Anda di halaman 1dari 22

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Landasan Pendidikan Islam Dr. Tarwilah, M.Ag & Dr. Hj. Suraijiah, M.Pd

Pengertian dan Hakekat Pendidikan Islam


Word View Pendidikan Islam
Landasan Pendidikan Islam
(Landasan Normatif/Hadharatun Nash; Hadhartul Falsafah; Hadharatul `Ilmi)

OLEH
Adi Maryadi : 230211020054

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-
Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " Pengertian dan
Hakekat Pendidikan Islam, Word View Pendidikan Islam, dan Landasan Pendidikan
Islam (Landasan Normatif/Hadharatun Nash; Hadhartul Falsafah; Hadharatul
`Ilmi)" dengan tepat waktu.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Tarwilah, M.Ag & Dr.
Hj. Suraijiah, M.Pd, selaku Dosen pengampu mata pelajaran Landasan Pendidikan
Islam. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Landasan
Pendidikan Islam. Selain itu, mudah-mudahan makalah ini bisa sedikit membantu
kita dalam menambah wawasan tentang Pendidikan Islam itu sendiri.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Banjarmasin, 29 Semptember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAAN .................................................................................................. 3
C. Pengertian dan Hakikat Pendidikan Islam ................................................... 3
D. Word View Pendidikan Islam ..................................................................... 10
E. Landasan Pendidikan Islam (Landasan Normatif/Hadharatun Nash;
Hadhartul Falsafah; Hadharatul `Ilmi) ............................................................. 13
BAB II ................................................................................................................... 16
PENUTUP ............................................................................................................. 16
F. Kesimpulan ................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan
manusia. Karena pendidikan sealau menjadi pembincangan hangat di tengah-tengah
masyarakat sekalipun ia tidak mengerti pendidikan, bahkan dimanapun dan
kapanpun pendidikan selalu dibicarakan bahkan diperdebatkan. Begitupun di
negara yang paling maju, pendidikan pasti menjadi isu yang sangat krusial dan pasti
ada sebagian kalagan yang mengkritik. Hal ini menunjukkan bahwa pembicaraan
tentang pendidikan tidak akan berhenti selagi masih ada kehidupan dimuka bumi
ini.
Pada dasarnya pengertian pendidikan menurut (UU SISDIKNAS No 20
tahun 2003) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya utuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya
dan masyarakat.
Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’
dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses
atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Pendidikan adalah juga merupakan dari upaya untuk membantu manusia
memperoleh kehidupan yang bermakna, sehingga diperoleh suatu kebahagiaan
hidup baik secara individu maupun kelompok. Sebagai proses, pendidikan
memerlukan sebuah sistem yang terprogram dan mantap, serta tujuan yang jelas
agar arah yang dituju mudah dicapai1. Pendidikan adalah upaya sengaja, pendidikan
merupakan suatu rancangan dari proses suatu kegiatan yang memiliki landasan
dasar yang kokoh, dan arah yang jelas sebagai tujuan yang hendak dicapai.

1
Jalauddin. Teologi Pendidikan.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. 2003. Hal. 81

1
Dalam bahasa Arab pengertian pendidikan, sering digunakan beberapa
istilah antara lain, al-ta’lim, al-tarbiyah, dan al-ta’dib, al-ta’lim berarti pengajaran
yang bersifat pemberian atau penyampaian pengetahuan dan ketrampilan. Al-
tarbiyah berarti mengasuh mendidik dan al-ta’dib lebih condong pada proses
mendidik yang bermuara pada penyempurnaan akhlak/moral peserta didik 2.
Namun, kata pendidikan ini lebih sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang
berarti pendidikan.
Selanjutnya kata pendidikan ini dihubungkan dengan Agama Islam, dan
menjadi satu kesatuan yang tidak dapat diartikan secara terpisah. Pendidikan agama
Islam (PAI) merupakan bagian dari pendidikan Islam dan pendidikan Nasional,
yang menjadi mata pelajaran wajib di setiap lembaga pendidikan Islam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan beberapa pernyataan diatas, maka dirasa perlu untuk
memaparkan beberapa rumusan tentang:
1. Bagaimanakah pengertian dan hakikat pendidikan islam ?
2. Bagaimanakah world view pendidikan islam
3. Landasan Pendidikan Islam (Landasan Normatif/Hadharatun Nash;
Hadhartul Falsafah; Hadharatul `Ilmi)

