Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Koding adalah kegiatan memberikan kode diagnosa utama sekunder sesuai dengan ICD-
10 (International Statical Classification of Disease Related Health Problems) yang
diterbitkan oleh WHO serta memberikan kode tindakan atau prosedur sesuai dengan ICD-9
CM. Koding sangat penting dalam sistem pembiayaan prospektif yang akan menentukan
besarnya biaya yang dibayarkan kefasilitas Kesehatan (Depkes, 2016).
Ketepatan kode sangat diperlukan agar informasi yang dihasilkan dari diagnosa dan
tindakan medis tepat. Oleh karena itu, petugas koding perlu mengikuti pelatihan terkait tata
cara penentuan kode yang tepat dan akurat. Ketepatan dalam memberikan kode diagnosa
dan tindakan medis dipengaruhi oleh petugas pengkode yang menentukan kode tersebut
berdasarkan data yang ada dalamrekam medis (Adiputra, 2020).
Ketidaktepatan penentuan kode diagnosis pasien berpengaruh terhadap kelancaran
pelayanan kesehatan, seperti kesalahan prosedur medis, terhambatnya proses klaim,
pencatatan angka kesakitan yang tidak tepat, terhambatnya perencanaan dan evaluasi
pelayanan kesehatan. Ketidaktepatan dalam pengkodean diagnosis disebabkan oleh
beberapa unsur, yaitu unsur metode seperti tersedianya Standard Operasional Prosedur
(SOP) mengenai pengkodean, kemudian unsur sarana dan prasarana seperti kualitas
dokumen rekam medis yang disediakan oleh pihak rumah sakit dan pihak penyelenggara.
Ketersediaan sarana dan sarana penunjang komunikasi, dan unsur sumber daya manusia
seperti tulisan dokter yang sulit dibaca, penggunaan singkatan yang tidak baku, koder yang
tidak mengerti cara mengkode dan kurang teliti dalam pengkodean (Pertiwi, 2019). Jika
dalam pengkodean suatu penyakit tidak tepat maka akan mempengaruhi pengelolaan rekam
medis terutama keakuratan data morbiditas dan mortalitas serta terkhusus dalam penentuan
tarif pelayanan rumah sakit (Hatta, 2008).
Pneumonia adalah suatu penyakit infeksi saluran pernapasan akut yang mengenai
jaringan paru (alveoli). Penyakit ini ditandai dengan adanya batuk dan atau kesukaran
bernapas yang disertai pula napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
(Dapkes RI,2005).
Hasil penelitian terdahulu yang berjudul “Analisis Faktor Penyebab Ketidaktepatan
Kode Diagnosis Penyakit Diabetes Mellitus Di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya”
diketahui bahwa dokumen yang memiliki kode tidak tepat sebanyak 13 dokumen rekam
medis (62%) dan dokumenyang memiliki kode tepat sebanyak 8 dokumen rekam medis
(38%). Terdapat beberapa faktor penyebab yang mempengaruhi ketidaktepatan kode seperti
kompetensi koder, pengetahuan koder, serta pengalaman koder dan dokumen rekam medis,
baik kelengkapan pengisian maupun cara pendokumentasiannya. Solusi yang dapat
diusulkan peneliti yaitu, mengikutsertakan koder dan tenaga medis dalam pelatihan dan
sosialisasi terkait penentuan kode diagnosis khususnya penyakit Diabetes Mellitus (Loren,
2020).
Penelitian Kevin Girato 2020, yang berjudul Analisis Ketepatan Kode diagnose penyakit
Bronchitis pasien rawat jalan dengan motede fishbone di rumah 4 sakit X Tangerang jumlah
prosentase ketepatan kode diagnosis bronchitis pasien rawat jalan tahun 2019 dari 82 sampel
yaitu untuk kode diagnosis tepat sebesar 65 kasus (79%) dan kode diagnosis tidak tepat
sebesar 17 kasus (21%). Penyebab yang paling dominan terjadinya ketidaktepatan kode
diagnosis bronchitis pada pasien rawat jalan dengan motede Fishbone yaitu factor manusia
dan mesin.
Berdasarkan survei awal yang saya lakukan di RSUD Dr.Pirngadi, di peroleh informasi
bahwa Pneumonia termasuk dalam data 10 penyakit terbesar di RSUD Pirngadi. Faktor
penyebab ketidakakuratan kode diagnose Pneumonia disebabkan karena ketidaklengkapan
data dalam pengisian resume medis. Oleh karena itu, Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor yang mempengaruhi ketepatan koding pasien rawat inap di RSUD
Dr.Pirngadi

