Surono (Buku) (2010) Geologi Sulawesi
Surono (Buku) (2010) Geologi Sulawesi
SULAWESI
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
GEOLOGI
SULAWESI
Editor:
Prof. Dr. Surono
Prof. Dr. Udi Hartono
LIPI Press
© 2013 Pusat Survei Geologi, Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
ISBN 978-979-799-757-1
1. Geologi 2. Sulawesi
551
Diterbitkan oleh:
LIPI Press, anggota Ikapi
Jln. Gondangdia Lama 39, Menteng, Jakarta 10350
Telp. (021) 314 0228, 314 6942. Faks. (021) 314 4591
E-mail: bmrlipi@centrin.net.id
lipipress@centrin.net.id
press@mail.lipi.go.id
LIPI Press
v
vi | Geologi Sulawesi
KATA PENGANTAR
vii
viii | Geologi Sulawesi
PRAKATA
ix
2) Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
atas dukungan dan pemberian motivasi.
3) Kepada Prof. Dr. Robert Delinom yang dengan kesungguhannya
mengoreksi draft pertama.
4) Para editor Prof. Dr. Surono, M.Sc. dan Prof. Dr. Udi Hartono yang
banyak memberikan koreksi dan masukan untuk memperkaya isi dan
meningkatkan mutu buku ini.
5) Kepada Saudara/i Dra. Imtihanah, M.Phil., Sudijono, Yudi Firman,
Wawan Sujana, dan Novan Priyagus Mirza yang telah banyak
membantu dalam penggambaran, layout, dan administrasi sampai buku
ini dapat diterbitkan.
6) Kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu
yang telah memberi koreksi dan masukan ataupun bantuan untuk
kelancaran kegiatan penyusunan buku ini.
Para Penulis
x | Geologi Sulawesi
RANGKUMAN
xi
gunungapi disertai dengan batuan sedimen klastika dan karbonat laut
dangkal. Di ujung Lengan Utara kegiatan gunungapi masih aktif sampai
sekarang.
Bagian Timur Sulawesi disusun oleh batuan asal samudra (kepingan
samudra) dan benua (kepingan benua), yang kemudian ditutupi oleh
Molasa Sulawesi. Batuan asal samudra, yang diberi nama Lajur Ofiolit
Sulawesi Timur atau Kompleks Ofiolit Sulawesi, yang diduga berasal dari
punggung tengah samodra (mid-oceanic ridge) merupakan kompleks ofiolit
terluas nomor tiga di dunia. Kompleks Ofiolit ini terdiri atas batuan
peridotit (lersolit, harsburgit, dan dunit), gabro-gabro mikro, retas-retas
piroksenit, diabas (dolerit), basal, dan endapan pelagos laut dalam berupa
rijang radiolaria, serpih atau batugamping merah. Umurnya, berdasarkan
pentarikhan K-Ar dan kandungan fosil dalam sedimen laut dalamnya
adalah Kapur Akhir-Oligosen Akhir.
Batuan asal benua diduga merupakan kepingan benua yang terpisah
dari pinggir utara Australia. Kepingan benua yang mempunyai berbagai
ukuran ini tersebar mulai ujung timur Lengan Timur Sulawesi sampai P.
Buton. Dua kepingan benua terbesar adalah Kepingan Benua Banggai-
Sula di Lengan Timur dan Kepingan Benua Sulawesi Tenggara di Lengan
Tenggara Sulawesi. Batuan tertua di kedua kepingan benua ini adalah
batuan malihan berumur Karbon Akhir, yang ditindih takselaras oleh
batuan gunungapi dan diterobos oleh batuan granitan. Kedua batuan itu
berumur sama Trias Tengah–Trias Akhir (kemungkinan co-magmatic).
Ketiga jenis batuan itu menjadi batuan alas bagi batuan sedimen yang
diendapkan kemudian, berturut-turut sedimen klastika (Trias-Jura) dan
karbonat (Kapur). Batuan sedimen yang didominasi karbonat Eosen-
Oligosen, menumpang takselaras di atas batuan Mesozoikum tersebut.
Pada akhir dan setelah terjadi tumbukan antara kepingan benua
dan kepingan samudra pada Oligosen Akhir-awal Miosen Tengah, di
Bagian Timur dan Bagian Barat Sulawesi terendapkan Molasa Sulawesi.
Batuan Molasa Sulawesi ini terbentuk pada sekitar Miosen Awal-Pliosen,
berupa sedimen klastika halus-kasar dan karbonat, yang diendapkan pada
lingkungan darat–laut dangkal.
Akibat dari tumbukan yang masih aktif sampai sekarang, P. Sulawesi
dan daerah sekitarnya mempunyai beberapa struktur geologi utama
(sesar) yang umumnya juga masih aktif. Struktur geologi utama tersebut di
antaranya Sesar Palu-Koro, Sesar Walanae, Sesar Matano, Sesar Naik Batui,
Rangkuman | xiii
xiv | Geologi Sulawesi
Daftar Isi
BAGIAN I
BAB I: PENDAHULUAN Oleh: Sidarto................................................... 1
A. Geografi dan Administrasi................................................................................. 1
B. Tinjauan Geologi Regional................................................................................. 3
C. Penelitian Geologi................................................................................................ 7
D. Pemetaan Bersistem............................................................................................ 9
E. Perubahan Status Satuan Peta.......................................................................... 10
F. Pembagian Pembahasan.................................................................................... 11
BAGIAN II
BAB II: BATUAN PRATERSIER Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman.....13
A. Tinjauan Umum................................................................................................. 13
B. Batuan pra-Kapur Akhir................................................................................... 17
1. Batuan malihan.............................................................................................. 17
2. Kompleks tektonika Lengan Selatan Sulawesi.......................................... 21
a. Lemping (slabs) batuan malihan dalam kompleks melange................. 22
b. Batuan sedimen dalam kompleks melange............................................ 23
c. Batuan gunungapi dalam kompleks melange........................................ 27
d. Bancuh (chaotic rocks) dalam kompleks melange................................... 28
e. Batuan ultramafik dalam kompleks melange......................................... 29
C. Batuan Kapur Akhir.......................................................................................... 29
1. Batuan gunungapi Kapur Akhir................................................................. 29
2. Batuan sedimen tipe flysch Kapur Akhir..................................................... 30
D. Batuan di Sulawesi Tengah Bagian Timur..................................................... 35
Bab III: Batuan Paleogen Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman...... 37
A. Batuan Gunungapi Paleogen........................................................................... 40
1. Batuan gunungapi Paleosen......................................................................... 41
2. Batuan gunungapi Eosen–Miosen Awal.................................................... 41
3. Batuan gunungapi Bawah-Laut Oligosen–Miosen Awal........................ 42
B. Batuan Vulkaniklastika-Epiklastika Paleogen................................................ 46
C. Batuan Terobosan Paleogen............................................................................. 49
D. Batuan Klastika Paleogen................................................................................. 51
1. Batuan sedimen klastika Eosen Awal......................................................... 51
xv
2. Batuan sedimen klastika Eosen-Oligosen................................................. 52
3. Batuan sedimen klastika Eosen Awal–Miosen Awal............................... 54
a. Batuan sedimen klastika laut-darat.......................................................... 54
b. Batuan sedimen klastika laut dalam tipe flysch ...................................... 55
E. Batuan Karbonat Paleogen.............................................................................. 56
1. Batuan karbonat Eosen Awal–Miosen Tengah........................................ 59
2. Batuan karbonat Oligosen-Miosen............................................................ 63
BAB IV: BATUAN NEOGEN Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman........ 65
A. Batuan Gunungapi Neogen............................................................................. 66
1. Batuan gunungapi Oligosen-Miosen.......................................................... 69
2. Batuan gunungapi Miosen Awal ................................................................ 70
3. Batuan gunungapi Miosen Tengah–Pliosen.............................................. 70
4. Batuan gunungapi Pliosen Akhir................................................................ 76
B. Batuan Vulkaniklastika–Epiklastika Neogen................................................. 77
1. Batuan vulkaniklastika-epiklastika Oligosen-Miosen Awal ................... 77
2. Batuan vulkaniklastika–epiklastika Miosen Tengah–Pliosen.................. 78
C. Batuan Terobosan Neogen.............................................................................. 79
D. Batuan Klastika Neogen................................................................................... 82
1. Batuan sedimen klastika Miosen Tengah–Miosen Akhir........................ 82
2. Batuan klastika Miosen Akhir/Tengah–Pliosen....................................... 84
a. Data hasil eksplorasi minyak dan gas bumi........................................... 86
b. Hasil penyelidikan geofisika di daerah Cekungan Walanae................. 87
c. Data hasil penyelidikan geofisika di Cekungan Lariang...................... 88
E. Batuan Karbonat Neogen . ............................................................................. 90
1. Batuan karbonat Miosen batuan karbonat Formasi Camba,
batuan karbonat Formasi Tapadaka, dan batuan karbonat
Ratatotok........................................................................................................ 91
2. Batuan karbonat Miosen Akhir–Pliosen Anggota Selayar,
Anggota Tacipi, Formasi Mamuju, dan Anggota Tapalang................... 92
BAB V: BATUAN KUARTER Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman......... 93
A. Batuan Gunungapi Kuarter ............................................................................ 96
1. Batuan gunungapi Pliosen–Plistosen......................................................... 96
2. Batuan gunungapi Plistosen........................................................................ 97
3. Batuan hasil gunungapi aktif ...................................................................... 98
B. Batuan Terobosan Kuarter............................................................................... 99
C. Batuan Klastika Kuarter.................................................................................100
1. Cekungan terban.........................................................................................100
2. Cekungan danau..........................................................................................102
3. Dataran pesisir ...........................................................................................104
D. Batuan Karbonat Kuarter..............................................................................110
BAGIAN III
BAB VII: KOMPLEKS BATUAN MALIHAN Oleh: Haryadi Permana. .....127
A. Tinjauan Umum...............................................................................................127
B. Keterdapatan, Pengelompokan, dan Stratigrafi..........................................129
1. Keterdapatan................................................................................................129
2. Pengelompokan...........................................................................................133
3. Stratigrafi......................................................................................................133
C. Kompleks Malihan Malino.............................................................................135
D. Kompleks Malihan Pompangeo....................................................................140
E. Kompleks Malihan Mengkoka.......................................................................143
F. Kompleks Malihan Mendoke, Rumbia, dan Kabaena...............................146
G. Kompleks Malihan Palu-Koro......................................................................147
H. Kompleks Malihan Latimojong-KaRoSsa...................................................149
I. Kompleks Malihan Matano...........................................................................150
J. Kompleks Malihan Bantimala-Barru............................................................150
K. Kompleks Malihan Buton..............................................................................152
BAGIAN IV
BAB VIII: KEPINGAN BENUA Oleh: Surono......................................153
A. Kepingan Benua Banggai-Sula......................................................................153
1. Stratigrafi......................................................................................................156
2. Batuan alas...................................................................................................158
3. Sedimen klastika Jura..................................................................................160
4. Karbonat Kapur..........................................................................................162
5. Karbonat Paleogen.....................................................................................163
B. Kepingan Benua Siombok..............................................................................166
C. Kepingan Benua Tambayoli...........................................................................167
D. Kepingan Benua Bungku...............................................................................172
E. Kepingan Benua Mattarombeo.....................................................................172
F. Kepingan Benua Sulawesi Tenggara..............................................................175
1. Batuan dasar.................................................................................................177
2. Batuan sedimen Mesozoikum...................................................................178
a. Formasi Meluhu.......................................................................................178
b. Batugamping Kapur................................................................................187
c. Batuan sedimen Paleogen.......................................................................188
BAGIAN V
BAB XI: GAYABERAT Oleh: Sardjono. .................................................259
A. Sumber Data....................................................................................................259
BAGIAN VI
BAB XII STRUKTUR GEOLOGI Oleh: Sidarto dan Syaiful Bachri..........277
A. Struktur Geologi Regional.............................................................................277
1. Sesar Palu-Koro...........................................................................................277
2. Sesar Walanae...............................................................................................278
3. Sesar Matano................................................................................................279
4. Sesar Balantak..............................................................................................279
5. Sesar Gorontalo...........................................................................................280
6. Sesar naik Batui...........................................................................................280
7. Sesar naik Poso............................................................................................280
8. Sesar naik Wekuli.........................................................................................281
9. Lajur lipatan–sesar naik Majene................................................................281
10. Lajur lipatan–sesar naik Kalosi...............................................................281
11. Lajur sesar naik Tolitoli............................................................................281
12. Selat Makassar...........................................................................................282
13. Tunjaman Sulawesi Utara........................................................................282
14. Tunjaman Sangihe.....................................................................................283
15. Selat Bone..................................................................................................283
B. Struktur Geologi Lokal...................................................................................284
1. Lengan Timur Sulawesi . ...........................................................................284
a. Sesar...........................................................................................................284
b. Lipatan......................................................................................................286
2. Lengan Tenggara Sulawesi .......................................................................286
3. Sulawesi Tengah..........................................................................................288
4. Lengan Selatan Sulawesi ...........................................................................290
a. Daerah Palu dan sekitarnya....................................................................290
b. Daerah Pangkajene dan sekitarnya.......................................................293
5. Lengan Utara Sulawesi...............................................................................296
a. Sesar mendatar . ......................................................................................297
DAFTAR PUSTAKA................................................................................325
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS...............................................349
xx | Geologi Sulawesi
Daftar Gambar
xxi
4.3 Peta geologi rinci daerah Biru, Lengan Selatan Sulawesi
(Elburg, 2002).....................................................................................................73
4.4 Batuan sedimen tipe molasa, Formasi Walanae di Pakkita, Sinjai
Tengah, Sulawesi Selatan...................................................................................85
5.1 Korelasi satuan stratigrafi Kuarter..................................................................94
5.2 Sebaran batuan Kuarter di bagian barat Sulawesi........................................95
6.1 Posisi lengan-lengan Sulawesi yang mempunyai komposisi batuan dan
tektonik yang berlainan (Hall dkk., 2005)....................................................113
6.2 Zona kemunculan produk vulkanik/magmatik di bagian barat
Sulawesi, yang untuk kemudahan teknis diskusi dikelompokkan
dalam zona Makassar (UP), Toraja (TJ), Palu (PL), Tolitoli (TT),
dan Manado (MN)...........................................................................................114
6.3 Distribusi produk vulkanik Neogen-Resen dengan afinitas magmatik
berbeda pada bagian barat Sulawesi (Priadi, 1993)....................................121
6.4 Distribusi granitoid di zona Palu menunjukkan adanya empat jenis
granitoid yang penyebarannya konsentris terhadap ZSPK (Zona
Sesar Palu-Koro) dengan granitoid paling muda berada pada bagian
tengah (Priadi, 1996, dengan menggunakan peta dasar geologi oleh
Sukamto, 1973).................................................................................................124
7.1 Penyebaran batuan malihan di Pulau Sulawesi (Sukarna, 2002)..............131
7.2 Penyebaran kompleks malihan di Pulau Sulawesi (peta geologi
bersumber dari Sukarna, 2002)......................................................................134
7.3 Stratigrafi Mendala Sulawesi Barat dan Mendala Sulawesi Timur serta
Mendala Banggai Sula (Sukamto & Simandjuntak, 1983)........................136
7.4 Batuan malihan di bagian timur Sulawesi dan Buton yang secara
stratigrafi berumur Devon (Surono, 1996a)................................................137
7.5 Penyebaran batuan Malihan Malino di Leher Sulawesi
(dari Ratman, 1976).........................................................................................138
7.6 Peta geologi penyebaran batuan malihan di bagian barat laut
dan bagian Leher Sulawesi (Sukarna, 2002)................................................138
7.7 Peta geologi penyebaran batuan malihan di bagian tengah Pulau
Sulawesi (disederhanakan dari Sukarna, 2002)............................................141
7.8 Penyebaran batuan malihan dalam Kompleks Malihan Pompangeo
(disederhanakan dari Simandjuntak dkk., 1991a).........................................142
7.9 Geografis Kompleks Malihan Mengkoka dan Kompleks Malihan
Mendoke-Rumbia-Kabaena, Sulawesi, di Lengan Tenggara Sulawesi....144
DAFTAR Tabel
1.1 Peta geologi dan penyusunnya yang meliputi Sulawesi dan sekitarnya......9
8.1 Stratigrafi Kepingan Mattarombeo (dari atas ke bawah)..........................173
10.1 Molasa Sulawesi di bagian timur Sulawesi berdasarkan peta geologi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, mulai ujung utara
lengan timur ke ujung selatan lengan tenggara Sulawesi..........................227
1
Gambar 1.1 Wilayah administrasi dan pembagian tubuh Pulau Sulawesi.
2| Geologi Sulawesi
Gambar 1.2 Topografi dan batimetri laut Pulau Sulawesi di sekitarnya.
barat Selat Makassar, Teluk Bone yang terletak antara Lengan Selatan dan
Lengan Tenggara, dan di dalam Teluk Tomini yang terletak di barat daya
Kota Gorontalo.
Pendahuluan |3
ke arah utara-timur laut, Lempeng Samudra Pasifik yang bergerak ke arah
barat-baratlaut, dan Lempeng Benua Eurasia yang hampir statis atau
bergerak sangat lambat ke selatan-tenggara (Hamilton, 1979; Hutchison,
1989). Berdasarkan posisi tersebut, kondisi geologi Indonesia sangatlah
kompleks.
Pulau Sulawesi yang terletak di tengah-tengah kepulauan Indonesia
menyerupai huruf K. Bentuk tersebut dipengaruhi oleh aktivitas pergerakan
ketiga lempeng utama di atas. Nama setiap bagian P. Sulawesi akan
berbeda sesuai dengan keperluannya, yang meliputi kaitanya dengan
administrasi pemerintahan, bentuk fisiografi regional, dan mendala geologi.
Berdasarkan fisiografi regionalnya yang semata-mata hanya berdasarkan
bentuk dari bagian-bagian huruf K adalah Lengan Selatan Sulawesi, Bagian
Tengah Sulawesi, Lengan Utara Sulawesi, Lengan Timur Sulawesi, Lengan
Tenggara Sulawesi, dan Leher Sulawesi.
Berdasarkan sifat geologi regionalnya, P. Sulawesi dan sekitarnya dapat
dibagi menjadi beberapa Mendala Geologi (Geologic Provinces). Mendala
Geologi Sulawesi Timur disebut sebagai non-volcanic arc meliputi Lengan
Tenggara Sulawesi, bagian timur Sulawesi Tengah dan Lengan Timur
Sulawesi. Mendala ini di bagian baratnya dicirikan oleh Jalur Malihan
Tinondo–Pompangeo dan bagian timurnya dicirikan oleh Jalur Ofiolit
Hialu–Balantak (Sukamto & Simandjuntak, 1983).
Mendala Geologi Sulawesi Barat atau Busur Sulawesi Barat atau Lajur
Sulawesi Barat disebut sebagai volcanic arch, terdiri atas Lengan Selatan
Sulawesi, Bagian Tengah, Leher Sulawesi, dan Lengan Utara Sulawesi
(Gambar 1.1). Batuan alas dari mendala ini, di Sulawesi Tengah bagian
barat dan di Leher Sulawesi, terdiri atas batuan metamorf pra-Tersier
sehingga Katili, (1978) berpendapat bahwa posisi jalur ini berimpit dengan
tepi bagian timur Kraton Sunda, dan merupakan inti Lempeng Benua
Eurasia bagian tenggara (Hutchison, 1989), sedangkan menurut Murphy
(1979, dalam Situmorang, 1984) lengan ini merupakan kepingan benua
yang terpisahkan dari Kraton Sunda. Di Lengan Selatan Sulawesi, batuan
alas tersusun oleh kompleks melange yang berumur pra-Kapur Akhir
(Sukamto, 1986). Hasil penelitian terbaru menyimpulkan bahwa Kompleks
Malihan Bantimala-Latimojong-Pompangeo di P. Sulawesi sampai Lok
Ulo di P. Jawa merupakan busur metamorf tekanan tinggi yang terbentuk
pada Kapur (Soesilo, 2012). Pemisahan P. Sulawesi dan P. Kalimantan
disebabkan oleh adanya pemekaran di Selat Makassar (Katili, 1978). Calvert
(1999) berpendapat bahwa pemekaran (rifting) Selat Makasar terjadi pada
4| Geologi Sulawesi
Eosen Tengah–Eosen Akhir. Berdasarkan pemodelan data gaya berat
ternyata bahwa Selat Makassar dialasi oleh kerak samudra yang berumur
Eosen (Cloke dkk., 1999 dalam McClay dkk., 2000). Namun Bergman dkk.
(1996) menyatakan bahwa Cekungan Selat Makassar Utara bukan lokasi
pemekaran Tersier, tetapi cekungan tersebut merupakan hasil pemendekan
(shortening) berarah baratlaut–tenggara, sebagai akibat tumbukan benua–
benua pada Neogen di Sulawesi bagian barat. Mendala Geologi Sulawesi
Barat didominasi oleh batuan gunungapi dan batuan plutonik Miosen
yang membentuk jalur gunungapi Tersier sistem tunjaman dari timur pada
Neogen (Sukamto, 1978; Simandjuntak, 1993), dan disebut juga sebagai
Busur Gunungapi Sulawesi Barat (Surono, 1998a), di bagian timur Lengan
Utara Sulawesi terdiri atas deretan gunungapi aktif dengan arah hampir
utara–selatan, yang disebut sebagai Busur Gunungapi Kuarter Minahasa-
Sangihe (Simandjuntak, 1993).
Kondisi geologi bagian timur Sulawesi dan beberapa pulau kecil di
sekitarnya merupakan bagian yang lebih kompleks (Gambar 1.3). Lengan
Timur dan Lengan Tenggara tersusun oleh batuan malihan dan sedimen
penutupnya serta ofiolit yang merupakan hasil proses pencuatan (obduction)
selama Miosen (Smith and Silver, 1991). Surono (1998a) menyebutkan
bahwa jalur batuan malihan dan sedimen penutupnya tersebut sebagai
Mintakat Benua, sedangkan batuan ofiolitnya merupakan Lajur Ofiolit
Sulawesi Timur. Bagian timur Sulawesi ini memanjang mulai ujung timur
Lengan Timur, sisi timur Bagian Tengah, Lengan Tenggara Sulawesi,
Muna-Buton sampai ke Kepulauan Tukang Besi di ujung tenggara. Secara
geologi bagian timur Sulawesi ini disusun oleh tiga kelompok besar batuan,
yang masing-masing dibentuk oleh kondisi dan waktu geologi yang ber-
beda. Ketiga kelompok besar itu sering disebut pula dengan nama mendala
(Sukamto, 1975b, c), lajur atau belt (Simandjuntak, 1986) dan mintakat atau
terrane (Surono, 1996a). Ketiga kelompok besar itu adalah:
1) Kepingan Benua
2) Kompleks Ofiolit
3) Molasa Sulawesi
Banyak kepingan benua yang diduga mempunyai asal yang sama
tersebar di bagian timur Sulawesi dan beberapa pulau di sekitarnya. Ukuran
kepingan benua ini sangat beragam, mulai yang besar seperti Keping
Benua Banggai-Sula sampai yang kecil seperti Kepingan Benua Tambayoli.
Batuan penyusun kepingan benua juga bervariasi mulai batuan malihan
Pendahuluan |5
Gambar 1.3 Pembagian mendala geologi P. Sulawesi dan
daerah sekitarnya (dimodivikasi dari Surono, 2010)
6| Geologi Sulawesi
Sebagai akibat tumbukan antara kepingan benua dan kompleks
ofiolit pada Oligosen Akhir–Miosen Awal, kompleks ofiolit tersesar
naikkan ke atas mintakat benua. Molasa Sulawesi, yang terdiri atas batuan
sedimen klastik dan karbonat, terendapkan selama saat akhir dan sesudah
tumbukan, sehingga molasa ini menindih takselaras kedua kelompok besar
batuan tersebut di atas. Pada akhir Kenozoikum kedua lengan Sulawesi ini
dikoyak oleh sesar geser regional mengiri, Sesar Matano, Sesar Pagimana,
Sesar Lawanopo dan Sesar Kolaka serta beberapa pasangannya.
Pada Miosen Akhir tumbukan antara kepingan benua yang
merupakan pecahan Benua Australia dengan Mintakat Sulawesi Barat
mencapai klimaksnya, yang ditandai dengan adanya thin skinned trust fault-
ing di Sulawesi dan di Kalimantan bagian timur (Coffield dkk., 1993).
Tektonik selanjutnya dan mungkin sampai sekarang masih aktif adalah
pengangkatan yang disertai erosi yang sangat intensif.
C. Penelitian Geologi
Kerumitan geologi Sulawesi sebagai akibat pertemuan tiga lempeng besar
(lempeng India-Australia, Pasifik dan Eurasia) telah menarik para ahli
untuk melakukan penelitian. Sejak 1960-an, selain pemetaan geologi ber-
sistem, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral juga telah melakukan berbagai penelitian geo
logi dan geofisika, yang meliputi: paleontologi, stratigrafi, sedimentologi,
petrologi, kimia batuan, geokronologi, fisika batuan, dan kemagnetan
purba. Berbagai penelitian geologi dan geofisika tersebut juga dilakukan
oleh pihak lain, baik oleh tim peneliti manca negara, perguruan tinggi,
perusahaan swasta, BUMN maupun oleh instansi pemerintah yang lain.
Hasil penelitian berbagai aspek geologi dan geofisika selama ± 40 tahun
itu telah menghasilkan data yang sangat melimpah.
Berbagai penelitian telah dilakukan di daerah Lengan Selatan
Sulawesi, meliputi penelitian stratigrafi dan paleontologi dalam batuan
sedimen ‘flysch’ Kapur Akhir di daerah-daerah Birru dan Latimojong.
Kemudian penelitian satuan stratigrafi Paleogen Formasi Toraja dan
Formasi Makale di daerah Toraja, dan Formasi Salokalupang di sisi
sebelah timur Terban Walanae; dan satuan stratigrafi Neogen Formasi
Tonasa di daerah Ralla, dan di daerah Sengkang untuk Formasi Walanae.
Pada satuan batuan gunungapi telah dilakukan penelitian petrologi dan
geokimia batuan gunungapi Kalamiseng di Pegunungan Bone, dan batuan
Pendahuluan |7
gunungapi Lamasi di sebelah timur Pegunungan Latimojong. Selama kurun
waktu 1994–1999, di daerah Lengan Selatan Sulawesi juga telah dilakukan
berbagai penelitian geologi, yang meliputi paleontologi, stratigrafi, sedimen-
tologi, geokronologi, petrologi, geokimia, struktur, tektonika, kemagnetan
purba, gayaberat, fisika batuan, dan seismotektonik. Penelitian batuan
malihan Sulawesi dimulai sejak tahun 1990-an, beberapa penulis antara
Gambar 1.4 Indeks peta geologi skala 1:250.000 (diberi nomor angka) dan skala
1:1.000.000 (ditandai dengan huruf A dan B) yang melingkupi Pulau Sulawesi
dan daerah sekitarnya. Lihat Tabel 1.1 untuk nama lembar, penyusun, dan tahun
terbitannya
8| Geologi Sulawesi
Tabel 1.1 Peta Geologi dan Penyusunnya yang Meliputi Sulawesi dan Sekitarnya.
D. Pemetaan Bersistem
Pemetaan geologi dan geofisika bersistem bersekala 1:250.000 P. Sulawesi
telah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
selama dasawarsa 1970-an sampai 1980-an. Hasil pemetaan diterbitkan
dalam bentuk lembar peta geologi dan lembar peta gayaberat dengan
penjelasannya. Penjelasan untuk peta geologi, sebagian dalam bentuk
buku dan sebagian termuat dalam lembar peta; dan untuk peta gaya
berat semuanya termuat dalam lembar peta. Kompilasi hasil pemetaan
Pendahuluan |9
bersistem sekala 1:250.000 itu digunakan untuk menyusun peta regional
bersekala 1:1.000.000, yang terdiri atas Lembar Ujung Pandang dan Lembar
Manado. Indeks peta geologi dan geofisika berskala 1:1.000.000 dan
1:250.000 dapat dilihat pada Gambar 1.4 dan Tabel 1.1. Dalam rangka
interpretasi citra inderaan jauh untuk peta geologi skala 1:50.000 seluruh
wilayah Indonesia, P. Sulawesi yang terlingkupi oleh citra Interfferometry
Synthetic Aperture Radar (IFSAR), dan interpretasi geologi inderaan jauh
bersekala 1:50.000 telah dilakukan juga.
10 | Geologi Sulawesi
F. Pembagian Pembahasan
Kondisi geologi P. Sulawesi dan daerah sekitarnya dapat dibagi menjadi
dua bagian besar, yaitu bagian barat dan bagian timur. Bagian barat yang
meliputi Lengan Selatan, bagian tengah dan menerus ke Lengan Utara
Sulawesi disebut Busur Vulkanisme Sulawesi Barat. Bagian timur, yang
terdiri atas Lengan Tenggara dan Lengan Timur Sulawesi, dibentuk oleh
dua kelompok besar batuan; yang meliputi kepingan benua dan kepingan
samudra. Kedua kepingan batuan yang berbeda asalnya ini ditutupi oleh
sedimen molasa yang dikenal sebagai Molasa Sulawesi.
Berdasarkan gambaran tersebut, dalam buku ini pembahasan dibagi
menjadi enam bagian yang terdiri dari 13 bab. Bagian I merupakan
pengantar bagi pembaca untuk mengetahui secara umum keadaan Pulau
Sulawesi. Geologi Sulawesi bagian barat diuraikan dalam Bagian II, sedang
kan Bagian III akan menguraikan batuan malihan yang tersebar di hampir
seluruh Sulawesi. Geologi Sulawesi bagian timur diuraikan pada Bagian
IV. Secara umum Bagian V menguraikan pemodelan geologi berdasarkan
gayaberat. Terakhir Bagian VI membahas geologi struktur dan tektonik
Sulawesi dan daerah sekitarnya.