2
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001) 86-88

2
BAB II
PEMBAHASAAN

A. Pengertian dan Hakikat Pendidikan Islam


Tugas manusia yang pertama adalah menjadi hamba Allah yang taat,
sebagaimana firman Allah dalam Al Quran Surat Adz-Dzariyat 56, yang artinya:
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mengabdi (ibadah)
kepadaKu.“
Dalam rangka menjalani tugasnya tersebut, Allah telah membekali manusia
dengan ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam firman-Nya “Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya…” (Al-Baqarah: 31)3 . Inilah
cikal bakal ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada manusia pertama dari Sang
Pemilik Ilmu. Selain kepada nabi Adam AS., Allah SWT juga memberikan hikmah
(kenabian, kesempurnaan ilmu dan ketelitian amal perbuatan) kepada para nabi dan
rasulnya. Kepada para rasul pula, Allah menurunkan kitab suci sebagai sumber ilmu
pengetahuan. Firman Allah: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat
Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan
kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang
belum kamu ketahui” (QS. 2:151). Dalam beberapa ayat-Nya pula, Allah memberi
tempat yang istimewa kepada muslim yang memiliki ilmu.
Pengertian Pendidikan Islam sudah sering dikemukakan oleh para ahli
ataupun pakar pendidikan Islam. Menurut Ibn Maskawaih, pendidikan Islam
bertujuan pada dua aspek yaitu manusia dan akhlaknya4. Pendidikan akhlak dalam
pandangan Ibn Maskawaih menghendaki terwujudnya sikap yang muncul secara
spontan dari manusia yang melahirkan perbuatan yang bernilai baik, guna
memperolah kebahagiaan dan kesempurnaan hidup.

3
Q.S Al-Baqarah :31
4
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,(Jakarta: Rajawali Pers, 1998),h.
7

3
Perkembangan zaman telah mempengaruhi pemikiran tentang pendidikan
Islam, meskipun tetap dalam ranah tujuan yang sama yaitu nilai-nilai Islam, namun
lebih spesifik pada objek yang menjadi tujuan pendidikan Islam. Diantaranya
Ahmad D. Marimba, menurutnya pendidikan agama Islam adalah “bimbingan
jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”5.
Defenisi yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Muhammad Quthb
bahwa pendidikan Islam adalah “Pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya,
ruhani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilan serta segala aktifitasnya, baik
berupa aktifitas pribadi maupun hubungannya dengan masyarakat dan
lingkungannya yang didasarkan pada nilai-nilai moral Islam”6.
Pada aspek lain ketika melihat kepada tugas utama manusia diciptakan,
menurut Armai Arief, pendidikan Islam adalah sebuah proses yang dilakukan untuk
menciptakan manusia seutuhnya; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta
mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi yang
berdasarkan kepada ajaran Al-Qur‟an dan Sunnah7.
Semua pengertian itu dapat dirangkumkan dari hasil Konfrensi Pendidikan
Islam se-dunia di Islamabad Pakistan tahun 1980 bahwa pendidikan Islam
seharusnya mengarah kepada pertumbuhan yang seimbang dari keseluruhan
kepribadian seseorang seperti pertumbuhan spiritual, intelektual, jasmani, rohani
dan lain-lain untuk mencapai kesempurnaan hidup yang diridhai oleh Allah SWT”8.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa para ahli pendidikan
Islam berbeda pendapat mengenai rumusan pendidikan Islam. Namun dari berbagai
perbedaan pendapat tersebut terdapat titik persamaan; bahwa pendidikan agama
Islam adalah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada peserta didik

5
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al Ma‟arif,
1962), h. 19
6
Saifullah, Muhammad Quthb dan Sistem Pendidikan Non Dikotomik, (Yogyakarta: Suluh
Press, 2005), h. 44
7
Armai Areif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2002), h. 16
8
Lihat Zulmuqim, Filsafat Pendidikan Islam, (Padang: Baitul Hikmah, 2004), h. 16

4
dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim yang dilaksanakan
dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.
Beberapa referensi yang ditemukan tentang pendidikan Islam menyebutkan
bahwa dasar pendidikan itu mengacu pada dua hal yaitu dasar ideal dan dasar
operasional. Said Ismail Ali dalam buku Hasan Langgulung menyebutkan, bahwa
dasar ideal pendidikan Islam terdiri dari 6 macam yaitu: AlQur’an, Sunnah, kata-
kata sahabat, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, hasil pemikiran
para pemikir Islam. Berikut penulis paparkan satu persatu.
A. Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai dasar dari pendidikan Islam karena dalam al-Qur’an
meliputi kekuasaan Allah SWT, cerita orang-orang terdahulu, hukum amali
yang berkaitan dengan ibadah, tingkah laku apapun yang timbul dari manusia.
Sedangkan keistimewaan Al-Qur’an dalam usaha pendidikan manusia adalah:
1) Menghormati akal manusia termasuk dalam soal aqidah, perintah dan
kewajiban banyak ayat Al-Qur’an yang mengajak manusia untuk
menggunakan akalnya.
2) Bimbingan ilmiah. Dalam Al-Qur’an terdapat banyak masalah
metafisika, tetapi sebenarnya hal tersebut merupakan jawaban dari
persoalan bangsa Arab waktu itu. Salah satunya adalah Surat Al-Isra‟
ayat 85:
‫ىْو َماْأوتيتمْمنَ ْالعلمْإآلْقَلي ا‬
ْ‫ل‬ َ ‫عنْْالرْوْحْقلْالروحْمنْأَمر‬
َ ‫ْرب‬ َْ َْْ‫ويَسْْئ َلْوْنَك‬
Artinya: dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh
itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit”.
3) Tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Dalam pembentukan dasar-
dasar hukum, pokok pangkal aturan dan berbagai segi kehidupan, Al-
Qur’an menjaga penuh prinsip-prinsip ini, misalnya dalam pengharaman
arak adalah dengan bertahap, sampai masyarakat siap untuk
menerimanya.