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut adapun rumusan permasalahan dalam penelitian ini
yaitu faktor - faktor apa saja yang mempengaruhi ketepatan koding pneumonia Pasien
Rawat Inap di RSUD Dr. Pirngadi Tahun 2024

1.3 Tujuan Penelitian


1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketepatan koding Pneumonia
pasien rawat inap di RSUD Dr. Pirngadi
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik petugas menurut tingkat pengetahuan
terhadap ketepatan koding Pneumonia pasien rawat inap di RSUD Dr. Pirngadi
Tahun 2024
b. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik petugas menurut pelatihan koding yang
pernah diikuti terhadap ketepatan koding diagnose koding Pneumonia pasien rawat
inap di RSUD Dr. Pirngadi Tahun 2024.
c. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik petugas menurut lama bekerja terhadap
ketepatan koding koding Pneumonia pasien rawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Tahun
2024.
d. Untuk mengetahui pengaruh kelengkapan rekam medis pengisian formulir asesmen
terhadap ketepatan koding diagnose koding Pneumonia pasien rawat inap di RSUD
Dr. Pirngadi Tahun 2024.
e. Untuk mengetahui pengaruh kelengkapan rekam medis pengisian formulir resume
medis terhadap ketepatan koding koding Pneumonia pasien rawat inap di RSUD Dr.
Pirngadi Tahun 2024.
Untuk mengetahui pengaruh kelengkapan pemeriksaan penunjang terhadap ketepatan
koding diagnose koding Pneumonia pasien rawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Tahun 2024.

1.4 Manfaat Penelitian.


1. Bagi Rumah Sakit Sebagai bahan masukan untuk pengambilan kebijakan dalam
penentuan ketepatan kode diagnosa di RSUD Dr. Pirngadi
2. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan bagi bagi
mahasiswa, khususnya pada Program Studi Sarjana Terapan Manajemen Informasi
Kesehatan.
3. Bagi Mahasiswa Menambah pengetahuan dan referensi mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi ketepatan koding pada diagnosa pneumonia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Respirasi


Sistem respirasi adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung O2
(Oksigen) kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2
(Karbondioksida) sebagai sisa dari oksidasi keluar tubuh. Peristiwa mengirupkan udara ini
disebut inspirasi menghembuskannya disebut eksirasi. Respirasi internal adalah proses
pertukaran gas antara darah sirkulasi dan sel jaringan (Molenaar, 2014).
Sistem respirasi adalah system yang memiliki fungsi utama untuk melakukan respirasi
dimana respirasi merupakan proses mengumpulkan oksigen dan mengeluarkan
karbonduoksida. Fungsi utama respirasi adalah untuk memastikan bahwa tubuh
mengekstrak oksigen dalam jumlah yang cukup untuk metabolisma sel dan melepaskan
karbondioksida.
2.2 Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan yang biasanya mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiulus terminalis mencakup bronkiolus respiratori, alveoli dan menimbulkan
konsolidasi jaringan paru. Pneumonia adalah keadaan inflamsi akut yang terdapat pada
parenkim paru (bronkiolus dan alveoli paru), penyakit ini merupakan penyakit infeksi
karema di timbulkan oleh bakteri, virus, atau jamur (Padila, 2013).
Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat 10 konsolidasi dan
terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus,
jamur, dan benda-benda asing. Pneumonia dikelompokkan menurut agen Pneumonia
bakteri terjadi akibat inhalasi mikroba yang ada di udara. Aspirasi organisme dari
nasofaring (penyebab pneumonia bakterialis yang paling sering) atau penyebaran
hematogen dari fokus infeksi yang jauh. Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran
pernapasan, masuk ke bronkhiolus dan alveoli lalu menimbulkan reaksi peradangan hebat
dan menghasilkan cairan edema yang kaya protein dalam alveoli dan jaringan interstitial
(Kusuma, 2016).