Pendahuluan | 11
12 | Geologi Sulawesi
BAGIAN II
GEOLOGI BAGIAN BARAT
BAB II
BATUAN PRATERSIER
Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman
A. TINJAUAN UMUM
Mendala Geologi Sulawesi Barat secara fisiografi meliputi Lengan Selatan
Sulawesi, Sulawesi Tengah bagian barat, Leher Sulawesi dan Lengan Utara
Sulawesi. Beberapa daerah di sepanjang mendala ini sudah dilakukan
penyelidikan geologi tinjau sejak zaman penjajahan, awal abad ke-20
oleh, antara lain, Ahlburg (1913), Abendanon (1915), Koperberg (1929),
Brouwer, (1934a,b), dan van Bemmelen (1949). Pemetaan geologi secara
bersistem dilakukan sejak diselenggarakan REPELITA oleh Pemerintah
Indonesia pada tahun 1969/1970. Hasil pemetaan diterbitkan dalam
bentuk lembaran peta geologi skala 1:250.000 dengan narasi geologi
setiap lembar, yang sebagian termuat dalam lembaran peta, dan sebagian
lain termuat dalam buku terpisah. Sebaran satuan batuan (Gambar 2.1)
dan uraian geologi di sepanjang mendala ini terutama berdasarkan peta
geologi bersistem skala 1:250.000 sebanyak 14 lembar, yang disusun, dari
ujung selatan ke utara, oleh: Koswara dkk. (1994, 2007); Sukamto dan
Supriatna (1982, 1990); Sukamto (1982, 1990); Djuri dan Sudjatmiko
(1974); Djuri dkk., (1998); Ratman (1993); Ratman dan Atmawinata (1993);
Simandjuntak dkk. (1991a, 1991b); Sukido dkk. (1993); Sukamto dkk.
(1973); Ratman (1976); Bachri dkk. (1994); Apandi dan Bachri (1973,
2011); Effendi dan Bawono (1976, 1997); dan Samodra (1994, 2007).
Indeks lembar peta geologi dapat dilihat pada Gambar 1.4 dan Tabel 1.1.
Hasil rangkuman geologi regional dari peta geologi bersistem tersebut
kemudian dilengkapi dan diperbaiki berdasarkan hasil penelitian oleh
berbagai pihak, baik oleh lembaga dan instansi pemerintah, perusahaan
pertambangan, maupun oleh perguruan tinggi.
13
Selama pemetaan geologi bersistem berjalan dan sesudahnya, banyak
ahli geologi dan ahli ilmu kebumian lain yang telah melakukan penyelidikan
dan penelitian berbagai segi geologi. Penyelidikan dan penelitian itu dilakukan
Gambar 2.1 Ciri Mendala Geologi Sulawesi Barat sebagai lajur vulkano-plutonik.
14 | Geologi Sulawesi
dalam rangka eksplorasi sumber daya mineral dan energi serta disertasi
pascasarjana perguruan tinggi, baik dari dalam maupun luar negeri. Hasil
penyelidikan dan penelitian dari berbagai kalangan yang diacu untuk
menyusun ulasan geologi Mendala Geologi Sulawesi Barat ini meliputi segi
stratigrafi dan sedimentologi, paleontologi, petrologi dan geokronologi,
serta tektonika dan geofisika. Data hasil penyelidikan dan penelitian
tentang stratigrafi dan sedimentologi yang diacu antara lain dari Witkamp
(1940), van Leeuwen dan Muhardjo (2005), Barber dan Simandjuntak
(1995), Calvert (2000), Calvert dan Hall (2003), Chamberlain dan Siego
(1995), Cofield dkk (1993), Crotty dan Engelhardt (1993), Grainge dan
Davies (1983), Harahap (1998), Hasan (1991), Kusnama dan Andi-Mangga
(2007), Maryanto (1999), Maryanto dkk. (2004), Rangin dkk. (1997),
Susanto (1997),Van den Berg dkk. (1991, 1994), Van Leeuwen (1981),
Van Leeuwen dkk (2006), dan Wilson dan Bosence (1997). Data tentang
paleontologi antara lain diacu dari: Azis (1993), Barstra (1977), Sartono
(1987), Sihombing (1998), dan Sudijono (2005). Penelitian petrologi dan
geokronologi di Mendala Sulawesi Barat juga sudah banyak dilakukan,
dan data yang diacu antara lain dari Carlile dkk. (1997), Priadi dkk. (1994),
Polve dkk. (1997), Subandrio (2006), dan Yuwono (1987). Beberapa data
tentang tektonika dan geofisika yang diacu antara lain dari: Bergman dkk.
(1996), Harahap (1998), Panjaitan dkk (2000), Sukamto (1986).
Pemetaan geologi bersistem selama tahun 1970–1988 di wilayah
Mendala Geologi Sulawesi Barat didukung dengan sarana yang kurang
memadai. Peta dasar topografi yang digunakan dalam pemetaan di lapangan
kebanyakan kurang teliti, banyak yang tidak sesuai dengan keadaan
lapangan, sebagian garis kontur ketinggian hanya berupa bagan dengan
garis putus-putus. Sarana potret udara hanya setempat-setempat, tidak
merata, dan penentuan tempat hanya menggunakan kompas dan tali ukur.
Sarana angkutan pada waktu itu pun sangat jarang sampai ke daerah-
daerah pelosok. Dengan adanya sarana citra inderaan jauh sejak tahun
2008-an, yaitu Sattelite Radar Technology Mapping (SRTM) yang mempunyai
resolusi sampai 5 m, maka sudah selayaknya kalau pemetaan geologi meng
gunakan peta dasar citra ini. Dalam buku ini pembahasan geologi Mendala
Sulawesi Barat telah mempertimbangkan hasil penafsiran citra SRTM.
Mendala Geologi Sulawesi Barat secara geologi dicirikan oleh endapan
gunungapi Tersier, dan batuan pluton di bagian tengah dan utaranya. Oleh
sebab itu, maka mendala ini disebut pula sebagai Busur Vulkano-Plutonik
Tersier (Sukamto, 1975b; Sukamto dan Simandjuntak, 1983). Selanjutnya
Batuan Pratersier | 15
mereka menyatakan bahwa busur Vulkano-Plutonik Tersier ini dialasi oleh
batuan malihan dan mélange berumur pra-Kapur Akhir. Batuan sedimen
Kapur Akhir yang dicirikan oleh sedimen bertipe flysch, juga berhimpun
dengan batuan gunungapi. Di bagian barat Lengan Utara Sulawesi dan di
Leher Sulawesi, batuan gunungapi dan batuan terobosan berumur Tersier
tersebar sangat luas.
Batuan gunungapi berumur Paleosen tersingkap di dua daerah sempit
di Biru dan Bantimala, Lengan Selatan Sulawesi. Batuan gunungapi Eosen
Awal–Oligosen Akhir tersingkap agak luas di bagian timur Lengan Selatan
Sulawesi, dan di beberapa tempat di Kepulauan Bonerate. Batuan serupa
yang berumur Oligosen Akhir–Miosen Awal tersingkap lebih luas di
bagian barat Sulawesi Tengah, dan dapat dianggap sekerabat dengan yang
tersingkap di daerah selatannya. Batuan sedimen klastika dan karbonat
paparan yang berumur Paleogen di Lengan Selatan Sulawesi dan Sulawesi
Tengah bagian barat terdapat cukup luas sebarannya. Batuan gunungapi
di Leher Sulawesi dan bagian barat Lengan Utara Sulawesi yang semula
diperkirakan Paleogen (Sukamto, 1973) ternyata batuan ini merupakan
kelanjutan batuan gunungapi Formasi Latimojong (Sukido dkk., 1993)
yang berumur Kapur Akhir (Subbab II.C.1).
Selama Neogen, sepanjang mendala tersebut merupakan busur
magmatik yang aktif, tetapi sebelum dan sesudah Neogen mempunyai
perbedaan perkembangan tektonika antara daerah-daerah Lengan Selatan
Sulawesi, Sulawesi Tengah bagian barat, Leher Sulawesi dan Lengan Utara
Sulawesi. Batuan gunungapi berumur Neogen tersebar sangat luas, yang
menandakan adanya kegiatan gunungapi yang kuat selama kala itu. Seumur
dengan batuan gunungapi, batuan epiklastika berselingan dengan batuan
vulkaniklastika dan karbonat berumur Tersier juga terhampar luas.
Kegiatan gunungapi selama Kuarter hanya terjadi di ujung selatan
mendala, beberapa tempat di bagian tengah, dan secara luas di bagian
utara. Di Lengan Utara Sulawesi dan menerus ke Kepulauan Sangihe,
kegiatan gunungapi masih menerus sampai sekarang. Endapan karbonat
paparan terjadi di ujung selatan mendala selama zaman Kuarter.
Himpunan batuan berumur dari akhir Kapur Akhir sampai Pliosen
merupakan himpuan batuan tetapasal atau priloka (autochthone) yang
superposisi serta hubungannya dapat diamati dengan jelas. Sedimen flysch
Formasi Balangbaru yang berumur akhir Kapur Akhir menindih tak-
selaras Kompleks Melange Bantimala, dan ditindih berturut-turut oleh
batuan vulkanik Formasi Alla, sedimen darat Formasi Malawa, karbonat
16 | Geologi Sulawesi
paparan Formasi/Kelompok Tonasa, batuan vulkaniklastika serta
vulkanik Formasi/Kelompok Camba, dan diakhiri oleh endapan darat
asal longsoran serta runtuhan yang berumur Pliosen.
Ada perbedaan struktur yang sangat menyolok antara satuan batuan
pindahan (allochtone) dan satuan batuan priloka. Kalau semua satuan batuan
pindahan di dalam Kompleks Mélange Bantimala bersentuhan satu sama
lain dengan sesar dan bidang gerus yang miring terjal > 450, sebaliknya
semua satuan batuan yang priloka memiliki hubungan stratigrafi yang jelas
dengan struktur perlapisan yang landai < 250. Hubungan antara satuan-
satuan yang pindahan dan yang priloka berupa ketakselarasan bersudut.
1. Batuan malihan
Batuan malihan di Lengan Selatan Sulawesi tersingkap di daerah-daerah
Barru, Bantimala, dan Biru. Yang di daerah Bantimala tersingkap sebagai
Batuan Pratersier | 17
Gambar 2.2 Sebaran satuan batuan pra-Tersier
18 | Geologi Sulawesi
Gambar 2.3 Korelasi satuan batuan pra-Tersier
Batuan Pratersier | 19
lemping (slabs) dan bodin di dalam kompleks melange; diperkirakan ber
umur antara 111–164 juta tahun (Sukamto, 1986; dibahas dalam Subbab
II.B.2 dan VII.A). Penelitian lain di daerah Bantimala (Wakita dkk., 1994,
1996) melaporkan bahwa sekisnya berumur antara 114+6–115+6 jt, sekis
mika-garnet berumur 124+6 jt, dan sekis glaukofan-garnet berumur antara
132+7–113+6 jt, ketiganya pada kala Kapur Awal. Batuan malihan di
daerah Biru berupa batutanduk (antofilit, kordierit, epidot, garnet, kuarsa,
feldspar, muskovit, karbonat) yang diduga berumur Paleogen. Batuan ini
merupakan malihan kontak yang dihasilkan oleh terobosan granodiorit
berumur 19+2 jt (van Leeuwen, 1974; Sukamto dan Supriatna, 1982).
Di Sulawesi Tengah, terdapat dua kelompok batuan malihan yang
dibatasi oleh garis-pisah antara Mendala Geologi Sulawesi Barat dan
Mendala Geologi Sulawesi Timur, berupa Sesar Sungkup Poso. Yang di
Mendala Geologi Sulawesi Barat disebut Batuan Malihan Wana, yang
diduga seorogen dengan Pluton Granit Gumbasa (Hadiwidjojo dkk.,
1993; Ratman dan Atmawinata, 1993). Batuannya terdiri atas sekis (mika,
amfibol), genes, kuarsit, filit dan batusabak. Di tepian Pluton Granit
Gumbasa terdapat granit-diorit yang sebagian genesan dan mengandung
xenolit sekis. Batuan malihan ini diduga berumur Trias yang oleh van
Leeuwen dan Muhardjo (2005) disebut sebagai Kompleks Malihan Palu,
yang tersusun oleh sekis dan genes biotit, amfibolit, sekis dan genes
amfibolit. Selanjutnya, van Leeuwen dkk. (2006) melaporkan adanya
granulit dan eklogit, yang mencirikan sebagai batuan malihan berderajat
tinggi. Kompleks malihan ini mengandung metasedimen dan metagranitoid
berumur Permo-Trias. Di tepi utara Cekungan Karama batuan malihan
ini disebut Kompleks Malihan Karossa, yang tersusun oleh metabasit dan
metapelit. Batuan malihan yang di Mendala Timur dinamakan Kompleks
Malihan Pompangeo oleh Simandjuntak dkk. (1991, 1997), yang tersusun
oleh sekis (mika, garnet, serisit, muskovit, klorit, glaukofan, pumpeliit,
amfibol), genes, kuarsit, filit, serpentinit, batusabak, pualam, dan breksi,
bersisipan grafit. Parkinson (1998) melaporkan bahwa umur sekis di
kompleks malihan ini 111 jt (akhir Kapur Awal).
Di Lengan Utara Sulawesi, batuan malihan hanya tersingkap di bagian
barat saja, dan menerus ke daerah Leher Sulawesi. Batuan malihan di
daerah itu tersusun oleh sekis (biotit, kuarsa, felspar, garnet, epidot, klorit,
talkum), genes (mika, garnet, felspar), sekis hijau (amfibol, epidot), dan
pualam, dengan terobosan retas dan stok andesit, diorit, granodiorit, dan
sienit (Sukamto dkk, 1973; Ratman, 1976). Berdasarkan satuan batuan
20 | Geologi Sulawesi
sedimen yang menindihnya, batuan malihan ini diduga berumur pra-Kapur
Akhir, sedangkan Brouwer (1947) menduga Paleozoikum. Batuan malihan
yang tersingkap di bagian selatan daerah Tolitoli dinamakan Kompleks
Malihan Malino, tersusun oleh sekis mika dan genes (kuarsa-felspar)
yang diterobos oleh granitoid meta berumur antara 358+20–320+4 jt
(Devon-Karbon Awal) (van Leeuwen dkk., 2006). Batuan malihan yang
terdiri atas sekis dan genes, dan berselingan dengan sekis hijau, amfibolit,
pualam, dan kuarsit ini, diduga berasal dari batuan sedimen turbidit dan
granitoit. Sekis hijau di tepi Kompleks Malihan Malino diduga berasal
dari batuan Paleogen di sekitarnya, yang termalihkan terutama selama
Miosen Awal–Miosen Tengah (23,1–11,3 jt), dan terakhir pada 7 jt atau
Miosen Akhir (van Leeuwen dkk., 2006). Diduga kompleks batuan malihan
ini awalnya berupa mintakat benua yang melambung ke Sulawesi pada
Mesozoikum, dan menjadi batuan dasar yang muncul sebagai kompleks
inti pada Miosen. Batuan malihan berderajat rendah juga ditemukan
pada batuan Paleogen di daerah Leher Sulawesi, seperti filit dari Formasi
Tinombo di sebelah timur Teluk Donggala yang berumur 44,1–44,8 jt
(Eosen Tengah) (van Leuwen dan Muhardjo, 2005).
Batuan Pratersier | 21
takselaras oleh batuan sedimen Kapur Akhir, yang lapisannya miring
monoklin < 250 ke arah timur laut.
22 | Geologi Sulawesi
Satuan batuan Metamorfik Bontorio (disebut juga Metamorfit
Bontorio), adalah hasil pemalihan timbunan (burial metamorphism) dari
seruntun batuan sedimen, yang masih memperlihatkan struktur asal-
nya berupa tinggalan (relic) perlapisan, konglomerat dan breksi (Suka-
mto, 1982). Selanjutnya, dia berpendapat bahwa himpunan mineral yang
dikandungnya menunjukkan adanya pemalihan ulang dari derajat tinggi-
sedang pada fasies amfibolit menjadi derajat rendah pada fasies sekis hijau.
Data radiometri yang diambil dari percontoh sekis dari Breksi Sekis, yang
mengalasi rijang radiolaria, menunjukkan umur 111 jt (akhir Kapur Awal:
Parkinson, 1998), dan satu percontoh genes dari komponen konglomerat
pada Formasi Balangbaru berumur 164+22 jt (Jura Tengah: van Leuwen,
1981). Konglomerat dari batuan sedimen Jura Awal–Jura Tengah (sebagai
lemping dalam kompleks melange) juga mengandung rombakan batuan
malihan serupa dengan batuan malihan dari Metamorfit Bontorio. Dari
ketiga data itu, maka disimpulkan bahwa pemalihan awal terjadi setidaknya
pada Trias, dan diduga terjadi di lajur orogen tepi kerak benua yang
berkembang menjadi lajur tunjaman.
Batuan Pratersier | 23
24 |
Geologi Sulawesi
Gambar 2.5 Peta geologi daerah Kompleks Melange Bantimala
Batuan Pratersier |
Gambar 2.6 Keterangan peta geologi pada Gambar 2.5
25
Sumber: Rab Sukamto
Gambar 2.7 Batupasir Paremba berumur Jura yang terlipat sangat kuat di Kompleks
Melange Bantimala
26 | Geologi Sulawesi
Rijang Paring (Gambar 2.8) terdiri atas rijang berlapis bagus dengan
perlapisan kebanyakkan antara 1–20 cm, ada yang mencapai 40 cm,
dan mengandung banyak fosil radiolaria. Di dalamnya terdapat sisipan
batulempung, batupasir sekis, dan breksi sekis. Sebagian lapisan rijang
mengandung pecahan sekis sampai 20 cm. Termasuk satuan ini adalah
batulempung yang sebagian rijangan, dan berselingan dengan batupasir
wake. Perlapisannya sebagian bergelombang, sebagian terlipat kuat, dan
sebagian terbreksikan. Di suatu tempat terdapat sentuhan pengendapan
lapisan rijang di atas breksi sekis. Di dalam Kompleks Melange Bantimala,
satuan Rijang Paring ini berupa lemping sepanjang ± 7 km, dengan tebal
± 290 m. Kandungan fosil radiolaria yang antara lain Pseudodictyomitra,
Xitus, Zifondium, dan Archaedictyomitra menunjukkan umur Jura Akhir–
Kapur Awal (160–97 jt: Harahap, 2000). Rijang radiolaria berlapis bagus
seperti itu ditafsirkan terjadi di dalam suasana air tenang di laut dalam.
Sumber: Imtihanah
Gambar 2.8 Rijang Paring berlapis bagus, beralaskan dan bersisipan breksi sekis.
Batuan Pratersier | 27
kaya epidot. Bagian tertentu mengandung urat kuarsa dan retas basal
porfir. Sentuhan dengan batuan di sekitarnya berupa sesar atau bidang
gerusan. Basal bantal yang ditemukan di beberapa tempat secara terpisah
mungkin merupakan bagian dari Basal Dengeng-dengeng. Bongkahan
batuan basal serupa juga ditemukan di dalam Breksi Sekis dan Bancuh
Pangkajene, yang mungkin berasal dari Basal Dengeng-dengeng.
Diperkirakan satuan basal ini terjadi setidaknya pada zaman Jura Tengah
di daerah tepi kerak benua yang mempunyai kompleks batuan malihan.
28 | Geologi Sulawesi
umur batuan dari komponen mélange (bancuh) itu dan umur Formasi
Balangbaru, diperkirakan mélange terjadi pada akhir Kapur Akhir (van
Leuwen, 1981).
Batuan Pratersier | 29
egunungan Lampopana (sebelah barat lajur Sesar Palu-Koro) dan
P
di sekitar Gunung (G.) Balia (sebelah timur lajur Sesar Palu-Koro).
Pada penelitian selanjutnya (Suminto, 1994; Hall dan Wilson, 2000;
van Leuwen dan Muhardjo, 2005), batuan sedimen flysch dan batuan
gunungapi di Pegunungan Lampopana dapat dikorelasikan dengan batuan
serupa dari Formasi Latimojong yang berumur Kapur Akhir di Lembar
Pasangkayu (Sukido dkk., 1993), di selatannya (Lengan Selatan bagian
tengah). Berdasarkan hasil penafsiran citra SRTM, batuan gunungapi di
Pegunungan Lampopana, yaitu di G. Gawalis dan di sekitar Donggala,
dapat digambarkan sebarannya dan mempunyai rona yang berbeda dengan
batuan gunungapi yang ada di G. Balia (Formasi Tinombo berumur
Eosen). Dengan demikian, batuan sedimen flysch dan batuan gunungapi
bawah laut di Pegunungan Lampopana, termasuk batuan gunungapi di G.
Gawalis dan di sekitar Donggala, diduga kuat sebagai kelanjutan Formasi
Latimojong berumur Kapur Akhir. Batuan gunungapi tersebut terdiri atas
diabas, spilit, dan andesit.
Batuan sedimen flysch dan batuan gunungapi bawah laut berumur
Kapur Akhir di Lengan Selatan Sulawesi terhampar mulai dari selatan ke
utara dan berturut-turut dinamakan sebagai Formasi Marada, Formasi
Balangbaru dan Formasi Latimojong. Hasibuan dan Limbong (2009)
melaporkan bahwa sedimen flysch ini diduga menerus sampai ke daerah
Donggala.
30 | Geologi Sulawesi
Sumber: Rab Sukamto
Gambar 2.9 Batuan sedimen bertipe flysch; batupasir Formasi Balangbaru,
Kapur Akhir, miring landai menindih Kompleks Melange Bantimala.
Batuan Pratersier | 31
dari 25 derajat ke arah timur laut, dan tertindih batuan berumur Paleogen
(Batuan Gunungapi Formasi Alla, batuan sedimen Formasi Malawa),
yang juga miring landai ke arah timur laut. Struktur pelapisan batuan
sedimen ini sangat menyolok bedanya dengan struktur Kompleks Melange
Bantimala yang ditindihnya dengan struktur miring terjal lebih dari 45o
juga miring ke arah timur laut. Dalam pemetaan secara rinci diketahui
kejelasan runtunan stratigrafi dan hubungannya dengan satuan lain serta
diketahuinya umur Formasi Balangbaru memungkinkan formasi batuan ini
dipakai sebagai formasi kunci dalam menyusun stratigrafi daerah Bantimala
khususnya dan daerah Lengan Selatan Sulawesi pada umumnya (Sukamto,
1986). Penelitian yang lebih khusus lagi tentang sedimentologi Formasi
Balangbaru juga telah dilakukan oleh Hasan (1991). Hasilnya, secara
umum, disajikan pada uraian berikut.
Batuan sedimen Formasi Balangbaru mempunyai perlapisan sangat
baik dan struktur sedimen turbidit di sana-sini, tersusun oleh perseli
ngan batupasir-batulanau-batulempung (tipe flysch; Gambar 2.9) dengan
sisipan breksi, konglomerat, dan lava. Formasi ini mengandung lebih
banyak batulempung di bagian tengah, tetapi di bagian bawah dan atasnya
lebih banyak mengandung batupasir; bersisipan breksi aneka-bahan di
bagian bawah, lava basal di bagian bawah dan tengah, dan konglomerat
aneka-bahan di bagian atas. Sangat sedikit batuan yang gampingan dan
miskin akan fosil yang dapat dikenali di lapangan. Pada umumnya batuan-
nya sangat kompak, sebagian telah menjadi sabakan, dan yang dekat
dengan Kompleks Melange Bantimala terbreksikan, sebagian tergerus,
mengandung barik (veinlet) kalsit. Bagian bawahnya, yang bersentuhan
dengan Kompleks Mélange Bantimala, mengandung rombakan batuan
yang berasal dari kompleks mélange, membentuk lapisan atau sisipan
breksi aneka-bahan. Lapisan breksi aneka-bahan ini berkomponen sekis,
genes, kuarsit, granit, diorit, dasit, batuan ultramafik, rijang, konglomerat,
batupasir dan batulempung, dengan masadasar batupasir wake sebagian
gampingan. Bagian bawah Formasi Balangbaru ini, yang dinamai Anggota
Unyi, diterobos oleh diorit. Bagian atas Formasi Balangbaru yang diciri-
kan oleh sisipan konglomerat aneka-bahan dinamai Anggota Timpalaja.
Berbeda dengan lapisan konglomerat aneka-bahan dibagian bawah, lapisan
konglomerat aneka-bahan di bagian atas ini mengandung komponen
basal, gabro, dasit, diorit, granit, batupasir, batulanau, batugamping, dan
kuarsa; sedikit sekis, batuan ultramafik dan rijang; dengan masadasar
batupasir wake. Secara keseluruhan tebal Formasi Balangbaru tidak kurang
32 | Geologi Sulawesi
dari 3.500 m, bagian bawahnya (Anggota Unyi) setebal ± 500 m, bagian
tengahnya setebal ± 2.000 m, dan bagian atasnya (Anggota Timpalaja)
setebal ± 1.000 m.
Analisis paleontologi yang telah dilakukan pada beberapa contoh
dari sebelah timur Kampung Bantimala, menunjukkan adanya fosil
Globotruncana dan Heterohelix yang berumur Kapur Akhir bagian atas.
Ciri-ciri himpunan batuan Formasi Balangbaru menunjukkan bahwa asal
batuannya dari kompleks mélange, dari denudasi suatu daratan, dan dari
busur magma, baik yang masih aktif maupun yang sudah tererosi. Secara
keseluruhan Formasi Balangbaru dengan ciri-ciri asal batuan seperti itu,
dan struktur umum berupa turbidit dapat ditafsirkan sebagai endapan
cekungan depan-busur pada suatu sistem busur-palung Kapur Akhir
bagian atas.
Penelitian rinci sedimentologi Formasi Balangbaru telah menghasilkan
pengetahuan tentang proses dan lingkungan pengendapannya (Hasan,
1990). Ciri runtunan sedimentasinya menunjukkan pengendapan sedimen
aliran gayaberat (sediment gravity flows), dalam lingkungan kipas bawahlaut
dari batial bawah hingga abisal. Berdasarkan ciri sedimentologi, Formasi
Balangbaru dibagi menjadi tiga anggota, yaitu bagian bawah jadi Anggota
Allub yang bersumber dari kompleks bumbunan melange (Anggota Unyi,
Sukamto 1986), bagian tengah jadi Anggota Panggalungan yang berciri
turbidit distal, dan bagian atas jadi Anggota Bua yang berciri turbidit
proksimal yang bersumber dari busur vulkanik (Anggota Timpalaja,
Sukamto, 1986). Tinggalan arus aliran pengendapan yang teramati menun-
jukkan arah kebanyakan dari baratlaut dan barat, dan sedikit dari timur
laut. Morfologi cekungannya terjal di sayap baratlaut.
Batuan sedimen flysch mirip dengan Formasi Balangbaru tersingkap
lagi di daerah Barru, sebelah utara daerah Bantimala. Di daerah ini,
batuan sedimen flysch menindih takselaras batuan malihan dan batuan
ultramafik yang diterobos oleh batuan diorit. Batuannya juga tersusun oleh
perselingan batupasir, batulanau, batulempung dan serpih, seperti bagian
tengah Formasi Balangbaru.
Batuan Kapur Akhir di Sulawesi Tengah bagian barat dipetakan seba
gai Formasi Latimojong, tersebar di daerah Pegunungan Latimojong dan
di sebelah utara Bulu Kambuno, berkontak sesar dengan batuan pluton
granit dan batuan gunungapi Formasi Lamasi, dan ditindih takselaras
oleh Formasi Toraja (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Simandjuktak dkk.,
Batuan Pratersier | 33
1991; Ratman dan Atmawinata, 1993). Batuannya terdiri dari perselingan
batupasir, batulanau, dan batulempung (tipe flysch), bersisipan batu
lempung gampingan, batugamping, wake, rijang, konglomerat, dan breksi;
sebagian termalih lemah jadi batusabak, serpih, filit, marmer, kuarsit; dan
diterobos oleh batuan bekuan menengah-basa. Batuannya termalih lemah
jadi serpih, batusabak, filit, kuarsit, dan pualam; diterobos oleh batuan
bersifat andesitan-basalan. Formasi ini tersingkap luas di Pegunungan
Latimojong yang dipakai sebagai nama formasi dalam sekala regional.
Satuan batuan serupa juga tersingkap luas di daerah Mamuju (Ratman dan
Atmawinata, 1993), dan di daerah Pasangkayu (Hadiwijoyo dkk., 1993).
Batuan tipe flysch semacam ini sangat jarang ditemukan fosil di dalamnya,
tetapi bagian yang semula dipetakan sebagai Formasi Maroro (Brouwer,
1947), pernah dilaporkan adanya fosil berumur Kapur (Brouwer, 1934;
Reyzer, 1920). Meskipun sangat jarang mengandung fosil, dalam Formasi
Latimojong di daerah Mamuju ditemukan batulempung gampingan yang
mengandung fosil Globotruncana yang berumur Kapur Akhir (Ratman
dan Atmawinata, 1993). Satuan batuan ini beralaskan batuan malihan
yang diduga berumur Paleozoikum Akhir (Brouwer, 1947), dan ditindih
takselaras batuan sedimen terestrial Formasi Toraja yang berumur Eosen
Tengah–Oligosen, dan batuan vulkanik berumur Eosen–Oligosen (Djuri
dan Sudjatmiko, 1974). Analisis radiometri pada batuan malihan dari
Pegunungan Latimojong menunjukkan umur antara 114–128 jt atau Kapur
Awal (Helmers dkk., 1990; Bergman dkk., 1996).
Formasi Latimojong di daerah Cekungan Lariang dan Karama
mempunyai tebal paling sedikit 1.000 m. Penelitian stratigrafi di daerah
ini sudah lebih rinci dalam rangka eksplorasi minyak dan gas bumi. Fosil
nano dan foraminifera yang dikandungnya menunjukkan umur Campanian
Akhir–Maastrichtian (Chamberlain dan Seago, 1995). Formasi Latimojong
di daerah ini mengandung mineral rombakan zirkon di dalam lapisan
grewake, menindih takselaras Kompleks Malihan Karossa, dan tertindih
takselaras Formasi Budungbudung (Calvert dan Hall, 2003). Pentarikhan
radiometri U/Pb pada mineral zirkon menunjukkan beberapa umur yang
berkisar dari 78 jt (Kapur Akhir) sampai 2.600 jt (pra-Kambrium), dengan
beberapa puncaknya pada 80–120 jt (Kapur), 270 jt (Perem), 500–620 jt
(Kambrium-Proterozoikum), 650 jt (Proterozoikum Akhir), dan 1.100 jt
(Proterozoikum Tengah).