5
4) Penggunakan cerita-cerita untuk tujuan pendidikan disamping sebagai
hiburan, cerita-cerita ini bisa dijadikan model atau tauladan bagi
pembentukan watak dan tingkah laku manusia.
B. Sunnah
Sunnah menurut pengertian bahasa berarti tradisi yang bisa dilakukan,
atau jalan yang dilalui (althariqah al-maslukah) baik yang terpuji maupun yang
tercela. As-Sunnah adalah segala sesuatu yang dinukilkan kepada Nabi SAW
berupa perkataan, perbuatan, taqrirnya, ataupun selain dari itu9. Termasuk juga
sifat-sifat, keadaan, dan cita-cita (himmah) Nabi SAW yang belum kesampaian.
Robert L. Gullick dalam Muhananad the Educator menyatakan bahwa
Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju
kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar serta melahirkan ketertiban dan
stabilitas yang mendorong perkembangan budaya Islam, serta revolusi sesuatu
yang mempunyai tempo yang tak tertandingi dan gairah yang menantang. Dari
sudut pragmatis, seseorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang
pangeran diantara para pendidik10. Ini menunjukkan bahwa Muhammad bukan
hanya sebagai nabi, tetapi juga sebagai pemimpin, ahli militer, negarawan dan
pendidik umat manusia.
Posisi sunnah sebagai dasar pendidikan Islam tidak dapat dilepaskan
dari pribadi Nabi yang mempraktekkan sikap dan amal baik kepada keluarga
dan sahabatnya serta mereka juga mempraktekkannya kepada orang lain.
Konsepsi dasar pendidikan yang dicontohkan Nabi tersebut dapat dilihat
sebagai berikut:
1) Disampaikan sebagai rahmatan lil ‘alamin (Q. S alAnbiya‟: 107)
2) Disampaikan secara universal
3) Materi yang disampaikan bersifat mutlak (Q. S al-Hijr: 9)
4) Posisi Nabi sebagai evaluator atas segala aktifitas pendidikan (Q. S.
al-Syura: 48)
5) Perilaku Nabi sebagai teladan bagi umatnya (Q. S alAhzab: 21)

9
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1978), h. 13-14
10
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991), h. 113

6
F. Kata-kata sahabat
Sahabat adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi SAW dalam
keadaan beriman dan tidak dalam keadaan beriman juga11. Upaya sahabat Nabi
SAW dalam pendidikan Islam sangat me- nentukan bagi perkembangan
pemikiran pendidikan dewasa ini. Upaya yang dilakukan oleh Abu Bakar al-
Shiddiq, misalnya, mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushhaf yang
dijadikan sebagai sumber utama pendidikan Islam; meluruskan keimanan
masyarakat dari pemurtadan dan memerangi pembangkang dari pembayaran
zakat. Sedangkan upaya yang dilakukan Umar bin al-Khattab adalah bahwa ia
sebagai bapak revolusioner terhadap ajaran Islam. Tindakannya dalam
memperluas wilayah Islam dan memerangi kezaliman menjadi salah satu model
dalam membangun strategi dan peluasan pendidikan Islam dewasa ini.
Sedang Utsman bin Affan berusaha untuk menyatukan sistematika
berpikir ilmiah dalam menyatukan susunan Al-Qur’an dalam situ mushhaf,
yang semua berbeda antara mushhaf satu dengan mushhaf lainnya. Sementara
Ali bin Abi Thalib banyak merumuskan konsep-konsep kependidikan seperti
bagaimana seyogianya etika peserta didik pada pendidiknya, bagaimana ghirah
pemuda dalam belajar, dan demikian sebaliknya12.
G. Kemaslahatan sosial.
Maslahatan menurut Al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Hasan
Langgulung adalah menjaga tujuan agama pada manusia yang terdiri dari 5 hal,
yaitu: menjaga agama, dirinya (jiwa raga), akalnya, keturunannya dan harta
bendanya. Perkara ini sangat erat kaitannya dengan pendidikan, terutama
berkenaan dengan nilai-nilai.
H. Nilai-nilai dan kebiasaan masyarakat.
Kalau dalam bidang perundang-undangan, nilainilai dan kebiasaan
masyarakat dijadikan dalil, maka dalam pendidikan kebiasaan masyarakat harus
diperhitungkan. Menurut Hasan Langgulung menyatakan bahwa perkara yang

11
1 Muhammad Ibn 'A1awi a1-Maliki a1-Lisaiy, Qawaid Asasiyah fi Ilm Mushthalah al-
Hadits,(Macca: Dar Sahr, 1402 H), h. 57
12
Burhan al-Islam al-Zarnuzi, Ta'lim al-Muta'aliim fi Thariq alTa'allun, (Surabaya: Salim
Nabhan, tt.), h. 15

