Islam. Objek transaksi
sebelumnya sudah dibayar secara lunas oleh pembeli melalui berbagai metode
pembayaran yang telah disepakati.
Sekalipun dianggap sama antara transaksi e-commerce dengan bai’ as-salam,
suatu transaksi online melalui e-commerce harus dinyatakan valid terlebih dahulu

8
Wahida Z, “PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE DENGAN
MODEL PERIKLANAN,” Al-Ilmu: Jurnal Keagamaan Dan Ilmu Sosial 7, no. 1 (2022): 156–79.
menurut kesesuaian dengan fikih muamalah yang diriwayatkan dalam Islam yaitu
diantaranya9:
a. Keberadaan kontrak (at-ta’aqud), untuk unsur yang satu ini terjadi proses
memastikan semua rukun di dalam jual beli terpenuhi mulai dari pelaksanaan ijab,
adanya para pihak, adanya objek yang diperjualbelikan, dan adanya kesepakatan.
Khusus untuk transaksi e-commerce maka barang yang diperjualbelikan harus
dipastikan terlebih dahulu bahwa barangnya memang benar dijual dipasaran;
b. Memastikan validitas (shiha), perjanjian jual beli yang terjadi diantara kedua
belah pihak haruslah terbebas dari jenis transaksi yang dilarang menurut agama
Islam yaitu adanya unsur riba, ketidakpastian terhadap barang yang
diperjualbelikan, transaksi yang sifatnya menipu dan memaksa, ataupun barang
yang diperoleh dari hasil judi dan segala transaksi haram lainnya;
c. Adanya pelaksanaan (nafadz), dalam tahap ini ada dua hal yang harus dipastikan
terlebih dahulu yaitu bahwa barang yang menjadi objek jual beli benar merupakan
barang milik penjual yang kepemilikannya diperoleh secara sah dan barang yang
diperjualbelikan tersebut bukan merupakan barang yang terikat dengan perjanjian
utang piutang atau dijadikan jaminan atas suatu perjanjian lainnya;
d. Proses pengikatan (ikzam), yang ditunjukkan dengan penandatanganan kontrak.
Dalam transaksi e-commerce penandatanganan secara harafiah akan sulit
dilakukan sehingga hal yang harus dilakukan adalah setidaknya konsumen
menyaksikan melalui video yang berisi barang yang dibelinya untuk memastikan
barang tersebut tidak melenceng dari kriteria yang telah ditentukan. Jika memang
penandatanganan kontrak memungkinkan maka baik pihak pembeli ataupun
penjual harus menyimpan kontrak tersebut;
e. Pembayaran, dilakukan dengan mentransfer sejumlah uang tertentu yang
besarannya telah disepakati melalui berbagai metode yang disediakan. Dalam
Islam dianjurkan untuk tidak menggunakan kartu kredit.
f. Pengiriman, proses ini dilakukan setalah proses pembayaran selesai dilakukan
oleh pembeli. Pengiriman dilakukan melalui kurir ekspedisi yang bekerjasama
dengan penjual.

9
Mahmudah Mulia Muhammad, “TRANSAKSI E-COMMERSE DALAM EKONOMI SYARIAH,” Jurnal El-
Iqtishady 2, no. 1 (2020): 76–86.
Antara transaksi e-commerce dengan bai’ as-salam tentu tetap memiliki
perbedaan, namun terlebih dahulu akan diulas persamaannya. Persamaannya berkaitan
dengan ketiga unsur yang harus ada di dalam jual beli yaitu ada kesepakatan, para
pihak, dan objek yang diperjanjikan, dimana pembayaran dilakukan terlebih dahulu baru
nanti barang akan sampai sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan. Sementara
perbedaannya adalah sebagai berikut10:
a. Dari segi penawaran
Jika pada bai’ as-salam proses tawar menawar terjadi di tempat jual beli secara
langsung maka pada e-commerce konsep penawaran dilakukan secara terbuka
oleh penjual yang menyajikan berbagai macam produk dengan berbagai kriteria
pada etalase toko yang ada di e-commerce, kemudian pembeli dapat memilih
barang sesuai dengan kriteria yang diingkan. Di dalam website atau aplikasi e-
commerce juga akan disajikan review produk dari pembeli sebelumnya, rating,
video, dan harga dari produk tersebut. Kemudian jika ingin bertanya mengenai
produk, pembeli dapat memilih layanan chat dengan penjual secara langsung.
b. Dari segi pembayaran
Pada bai’as-salam setelah terjadi kesepakatan pembayaran harus segera dilakukan
dimana pembayaran paling lama adalah tiga hari dari kesepakatan diadakan, jika
melebihi jangka waktu tersebut maka transaksi dianggap batal. Kemudian sama
konsepnya dalam transaksi e-commerce jangka waktu pembayaran juga dibatasi
yaitu paling lama 1x24 jam. Namun pembayaran bisa dilakukan melalui berbagai
metode yang tentu belum dikenal pada peradaban Islam jaman dahulu yaitu
diantaranya melalui transfer bank, transfer melalui ATM, pembayaran dengan
perantara pihak ketiga seperti melalui minimarket ataupun akun dompet digital
yang dimiliki oleh pembeli, seperti gopay, ovo, shopeepay, dana, dan lain
sebagainya. Jika dalam transaksi bai’as-salam masih dimungkinkan terjadi
pembayaran secara langsung maka dalam transaksi e-commerce tidak mungkin
dilakukan karena antara penjual dan pembeli tidak akan pernah bertemu secara
langsung.
c. Dari segi pengiriman dan penerimaan barang

