Anda di halaman 1dari 28

Kelas IX-H

Sutradara Misterius: • Desi Damayanti (Leila)


• Helsa Nurjanah
• Nabila Maulani • Raia Andy A
(Ana/Mahasiswa)
• Alisha Lafina Supriadi • Angga Wahyu A
• Fierli Alfiana P
• Helsa Nurjanah •
(Jessica/Mahasiswa)
Narator: Dwi Alisa Sumarno P Babak 4
Kankan Abdul M (Mashud)
Tim Properti Albiya Mufti A (Wartawan luar
Albiya Mufti A (Wakil Mahasiswa)
negri)
• M.Alif Akbar P
Virny Widara (Koordinator
• Revanza Zulvi H Kameramen (Angga Wahyu)
Lapangan 1)
• Saepul Ripki A
Dani Saputra (Amien Rais)
• Rizqi Nurfalah Nabila Maulani (Koordinator
M.Ade Jaelani (Komando Aparat) lapangan 2)
Tim Makeup & Busana
Virny Widara (Koordinator Aparat:
• Fierli Alfiana P Lapangan 1)
• Indri Noviyanti • Zilbran Maulana Z
• Rena Susilawati Nabila Maulani (Koordinator • Hafidz Rizwan F
lapangan 2)
Tim Backsound Taufan Januar (Satgas)
Seluruh Mahasiswa
• Nabila Maulani
• Alisha Lafina S Babak 7
• M.Alif Babak 5
Mahasiswa:
Alisha Lafina S (Wartawan dalam
• Desi Damayanti (Leila)
Babak 1 negri)
• Shinta Rian Ayu A
Alya Yuniar Fadilah (Ana/Mahasiswa) Wartawan pembawa kamera • Raia Andy A
(Rena Susilawati) • Indri Noviyanti
Naylla Artila • Rizki Raffiansyah
(Jessica/Mahasiswa) Wartawan pembawa kamera
(Alisha Lafina S) • Hafidz Rizwan F
• Galih Amesti P
Kameramen (Angga Wahyu)
Babak 2 Tim Medis:
Taufan Januar (Satgas)
Masyarakat: • Aghni Syakira
Albiya Mufti A (Wakil Mahasiswa) • Suci Mulyaning R
• Helsa Nurjanah
M.Ade Jaelani (Komando Aparat) • Arif Wahyudin
• Rena Susilawati
• Ahmad Nasrul S Nasrul S Revanza Zulvi H (Dekan FE)
• Arif Wahyudin Babak 8
Mahasiswa:
• Hafidz Rizwan F
• M Padli (Elang) Revanza Zulvi H (Rektor UI)
Alisha Lafina S (Pembawa
acara/Berita) • Fahri Rifai Alisha Lafina S (Wartawan dalam
(Frankie) negri)
Dwi Alisa Sumarno P • Mia Pauziah (Leila)
(Ibu/Masyarakat) • Galih Amesti P Kameramen (Angga Wahyu)

Farel Teandra S • Indri Noviyanti


(Bapak/Masyarakat) • Rizki Raffiansyah
Babak 9
Para Demostran
Ahmad Nasrul S (Teman Bapak)
Babak 3
Farel Teandra S (Bapak)
Mahasiswa: Babak 6
Dwi Alisa Sumarno P (ibu)
• Alya Yuniar Fadilah(Ana) Rafif A (Komando Aparat)
Shinta Rian Ayu A (Masyarakat)
• Mia Pauziah (Leila) Mahasiswa:
• Naylla Artila (Jessica) Kankan Abdul M (Oknum)
• F a h r i • M. Rizki
Helsa Nurjanah (Ana)
(Frankie)
• Yasmin Salsabila (Hana) • J i h a n M.Alif Akbar P (B.J Habibie)
Kankan Abdul M (Nurcholis
Madjib)

Babak 12THO (Koordinator M.Alif Akbar P (B.J Habibie)


Lapangan 1)
Babak 10 Bagus Muhammad I (Sintong)
Nabila Maulani (Koordinator
Naylla Artila (Jessica) lapangan 2)
Dani Saputra (Amien Rais)
Euis Nurmalasari (ibu) Mahasiswa:
Markus Jekssen S (Aparat)
Sonia Nuraeni(Anak)
M.Ade Jaelani (Komando aparat)
Bandit: • Rizki Raffiansyah
1. M Fahri
• Galih Amesti P Alisha Lafina S (Wartawan dalam
2. M Rizki
• Indri Noviyanti negri)
Alya Yuniar Fadilah
Hafidz Rizwan F (Syarwan Hamid)
(Ana)
Rizqi Nurfalah (Harmoko)
Babak 14
Listiana (ibu) Suci Mulyaning R (Wartawan luar
negeri) Indri Noviyanti (Istri Soeharto)
Luthfy (Bapak)
Saepul Ripki A (Presiden Soeharto)
Babak 11
Babak 13 Mahmoud A (B.J Habibie)
Ahmad Nasrul S (Pria)
(Presiden
Bagus Muhammad I (Sintong)
Revan (Gubernur BI) Soeharto)
Rizqi Nurfalah (Harmoko)
S a n d i Markus Jekssen S (Direktur
(Mentri Pertambangan) Paramadina) Alisha Lafina S (Wartawan dalam
A t h a H i l a l (Wartawan dalam negri)
M.Rijki Julistio (Prof.Malik Fadjar)
negri) Alya yuniar Fadilah (Ana)
(Koordinator Akri Mahasiswa) ADI SAEPUDIN (Gusdur)
Naylla Artila (Jessica)
Hafidz Rizwan F (Syarwan Hamid) Angga Wahyu (Emha Ainun
Babak 15
Nadjid)
Rizqi Nurfalah (Harmoko)
Alya Yuniar (Ana)
Syahrul (Ali Yafie)
Naylla Artila (Jessica)
M Rifa Arraudhah H(Ma’ruf

Amin)
Babak 1

Siang hari, di sekitaran wilayah Ibu Kota. Seorang perempuan melangkahkan kakinya, menuju sebuah kursi yang hanya
bermuat untuk dua orang, di pinggir trotoar jalanan. Ana terduduk. Terduduk di samping seseorang, yang sepertinya sudah
menunggunya beberapa menit yang lalu. Ini adalah pertemuan pertama mereka, setelah 25 tahun lamanya tidak pernah
saling berkomunikasi.

Ana (Helsa Nurjanah) : Hi

Ana menyapanya. Tetapi, ia tidak langsung menjawab sapaannya itu, melainkan ia menoleh kepada Ana, sembari tertawa
kecil. Ana terdiam. Yang ia rasakan sekarang hanya rasa canggung.

Ana (Helsa Nurjanah) : "How are you"


Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “I guess, Good?"
Ana menoleh kepadanya. Nampak jelas ekspresi muka Jessica yang nampak sedih. Jessica menghela napasnya, dan
berkata.

Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Do you remember, Ana?”


Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Itu sudah sangat lama. Tetapi, Jalan ini membawa
kenangan besar yang tidak akan pernah bisa terlupakan.”

Ana langsung mengarahkan pandangannya menuju jalanan besar yang berada di hadapannya. Ia pun menjawab.

Ana (Helsa Nurjanah) : "Aku juga. Ini membuat aku juga seperti terbawa kembali pada momen
saat itu.” (Ana menoleh kepada Jessica).
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Belum genap 25 tahun. Tapi aku masih ingat, kita turun ke jalanan kota ini.
mempertaruhkan Jiwa, raga kita, hanya agar suara dan aspirasi kita terdengar
oleh mereka.”

Babak 2
Pagi hari yang cerah dengan suasana yang amat mengagumkan di pinggir Kota Jakarta. Para warga tengah sibuk melakukan
aktivitas sehari-harinya.

Suara Berita
Berita hari ini. Nilai tukar rupiah merosot dengan cepat dari rata-rata Rp.2.500 per Dolar AS menjadi Rp.17.000 Juni 1998.
Harga kebutuhan pokok meroket, sejumlah industri dan, perusahaan gulung tikar.
Suara berita televisi menggema di ruangan. Memberitakan nilai tukar rupiah yang meroket dengan cepat. Bapak menonton
berita tersebut dengan pakaian santai sehari-hari nya, sembari menyeruput secangkir kopi.
Ibu menghampiri Bapak, sambil membawa sepiring nasi beserta lauk pauknya, dan memberikan sepiring nasi tersebut
kepada Bapak.

Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Pak, beras di dapur tinggal sedikit lagi. Bagaimana kebutuhan makan untuk
besok?”
Bapak (Farel Teandra Septiansyah) : “Bapak ge lieur. Komo Bapak keuna PHK. Geus wé lah, pake duit pesangon
Bapak, Mudah-mudahan cukup keur hirup urang sapopoe.”
Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Ya mana cukup uang pesangon sebesar Rp.155.000 untuk sehari-hari kita.
Apalagi keadaan kita sekarang sedang krisis, ditambah lagi, anak kita sedang
kuliah. Bagaimana kita membayar uang kuliah semesternya?”