Mengingat sebaran batuan Formasi Latimojong sangat luas, maka
sudah seharusnya ditingkatkan peringkatnya menjadi Kelompok
34 | Geologi Sulawesi
atimojong. Penelitian lebih lanjut di daerah Pegunungan Latimojong
L
memunculkan wacana baru tentang peringkat formasi itu. Satuan batuan
sedimen yang semula berperingkat formasi itu, karena belum diketahui
alasnya dan sebagian telah termalihkan, maka diusulkan menjadi Kompleks
Latimojong (Barber dan Simandjuntak, 1995; Harahap, 1998). Adanya
batusabak mengandung kordierit dan kiastolit, dan adanya sekis biotit-kuarsa
serta sekis horenblenda di dalamnya diduga sebagai akibat dari pemalihan
kontak terobosan granit; sedangkan adanya pelipatan dan penyesaran yang
tejadi beberapa kali diduga sebagai penyebab pemalihan dinamika di daerah
ini (Wahyono dkk., 1996). Batuan sedimen serupa, yaitu bertipe flysch, di
daerah Leher Sulawesi dan Lengan Utara Sulawesi yang semula diperkirakan
sebagian berumur Kapur, dalam penelitian selanjutnya disimpulkan bahwa
batuan sedimen itu termasuk dalam runtunan batuan berumur Paleogen
(dibahas dalam Bab III, Batuan Paleogen).
Satuan batuan sedimen bertipe flysch tersebut merupakan satuan
kunci stratigrafi yang jelas umur dan superposisinya sebagai batuan alas
satuan-satuan berumur Tersier. Satuan ini menunjukkan umur Kapur
Akhir berdasarkan fosil antara lain fosil Globotruncana. Satuan batuan ini
di daerah selatan menindih takselaras kompleks melange, dan di daerah
tengah dan utara diduga berhubungan takselaras menindih batuan malihan
yang diperkirakan berumur Trias.
Batuan Pratersier | 35
Formasi Matano (Simandjuntak dkk., 1991a). Sebagian dari batuan Malihan
Kompleks Pompangeo, terimbrikasi bersama dengan batuan ultramafik
Lajur Ofiolit Sulawesi, dan batuan karbonat Formasi Matano. Batuan
sedimen klastika Formasi Bonebone, Formasi Puna dan batuan karbonat
Formasi Poso, yang ketiganya berumur Miosen Akhir–Pliosen, menindih
takselaras ketiga macam batuan itu.
Batuan Malihan Kompleks Pompangeo tersusun oleh sekis, grafit,
batusabak, genes, serpentinit, kuarsit, batugamping malih, dan setempat
breksi. Batuan yang terutama tersusun oleh sekis terdiri atas sekis mika,
sekis mika-yakut, sekis serisit, sekis muskovit, sekis klorit-serisit, sekis
hijau, sekis glokofan, sekis pumpeliit, dan sekis yakut-amfibolit. Batuan
yang terutama tersusun oleh genes terdiri atas genes albit-muskovit, genes
kuarsa-biotit, dan genes epidot-muskovit-plagioklas. Batuan malihan
karbonat terdiri atas pualam dan batugamping terdaunkan, yang diduga
berasal dari sedimen pelagos laut dalam berumur lebih tua dari Kapur.
Formasi Matano terdiri atas batugamping hablur, kalsilutit, argilit, dan
serpih, bersisipan rijang dan batusabak; mengandung fosil Heterophelix dan
radiolaria berumur Kapur Akhir. Batuan ultramafik terdiri atas harzburgit,
lherzolit, websterit, werlit, dunit, gabro, serpentinit, dan diabas.
36 | Geologi Sulawesi
Bab III
Batuan Paleogen
Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman
37
Gambar 3.1 Sebaran satuan batuan Paleogen
38 | Geologi Sulawesi
Gambar 3.2 Korelasi Satuan Batuan Paleogen
Batuan Paleogen | 39
Satuan-satuan batuan gunungapi berumur Paleogen di Sulawesi
Tengah bagian barat dipetakan sebagai Batuan Gunungapi Lamasi dan
Tufa Rampi (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Ratman dan Atmawinata,
1993; Simandjuntak dkk., 1991a, 1997; Sukido dkk., 1993), dan Batuan
Gunungapi Tineba (Simandjuntak dkk., 1991a, 1997). Setelah beberapa
penelitian terhadap Batuan Gunungapi Lamasi di sekitar Palopo dan
daerah sebelah selatannya menemukan bukti bahwa batuan itu adalah
batuan vulkanik asal dasar samudra, maka batuan serupa yang tersingkap
di sekitar Cekungan Karama dan Cekungan Lariang seharusnya tidak
dipetakan sebagai Formasi Lamasi, dan selanjutnya disebut sebagai Batuan
Gunungapi Mirip Lamasi (Bg Mirip Lamasi).
Seperti halnya di Lengan Selatan, batuan sedimen klastika berumur
Paleogen yang banyak mengandung klastika kuarsa di daerah ini di-
petakan sebagai Formasi Toraja (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Ratman
dan Atmawinata, 1993; Simandjuntak dkk., 1991a), dan yang tersusun
terutama oleh karbonat dipetakan sebagai Batugamping Formasi Toraja
atau Anggota Rantepao, Napal Date, Napal Riu, Batugamping Formasi
Makale, dan Batugamping Formasi Lamasi (Djuri dan Sudjatmiko, 1974;
Ratman dan Atmawinata, 1993).
Batuan berumur Paleogen di Leher Sulawesi dan di Lengan Utara
Sulawesi masih dipetakan secara lebih regional, belum ada pemetaan dan
penelitian yang lebih rinci. Di daerah-daerah itu, batuan sedimen bertipe
flysch dipetakan sebagai Formasi Tinombo, dan batuan gunungapinya
dipetakan sebagai Batuan Gunungapi Formasi Tinombo. Batuan sedimen
bertipe flysch di daerah-daerah itu semula diduga terjadi sejak Kapur Akhir,
dan berlangsung sampai Paleogen dalam lingkungan laut dalam (Sukamto
dkk., 1973; Ratman, 1976; Bachri dkk., 1993; Apandi dan Bachri, 1997;
Effendi dan Bawono, 1997), tetapi sampai dewasa ini fosil yang ditemukan
belum ada yang berumur lebih tua dari Eosen.
40 | Geologi Sulawesi
1. Batuan gunungapi Paleosen
Batuan gunungapi Formasi Langi tersingkap di daerah Biru, tersusun
oleh perselingan breksi gunungapi, lava (andesitan-trakitan) dan tufa,
sebagian terubah kuat (terpropilitkan), bersisipan serpih dan batugamping.
Satuan batuan setebal tidak kurang dari 400 m ini tertindih takselaras oleh
batugamping Formasi Tonasa, dan diterobos oleh batuan granodiorit. Data
radiometri jejak-belah dari tufa menunjukkan umur 63 juta tahun (jt) atau
Paleosen Awal (van Leeuwen, 1981).
Batuan gunungapi di sebelah timur Kampung Bantimala yang me
nindih takselaras Kompleks Melange Bantimala dan tertindih sedimen
klastika Formasi Malawa, semula dipetakan sebagai Batuan Gunungapi
Terpropilitkan. Pada pemetaan lebih rinci berikutnya, kemudian nama
satuan itu dirubah menjadi Formasi Alla (Sukamto, 1986), atau Formasi
Bua (Yuwono dkk., 1987). Satuan batuan ini tersusun oleh perselingan
lava, breksi vulknik dan tufa, bersisipan batuan klastika di bagian
bawahnya. Lava bersifat basalan-andesitan-riolitan, sebagian berstruk-
tur bantal. Breksi gunungapi berkomponen basal dan andesit, setempat
mengandung dasit, ignimbrit, dan batugamping koral. Tufa sebagian ber-
selingan dengan batupasir dan batulempung cokelat kemerahan. Sisipan
batuan klastika terdiri atas konglomerat dan breksi aneka-bahan, batupasir
wake, batulumpur dan batulempung. Konglomerat dan breksi aneka-bahan
berkomponen andesit, basal, riolit, batupasir, batulanau, batulempung serta
kuarsit. Bagian atas tersusun oleh lava riolit-dasit dan breksi, bersisipan
batugamping, batupasir, batulumpur dan batulempung berlignit. Satuan
batuan ini mempunyai ketebalan tidak kurang dari 800 m, diendapkan
dalam lingkungan payau. Data radiometri K/Ar dari basal dan andesit
menunjukkan umur berkisar antara 67,8–56,2 jt (van Leeuwen, 1981)
atau akhir Kapur–akhir Paleosen. Rombakan batuan malihan dan batuan
sedimen yang lebih tua di bagian bawah formasi memberikan petunjuk
bahwa Formasi Alla telah terbentuk di dalam suatu cekungan pantai atau
laguna, di tepi suatu tinggian yang tersusun oleh Formasi Balangbaru dan
Kompleks Mélange Bantimala (Sukamto, 1986).
Batuan Paleogen | 41
Formasi Tinombo (fasies gunungapi), berumur Eosen–Oligosen (Bachri
dkk., 1993), dan di timur dipetakan sebagai Formasi Tinombo Fasies
Gunungapi, berumur radiometri 50 jt atau Eosen Awal (Apandi dan
Bachri, 1997). Himpunan batuan gunungapi di daerah ini dicirikan oleh
batuan breksi dan lava basalan, sebagian berstruktur bantal, dan kebanyakan
spilitik.
Dalam penelitian lebih rinci, di daerah bagian utara Leher Sulawesi
dan bagian barat Lengan Utara Sulawesi, sebagian dari batuan gunung
api Formasi Tinombo dipetakan sebagai Vulkanik Papayato (Trail dkk.,
1972; van Leeuwen dan Muhardjo, 2005). Batuan vulkanik ini diciri-
kan oleh bimodal suit, bersifat mafik (basalan) dengan sedikit felsik, lava
basal sebagian berstruktur bantal, bersisipan vulkanoklastika, batugamping
pelagos, batulumpur merah, dan rijang radiolaria; setempat diterobos oleh
pilar (stock) gabro dan diorit, serta kerumunan retas (dyke swarm) basal.
Kebanyakan batuannya terubah dengan mineral sekunder kalsit, zeolit dan
kalsedon (spilite). Ciri-ciri batuan gunungapi seperti itu ditafsirkan sebagai
hasil kegiatan busur gunungapi bawah-laut (Carlile dan Mitchel, 1994).
Umur satuan batuan Vulkanik Papayato ditentukan berdasarkan beberapa
data: terdapat lensa rombakan batugamping Eosen Atas, menindih lava
bantal (Rangin dkk., 1997); berdasarkan sisipan batugamping merah yang
diduga berumur Miosen Awal (Trail dkk., 1974); analisis radiometri K/Ar
pada batuan beku menunjukkan umur berkisar antara 40–50 jt atau Eosen
Tengah, dan ada pula yang 22 jt atau Miosen Awal (Polve dkk.,1994); dan
analisis fosil nano yang menunjukkan kisaran umur dari Eosen Akhir,
Oligosen, sampai Miosen Awal (van Leeuwen dan Muhardjo, 2005).
42 | Geologi Sulawesi
Kayuadi yang mengandung fosil berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal
dalam lingkungan laut neritik (Koswara dkk., 1994). Batuan gunungapi
ini tersingkap di Pulau Kayuadi dan di pesisir utara Pulau Tanah Jampea,
tersusun oleh perselingan breksi, lava (andesitan-basalan) dan tufa,
bersisipan batupasir tufaan, batulanau, napal, dan batugamping. Tebal
satuan ini lebih dari 400 m. Berdasarkan ciri himpunan batuannya dan
korelasi regionalnya, satuan batuan gunungapi ini dapat dikorelasikan
dengan batuan gunungapi Formasi Kalamiseng di daerah sebelah utaranya,
Lembar Ujung Pandang–Benteng–Sinjai dan Lembar Pangkajene–Watam-
pone Bagian Barat (Sukamto, 1982; Sukamto dan Supriatna, 1982).
Batuan gunungapi Formasi Kayuadi dan Formasi Kalamiseng dikelom-
pokkan bersama dengan batuan gunungapi Formasi Lamasi di Lembar
Majene–Palopo bagian barat dan Lembar Malili, menjadi satuan batuan
kerak samudra yang tercuatkan ke arah Lengan Selatan Sulawesi pada kala
Miosen Tengah (Harahap, 1998).
Batuan Gunungapi Kalamiseng terhampar di sisi timur Pegunungan
Bone, pesisir timur Lengan Selatan Sulawesi. Batuannya tersusun oleh
lava, breksi, tufa (basalan–andesitan), berselingan dengan batupasir, batu
lempung dan napal. Satuan batuan yang tebalnya diperkirakan sekitar
4.250 m itu, menunjukkan umur radiometri 19+2 jt (Miosen Awal)
pada terobosan granodiorit, dan 9,3 jt (Miosen Akhir) pada terobosan
andesit (Sukamto dan Supriatna, 1982). Berdasarkan superposisinya, dan
umur radiometri batuan yang menerobosnya, semula ditempatkan dalam
stratigrafi sebagai hasil kegiatan gunungapi pada Miosen Awal–Miosen
Tengah. Penelitian selanjutnya pada batuan gunungapi ini ditemukan juga
retas-retas diabas yang geokimianya menunjukkan komposisi basal toleiit
N-MORB (Yuwono, 1987). Formasi Kalamiseng, bagian bawah terdiri atas
lava bantal berselingan dengan breksi gunungapi, dan bagian atas tersusun
terutama oleh breksi gunungapi, bersusunan basalan-andesitan-riolitan.
Satuan batuan ini mengandung sedikit sisipan batupasir vulkanoklastik,
batu lumpur merah gampingan, dan batugamping, yang menunjukkan
lingkungan laut dalam; diterobos oleh retas dan pilar (stock) yang juga
bersusunan basalan-andesitan-riolitan. Pentarikhan radiometri K/Ar ter
hadap empat contoh batuan menghasilkan umur 33,3+1,67 jt (batas
Eosen-Oligosen), dan 21,72+1,09 jt, 17,5+0,88 jt, 18,7+0,94 jt (Yuwono,
1987) yang ketiganya menunjukkan umur Oligosen Awal-Miosen Awal.
Satuan batuan gunungapi Formasi Kalamiseng, ditafsirkan sebagai bagian
dari kerak samudra yang tercuatkan ke permukaan sejak Miosen Awal.
Batuan Paleogen | 43
Batuannya terdeformasi kuat, termalihkan lemah menjadi fasies sekis
hijau. Umur 9,3 jt di atas atau Miosen Akhir itu ditafsirkan sebagai umur
tektonika terakhir, yaitu ketika proses pencuatan terjadi selama akhir
Miosen Awal-Miosen Tengah.
Penelitian yang lain pada Batuan Gunungapi Kalamiseng, memperoleh
lagi tambahan data bahwa terobosan-terobosan yang terjadi bukan hanya
retas-retas diabas, tetapi juga pilar-pilar gabro, diorite, dan granodiorit
(Subandrio, 1996). Selain itu, di beberapa tempat ditemukan lapisan-lapisan
breksi gunungapi yang mengandung sisipan batugamping bioklastika.
Lapisan-lapisan breksi dan lava bersisipan tufa terutama tersebar di daerah
barat, dan lapisan-lapisan tufa lebih banyak terdapat di bagian timur. Pada
umumnya, sebaran terobosan berpola searah dengan struktur sesar, yaitu
barat-timur. Pola sesar memancar dan ciri himpunan batuan gunungapi
nya memberikan pertanda bahwa Gunung Copobenro merupakan pusat
erupsi batuan gunungapi Formasi Kalamiseng (Subandrio, 2006). Data
geokimia menunjukkan bahwa batuan gunungapi Formasi Kalamiseng
dan batuan beku yang menerobosnya mempunyai sumber magma yang
sama (comagmatic), dengan kandungan MgO, CaO, Al2O3 dan Fe relatif
tinggi. Perajahan pada diagram K2O–SiO2 menunjukkan magma asal toleiit,
diagram MnO–TiO2–P2O5 menunjukkan toleiit busur Kepulauan, dan
diagram (Na2O + K2O)–MgO–FeO menunjukkan tipe magma kalk-alkali
(Subandrio, 2006).
Dalam rangka penelitian stratigrafi untuk mengetahui lebih lanjut
posisi stratigrafi Formasi Salokalupang (Lihat Bab III hlm. 46), diperoleh
formasi baru yang disebut Formasi Deko. Formasi ini bersama Formasi
Kalamiseng dimasukkan dalam Kelompok Bone, yang dicirikan oleh
batuan gunungapi bawah-laut dan batuan sedimen laut dalam (van
Leeuwen dkk., 2010). Formasi Deko tersusun oleh batulumpur berselingan
dengan batupasir vulkanoklastika; setebal tidak kurang dari 375 m;
mengandung banyak fosil nano dan foram plangton berumur Oligosen
(sekitar 32–27 jt).
Di Sulawesi Tengah bagian barat, daerah pesisir sebelah timur
Pegunungan Latimojong tersingkap batuan gunungapi basalan-andesitan
yang dinamai Batuan Gunungapi Lamasi. Satuan batuan yang singkapan-
nya lebih dari 600 m itu pada awalnya ditempatkan pada kedudukan
stratigrafi yang sedikit berbeda pada tiga lembar yang berdampingan, yaitu
Paleosen (Simandjuntak dkk., 1991), Oligosen (Djuri dan Sudjatmiko,
1974), dan Oligosen Akhir-Miosen Awal (Ratman dan Atmawinata, 1993).
44 | Geologi Sulawesi
Hasil penelitian selanjutnya (van Leeuwen dan Muhardjo, 2005; Hall dan
Willson, 2000) menunjukkan adanya perbedaan antara yang terhampar
di sebelah timur Pegunungan Latimojong dan yang tersebar di sebelah
timur Cekungan Karama dan Cekungan Lariang, dan di sekitar lajur Sesar
Palu-Koro. Batuan Gunungapi Lamasi/Formasi Lamasi yang tersebar di
kedua daerah terakhir itu selanjutnya disebut Batuan Gunungapi Mirip
Lamasi dan akan dibahas dalam Bab IV. (hlm 156).
Batuan Gunungapi Lamasi di sebelah timur Pegunungan Latimojong
(Lembar Malili, Simandjuntak dkk., 1991a) tersusun terutama oleh lava
(basalan-andesitan), breksi dan tufa, yang belakangan diketahui sebagai
bagian dari batuan gunungapi bawah-laut yang dekat dengan kompleks
ofiolit. Sementara itu, Batuan Gunungapi Mirip Lamasi di daerah Lembar
Pasangkayu, Lembar Mamuju, dan Lembar Majene-Palopo (Sukido dkk.,
1993; Ratman dan Atmawinata, 1993; Djuri dan Sudjatmiko, 1974),
tersusun oleh tufa, breksi, lava (andesitan-dasitan), bersisipan batupasir
gampingan dan serpih.
Penelitian selanjutnya terhadap Batuan Gunungapi Lamasi yang
terhampar di sebelah timur Pegunungan Latimojong menghasilkan
informasi yang menjelaskan tentang jenis himpunan batuan dan kedudu-
kan stratigrafi satuan batuan itu. Batuannya tersusun oleh lava dan breksi
gunungapi (basalan–andesitan), bersisipan batupasir, batulanau dan serpih;
dan kompleks batuan beku yang terdiri dari gabro, pegmatit, serpentinit,
troktolit, dengan teroboson retas dolerit dan aplit (Barber dan Simandjun-
tak, 1995). Batuan gabro sebagian berlapis (cummulate gabbro), retas-retas
sebagian dolerit dan sebagian basal, lava sebagian berstruktur bantal, dan
diselingi dengan vulkaniklastika (Priadi dkk., 1994; Baharudin, 1997).
Batuan yang termalihkan lemah dengan fasies sekis hijau (epidot, klorit,
aktimolit, albit) itu memiliki kandungan silikat sangat bervariasi, yaitu SiO2
dari 39%–72% (basalan–riolitan) dengan unsur Nb rendah (Priadi dkk.,
1994; Bergman dkk., 1996). Ciri-ciri susunan kimianya secara keseluruhan
menunjukkan batuan asal dari magma toleiit bertipe N-MORB yang terjadi
di daerah orogen belakang busur.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa satuan batuan tersebut
semakin terlihat kekompleksannya pada penelitian-penelitian berikutnya,
dan kemudian muncul peringkat dan nama satuan yang baru, seperti
Kompleks Lamasi (Barber dan Simandjuntak, 1995), Kompleks Ofiolit
Lamasi (Bergman dkk., 1996; Baharudin, 1997), Formasi Lamasi
(Subandrio, 2006), dan terbagi menjadi tiga satuan, yaitu Batuan Ofiolit
Batuan Paleogen | 45
Palopo, Batuan Gunungapi Lamasi–Songka serta Batuan Gunungapi
Lamasi–Pohi (Priadi dkk., 1994). Secara mendatar himpunan batuannya
mempunyai perbedaan, yaitu di sebelah utara dan timur terutama terdiri
atas gabro, dolerite, dan basal; sedangkan di daerah selatan dan barat
terutama terdiri atas lava, breksi, tufa, dan konglomerat (Subandrio, 1996).
Konglomerat di daerah ini mengandung komponen rombakan batuan
dari Formasi Latimojong. Berdasarkan model anomali gaya berat Bouguer
ditafsirkan satuan batuan ini memiliki tebal antara 800–1.000 m (Panjaitan
dkk., 1999).
Pentarikhan radiometri yang semula menunjukkan umur 17 8 jt atau
Miosen Awal (Sukamto, 1975b), kemudian diperoleh data yang lebih
rinci sehingga diketahui adanya tiga satuan geokronologi, yaitu Batuan
Ofiolit 158,50–137,17 jt atau Jura Akhir-awal Kapur, Batuan Gunungapi
32,89–28,50 jt atau Oligosen Awal, dan Batuan Gunungapi 15,38–15,35
jt atau Miosen Tengah (Priadi dkk., 1994). Bahkan berikutnya ditemukan
pula umur yang lebih tua, yaitu 320 jt (Mississipian Akhir) atau awal
Karbon (Bergman dkk., 1996). Beberapa peneliti menyatakan bahwa
Kompleks Batuan Gunungapi Lamasi ini adalah bagian dari kerak samudra
yang tercuatkan ke arah barat pada kala Oligosen Akhir–Miosen Awal
(Bergman dkk., 1996), atau yang paling mungkin adalah terjadi setelah
pengendapan Formasi Toraja, yaitu setelah atau setidaknya pada Miosen
Tengah (Harahap, 1998).
Kompleks batuan asal dasar samudra tersebut memiliki beraneka
batuan beku dengan umur yang bermacam-macam. Ada yang berumur
Karbon Akhir, Yura Akhir, Oligosen, dan yang Miosen Tengah. Bisa jadi
beraneka macam batuan beku asal dasar samudra tersebut merupakan
lemping-lemping kompleks tektonika yang tercuatkan ke daratan pada
Miosen Tengah. Petunjuk adanya lemping-lemping tektonika itu sudah
teramati dengan adanya tiga sataun batuan yang dinamai Batuan Ofiolit
Palopo, Batuan Gunungapi Lamasi–Songka serta Batuan Gunungapi
Lamasi–Pohi (Priadi dkk., 1994).
B. Batuan Vulkaniklastika-Epiklastika
Paleogen
Di sebelah timur Lembah Walanae, Lengan Selatan Sulawesi, tersingkap
satuan batuan yang tersusun oleh perselingan antara batuan vulkaniklastika
dan epiklastika, yang dipetakan sebagai Formasi Salokalupang. Formasi
46 | Geologi Sulawesi
ini merupakan himpunan batuan sedimen darat yang berselingan dengan
batuan gunungapi, dan batuan sedimen laut dalam yang berstruktur
turbidit. Batuannya tersusun oleh perselingan batupasir, serpih, batu
lempung, kongglomerat, batugamping, napal, breksi gunungapi, lava dan
tufa. Berdasarkan fosil foraminifera yang dikandungnya, satuan batuan
yang tebalnya antara 1.500–4.500 m ini, terendapkan dalam lingkungan
laut dangkal selama Eosen Awal-Oligosen Akhir. Ke arah barat, dalam
satuan batuan ini ditemukan lebih banyak komponen kasar dari batuan
gunungapi, sebaliknya ke arah timur lebih banyak komponen halus dari
klastika laut (Sukamto, 1982; Sukamto dan Supriatna, 1982). Penelitian
lebih lanjut pada formasi ini dilakukan untuk mengetahui posisi stratigrafi
dan lingkungan pengendapannya, dan dibandingkan dengan formasi lain
yang seusia, antara lain dengan Formasi Malawa dan Formasi Toraja, yang
terpisahkan oleh Lembah Walanae dan Dataran Sengkang.
Penelitian sedimentologi pada Formasi Salokalumpang tersebut selama
tahun 1995–1999 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi meng-
hasilkan kejelasan mengenai lingkungan pengendapannya (Susanto, 1997;
Maryanto dkk., 2004). Komponen vulkaniklastika andesitan merupakan
bagian terbesar dalam formasi ini dengan sedikit komponen karbonat.
Endapan darat dan gunungapi terdapat di bagian barat daya dan selatan,
sedangkan endapan laut terdapat di bagian timur laut dan utara. Penelitian
sedimentologi pada lintasan di Salo (Sungai) Kalupang dan Salo Deka
menemukan empat fasies pengendapan, yaitu pertama fasies batulempung,
kedua fasies batupasir berlapis tipis, ketiga fasies batupasir berlapis susun,
dan keempat fasies batulumpur berbongkah. Arus purba menunjukkan
bahwa arah pengendapannya dari barat daya ke timur laut, mengarah ke
lingkungan laut dalam, dan endapan turbiditnya memperlihatkan arus
memanjang dari arah barat daya ke timur laut. Fosil foram plangton yang
dikenali menunjukkan umur Eosen Tengah-Eosen Akhir di bagian bawah,
Eosen Akhir-Oligosen Awal di bagian tengah, dan Miosen Tengah di
bagian atas (Susanto, 1997). Singkapan di Salo Baco memperlihatkan ada
nya napal yang mirip dengan napal dari Formasi Tonasa, yang menjemari
dengan batuan sedimen klastika dari Formasi Salokalupang. Hubungan
stratigrafi Formasi Salokalupang dengan Formasi Walanae diduga berupa
ketakselarasan, dan dengan Batuan Gunungapi Kalamiseng berupa sesar.
Berdasarkan data stratatigrafi dan sedimentologinya, dapat diketahui bahwa
proses pengendapan Formasi Salokalupang dipengaruhi oleh pengangkatan
akibat tektonik pada waktu itu. Pengangkatan yang terjadi di bagian barat
Batuan Paleogen | 47
daya cekungan, dan mengakibatkan paparan karbonat Formasi Tonasa
meluas ke bagian timur, maka lingkungan pengendapan turbidit laut dalam
di bagian timur laut kemudian juga berkembang menjadi paparan laut
dangkal (Maryanto dkk., 2004).
Untuk mengetahui lebih lanjut posisi stratigrafi Formasi Salokalupang,
selain lintasan di beberapa sungai tersebut, para geologiwan dari Lembaga
Geoteknologi-LIPI dan PT Rio Tinto Exploration telah di melakukan
pula lintasan geologi di sungai-sungai lain sehingga sampai dengan tahun
2004 ada sebanyak 11 sungai yang dilintasi, yaitu S. Kalupang, S. Coda, S.
Karopa, S. Deko, S. Deko Kanan, S. Linrung, S. Matajang, S. Katumpang
Kiri, S. Katumpang Kanan, S. Mata, dan S. Baco. Berdasarkan data geologi
rinci dari sebelas lintasan geologi itu, van Leeuwen dkk. (2010) menyusun
stratigrafi Pegunungan Bone (sebelah timur Lembah Walanae) menjadi
Kelompok Salokalupang dan Kelompok Bone. Kelompok Salokalupang
dapat dibagi menjadi tiga satuan batuan yang dapat diangkat sebagai
formasi, yaitu Formasi Matajang, Formasi Karopa, dan Formasi Baco;
oleh karena itu maka Formasi Salokalumpang dapat ditingkatkan statusnya
menjadi Kelompok Salokalumpang.
Formasi Matajang tersusun oleh perselingan epiklastika-vulkaniklastika,
bersisipan breksi gunungapi, lava dan batugamping, berumur Eosen
Tengah–Eosen Akhir; membentuk bagian bawah Kelompok Salokalupang.
Formasi Karopa tersusun oleh batugamping berselingan dengan batuan
gampingan (batulumpur, batulanau, dan batupasir), berumur Oligosen
Tengah–Oligosen Akhir. Formasi Baco terdiri atas batupasir, batulumpur,
batupasir dan breksi vulkanik, serta lava, berumur Miosen Awal-Miosen
Tengah. Batuan Gunungapi Kalamiseng atau Formasi Kalamiseng, ber-
sama dengan formasi baru, yaitu Formasi Deko, digabungkan jadi Kelom-
pok Bone, yang dicirikan oleh batuan gunungapi bawah-laut dan batuan
sedimen laut dalam (dibahas dalam Subbab III.A).
Formasi Matajang dapat dibedakan menjadi dua anggota: Anggota
A dan Anggota B. Anggota A, merupakan bagian atas formasi ini,
tersusun terutama oleh vulkaniklastika, breksi vulkanik, lava basal ol-
ivin, batugamping, serpih dan batulumpur, setebal lebih dari 450 m,
fosil plangton menunjukkan umur antara P.13–14 (Eosen Tengah),
dan menurut data radiometri berumur antara 39,8–38 jt (akhir Eosen
Tengah). Anggota B, merupakan bagian bawah Formasi Matajang, ter-
susun terutama oleh batuan vulkanik berselingan dengan batugamping,
48 | Geologi Sulawesi
batupasir vulkaniklastika, batulumpur, dan batugamping, setebal lebih dari
650 m. Lapisan batugamping kebanyakan mengandung fosil Pellatispira
provalae yang menunjukkan umur bagian atas zona Tb; bagian bawahnya
mengandung fosil Numulites javanus yang berumur Eosen Tengah. Pada
akhir Eosen Tengah, dalam Anggota B ini mulai diendapkan lapisan
batuan vulkanik kalk-alkali, berupa lava, piroklastika, dan breksi vulkanik,
yang pengendapannya menerus sampai Eosen Akhir. Anggota ini terenda-
pkan dalam lingkungan neritik dan karbonat terumbu laut dangkal, dengan
energi laut sedang-tinggi (van Leeuwen dkk., 2010).