Nurul Afifah and Nur Lailatul Musyafa’ah, “ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI
10

ONLINE,” Jurnal Hukum Bisnis Islam 9, no. 1 (2019): 118–37.


Dalam transaksi bai’as-salam pengiriman barang dapat langsung diserahkan dari
penjual kepada pembeli karena pada dasarnya hanya konsep pesanan yang ada
disini. Pembeli juga dapat mengambil langsung barang yang dibelinya ke penjual
setelah waktu yang disepakati habis. Jika barang dikirimkan oleh pihak penjual
maka biaya pengiriman akan ditanggung oleh pihak pembeli. Pada transaksi
bai’as-salam sebenarnya tidak ada pembahasan khusus mengenai pengiriman dan
penerimaan barang, yang diatur hanya jangka waktu dari pembayaran dilakukan
oleh pembeli sampai barang tersebut sampai di tangan pembeli yaitu kisaran
antara waktu paling cepat satu jam dan paling lama satu bulan, tetapi para pihak
juga dapat menentukan lain jangka waktunya Namun dalam transaksi e-
commerce, pengiriman menggunakan jasa pihak ketiga yaitu pihak ekspedisi
untuk mengirimkan barang. Jangka waktu antara pengiriman barang dan
penerimaan barang juga dapat diprediksi tergantung dari ekspedisi yang dipilih
sendiri oleh pembeli dan bergantung dari jarak antara pembeli dengan penjual.
Permasalahan utama dalam transaksi e-commerce adalah bagaimana cara pembeli
untuk memastikan bahwa barang yang dibelinya adalah barang yang sesuai dengan
keinginannya karena pada hakikatnya pembeli memiliki hak khiyar atau hak memilih
yang bisa langsung didapatkan jika pembeli membeli barang secara langsung. Pada e-
commerce pembeli hanya akan memilih produk berdasarkan kriteria yang diinginkannya
dan dengan melihat gambar atau video yang dicantumkan oleh penjual. Untuk itulah
hak khiyar harus tetap dilaksanakan sekalipun transaksi dilakukan melalui e-commerce.
Caranya adalah pembeli dapat mengembalikan barang yang diterimanya jika memang
barang tersebut tidak sesuai dengan informasi atau kriteria yang dicantumkan di dalam
platform e-commerce. Adanya hak khiyar ini bukan berarti akan menimbulkan kerugian
bagi pihak penjual yang dimanfaatkan oleh pembeli untuk sembarangan mengembalikan
barangnya. Hak khiyar hanya diberlakukan ketika barang yang sampai ke tangan
pembeli tidak sesuai dengan kriteria yang telah disepakati dan bukan karena pembeli
tidak suka setelah barang sampai di tangannya. Hak khiyar memang melindungi hak
pembeli namun juga jangan sampai melukai hak penjual.
KESIMPULAN
E-commerce merupakan bentuk perkembangan teknologi yang datang dari sektor
perdagangan. Jika sebelumnya transaksi jual beli hanya dapat dilakukan jika ada
pertemuan antara penjual dan pembeli di waktu dan tempat yang sama, saat ini jual beli
dapat dilakukan tanpa terbatas ruang dan waktu selama transaksi dilakukan melalui
media elektronik yang tersambung dengan internet. Namun yang menjadi persoalan
dulunya e-commerce belum dikenal dijaman peradaban Islam pada masa Rasulullah
sehingga dasar hukumnya tentu tidak ada. Untuk itu dicarilah perjanjian serupa yang