A. Anatomi
Gambar 2.1 Anatomi Pernapasan
Sumber: Misnadiarly, 2008

1) Hidung
Tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali naris anterior yang
dindingnya tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang rawan. Permukaan luarnya
dilapisi kulit dengan kelenjar sebasea besar dan rambut. Terdapat epitel respirasi: epitel
berlapis silindris bersilia bersel goblet dan mengandung sel basal. Didalamnya ada
konka nasalis superior, medius dan inferior. Lamina propria pada mukosa hidung
umumnya mengandung banyak pleksus pembuluh darah.
2) Alat penghidu
Mengandung epitel olfaktoria: bertingkat silindris tanpa sel goblet, dengan
lamina basal yang tidak jelas. Epitelnya disusun atas 3 jenis sel: sel penyokong, sel basal
dan sel olfaktoris
3) Sinus paranasal
Merupakan rongga-rongga berisi udara yang terdapat dalam tulang tengkorak
yang berhubungan dengan rongga hidung. Ada 4 sinus: maksilaris, frontalis, etmoidalis
dan sphenoidalis.
4) Faring
Lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran napas dan makanan menyatu dan
menyilang. Pada saat makan makanan dihantarkan ke oesophagus. Pada saat bernapas
udara dihantarkan ke laring. Ada 3 rongga : nasofaring, orofaring, dan laringofaring.
Mukosa pada nasofaring sama dengan organ respirasi, sedangkan orofaring dan
laringofaring sama dengan saluran cerna. Mukosa faring tidak memilki muskularis
mukosa. Lamina propria tebal, mengandung serat elastin. Lapisan fibroelastis menyatu
dengan jaringan ikat interstisiel. Orofaring dan laringofaring dilapisi epitel berlapis
gepeng, mengandung kelenjar mukosa murni.
5) Laring
Organ berongga dengan panjang 42 mm dan diameter 40 mm. Terletak antara
faring dan trakea. Dinding dibentuk oleh tulang rawan tiroid dan krikoid. Muskulus
ekstrinsik mengikat laring pada tulang hyoid. Muskulus intrinsik mengikat laring pada
tulang tiroid dan krikoid berhubungan dengan fonasi. Lapisan laring merupakan epitel
bertingkat silia. Epiglotis memiliki epitel selapis gepeng, tidak ada kelenjar. Fungsi
laring untuk membentuk suara, dan menutup trakea pada saat menelan (epiglotis).
Ada 2 lipatan mukosa yaitu pita suara palsu (lipat vestibular) dan pita suara (lipat
suara). Celah diantara pita suara disebut rima glotis. Pita suara palsu terdapat mukosa
dan lamina propria. Pita suara terdapat jaringan elastis padat, otot suara ( otot rangka).
Vaskularisasi: A.V Laringeal media dan Inferior. Inervasi: N Laringealis superior.

6) tarkea
Tersusun atas 16 – 20 cincin tulang rawan. Celah diantaranya dilapisi oleh
jaringan ikat fibro elastik. Struktur trakea terdiri dari: tulang rawan, mukosa, epitel
bersilia, jaringan limfoid dan kelenjar.
7) Bronchus
Cabang utama trakea disebut bronki primer atau bronki utama. Bronki primer
bercabang menjadi bronki lobar  bronki segmental  bronki subsegmental. Struktur
bronkus primer mirip dengan trakea hanya cincin berupa lempeng tulang rawan tidak
teratur. Makin ke distal makin berkurang, dan pada bronkus subsegmental hilang
sama sekali. Otot polos tersusun atas anyaman dan spiral. Mukosa tersusun atas
lipatan memanjang. Epitel bronkus : kolumnar bersilia dengan banyak sel goblet dan
kelenjar submukosa. Lamina propria : serat retikular, elastin, limfosit, sel mast,
[9]
eosinofil.