Formasi Baco dapat dibagi dua: Anggota C dan Anggota D. Anggota
C terdiri atas runtunan pelapisan batupasir, batulumpur, dan breksi kaya
lumpur. Runtunan batupasir vulkaniklastika serta breksi vulkanik dengan
sedikit lava, merupakan Anggota D. Pada umumnya, Anggota C meru
pakan endapan turbidit, mengandung fosil nano dan foram plangton yang
menunjukkan umur antara CN 3–5A, setara dengan 16,8–11,61 jt (akhir
Miosen Awal-Miosen Tengah), dan terendapkan dalam lingkungan laut
terbuka. Anggota D tersusun oleh batuan vulkanik bersifat potasik, dan
fosilnya (plangton) menunjukkan umur Miosen Tengah, zona N10–N12,
atau setara dengan 14,01–11,08 jt (van Leeuwen dkk., 2010). Oleh karena
itu, maka umur Kelompok Salokalupang menjadi Eosen Awal–Miosen
Tengah.
Batuan Paleogen | 49
batuan terobosan yang berbeda jenis dan umurnya. Batuan terobosan yang
diduga berumur Paleogen di daerah Bantimala dan daerah Barru adalah
yang berbentuk pilar dan retas, dan kebanyakan bersusunan diorit.
Batuan terobosan berumur Paleosen dipetakan sebagai Diorit Langko
dan Dasit Pasorang. Diorit Langko berupa kompleks terobosan yang
terdiri atas pilar diorit dengan retas diorit dan andesit di dalamnya.
Kebanyakan batuannya terubah, terkekarkan, terpecahkan, sebagian
tergerus, dan mengandung urat kuarsa. Retas diorit dan andesit menerobos
tubuh diorit di sana-sini, dengan tebal antara 0,2–30 m. Batuan ini
menerobos Formasi Balangbaru, dekat sentuhan dengan Kompleks
Melange Bantimala, memanjang kira-kira ke arah barat laut-tenggara.
Pinggiran_ tubuhnya sebagian mengandung helatan (xenolith) sekis,
batupasir, batulanau dan batulempung. Hasil analisis radiometri K/Ar
menunjukkan umur 65 ± 4,2 jt atau Paleosen. Dasit Pasorang berupa
tubuh dasit yang menerobos Metamorfit Bontorio. Singkapannya sangat
lapuk, bagian yang agak segar terdiri atas dasit porfir, mungkin berumur
sama dengan Diorit Langko.
Analisis radiometri dan isotop pada batuan malihan dan batuan
terobosan di beberapa daerah di Sulawesi Tengah bagian barat di Leher
Sulawesi, dan di bagian barat Lengan Utara Sulawesi menunjukkan umur
stratigrafi batuan Eosen Tengah–Oligosen Awal (Elburg dkk., 2003).
Batuan granit kalk-alkali dari Granit Kambuno, di sebelah barat daya
Danau Poso, dekat tempat pemineralan tembaga Sangkaropi, berumur
29,87 jt (Oligosen Akhir). Tempat pemineralan ini merupakan perbatasan
sesar sungkup dengan Batuan Gunungapi Lamasi yang diterobos oleh
retas basal toleiit. Batuan terobosan di sebelah timur laut Kota Palu
berumur 37,5 jt (Eosen Akhir), dan granit di daerah Renangkali, sebelah
utaranya, berumur 35,1–33,4 jt (Oligosen Awal). Batuan berumur Eosen
Tengah–Oligosen Awal itu juga tersebar di daerah Leher Sulawesi (van
Leeuwen dan Muhardjo, 2005; van Leeuwen dkk., 2007).
Penelitian kandungan isotop Sr, Nd, dan Pb pada batuan beku di
Sulawesi Tengah bagian barat dan di bagian utara Leher Sulawesi dan
bagian barat Lengan Utara Sulawesi menghasilkan pengetahuan tentang
umur dan sejarah perkembangan tektonika kerak dan mantel bumi di
daerah-daerah itu (Elburg dkk., 2003). Sejarah perkembangan evolusi
batuan beku di kawasan ini dapat diamati selama 51 jt–2 jt yang lalu
(Eosen Awal–Pliosen Akhir), yang pada awalnya bersifat toleiit dan
kalk-alkali normal, kemudian berkembang menjadi kalk-alkali kaya-K.
50 | Geologi Sulawesi
Berdasarkan data analisis radiometri, geokimia dan isotop di bagian utara
Leher Sulawesi dan di Lengan Utara Sulawesi, beberapa peneliti ber-
kesimpulan bahwa batuan beku basalan berumur Paleogen diduga terjadi
di atas kerak samudra (Kavalieris dkk., 1992; Pearson dan Caira, 1999).
Sementara itu, batuan terobosan yang berumur antara 22 jt–0,9 jt (Miosen
Awal–Plistosen Awal) bersifat kalk-alkali terjadi di busur gunungapi (Polve
dkk.,1997; Elburg dan Foden, 1998).
Batuan Paleogen | 51
batulempung serta batugamping di bagian atas juga merupakan lapisan
peralihan secara berangsur ke Formasi Tonasa yang menindihnya. Sisipan
batugamping dari bagian atas Formasi Malawa mengandung fosil foram
yang menunjukkan umur Eosen Awal. Batuan sedimen yang dicirikan
oleh kandungan kuarsa melimpah, dengan variasi selingan yang luas dari
satu tempat ke tempat lain, mengandung endapan saluran, dan sisipan
batubara memberikan petunjuk bahwa Formasi Malawa terbentuk dalam
lingkungan fluviatil. Lapisan batulanau–batulempung berfosil moluska dan
sisipan batugamping merupakan endapan antara darat dan laut, mungkin
suatu laguna. Batuan fluviatil yang terlampar sangat luas dan menindih
takselaras batuan yang lebih tua, setempat mengandung endapan laguna,
menunjukkan bahwa Formasi Malawa telah terbentuk dalam suatu data-
ran pesisir sangat luas selama Eosen Awal. Satuan batuan ini mengalasi
batuan karbonat paparan Eosen Akhir–Miosen Tengah Formasi Tonasa.
Penelitian terhadap Formasi Malawa setebal sekitar 100 m di Gatarang,
daerah Soppeng, menghasilkan pengetahuan bahwa bagian bawahnya
tersusun oleh batupasir kuarsa, berbutir menengah-kasar, serpih, dan
batulempung; dan bagian atasnya tersusun oleh batulumpur dan batupasir
halus karbonan. Formasi ini terendapkan mulai dari lingkungan darat,
pantai dan laut dangkal (Kusnama dan Andi-Mangga, 2007).
Di tempat penambangan batugamping Tonasa I, bagian tengah dae-
rah Pangkajene, tersingkap Formasi Malawa di bawah Formasi Tonasa.
Formasi Malawa di daerah ini tersusun oleh perlapisan batupasir kuarsa,
batubara, dan lempung yang sebagian berlapis (Crotty dan Engelhardt,
1993). Dari data di daerah ini, ditafsirkan bahwa Formasi Malawa berkon-
tak secara berangsur dan menjemari dengan Formasi Tonasa, dan diduga
berumur Eosen Tengah–Eosen Akhir.
52 | Geologi Sulawesi
dalam lingkungan dari paralas sampai laut dangkal (neritik), selama Eosen
sampai Miosen Tengah.
Di tempat tertentu, sisipan batugamping berkembang menjadi bioherm
bercirikan fosil Numulites, yang dipetakan sebagai fasies batugamping
Formasi Toraja. Umur Formasi Toraja yang diperkirakan mulai dari Eosen
sampai Miosen Tengah di Lembar Majene (Djuhri dkk., 1998), dan Eosen
Tengah-Eosen Akhir di Lembar Mamuju (Ratman dan Atmawinata, 1993).
Adanya batuan-batuan yang dapat berfungsi sebagai batuan induk hidro-
karbon (serpih karbonan dan batubara) serta batuan waduk hidrokarbon
(batupasir dan batugamping) pada Formasi Toraja, ditambah adanya
rembesan minyak bumi di beberapa tempat di sekitar Tana Toraja, telah
mendorong dilakukannya penelitian stratigrafi lebih rinci di daerah ini.
Batuan sedimen Formasi Toraja ini cukup tebal, yaitu antara 1.000–1.250
m, diperkirakan menindih takselaras Formasi Latimojong. Hubungannya
dengan Formasi Makale sulit diketahui karena berkontak sesar, tetapi ciri
himpunan batuan dan lingkungan pengendapannya menunjukkan adanya
hubungan menjemari di bagian atasnya. Di daerah sebelah barat Palopo,
batuan sedimen Formasi Toraja diterobos oleh Granodiorit Palopo yang
berumur Miosen Akhir (6,45 ± 0,14 jt; Priadi, 1994), dan bersentuhan
sesar dengan Batuan Gunungapi Lamasi (Harahap, 1998). Di bagian utara,
Formasi Sekala menindih takselaras Formasi Makale dan Formasi Toraja.
Hasil penelitian sedimentologi pada Formasi Toraja menunjukkan
adanya beberapa fasies pengendapan yang dapat ditafsirkan sebagai sejarah
lingkungan terjadinya. Pengendapan Formasi Toraja dapat diamati adanya
empat fasies, yaitu pertama fasies batulempung pejal, kedua fasies batu-
pasir silang-siur, ketiga fasies batulempung berlapis, dan keempat fasies
batugamping klastika (Maryanto, 1997). Fasies pertama, kedua, dan ketiga
menunjukkan lingkungan pengendapan pasang-surut dengan arus berarah
dari utara ke selatan, dan fasies keempat memperlihatkan lingkungan
pengendapan dangkalan laguna yang dipengaruhi oleh gelombang
berarah utara timur laut-selatan barat daya di lepas pantai berarah timur
tenggara-barat laut. Pada fasies batulempung berlapis yang gampingan
ditemukan sisa-sisa tumbuhan dan lubang-lubang binatang. Penelitian lebih
lanjut menunjukkan bahwa berdasarkan komponen klastikanya, sumber
batuan Formasi Toraja berasal dari daerah batuan sedimen, malihan dan
gunungapi; yang diendapkan dalam lingkungan danau, sungai teranyam,
Batuan Paleogen | 53
pasang-surut, dangkalan laguna dan paparan laut terbuka (Maryanto, 1999).
Batuan sedimen Formasi Toraja yang semula diperkirakan setebal antara
1.000–1.250 m dan berumur Eosen–Miosen Tengah, berdasarkan model
anomali gaya berat Bouguer ditafsirkan memiliki tebal tidak kurang dari
4.000 m (Panjaitan dkk., 1999).
54 | Geologi Sulawesi
dalam cekungan sesar berarah timur laut–barat daya. Formasi inilah yang
di masa lampau disebut sebagai Coalfields (Reyzer, 1920).
Formasi Budungbudung tersusun oleh batulumpur (sebagian serpihan),
batupasir kuarsa, batugamping, kongklomerat, dan vulkaniklastika, yang
seluruh tebalnya mencapai antara 1.000–2.000 m; menindih takselaras
batuan sedimen flysch Kapur Akhir, dan menindih selaras Formasi
Kalumpang. Fosil yang dikandungnya menunjukkan umur Eosen-Oligosen,
dan terendapkan dalam lingkungan neritik dalam dan neritik luar.
Batuan Paleogen | 55
Penelitian lebih lanjut tentang kedudukan stratigrafi serta umur
Formasi Tinombo di daerah-daerah Sulawesi Tengah bagian barat, Leher
Sulawesi, dan di bagian barat Lengan Utara Sulawesi, telah menemukan
fosil yang dapat menentukan umurnya. Di S. Tinombo, bagian bawah
Formasi Tinombo tersusun oleh batupasir gampingan, batugamping
pasiran, dan konglomerat gampingan yang mengandung fosil bentos
Numulit yang diduga berumur Eosen Tengah–Eosen Akhir. Lapisan
atasnya terdiri atas batusabak, filit, dan grewake, dengan sisipan lava
(andesitan), vulkaniklastika, dan karbonat pelagos dengan fosil berumur
Eosen Tengah–Oligosen Tengah. Lensa-lensa batugamping Numulit
juga ditemukan di sana-sini dalam Formasi Tinombo (van Leeuwen dan
Muhardjo, 2005). Sebagian besar fosil Numulit menunjukkan umur Eosen
Tengah–Oligosen Tengah, namun di bagian atas Formasi Tinombo di
sebelah barat Tolitoli juga mengandung fosil Miosen Awal.
Penelitian geologi rinci untuk molibden porfiri di daerah Malala
(Tolitoli), emas epitermal di daerah Palu, dan untuk tembaga porfiri di
daerah Masabo-Budungbudung (Sulawesi Tengah), yang dilakukan secara
berselang oleh PT Rio Tinto dalam kurun waktu 1971–2000, menghasilkan
beberapa data geologi baru (van Leeuwen dan Muhardjo, 2005). Berdasar-
kan data petrografi, geokimia, peleontologi, isotop Sr-Nd-Pb, dan umur
radiometri, dapat dikenali adanya dua mintakat (terrain), yaitu Mintakat
Sulawesi Barat (bagian barat Sulawesi Tengah) dan Mintakat Sulawesi
Utara (Leher Sulawesi dan bagian barat Lengan Utara Sulawesi). Di kedua
mintakat itu terdapat perbedaan stratigrafi pada kala sebelum Miosen
Tengah (Gambar 3.3–3.4). Selama Eosen Tengah–Miosen Awal di daerah
Mintakat Sulawesi Barat terjadi pengendapan Formasi Budungbudung
(darat-neritik) di atas Formasi Latimojong (Kapur Akhir) dan Kompleks
Batuan Malihan Karossa di tepi utara Cekungan Lariang. Sedangkan, di
daerah Mintakat Sulawesi Utara terjadi pengendapan Formasi Tinombo
dan Batuan Vulkanik Papayato (laut dalam) di atas Kompleks Batuan
Malihan Malino (van Leeuwen dan Muhardjo, 2005).
56 | Geologi Sulawesi
Gambar 3.3 Stratigrafi daerah Pegunungan Bone, Lengan Selatan Sulawesi (ubahan
dari van Leeuwen dkk., 2010).
Batuan Paleogen | 57
Gambar 3.4 Stratigrafi daerah Sulawesi Tengah bagian barat, Leher Sulawesi, dan
Lengan Utara Sulawesi bagian barat (ubahan dari van Leeuwen dan Muhardjo, 2005).
58 | Geologi Sulawesi
Tonasa. Batuan karbonat Paleogen di Sulawesi Tengah bagian barat, yang
tersebar di lima daerah lembar peta geologi, yaitu Lembar Majene dan
Palopo Bagian Barat, Lembar Mamuju, Lembar Pasangkayu, Lembar
Malili, dan Lembar Poso, batuan karbonat Anggota Rantepao (Formasi
Toraja), Napal Date, Napal Riu, batuan karbonat Formasi Makale, dan
batuan karbonat Formasi Lamasi. Batuan karbonat Paleogen di Leher
Sulawesi dan di Lengan Utara Sulawesi, terdapat dalam bentuk lensa-lensa
batugamping Numulit (yang tak terpetakan) dalam batuan sedimen flysch
Formasi Tinombo.
Batuan Paleogen | 59
Sumber: Surono
Gambar 3.5 Morfologi karst, tebing tegak, dan perlapisan mendatar menjadi ciri
pemandangan pada batugamping Formasi Tonasa di daerah Sulawesi Selatan).
60 | Geologi Sulawesi
mengandung banyak foram besar dan komponen asing berupa kerakal dan
bongkah dari sekis dan batupasir.
Batuan karbonat Formasi Tonasa di daerah penelitian ini memiliki tebal
antara 400 m dan 1.450 m, tetapi di tempat lain dilaporkan memiliki tebal
mencapai 3.000 m. Dari penelitian yang lebih dahulu dilaporkan bahwa
Formasi Tonasa ini menindih selaras batuan klastika Formasi Malawa (Eosen),
bercirikan kandungan kuarsa, dan tertindih selaras oleh batuan gunungapi
Formasi (Kelompok) Camba, yang berumur Miosen Tengah–Miosen Akhir.
Penelitian rinci batuan karbonat Formasi Tonasa telah dilakukan di
beberapa daerah di Lengan Selatan Sulawesi (Wilson dan Bosence, 1997).
Batuan karbonat di daerah itu umumnya bermorfologi kars, sebagian di daerah
Jeneponto terlipat dengan kemiringan antara 5o–55o dengan sumbu berarah
barat laut-tenggara, dan terpotong sesar juga dengan arah barat laut-tenggara.
Kontak batuan Formasi Tonasa dengan batuan di bawahnya dan
menindihnya dapat diamati dengan jelas di beberapa tempat. Di tempat
penambangan batugamping Tonasa I, bagian tengah daerah Pangkajene,
tersingkap Formasi Tonasa menindih berangsur Formasi Malawa. Di
beberapa tempat di daerah Pangkajene dan Jeneponto, Formasi Tonasa ter-
lihat berkontak berangsur dengan batuan gunungapi Formasi (Kelompok)
Camba yang menindihnya, seperti yang tersingkap di tepi timur daerah
Pangkajene dan di tepi utara daerah Jeneponto (Crotty dan Engelhardt,
1993). Batuan karbonat di daerah ini diterobos oleh retas, korok dan pilar
batuan basal dan diorit berumur Miosen Tengah-Misen Akhir.
Hasil penelitian lebih rinci terhadap Formasi/Kelompok Tonasa
menunjukkan adanya perbedaan lingkungan pengendapan antara yang
tersingkap di daerah Jeneponto dan di daerah Pangkajene (Wilson dan
Bosence, 1997). Di daerah Jeneponto lebih banyak ditemukan lapisan-
lapisan napal dari pada di daerah Pengkajene. Lapisan napal di daerah
Jeneponto ada yang masih mendatar dengan tebal lebih dari 90 m.
Lapisan-lapisan napal berselingan dengan bioklastika jenis packstone dan
grainstone, banyak mengandung fosil pelagos dan sedikit fosil foram
plangton; terendapkan dalam lingkungan dari sublitoral sampai batial laut
terbuka. Bagian bawah satuan batuan mengandung sedikit mineral glokonit
dan kuarsa (asal daratan), dan tinggalan arah arus purba pada lapisan
silang-siur batuan packstone, yang menunjukkan arah arus datang dari barat.
Berdasarkan hasil penelitian di beberapa daerah di Lengan Selatan
Sulawesi, disimpulkan bahwa batuan karbonat Formasi/Kelompok Tonasa
di daerah Pangkajene dan sekitarnya terendapkan di paparan laut dangkal
Batuan Paleogen | 61
terbuka, yang terpisah dari sumber batuan klastika bukan-karbonat. Hal
ini ditunjukkan oleh tiadanya rombakan batuan silikat, seperti kuarsa
dan lain-lain. Lapisan-lapisan napal dan bioklastika di daerah Jeneponto
diduga _berasal dari rombakan batuan karbonat Paparan Tonasa di daerah
Pangkajene ke daerah cekungan sesar. Demikian pula batuan karbonat yang
tersusun terutama oleh perselingan napal dan bioklastika di daeah Cekungan
Barru, ditafsirkan sebagai endapan rombakan karbonat yang sumbernya dari
karbonat Paparan Tonasa di daerah Pangkajene, yang mengalir ke lembah
sesar. Berdasarkan fosil yang dikandungnya, pengendapan batuan karbonat
Kelompok Tonasa berlangsung selama Eosen Akhir sampai Miosen Tengah
(Sukamto, 1982; Wilson dan Bosenco, 1996).
Di daerah Sulawesi Tengah bagian barat, batuan karbonat Paleogen antara
lain dipetakan sebagai batugamping Formasi Toraja atau batugamping Anggota
Rantepao, Formasi Toraja. Satuan batuan ini tersusun oleh batugamping
koral, batugamping bioklastika, kalkarenit, napal, dan batugamping Numulites
yang berumur Eosen. Batuan karbonat setebal tidak kurang dari 500 m ini
diendapkan dalam lingkungan pengendapan dari neritik sampai laguna.
Penelitian pada Anggota Batugamping, Formasi Toraja yang ter
singkap di Sungai Nanggala, 10 km timur laut kota Rantepao, menemukan
ciri anggota itu sebagai batugamping klastika yang kaya akan foram besar
(Sudijono, 2005). Bagian bawahnya mengandung fosil Alveolina spp.
yang berumur Eosen Tengah (Ta), dan bagian atasnya mengandung fosil
Pellatispira madaraszi dan Discocyclina/Asterocylina spp. yang berumur Eosen
Akhir (Tb). Anggota batugamping ini tertindih oleh seruntun batuan
sedimen yang tersusun dari batupasir vulkaniklastika dan batulempung,
dengan kandungan foram plankton berumur Eosen Akhir (Zona P 15),
dalam lingkungan laguna di bagian bawah dan laut terbuka di bagian atas.
Formasi Makale di Sulawesi Tengah bagian barat, yang semula dipeta
kan sebagai batugamping terumbu berumur Miosen Awal-Miosen Tengah
(Ratman dan Atmawinata, 1993; Simandjuntak dkk., 1991a), kemudian
dalam penelitian lebih lanjut diketahui berumur Eosen Aklhir–Miosen
Tengah. Melalui penelitian rinci dapat diamati adanya lima fasies pengen
dapan, yaitu pertama fasies napal-batupasir gampingan, kedua fasies
napal-batugamping klastika, ketiga fasies terumbu koral-batugamping
klastika kasar, keempat fasies batugamping klastika halus, dan kelima fasies
batugamping non-klastika, dengan fosil-fosil foram besar, foram plangton,
algae (ganggang) dan koral (Maryanto, 1997). Fasies pertama dan kedua
merupakan batuan sedimen yang diendapkan pada paparan laut terbuka. Di
62 | Geologi Sulawesi
beberapa tempat ditemukan dolomit sebagai sisipan (Coffield dkk., 1993).
Penelitian paleontologi lebih rinci menunjukkan bahwa himpunan fosil
pada napal-batugamping bagian bawah Formasi Makale berumur Eosen
Akhir, pada napal bagian tengah berumur Oligosen Tengah, dan pada
batugamping-napal bagian atas berumur Miosen Awal-Miosen Tengah
(Sihombing, 1999). Fosil foram plangton berumur Oligosen Akhir juga
ditemukan di bagian atas Formasi Toraja (Wahyono dkk., 1996). Berdasarkan
model anomali gaya berat Bouguer ditafsirkan batugamping Formasi Makale
memiliki tebal tidak kurang dari 900 m (Panjaitan dkk., 1999). Hubungan
stratigrafi antara Formasi Makale dengan Formasi Toraja sulit diketahui
di daerah telitian karena selalu ditemukan berupa sesar. Akan tetapi, ber-
dasarkan ciri himpunan batuannya, lingkungan pengendapannya dan
umurnya, diperkirakan Formasi Makale yang berumur Eosen Awal-Miosen
Tengah menjemari dengan bagian atas Formasi Toraja atau perubahan fasies
(Maryanto, 1999). Di bagian utara, Formasi Makale tertindih takselaras oleh
batuan vulkaniklastika Formasi Sekala (Sukido dkk., 1993).
Batuan Paleogen | 63
64 | Geologi Sulawesi
BAB IV
BATUAN NEOGEN
Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman
65
Tengah. Pada beberapa cekungan akhir Neogen terendapkan batuan
sedimen klastika darat dan laut dangkal bersama dengan batuan karbonat.
Batuan sedimen klastika itu di banyak tempat, terutama di tepi cekungan,
menunjukkan lingkungan paralas (darat-laut dangkal) dikenal sebagai
Celebes Molasse (Sarasin dan Sarasin, 1901) diterjemahkan sebagai Molasa
Sulawesi. Sedimen tipe molasa dicirikan oleh himpunan konglomerat
kasar dan batupasir; dengan sisipan serpih, napal, lignit, dan batugamping
(Gambar 4.2). Batuan sedimen tipe itu merupakan hasil rombakan daerah
sembul (horst) yang terendapkan di tepi cekungan terban (graben) sebagai
hasil pengangkatan dan penyesaran bongkah.
Sebagaimana dibahas pada Bab III, bahwa terdapat perbedaan
stratigrafi pada kala sebelum Miosen Tengah antara daerah Sulawesi
Tengah bagian barat (Mintakat Sulawesi Barat) dan daerah Leher Su-
lawesi serta bagian barat Lengan Utara Sulawesi (Mintakat Sulawesi
Utara), maka kemudian sejak Miosen Tengah terjadi kesamaan stratigrafi
di kedua daerah itu (Gambar 3.3). Selama Miosen Tengah–Pliosen Awal,
kedua daerah itu berada di dalam lingkungan pengendapan yang sama,
yaitu dalam suatu busur gunungapi (Elburg dkk., 2003; van Leeuwen dan
Muhardjo, 2005; van Leeuwen dkk., 2006). Selama kurun waktu itu, di
daerah Mintakat Sulawesi Barat terendapkan Formasi Lisu dan batuan
gunungapi kaya-K serta Batuan Vulkanik Gimpu (kalk-alkali asam kaya-K,
dan potasik-ultrapotasik); sedangkan di daerah Mintakat Sulawesi Utara
terendapkan Formasi Buol (Buol Beds) dan Batuan Vulkanik Ongka (kalk-
alkali asam kaya-K). Sejak Pliosen Tengah, secara merata di kedua daerah
mintakat itu terendapkan sedimen bertipe molasa (Molasa Sulawesi).
66 | Geologi Sulawesi
Gambar 4.1 Korelasi satuan batuan Neogen
Batuan Neogen | 67
Gambar 4.2 Sebaran satuan batuan Neogen di bagian barat Sulawesi
68 | Geologi Sulawesi
satuan-satuan baru berperingkat sebagai formasi maka peringkat sebagian
formasi yang lama meningkat menjadi kelompok.
Satuan batuan gunungapi sebanyak 17 tersebut dapat dikelompok-
kan menjadi: Batuan Gunungapi Laut-Darat Oligosen-Miosen (Batuan
Gunungapi Mirip Lamasi, Batuan Gunungapi Tineba, Tufa Rampi); Batuan
Gunungapi Miosen Awal (Batuan Gunungapi Soppeng); Batuan Gunung
api Miosen Tengah–Pliosen (batuan gunungapi Formasi/Kelompok
Camba, Batuan Gunungapi Walimbong, Batuan Gunungapi Talaya,
Batuan Gunungapi Adang, Tufa Beropa, Batuan Gunungapi Pani, Breksi
Wobudu, Batuan Gunungapi Bilungala, Batuan gunungapi tanpa-nama);
dan Batuan Gunungapi Pliosen (Batuan Gunungapi Tondongkarambu,
Batuan Gunungapi Parepare, Batuan Gunungapi Bukide). Pada dasarnya,
17 satuan batuan gunungapi itu tersusun terutama oleh himpunan
batuan breksi gunungapi, lava dan tufa; dengan sedikit perbedaan umur,
komposisi, dan sisipannya. Semua satuan batuan itu mempunyai sisipan
batuan sedimen laut dengan kadar dan jenis yang sedikit berbeda. Ke arah
menyamping, sisipan batuan sedimen laut menjadi meluas dan membentuk
formasi batuan sedimen vulkaniklastika dan epiklastika. Sejak pemetaan
geologi bersistem tahun 1970–1980-an sampai tahun 2000-an sudah
banyak tambahan data hasil penyelidikan dan penelitian yang sebagian
besar terangkum dalam tulisan ini.
Batuan Neogen | 69
di sebelah selatan Lembah Lariang, seperti di Sungai Tebo, bersisipan
batuan napal yang mengandung fosil foraminifera berumur Oligosen
Akhir–Miosen Awal (Sukido dkk., 1993).
Dalam penelitian yang berkaitan dengan eksplorasi minyak dan gas
bumi, batuan gunungapi tersebut dianggap sebagai bagian bawah dari
Formasi Budungbudung (van Leeuwen dan Muhardjo, 2005), yang ber
umur Eosen Tengah-Miosen Awal. Batuan vulkanik di bagian bawah dari
formasi ini diduga sekerabat dengan Batuan Vulkanik Kambuno yang
kemungkinan berumur lebih tua dari Eosen (Calvert, 2000). Bagian bawah
formasi lebih banyak mengandung batuan vulkanik dan vulkaniklastika
bersisipan batugamping Numulit, diendapkan dalam lingkungan neritik
dalam–neritik luar.
Selain di daerah-daerah tersebut, di sisi utara Danau Lindu dan di bebe
rapa tempat di daerah sebelah selatannya, dekat batuan pluton Granit
Kambuno, juga tersingkap batuan gunungapi yang dipetakan sebagai
Batuan Gunungapi Tineba. Batuan gunungapi itu tersusun oleh lava
(andesitan-basalan), latit, dan breksi gunungapi, yang diperkirakan ber
umur Oligosen–Miosen Awal. Batuan gunungapi sejenis yang tersebar di
sebelah timur lajur Sesar Palu-Koro, yang juga dipetakan sebagai Batuan
Gunungapi Tineba, tetapi umurnya diduga Miosen Tengah-Miosen Akhir
(Simandjuntak dkk., 1991a, b).
70 | Geologi Sulawesi
Kepulauan Sangihe di ujung utara. Secara regional batuan gunungapi ini
dipetakan sebagai Batuan Gunungapi Formasi/Kelompok Camba, Batuan
Gunungapi Walimbong, Batuan Gunungapi Talaya, Batuan Gunungapi
Adang, Tufa Beropa, Batuan Gunungapi Pani, Breksi Wobudu, Batuan
Gunungapi Bilungala, dan batuan gunungapi tanpa-nama di daerah
Lembar Manado.
Batuan Gunungapi Formasi/Kelompok Camba di Lengan Selatan
Sulawesi tersingkap luas di Pegunungan Soppeng, sebelah barat Lembah
Walanae, dan di ujung selatan Pegunungan Bone, sebelah timur Lembah
Walanae (Sukamto dan Supriatna, 1982; Sukamto, 1982). Batuan gunungapi
ini dipetakan sebagai fasies gunungapi atau anggota batuan gunungapi dari
runtunan batuan sedimen vulkaniklastika dan epiklastika-laut Formasi/
Kelompok Camba (dibahas pada Subbab IV.B). Anggota ini tersusun oleh
breksi gunungapi, lava (andesitan-basalan), aglomerat, dan tufa (halus-
lapili); bersisipan batupasir (tufaan-gampingan), batulempung berlignit,
napal, dan batugamping. Selain foraminifera, dalam batuan napal dan
batugampingnya juga ditemukan fosil koral dan moluska.