mirip dengan jual beli e-commerce yaitu jual beli yang disebut dengan bai’as-salam.
Bai’as-salam merupakan jenis jual beli dimana pembayaran langsung dilakukan namun
penerimaan barangnya ditunda. Baik transaksi melalui e-commerce ataupun bai’as-
salam memiliki persamaan yaitu pembayaran dilakukan terlebih dahulu secara tunai
baru kemudian beberapa hari setelahnya sesuai dengan kesepakatan yang ada barang
akan diterima oleh pembeli. Terdapat beberapa perbedaan antara bai’as-salam dengan
transaksi jual beli e-commerce yaitu dari segi penawaran, pembayaran, dan pengiriman.
Dari segi penawaran, pada e-commerce produk yang ditawarkan dipajang melalui
etalase produk yang ada pada website sementara pada bai’as-salam pembeli masih
dapat melihat langsung produk yang akan dibeli. Kemudian dari segi pembayaran,
sama-sama dilakukan secara tunai hanya saja metode pembayaran e-commerce jauh
lebih beragam yaitu bisa melalui transfer bank ataupun minimarket terdekat. Kemudian
dari segi pengiriman, untuk bai’as-salam, penjual dapat mengirimkan langsung
produknya sementara e-commerce, penjual harus memakai jasa ekspedisi untuk
mengirimkan barang. Sementara untuk jangka waktu bai’as-salam dari pembayaran
sampai ke penerimaan barang adalah maksimal satu bulan atau sesuai dengan
kesepakatan antara penjual dan pembeli. Sementara untuk e-commerce jangka waktu
dapat dipilih langsung oleh pembeli saat check out barang yang diinginkan. Terdapat hal
yang harus diwaspadai dalam transaksi e-commerce yaitu hak khiyar yang dimiliki oleh
pembeli.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Panji. Fikih Muamalah Adabiyah. Bandung: PT Refika Aditama, 2018.
Afifah, Nurul, and Nur Lailatul Musyafa’ah. “ANALISIS HUKUM ISLAM
TERHADAP JUAL BELI ONLINE.” Jurnal Hukum Bisnis Islam 9, no. 1 (2019):
118–37.
Asnawi, Haris Faulidi. Transaksi Bisnis E-Commerce Persfektif Islam. Yogyakarta:
Magistra Insania Press, 2004.
Dhinarti, Larasati, and Firda Amalia. “E-Commerce Dalam Perspektif Fiqh Muamalat.”
Conference on Islamic Management, Accounting, and Economics (CIMAE)
Proceeding 2 (2019): 162–69.
Fitria, Tira Nur. “BISNIS JUAL BELI ONLINE (ONLINE SHOP) DALAM HUKUM
ISLAM DAN HUKUM NEGARA.” Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam 3, no. 1
(2017): 52–62.
Hidayat, Enang. Fiqih Jual Beli. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015.
Khalamillah, Fahmi. “Transaksi Jual Beli Online (E-Commerce) Dalam Perspektif
Hukum Islam.” Jurnal Munich Personal RePEc Archive, 2019.
Muhammad, Mahmudah Mulia. “TRANSAKSI E-COMMERSE DALAM EKONOMI
SYARIAH.” Jurnal El-Iqtishady 2, no. 1 (2020): 76–86.
Nadianti, Nazhara Azka, and Arif Rijal Anshori. “Tinjauan Fikih Muamalah Terhadap
Praktik Jual Beli Dengan Sistem Cashback Di Tokopedia.” Jurnal Riset Ekonomi
Syariah (JRES) 3, no. 1 (2023): 27–34.
Z, Wahida. “PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI
ONLINE DENGAN MODEL PERIKLANAN.” Al-Ilmu: Jurnal Keagamaan Dan
Ilmu Sosial 7, no. 1 (2022): 156–79.
CEK PLAGIASI

Anda mungkin juga menyukai