(Bapak menghela napas, sambil mendengarkan ocehan Ibu).


Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Sekarang hitung saja kebutuhan sehari-hari kita. Beras dan minyak saja masing-
masing harganya sudah mau menyentuh Rp.5.000, belum lagi kebutuhan pokok
lainnya. Belum lagi ditambah uang semester anak kita untuk kuliah.”

(Karena, sudah terlalu kesal dan sangat pusing mendengarkan ocehan sang istri, Bapak meninggalkan Ibu dan sepiring
nasinya di ruangan. Tak lama kemudian, Hana menghampiri Ibu, mendekatinya dan, bersimpuh di hadapannya. Lalu berkata).

Hana ((Rena Susilawati : “Bu. Aku berangkat kuliah dulu. Mohon doanya.”
Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Iya, hati-hati, Ibu doakan kuliahnya lancar.”

Setelah Hana melenggang pergi dari rumah, Ibu hanya bisa menatap Hana dari belakang. Sambil menghela napas dirinya
hanya bisa berdoa yang terbaik untuk kedepannya.

Babak 3
Di halaman Kampus Trisakti, Pagi hari. Di Lorong kampus para mahasiswa sedang sibuk kesana kesini untuk mempersiapkan
sebuah gerakan yang akan mereka ikuti. Seorang Mahasiswa datang dan, bersapa kepada beberapa mahasiswa yang
sedang sibuk menyiiapkan spanduk untuk turun aksi nanti.

Ana (Helsa Nurjanah) : “Leila, liat Jessica ga?”


Leila (Desi Damayanti) : “Nggak, tapi coba lihat di sebelah sana.”
Ana (Helsa Nurjanah) : “Oke, makasih.”

Di sisi lain, tampak Jessica, dan Hana. Sedang asik mengobrol berduaan membicarakan sesuatu.

Ana (Helsa Nurjanah) : “What are you doing?


Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Darimana aja kamu?”

Ana tersenyum, tidak menjawab apa yang Jessica tanyakan. Ia akhirnya duduk di samping Hana, dan memulai percakapan.

Ana (Helsa Nurjanah) : “Kalian beneran mau ikutan gerakan ini?”

Jessica, dan Hana mengangguk mengiyakan. Mereka bertiga saling bertatap-tatapan kemudian tertawa. Seorang mahasiswa
pun datang dari belakang, menghampiri mereka bertiga.

Frankie (Novalian Herdiansyah) : “Na!”

Hana dan, Ana seketika menoleh ke arah suara. Lantas dengan bersamaan mereka menjawab.

Hana (Rena Susilawati) : “Apa.”


Ana (Helsa Nurjanah) : “Apa.”
Hana (Rena Susilawati) : “Eh, Kie? Ada apa?”
Frankie (Novalian Herdiansyah) : “Di panggil.”
Hana (Rena Susilawati) : “Oh, Aku duluan ya.”

Hana berdiri dari duduknya, kedua temannya itu hanya bisa melambaikan tangan, dan menatap punggung Hana, yang mulai
berjalan di belakang mengikuti Frankie, sambil sedikit bercengkrama. Sementara itu, di tempat. Kini hanya ada Ana dan,
Jessica yang terduduk, dan suasana yang sedikit canggung bagi mereka berdua.

Ana (Helsa Nurjanah) : “Alasan. Aku ingin tahu.”


Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Rasa semangat. Kalau bukan kita, siapa lagi.”
Ana (Helsa Nurjanah) : “Oh”
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Aku pergi dulu! Bye!”
Ana (Helsa Nurjanah) : “Mau kemana sihh?”

Belum sempat menjawab pertanyaan temannya, Jessica beranjak pergi, melambaikan pelan tangannya kepada Ana. Berlari
di antara Mahasiswa dan, mahasiswi yang tengah sibuk.

Malam hari, sebelum pukul 08.00. WIB. Di pinggir jalan.

Ana (Helsa Nurjanah) : “Kamu yakin pulang sendiri? Ini sudah malam. Aku khawatir.”
Hana (Rena Susilawati) : “Yakin.”
Hana (Rena Susilawati) : “Aku duluan.”
Ana (Helsa Nurjanah) : “Hati-hati!”

Dalam keheningan, di perjalanan Hana melangkahkan kakinya, tanpa sepengetahuannya ada seorang yang tengah bersiap
siap untuk membekamnya.

Hana (Rena Susilawati) : “Mau mencari siapa?”


Wanita misterius (Raia Adny) : “Tak usah banyak tanya, ikut saja!”

Hana terpaksa mengikuti mereka berdua ia dipakaikan seibo secara paksa oleh salah satu dari orang tersebut tanpa tahu
mau dibawa kemana.

Babak 4
Jam 10.00 WIB pagi hari. Mahasiswa telah berkumpul di halaman kampus. Suasana di sana begitu ramai. Banyak awak
media dari dalam maupun luar negeri berkumpul untuk meliput keadaan.

Wartawan 1 (Albiya Mufti Ariandani) : “In campus, the students gathered, following Amien Rais.
Hoping for reformation, and he guided them towards new era of
Indonesia free from Soeharto’s rezim.”

Pukul 11.00 WIB, menjelang siang hari dilakukannya aksi orasi oleh mahasiswa. Sementara itu beberapa wartawan baik dari
dalam dan luar sedang menyiarkan keadaan terkini di dalam kampus.

Koordinator Lapangan 1 (Virny Widara) : “Teman-teman, lagi-lagi kita dibohongi. Pemerintah menaikkan harga dengan
semena-mena. Dan, kita dipaksa mendekam di kampus ini!” Suara kita terus
menerus dibungkam.
Koordinator Lapangan 1 (Virny Widara) : “Apakah kita terima?”
Mahasiswa : “Tidak!”
Koordinator Lapangan 1 (Virny Widara) : “Apakah kita terima?”
Mahasiswa : “Tidak!” (mereka kompak sambil mengepalkan tangan)
Koordinator lapnagan 2 (Nabila Maulani) : “Selama ini, kita sudah menurut untuk berdemo di dalam kampus. Kita sudah
mengikuti kemauan mereka. Tapi, mereka tidak mau mengikuti kemauan kita!”
Koordinator Lapangan 2 (Nabila Maulani) : “Aspirasi kita tidak didengarkan! Sekarang, rakyat sudah Lelah! Kita pemuda-
pemudi Indonesia, mahasiswa Indonesia. Kita tidak bisa tinggal diam!”
Koordinator lapangan 2 (Nabila Maulani) : “Mulai Sekarang, Mulai detik ini juga. KITA AKAN TURUN KEJALAN!!”
Koordinator lapnagan 1 (Virny Widara) : “Reformasi!.”
Mahasiswa : “Reformasi!”
Koordinator Lapangan 1 (Virny Widara) : “Reformasi!”
Mahasiswa : “Reformasi!”
Koordinator Lapangan 1 (Virny Widara) : “Reformasi!”
Mahasiswa : “Reformasi!”

(Para demonstran turun ke jalan, sambil menyanyikan lagu Padamu Negri).

Babak 5
Siang hari, pukul 12.30 WIB. Para demonstran dengan tertibnya berjalan menuju jalan layang semanggi. Di sisi lain para
wartawan sedang menyiarkan kondisi terkini tentang situasi para pendemo.

Wartawan 2 (Alisha Lafina Supriadi) : “Hari ini, 12 Mei 1998. Para mahasiswa melakukan aksi damai di jalanan.
Bisa di lihat di belakang, para mahasiswa sedang melakukan aksi orasi dan
mimbar bebas.”

Sambil berjalan menuju Jalan Layang Semanggi, Tiba-tiba Langkah kaki para demonstran terhenti. Keadaan mulai memanas
yang dipicu oleh kedatangan beberapa aparat keamanan.
Di depan satgas mulai siaga penuh, berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang, dan mengatur massa untuk
tetap tertib pada saat turun ke jalan.

Satgas (Taufan Januar) :”Teman-teman, tolong tetap tertib dan berbaris secara rapih dan teratur pada
saat turun ke jalan.”
Pintu gerbang di buka dan massa mulai masuk ke dalam dengan perlahan menuju Gedung MPR-DPR melewati Kampus
Taruma Negara.

Sekitar pukul 13.00 WIB siang hari, tiba-tiba mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Wali Kota Jakarta Barat
oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri dua lapis barisan. Barisan satgas terdepan
pun menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa seperti ketua senat melakukan negoisasi dengan pimpinan
ketua aparat.

Wakil Mahasiswa (Albiya Mufti Ariandani) : “Tolong buka jalannya Pak”.