8) Bronchiolus
Cabang ke 12 – 15 bronkus. Tidak mengandung lempeng tulang rawan, tidak
mengandung kelenjar submukosa. Otot polos bercampur dengan jaringan ikat longgar.
Epitel kuboid bersilia dan sel bronkiolar tanpa silia (sel Clara). Lamina propria tidak
mengandung sel goblet.
9) Bronchiolus respiratorius

Merupakan peralihan bagian konduksi ke bagian respirasi paru. Lapisan : epitel


kuboid, kuboid rendah, tanpa silia. Mengandung kantong tipis (alveoli).
10) Duktus alveolaris
Lanjutan dari bronkiolus. Banyak mengandung alveoli. Tempat alveoli bermuara.
11) Alveolus
Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis. Tempat terjadinya
pertukaran oksigen dan karbondioksida antara darah dan udara yang dihirup.
Jumlahnya 200 - 500 juta. Bentuknya bulat poligonal, septa antar alveoli disokong
oleh serat kolagen, dan elastis halus.
Sel epitel terdiri sel alveolar gepeng ( sel alveolar tipe I ), sel alveolar besar ( sel
alveolar tipe II). Sel alveolar gepeng ( tipe I) jumlahnya hanya 10% , menempati 95 %
alveolar paru. Sel alveolar besar (tipe II) jumlahnya 12 %, menempati 5 % alveolar.
Sel alveolar gepeng terletak di dekat septa alveolar, bentuknya lebih tebal, apikal
bulat, ditutupi mikrovili pendek, permukaan licin, memilki badan berlamel. Sel
alveolar besar menghasilkan surfaktan pulmonar. Surfaktan ini fungsinya untuk
mengurangi kolaps alveoli pada akhir ekspirasi. Jaringan diantara 2 lapis epitel
disebut interstisial. Mengandung serat, sel septa (fibroblas), sel mast, sedikit limfosit.
Septa tipis diantara alveoli disebut pori Kohn. Sel fagosit utama dari alveolar disebut
makrofag alveolar. Pada perokok sitoplasma sel ini terisi badan besar bermembran.
Jumlah sel makrofag melebihi jumlah sel lainnya.
12) Pleura
Membran serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini mengandung serat elastin,
fibroblas, kolagen. Yang melekat pada paru disebut pleura viseral, yang melekat pada
dinding toraks disebut pleura parietal. Ciri khas mengandung banyak kapiler dan
pembuluh limfe. Saraf adalah cabang n. frenikus dan n. interkostal.

B. FISIOLOGI SISTEM PERNAFASAN


1) Sistem Respirasi
a. Fisiologi ventilasi paru
Masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru. Pergerakan udara ke
dalam dan keluar paru disebabkan oleh:
1. Tekanan pleura : tekanan cairan dalam ruang sempit antara pleura paru dan pleura
dinding dada. Tekanan pleura normal sekitar -5 cm H2O, yang merupakan nilai
isap yang dibutuhkan untuk mempertahankan paru agar tetap terbuka sampai
nilai
istirahatnya. Kemudian selama inspirasi normal, pengembangan rangka dada akan
menarik paru ke arah luar dengan kekuatan yang lebih besar dan menyebabkan
tekanan menjadi lebih negatif (sekitar -7,5 cm H2O).
2. Tekanan alveolus : tekanan udara di bagian dalam alveoli paru. Ketika glotis
terbuka dan tidak ada udara yang mengalir ke dalam atau keluar paru, maka
tekanan pada semua jalan nafas sampai alveoli, semuanya sama dengan tekanan
atmosfer (tekanan acuan 0 dalam jalan nafas) yaitu tekanan 0 cm H2O. Agar udara
masuk, tekanan alveoli harus sedikit di bawah tekanan atmosfer. Tekanan sedikit
ini (-1 cm H2O) dapat menarik sekitar 0,5 liter udara ke dalam paru selama 2
detik. Selama ekspirasi, terjadi tekanan yang berlawanan.
3. Tekanan transpulmonal : perbedaan antara tekanan alveoli dan tekanan pada
permukaan luar paru, dan ini adalah nilai daya elastis dalam paru yang cenderung
mengempiskan paru pada setiap pernafasan, yang disebut tekanan daya lenting
paru.
b. Fisiologi kendali persarafan pada pernafasan
Terdapat dua mekanisme neural terpisah bagi pengaturan pernafasan.
1. Mekanisme yang berperan pada kendali pernafasan volunter. Pusat volunter
terletak di cortex cerebri dan impuls dikirimkan ke neuron motorik otot
pernafasan melalui jaras kortikospinal.
2. Mekanisme yang mengendalikan pernafasan otomatis. Pusat pernafasan otomatis
terletak di pons dan medulla oblongata, dan keluaran eferen dari sistem ini terletak
di rami alba medulla spinalis di antara bagian lateral dan ventral jaras
kortikospinal. Serat saraf yang meneruskan impuls inspirasi, berkumpul pada
neuron motorik
N.Phrenicus pada kornu ventral C3-C5 serta neuron motorik intercostales externa
pada kornu ventral sepanjang segmen toracal medulla. Serat saraf yang membawa
impuls ekspirasi, bersatu terutama pada neuron motorik intercostales interna
sepanjang segmen toracal medulla.