7
sesuai dengan kebiasaan orang-orang yang dianggap baik adalah baik disisi
Allah SWT.
I. Pemikir-pemikir Islam.
Pemikir-pemikir Islam sangat mempengaruhi perkembangan
pendidikan Islam, misalnya dalam bidang falsafah, fiqih, tasawuf dan ilmu-ilmu
lain13.
Selain dasar ideal di atas, juga terdapat dasar operasional yang menjadi
landasan pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut Hasan Langgulung bahwa
landasan operasional pendidikan Islam ada enam macam yaitu historis, sosiologis,
ekonomi, politik dan administrasi, psikologis dan filosofis14. Untuk lebih jelasnya
berikut penulis paparkan satu-persatu:
a. Dasar historis
Dasar historis adalah dasar yang berorientasi pada pengalaman
pendidikan masa lalu, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan-
peraturan, agar kebijakan yang ditempuh masa kini akan lebih baik. Dasar
ini juga dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa depan, karena dasar
ini memberi data input tentang kelebihan dan kekurangan kebijakan serta
maju mundurnya prestasi pendidikan yang telah ditempuh.
b. Dasar sosiologis
Dasar sosiologis adalah dasar yang memberikan kerangka sosio-
budaya, yang mana dengan sosio-budaya itu pendidikan dilaksanakan. Dasar
ini juga berfungsi sebagai tolok ukur dalam prestasi belajar. Artinya, tinggi
rendahnya suatu pendidikan dapat diukur dari tingkat relevansi output
pendidikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Pendidikan yang
baik adalah pendidikan yang tidak kehilangan konteks atau tercabut dari akar
masyarakatnya. Prestasi pendidikan hampir tidak berguna jika prestasi itu
merusak tatanan masyarakat. Demikian juga, masyarakat yang baik akan
menyelenggarakan format pendidikan yang baik pula.

13
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-
Ma‟arif, 1995), h. 35
14
Ibid, h. 35

8
c. Dasar ekonomi
Dasar ekonomi adalah yang memberikan perspektif tentang potensi-
potensi finansial, menggali dan mengatur sumber-sumber, bertanggung
jawab terhadap rencana dan anggaran pembelanjaannya. Oleh karena
pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang luhur, maka sumbersumber
finansial dalam menghidupkan pendidikan harus bersih, suci dan tidak
bercampur dengan harta benda yang syubhat. Ekonomi yang kotor akan
menjadikan ketidakberkahan hasil pendidikan. Misalnya, untuk
pengembangan pendidikan, baik untuk kepentingan honorarium pendidik
maupun biaya operasional sekolah, suatu lembaga pendidikan
mengembangkan sistem rentenir. Boleh jadi usahanya itu secara materil
berkembang, tetapi tidak akan berkah secara spiritual. Peningkatan ilmu
pengetahuan bagi peserta didik tidak akan memiliki implikasi yang
signifikan terhadap perkembangan moral dan spiritual peserta didik.
d. Dasar politik dan administrasi
Dasar ini adalah dasar yang memberikan bingkai ideologi, yang
digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-
citakan dan direncanakan bersama. Dasar politik menjadi penting untuk
pemerataan pendidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Dasar ini
juga berguna untuk menentukan kebijakan umum (ammah) dalam rangka
mencapai kemaslahatan bersama, bukan kemaslahatan hanya untuk golongan
atau kelompok tertentu. Sementara dasar administrasi berguna untuk
memudahkan pelayanan pendidikan, agar pendidikan dapat berjalan dengan
lancar tanpa ada gangguan teknis dalam pelaksanaannya.
e. Dasar psikologis
Adalah dasar yang memberikan informasi tentang bakat, minat, watak,
karakter, motivasi dan inovasi peserta didik, pendidik, tenaga administrasi,
serta sumber daya manusia yang lain. Dasar ini berguna juga untuk
mengetahui tingkat kepuasan dan kesejahteraan batiniah pelaku pendidikan,
agar mereka mampu meningkatkan prestasi dan kompetisi dengan cara yang
baik dan sehat. Dasar ini pula yang memberikan suasana batin yang damai,

9
tenang, dan indah di lingkungan pendidikan, meskipun dalam kedamaian dan
ketenangan senantiasa terjadi dinamika dan gerak cepat untuk lebih maju bagi
pengembangan Lembaga pendidikan.
f. Dasar filosofis
Adalah Dasar filosofis Adalah dasar yang memberi kemampuan
memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem, mengontrol dan memberi
arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya. Bagi masyarakat
sekuler, dasar ini menjadi acuan terpenting dalam pendidikan, sebab filsafat
bagi mereka merupakan induk dari segala dasar pendidikan. Sementara bagi
masyarakat religius, seperti masyarakat Muslim, dasar ini sekadar menjadi
bagian dari cara berpikir di bidang pendidikan secara sistemik, radikal, dan
universal yang asas-asasnya diturunkan dari nilai ilahiyah.