Komando Aparat (M. Ade Jaelani) : “Kalau nanti jalannya dibuka, mobil dan segala macamnya yang melintas
akan terganggu!”
Wakil Mahasiswa (Albiya Mufti Ariandani) : “Pak, Kita mah biasa liat mobil, kayak nggak pernah liat mobil aja!!!”

Sementara negoisasi berlangsung, massa berkeinginan untuk terus maju. Sementara di lain pihak massa yang terus tertahan
tak dapat di hadang oleh berisan satgas samping bergerak maju dari jalur sebelah kanan. Selain itu pula masyarakat mulai
bergabung di samping long march.

Wakil mahasiswa kembali dan menjelaskan hasil negoisasi.

Wakil mahasiswa (Albiya Mufti Ariandani) : “Long march tidak diperbolehkan dengan alasan kemungkinan terjadinya
kemacetan lalu lintas dan dapat menimbulkan kerusakan.”

Mahasiswa kecewa mendengarkan hasil negoisasi tersebut.

Elang (Dani Saputra) : “Kita kan di sini cuman melakukan aksi damai doang.”
Frankie (Novalian Herdiansyah) : ”Terus maju teman-teman! kali ini kita tidak bisa diam saja!”
Mahasiswa (Galih Amesti P) : ”Kali ini, suara kita harus di dengar secara langsung oleh mereka!”
Mahasiswa : “Betul !”

Massa terus mendesak untuk maju, di lain pihak pada saat yang hampir bersamaan datang penambahan aparat. Suasana
pun Kembali memanas. Akhirnya massa pun tenang. Sekitaran pukul 13.30 WIB, massa pun terduduk di pinggir trotoar, tidak
ada ketegangan diatara aparat dan mahasiswa. Para Mahasiswa bersantai sambil meminum kopi, membaca buku dan
adapun yang bercengkrama.

Aksi damai mahasiswa berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakarta Barat. Situasi tenang tanpa ketegangan
antara aparat dan mahasiswa. Sementara rekan mahasiswi membagikan bunga mawar kepada barisan aparat. Sementara
itu pula datang tambahan aparat dari Kodam Jaya dan satuan kepolisian lainnya.

Leila (Desi Damayanti) : “Teman-teman jangan pantang menyerah kalau bukan kita siapa lagi yang akan
membela kebenaran di Negeri ini.”
Frankie (Novalian Herdiansyah) : “Selama ini kita sudah terlalu lama dibungkam! kita sudah muak! Keluarkan
suara kalian agar bisa didengar oleh mereka!”
Leila (Desi Damayanti) : “Teman-teman kita sekarang ada disini, dalam aksi damai, kita menuntut
Indonesia yang baru!”
Leila (Desi Damayanti) : “Siapa yang setuju!”
Mahasiswa : “Setuju!”

Sementara mimbar terus berjalan dengan diselingi oleh yel-yel dan nyanyian-nyanyian, Negoisasi terus dilanjutkan
dengan Komandan (Dandim dan Kapolres) dengan pula dicari terobosan untuk menghubungi MPR/DPR.

Demonstran : Maju! Maju! Merubah negri, Kita Bersatu merubah negri!!!

Selang beberapa jam kemudian, Sekitar pukul 04.30 WIB, sore hari. Wakil mahasiswa datang mengumumkan hasil
negoisasi. Di mana hasil kesepakatan adalah baik aparat dan mahasiswa sama-sama mundur.

Wakil Mahasiswa (Albiya Mufti Ariandani) : ”Teman-teman, pukul 05.00 WIB sore ini, kita mundur. Ini hasil terbaik dari
negoisasi antara kita dan aparat. Kita beserta mereka akan sama-sama
mundur.”
Mahasiswa (Indri Noviyanti) : “Tidak, kita tidak mau mundur! Kita sudah setengah jalan disini.”
Mahasiswa (Rizki Raffiansyah) : “Benar, masa kita mau mundur begitu saja!”

Awalnya massa menolak, tetapi setelah di bujuk oleh Bapak Dekan FE (Fakultas Ekonomi).

Bapak Dekan FE (Revanza Zulvi A) : “Adik-adik, dengarkan. Kalau kita bernegoisasi lagi, hasilnya akan tetap
sama. Lagi pula hari sudah mau mulai malam.”
Bapak Dekan FE (Revanza Zulvi A) : “Ini sudah hasil yang terbaik.”

Mahasiswa akhirnya menerima kesepakatan yang telah dibuat. Mereka mundur perlahan-lahan, mulai banyak Mahasiswa
yang terlebih dahulu meninggalkan tempat. Namun, ada juga beberapa Mahasiswa yang memilih untuk kembali ke kampus.

Babak 6
Menjelang malam pukul 16.55 WIB, di adakan kembali dengan aparat yang mengusulkan, agar mahasiswa kembali
kedalam kampus.

Komando Aparat (M. Ade Jaelani) : “Saya mengusulkan kepada Mahasiswa agar Kembali ke kampus. Agar
perjalanan pulang ke rumah lebih tenang dan, tidak ada hambatan.”
Mahasiswa (Rizki Raffiansyah) : “Tolong, jika kalian menyuruh kami kembali ke dalam kampus, maka kalian
harus terlebih dahulu untuk mundur.”
Komando Aparat (M. Ade Jaelani) : “Baiklah, jika itu yang kalian mau. Kami, dari jajaran aparat akan mundur
terlebih dahulu.”

Kapolres dan, Dandim Jakarta Barat, beserta jajaran Aparat. Memenuhi keinginan para Mahasiswa. Dengan terlebih dahulu
untuk mundur.Para Mahasiswa akhirnya Kembali ke dalam kampus dengan tertib dan tenang. Perwakilan, dari jajaran
aparat pun menghampiri Mahasiswa

Komando Aparat (M. Ade Jaelani) : “Adik-adik, kami selaku dari jajaran Aparat, menyatakan terimakasih kepada
adik- adik karena sudah mau tertib.”

Mahasiswa bergerak mundur secara perlahan. Demikian pula aparat. Namun, tiba-tiba seorang oknum datang berteriak
mengeluarkan kata-kata kotor ke arah massa.

Mashud (Kankan Abdul M) : “ Kalian, bodoh! Mau saja disuruh.”

Para Mahasiswa, melirik kearah suara. Mahasiswa mendelik marah. Karena oknum tersebut di kira salah seorang anggota
Aparat yang menyamar. Oknum tersebut langsung berlari kearah para Aparat.

Para Mahasiswa, mengejar oknum tersebut yang berlari ke arah aparat. Menimbulkan situasi keteganga antara aparat dan
mahasiswa.

Wakil Mahasiswa (Albiya Mufti Ariandani) : “Jangan berlari!”


Koordinator Lapangan 2 (Nabila Maulani) : “Tenang semuanya, tenang. Jangan panik!”
Koordinator Lapangan 1 (Virny Widara) : “Semuanya, jangan ricuh, jangan panik.”

Ketika massa bergerak untuk mundur dan kembali ke dalam kampus, diantara barisan aparat ada yang meledek dan
menertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor pada mahasiswa.

Jajaran Aparat (Zilbran Maulana Z) : “Kaya gitu aja langsung ke pancing emosi.”
Jajaran Aparat (Hafidz Ridwan F) : “Mereka kan emang bodoh.”
Mahasiswa (M. Rizki Julistio) : “Mereka bilang, bodoh?”
Mahasiswa (Rizki Raffiansyah) : “Mereka bilang apa?”
Mahasiswa (Desi Damayanti) : “Iya, tadi aku dengar mereka bilang begitu.”

Sebagian massa Mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga orang Mahasiswa sempat terpancing dan bermaksud menyerang
aparat keamanan tetapi dapat direndam oleh satgas mahasiswa Usakti.

Satgas (Taufan Januar) : “Jangan terpancing emosi. Kembali!”


Para mahasiswa tadi Kembali. Tak lama tiba-tiba suara tembakan terdengar, Ketika situasi para Mahasiswa sedang lengah.
Mahasiswa langsng berlari tak beraturan Ketika mendengar suara tembakan. Keadaan menjadi ricuh tak tenang.
Semuanya tidak terkendali. (terdengar suara rentetan tembakan ) Dor…dor..dor…

Koordinator Lapangan 1 (Virny Widara) : “Ada apa ini?”


Koordinator Lapangan 2 (Nabila Maulani) : “Halah, cuman tembakan karet doang.” (Melirik satu sama lain).
Koordinator Lapangan 1 (Virny Widara) : ”Semuanya tetap tenang!!”

Salah satu dari mereka, ada yang mengambil foto untuk bukti kejadian. Suara tembakan kembali terdengar, Mahasiswa
kembali ricuh. Suara Istirja terdengar bersautan. Keadaan semakin ricuh.

Mahasiswa (Indri Noviyanti) : “Di sana di sana ada yang terkena tembak!”
Koordinator lapangan 2 (Nabila Maulani) : “Di mana, di mana??”