C. Etiologi
Etiologi pneumonia yaitu bakteri, virus, jamur dan benda asing. Berdasarkan
anatomis dari struktur paru yang terkena infeksi, pneumonia dibagi menjadi
pneumonia lobaris, pneumonia lobularis (bronkhopneumonia), dan pneumonia
intersitialis (bronkiolitis). Bronkhopneumonia merupakan penyakit radang paru yang
biasanya didahului dengan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas dan
disertai dengan panas tinggi. Keadaan yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh,
yaitu aspirasi, penyakit menahun, gizi kurang/malnutrisi energi protein (MEP), faktor
patrogenik seperti trauma pada paru, anestesia, pengobatan dengan antibiotika yang
tidak sempurna merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya bronkhopneumonia.
Menurut WHO diberbagai negara berkembang Streptococus pneumonia dan
Hemophylusinfluenza merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada dua pertiga dari
hasil isolasi, yaitu 73,9% asdan pirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah
(Kusuma, 2016).

D. Patofisologi

E. Tanda dan Gejala Pneumonia


Tanda dan gejala dari diagnosa Pneumonia (DiGiulio Mary, 2014). sebagai
berikut:
a) mukus Nafas pendek karena inflamasi pada paru-paru pertukaran gas
terganggu
b) Kesulitan bernafas (dyspnea) karena inflamasi dan mukus pada paru-paru
c) Demam karena proses infeksi
d) Kedinginan karena suhu badan naik
e) Batuk karena produksi
f) Terdengar suara serak karena ada cairan di dalam rongga alveolar
g) Ronchi karena lendir di dalam jalur nafas, mendesis karena inflamasi di dalam
jalur nafas yang lebih besar.
h) Dahak tak berwarna mungkin bercak darah karena oritasu di jalur nafas atau
mikroorganisme menyebabkan infeksi.
i) Takikardia dan tachypnea ketika tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen.
j) Sakit ketika bernafas karena inflamasi pleuritic, efusi pleural atau atelactasi.
Sakit kepala, nyeri otot (myalgia), sakit tulang sendi atau mual dapat terjadi
tergantung pada organisme yang menginfeksi
k) mukus Nafas pendek karena inflamasi pada paru-paru pertukaran gas
terganggu l) Kesulitan bernafas (dyspnea) karena inflamasi dan mukus pada
paru-paru

F. Pengobatan
pneumonia Terapi awal yang dapat digunakan pada pengobatan pneumonia
adalah antibiotic. Antibiotik merupakan obat yang dapat menghambat atau
menhentikan pertumbuhan sel bakteri, antibiotik yang dapat diberikan yaitu antibiotik
spectrum sempit misalnya sefriakson atau ampisilin, maupun pemberian antibiotic
dengan spectrum luas seperti kuinolon dan sefalosporine (Rusmini, 2016).
8

Anda mungkin juga menyukai