Kelompok/Formasi Camba mengandung fosil koral dan moluska
menandakan pengendapan dekat pantai, dan fosil foraminifera menun-
jukkan umur Miosen Tengah–Miosen Akhir, sebagian ada yang sampai
Pliosen Awal; berlingkungan pengendapan laut neritik; adanya sisipan
batubara menunjukkan lingkungan darat atau dekat darat. Pentarikhan ra-
diometri sebanyak 24 contoh batuan gunungapi dan terobosan di Lengan
Selatan Sulawesi dan Sulawesi Tengah bagian barat menunjukkan umur: 6
percontoh 19±3,4–12,7 jt (juta tahun) atau Miosen Awal–Miosen Tengah,
14 percontoh 10,6–5,0 jt (Miosen Akhir), dan 4 percontoh 4,95–3,35 jt
(Pliosen). Berdasarkan luas sebaran batuan magmatit di sepanjang busur
kepulauan ini, kelihatannya kegiatan magma mulai mereda lagi pada kala
Pliosen.
Pemetaan geologi lebih rinci dalam skala 1:50.000, pada batuan gunung
api Kelompok/Formasi Camba menghasilkan beberapa satuan batuan
yang dapat dipetakan sebagai formasi. Oleh karena itu, penamaan Batuan
Gunungapi Formasi Camba seharusnya ditingkatkan peringkatnya menjadi
Batuan Gunungapi Kelompok Camba. Pemetaan geologi rinci yang diacu
dalam tulisan ini adalah yang dilakukan di daerah Biru (van Leeuween,
1978), dan di daerah Bantimala (Sukamto, 1986).
Batuan Neogen | 71
Batuan Gunungapi Kelompok Camba yang tersingkap di daerah
Biru (Gambar 4.3), sebelah timur laut Gunung Lompobatang, dalam
pemetaan geologi rinci ditemukan tujuh satuan batuan gunungapi setingkat
formasi dan atau anggota, yaitu Batuan Gunungapi Sopo, Ignimbrit
Marara, Batuan Gunungapi Bila, Sienit Biru, Batuan Gunungapi Kahu,
Batuan Gunungapi Ulubila, dan Batuan Gunungapi Lemo (Elburg dkk.,
2002). Batuan Gunungapi Sopo tersusun oleh vulkaniklastika dan lava
andesitan-basalan bersifat shosonit, diterobos oleh retas andesit, setebal
tak kurang dari 260 m, dan berumur antara 10,5–11,2 jt. Ignimbrit Marara
bersifat dasitan, setebal sekitar 110 m, terkekar meniang, dan berumur
10,3 jt. Batuan Gunungapi Bila tersusun oleh vulkaniklastika, napal
tufaan, dan lava leusit-tefrit dan basal piroksen, setebal sekitar 175 m, dan
berumur 10–8 jt. Sienit Biru merupakan batuan terobosan bersusunan
sienit-monzonit, dan berumur 8,4 jt. Batun Gunungapi Kahu terdiri dari
batuan vulkaniklastika berselingan dengan aliran lava (basalan–andesitan),
setebal sekitar 100 m, dan berumur 7,0–7,6 jt. Batuan Gunungapi Ulu-
bila juga terdiri dari batuan vulkaniklastika berselingan dengan aliran
lava (andesitan-dasitan), hanya tersingkap 50 m, dan berumur 6,2 jt.
Sementara itu, Batuan Gunungapi Lemo tersusun oleh breksi gunungapi,
tufa, lava, dan retas (andesitan), berkerabat alkali tinggi–lkali olivin basal,
setebal lebih dari 350 m, dan berumur 6,3–7,0 jt. Ketujuh satuan batuan
gunungapi itu menunjukkan umur Miosen Akhir, dan bisa jadi bagian
atasnya berumur Pliosen.
Dalam pemetaan lebih rinci di daerah Bantimala skala 1:50.000, batuan
vulkaniklastika dan epiklastika Kelompok Camba dapat dipetakan men-
jadi Formasi Benrong dan Formasi Kunyikunyi. Formasi Benrong, yang
tersingkap di sebelah timur Kompleks Mélange Bantimala, tersusun oleh
tufa, batupasir, batulempung, napal, dan bersisipan breksi gunungapi, serta
mengandung fosil foraminifera yang menunjukkan umur Miosen Tengah,
berlingkungan pengendapan neritik. Formasi Benrong setebal >400 m,
menindih berangsur Formasi Tonasa, dan ditindih selaras Formasi Tondong-
karambu. Formasi Kunyikunyi, sebelah barat Kompleks Mélange Bantimala,
tersusun oleh batupasir, tufa dan tufa breksi; bersisipan batulempung, lignit,
batugamping, napal, breksi serta konglomerat aneka-bahan di bagian bawah
(berkomponen batugamping, batupasir, batulanau, andesit, basal, sekis,
breksi sekis, kuarsa, rijang, dan batuan ultramafik). Fosil foraminiferanya
menunjukkan umur Miosen Tengah, dan lingkungan pengendapan neritik.
Formasi ini bertebal lebih dari 500 m, menjemari dengan Formasi Ceppiye,
dan menindih Formasi Tonasa secara selaras dan setempat takselaras.
72 | Geologi Sulawesi
Gambar 4.3 Peta geologi rinci daerah Biru, Lengan Selatan Sulawesi (Elburg, 2002)
Batuan Neogen | 73
Di Sulawesi Tengah bagian barat terlampar batuan gunungapi yang
dipetakan sebagai Batuan Gunungapi Walimbong, Batuan Gunungapi
Talaya, Batuan Gunungapi Adang, dan Tufa Beropa. Batuan Gunung
api Walimbong tersusun oleh lava dan breksi gunungapi yang bersifat
basalan-andesitan-trakitan (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Djuri dkk., 1998).
Satuan batuan ini mengandung mineral felspatoid dan lava berstruktur
bantal, umurnya diperkirakan Miosen Tengah–Pliosen. Ke daerah sebelah
utaranya, batuan gunungapi ini dipetakan dengan nama Batuan Gunungapi
Talaya, tersusun oleh breksi, lava (andesitan-basalan-trakitan), dan tufa
(halus-lapili), bersisipan batupasir (grewake), rijang, serpih, napal, setempat
batupasir karbonan dan batubara. Batuan Gunungapi Talaya diperkirakan
berumur Miosen Tengah–Pliosen, berketebalan lebih dari 750 m, dan
menjemari dengan Formasi Sekala (Ratman dan Atmawinata, 1993).
Sebarannya ke utara hanya sampai ke sebelah tenggara Lembah Lariang.
Di daerah ini, Batuan Gunungapi Talaya tersusun oleh tufa, breksi, dan
lava yang andesitan dan perselingan basalan. Satuan ini merupakan bagian
bawah dari Batuan Gunungapi Talaya; diperkirakan berumur Miosen
Tengah–Miosen Akhir (Sukido dkk., 1993). Tufa Beropa terdiri atas tufa
dan batupasir tufan, bersisipan breksi gunungapi dan batupasir wake,
setebal lebih dari 500 m, diduga berumur Miosen Tengah (Ratman dan
Atmawinata, 1993).
Di pesisir barat Sulawesi Tengah bagian barat, terhampar batuan
gunungapi yang dipetakan sebagai satuan Batuan Gunungapi Adang (Rat-
man dan Atmawinata, 1993). Batuannya tersusun oleh tufa lapili, breksi
gunungapi, dan sisipan lava (basal leusit), batupasir serta batulempung.
Satuan batuan gunungapi ini tebalnya lebih dari 400 m, ke daerah selatan
menjemari dengan Formasi Mamuju dan Anggota Tapalang Formasi
Mamuju. Diperkirakan satuan batuan ini berumur Miosen Tengah–Miosen
Akhir. Dalam pemetaan lebih rinci di daerah Majene, Batuan Gunungapi
Walimbong di sebelah utara Kota Polewali, dipetakan sebagai Formasi
Galunggalung (Bachri dan Baharuddin, 2001). Formasi ini tersusun oleh
runtunan batuan vulkanoklastika (batupasir tufa), lava dasitan, breksi
andesitan-dasitan, berselingan dengan batulanau dan batupasir; diduga
berumur Miosen Akhir–Pliosen, terendapkan sebagai batuan gunungapi
bawah laut pada busur kepulauan.
Batuan beku berumur Miosen Tengah–Miosen Akhir tersebar di
sekitar Palu dan Gimpu (di selatan), dan di sekitar Tolitoli dan Ongka
(di utara). Batuan vulkanik kaya-K di daerah selatan, di DAS Pasangkayu,
74 | Geologi Sulawesi
barat daya Kota Palu, berumur 14,1–11,6 jt (Miosen Tengah), lava di
sebelah utara Kota Palu berumur 7,7 jt (Miosen Akhir), dan terobosan
di timur laut Kota Palu, berumur 3,4 jt (Pliosen Awal). Batuan vulkanik
kaya-K di sekitar daerah Gimpu berumur antara 8,9–4,9 jt (Miosen
Tengah–Pliosen Awal). (Elburg dkk., 2003)
Di Leher Sulawesi, dari sekitar Kota Palu sampai ke sekitar Kota
Tolitoli, tidak ditemukan batuan gunungapi berumur Neogen (Sukamto,
1973; Ratman, 1976). Di Lengan Utara Sulawesi, batuan gunungapi
Neogen terhampar luas mulai dari sebelah barat laut Kota Gorontalo,
ke arah timur sampai ke daerah sekitar Danau Tondano, yang tertindih
oleh batuan gunungapi Kuarter. Di Lengan Utara ini, batuan gunungapi
Neogen, dari daerah barat dipetakan sebagai Batuan Gunungapi Bilungala,
Batuan Gunungapi Pani, Breksi Wobudu, Formasi Dolokapa, dan ke timur
sampai di sekitar Danau Tondano disebut sebagai Batuan Gunungapi
Miosen Tengah atau Batuan Gunungapi Tanpa-nama (Bachri dkk., 1993;
Apandi dan Bachri, 1997; Ratman, 1976).
Batuan Gunungapi Bilungala terhampar cukup luas di Lengan Utara
Sulawesi, mulai dari sebelah barat laut Danau Limboto, meluas ke timur
sampai ke sekitar Danau Tondano dan P. Lembeh. Batuannya tersusun
oleh breksi gunungapi berselingan dengan tufa dan lava (andesitan-dasitan-
basalan), kebanyakan terpropilitkan. Satuan batuan ini mempunyai tebal
lebih dari 1.000 m, menjemari dengan Formasi Dolokapa, dan umurnya
diduga Miosen Tengah–Miosen Akhir. Satuan batuan gunungapi di sebelah
barat daya Gunungapi Soputan, yang mengalasi batuan gunungapi Kuarter
di sekitar Ibukota Manado; dimasukkan dalam satuan Batuan Gunungapi
Bilungala ini. Di daerah ini batuan gunungapi bersisipan batupasir, batu
lempung, dan lensa batugamping.
Di daerah utara Lembar Tilamuta tersebar batuan gunungapi yang
dipetakan sebagai Breksi Wobudu (Bachri dkk., 1994, 2011). Satuan batuan
ini tersusun oleh breksi gunungapi, aglomerat, tufa (halus-lapili), dan
lava (andesitan-basalan), setebal 1.000–1.500 m, berdasarkan superposisi
stratigrafi umurnya diperkirakan Pliosen Awal. Di daerah selatan bagian
barat Lembar Tilamuta juga tersebar batuan gunungapi yang dinamai
Batuan Gunungapi Pani. Batuannya terdiri atas lava (dasitan-andesitan),
tufa, aglomerat dan breksi gunungapi. Satuan batuan gunungapi ini
mempunyai tebal beberapa ratus meter, menindih takselaras Formasi
Randangan, dan diperkirakan berumur Pliosen Awal.
Batuan Neogen | 75
Penelitian lebih rinci di daerah bagian utara Leher Sulawesi dan
bagian barat Lengan Utara Sulawesi menemukan data baru tentang batuan
gunungapi Neogen. Di bagian barat Lengan Utara Sulawesi, selatan Toli
toli, ditemukan batuan gunungapi felsik berumur 7 jt (Miosen Akhir),
dan dinamakan sebagai Vulkanik Ongka (van Leeuwen dkk., 2006). Di
daerah itu ditemukan pula pilar dan retas bersusunan andesitan-dasitan
yang bersifat kalk alkali. Vulkanik Ongka mulai terendapkan sejak Miosen
Awal (Kavaliers dkk., 1992), dan berdasarkan kemiripan batuan, geokimia
unsur-langka serta isotop, diduga sama-asal dengan Kerabat Dondo atau
Dondo Suite (van Leeuwen dkk., 1994; Polve dkk., 1997; Elburg dkk., 2003).
76 | Geologi Sulawesi
Batuan gunungapi bersusunan andesitan-basalan yang dipetakan
sebagai Batuan Gunungapi Bukide, di Pulau Bukide, Kepulauan Sangihe,
diduga berumur Pliosen Akhir (Samodra, 1994). Satuan batuan itu terdiri
atas tufa, breksi dan lava (sebagian berstruktur bantal), mengandung batu
apung dan obsidian. Batuan gunungapi semacam itu, yaitu yang bersusunan
basalan-andesitan-dasitan tersebar luas di Lengan Utara Sulawesi, yang
dipetakan sebagai batuan gunungapi Pliosen-Plistosen (Lihat Bab V, hlm.
96). Bisa jadi sebagian dari batuan gunungapi Pliosen-Plistosen di Lengan
Utara Sulawesi itu termasuk pula batuan gunungapi Pliosen Akhir yang
dapat dipisahkan dalam pemetaan lebih rinci.
B. Batuan Vulkaniklastika–Epiklastika
Neogen
Batuan sedimen vulkaniklastika yang berselingan dengan batuan sedimen
epiklastika berumur Neogen yang dapat dipisahkan dari batuan vulkanik
(gunungapi) adalah yang berumur Oligosen–Miosen Awal dan berumur
Miosen Tengah–Pliosen. Yang berumur Oligosen–Miosen Awal adalah
Tufa Rampi di Sulawesi Tengah bagian barat yang berumur Miosen
Tengah–Pliosen adalah Kelompok Camba di Lengan Selatan Sulawesi;
Formasi Sekala dan Formasi Loka di Sulawesi Tengah bagian barat; dan
Formasi Dolokapa di Lengan Utara Sulawesi.
Batuan Neogen | 77
2. Batuan vulkaniklastika–epiklastika Miosen
Tengah–Pliosen:
Kelompok Camba, Formasi Sekala, Formasi Loka, Formasi
Dolokapa
Di daerah Lengan Selatan Sulawesi dan Sulawesi Tengah bagian barat,
satuan batuan gunungapi yang sebagian besar tersusun oleh rombakan
batuan gunungapi (vulkaniklastika), piroklastika dan sedimen laut dinamai
sebagai Batuan Vulkaniklastika Kelompok Camba (Sukamto, 1982;
Sukamto dan Supriatna, 1982), Formasi Loka (Djuri dkk., 1998) dan
Formasi Sekala (Djuri dan Sudjatmiko, 1994; Djuri dkk., 1998; Ratman
dan Atmawinata, 1993). Secara umum, himpunan batuan itu terdiri atas
vulkaniklastika (batupasir, grewake), tufa, batulanau, serpih, batulempung
dan napal; bersisipan batugamping, konglomerat, breksi vulkanik dan
lava (andesitan-basalan); setempat bersisipan batubara. Kandungan fosil
foraminifera ketiga satuan batuan Neogen ini menunjukkan umur Miosen
Tengah sampai Miosen Akhir, dan ada pula yang sampai Pliosen.
Batuan sedimen laut berselingan dengan batuan gunungapi di Lengan
Selatan Sulawesi yang dipetakan sebagai Kelompok Camba terhampar
cukup luas, dan tidak mudah dipisahkan dari batuan gunungapi yang
sebagian besar terdiri dari breksi, lava dan tufa (Anggota Batuan
Gunungapi Camba; dibahas pada Bab IV. hlm.70). Batuannya tersusun
oleh batupasir tufaan berselingan dengan tufa, batupasir, batulanau dan
batulempung; bersisipan dengan napal, batugamping, konglomerat,
dan breksi gunungapi, dan setempat dengan batubara (di S. Marros).
Kandungan fosil koral dan moluska menunjukkan pengendapan dekat
pantai, dan fosil foramini feranya menunjukkan umur Miosen Tengah–
Miosen Akhir, sebagian ada yang sampai Pliosen Awal, yang terendapkan
dalam lingkungan neritik. Adanya sisipan batubara menunjukkan lingkun-
gan darat atau dekat darat. Formasi Camba secara keseluruhan mencapai
ketebalan antara 2.500–5.000 m, menindih takselaras batuan karbonat
Formasi Tonasa, dan secara mendatar menjemari dengan batuan sedimen
Formasi Walanae. Satuan batuan gunungapi (breksi, lava, konglomerat,
dan tufa) dan satuan batuan sedimen laut berselingan dengan batuan
gunungapi, yang tersingkap di bagian timur P. Selayar, juga dinamakan
sebagai bagian dari Kelompok Camba.
Di Sulawesi Tengah bagian barat, sebelah timur Lembah Sungai
Lumu, sebelah barat Rantepao, terhampar satuan batuan yang dipetakan
78 | Geologi Sulawesi
sebagai Formasi Sekala (Ratman dan Atmawinata, 1993). Batuannya
tersusun oleh batupasir (hijau), grewake, napal, batulempung, batupasir
(mikaan), tufa, serpih, dan batupasir gampingan, bersisipan konglomerat,
breksi dan lava (trakitan-andesitan-basalan). Perlapisannya menunjuk-
kan turbidit, dan sebagian lavanya berstruktur bantal. Fosil foraminifera
yang dikandungnya menunjukkan umur Miosen Tengah–Pliosen, dan
lingkungan pengendapan sublitoral. Satuan batuan ini menindih takselaras
Formasi Riu, menjemari dengan Batuan Gunungapi Talaya, mempunyai
tebal lebih dari 1.000 meter. Di sebelah barat dan timur Lembah Saddang,
terhampar batuan sedimen yang dipetakan sebagai Formasi Loka (Djuri
dkk., 1998). Batuannya tersusun oleh vulkaniklastika dan epiklastika,
berupa batupasir andesitan, batulanau, konglomerat dan breksi. Fosil
yang dikandungnya menunjukkan umur Miosen Tengah–Miosen Akhir,
terendapkan dalam lingkungan laut dangkal, delta dan darat.
Formasi Dolokapa merupakan perselingan batuan sedimen klastika
dengan batuan gunungapi, tersebar di bagian utara Lembar Tilamuta
namun tidak menerus ke daerah-daerah sebelah timurnya. Batuannya
tersusun oleh batupasir (grewake), batulanau, batulumpur, konglomerat,
tufa (halus-lapili), aglomerat, breksi gunungapi, dan lava (andesitan-
basalan). Satuan ini mempunyai tebal sekitar 2.000 m, mengandung fosil
foraminifera yang berumur Miosen Tengah–Miosen Akhir, dan diendapkan
dalam lingkungan sublitoral.
Batuan Neogen | 79
Tanahjampea, dan di Pulau Bimba (Koswara, 1994). Retas basal piroksen
setebal antara 0,5–30 m membentuk bukit-bukit memanjang di sekitar
Bulu Baturape dan Bulu Cindako, sebelah barat daya dan utara Gunung
Lompobatang, Lengan Selatan Sulawesi, yang sebarannya mengarah ke
pusat erupsi.
Data pentarikhan radiometri pada batuan terobosan di sekitar daerah-
daerah Bantimala, Tonasa, dan Camba menunjukkan umur batuan: grano-
diorit di Biru 19 jt (Miosen Awal), basal di timur Tonas 17,87 jt (Miosen
Awal), trakit di Bantimala 10,9–8,3 jt (Miosen Akhir), diorit aplit di timur
Marros 9,21–7,74 jt (Miosen Akhir), granodiorit di timur Camba 9,03 jt
(Miosen Akhir), dan tiga batuan basal/dolerit di sekitar Camba berkisar
antara 6,99–7,50 jt (Miosen Akhir).
Di daerah yang sudah dipetakan secara rinci, seperti di daerah
Bantimala dan sekitarnya, ditemukan batuan terobosan retas, pilar, selit,
dan tajur, bersusunan basalan, andesitan dan trakhitan. Batuan terobosan
yang dipetakan sebagai Diorit Pannettekang dan Trakit Erasa (Sukamto,
1986), menerobos Formasi Balangbaru, Formasi Malawa dan Formasi
Tonasa. Trakit Erasa terdiri dari trakit bertekstur porfir, berhablur dari
halus sampai kasar, dengan fenokris felspar sampai sepanjang 3 cm.
Pada umumnya, singkapannya segar dan terkekarkan, setempat terlihat
sangat lapuk. Terobosan trakit di daerah Bulu Malotong dan Bulu Erasa
yang tersingkap pada batas antara Formasi Malawa dan Formas Tonasa
diduga merupakan suatu lakolit. Hasil analisis radiometri K/Ar pada
dua percontoh trakit menunjukkan umur 8,3 dan 10,9 jt, atau Miosen
Akhir. Selain terobosan itu, ada pula terobosan basal, andesit, diorit,
trakit, dan tefrit, dalam bentuk retas dan selit, dengan tebal antara 0,2–30
m, yang umumnya menerobos batuan di Kompleks Melange Bantimala
dan sekitarnya. Diperkirakan berbagai macan retas dan selit di daerah
ini sebagian seumur dengan Terobosan Paleosen dan sebagian dengan
Terobosan Miosen.
Batuan pluton tersingkap sangat luas di Sulawesi Tengah bagian barat.
Batuan pluton terdiri atas granit, granodiorit, diorit, sienit, monzonit dan
riolit, serta sedikit retas apatit dan gabro. Batuan pluton membentuk
beberapa puncak gunung yang cukup tinggi, antara lain G. Paroreang dan
G. Gandadiwata (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Djuri dkk., 1998), yang
bisa saja diusulkan menjadi namanya sebagai Granit Paroreang dan Granit
Gandadiwata. Di tempat lain ada pula yang diusulkan menjadi Granit
Mamasa (Ratman dan Atmawinata, 1993), dan ada pula yang mengusulkan
80 | Geologi Sulawesi
menjadi Granit Kambuno (Simandjuntak dkk., 1991a; 1991b). Dengan
mempertimbangkan bahwa batuan terobosan itu menerobos batuan
gunungapi berumur Miosen–Pliosen, maka diduga setidaknya berumur
Pliosen. Hal ini didukung dengan data radiometri K/Ar seumur 3,35 jt
dari batuan granit di sebelah barat Lembah Palu, selatan Gimpu. Batuan
pluton di sebelah timur Lembah Lariang sebagian besar terdiri atas granit
dan sedikit diorit. Pentarikhan radiometri jejak-belah pada batuan granit
di daerah ini menunjukkan umur Miosen Tengan–Miosen Akhir (Sukido
dkk., 1993). Bisa jadi, batuan pluton di daerah ini sekerabat dengan
batuan gunungapi berumur Miosen Tengah–Pliosen yang tersebar luas di
sekitarnya, yaitu Batuan Gunungapi Walimbong dan Batuan Gunungapi
Adang. Data analisis radiometri atas beberapa jenis batuan terobosan,
yaitu granodiorit, diorit, trakit dan basal menunjukkan umur berkisar
antara Miosen Awal dan Pliosen. Beberapa percontoh menunjukkan umur
Miosen Awal (19–17 jt).
Penelitian rinci terhadap batuan terobosan antara lain dilakukan
pada batuan terobosan granitan yang tersebar di sepanjang lajur Sesar
Palu-Koro. Hasil penelitian petrografi menunjukkan adanya paling sedikit
enam satuan, yaitu granit genes, Granit Sibayu, Granit Palu-Koro, grano-
diorit, dan granit muskovit (Utoyo dkk., 1997). Untuk penentuan umur
batuan granitan secara K-Ar, telah dilakukan analisis terhadap 10 biotit, 1
muskovit, dan 1 hornblenda. Analisis radiometri menghasilkan umur biotit
berkisar antara 8,39–1,76 jt (Miosen Akhir–Pliosen Akhir); horenblenda
5,46 jt (Miosen Akhir); dan muskovit 1,06 jt (Plistosen Awal). Hasil analisis
radiometri ini menunjukkan bahwa kegiatan magma yang menghasilkan
batuan terobosan menerus selama Neogen. Hal itu membuktikan bahwa
Sesar Palu-Koro terus aktif sejak Miosen Akhir sampai Pliosen-Plistosen,
di mana granitoid tersingkap. Hubungan antara kegiatan magmatik dan
kejadian tektonik terlihat dari contoh Granit Palu yang mencapai 4,28
jt dan granit termilonitkan 5,46 jt di daerah Kulawi-Saluwa. Hal ini
menunjukkan bahwa fase Granit Palu menerus sesudah kegiatan tektonik
yang mencapai 5,46 jt.
Batuan terobosan berumur Neogen yang tidak muncul di Leher
Sulawesi, dijumpai lagi di Lengan Utara Sulawesi dengan sebaran yang
luas. Batuan terobosan granodiorit dan gabro, bersifat toleiit–kalk-alkali,
di daerah Tolitoli menunjukkan umur berkisar antara 22,45–18,14 jt atau
Miosen Awal. Granodiorit dari Kerabat Dondo, seperti yang tersingkap di
sekitar Tolitoli, juga tersingkap di bagian barat Sulawesi Tengah. Granitoid
Batuan Neogen | 81
di daerah itu kebanyakan berupa monzogranit dan monzonit-kuarsa besifat
kalk-alkali tinggi-K. Selain itu, juga ditemukan retas bersifat shoshonit,
yang menunjukkan umur radiometri K/Ar pada mineral biotit sebesar
6,7 jt atau Miosen Akhir (Elburg dkk., 2003). Batuan vulkanik tinggi-
K di sebelah timur Ongka, yang dinamai Andesit Bolano, mempunyai
umur radiometri 11,6 jt (Miosen Tengah). Granodiorit Kerabat Dondo
menerobos Formasi Tinombo, dan umumnya dikelilingi oleh tritis malihan
kontak (contact metamorphic aureol). Lebih ke daerah timur, di daerah Lem-
bar Tilamuta dan Lembar Kotamobagu, sebaran batuan terobosan baik
yang kecil maupun yang besar (pluton), semakin luas sebarannya. Batuan
terobosan pluton yang diberi nama antara lain adalah Diorit Bone, Diorit
Boliohutu, dan Granodiorit Bumbulan.
82 | Geologi Sulawesi
dekat daratan/dekat laut, dan napal serta batugamping menunjukkan
lingkungan laut dangkal.
Formasi Mandar tersebar di dekat pantai timur Selat Makassar,
Sulawesi Tengah bagian barat, tersusun oleh batupasir, batulanau dan
serpih, berlapis baik dan mengandung lensa lignit. Formasi, yang tebalnya
lebih dari 400 m ini, mengandung fosil foraminifera yang menunjukkan
umur Miosen Akhir, yang terendapkan dalam lingkungan dari laut dangkal
sampai delta. Pada peta Geologi Lembar Majene-Palopo (Djuri dan
Sudjatmiko, 1974), Formasi Mandar tersusun oleh batupasir, batulanau,
dan serpih (Miosen); dan Formasi Mapi tersusun oleh batupasir tufa,
batulanau, batulempung, batugamping pasiran, dan konglomerat (Miosen-
Pliosen). Pada citra SRTM terlihat Formasi Mandar bermorfologi lebih
tegar (riggid), dan lebih kasar, serta berlajur lipatan memanjang. Sementara
itu, Formasi Mapi, bermorfologi lebih halus, bergelombang, dan menindih
Formasi Mandar. Tafsiran pada citra ini menyimpulkan bahwa Formasi
Mapi lebih muda dari Formasi Mandar; dan Formasi Mandar memiliki
kemiripan dengan Formasi Mamuju.
Selanjutnya ke daerah-daerah sebelah timur di Lengan Utara Sulawesi,
batuan sedimen klastika Neogen dipetakan sebagai: Formasi Randangan,
Formasi Tapadaka, dan Batuan Sedimen tak bernama (Bachri dkk., 1993;
Apandi dan Bachri, 1997; Effendy dan Bawono, 1997).
Formasi Puawang, berupa batulempung, batulempung gampingan,
napal, napal pasiran, dengan lensa batupasir, tersebar di sebelah utara
kota Polewali (Bachri dan Baharuddin, 2001). Formasi ini berlokasi tipe
di Sungai Puawang; tebalnya tidak kurang dari 1.500 m, mengandung
fosil foram kecil Globigerina nephenthes, Globorotalia plesiotumida, Globoquadrina
venezuelana, Globigerinoides trilobus, dan Sphaeroidinellopsis semmulina, yang
menunjukkan umur Miosen Akhir sampai awal Plistosen (N 18–N 19)
berlingkungan pengendapan sublitoral luar dan berlingkungan tektonik
pasca orogenesa di tepian cekungan. Formasi Puawang menindih tak
selaras Formasi Mapi yang berumur Miosen. Batuan sedimen klastika
yang tersingkap di sebelah tenggara Kota Tolitoli, di tengah pegunungan,
tersusun oleh batupasir kuarsa (sebagian terkersikkan), serpih, grewake,
dan bersisipan batugamping foraminifera. Fosilnya menunjukkan umur
Miosen Awal–Miosen Tengah (Ratman, 1976). Satuan batuan ini diterobos
oleh batuan pluton granit (?). Di lereng barat laut Pegunungan Dapi,
tersingkap batuan sedimen klastika yang lamparannya tidak begitu luas di
suatu dataran lembah, yang dipetakan juga sebagai Formasi Randangan.
Batuan Neogen | 83
Batuannya tersusun oleh perselingan konglomerat, batupasir wake, batu-
lanau, dan batulumpur, besisipan batugamping. Fosil foraminifera yang
dikandungnya menunjukkan umur Miosen Tengah–Miosen Akhir (Bachri
dkk., 1994).
Di sekitar Kotamobagu terhampar di beberapa tempat batuan sedimen
klastika yang tersusun oleh batupasir (sebagian terkersikkan), grewake,
dan serpih, yang dipetakan sebagai Formasi Tapadaka. Sebagian batuan-
nya gampingan dengan kandungan fosil foraminifera berumur Miosen
Awal–Miosen Akhir. Batuan karbonat dalam formasi ini dinamai Anggota
Batugamping Formasi Tapadaka, yang juga berumur sama. Di pesisir
selatan sebelah tenggara Kotamobagu tersingkap batuan sedimen sejenis
di daerah yang tidak begitu luas. Di ujung utara Lengan Utara Sulawesi,
di pesisir utara dan di beberapa pulau sebelah utaranya, terhampar batuan
klastika yang tersusun oleh breksi (andesitan), konglomerat, batupasir,
batulanau, dan lempung, yang diduga berumur Pliosen (Effendy dan
Bawono, 1997). Satuan batuan ini termasuk pula yang semula dipetakan
sebagai Formasi Dolokapa (Molengraaff, 1902), yang dianggap lebih tua
dari Neogen.