Koordinator lapangan 2 melihat ada korban yang sedang di kerumuni oleh mahasiswa yang lainnya, korban di bulak balik
sedang sekarat.

Koordinator Lapangan 1 (Virny Widara) : “Tenang! Tenang! Biar saya yang lihat keadaan di sana.”

Kepanikan terjadi, aparat melakukan penembakan yang membabi buta. Hampir setiap sisi jalan pemukulan dengan
pentungan dan popor terjadi, penendangan, juga penginjakan terhadap para mahasiswa. Termasuk Wakil mahasiswa yang
berada di antara aparat dan massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet di pinggang sebelah kanan.

Mahasiswa (M. Rizki Julistio) : “Elang kena, Elang kena!” (Koordinator lapangan 1 mengahampiri dan melihat
korban yang tertembak).
Koordinator Lapangan 1 (Virny Widara) : “Elang gimana?”

(Koordinator lapangan memegang tangan dingin Elang. Elang tidak bisa bicara, hanya bisa menghela nafas sesak).

Mahasiswa (M. Rizki Julistio) : “Wah, ini sepertinya tembakannya tembus ke dalam.”
Koordinator Lapangan 1 (Virny Widara) : “Ayo bantu. Hei, tolong bantu!”

(Koordinator lapangan 1, bersama dua orang mahasiswa menggendong Elang menuju parkiran).

Koordinator Lapanngan 1 (Virny Widara) : ‘Hentikan pendarahan terlebih dahulu!”


Mahasiswa (M. Rizki Julistio) : “Pakai apa?”
Koordinator lapangan 1 (Virny Widara) : “Eee…, itu kain, kalian punya kain bersih?”
Mahasiswa (Indri Noviyanti) : “Aku, aku, aku, aku ada!!!” (Memberikan kain bersih).
Koordinator lapangan 1 (Virny Widara) : “Mana mana, cepat berikan!”
Koordinator lapangan menerima kain dari mahasiswa tersebut lalu memberikan nya kepada mahasiswa lain yang sedang
memeriksa luka korban.

Koordinator lapangan 1 (Virny Widara) : “Sebentar, air botol, air botol!! Cuci tangan dulu.” (Mereka mencuci tangan).
Koordinator lapangan 1 (Virny Widara) : “Sekarang, tekan bagian yang terluka menggunakan kain itu.”
Koordinator Lapangan 1 (Virny Widara) : “Telepon Ambulans!”

Pukul 05.30 sore. Tembakan peluru dari jajaran aparat belum saja reda. Para Mahasiswa dengan sigap mencari tempat
persembunyian yang aman untuk mereka di dalam kampus.

Mahasiswa (Indri Noviyanti) : “Semuanya sembunyi di ruangan, jangan ada yg keluar.”


Ana (Helsa Nurjanah) : “Sembunyi, sembunyi, jangan sampai ada yang ketahuan.”
Mahasiswa (Indri Noviyanti) : “Sekarang kita harus bagaimana? teman-teman kita yang menjadi korban di
luar sana, bagaimana?”

(Seseorang tiba-tiba berlari masuk kedalam, napasnya terengah rengah).

Leila (Desi Damayanti) : “Kesini! Sembunyi!” (Orang tersebut langsung ikut bersembunyi dengan para
Mahasiswa lainnya).

Koordinator Lapangan 2 (Nabila Maulani) : “Semuanya jangan ada yang mencoba melawan, ini tembakan beneran.”

Tidak di sangka-sangka seorang mahasiswa dengan tidak sengaja-nya ia berdiri dan akhirnya tertangkap basah oleh aparat
dari luar sana. akhirnya tembakan peluru pun melesat dengan bebas masuk kedalam ruangan.

Koordinator Lapangan 2 (Nabila Maulani) : “Ssstt. Jangan sampai terlihat.”


Leila (Desi Damayanti) : “Jangan bergerak. Di luar masih ramai.”

30 menit berlalu, tembakan dari aparat mulai mereda. Tidak lama kemudian, dua orang Mahasiswa lainnya masuk kedalam
ruangan.

Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Teman-teman, sepertinya tembakan sudah mereda.”


Leila (Desi Damayanti) : “Semuanya ayo keluar! evakuasi rekan-rekan kita.”

Babak 7
Suara jerihan, rintihan kesakitan terdengar di sepanjang lorong kampus. Mahasiswa dengan kondisi yang masih
memungkinkan membantu mengevakuasi rekan-rekannya dengan segera mengobati luka-luka. Di lain tempat, korban
Dengan luka berat di larikan ke Rumah Sakit Sumber Waras.

Mahasiswa 1 (Desi Damayanti) : “Ini kompres secara perlahan memar nya.”


Mahasiswa 1 (Desi Damayanti) : “Bisa sendiri kan kompresnya?”
Mahasiswa 2 (Shinta Rian Ayu A) : “Bisa, makasih ya.”

Banyak mahasiswa yang keadaanya masih memunkinkan untuk mengobati rekannya yang kesakitan.

Mahasiswa 4 (Indri Noviyanti) : “Sakit ya? Tahan sedikit.”


Mahasiswa 3 (Raia Adny A) : “Aduh.”
Mahasiswa 4 (Indri Noviyanti) : “Habis dari mana? Mana kotak p3K nya?”
Mahasiswa 5 (Desi Damayanti) : “Ini.”
Mahasiswa 4 (Indri Noviyanti) : “Makasih ya.”
Mahasiswa 1 (Desi Damayanti) : “Ini kenapa, ini?”
Mahasiswa 6 (Rizki Raffiansyah) : “Dehidrasi.”
Mahasiswa 1 (Desi Damayanti) : “Eh ini. Minum, minum.”
Mahasiswa 6 (Rizki Raffiansyah) : “Ayo, minum dulu sedikit.”

Di Rumah Sakit Sumber Waras. Seorang tim medis menghampiri rekannya yang sedang menangani satu orang mahasiswa
yang menjadi korban dari aksi tadi.

Tim Medis (Aghni Syakira) : “Kenapa ini?


Tim Medis (Suci Mulyaning R) : “Patah tulang bagian betis.” (Memberikan hasil CT Scan patah tulang).
Tim Medis (Aghni Syakira) : “Fraktura tertutup atau terbuka.”
Tim Medis (Suci Mulyaning R) : “Fraktura tertutup.”
Tim Medis (Aghni Syakira) : “Bagaimana kronologinya?”
Tim Medis (Arif Wahyudin) : “Terguling, dan berakhir terbentur mengenai pembatas antara trotoar
dan jalanan.”
Mahasiswa (Galih Amesti P) : “Maaf menyela, sesudah itu beberapa orang menginjak dengan tidak
sengaja. Mereka berlarian panik dan, menginjak kaki saya. Aduh.”
Tim Medis (Aghni Syakira) : “Segera bawa ke ruang operasi. Hubungi dokter anestesi dan dokter
bedah segera.”
Tim Medis : “Siap! Laksanakan.”

Babak 8
Keesokan harinya, 13 Mei 1998. Setelah tragedi penembakan terjadi. Hari ini, Jumpa pers diadakan. Jajaran petinggi
Kampus memasuki ruangan.

Rektor Universitas Trisakti (Revanza Zulvi A) : “Tragedi yang kita sertakan bersama ini korban telah jatuh mereka
adalah Elang Mulia Lesmana dari Fakultas Teknik Arsitek angkatan
1996.”
Rektor Universitas Trisakti (Revanza Zulvi A) : “Kemudian, Hendriawan Sie dari Fakultas Ekonomi angkatan 1996.
Selanjutnya, Hafidin Royan dari fakultas Teknik Sipil angkatan 1996.
Kemudian, Hery hartanto dari fakultas Teknik Mesin angkatan 1995.”

Wartawan 2 (Alisha Lafina Supriadi) : “Insiden penembakan di Universitas trisakti, telah memakan empat
korban mahasiswa hingga tewas. Setelah disemayamkan di Rumah
Sakit Sumber Waras direncanakan ke empat jenazah mahasiswa
siang ini akan dimakamkan dan, akan diberangkatkan dari kampus
Universitas Trisakti.”

Babak 9
Pukul 10.00 WIB pagi hari. Masih di Tanggal 13 Mei. Pagi yang indah sebelum insiden kerusuhan itu terjadi, dengan
santainya Bapak menyiram tanaman miliknya, sambil berbincang-bincang sedikit dengan temannya.