B. Word View Pendidikan Islam


Pertama kali, istilah ini dikenal sebagai weltasnschauung dari filusuf
Jerman yang pertama kali digunakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) kemudian
diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai worldview. Aliran Idealisme dan
Romantisisme Jerman menggunakan istilah tersebut untuk menyatakan sebuah
perangkat kepercayaan yang menjadi dasar dan membentuk pikiran dan perbuatan
manusia.15 Worldview sendiri mempunyai arti sebagai pandangan dunia yang
kemudian kita sebut sebagai pandangan hidup.
James H Olthuis menyatakan bahwa worldview adalah suatu kerangka
berfikir, atau keyakinan-keyakinan mendasar tentang visi kita terhadap dunia dan
visi terhadap bayangan atau ungkapan kita di masa depan nanti. Visi ini merupakan
saluran atau aliran kepada berbagai dasar keyakinan tentang petunjuk arah dalam
kehidupan. Hal tersebut terintegrasi dalam fikiran seseorang kemudian membangun
standar dalam menyikapi realitas dan berinteraksi terhadapnya, dan hal ini telah
lama menjadi dasar pemikiran dan perbuatan kita sehari-hari.16

15
James W. Sire, Naming the Elephant : Worldview as a Concept, (Downer Grove:
InterVarsity Press Academic, 2009) p. 24
16
disarikan dari pengertian James H Olthuis : “a worldview (or vision of life) is a
framework or set of fundamental beliefs through which we view the world and our calling and future

10
Wilhelm Dilthey menyatakan bahwa worldview adalah “a set of mental
categories arising fom deeply lived experience which essenially determines how a
person understands, feels and responds in action to what he or she perceives of the
surrounding world and the riddle it presents” yang artinya “worldview adalah
seperangkat kategorisasi secara mental yang timbul dari pengalaman yang
mendalam yang akan mempengaruhi cara pemahaman manusia, perasaan, dan
responnya dalam tindakan mengkompromikan dunia serta realita di dalamnya.”17
Nietzsche meyakini bahwa worldview adalah suatu entitas kultural yang
tercipta dalam diri manusia berdasarkan (tunduk terhadap) konteks situasi
geografis-historis, dan kepentingannya. Hal tersebut berkemungkinan akan
membatasi struktur pemikiran, keyakinan, dan tingkah laku dari manusia tersebut.
Kesemuanya adalah merupakan kreasi subyektif dari pengetahuan manusia yang
berdasarkan konteks 11indak mereka dalam memandang alam.18
Dalam mendifinisakn worldview para ulama juga banyak menyumbangkan
pemikiran. Menurut Al-Maududi, worldview adalah Islāmī Naẓariyyah yang berarti
pandangan hidup yang dimulai dari konsep tentang keesaan Tuhan yang mendorong
dan memengaruhi arah, maksud, dan tujuan keseluruhan kehidupan manusia di
dunia.19

in it. This vision need not be fully articulated ; it may be so internalizad that it goes largely
unquestioned, it may not explicitelly developed into systematic concception of life, it may not to be
theoritically deepended into a philosophy, it may not even be codified into creedal form, it may be
greatly refined through cultural-historical developmen. nvertheless, this vision is a channel for the
ultimate beliefs which give direction and to life. it is the integrative and interpretative framework
by which order and disosterare judged, it is standard by which reality is managed and pursued, it
is the set of hinges on which all our everyday thinking and doing turns.” “On Worldviews” dalam
Stained Glass : Worldviews and Social Science. Pengertian ini dikutip dari buku James W. Sire, The
Universe Next Door, (Downer Grove:InterVarsity Press Academic, 2009) p. 18
17
James W. Sire, Naming the Elephant…, p. 27
18
disarikan dari pengertian worldview menurut Friedrich Nietzsche “worldview are
cultural entities which people in a given geographical location and historical contexts are
dependent upon,
subordinate to, and products of,.... a weltanschauung provides this necessary well defined
boundary
that structures the thoughts, beliefs, and behavior of a people. They are the subjective creations of
human knowers in formative social contexts who ascribe their outlook to nature.” Pengertian ini
dikutip dari buku James W. Sire, Naming the Elephant…, p. 28
19
Mawdudi, A. Al-A. The Process of Islamic Revolution. (Lahore: Islamic Publications
1967) p. 41