84 | Geologi Sulawesi
tepian cekungan berlingkungan paralas (darat dan laut) menjadi sedimen
tipe molasa (Celebes Molasse, Sarasin dan Sarasin, 1901; Gambar 4.4).
Sedimen tipe molasa itu dicirikan oleh himpunan konglomerat kasar dan
batupasir (dengan sisipan serpih, napal, lignit, serta batugamping), sebagian
merupakan hasil rombakan daerah sembul (horst) yang terendapkan di
tepi cekungan terban (graben), sebagai hasil pengangkatan dan penyesaran
bongkah.
Batuan Neogen | 85
ke Lembah Sadang. Formasi Walanae mencapai ketebalan >4.500 m,
sebagian besar tersusun oleh perselingan batupasir, batulanau, tufa, napal,
batulempung, konglomerat, dan batugamping, setempat bersisipan lignit;
fosil foraminiferanya menunjukkan umur Miosen Tengah–Pliosen, yang
terendapkan dalam lingkungan laut dangkal, dan dekat dengan kegiatan
gunungapi. Di tengah lembah terdapat lebih banyak batuan klastika halus
dan karbonat, dan di tepi barat dan timurnya lebih banyak mengandung
batuan klastika kasar dan konglomerat.
86 | Geologi Sulawesi
kan oleh perselingan batupasir dan batulumpur (dilihat dari penampang
bor); kedua Formasi Tanrung yang takselaras menindih Formasi Walanae
dan dicirikan oleh konglomerat mengandung fosil vertebrata (terma-
suk Stegodon); dan ketiga Endapan Teras yang dicirikan oleh sedimen
sungai. Berdasarkan penampang seismik, batuan sedimen di Cekungan
Sengkang Timur ini terlihat menipis, hanya mancapai ± 1.800 m (Grainge
dan Devies, 1983). Dari segi stratigrafi, satuan yang semula diberi nama
Formasi Walanae dan Anggota Tacipi (Sukamto, 1982) sudah seharusnya
diberi peringkat sebagai Kelompok Walanae, atau bahkan manjadi Superke-
lompok Walanae, yang di dalamnya terdapat banyak formasi dan anggota.
Seperti di daerah Sengkang saja sudah diusulkan adanya formasi-formasi
baru, yaitu Formasi Tacipi dan Formasi Tanrung. Penelitian lebih rinci
mengungkapkan bahwa banyak satuan stratigrafi yang memiliki ciri-ciri
berbeda antara satu dan lainnya dalam hal himpunan batuan, kandungan
fosil, dan lingkungan pengendapannya. Misalnya, Formasi Tanrung dan
Anggota Beru dicirikan oleh konglomerat dan fosil vertebrata; di antaranya
gajah purba, anoa purba, dan kurakura purba (Azis, 1978; Bortstra, 1977,
1991; Sartono 1979; van Hekeren, 1958; Hoijer, 1948).
Analisis sedimentologi dan lingkungan pengendapannya menunjukkan
bahwa di daerah Sengkang pada Pliosen Awal terjadi genang-laut karena
menurunnya Terban Walanae di Cekungan Sengkang Barat dan paparan
laut dangkal di Cekungan Sengkang Timur (Hasibuan dkk., 1995). Pada
Pliosen Akhir di Cekungan Sengkang Barat sudah penuh dengan sedimen
yang diakhiri dengan endapan sungai teranyam dan endapan danau. Peng
angkatan yang terjadi pada Plistosen Awal telah memutuskan hubungan
laut antara Selat Makassar dan Teluk Bone, dan mencapai kestabilan
daratan pada kala Plistosen Akhir. Akan tetapi, pengendapan Plistosen
Akhir di beberapa tempat masih teramati keberadaannya berdasarkan
fosil foram (Azis, 1990), dan berdasarkan kemagnetan purba (magneto
stratigrafi) yang menunjukkan batas antara Kala Brunhes dan Kala Ma-
tuyama (0,87–0,97 jt; Panjaitan dkk., 1995).
Batuan Neogen | 87
porosnya mencapai kedalaman ± 4.500 m dan mendangkal, baik ke sisi
cekungan sebelah barat maupun ke sisi sebelah timur. Batuan sedimen itu
beralaskan batuan gunungapi berapat-masa 3,0 gr/cm3, yang muncul ke
permukaan di sebelah barat berupa batuan gunungapi Kelompok Camba
yang memberikan anomali Bouguer mancapai 90 mgal. Di sebelah timur,
batuan gunungapi ini tidak muncul ke permukaan, tetapi anomali Bouguer-
nya juga mancapai ± 95 mgal dan di bagian selatan Pegunungan Bone
tersingkap batuan gunungapi yang dipetakan sebagai Batuan Gunungapi
Kalamiseng dan Formasi Salokalupang.
Pada Cekungan Walanae sendiri teramati anomali Bouguer sebesar
antara +15 mgal dan -15 mgal, dan ditafsirkan sebagai lapisan-lapisan
dari atas ke bawah: batuan klastika Formasi Walanae berapat-masa 2,6 gr/
cm3 setebal antara 200–1.600 m, batugamping Formasi (Anggota) Tacipi
berapan-masa 2,8 gr/cm3 setebal ±800 m, batuan gunungapi berapat-masa
2,65 gr/cm3 setebal antara 80–1.200 m sampai kedalaman ±3.300 m, dan
batugamping–batulempung berapat-masa 2,7 gr/cm3 setebal antara 20–800
m sampai kedalaman ±4000 m. Model penampang anomali Bouguer
pada poros Cekungan Walanae memperlihatkan anomali mencapai -40
mgal, dan dibatasi oleh dua sesar di kedua sayapnya. Di sebelah barat
Cekungan Walanae terdapat masa batuan berapat-masa 3,1 gr/cm3 pada
inti Pegunungan Soppeng, yang ditafsirkan sebagai tubuh terobosan trakit
(Panjaitan dkk., 1998). Akan tetapi, pada lajur itu yang tersingkap adalah
batuan pra-Kapur Akhir tersirapkan (imbricated) yang diterobos oleh batuan
trakit, dan dipetakan sebagai Kompleks Melange Bantimala (Sukamto,
1986).
88 | Geologi Sulawesi
utara Palopo. Nilai anomali gaya berat dari 0 mgal sampai 20 mgal di
sebelah timur pluton granit itu, berupa anomali yang mengelompok dan
membulat, dan ditafsirkan sebagai gambaran dari Formasi Latimojong.
Di daerah barat laut Lembah Pasangkayu terdapat anomali yang tinggi,
mencapai 60 mgal, menggambarkan adanya batuan malihan. Anomali
ini terlihat menyebar ke arah Dapuran di sebelah selatannya. Anomali di
daerah ini juga cukup tinggi, sampai mencapai 90 mgal, yang ditafsirkan
sebagai batuan malihan yang menebal ke arah selatan. Bentuk Cekungan
Lariang memanjang lebih-kurang timur-barat, dan semakin dalam ke arah
lepas pantai di barat (Panjaitan dkk., 2000).
Formasi Mapi tersebar di sepanjang Lembah Mapi, sebelah barat laut
Teluk Mandar. Formasi ini tersusun oleh batupasir tufaan, berselingan
dengan batulanau, batulempung, batugamping pasiran, dan konglomerat.
Satuan batuan yang tebalnya lebih dari 100 m ini mengandung fosil
foraminifera yang menunjukkan umur Miosen Tengah–Pliosen. Masih
di dekat pantai timur Selat Makassar, di daerah yang lebih ke utara,
terhampar satuan batuan sedimen yang dinamai sebagai Formasi Lariang.
Sebarannya mencakup daerah hilir Sungai Lumu dan Sungai Lariang, yang
keduanya mengalir ke barat ke Selat Makassar (dalam eksplorasi minyak
bumi, disebut sebagai daerah Cekungan Karama, Cekungan Pasangkayu,
dan Cekungan Lariang).
Di dataran Palopo daerah timur, sebelah barat laut Teluk Bone
terdapat satuan batuan yang dipetakan sebagai Formasi Bonebone. Satuan
batuan ini tersebar di lereng bawah batuan pluton Granit Kambuno,
tersusun oleh perselingan konglomerat, batupasir, napal dan lempung
tufaan. Komponen konglomerat terutama terdiri atas batuan malihan
(sekis, genes, dan kuarsit), dan sedikit batugamping, kuarsa dan andesit.
Satuan batuan yang tebalnya >750 m ini mengandung fosil foraminifera
yang umurnya Miosen Akhir–Pliosen, dan terendapkan dalam lingkungan
laut dangkal atau neritik.
Dalam beberapa cekungan Neogen terlihat bahwa batuan sedimen
klastika laut terendapkan bersama dengan batuan karbonat selama Miosen
Tengah-Pliosen. Batuan sedimen ini di banyak tempat di tepi cekungan,
menunjukkan lingkungan paralas (darat-tepi laut) dengan sedimen tipe
molasa (Celebes Molasse, Sarasin dan Sarasin, 1901). Sedimen tipe molasa
yang dicirikan oleh himpunan konglomerat kasar dan batupasir (dengan
sisipan serpih, napal, lignit, serta batugamping) dalam lingkungan paralas
itu adalah hasil rombakan daerah sembul (horst) yang terendapkan di tepi
Batuan Neogen | 89
cekungan terban (graben) sebagai hasil pengangkatan dan penyesaran
bongkah. Berdasarkan hasil pemboran eksplorasi oleh Indonesia Gulf
Oil Co. (1973a, b) diketahui bahwa batuan sedimen yang sebagian bertipe
molasa di Cekungan Walanae bersisipan karbonat, lignit dan tufa, setebal
lebih dari 2.300 m, dan diendapkan dalam lingkungan litoral-sublitoral
selama Miosen Tengah-Pliosen. Batuan sedimen yang sama ditemukan
pula di Cekungan Lariang setebal >2.800 m. Di Cekungan Bone, batuan
sedimen molasa tidak mengandung tufa, dan selama Pliosen sampai Resen
tebalnya mencapai >3.200 m (Indonesia Gulf Oil Co., 1971).
Di Leher Sulawesi, dari sekitar Kota Palu sampai ke sekitar Kota
Tolitoli, tidak ditemukan batuan gunungapi dan batuan sedimen klastika
berumur Oligosen–Miosen Awal (Sukamto, 1973; Ratman, 1976). Batuan
sedimen klastika bertipe molasa, Miosen Akhir–Pliosen, di Lengan Utara
Sulawesi, terhampar mulai dari sebelah timur Kota Tolitoli meluas ke
daerah sebelah timurnya. Batuan gunungapi Pliosen-Plistosen, secara
setempat terdapat di Pegunungan Tobuli, pantai selatan dekat Teluk
Tomini, dan semakin luas ke daerah timur.
Di S. Napu, sebelah barat kota Poso, tersingkap Formasi Napu, yang
diduga berumur Pliosen (Simanjuntak dkk., 1991a). Formasi ini terdiri
atas konglomerat, batupasir, lumpur, dan gambut, tebalnya <1.000 m;
merupakan endapan molasa Sulawesi. Lingkungan pengendapannya adalah
lakustrin, dan menindih takselaras Granit Kambuno.
90 | Geologi Sulawesi
susun oleh batugamping koral (terumbu), bioklastika, kalkarenit (berlapis),
dan napal. Satuan napalnya tersusun terutama oleh napal, kalkarenit,
bioklastika dan sedikit batugamping koral, di sana-sini berselingan atau
bersisipan dengan batulempung, serpih, batupasir, tufa, konglomerat dan
breksi. Berdasarkan fosil foraminifera yang dikandungnya, satuan batuan
Formasi Salowajo berumur Miosen Awal–Miosen Tengah.
Di sepanjang aliran bagian tengah S. Sadang, ditemukan beberapa
singkapan batugamping yang dipetakan sebagai Formasi Makale, yang
bagian timurnya dibatasi oleh sesar sungkup. Formasi ini tersusun dari
batugamping terumbu berlingkungan pengendapan laut dangkal. Umurnya
diduga Miosen Awal–Miosen Tengah (Djuri dkk., 1998).
Batuan Neogen | 91
2. Batuan karbonat Miosen Akhir–Pliosen
Anggota Selayar, Anggota Tacipi, Formasi Mamuju, dan Anggota
Tapalang.
Batuan karbonat yang pada awalnya dipetakan sebagai Anggota Selayar
dan Anggota Tacipi, merupakan fasies karbonat dari Formasi/Kelompok
Walanae. Di ujung selatan Lembah Walanae terhampar batuan karbonat
yang dipetakan sebagai Anggota Selayar, dan menerus sampai ke P. Selayar
(Sukamto dan Supriatna, 1982). Batuannya tersusun oleh batugamping
berlapis berselingan dengan batugamping pasiran, dan mengandung fosil
yang menunjukkan umur Miosen Akhir–Pliosen Awal, berlingkungan
pengendapan neritik. Batuan karbonat serupa tersingkap pula di
Kepulauan Bonerate (P. Kalao, P. Bonerate, P. Kalaotoa, P. Karompa-
Lompo), yang juga mengandung fosil berumur Miosen Tengah–Pliosen.
Kebanyakan batuan karbonat di beberapa pulau di Kepulauan Bonerate
memperlihatkan undak/teras berjumlah antara 3–7 undak (Koswara dkk.,
1994). Fasies karbonat lain dari Formasi/Kelompok Walanae adalah Ang-
gota Tacipi yang terhampar di ujung utara Pegunungan Bone. Batuannya
tersusun oleh batugamping koral, kalkarenit, dan napal, bersisipan batu
lempung, batupasir, dan tufa (Sukamto, 1982); tebalnya sekitar 1.700
m, berumur Miosen Akhir–Pliosen berdasarkan fosil foraminifera, dan
terendapkan dalam lingkungan laut neritik.
Formasi Mamuju tersusun oleh napal, kalkarenit, dan batugamping ko-
ral; bersisipan tufa dan batupasir, setempat konglomerat di bagian bawah.
Himpunan fosil foraminifera yang dikandungnya menunjukkan umur
Miosen Akhir, dan berlingkungan pengendapan sublitoral. Satuan batuan
yang tebalnya lebih dari 500 m itu diamati menjemari dengan Batuan
Gunungapi Adang. Bagian yang tersusun terutama oleh batug amping
koral dan kalsirudit dengan sisipan napal dinamakan sebagai Anggota
Tapalang. Dalam Anggota ini juga ditemukan banyak fosil moluska.
Batugamping Anggota Tapalang Formasi Mamuju dan napal Formasi
Mamuju (Ratman dan Atmawinata, 1993) tersebar di daearah Teluk
Lebani, barat daya Kota Mamuju. Satuan batugamping terutama tersusun
oleh batugamping koral (terumbu), bioklastik, kalkarenit (berlapis), dan
napal. Satuan napalnya tersusun terutama oleh napal, kalkarenit, bioklastika
dan sedikit batugamping koral, di sana-sini berselingan atau bersisipan
dengan batulempung, serpih, batupasir, tufa, konglomerat dan breksi.
Berdasarkan fosil foraminifera yang dikandungnya, satuan batuan ini juga
berumur Miosen Awal–Miosen Tengah.
92 | Geologi Sulawesi
BAB V
BATUAN KUARTER
Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman
93
Gambar 5.1 Korelasi satuan stratigrafi Kuarter
94 | Geologi Sulawesi
Gambar 5.2 Sebaran batuan Kuarter di bagian barat Sulawesi
Batuan Kuarter | 95
pada bagian pinggir terbentuk endapan molasa sebagai hasil rombakan
batuan dari tinggian sembul di sampingnya. Di Mendala Sulawesi Barat
juga ditemukan batuan sedimen Kuarter yang sebarannya membulat
atau melonjong, yang ditafsirkan sebagai bekas danau purba atau kawah
gunungapi purba. Di ujung selatan Lengan Selatan Sulawesi dan di ujung
timur Lengan Utara Sulawesi dapat diamati dengan jelas adanya beberapa
kerucut gunungapi yang sebagian masih giat.
Batuan sedimen yang diendapkan sejak Mio-Pliosen banyak di antara
nya yang bertipe molasa, dan berlangsung sampai Plistosen. Mengamati
bentuk sebarannya, batuan sedimen Kuarter diduga sebagian diendapkan
di dalam cekungan terban, sebagian di dalam cekungan danau, sebagian
di dataran pesisir pada muara-muara sungai, dan sebagian membentuk
morfologi kerucut. Selain itu, ada pula yang dihasilkan oleh proses
longsoran dan runtuhan.
96 | Geologi Sulawesi
hubungan stratigrafi, batuan gunungapi ini dinamakan sebagai Batuan
Gungapi Pinogu yang berumur Pliosen-Plistosen.
Batuan gunungapi yang terdiri atas vulkanoklastik andesitan, banyak
kandungan batuapung, lapili batuapung, breksi, ignimbrit, lava andesitan-
trakitan, dan tufa trakitan, tersingkap luas di sekitar Danau Tondano di
ujung timur Lengan Utara Sulawesi. Batuan gunungapi ini dinamakan
Tufa Tondano dan diperkirakan sebagai hasil ledakan hebat Gunungapi
Tondano yang kini bekas kawahnya menjadi Danau Tondano. Di bagian
bawahnya atau menjemari dengan Tufa Tondano terdapat aliran lava
berkomposisi andesit–trakhit, yang tersingkap di G. Tanuwantik. Pentarikhan
radiometri terhadap empat percontoh batuan lava basal dari sebelah utara
Gunungapi Tongkoko dan dari P. Lembeh menghasilkan umur berkisar
antara 4,77–1,94 jt (Pliosen); tetapi diyakini bahwa kegiatan gunungapi ini
berlangsung terus sampai Plistosen Awal.
Batuan gunungapi yang terdiri atas breksi, lava, tufa, dan aglomerat
yang diperkirakan berumur Pliosen-Plistosen di deretan Kepulauan Sangihe
dinamai sebagai Batuan Gunungapi Sahendaruman, Batuan Gunungapi
Kalama, Batuan Gunungapi Tamata, dan Batuan Gunungapi Malingge
(Samodra, 1994). Batuannya kebanyakan bersifat andesitan-basalan, ada
yang dasitan, sebagian lava berstruktur bantal, ada pula endapan awan pa-
nas, ignimbrite, dan tufa berbatuapung. Di beberapa tempat ditemukan retas
andesit dan urat kuarsa dengan pemineralan emas, dan ada pula mataair
panas. Di ujung tenggara P. Sangihe Besar, terdapat batuan terobosan pilar
dan retas dari diorit dan andesit yang membawa pemineralan emas, dan
diperkirakan berumur Pliosen-Plistosen.
Batuan Kuarter | 97
nya menunjukkan hasil kegiatan gunungapi yang sangat muda, dengan
beberapa kubah (kerucut) parasit di sekitar kepundan.
Di Sulawesi Tengah bagian barat tersingkap batuan gunungapi muda
yang dinamakan sebagai Tufa Barupu dan Batuan Gunungapi Masamba
(Gambar 5.1), yang tersusun oleh tufa (lapili-pasir-abu), breksi dan lava,
dan bersifat andesitan-dasitan. Hasil pentarikhan radiometri K/Ar pada
batuan gunungapi ini di Lengan Selatan Sulawesi dan di Sulawesi Tengah
bagian barat itu menunjukkan umur antara 1,68–0,97 jt (Plistosen).
Batuan gunungapi yang dinamai sebagai batuan Gunungapi Masamba
tersebut, di daerah sebelah utara Palopo tersebar di beberapa tempat di
sepanjang sesar Palu-Koro, terdiri atas tufa, breksi dan lava, bersusunan
andesitan-dasitan-basalan. Satu percontoh batuan berumur radiometri
4,25 jt (Pliosen), tetapi secara keseluruhan diperkirakan berumur Pliosen-
Plistosen. Di wilayah Toraja terhampar Tufa Barupu, bersusunan dasitan-
riolitan, berumur 0,95 jt atau Plistosen sampai Resen.
98 | Geologi Sulawesi
kali; G. Tangkoko (1.149 m dpl) antara tahun 1725–1952 sebanyak 10
kali; G. Ruang (714 m dpl) antara tahun 1603–2002 sebanyak 19 kali; G.
Karangetang (1.784 m dpl) antara tahun 1675–2009 sebanyak 40 kali;
G. Banua Wuhu (12 m dpl–bawah muka laut) antara tahun 1835–1919
sebanyak 6 kali; dan G. Awu (1.320 m/th.1923–921 m/th.1968 dpl) antara
tahun 1640–2004 meletus sebanyak 17 kali.
Gunung Ambang yang tingginya 1.689 m dpl, dimasukkan ke dalam
Tipe A oleh Neuman van Padang (1939), tetapi oleh para gunungapiwan
yang lain dimasukkan ke dalam Tipe B bersama dengan G. Sempu dan
G. Klabat, di Sulawesi Utara. G. Ambang meletus terakhir kali pada
tahun 1840, batuannya terdiri atas tufa, aglomerat, lava, dan endapan
lahar, dan bersusunan andesitan. Dalam kawahnya terdapat fumarola yang
mengendapkan belerang; pada tahun 1939 bersuhu antara 100o –130o, dan
pada tahun 1972 antara 90o–110o. Satu lagi gunungapi aktif yang jauh
terpisah dari lajur kira-kira 350 km sebelah barat daya G. Ambang, yaitu
G. Colo (G. Unauna; 508 m dpl), terletak di P. Unauna, Teluk Tomini,
meletus pada tahun 1898, dan terakhir pada tahun 1980-an. Letusannya
menghasilkan batuan gunungapi andesitan (biotit, hornblende, augit),
sebagian mengandung kepingan peridotit. Di ujung utara lajur, di tepi
timur Laut Sulawesi, daerah lepas-pantai barat Kepulauan Sangihe, terdapat
tiga gunungapi bawah laut yang juga masih aktif.
Batuan Kuarter | 99
C. Batuan klastika Kuarter
Di sebelah selatan Palu di sekitar Zona Sesar Palu-Koro, tersingkap batuan
klastika, berupa runtunan konglomerat dan batupasir, setempat batu
lempung gampingan. Runtunan batuan ini disebut Formasi Pakuli (Sukido
dkk., 1993). Umurnya diduga Pliosen Akhir atau Plistosen, tebalnya sekitar
10 m. Formasi Pakuli terletak takselaras di atas semua satuan yang lebih
tua; terendapkan dalam lingkungan terestrial/fluviatil, berupa kipas aluvial,
dan teras sungai, yang merupakan bagian dari endapan molasa Sulawesi.
Batuan klastika berumur Kuarter diendapkan dalam cekungan-
cekungan terban, danau, rawa, dan di lembah serta muara sungai. Sebagian
diendapkan dalam lingkungan laut, sebagian dalam lingkungan payau, dan
sebagian besar dalam lingkungan darat. Dari bentuk dan luas sebaran-
nya, batuan sedimen klastika Kuarter, dapat menggambarkan batuan
dasarnya. Di daerah Lengan Selatan Sulawesi dan di Sulawesi Tengah
bagian barat, terdapat batuan sedimen Kuarter pada dataran pesisir yang
cukup luas di beberapa tempat (Gambar 5.2), pada cekungan memanjang
membentuk terban, dan pada cekungan membulat atau melonjong yang
menggambarkan sebagai cekungan bekas danau purba. Di daerah Leher
Sulawesi dan Lengan Utara Sulawesi terdapat sebaran batuan sedimen
Kuarter yang cukup luas di dataran cekungan antar pegunungan, yaitu
Dataran Paguyaman, Dataran Gorontalo, Dataran Dumoga dan Dataran
Kotamobagu. Di daerah lain di sepanjang pesisir kebanyakan terbentuk
dataran muara sungai yang sempit.
1. Cekungan terban
Dataran sedimen Kuarter di Lembah Terban Walanae, Lengan Selatan
(Gambar 5.2) mempunyai lebar antara 10–20 km, terapit oleh sembul
Pegunungan Soppeng (selebar 15–50 km, puncak tertinggi 1.694 m dpl)
di sebelah baratnya, dan sembul Pegunungan Bone (selebar 10–20 km,
puncak tertinggi 765 m dpl) di sebelah timurnya. Dataran sedimen Kuarter
di Lembah Terban Saddang, mempunyai lebar antara 1–10 km, terapit
oleh Pegunungan Toraja (Pegunungan Quarles; puncak tertinggi 2.884
m dpl) dan Pegunungan Gandadiwata (puncak tertinggi 3.074 m dpl) di
sebelah baratnya, dan Pegunungan Latimojong (puncak tertinggi 3.440 m
dpl) di sebelah timurnya. Secara garis besar, batuan sedimen Kuarter di
Cekungan Terban Walanae dan Cekungan Terban Saddang terendapkan
sejak Tersier Akhir sampai Kuarter Awal, dalam lingkungan sebagian laut
dangkal, sebagian payau, dan sebagian besar dalam lingkungan darat. Pada
2. Cekungan danau
Sebaran batuan sedimen Kuarter berbentuk membulat dan melonjong,
berukuran besar dan kecil, terdapat di beberapa tempat di daerah
pegunungan di sepanjang Mendala Sulawesi Barat, dan ditafsirkan sebagai
endapan danau purba. Di Pegunungan Soppeng di Lengan Selatan
Sulawesi terdapat sedikitnya sebelas cekungan selebar antara 1–4 km,
yang terisi endapan danau (Sukamto, 1982; Sukamto dan Supriatna, 1982).
Di daerah pegunungan, sebelah barat daya Pegunungan Gandadiwata,
terhampar batuan sedimen (konglomerat berkomponen granit, batupasir
3. Dataran pesisir
113
Untuk memudahkan penunjukkan lokasi akan digunakan pembagian
zona (wilayah) keberadaan produk vulkanik/magmatik berdasarkan
kelimpahan singkapan produk vulkanik/magmatik yang ada (Gambar 6.2):
1) Zona Ujungpandang (Makassar) (UP): dari ujung selatan Lengan
Selatan Sulawesi sampai dengan Tanah-Toraja.
2) Zona Tana Toraja (TJ): di bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan
sampai ke perbatasan Sulawesi Tengah.
3) Zona Palu (PL): di sekitar kota Palu sampai dengan kota Tolitoli.
4) Zona Tolitoli (TT): zona Lengan Utara Sulawesi mendatar pada arah
barat-timur, antara kota Tolitoli dan bagian timur Gorontalo.
5) Zona Manado (MN): zona paling ujung timur Lengan Utara Sulawesi,
meliputi juga Kepulauan Sangihe yang terus memanjang ke utara.
A. MAGMATISME PRA-TERSIER
Vulkanisme pra-Tersier di Lengan Selatan Sulawesi dijumpai berupa batuan
ultrabasa yang tersingkap di daerah Barru, Bantimala, Kepulauan Bonerate,
ataupun ofiolit di sekitar Palopo-Sinjai dan Watampone.
Di daerah Barru, batuan ultrabasa berkontak sesar dengan batuan
malihan, tertindih tak-selaras oleh sedimen flysch Kapur Akhir, dan
diterobos oleh diorit yang diduga berumur Paleosen. Batuan ultrabasanya
mengalami serpentinisasi kuat, terkekarkan dengan banyak memperlihatkan
B. Magmatisme Paleogen
Batuan vulkanik berumur Paleosen (40K-40Ar; 61,41–59,17 jtl.; Obradovich,
1974 dalam Sukamto, 1975c; Yuwono dkk., 1988; Polve dkk., 1996) yang
ditemukan di bagian selatan Mendala Barat Sulawesi mempunyai litologi
umum berupa lava basalt yang terkelompok dalam Formasi Bua (Yuwono
dkk., 1988). Afinitas kimianya kalk-alkali merupakan afinitas untuk magma
yang pembentukannya berhubungan dengan subduksi. Van Leeuwen dkk.
(2002) menyebutkan bahwa batuan vulkanik Langi di daerah Biru (sekitar
Bantimala) menunjukkan umur 52,3–49,8 jt. Batuan-batuan ini merupakan
produk magmatik berhubungan dengan subduksi yang (saat ini) diketahui
tertua di Sulawesi.
Di bagian timur Lengan Selatan Sulawesi dijumpai lava basalt di Sungai
Ningo (Watampone) yang merupakan bagian dari Formasi Salokalupang.
Penentuan umur pada batuan ini dilakukan dengan metode 40K-40Ar dengan
hasil umurnya adalah Eosen atau 52,20 jt (komunikasi personal dengan Alit
Ascaria, 2011). Keterbatasan data geokimia menjadikan identifikasi sampel
basalt Formasi Salokalupang ini menjadi terbatas. Kedekatan umurnya
denganumur Formasi Bua memberikan perkiraan kedua produk vulkanik ini
identik, yang menunjukkan keberadaan subduksi pada kala Paleosen–Eosen
Awal di ujung selatan Lengan Selatan Sulawesi.
Di sekitar Palu-Donggala, retas-retas basalt toleitik yang menunjuk-
kan umur 40K-40Ar 46,82 jt dan 34,46 jt ditemukan menerobos sedimen
Formasi Tinombo (Priadi dkk., 1993). Karakter kimiawi retas-retas ini
menunjukkan produk vulkanisme yang berkaitan dengan subduksi. Intrusi-
intrusi granodiorit-diorit toleitik juga ditemukan di Paleleh dan di Tantayuo
(zona Gorontalo).
Di daerah utara zona Palu tersebar luas produk vulkanik yang
berasosiasi dengan produk sedimentasi. Batuan itu dipetakan sebagai
batuan Formasi Tinombo (Ratman, 1976). Penamaan Formasi Tinombo
C. Magmatisme Neogen
Magmatisme Neogen secara umum merupakan kelanjutan sistem
sebelumnya (Paleogen), terutama yang menunjukkan afinitas toleitik
(TH) dan kalk-alkali (KA), sedangkan kehadiran magmatisme ultra-
potasik/shoshonitik (UP/SH) dan kalk-alkali potasik (KAP) memberikan
kemungkinan pola tektonik yang berbeda dari sistem subduksi biasa.
Keberadaan subduksi pada sistem busur kepulauan (volcanic arc)
ditunjukkan dengan kehadiran beberapa intrusi granodiorit dan gabro
berafinitas magmatik toleit-kalk-alkali yang dijumpai tersingkap di bagian
utara, di zona Tolitoli dengan umur 22,45–18,14 jt. Di bagian selatan
Lengan Selatan Sulawesi (di sekitar Palopo) dijumpai batuan andesitik-dasitik
kalk-alkali yang dikelompokkan dalam batuan Gunungapi Lamasi-Songka
berumur 15,38–15,35 jt atau Miosen (Priadi dkk., 1994, Gambar 6.3).