Teman Bapak (Ahmad Nasrul S Nasrul S) : “Ey, urang mah asa teu ngarti da.”
Bapak (Farel Teandra Septiansyah) : “Teu ngarti naona?”
Teman Bapak (Ahmad Nasrul S Nasrul S) : “Nya teu ngarti wé.”
Bapak (Farel Teandra Septiansyah) : “Naha make jeung teu ngarti? Teu ngarti belah mana ieu.”
Teman Bapak(Ahmad Nasrul S Nasrul S) : “Naha tatangkalan, pepelakan kitu bisa ngahasilkeun oksigén
jeung glukosa, Cenahna mah.”
Bapak (Farel Teandra Septiansyah) : “Bet Cenah? Yeuh aya nu ngarana prosés fotosintesis.”
Bapak (Farel Teandra Septiansyah) : “Pokokna mah dina proses fotosintesis téh butuh energi nyaéta cahaya
poé, karbondioksida, jeung cai. Akhirna ngasilkeun oksigen jeung
glukosa.”
Bapak (Farel Teandra Septiansyah) : “Matakna, gawena tong sare waé.”

Secara mengejutkan ibu datang.

Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Aduh, Pak. Caina tong dihambur-hambur.”


Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Duh asa rareuwas dina warta.”
Bapak (Farel Teandra Septiansyah) : “Warta naon?”
Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “4 Mahasiswa ditembak.”
Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Duh,pak, mana si Hana tacan uih, hariwang.”
Bapak (Farel Teandra Septiansyah) : “Engke ogé uih.”
Bapak (Farel Teandra Septiansyah) : “Tong hariwang teuing.”
Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Haduh, mudah-mudahan wé Hana teu nanaon.”
Bapak (Farel Teandra Septiansyah) : “Insya Allah moal kunanaon.”
Ibu meninggalkan bapak dengan kesal ditempat. Tiba-tiba, terdengar suara kericuhan dari warga.

Teman Bapak(Ahmad Nasrul S Nasrul S) : “Eh, éta sora naon? Siga nu kaweur.”
Bapak (Farel Teandra Septiansyah) : “Sora naonnya?”
Bapak (Farel Teandra Septiansyah) : “Woi aya naon? Mani rame kitu.”

Bapak meningalkan tempatnya, Bapak berlari menuju arah suara kericuhan, kebingungan bapak bertanya kepada
masyarakat sekitar.

Bapak (Farel Teandra Septiansyah) : “Di hareup aya naon?”


Masyarakat (Shinta Rian Ayu A) : “Aya tawuran.”

Suara ricuh terdengar di mana-mana. Beberapa oknum dengan sengaja merusak fasilitas umum, seperti toko,kios,
mobil,motor dan sebagainya.

Oknum (Kankan Abdul M) : “Hei! Ayo habiskan.”


Masyarakat (Shinta Rian Ayu A) : “Sembunyi,Sembunyi.”

Ibu, dengan tiba-tiba menarik seorang mahasiswi yang tampak di kenal oleh dirinya.

Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Sini, masuk.”

Lalu membawanya masuk ke dalam rumah. Mahasiswi tersebut bingung.

Ana (Helsa Nurjanah) : “Loh, ibu?”


Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Ssstt!”
Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Hana kemana?”
Ana (Helsa Nurjanah) : “Hah?! Kok ibu nanya gitu? Emang Hana belum sampai rumah?”
Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Loh?”

Suara kericuhan semakin terdengar dekat, bapak masuk lalu mengunci pintu.

Bapak (Farel Teandra Septiansyah) : “Cepat sembunyi!”

Bapak memerintah sambil mendorang bahu Ibu dan Ana. Meski bingung, Ibu dan Ana tetap melakukan perintah Bapak.

B.J. Habibie(M. Alif Akbar) : “Saya tak habis pikir, kerusuhan menyebar begitu cepat.”
Sintong(Bagus Muhammad I) : “Iya, Pak. Semua terjadi hampir bersamaan.”
B.J. Habibie(M. Alif Akbar) : “Ya, tapi dimana para petinggi ABRI itu? Seharusnya mereka yang
menangguhkan kerusuhan. Saya mendapatkan laporan bahwa disana-sini di
bakar.”
Sintong(Bagus Muhammad I) : “Maaf, Pak. Tapi saya ada saran.”
B.J. Habibie(M. Alif Akbar) : “Saran apa itu?”
Sintong(Bagus Muhammad I) : “Sebaiknya, Bapak bertindak jadi pemegang komandan tertinggi ABRI tanah
air.”
B.J. Habibie(M. Alif Akbar) : “Yang benar saja kamu. Saya tidak mungkin melangkahi Pak Harto.”

Sintong terdiam sesaat.

Sintong(Bagus Muhammad I) : “Tapi, selama Presiden berada di luar negri, Wakil Presiden berhak
memegang komando.”
B.J. Habibie(M. Alif Akbar) : “Ya, saya tau, Sintong. Tapi apakah tidak ada acara lain.”
Sintong(Bagus Muhammad I) : “Baik, Pak. Saya akan menghubungi Pak Sa’adilah Mursyid. Semoga beliau
mendapat langsung dari presiden.”

Siang hari di Istana Kepresidenan, Wakil Presiden BJ. Habibie menjumpai awak media untuk memberikan intruksi kepada
masyarakat tentang kondisi saat ini.

B.J. Habibie(M. Alif Akbar) : ”Saya, selaku Wakil Presiden RI dengan ini menyatakan keprihatinan yang
sangat mendalam, atas peristiwa yang terjadi hari ini. Saya menyarankan
agar masyarakat bisa menahan diri, dan terus membantu menguatkan
situasi Jakarta.”

Malam harinya. Di tempat tinggal Hana.

Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Jadi, Hana dimana?”


Ana (Helsa Nurjanah) : “Perasaan kemarin lusa, Hana pamit pulang sama saya.”
Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Kalo begitu, kenapa Hana sampai sekarang belum sampai rumah?”

Mereka berdua saling terdiam dan berfikir kemana Hana pergi.

Keesokan harinya tanggal 14 Mei 1998. Suara ketukan pintu terdengar. Ibu segera membuka pintu, betapa terkejutnya ia
ketika melihat keadaan Jessica yang begitu berantakan.

Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Ya ampun Jessica! Kamu kenapa bisa seperti ini? Ayo masuk ke dalam.”
Ana (Helsa Nurjanah) : “Jessica, kamu kenapa!”
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Aku punya dosa apa? Sampai disebut China biadab!”
Ana (Helsa Nurjanah) : “Eh ini bukan salah kamu, ayo kita duduk dulu.”
Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Ayo, coba cerita.”

Babak 10
Beberapa saat sebelum perisitiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998. Jessica, berjalan di sebuah komplek yang dekat dengan
kampusnya menuju rumah. Dari kejauhan, Jessica melihat banyak orang yang ribut, rusuh, merusak sebuah mobil dan
motor yang ada. Karena bingung dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi, Jessica melanjutkan perjalanannya. Belum
lama Jessica melangkah, tiba tiba seseorang yang Jessica tidak ketahui menghadang langkahnya.

Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Siapa kalian?”


Bandit 1(Rena Susilawati) : “Kamu China biadab itu kan!”
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “China biadab?”
Bandit 1(Rena Susilawati) : “Halah, kamu gausah ngelak.”
Bandit 1(Rena Susilawati) : “Semuanya, hajar China biadab ini!”
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Eh!”

Jessica sontak terlari. Dengan tenaga yang ia miliki, ia berlari begitu cepat. Begitu cepatnya, hingga ia terjatuh. Ia bangkit
kembali, melanjutkan lariannya yang tak kenal arah. Hingga akhirnya ia masuk, kedalam gang sempit. Dirinya melihat
sebuah keluarga yang ternyata tertangkap oleh bandit.

Ibu (Aghni Syakira) : “Run! Hurry up, run!”


Anak (Shinta Rian Ayu A) : “Jangan ganggu Ibu!”

Para bandit menonjoki satu persatu anggota keluarga tersebut. Melihat itu, dirinya merasa iba ingin menolong.

Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Jangan.”


Bandit 2 (Hafidz Ridwan F) : “Eh! eh! eh! kamu pendukungnya ya?”
Bandit 2 (Hafidz Ridwan F) : “Mundur kamu!”

Langkah Jessica terhenti, dan selangkah kakinya memundurkan diri.

Ibu (Aghni Syakira) : “Jangan!”


Anak (Shinta Rian Ayu A) : “Tidak! Ibu!”
Ibu (Aghni Syakira) : “Tolong jangan!”
Anak (Shinta Rian Ayu A) : “Ibu!”

Melihat situasi dan, kondisi yang serba salah. Akhirnya, dirinya memutuskan pergi. Mencari tempat yang lebih aman. Tidak
terasa pula, air matanya tertetes jatuh, tak kuasa melihat apa yang sedang terjadi di hadapannya.
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Sorry.”

Dirinya terlari kembali. Tetapi, sial. Bandit yang tadi mengejarnya menghadangnya Kembali.

Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Mau apa kalian.”

Bandit tersebut, beserta komplotannya hanya menyeringai.