11
Hampir sama dengan al-Mawdudi, Sheykh Atif al-Zayn mengartikan
worldview sebagai al-Mabda’ al-Islâmî (Islamic Principle) yang berarti aqîdah
fikriyyah (kepercayaan yang rasional) yang berdasarkan pada akal. Sebab setiap
muslim wajib beriman kepada hakikat wujud Allah, kenabian Muhammad SAW,
dan kepada al- Qur’an dengan akal. Iman kepada hal-hal yang ghaib berdasarkan
cara penginderaan yang diteguhkan oleh akal sehingga tidak dapat dipungkiri lagi.
Iman kepada Islam sebagai dîn yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW
untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya dan lainnya.20
Masih bertumpu pada akidah, Sayyid Qutb mengartikan worldview Islam
dengan istilah al-Tasawwur al-Islâmî (Islamic Vision), yang berarti akumulasi dari
keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap muslim, yang
memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat di balik itu.21
Dari beberapa pernyataan diatas, penulis mengambil beberapa pemahaman
tentang worldview itu sendiri. Sekilas pengertian diatas sama-sama menitik
beratkan manusia sebagai subjek, namun bila pernyataan-pernyataan tersebut
dilihat lebih jeli lagi, maka maka akan terlihat perbedaannya masing-masing
worldview. Worldview Barat lebih menekankan akal sebagai alat ukur dan standar
dalam mengukur kebenaran. Melihat dari sosial dan budaya di sekitar masyarakat
Barat, hanya terbatas pada yang dapat dibaca oleh pancaindra berupa hal-hal yang
bersifat fisik. Barat menyimpulkan bahwa worldview hanya menjelaskan
seperangkat komitmen dan mental yang ada di dalam diri setiap orang, didapatkan
dari pengalaman dan diaplikasikan dalam tindakan. Jadi, setiap tindakannya
merupakan hasil dari sebuah pengalaman yang telah dilaluinya, dan pandangan
barat tentang worldview yang hanya dipandang melalui perkembangan yang
dipengaruhi oleh kondisi, iklim, ras, kebangsaan yang berbeda, yang ditentukan
oleh sejarah dan melalui organisasi politik, waktu dan era. Ini menunjukkan bahwa
pandangan mereka hanya apa yang bisa dilihat oleh mata saja dan bersifat fisik saja.
Oleh karena Islam menekankan bahwa worldview Islam tidak hanya berbicara yang

20
Shaykh Âthif al-Zayn, al-Islâm wa Idulujiyyat al-Insân, (Beirut: Dâr al- Kitâb al-
Lubnânî, 1989), p. 13.
21
M. Sayyid Qutb, Muqawwamât al-Tasawwur al-Islâmî, (Beirut: Dâr al-Shurûq, tt),
p. 41

12
zahir tetapi juga batin, worldview Islam akan melahirkan pemikiran, perilaku dan
sikap yang baik, membuat umatnya melaksanakan nilai-nilai kebaikan kapan pun
dan di mana pun berada.

C. Landasan Pendidikan Islam (Landasan Normatif/Hadharatun Nash;


Hadhartul Falsafah; Hadharatul `Ilmi)
Masalah dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum menyebabkan
degradasi perkembangan ilmu pengetahuan dan krisis metodologi ilmiah. Krisis di
dunia pengetahuan dan pendidikan Islam saat ini menyebabkan tradisi ilmiah
menjadi statis. Akhirnya, kehadiran pendidikan Islam belum sepenuhnya
menunjukkan perannya dalam menciptakan peradaban maju, seperti masa kejayaan
Islam pada abad 8-13 yang lalu. Hal-hal tersebut harus diatasi dengan masalah
kekurangan sehingga orang-orang dan pendidikan Islam dapat mengalami
pertumbuhan, kemajuan, dan kembali ke kemakmurannya.
Seperti lembaga-lembaga pendidikan agama yang hanya mempelajari mata
pelajaran agama dan tidak memasukkan ilmu-ilmu umum kedalamnya. Bahkan, ada
juga yang menyebutkan jika mempelajari ilmu-ilmu umum yang berasal dari Barat
akan membawa kepada kekafiran dan haram hukumnya. Akibatnya yaitu dunia
Islam sekarang ini belum mampu bersaing dengan dunia luar yang telah mampu
dan canggih baik dari bidang teknologi dan ilmu pengetahuannya. Selain itu,
keilmuan umum yang tidak berdasarkan nilai-nilai keagamaan akan bebas nilai dan
tidak memperdulikan nilai-nilai moralitas dan kemanusiaan. Ini akan berdampak
kepada kehidupan manusia seperti perang saudara dimana-mana, krisis makna
hidup dan lain sebagainya.22 Dikotomi kedua ilmu ini sangat membekas di hati umat
Muslim. Seperti halnya di atas, sebagian orang masih terkesan bahwa ilmu
keislaman adalah satu hal dan ilmu non-keislaman adalah hal lain. Keadaan
demikian sangatlah merugikan kaum muslim. Kerugian yang dirasakan oleh umat
muslim ialah mulai mundurnya keilmuan Islam. Penyebabnya yaitu mereka yang

22
2Hasan Basri Jumin, Sains dan Teknologi dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2012), cet. I, h. 2