D. Magmatisme KUARTER
Kegiatan gunungapi selama Kuarter hanya terjadi di ujung selatan Mendala
Barat Sulawesi, beberapa tempat di bagian tengah, dan tersebar secara
umum mendominasi ujung timur Lengan Utara Sulawesi. Produk vulkanik
Kuarter di sekitar Manado umumnya berafinitas kalk-alkali (KA) yang
berhubungan dengan subduksi muda yang penyebarannya menerus ke arah
Kepulauan Sangihe-Talaud dan menerus ke Filipina.
Gunungapi Lompobatang di ujung selatan Lengan Selatan Su-
lawesi merupakan satu-satunya manifestasi vulkanisme Kuarter
di Lengan Selatan Sulawesi, produknya berupa batuan vulkanik, dan
A. TINJAUAN UMUM
Pada tahun 1980-an, penemuan intan mikro dan mineral koesit yang
terbentuk pada kondisi tekanan ultratinggi dalam batuan kerak telah
meningkatkan pemahaman zona tumbukan kerak benua dan dinamika
selubung bumi dalam suatu proses penunjaman lempeng (Chopin, 1984;
Sobolev & Shatsky, 1990 dalam Liou dkk., 1998). Kerak samudra beserta
lapisan batuan sedimen pelagis terhidrasi (pengayaan H2O) kemudian
tertunjamkan secara progresif sehingga mengalami dehidrasi (pengeluaran
H2O), lalu mengalami rekristalisasi sampai pada kondisi fasies sekis biru
sampai eklogit (tekanan tinggi). Batuan mengalami malihan sampai
fasies koesit terbentuk akibat penunjaman kerak samudra pada kedala-
man dangkal sedangkan intan terbentuk pada kedalaman selubung bumi,
yang dalam beberapa kasus, mencapai kedalaman sampai sekitar 670 km
atau pada batas selubung atas bumi dan selubung bawah bumi (Liou
dkk., 1998). Batuan malihan tekanan ultratinggi tersingkap ke permukaan
melalui proses baji leleran dari material kerak bagian atas (Liou dkk.,
1998) akibat retakan kerak dan pembubungan material lapisan kerak
benua dengan rapat masa rendah (Maruyama dkk., 1996; Liou dkk., 1998).
Pada umumnya, batuan malihan tekanan ultratinggi sering mengalami
pemalihan ulang pada kondisi derajat lebih rendah (Liou dkk., 1998).
Penemuan-penemuan terbaru ini membuka ide bahwa proses geologi
sepanjang zona tunjaman lempeng sangat dinamis (Maruyama & Liou,
1998). Di Indonesia, fasies tertinggi batuan malihan mencapai kondisi
tekanan tinggi-sangat tinggi, yang dijumpai di Jawa bagian tengah dan
Sulawesi bagian selatan dan tengah (Parkinson dkk., 1998; Maruyama dkk.,
127
1996; Soeria-Atmadja dkk., 2005; Syafri dkk., 2005; Kadarusman dkk.,
2005; Maulana dkk., 2010; Soesilo dkk., 2010; dan Soesilo, 2012).
Kompleks batuan malihan Sulawesi yang dimaksud adalah semua
jenis batuan malihan yang tersingkap di kawasan Pulau (P.) Sulawesi,
meliputi malihan yang terbentuk pada suhu dan tekanan rendah (fasies
sekis hijau) sampai pada fasies sekisbiru-eklogit-granulit, yaitu batuan
malihan yang terbentuk pada tekanan tinggi (10–12 kbar) dan suhu sedang.
Batuan-batuan malihan yang terbentuk dapat berasal dari berbagai sumber
batuan (protolithe) seperti batuan sedimen dan batuan beku atau berasal
dari batuan malihan itu sendiri yang membentuk beragam jenis batuan
malihan dari tingkat/derajat malihan atau fasies yang berbeda. Batuan-
batuan lainnya seperti yang terbentuk dari hasil proses hidrotermal, batuan
hasil pelapukan, dan proses diagenesa tidak termasuk dalam pembahasan.
Batuan malihan di P. Sulawesi tercakup pada lembar peta 4, 9, 10, 11, 12,
13, 16, 17, 20, 22, dan lembar 25 (Gambar 1.3) dengan daftar pemeta dan
tahun terbitnya disajikan pada Tabel 1.1.
Penelitian awal batuan malihan diuraikan dalam de Roever (1947; 1956),
dan van Bemellen (1949); sedangkan penelitian terbaru telah dilakukan
oleh Helmers dkk. (1990); Kadarusman & Parkinson (2000); van Leeuwen
& Muhardjo (2005); Syafri dkk. (2005); Kadarusman dkk. (2005), van
Leeuwen dkk. (2007); Maulana dkk. (2010); Soesilo, dkk. (2010) dan
Soesilo (2012).
Batuan malihan di Sulawesi dikelompokkan sebagai batuan sekis
kristalin (van Bemellen, 1949) dan dijumpai di Pangkajene yang diduga
berumur lebih tua daripada Kapur. Malihan tersebut bersama dengan
serpentinit dan kuarsit ditutupi sedimen berumur Kapur dan Eosen.
Batuan malihan yang tersingkap di sisi barat Busur Timur Sulawesi
membentuk zona imbrikasi yang ditafsirkan sebagai produk penunja-
man lempeng dengan kemiringan ke arah barat pada Akhir Kapur (?),
Paleogen (?), dan Neogen. Di sisi paling barat zona imbrikasi dijumpai
sekis glukofan (fasies sekis biru) dan melange polimik, sebaliknya ke arah
timur dijumpai batuan malihan derajat rendah. Batuan malihan sekisbiru
yang sangat melimpah di wilayah ini (Hamilton, 1979) disusun dari mineral
glukofan, krosit, lawsonit, jadeit, dan aegirin. Sedangkan batuan malihan
berderajat rendah yang dicirikan oleh kehadiran prehnit dan pumpelit
mengindikasikan bahwa batuan tersebut terbentuk pada tekanan dan suhu
tinggi. Batuan-batuan malihan bertekanan tinggi berbatasan secara kaotik
dengan batuan dari fasies yang berbeda seperi amfibolit, amfibolit epidot,
Gambar 7.1 Penyebaran batuan malihan di Pulau Sulawesi (Sukamto, dkk., 2002).
2. Pengelompokan
Kompleks batuan malihan di P. Sulawesi diuraikan berdasarkan lokasi
geografis, jenis litologi, dan kontrol tektonik mulai dari Mendala
Sulawesi Barat, Mendala Sulawesi Tengah, dan Mendala Sulawesi Timur.
Berdasarkan lokasi geografis, kompleks batuan malihan Sulawesi dapat
dikelompokkan menjadi di bagian Lengan Utara Sulawesi, dua kompleks
malihan, yaitu Kompleks Malihan Tolitoli atau dikenal sebagai Kompleks
Malihan Malino dan Kompleks Malihan Palu, yang keduanya membentuk
batuan alas di wilayah tersebut (Blok 1, Gambar 7.2). Di bagian selatan
dari Kompleks Malihan Palu dijumpai Kompleks Malihan Sesar Palu-
Koro, Kompleks Malihan Latimojong, dan Kompleks Malihan Karrosa
(Blok A, Gambar 7.2, Sukamto, 1973; van Leeuwen & Muhardjo, 2005).
Pada ujung selatan Mendala Sulawesi Barat tersingkap Kompleks Malihan
Bantimala-Barru (Blok C, Gambar 7.2). Sementara itu, pada bagian tengah
Sulawesi dijumpai Kompleks Malihan Pompangeo (Blok 2, Gambar 7.2)
yang dipotong oleh Kompleks Malihan Sesar Matano (Blok B, Gambar
7.2). Blok 3 ditempati oleh Kompleks Malihan Mengkoka dan Kompleks
Malihan Mendoke-Rumbia-Kabaena yang terletak di Blok 4. Kompleks
malihan lainnya, Blok D, adalah Kompleks Malihan Buton. Uraian malihan
berikut ini dibagi berdasarkan lokasi geografis keberadaan kompleks
batuan malihan tersebut.
3. Stratigrafi
Batuan sekis kristalin di Pulau Sulawesi secara stratigrafi berumur lebih tua
daripada Mesozoikum atau Paleozoikum Akhir (Brouwer, 1941 dalam van
Bemmelen, 1949). Di Sulawesi bagian tenggara, batuan malihan dari jenis
filit dan batuan malihan derajat rendah atau bukan batuan malihan yang
dijumpai di Pulau Buton berumur Mesozoikum. Di Pangkajene dijumpai
sekis kristalin yang berselingan dengan batuan ultramafik dan rijang yang
ditutupi sedimen Kapur Atas (Brouwer, 1942 dalam van Bemmelen, 1949).
Gambar 7.2 Penyebaran kompleks malihan di Pulau Sulawesi (peta geologi bersumber
dari Sukamto dkk., 2002). Kotak 1-4 atau A-E adalah pengelompokan kompleks
malihan di Sulawesi.
Gambar 7.3 Stratigrafi Mendala Sulawesi Barat dan Mendala Sulawesi Timur
serta Mendala Banggai Sula (Sukamto & Simandjuntak, 1983).
Gambar 7.6 Peta geologi penyebaran batuan malihan di bagian barat laut
dan bagian Leher Sulawesi (Sukarna, 2002).
Gambar 7.7 Peta geologi penyebaran batuan malihan di bagian tengah Pulau
Sulawesi (disederhanakan dari Sukamto, dkk., 2002).
Gambar 7.8 Penyebaran batuan malihan dalam Kompleks Malihan Pompangeo (diseder
hanakan dari Simandjuntak dkk., 1991a).
Gambar 7.9 Geografis Kompleks Malihan Mengkoka dan Kompleks Malihan Mendoke-
Rumbia-Kabaena, Sulawesi, di Lengan Tenggara Sulawesi.
153
Gambar 8.1 Peta geologi bagian timur Sulawesi, disederhanakan dari peta-peta
geologi terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, skala 1:250.000.
Gambar 8.2 Kepingan benua di bagian timur Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya
(Surono, 1998a).
1. Stratigrafi
Secara stratigrafi, batuan pembentuk Kepingan Benua Banggai-Sula terdiri
atas batuan yang berumur dari Paleozoikum sampai Kuarter (Gambar 8.4).
Sebagai batuan alas pada kepingan benua tersebut adalah batuan malihan
yang diterobos oleh granit dan ditindih oleh batuan gunungapi asam.
Batuan alas ini ditindih takselaras oleh sedimen klastik darat–laut dangkal
dari Formasi Bobong dan Formasi Nanaka. Runtunan sedimen klastik ini
berumur Jura Awal-Tengah dan ditindih selaras serpih hitam dan lempung
Kepingan Benua
| 157
endapan laut dangkal Formasi Buya yang berumur Jura–Kapur Awal
(Surono & Sukarna, 1993; Supandjono & Haryono, 1993). Di P. Mangole
dan P. Taliabu, Formasi Buya ditindih batugamping endapan laut dalam
Formasi Tanamu. Kemudian batuan karbonat Eosen-Miosen Formasi
Salodik, Pancoran, dan Poh melampar luas dan menutupi takselaras run-
tunan batuan yang lebih tua. Akhirnya, konglomerat dan batugamping
Kuarter menutupi takselaras sedimen Tersier tersebut. Batuan Kuarter ini
tersingkap baik di sepanjang pantai selatan Lengan Timur Sulawesi.
2. Batuan alas
Seperti diuraikan di atas, batuan alas terdiri atas batuan malihan yang
diterobos oleh granit dan ditindih takselaras oleh batuan gunungapi.
Granit dan batuan gunungapi mempunyai umur yang sama (co-magmatic).
Batuan malihan tersingkap di P. Banggai, P. Peleng bagian barat,
P. Labobo, P. Bankurung, P. Salue Besar, P. Taliabu, P. Mangole, dan
P. Sulabesi (Gambar 8.4). Batuan penyusunnya terdiri atas batusabak,
filit, ampibolit, batupasir malih, kuarsit, sekis, dan genes. Berdasarkan
pentarikhan sekis dari P. Banggai, umur batuan malihan ini 306–305
+ 6 jt (juta tahun) atau Karbon Akhir (Sukamto, 1975a). Supandjono
dan Haryono (1993) memperkenalkan Formasi Menanga untuk runtu-
nan batuan sedimen malih yang terdiri atas perselingan batupasir malih,
batugamping malih, batusabak, dan filit, tersebar di P. Taliabu. Mereka
menduga formasi ini berumur pasca-Karbon, mungkin Trias.
Granit pada Kepingan Benua Banggai-Sula diperkenalkan pertama kali
oleh Supandjono dan Haryono (1993) dengan sebutan Granit Banggai,
yang kemudian diikuti oleh Surono dan Sukarna (1993). Granit Banggai
umumnya berwarna merah maroon, yang tersusun oleh granit, granit
muskovit, dan granodiorit. Hasil pentarikhan radiometri granit dari P.
Banggai dan P. Taliabu menghasilkan umur berturut-turut 235+10 jt dan
245+25 jt (Sukamto, 1975a). Supandjono dan Haryono (1993) melakukan
pentarikhan radiometri pada granit dari dekat Bobong dan menghasilkan
umur 221+2 jt hingga 225+2 jt. Sementara itu, Surono dan Sukarna (1993)
melakukan hal yang sama dan menghasilkan umur 225+2 jt–240+2 jt.
Semua umur hasil pentarikhan tersebut sama dengan Trias Tengah–Trias
Akhir pada Skala Waktu Geologi (International Commission of Stratigraphy, 2004).
Batuan hasil kegiatan gunungapi terdiri atas riolit, tuf terkersikkan,
ignimbrit, tuf lapili, dan breksi gunungapi (Surono dan Sukarna, 1993;
4. Karbonat Kapur
Runtunan batuan karbonat berumur Kapur terdiri atas napal bersisipan
batugamping kapuran dan serpih. Surono dan Sukarna (1993) menamai
runtunan ini sebagai Formasi Tanamu. Penyebaran Formasi Tanamu
dijumpai di sepanjang pantai utara P. Taliabu dan P. Mangole (Gambar
8.3–8.4) dengan ketebalan maksimum 500 m.
Batugamping kapuran mengandung fosil Globotruncana sp., G. stepani-
turbinata, G. gr. lapparenti, G. Coronata, dan G. cf. fornicata; yang menunjuk-
kan umur Kapur Akhir (Surono dan Sukarna, 1993). Surono dan Sukarna,
(1993) juga menganalisis kandungan nannoplankton dan menemukan
Arkhangelskiella cymbiformis, Broinsonia parcea, Eiffelithus turriseiffeli, Cribosphae-
rella ehrenbergi, Lucianorhabdus cayeuxi, Pararhabdolithus embergi, Prediscosphaera
cretacea, Microsphabdules decoratus, Manivilette pemmatoidea, Tetralithus corpulathus,
T. aculeus, T. gothius, T. trifibus, dan Watznaueria barnesa; yang menunjukkan
umur Kapur Akhir dan terendapkan di lingkungan laut dalam.
Formasi Tanamu mempunyai hubungan ketidakselarasan semu (para-
conformity) dengan Formasi Buya yang ada di bawahnya. Secara setempat
formasi ini ditindih secara takselaras oleh Formasi Peleng yang berumur
Kuarter. Brouwer (1926) menyatukan Formasi Tanamu ini dengan Formasi
Buya dengan nama Way Galo Beds.
Cornee dkk. (1995) menganalisis kandungan fosil dalam contoh
batugamping dari daerah Salodik, leher Lengan Timur Sulawesi, dan
menemukan foraminifera plankton: Planoglobolina cf. multicamerate, Pseudotex-
tularia elegans, Heterohelicidae, Globotruncana linneiana, G. insignis, G. ventricosa,
G. dupleublei, Globotruncanita stuartiformis, G. cf. stuarti, Contusotruncana cf.
walfischensis, C. cf. fornicata; dan nannoplankton: Watznaueria sp., W. barnesae,
Biscutum sp., Rhagodiscus sp., Prediscosphaera sp., Cribrosphaerella ehrenbergii,
dan Lithraphidites praequadratus. Kumpulan fosil tersebut juga menunjukkan
umur Maastrichtian tengah atau akhir Kapur Akhir.
Gambar 8.11 Peta geologi Lengan Tenggara Sulawesi (Rusmana dkk., 1993b;
Simandjuntak, 1991a, 1993, & 1994).
Gambar 8.13 Sekis di Pegunungan Rumbia, ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi.
a. Formasi Meluhu
Formasi Meluhu dapat dibagi menjadi tiga anggota (Surono, 1997b; Surono
& Bachri, 2002) dari bawah ke atas:
1) Anggota Toronipa, yang didominasi oleh batupasir dengan sisipan
batupasir konglomeratan, batulumpur, dan serpih serta setempat lignit;
2) Anggota Watutaluboto didominasi oleh batulumpur dan batulanau
dengan sisipan batupasir dan konglomerat; dan
3) Anggota Tuetue terdiri atas batulumpur, batulanau, dan napal serta
batugamping di bagian atas.
Penyebaran ketiga anggota itu dapat dilihat pada Gambar 8.14 dan
8.15. Anggota Toronipa ditindih secara selaras oleh Anggota Watutaluboto,
dan selanjutnya Anggota Watutaluboto ditindih selaras Anggota Tuetue.
Rvmax dan 0,82% Rvmax dengan rata-rata 0,69% Rvmax, yang menunjuk-
kan rank sub-bituminous–high volatile bituminous.
Sebagai ciri endapan sungai kekelok, penampang tegak Anggota
Toronipa umumnya menghalus ke atas seperti pada Gambar 8.16. Namun
di hulu Sungai Andonowu, selatan Tinobu, penampang tegak anggota ini
justru mengasar ke atas. Ini diduga sebagai endapan kipas sungai yang
dipengaruhi oleh tektonik aktif semasa pengendapannya (Surono, 1997b).
Gambar 8.20 Penampang stratigrafi Anggota Tuetue pada lokasi tipe (Surono &
Bachri, 2002).
Trias dan arah arus purba waktu pengendapan formasi itu adalah 90o, atau
ke arah timur. Garis pantai sewaktu pengendapan Formasi Meluhu diduga
memanjang hampir sejajar dengan pantai sekarang, sedangkan laut ke arah
timur laut.
Sesuai dengan hasil analisis petrografi dan arus purba, asal batuan
yang diendapkan dalam cekungan itu dari barat, dengan komposisi batuan
asal didominasi oleh batuan malihan yang diterobos oleh batuan felsik dan
ditindih oleh lapisan tipis batuan gunungapi. Oligoklas lapuk ditemukan
bersama dengan felspar segar dalam sayatan sama, ini menunjukkan bahwa
topografi batuan asal sangat kasar, sungai mengalir deras sehingga dapat
menoreh dari batuan yang lapuk sampai ke batuan segar. Sungai seperti
itu pasti mempunyai air cukup banyak. Semua itu menunjukkan bahwa
iklim waktu itu cukup basah dengan curah hujan yang tinggi. Kaolin pada
umum dijumpai di daerah subtropis–tropis (Weaver, 1989; dan Konta, 1985).
Uraian itu semua memperkuat dugaan bahwa cekungan Formasi
Meluhu terletak pada tepi utara Australia, di daerah subtropis dengan iklim
cukup basah. Cekungan yang semakin dalam mungkin lebih disebabkan
adanya ekstensi pada awal proses pemisahan Kepingan Benua Sulawesi
Tenggara dari tepi utara Australia.
Sampai saat ini, pada Kepingan Benua Sulawesi Tenggara tidak dite-
mukan sedimen klastik yang berumur Jura. Padahal sedimen itu ditemukan
menyebar luas dan mempunyai ketebalan cukup besar di Kepingan Benua
Banggai-Sula (Surono & Sukarna, 1993). Namun, pada kepingan benua
yang dekat dengan Kepingan Benua Sulawesi Tenggara (Kepingan Benua
Mattarombeo) sedimen Jura ditemukan cukup tebal. Kalau benar dugaan
b. Batugamping Kapur
Tidak seperti pada Kepingan Benua Banggai-Sula, pada Kepingan Benua
Sulawesi Tenggara batuan sedimen Kapur, tidak tersingkap secara luas.
Singkapan batugamping (mudstone/wakestone) berumur Kapur ditemukan
oleh Cornee dkk. (1995) di sebuah pulau kecil sebelah barat P. Labengke
dan pantai Desa Matarape (Gambar 8.22). Di pulau kecil itu, batugamping
tersingkap setebal 10 m. Batugamping tersebut banyak mengandung fora-
minifera, di antaranya Heterohelicidae sp., Pseudotextularia sp., Rugoglobigerina
sp., Globotruncanita cf. stuartiformis, G. Atlantica, dan Contusotruncana cf.
fornicata; yang menunjukkan umur Campanian atau awal Kapur Akhir.
Cornee dkk. (1995) mengambil dua contoh batugamping dari pantai
Desa Matarape. Satu contoh mengandung Heterohelix sp., Globigerinolloides
sp., Globotruncana linneiana, G. arca, Globotruncanita cf. atlantika, Gl. cf. cal-
carata, Gl. Stuartiformis, dan Rugoglobigerina sp. yang berumur Campanian. Satu
lainnya mengandung Rugoglobigerina cf. rugosa, Globotruncanita cf. stuartiformis,
G. gr. atlantica-conica, dan Costusotruncana cf. fornicata yang diduga berumur
Campanian-Maastrichtian atau Kapur Akhir.
Gambar 8.22 Lokasi batugamping berumur Kapur di pulau kecil dekat P. Labengke,
yang ditemukan oleh Cornee dkk. (1995).
baik pada bagian bawah ini. Runtunan Batuasah, yang merupakan endapan
delta yang didominasi energi sungai, menumpang takselaras di atas For-
masi Meluhu. Ketebalan Runtunan Batuasah lebih dari 30 m dan ditindih
secara transisi oleh bagian tengah (Runtunan Labengke Utara (Northern La-
bengke) oleh Surono (1996b). Bagian tengah Formasi Tampakura dinamai
Runtunan Labengke Utara (Northern Labengke Beds) oleh Surono (1996b),
disusun oleh mudstone dan wackestone (Gambar 8.27). Lapisan tipis lanau
masih menyisipi bagian terbawahnya. Bagian atas Formasi Tampakura
merupakan Runtunan Labengke Selatan (Southern Labengke Beds) didominasi
oleh runtunan tebal dari framestone dengan sisipan mudstone dan rudstone
(Gambar 8.28). Oolit diikuti dolomit berkembang baik pada bagian teratas
(Gambar 8.29). Secara setempat oolit mendominasi bagian atas ini, seperti
pada Western Labengke beds dan Marege Beds.
Berbagai jenis fosil yang terawetkan dalam Formasi Tampakura, antara
lain foraminifera, nannofosil, moluska, algae, koral, dan ecinoid. Sepuluh
contoh yang mengandung foraminifera dianalisis oleh Surono (1996b) dan
hasilnya: Chilogumbilina sp., Numulites sp., Miliolides sp., Reussela sp., Opercu-
Kepingan Benua
Utara (rim karbonat-paparan pasang surut); C = Runtunan Marege (subtidal-intertidal); D = Anggota Laonti (supratidal-
subtidal) di Tanjung Laonti. Lihat Gambar 8.1 untuk lokasi penampang.
| 197
198 |
Geologi Sulawesi
Gambar 8.31 Rekonstruksi paleogeografi Kepingan Benua Sulawesi Tenggara pada Paleogen. Kepingan benua dikelilingi oleh paparan
karbonat tempat terendapkannya Formasi Tampakura, Formasi Lerea, dan Formasi Tamborasi. Paparan karbonat itu mungkin langsung
berbatasan dengan laut dalam (Surono, 2010).
Keyzer (1945) melaporkan foraminifera kecil; dan Beet (1943) meng
analisis moluska Oligosen Akhir–Mio-Pliosen. Van Bemmelen (1949)
secara lengkap merangkum kondisi geologi Kepulauan Buton dari berbagai
sumber hasil penelitian sebelumnya. Lama setelah itu tidak ada publikasi
Gambar 8.32 Peta geologi P. Buton dan P. Muna (disederhanakan dari Sikumbang dkk., 1995).
Kedua satuan batuan ini diduga terbentuk pada zona subduksi dari
lempeng samudra tempat terbentuknya Kompleks Ofiolit Kapantori
(Mudjito dkk., 1998).
berasal dari kepingan benua. Hal seperti ini tidak hanya dapat diamati
di Lengan Tenggara Sulawesi, tetapi juga tampak jelas di Lengan Timur
Sulawesi. Fragmen konglomerat dan batupasir dalam bagian bawah For-
masi Kintom didominasi batuan ofiolit dan tidak ditemukan batuan yang
berasal dari kepingan benua. Sebaliknya, pada bagian atas formasi itu tidak
ditemukan fragmen batuan dari ofiolit.
Bagian bawah Molasa Sulawesi umumnya mempunyai ukuran butir
yang jauh lebih besar dibandingkan dengan bagian atasnya, atau dengan
kata lain ukuran butirnya mengecil secara signifikan ke atas. Di beberapa
tempat, bagian terbawahnya mempunyai ukuran butir sampai >100 cm. Hal
ini dapat terjadi apabila energi transportasi yang cukup tinggi, atau sangat
mungkin terjadi pada topografi kasar yang mempunyai sungai dengan
kemiringan cukup besar (curam). Topografi kasar ini tentu diakibatkan
oleh tektonik yang dialami daerah itu relatif kuat, sangat mungkin akibat
tumbukan dua mintakat yang berbeda (benua dan samudra) itu.
Surono dan Sukarna (1996) menggambarkan awal pengendapan Sula
wesi Molasa di Lengan Tenggara Sulawesi yang sangat mungkin dapat
diterapkan di seluruh bagian timur Sulawesi. Awal pengendapannya terjadi
pada tahap akhir tumbukan antara kedua mintakat tersebut. Pengendap
an terjadi dalam beberapa cekungan aluvial berukuran relatif kecil yang
terpisahkan satu sama lain oleh topografi yang kasar akibat tumbukan
kedua kepingan benua dan samudra itu (Gambar 10.25a). Seiring dengan
B. SEDIMEN KUARTER
Batuan sedimen Kuarter umumnya terdiri atas batugamping koral yang
melampar di sepanjang pantai. Penyebaran yang luas berada di pantai
selatan Lengan Timur Sulawesi dan di sekitar Kendari, Sulawesi Tenggara.
Yang di Lengan Timur disebut Terumbu Koral Kuarter oleh Surono dkk.
(1994) sebaiknya sekarang kita namai sebagai Formasi Luwuk; sedangkan
yang di ujung selatan Lengan Tenggara dinamai Formasi Buara oleh
Simandjuntak dkk. (1994). Di bawah ini uraian singkat keduanya, disusul
sedimen klastik Kuarter Formasi Alangga.
1. Formasi Buara
Formasi Buara ditemukan di sekitar Buara (ujung selatan Lengan Tenggara
Sulawesi), membentang dari Boepinang sampai Taori, terutama menempati
daerah dataran dan perbukitan kecil. Batuan penyusunnya didominasi oleh
batugamping terumbu koral dengan sisipan konglomerat dan batupasir.
Dalam batupasir banyak ditemukan cangkang moluska di antaranya
Turitella. Fosil yang ditemukan dalam formasi ini adalah Candeina nitida,
Hastigerina sp., Orbulina universa, dan Ostracoda. Kandungan fosil tersebut
menunjukkan umur Plistosen–Holosen (Simandjuntak dkk., 1994).
2. Formasi Luwuk
Formasi Luwuk melampar luas di sepanjang pantai selatan Lengan Timur
Sulawesi (Gambar 10.1). Formasi ini membentuk morfologi teras yang baik
di sepanjang pantai mulai dari ujung timur Lengan Timur Sulawesi sampai
Gambar 10.26 Kenampakan morfologi teras Formasi Luwuk (Sumosusastro dkk., 1989).
pada 101 dan 67 ribu tahun (rt). Berdasarkan perhitungan ini, mereka
berkesimpulan bahwa kecepatan rata-rata pengangkatan tersebut menurun
seiring dengan naiknya umur (Gambar 10.27 dan 10.28).
3. Formasi Alangga
Nama Formasi Alangga diberikan oleh Rusmana dkk. (1993) pada satuan
batuan yang didominasi oleh batupasir dan konglomerat. Pada umumnya
batuan pembentuk satuan ini masih belum terkompakkan secara baik dan
Dalam bab ini dibahas mendala geologi dan tataan kerak yang melan-
dasi Pulau Sulawesi serta wilayah di sekitarnya berdasarkan peta gayaberat.
Nilai dan pola anomali dari tiap-tiap mendala geologi yang membangun
Sulawesi diutarakan sebagai upaya mengenali ciri khas gayaberat mereka.
Bangun kerak bumi dan implikasi tektoniknya dipelajari melalui analisis
model gayaberat dan data terkait lainnya, yaitu topografi dan batimetri serta
ketebalan sedimen regional yang dihimpun dari hasil analisis dan penaf-
siran penampang-penampang seismik skala regional (Hamilton, 1974).
A. SUMBER DATA
Gayaberat dan topografi serta batimetri merupakan data utama yang
digunakan untuk membuat citra dan peta garis-garis kontur. Data gaya
berat di darat diperoleh dengan mendigit garis kontur peta-peta gayaberat
berskala 1:250.000 yang diterbitkan oleh Pusat Survei Geologi (PSG).
Pendigitan yang dilakukan terhadap 17 lembar peta gayaberat menghasil
kan tidak kurang dari 500.000 titik data digitan, yang kemudian dipilih
sekitar 50.000 titik data digitan untuk membuat citra gayaberat di daratan
Pulau Sulawesi. Data gayaberat di wilayah perairan berupa nilai kisi gaya
berat udara-bebas global (global free-air gravity grids), dengan ukuran kisi
1 menit busur (Sandwell & Smith, 2009). Data topografi dan batimetri
yang digunakan berupa kisi model terin digital (digital terrain model grids)
dengan ukuran kisi sekitar 1 menit (Smith & Sandwell, 1997). Gambar
11.1 menyajikan relief serta citra topografi dan batimetri Pulau Sulawesi
serta wilayah di sekitarnya.