Ana dan Ibu terkejut mendengar cerita Jessica. Ibu menatap khawatir dengan mata yang sudah berkaca kaca. Ana
mengusap bahu Jessica bermaksud untuk menenangkan temannya yang sedari tadi tak berhenti menangis.

Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Aku salah apa? apakah salah aku mempunyai darah Tionghoa?”
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Ana, aku salah apa? aku punya dosa apa?”
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Aduh.., Na, sakit. Perut aku.”
Ana (Helsa Nurjanah) : “Jess, Kenapa?”
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Maag aku kambuh. Mual.”

KarenaJessica sudah tidak bisa menahan rasa sakit yang di rasakannya, Jessica pun terjatuh pingsan. Ibu panik berteriak
memanggil bapak, Ana menaruh kepala Jessica di atas pahanya.

Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Pak! Bapak! Tulungan.”


Bapak (Farel Teandra Septiansyah) : “Aya naon. Aduh, Néng Jessica kunaon?”
Ibu (Dwi Alisa Sumarno P) : “Bet nanya, tulungan heula, angkat heula. Ana, telepon Ambulans.”
Ana (Helsa Nurjanah) : “Siap Bu.”

Babak 11
15 Mei 1998, hari kepulangan Presiden Soeharto dari luar negeri ke Jakarta, melihat kondisi negeri yang tidak bisa dibilang
baik. Soeharto mengadakan pertemuan dengan beberapa orang penting yang bersangkutan.

Pria(Ahmad Nasrul S Nasrul S) : “Sedikitnya, ada 500 satuan usaha lumpuh di Jakarta. Akibatnya masif.
perekonomian lumpuh dari hulu hingga ke hilir.”
Gubernur Bank Indonesia (Markus) : “Kegiatan perbankan lumpuh total selama dua hari. Sehingga, BI tidak
mengadakan Kriling, Pak.”
Menteri pertambangan (M. Rizki Julistio) : “Walaupun terjadi kerugian dan kerusakan di depo-depo minyak Pertamina,
kami menjamin ketersediaan BBM bagi masyarakat.”

Di luar Gedung, DPR/MPR. Para demosntran berteriak ([Hidup Reformasi]) dengan sekeras-kerasnya. Sementara itu, dari
dalam Gedung DPR/MPR. Salah satunya, Yaitu Pak Harmoko sang Ketua MPR, Menyaksikan hal tersebut dari dalam
kantornya.
Wartawan 1 (Alisha Lafina Supriadi) : “Hari ini 18 Mei 1998, kontingen para ketua Lembaga Formal
Kemahasiswaan Jakarta, berkumpul di depan gerbang MPR untuk bertemu
Pimpinan Dewan. Isu utama ini, meminta agar presiden Soeharto turun dari
jabatan.”
Koordinator aksi mahasiswa (Zilbran) : “Mohon jangan berbelit-belit, Pak. Kami ingin bertemu dengan pak
Harmoko.”
Demonstran : “Betul!”
Syarwan Hamid (Hafidz Ridwan F) : “Yang penting kan, Adik-Adik sudah menyampaikan aspirasi.”
Koordinator aksi mahasiswa (Zilbran) : “Di luar sana, rakyat sudah tak percaya kepada pemerintah. Semua orang
panik dan membabi buta. Lihat saja. Mahasiswa mati ditembaki dan,
kerusuhan terjadi di mana-mana.”
Demonstran : “Betul!”
Syarwan Hamid (Hafidz Ridwan F) : “Adik-Adik, kami mengerti. Kami mendukung Adik-Adik semua."
Koordinator aksi mahasiswa (Zilbran) : “Ini bukti Soeharto sudah lepas kendali, Pak. Kami minta Soeharto
diturunkan. Dan Pak Harmoko selaku ketua MPR Republik Indonesia, harus
menemui kami. Jika bapak tidak berkenan menemui kami, maka kami akan
menginap di sini. Setuju!”
Demonstran : “Setuju!”
Demonstran : “Turunkan, Soeharto!”
Demonstran : Turun, Turun, Turun Soeharto, Turunkan Soeharto sekarang juga.

Dari balik gorden di dalam kantornya. Pak harmoko berbalik badan, dan berjalan menuju Pak Syarwan Hamid.

Syarwan Hamid (Hafidz Ridwan F) : “Pak.”


Pak Harmoko (Rizqi Nurfalah) : “Ini namanya kebuntuan politik. Mampet. Tidak ada yang mengalah. Sama-
sama ngotot.

Pak harmoko mempersilahkan duduk kepada Syarwan Hamid.

Pak Harmoko (Rizqi Nurfalah) : “Tapi, tugas kita menyampaikan aspirasi.”


Syarwan Hamid (Hafidz Ridwan F) : “Iya, Pak.”
Pak Harmoko (Rizqi Nurfalah) : “Kita harus mengakhiri kebuntuan.”
Syarwan Hamid (Hafidz Ridwan F) : “Baik, Pak.”

Setelah, Pak Harmoko yang selaku ketua MPR membuat pernyataan di depan awak media.
Pak Harmoko (Rizqi Nurfalah) : “Pimpinan dewan. Dalam rapat ini, telah mempelajari dengan cermat dan,
sungguh- sungguh tentang perkembangan dan situasi nasional yang sangat
cepat, yang menyangkut aspirasi masyarakat tentang reformasi. Dalam
menanggapi situasi tersebut. Pimpinan dewan, baik ketua mapun wakil-wakil
ketua, mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar presiden
secara arif dan bijaksana, sebaiknya mengundurkan diri. Dewan menyerukan
kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga
persatuan dan kesatuan, serta mewujudkan keamanan dan ketertiban agar
segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik.”

Babak 12
Malam hari di depan kampus Trisakti, Leila terdiam menatap slayer reformasinya, ia sudah merasa putus asa. Di tengah
heningnya malam, datang seseorang bercakap dengan rekan seperjuangan. Leila terdiam, mendengarkan percakapan di
antara mereka dengan khidmat.

Koordinator lapangan 2 (Nabila Maulani) : “Sudah siap? Sudah rapi?”


Mahasiswa (Indri Noviyanti) : “Sudah.”
Koordinator lapangan 1 (Virny Widara) : “Kak!”
Koordinator lapangan 1 (Virny Widara) : “Perwakilan mahasiswa yang datang ke Gedung MPR dan DPR, Kak. Mereka
menginap, Kak. Dengar-dengar ada penambahan pasukan.”
Koordinator lapangan 2 (Nabila Maulani) : “Ini serius?”
Koordinator lapangan 1 (Virny Widara) : “Serius.”
Koordinator lapangan 2 (Nabila Maulani) : “Nanti, mereka diapa-apakan oleh aparat.”
Koordinator lapangan 1 (Virny Widara) : “Itu dia.”
Koordinator lapangan 2 (Nabila Maulani) : “Okai, sekarang gini. Hubungi perwakilan mahasiswa seluruhnya untuk
berkumpul besok pagi. Kita harus bergerak dan, membantu yang lain.
Telepon dan, hubungi semua mahasiswa dari seluruh Universitas. Kita
segera ke sana besok.”
Koordinator lapangan 1 (Virny Widara) : “Baik.”

19 Mei 1998. Para demonstran Kembali bersorak sorai di depan Gedung MPR dan DPR, meminta kejelasan atas
pernyataan yang telah diberikan.

Demonstran : Bersatu rakyat ayo, DPR nya berbuat aneh-aneh. Dasar badut, badut.

Kembali dari dalam kantor Ketua MPR. Pak Harmoko, hanya bisa melihat keadaan di luar dari balik gorden kantornya.

Syarwan Hamid (Hafidz Ridwan F) : “Pak. Pernyataan kita kemaren, banyak yang mempertanyakan, Pak.”
Pak Harmoko (Rizqi Nurfalah) : “Memang. Hari ini, kita resmikan. Yang kemarin itu, semua fraksi. Termasuk
Pak Syarwan, Sudah saya lapor.”
Pak Harmoko menjelaskan sambil berjalan menuju Pak Syarwan, dan terduduk.

Syarwan Hamid (Hafidz Ridwan F) : “Betul, Pak. Tapi, mungkin..,”


Pak Harmoko (Rizqi Nurfalah) : “Ini Namanya Pro Bono Publico. Resmi, sesuai aspirasi masyarakat.”

Para demonstran Kembali menyanyikan yel-yel nya sebagai bentuk dari suara-suara mereka yang sudah terlalu lelah di
bungkam.

Demonstran : Pasukan rezim penindas rakyat. Laman, lawan, lawan, yang benar.
Pasukan rezim penindas rakyat. (2 kali).

Wartawan 3(Suci Mulyaning R) : “So, What are you guys going to do next?”
Mahasiswa (Rizki Raffiansyah) : “Well. We want to meet Harmoko now.”
Wartawan 3(Suci Mulyaning R) : “What do you guys expect after this action?”
Mahasiswa (Galih Amesti P) : “After this action, we want Soeharto wisely to step down. And the
country's future is getting better.”