13
menganggap keilmuan non-keagamaan tidak penting, sedangkan antara keduanya
tidak dapat dipisahkan.
Berdasarkan kondisi seperti di atas, muncullah beberapa tokoh yang
berusaha untuk menyatukan kembali keilmuan Islam dengan umum. Di dunia Islam
itu sendiri, tokoh yang telah berjasa seperti Naquib al-Attas23 yang sangat terkenal
dalam penyatuan kembali dikotomi keilmuan ini. Selain itu, penyatuan ini juga
dilakukan oleh seorang sastrawan Indonesia seperti Kuntowijoyo.24 Di samping
kedua tokoh yang telah disebutkan di atas, tidak kalah pentingnya sosok intelektual
yang juga berpengaruh dalam penyatuan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan
seperti M. Amin Abdullah. Ia adalah seorang pemikir sekaligus intelektual
Indonesia yang berusaha menyatukan dikotomi keilmuan Islam dengan ilmu umum.
Gagasannya yang terkenal yaitu tentang integrasi-interkonektif keilmuan agama
dan umum. Usaha ini langsung diaplikasikan di UIN Sunan Kalijaga sewaktu ia
menjabat sebagi rektor di Perguruan Tinggi Islam itu. Integrasi-interkonetif M.
Amin Abdullah didasarkan atas paradigma agama dan sains atau paradigma
penyatuan dan terpadu antara agama dan sains.
Paradigma ini mengandaikan terbukanya dialog di antara ilmu-ilmu.
Peluang terjadinya dikotomi tertutup rapat. Tiga peradaban yang ada di dalamnya
yaitu budaya teks (Hadarah al-Nas), budaya ilmu (hadarah al-‘ilm) dan yang
terakhir budaya filsafat (hadarah al-falsafah). Gagasan ini bertujuan untuk
memecahkan kebuntuan dari problematika kekinian sehingga terhindar dari sifat
arogansi keilmuan (single entity), terjadi isolasi berbagai bidang ilmu atau tidak

23
Ia adalah seorang tokoh intelektual yang berasal dari Bogor, Jawa Barat. Lahir pada
tanggal 5 September 1931. Usaha penyatuan antara ilmu agama dan sains al-Attas ini disebabkan
karena melemahnya akhlak yang dimiliki oleh umat Islam dan tidak lagi seperti akhlak yang
dicontohkan oleh Nabi SAW. Tujuan islamisasi oleh al-Attas ini bukan untuk melemahkan agama
tatapi menunjukkan keistimewaan dari ajaran Islam yang tertuang dalam kitab suci al-Qur’an. Cara
yang diberikan dalam islamisasi ilmu pengetahuan al-Attas yaitu dengan membersihkan unsur-unsur
yang tidak mempunyai nilai-nilai islami dalam sebuah ilmu pengetahuan serta menghiasi nilai-nilai
keislaman ke dalam ilmu pengetahuan agar menjadi nilai-nilai yang sempurna. Lihat Ilyas Hasan
dan Dian R. Basuki, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2002), h. 157
24
5Ia adalah seorang sejarawan dan sastrawan Indonesia. Ia dilahirkan di Bantul,
Yogyakarta pada 18 September 1943 dan meninggal pada 22 Februari 2005. Penyatuan antara
ilmu-ilmu keislamanan dengan ilmu pengetahuan umum yaitu dengan konsep integralisasi yaitu
pemaduan antara wahyu dan pengetahuan manusia dan secara objektifikasi yaitu produk ilmu
harus benar-benar bersifat

14
adanya saling tegur (isolated entities).25 Penyatuan ini dilakukan dengan
memposisikan dan menghubungkan antara agama dan sains secara tegas dan jelas.
Paradigma integrasi interkonektif ini dibangun oleh Amin Abdullah sebagai
respons atas persoalan masyarakat yang terjadi di era modern sekarang ini. Gagasan
ini sebagai jawaban dari Amin Abdullah terkait dengan adanya dikotomi antara
keilmuan Islam dengan keilmuan umum. Asumsi yang dibangun dalam paradigma
ini adalah dalam memahami kompleksitas fenomena-fenomena yang terjadi di
dalam kehidupan manusia baik dalam segi keilmuan apapun seperti ilmu agama,
sosial, humaniora dan lain sebagainya tentu saja tidak dapat berdiri sendiri dan
saling terkait dan membutuhkan. Menurut Badarussyamsi, adanya keterkaitan serta
saling menyatunya antara satu ilmu dengan ilmu lainnya seperti ilmu agama dan
ilmu sains serta ilmu-ilmu yang ada dapat membantu dalam memecahkan
permasalahan yang ada dalam kehidupan manusia.26
Jadi dapat dikatakan bahwasannya paradigma ini membuka pandangan baru
bagi manusia beragama dan ilmuwan agar lebih terbuka dan tidak saling
menyalahkan antara satu ilmu dengan ilmu lain serta antara disiplin ilmu semakin
mencair meskipun masih ditemukan batas-batas atau blok dalam keilmuan.
Paradigma integrasi-interkonektif menurut Amin Abdullah pada hakikatnya
ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang keilmuan, termasuk antar
pendekatan yang dipakai dalam kajian sebenarnya saling memiliki keterkaitan
karena memang yang dibidik oleh seluruh disiplin ilmu adalah realitas dan alam
semesta yang sama hanya saja dimensi dan fokus perhatian yang dilihat oleh
masing-masing disiplin ilmu berbeda. Oleh karena itu usaha untuk pemilahan
secara dikotomis antara bidang-bidang keilmuan hanya akan merugikan diri sendiri.
oleh karena itu mengkaji suatu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang
keilmuan yang lainnya itulah integrasi dan melihat ketersalingkaitan antara
berbagai disiplin ilmu itulah interkoneksi.27