Demonstran : Pasukan rezim penindas rakyat. Laman, lawan, lawan, yang benar.
Pasukan rezim penindas rakyat. (2 kali).

Kembali di ruang kantor Pak Harmoko masih Bersama Pak Syarwan Hamid.

Pak Harmoko (Rizqi Nurfalah) : “Ini sudah titik balik, Pak Syarwan. Kita harus melakukan tugas kita. Lagi pula,
kita tak mau ada korban lagi, bukan?”
Syarwan Hamid (Hafidz Ridwan F) : “Lalu, bagaimana dengan mereka di sana?”
Pak Harmoko (Rizqi Nurfalah) : “Ya sudah, kita sambut mereka.”

Setelah keputusan tersebut. Akhirya pintu gerbang MPR dan DPR terbuka lebar untuk para Mahasiswa.

Babak 13
Di istana. Tepatnya di ruang Jepara. Pak Soeharto meminta saran dari beberapa tokoh-tokoh penting. Diantaranya Prof.
Malik Fadjar, Ma’ruf Amin, Gus Dur, Emha Ainun Nadjib, Ali Yafie, dan Nurcholis Madjid,

Pak Soeharto(Saepul Ripki Anggara) : “Terimakasih aspirasinya. Tampaknya, kalau sudah terlanjur begini, baru
terlihat bahwa jelas saya diminta mengundurkan diri. Tetapi, Di situasi ini ada
yang perlu di garis bawahi.”
Pak Soeharto(Saepul Ripki Anggara) : “Seandainya, saya berhenti sekarang. Apakah kondisi akan menjadi lebih
baik?”

Para tokoh-tokoh penting itu kebingungan, dengan apa yang di ucapkan oleh Pak Soeharto.

Direktur Paramadina(Markus Jekssen S) : “Begini Pak. Ada keputusan-keputusan yang secara logis mungkin tidak
masuk akal. Akan tetapi, secara politis sangat strategis.”
Direktur Paramadina(Markus Jekssen S) : “Memang berat, Pak.”

Pak Soeharto menghela napas

Pak Soeharto(Saepul Ripki Anggara) : “Saya kapok jadi Presiden.”

Di lain tempat. Di kantor Wakil Presiden B.J. Habiebie.

Sintong(Bagus Muhammad I) : “Pak, ada pernyataan Presiden di televisi.”


B.J. Habiebie(M. Alif Akbar) : “Oh? Tiada pemberitahuan.”

Di Aula Istana Merdeka, Soeharto berbicara di depan para awak media.

Pak Soeharto(Saepul Ripki Anggara) : “Sekarang kalau tuntunan pengunduran diri itu saya penuhi secara
konstitusional, maka harus saya serahkan kepada Wakil Presiden.
Kemudian, apakah ini juga merupakan jalan penyelesaian dan jaminan, tidak
akan timbul lagi masalah baru? Nanti, jangan-jangan Wakil Presiden juga
lantas mundur. Kalau begitu terus-menerus dan begini situasi presiden atau
ada kejadian buruk dalam kehidupan berbangsa bernegara dan
bermasyarakat dengan sendirinya. Negara dan bangsa
kita akan kacau. Jadi, demikianlah ada yang mengatakan terus terang saja
dalam bahasa Jawa tidak menjadi presiden tidak masalah.”

Di lain sisi. Di depan awak media.

Amien Rais (Dani Saputra) : “Maka dengan ini, masih dengan semangat reformasi, Saya mengajak seluruh
masyarakat untuk menyemarakkan syukuran reformasi. Dengan membanjiri
lapangan Monas. Mari datang, semarakkan syukuran reformasi. Sehingga
mencapai satu juta masyarakat terkumpul di sana. Terimakasih”.

Malam hari-nya, di depan lapangan Monas.


Amien Rais (Dani Saputra) : “Selamat malam, Mas.”
Aparat (Markus Jekssen S) : “Iya, Pak.”
Amien Rais (Dani Saputra) : “Boleh saya tanya?”
Aparat (Markus Jekssen S) : “Iya, Pak.”
Amien Rais (Dani Saputra) : “Ada intruksi dari Komandan mu?”
Aparat (Markus Jekssen S) : “Sebentar, Pak. Bicara dengan Komandan saya.”
Amien Rais (Dani Saputra) : “Selamat malam, Mas.”
Komandan Aparat (M. Ade Jaelani) : “Eh! Malam, Pak.”
Amien Rais (Dani Saputra) : “Ada intruksi dari komandanmu dan ada perintah tertentu?”
Komandan Aparat (M. Ade Jaelani) : “Belum ada intruksi, Pak. Kami menunggu untuk besok.”
Amien Rais (Dani Saputra) : “Ya, baik. Terima kasi, saya pamit dulu.”
Aparat(Markus Jekssen S) : “Dan, siapa itu? Mirip Amien Rais, Dan.”

Keesokan harinya.

Wartawan 1 (Alisha Lafina Supriadi) : “Selamat pagi, Pemirsa sebangsa dan setanah air. Pagi ini, 20 Mei 1998,
Tokoh Muhammadiyah, Amien Rais, membatalkan untuk melakukan
reformasi.”
Massa : “Hidup, Amien!”
Amien Rais (Dani Saputra) : “Pak, Harto, dengarkanlah suara kami di sini, mewakili mahasiswa dan rakyat
Indonesia. Pak Harto jika melihat kedepan, mahasiswa dan rakyat sudah
meminta Anda untuk lengser.”
Massa : “Betul!!”
Amien Rais (Dani Saputra) : “Jika Pak Harto menengadah ke langit, sudah ada sinyal kuat bahwa Pak
Harto harus turun.”
Massa : “Turun!!!”
Amien Rais (Dani Saputra) : “Jika Pak Harto menunduk kebawah, maka tanah sudah siap menanti Anda.
Massa : “Demokrasi! Reformasi!

Di sisi lain. Bapak Presiden, beserta wakilnya sedang berbincang serius.

B.J. Habiebie (M. Alif Akbar) : “Saya pikir, Kabinet Reformasi sudah selesai. Kita tinggal menghubungi
orang-orang ini saja.”
Pak Soeharto (Saepul Ripki Anggara) : “Hari sabtu, nanti tanggal berapa?”
B.J Habiebie (M. Alif Akbar) : “Tanggal 23?”
Pak Soeharto (Saepul Ripki Anggara) : “Saya akan mengundang para pimpinan DPR.”
B.J. Habiebie (M. Alif Akbar) : “Betul sekali, Pak. Mereka sudah sangat lama menunggu undangan itu.
Karena pada hari itu, Bapak bisa lebih detail dalam mendengarkan apa yang
menjadi tuntutan dan aspirasi rakyat.”
Pak Soeharto (Saepul Ripki Anggara) : “Saya akan mengundurkan diri, hari Sabtu.”

B.J Habibie terkejut mendengar perkataan Pak Soeharto.

B.J. Habiebie (M. Alif Akbar) : “Lalu, bagaimana dengan nasib saya sebagai Wakil Presiden, Pak?”
Pak Soeharto (Saepul Ripki Anggara) : “Terserah nanti. Kita lihat saja. Bisa Sabtu itu juga, atau Seninnya, atau
mungkin sebulan lagi. Yang jelas, kamu yang akan jadi presidennya.”
Pak Soeharto (Saepul Ripki Anggara) : “Waktu tidak banyak lagi.”

Percakapan dua petinggi negara itu diakhiri dengan berjabatan tangan.

Pak Soeharto (Saepul Ripki Anggara) : “Laksanakan tugasmu!”

Di dalam kantor B.J.Habiebie.

B.J. Habiebie (M. Alif Akbar) : “Jadi, keputusan kalian sudah final?”
Sintong (Bagus Muhammad I) : “Betul, Pak. Keempat belas nama itu bukan saja undur diri dari Kabinet
Pembangunan Tujuh. Tapi, juga menolak dalam Kabinet Reformasi.”
B.J.Habiebie (M. Alif Akbar) : “Ya, apa boleh buat. Presiden harus segera diberitahu.”
Sintong (Bagus Muhammad I) : “Saya kira demikian. Saya mohon pamit.”

Sintong yang asal mulanya akan berjabat tangan dengan B.J. Habiebie. Tetapi, tidak jadi.

Pak Soeharto (Saepul Ripki Anggara) : “Semua?”


Asisten Soeharto (Alif) : “Betul, Pak.”
Pak Soeharto (Saepul Ripki Anggara) : “Ya sudah! Sepertinya, memang sudah waktunya.”

Di tempat B.J Habiebie

Sintonng (Bagus Muhammad I) : “Maaf, Pak. Ada telepon dari Kanada.”


B.J Habibie (M. Alif Akbar) : “Ya, terima kasih.”

B.J Habibie mengangkat telepon tersebut.


B.J Habibie (M. Alif Akbar) : “Ya? Apa?”
B.J Habibie (M. Alif Akbar) : “Kenapa keputusan begitu mendadak? Sampai saya tidak diberi tahu?”
B.J Habibie (M. Alif Akbar) : “Ya, Terima kasih.”

Babak 14
21 Mei 1998. Di kediaman Soeharto, beliau dan sang istri sedang bersiap-siap untuk menghadiri acara di Istana Merdeka.

Istri Soeharto (Indri Noviyanti) : “Pak? Sudah siap?”

Istri Soeharto (Indri Noviyanti) : “Kopiahnya, Pak.”

Istri Soeharto memasangkan kopiah di kepala Pak Soeharto. Di dalam Istana, Sintong menyambut kedatangan B.J Habibie,

Sintong (Bagus Muhammad I) : “Silahkan, Pak.”


B.J Habibie (M. Alif Akbar) : “Saya mau bertemu Bapak. Empat mata sebelum acara, bisa?”
Sintong (Bagus Muhammad I) : “Bisa, Pak. Nanti saya sampaikan. Silahkan Bapak tunggu di ruangan ini.”
B.J Habibie (M. Alif Akbar) : “Oh, ya.”

Pak Soeharto menerima kedatangan Pak Harmoko dan para petinggi negara yang lainnya.

Harmoko (Rizqi Nurfalah) : “Demikian, pernyataan resmi kami per tanggal 18 Mei 1998. Kemarin.”
Pak Soeharto (Saepul Ripki Anggara) : “Masih ada yang mau disampaikan?”
Harmoko (Rizqi Nurfalah) : “Tidak ada, Pak.”

Setelah percakapan singkat itu telah selesai, Pak Soeharto kembali menuju tempat acara di laksanakan.

Pak Soeharto (Saepul Ripki Anggara) : “Bismillahirrohmanirrahim, Saudara sebangsa dan setanah air.
Assalammualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.”
Semua tamu : “Wa’alaikum salam wa rahmatulahi wa barakatuh.”
Pak Soeharto (Saepul Ripki Anggara) : “Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat
perkembangan situasi nasional kita. Terutama, aspirasi rakyat untuk
mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara.”
Pak Soeharto (Saepul Ripki Anggara) : “Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap anspirasi tersebut,
dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan
secara tertib, damai, dan konstitutional. Demi terpeliharanya persatuan dan
kesatuan serta kelangsungan pembangunan nasional. Saya telah
menyatakan pembentukan komite reformasi dan mengubah susunan
Kabinet Pembangunan Tujuh. Namun, demikian kenyataan hingga hari ini,
karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana
pembentukan komite itu. Dalam keinginan melaksanakan reformasi dengan
cara sebaik-baik di atas, saya menilaian bahwa dengan tidak dapat
diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet
Pembangunan Tujuh, menjadi tidak diperlukan lagi. Dengan memperhatikan
keadaan di atas, saya berpendapat, sangat sulit bagi saya untuk dapat
menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik.
Dan, setelah bersungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat. Dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya
saya memutuskan untuk menyatakan berhenti!... Sebagai Presiden Republik
Indonesia. Terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari Kamis,
21 Mei 1998. Saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR
yang juga adalah pimpinan MPR. Sesuai dengan Pasal Delapan UUD
1945.”

Di balik sana, mahasiswa yang menginap di Gedung DPR dan MPR bersorak sorai terharu atas pernyataan yang
dinyatakan oleh Presiden Soeharto. Para mahasiswa tersebut bersorak, bernyanyi, merayakan keberhasialan mereka.

Wartawan 1 (Alisha Lafina Supriadi) : “Hari ini, tanggal 21 Mei 1998 menjadi awal keberhasilan mahasiswa yang
selama ini menginginkan perubahan di negeri ini. Presiden Soeharto, pagi di
Istana Negara, telah meletakkan jabatannya di hadapan Ketua dan beberapa
anggota perlemen Mahkaman Agung. Berdasarkan Pasal Delapan Undang-
undang 1945, Soeharto menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden, B.J
Habibie. Saat ini, di belakang saya, merupakan mahasiswa yang meluapkan
kegembiraannya di depan halaman Gedung DPR dan MPR. Di mana, selama
ini merupakan perjuangan mereka untuk meruntuhkan rezim Orde Baru. Dan
reformasi di Indonesia telah dimulai.”

Keesokan harinya. Setelah pengunduran diri Presiden Soeharto dari jabatannya. Pukul 10.00WIB pagi, di Bandara
Soekarno-Hatta. Diantara salah satu bangku, Jessica dan Ana terduduk bersebelahan.
Ana (Helsa Nurjanah) : “Aku ingin tahu di mana Hana berada? Dia menghilang secara misterius.”
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Kita hanya bisa berdoa.”

Jessica terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

Ana (Helsa Nurjanah) : “Tapi, kamu serius mau ninggalin Indonesia?”


Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Serius!”
Ana (Helsa Nurjanah) : “Ya sudah jika itu memang keputusan kamu. Jaga kondisi. Jangan telat makan
juga.”
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Siap! Aku berangkat dulu, kamu juga jangan lupa, jaga kondisi.”

Tiba-tiba, Jessica memberikan secercak kertas kepadanya. Yang ternyata sebuah foto yang pernah mereka ambil di tempat
studio foto.

Ana (Helsa Nurjanah) : “Ini, Foto kita bertiga?”


Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Simpan saja. Sebagai kenang-kenangan.”
Ana (Helsa Nurjanah) : “Makasih.”

Jessica akhirnya pergi meninggalkan Ana sendirian di bandara. Sendirian. Tanpa siapapun.

Ana (Helsa Nurjanah) : “Goodbye.”

Babak 15
Kembali ke tahun 2023. Masih di tempat yang sama. Trotoar jalanan kota, tempat di mana mereka mengingat kembali
masa itu. Peristiwa yang menggemparkan, peristiwa yang tidak akan pernah terlupakan oleh siapapun untuk yang sudah
pernah melewati masa itu.

Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Hana? Kabarnya gimana?”


Ana (Helsa Nurjanah) : “Tidak ada kejelasan. Tidak ada pengakuan. Tidak ada kabar.”
Ana (Helsa Nurjanah) : “Tapi, di dalam sana aku masih menganggapnya ada. Tetapi entah sedang
berkeliaran kemana.”
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Sejak dulu pun, banyak sejarah di Negeri ini yang tidak terselesaikan bukan?
dan, hanya berakhir menyimpan luka.”

Mereka berdua terdiam. Ana melirik ke arah Jessica.

Ana (Helsa Nurjanah) : “Jes, kamu tau ga? Rasanya ditingalin itu kek gimana?”
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Ya, hidup itu tak akan seindah apa yang kita harapkan, Na.”
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Kalau aku bisa milih, aku gak akan ninggalin semuanya di sini, Termasuk
kamu dan, Hana.”

Mereka berdua kembali terdiam.

Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Jadi sekarang apa yang kamu lakukan?”
Ana (Helsa Nurjanah) : “Mengajar, sebagai guru IPS di di salah satu sekolah SMP di Jakarta.”
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Ternyata semangat kamu masih sama seperti dulu.”
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Tapi kenapa harus jadi guru? Kenapa gak yang lain?”
Ana (Helsa Nurjanah) : “Aku ingin mengajarkan kepada mereka bahwa,
kenapa hari ini mereka bisa berbicara, kenapa hari ini mereka
bisa mengritik pemerintah. Mereka harus tahu bahwa di sana ada yang
tewas, dan mereka berdiri di atas orang yang kurang beruntung dan kita tidak
bisa membantunya.”
Jessica (Fierli Alfiana Putri) : “Kamu benar. Kebebasan yang mereka nikmati saat ini tidak datang
secara tiba-tiba, karena kebebasan ini buah dari perjuangan kita 25 tahun
yang lalu.”

Dahulu. Untuk mereka yang kembali dan, yang tidak kembali. Untuk keluarga yang selalu mencari kepastian di mana
anaknya berada. Untuk seseorang yang kehilangan teman terbaiknya. Untuk mereka yang bersusah payah bertahan dalam
hidupnya. Dan, untuk mereka yang sudah berada di titik terakhir darah penghabisannya.
Dan sekarang, engkau semua bebas menikmati cahaya hasil darah dan peluru yang menembus tubuhnya, air mata yang
tidak pernah mengering dari sela matanya dan, sebuah simpuhan doa yang selalu dipanjatkannya. Lantas sekarang,
kenapa masih engkau biarkan mereka semua terkubur dalam gelap dan ketidakpastian?

Kepada Mereka yang dihilangkan.


Dan, tetap hidup selamanya.

Anda mungkin juga menyukai