25
Siswanto, Perspektif Amin Abdullah tentang Integrasi Interkoneksi Dalam Kajian Islam,
jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, vol. 3. No. 2. Tahun 2013. h. 379
26
Badarussyamsi, B. (2015). Spiritualitas Sains Dalam Islam: Mengungkap Teologi
Saintifik Islam. MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 39(2).
27
Roni Ismail dkk, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan UIN Sunan Kalijaga: Sebuah
Interpretasi dan Aplikasi, h. 40

15
BAB II
PENUTUP

D. Kesimpulan
Penyataan para pakar ditemukan tentang pendidikan Islam menyebutkan
bahwa dasar pendidikan itu mengacu pada dua hal yaitu dasar ideal dan dasar
operasional.dimana Pendidikan dasar ideal meliputi: AlQur'an, Sunnah, kata-kata
sahabat, kemaslahatan sosial, nilai-nilai dan kebiasaan sosial, hasil pemikiran para
pemikir Islam. Sedangkan Pendidikan dasar operasional meliputi: historis,
sosiologis, ekonomi, politik dan administrasi, psikologis dan filosofis.
Kemudian berbicara masalah worldview atau pandangan hidup, bahwa
terdapat beberapa pemahan yang berbeda antara para pakar, kemudian terbentuklah
dua kesimpulan dimana worldview barat menitik beratkan bahwa pandangan
mereka hanya apa yang bisa dilihat oleh mata saja dan bersifat fisik saja, sedang
para ahli muslim tidak hanya berbicara yang zahir tetapi juga batin, worldview
Islam akan melahirkan pemikiran, perilaku dan sikap yang baik, membuat umatnya
melaksanakan nilai-nilai kebaikan kapan pun dan di mana pun berada
Gagasan integrasi-interkonektif yang dibangun oleh salah satu tokoh yaitu
Amin Abdullah mampu menyatukan kembali bidang keilmuan agama dan umum
dengan menggunakan pendekatan sirkular dan model trikotomi yaitu
menggabungkan antara hadarat an-nas, hadarat al’ilm dan hadarat al-falsafah.
Dengan penyatuan ini diharapkan tidak ada lagi dikotomi antara pendidikan agama
dan pendidikan umum. Namun paradigma ini tidak mudah untuk diaplikasikan,

16
DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,(Jakarta: Rajawali Pers,


1998)
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al
Ma‟arif, 1962),

Armai Areif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat
Press, 2002)

Badarussyamsi, B.. Spiritualitas Sains Dalam Islam: Mengungkap Teologi


Saintifik Islam. MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, (2015)

Burhan al-Islam al-Zarnuzi, Ta'lim al-Muta'aliim fi Thariq alTa'allun, (Surabaya:


Salim Nabhan, tt.)

Jalauddin. Teologi Pendidikan.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. 2003.

Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya


Media Pratama, 2001)

Saifullah, Muhammad Quthb dan Sistem Pendidikan Non Dikotomik, (Yogyakarta:


Suluh Press, 2005)

Zulmuqim, Filsafat Pendidikan Islam, (Padang: Baitul Hikmah, 2004)

Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1978)

Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991)

Muhammad Ibn 'A1awi a1-Maliki a1-Lisaiy, Qawaid Asasiyah fi Ilm Mushthalah


al-Hadits,(Macca: Dar Sahr, 1402 H)

Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung:


Al- Ma‟arif, 1995)

Hasan Basri Jumin, Sains dan Teknologi dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2012)

Ilyas Hasan dan Dian R. Basuki, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern,
(Bandung: Mizan, 2002)

James W. Sire, Naming the Elephant : Worldview as a Concept, (Downer Grove:


InterVarsity Press Academic, 2009)

17
James W. Sire, The Universe Next Door, (Downer Grove:InterVarsity Press
Academic, 2009)

Mawdudi, A. Al-A. The Process of Islamic Revolution. (Lahore: Islamic


Publications 1967)

M. Sayyid Qutb, Muqawwamât al-Tasawwur al-Islâmî, (Beirut: Dâr al-Shurûq, tt),

Roni Ismail dkk, Integrasi-Interkoneksi Keilmuan UIN Sunan Kalijaga: Sebuah


Interpretasi dan Aplikasi,

Shaykh Âthif al-Zayn, al-Islâm wa Idulujiyyat al-Insân, (Beirut: Dâr al- Kitâb al-
Lubnânî, 1989)

Siswanto, Perspektif Amin Abdullah tentang Integrasi Interkoneksi Dalam Kajian


Islam, jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, vol. 3. No. 2. Tahun 2013.

18
19

Anda mungkin juga menyukai