259
B. CITRA DAN PETA GARIS KONTUR GAYABERAT
Data gayaberat darat dan laut digabungkan, kemudian dilakukan peng-
hitungan kembali nilai kisi guna menyetarakan aras anomali kedua jenis
data itu, utamanya di sepanjang lajur peralihan dari laut ke darat, atau
sebaliknya. Hasil penghitungan kembali nilai kisi anomali gayaberat itu,
selanjutnya diolah menjadi citra warna serta garis-garis konturnya. Citra
majemuk (composite imagery) dibuat dengan menindihkan citra warna gaya
berat di atas relief topografi dan batimetri, dengan tingkat keterawangan
50%. Di atas citra majemuk itu digambar garis-garis kontur gayaberat
dengan selang 10 mGal (Gambar 11.2).
Gayaberat | 261
lebih tinggi di sepanjang Busur Magmatik Sulawesi Utara dan wilayah
yang dihuni oleh bongkahan Kepingan Benua Banggai-Sula. Kurun nilai
anomali +50 mGal hingga +100 mGal menempati kawasan mendala
vulkanik di Kepulauan Togian yang terletak di Teluk Tomini dan kawasan
kepingan benua yang membentuk Buton, Muna, dan Kepulauan Tukang
Besi. Kurun anomali sebesar ini juga dijumpai pada keratan-keratan batuan
ultrabasa di sepanjang pantai yang melingkupi Teluk Bone. Ke selatan,
pada arah Pulau Selayar dan Kepulauan Bonerate, kurun anomali di
wilayah ini juga di antara +50 dan +100 mGal. Pola yang dibentuk
oleh garis-garis kontur anomali gayaberat umumnya eliptik dengan arah
baringan menuruti letak dan baringan mendala-mendala geologi itu. Garis-
garis kontur yang rapat menandai batas antara satu mendala terhadap
mendala yang lain, pada umumnya berupa sesar.
Berikut ini dibahas hubungan antara pola dan kurun nilai anomali
gayaberat terkait dengan peringkat tektonika tiap-tiap mendala. Bahasan ini
menganggap bahwa susunan kerak terdiri atas bongkah granitan berapat
masa rata-rata 2,67 gram/cm3 dengan selapis batuan endapan yang berapat
masa rata-rata 2,37 gram/cm3 di permukaannya, jika dijumpai kerak basa-
lan, nilai rata-rata rapat masanya 2,77 gram/cm3, keratan ultrabasa berapat
masa rata-rata 2,97 gram/cm3, pluton granitan serta batuan malihan
memiliki rapat masa rata-rata 2,47 gram/cm3, dan nilai rata-rata rapat masa
air laut 1,03 gram/cm3. Bongkah kerak granitan atau kerak basalan dialasi
oleh bagian atas selubung yang berapat masa rata-rata 3,07gram/cm3.
Gayaberat | 263
hanya sebesar -20 mGal. Berarti, Moho di sepanjang kawasan itu meninggi
hingga mencapai 16 km di bawah permukaan laut. Anomali yang dibang-
kitkan oleh meningginya aras Moho di kawasan ini mencapai +280 mGal.
Di sepanjang lajur muka tunjaman, kerak Laut Sulawesi menebal hingga 10
km. Sebagai acuan, pada kesetimbangan isostatik, di perairan laut terbuka,
nilai anomali udara-bebas (free-air anomalies) sama dengan nol dan kerak laut
yang bersusunan basalan memiliki ketebalan 6 km, kedalaman laut 5.000
m, dan aras Moho terletak pada 11 km di bawah permukaan laut.
Di perairan di sebelah selatan Lengan Utara Sulawesi dijumpai dua
wilayah gayaberat, yaitu wilayah gayaberat Teluk Tomini di bagian barat
dan wilayah gayaberat Laut Maluku di bagian timur. Wilayah gayaberat Te-
luk Tomini dicirikan oleh kurun nilai anomali sekitar 0 mGal hingga +40
mGal di bagian barat dan sekitar +40 mGal hingga +80 mGal di bagian
timur. Di bagian barat Teluk Tomini kedalaman laut mencapai 1.000 m
atau lebih dan mendangkal ke timur hingga 500 m atau lebih dangkal. Di
kedua bagian wilayah gayaberat Teluk Tomini ketebalan batuan endapan
mencapai 3.000 m. Jika rata-rata kedalaman air di Teluk Tomini 1.000 m
dan rata-rata ketebalan sedimen 3.000 m, aras Moho terletak di sekitar 21
km di bawah permukaan laut. Dengan tataan seperti ini dapat disimpulkan
bahwa Teluk Tomini dilandasi oleh kerak granitan setebal 17 km.
Di kawasan Kepulauan Togian, anomali gayaberat meninggi dan
mencapai +80 mGal. Meningginya nilai anomali gayaberat di kawasan ini
disebabkan oleh peninggian lokal bagian atas selubung yang, mungkin,
disebabkan diapirisme karena gaya tekan oblik dari sistem sesar mendatar
yang aktif di kawasan itu. Kepulauan Togian merupakan ruas wilayah
yang mengalami gaya tekan oblik sehingga bagian atas selubung yang
berapat masa rata-rata 3,07 gram/cm3 itu terangkat ke dekat permukaan.
Di kawasan Kepulauan Togian peninggian setempat bagian atas selubung
mencapai 16 km di bawah permukaan laut.
Wilayah gayaberat Laut Maluku dicirikan oleh kurun nilai anomali dari
-20 mGal hingga -200 mGal atau lebih rendah. Di bagian barat wilayah
gayaberat Laut Maluku, kedalaman laut mencapai 3.000 m, ditempati oleh
Cekungan Gorontalo yang memiliki ketebalan batuan endapan hingga
4.000 m dan anomali gayaberat yang terekam sebesar -100 mGal. Dengan
tataan kerak bagian atas seperti itu dapat disimpulkan bahwa Cekungan
Gorontalo dialasi oleh kerak granitan dengan ketebalan sekitar 14 km
dan Moho terletak di sekitar kedalaman 21 km di bawah permukaan laut.
Apabila Cekungan Gorontalo dialasi oleh kerak samudra, anomali gaya
Gayaberat | 265
pada kedalaman sekitar 25 km di bawah permukaan laut. Karena nilai
anomali gayaberat rata-rata di sepanjang lajur plutono-vulkanik ini sebesar
+40 mGal dan ketebalan batuan endapan antara 1.000 hingga 3.000 m,
secara umum, ketebalan rata-rata kerak granitan yang melandasi lajur
plutono-vulkanik Sulawesi Barat sekitar 22 km dan aras Moho terletak
pada kedalaman sekitar 26 km di bawah permukaan laut.
Di wilayah Cekungan Lariang ketebalan batuan endapan rata-rata
mencapai 2.000 m. Nilai anomali gayaberat rata-rata mencapai +25 mGal.
Ketebalan kerak granitan yang melandasi Cekungan Lariang mencapai
25 km dan aras Moho terletak pada kedalaman sekitar 27 km di bawah
permukaan laut.
Di bagian utara lajur plutono-vulkanik nilai rata-rata anomali gayaberat
mencapai +60 mGal. Jika batuan gunungapi di kawasan itu memiliki
ketebalan hingga 3.000 m, dan batuan endapan lainnya setebal 3.000 m,
anomali gayaberat yang dibangkitkan oleh batuan gunungapi ini hanya
sebesar +6 mGal dan nilai anomali gayaberat yang sebesar +54 mGal
dibangkitkan oleh meningginya aras Moho yang mencapai kedalaman 24
km di bawah permukaan laut dan kerak granitan yang melandasi wilayah
ini memiliki ketebalan sekitar 18 km.
Di bagian selatan, di kawasan Pulau Selayar dan Kepulauan Bonerate,
nilai anomali gayaberat berada pada kurun +50 mGal hingga +100 mGal.
Di Pulau Selayar dan sekitarnya nilai rata-rata anomali gayaberat mencapai
+50 mGal dengan kedalaman laut sekitar 1.000 m. Jika batuan endapan di
wilayah itu rata-rata setebal 2.000 m, Pulau Selayar dan sekitarnya dilandasi
oleh bongkah kerak granitan dengan ketebalan sekitar 18 km dan aras
Moho terletak pada kedalaman sekitar 21 km di bawah permukaan laut. Di
kawasan Kepulauan Bonerate nilai rata-rata anomali gayaberat mencapai
+80 mGal dan kedalaman laut rata-rata mencapai 2.000 m. Jika ketebalan
batuan endapan mencapai 2.000 m, Kepulauan Bonerate dan sekitarnya
dilandasi oleh bongkah kerak granitan dengan ketebalan rata-rata sekitar 12
km dan aras Moho terletak pada kedalaman 16 km di bawah permukaan
laut. Jika sisa kerak samudra dengan ketebalan asal 6 km melandasi wilayah
itu, ketebalan batuan endapan bisa mencapai 6.000 m. Pada tataan seperti
itu, aras Moho terletak pada kedalaman sekitar 14 km di bawah permukaan
laut. Jika sisa kerak samudra mengalami penebalan hingga 12 km, ketebal
an batuan endapan dapat mencapai 3.500 m dan aras Moho terletak pada
kedalaman sekitar 17,5 km di bawah permukaan laut. Studi kemagnetan
di wilayah Kepulauan Bonerate dan sekitarnya akan memberikan peluang
Gayaberat | 267
membangitkan perbedaan anomali gayaberat sekitar 17 mGal dan dapat
dilihat pada perubahan liniasi garis-garis konturnya.
Di bagian tengah lajur malihan ini nilai anomali gayaberat mencapai
-60 mGal. Secara umum, jika rapat masa rata-rata batuan malihan 2,47 gr/
cm3, ketebalan batuan malihan tersebut bisa mencapai 8 km atau lebih.
Batuan malihan di kawasan ini dialasi oleh kerak granitan dengan ketebalan
mencapai 15 km dan aras Moho terletak di sekitar 25 km di bawah
permukaan laut. Di Lengan Tenggara batuan malihan yang tersingkap
di permukaan ditandai oleh kurun nilai anomali 0 hingga -10 mGal. Di
daerah ini ketebalan batuan malihan yang tersingkap sekitar 15 km, aras
Moho terletak pada kedalaman 24 km di bawah permukaan laut. Kedua
daerah tempat batuan malihan tersingkap, di bagian tengah lajur malihan
dan di Lengan Tenggara, dipisahkan oleh tinggian anomali gayaberat +20
mGal. Lajur tinggian gayaberat tersebut bertepatan dengan liniasi sesar
Matano. Di sepanjang lajur Sesar Matano, liniasi garis-garis kontur tampak
jelas dan sesuai dengan liniasi sesarnya yang berarah barat laut-tenggara.
Dislokasi aras Moho di sepanjang lajur Sesar Matano bisa mencapai 1.000
m. Jika di sebelah utara lajur sesar aras Moho terletak pada kedalaman
25 km, di sebelah selatan lajur sesar, aras Moho terletak pada kedalaman
sekitar 24 km.
Gayaberat | 269
endapan yang menyelimuti kawasan Kepingan Benua Banggai-Sula 2.000
m, ketebalan kerak granitan di bawah Kepulauan Banggai adalah 20 km
dan Moho terletak pada kedalaman 22 km di bawah permukaan laut. Di
Pulau Taliabu anomali gayaberat mencapai +180 mGal. Dengan ketebalan
rata-rata batuan endapan 2.000 m, ketebalan kerak granitan yang melandasi
Taliabu adalah 16 km dan Moho terletak pada kedalaman sekitar 18 km
di bawah permukaan laut. Di Pulau Mangole yang ditandai oleh anomali
gayaberat +200 mGal atau lebih tinggi, dengan ketebalan rata-rata sedimen
yang sama, maka kerak granitan yang melandasi Mangole tinggal 14 km
atau lebih tipis dan Moho terletak pada kedalaman sekitar 16 km di bawah
permukaan laut, bahkan bisa lebih dangkal.
D. MODEL KERAK
Geometri kerak bumi yang membangun Sulawesi dan wilayah di sekitarnya
dipelajari melalui analisis model gayaberat. Dalam analisis ini, dianggap
bahwa, susunan kerak terdiri atas bongkah granitan berapat masa rata-rata
2,67 gram/cm3 dengan selapis batuan endapan berstruktur sederhana
yang berapat masa rata-rata 2,37 gram/cm3 di permukaannya atau, apa-
bila dijumpai kerak basalan, nilai rata-rata rapat masanya 2,77 gram/cm3.
Batuan malihan dan pluton granitan berapat masa rata-rata 2,47 gram/cm3,
keratan ultrabasa berapat masa rata-rata 2,97 gram/cm3, dan nilai rata-rata
rapat masa air laut 1,03 gram/cm3. Bongkah kerak granitan atau kerak
basalan dialasi oleh bagian atas selubung yang berapat masa rata-rata 3,07
gram/cm3. Aras diskontinuitas Moho merupakan antar muka alas bongkah
kerak granitan atau kerak basalan dan bagian atas selubung.
Gayaberat | 271
laut. Kegiatan gunungapi di wilayah Lengan Utara dan lajur vulkanik
terusannya dilukiskan sebagai model dengan intrusi magma dari kedalaman
kerak yang melandasi lajur gunungapi tersebut. Mengingat perubahan
kemiringan bidang tunjaman kerak Laut Sulawesi yang makin besar dengan
bertambahnya kedalaman, sumber lelehan magma bisa terletak lebih dalam
lagi.
Di wilayah perairan Teluk Tomini, kedalaman laut mencapai 2.000 m
dan ketebalan rata-rata batuan endapan mencapai 2.000 m serta menipis
ke arah Semenanjung Poh di selatan. Kerak granitan yang melandasi Teluk
Tomini berketebalan rata-rata 17 km dan Moho terletak pada kedalaman
sekitar 22 km di bawah permukaan laut.
Di bagian ujung selatan lintasan analisis model L1, batuan endapan
yang melampar di Kepulauan Banggai, yang dalam model diwakili oleh
Pulau Peleng, mencapai ketebalan 2.000 m dan menipis ke selatan di per-
airan Laut Banda Utara. Kerak granitan yang melandasi wilayah Kepulauan
Banggai berketebalan sekitar 22 km, tetapi menipis dan membaji kala
bertemu dengan kerak Laut Banda Utara. Di bawah Kepulauan Banggai,
Moho terletak pada kedalaman sekitar 24 km di bawah permukaan laut.
Di wilayah perairan Laut Banda Utara, kerak lautnya berketebalan sekitar
6 km dan melandasi batuan endapan setebal 1.000 m, pada kedalaman laut
lebih dari 4.000 m. Moho terletak pada kedalaman sekitar 11 km di bawah
permukaan laut.
Gayaberat | 273
atau lebih, kerak granitan terkikis hingga tinggal 18 km tebalnya. Di Laut
Banda Utara, kawasan kerak basalan melandasi wilayah perairan itu, batuan
endapan yang melampar di atasnya hanya setebal 600 m atau lebih tipis
lagi. Di perairan Laut Banda Utara dengan kedalaman laut yang mencapai
4.000 m atau lebih, kerak basalan dan batuan endapan yang melampar
di atasnya cenderung menipis. Namun, nilai anomali gayaberat udara
bebasnya (free-air gravity) cenderung meninggi, bahkan setempat, mencapai
+50 mGal atau lebih. Tataan tektonik semacam ini berkembang oleh
menipisnya kerak basalan hingga sekitar 4.000 m, bahkan bisa 3.000 m dan
batuan endapan yang melampar di atasnya hanya tipis, atau tanpa batuan
endapan, dan aras Moho terletak amat dangkal, yaitu pada kedalaman 8
km di bawah permukaan laut. Kerak basalan yang melandasi kawasan Laut
Banda Utara melengkung, menipis, dan membentuk struktur kubahan
akibat tenggelamnya sisa kerak Laut Maluku. Melengkungnya kerak Laut
Banda Utara menyebabkan berkembangnya tekanan dan regangan pada
tubuh kerak itu sehingga berpeluang terjadinya sayatan dan rekahan yang
memicu aliran cairan atau bahan setengah leleh dari bagian atas selubung
ke permukaan dasar laut.
E. RINGKASAN
Pulau Sulawesi dan kawasan di sekitarnya, umumnya, dilandasi oleh kerak
granitan. Di sebagian besar wilayah itu, kerak granitan mengalami fragmen-
tasi akibat penyesaran berskala dalam hingga terbentuk bongkah-bongkah
kerak granitan serta implikasi terhadap terbentuknya cekungan-cekungan
batuan endapan. Kerak basalan umumnya dijumpai di luar wilayah Pulau
Sulawesi, kecuali Kerak Laut Sulawesi, dan ditemukan sebagai keratan-
keratan sisa kerat laut yang terjebak dalam lingkungan tektonik tahap lan-
jut, seperti tenggelamnya Kerak Laut Maluku dan membubungnya Kerak
Laut Banda Utara, yang keduanya merupakan keratan-keratan sisa Kerak
Samudra Pasifik. Batuan endapan berstruktur sederhana yang melampar di
permukaan kerak granitan memiliki ketebalan yang beragam, bergantung
Gayaberat | 275
pada bangun bongkah-bongkah kerak granitan yang mengalami penye-
saran berskala dalam sebagai konsekuensi kinematika regangan oblik atau
mampatan oblik yang umumnya berlangsung.
Meningginya anomali gayaberat di Lengan Utara bukan disebabkan
oleh agihan batuan gunungapi yang sebagian terpapar di permukaan,
tetapi lebih disebabkan oleh meningginya aras Moho yang berakibat
atau mengakibatkan menipisnya kerak granitan. Hal serupa terjadi di
kawasan Kepingan Benua Banggai Sula. Meningginya anomali gayaberat
disebabkan oleh menipisnya kerak granitan dan meningginya aras Moho
oleh kinematika Sesar Sula-Sorong yang mengiri. Rendahnya nilai anomali
gayaberat di Bagian Tengah Sulawesi berkaitan dengan batuan malihan dan
pluton granitan memiliki rapat masa rendah (2,47 gr/cm3).
Batuan ultrabasa yang banyak dijumpai di Lengan Timur dan Lengan
Tenggara tidak bersesuaian dengan nilai anomali gayaberat yang diamati
di wilayah itu. Ini menunjukkan bahwa batuan ultrabasa itu hanya tipis
dan umumnya tidak mengakar di bawah bidang acuan gayaberat, dalam
hal ini permukaan laut. Kalaupun mengakar, tidak cukup dalam untuk
membangkitkan nilai anomali yang berarti. Mekanisme obdaksi pada
tumbukan antara Kepingan Benua Banggai-Sula dan Lengan Timur
serta Lengan Tenggara dipahami mengakibatkan pelamparan (emplacement)
batuan ultrabasa tersebut.
BAB XII
STRUKTUR GEOLOGI
Oleh: Sidarto dan Syaiful Bachri
1. Sesar Palu-Koro
Sesar ini dijumpai di Lengan Selatan Sulawesi berarah utara barat laut-
selatan tenggara. Sesar ini dinamai Sesar Palu oleh Hamilton (1979),
tetapi oleh Katili (1970, dalam Hamilton 1979) dan beberapa peneliti
lainnya dinamakan Sesar Palu-Koro karena melewati Kota Palu dan Sungai
Koro. Di darat, sesar ini dicirikan oleh adanya lembah sesar yang datar
pada bagian dasarnya, dengan lebar mencapai 5 km di sekitar Palu, dan
dindingnya mencapai ketinggian 1.500–2.000 m di atas dasar lembah,
sedangkan di laut dicirikan oleh kelurusan batimetri, yaitu kelurusan lereng
dasar laut terjal dan berakhir di Sesar Naik Poso. Menurut Sudradjat
(1981), sesar ini membentang dari sebelah barat Kota Palu sampai Teluk
Bone yang panjangnya kurang lebih 250 km, dengan kecepatan pergerakan
transkaren sekitar 2–3,5 mm sampai 14–17 mm/tahun. Tjia dan Zakaria
(1974) menyebutkan bahwa sesar tersebut menunjukkan pergeseran mengiri;
dan Walpersdorf dkk. (1997) dengan analisis interfrometri GPS (global
positioning system) menunjukkan pergeseran mengiri naik dengan kecepatan
277
3,4 mm/tahun. Simandjuntak (1993) mengatakan bahwa Sesar Palu-Koro
memanjang melalui Selat Bone, memotong Sesar Naik Flores dan berakhir
di Palung Timor, sedangkan ke arah utara berakhir di Tunjaman Mina-
hasa. Namun, kenampakan pada citra SRTM dan Citra IFSAR, sesar ini
berhenti di Sesar Naik Poso, dan ke utara ditunjukkan kelurusan lembah
dan batimetri yang berakhir di Tunjaman Sulawesi Utara (Gambar 12.1).
2. Sesar Walanae
Sesar Walanae terletak di Lengan Selatan Sulawesi bagian selatan yang
berarah utara barat laut–selatan tenggara, kurang lebih sejajar dengan
Sesar Palu-Koro (Gambar 12.1). Kenampakan di darat merupakan ke-
lurusan lembah, di bagian selatan membentuk lembah (depresi) dengan
lebar kurang lebih 1 km, dan di sepanjang lembah ini terdapat beberapa
3. Sesar Matano
Sesar Matano diperkenalkan pertama kali oleh Waheed (1975). Di darat
Sesar Matano dicirikan oleh kelurusan lembah, yang membentang dari
pantai Lengan Tenggara Sulawesi, memotong Sesar Naik Poso di Sulawesi
Tengah dan akhirnya bergabung dengan Sesar Palu-Koro (Gambar 12.1).
Sesar lainnya adalah Sesar Solo, Sesar Matarombeo, dan Sesar Lawanopo
yang menyatu dengan Sesar Matano, dan ke tenggara di laut disebut
sebagai Sesar Hamilton; sedangkan Sesar Lainea–Sesar Eha dan Sesar
Kolaka yang relatif sejajar dengan Sesar Matano berakhir di pantai Teluk
Bone. Sesar-sesar tersebut merupakan sesar mendatar mengiri. Danau
Matano merupakan cekungan pull apart dari Sesar Matano, Danau Towuti
terbentuk oleh pengaruh Sesar Matano, Sesar Lawanopo, Sesar Solo, dan
Sesar Matarombeo. Sesar-sesar ini cukup aktif, terutama Sesar Matano
sebagaimana dijumpainya beberapa gempa sepanjang atau dekat dengan
sesar tersebut (Hamilton, 1979).
4. Sesar Balantak
Sesar ini berarah timur–barat, pada citra dicirikan oleh kelurusan lembah
sangat tajam dan ke barat ditunjukkan oleh kelurusan batimetri; sedangkan
ke arah timur dicirikan oleh kelurusan lereng terjal dasar laut (Gambar
12.1). Namun, posisinya bergeser ke selatan yang disebut Sesar Sula
Utara, sedangkan di selatan pulau disebut Sesar Sula Selatan. Kedua sesar
tersebut menyatu di timur Pulau Sula yang disebut Sesar Sorong (Siman-
djutak, 2004). Di sebelah utara tersingkap Kompleks Ofiolit sedangkan di
selatan merupakan bagian dari benua mikro Banggai-Sula. Berdasarkan
off set Kompleks Ofiolit, sesar ini merupakan sesar mendatar menganan.
Beberapa peneliti menganggap di bagian utara merupakan hanging wall,
sehingga berkembang sebagai sesar naik pada ujung baratnya, yang dikenal
5. Sesar Gorontalo
Sesar ini memotong Lengan Utara Sulawesi dan berarah barat laut-teng-
gara (Gambar 12.1). Katili (1970) menyebutkan, sesar ini dicirikan oleh
kelurusan sungai, sepanjang kelurusan terdapat tambang emas dan mataair
panas. Berdasarkan bentuk pantai Selat Gorontalo dan Selat Paleleh, sesar
ini merupakan sesar mendatar mengiri. Berdasarkan konsep escape tectonics,
setelah tumbukan kepingan benua dengan Sulawesi Barat muncul gaya
berarah timur timur-laut sehingga Sesar Gorontalo merupakan sesar men-
datar menganan (Satyana, 2007). Namun, kenampakan lapangan menun-
jukkan adanya pergeseran mengiri batuan gunungapi berlapis yang diduga
berumur Plio-Plistosen sehingga Sesar Gorontalo diduga merupakan sesar
mendatar mengiri, dan diperkuat pendapat Molnar dan Dayem (2010) yang
mengatakan bahwa Sesar Gorontalo merupakan sesar mendatar mengiri
yang masih aktif dengan kecepatan pergeseran 11 mm/tahun.
a. Sesar
Sesar Balantak, Sesar Wekui, dan Sesar Naik Batui telah dibahas dalam
sesar utama. Sesar lainnya adalah sesar berarah barat laut-tenggara yang
terdiri atas Sesar Kabuabua, Sesar Pongian, Sesar Sabo, Sesar Rompi, Sesar
Tomori, dan sesar-sesar kecil lainnya.
Sesar Kabuabua
Sesar Kabuabua (Gambar 12.2) dicirikan oleh kelurusan lembah, singkapan
batuan Kepingan Benua Banggai-Sula, dan Sesar Naik Batui secara tiba-
Sesar Pongian
Sesar Pongian (Gambar 12.2) sejajar dengan Sesar Kabuabua, di bagian
tenggara sesar hilang yang terpotong oleh Sesar Naik Batui. Di bagian
barat laut, di utara sesar batuan ultrabasa sebarannya sampai pantai,
sedangkan di selatan berkembang endapan aluvial. Kenampakan ini me
nunjukkan adanya suatu geseran, yaitu di bagian utara bergerak relatif ke
arah barat laut. Jadi, sesar ini merupakan sesar mendatar mengiri.
Sesar Sabo
Sesar Sabo (Gambar 12.2) dicirikan oleh kelurusan lembah dan di barat
laut pada batimetri ditunjukkan adanya kelurusan lereng laut. Di blok barat
daya sesar daratan yang tersusun batuan ultrabasa menjorok ke barat laut,
sedangkan blok timur laut berupa laut. Jika berdasarkan kenampakan ini,
sesar ini merupakan sesar mendatar menganan, tetapi kedudukan sesar ini
sejajar dengan Sesar Kabuabua, dan Sesar Pongian, dan gaya pembentuk
sesar dari arah timur, maka sesar ini diduga merupakan sesar mendatar
mengiri.
Sesar Rompi
Sesar ini (Gambar 12.2) dicirikan kelurusan lembah berarah barat-laut-
tenggara. Sesar ini memotong batuan ultrabasa sehingga tidak tampak
adanya arah pergeseran. Berdasarkan kedudukannya yang sejajar dengan
Sesar Kabuabua, Sesar Pongian, Sesar Sabo, maka sesar ini diduga merupa
kan sesar mendatar mengiri.
Sesar Sabuku
Sesar Sabuku (Gambar 12.2) yang berarah timur laut-barat daya memben-
tuk melengkung sehingga diduga kemiringannya tidak tegak. Berdasarkan
model Riedel, sesar ini merupakan sesar naik.
b. Lipatan
Lipatan terdiri atas sinklin dan antiklin yang terdapat dalam Formasi
Solodik, yang tersusun oleh batugamping dan sedikit batupasir, dan
berumur Eosen; dan Formasi Poh tersusun oleh napal, batugamping,
dan sedikit batupasir yang berumur Oligosen.
Sesar Larumbu
Sesar Larumbu berarah barat-timur dan memotong sesar-sesar utama yang
berarah barat laut-tenggara (Gambar 12.3). Berdasarkan model Riedel,
sesar ini termasuk sesar mendatar mengiri dan sesuai dengan pergeseran
sesar yang dipotong.
Sesar Lindu
Sesar Lindu berarah utara barat laut-selatan tenggara (Gambar 12.3). Sesar
ini dicirikan kelurusan lembah, bidang sesar yang terjal, dan bentuknya
berkelok-kelok. Sesar ini diduga merupakan sesar normal, blok bagian
timur merupakan hanging wall. Berdasarkan arahnya, sesar ini diduga ter-
bentuk setelah kompresi yang merupakan pelepasan gaya kompresi.
Sesar Tanjungbasi
Sesar Tanjungbasi berkembang di pantai barat (Gambar 12.3) yang diciri-
kan kelurusan bentangalam. Berdasarkan bentuknya dan bidang sesar
yang terjal, sesar ini diduga merupakan sesar normal yang terjadi karena
gerakan gravitasi.
3. Sulawesi Tengah
Sulawesi tengah tersusun oleh Kompleks Pompangeo, batugamping malih,
dan ofiolit. Kompleks Pompangeo tersusun oleh sekis, grafit, batusabak,
genes, serpentinit, kuarsit, dan batugamping malih (Simandjuntak dkk.,
1997). Berdasarkan pentarikhan, K-Ar terhadap Kompleks Pompangeo
berumur 111 juta tahun (Parkinson, 1998; Parkinson dkk., 1998). Material
asal sekis Pompangeo diperkirakan berupa batugamping lempungan, tufa,
batupasir, dan konglomerat, berupa endapan laut dangkal atau tepian
kontinental (Haryadi 2013). Batugamping malih yang terdiri atas pualam
dan batugamping terdaunkan yang diduga berasal dari sedimen pelagos
laut dalam dan berumur lebih tua daripada Kapur (Simandjuntak dkk.,
1997). Ofiolit juga disebut Lajur Ofiolit Sulawesi Timur, yang didominasi
oleh batuan ultrabasa dan basal serta sedimen pelagik. Batuan ultramafik
terdiri atas harzburgit, dunit, werlit, lerzolit, websterit, serpentinit, dan
piroksenit (Kundig, 1956; Simandjuntak dkk., 1991a, 1993; Rusmana dkk.,
1993a, b). Berdasarkan pentarikan, K-Ar batuan ini menunjukkan umur
Senomanian–Eosen (Simandjuntak, 1986).
Berdasarkan interpretasi citra, struktur geologi utama yang berkem-
bang di daerah ini adalah Sesar Naik Poso, Sesar Naik Wekuji, Sesar
Matano, Depresi Poso, dan sesar-sesar lainnya (Gambar 12.4).
Selatan. Sesar ini diduga merupakan sesar naik, karena blok yang ditempati
kompleks batuan malih merupakan blok yang bergerak naik.
Depresi Poso
Depresi Poso terdapat di antara batuan malih dan dibatasi oleh kelurusan
melengkung. Kelurusan ini merupakan batas batuan malih. Di bagian
selatan membentuk Danau Poso sedangkan di daerah Poso dan sekitarnya
diisi oleh Formasi Poso dan Formasi Puna yang masing-masing berumur
Pliosen. Depresi ini diduga terbentuk oleh gaya pelepasan setelah tumbuk
an kepingan benua dengan kompleks ofiolit.
Sesar-sesar lainnya
Dalam Kompleks Pompangeo berdasarkan kedudukan foliasi dapat dibe-
dakan beberapa satuan yang batasnya cukup lurus tetapi meliuk, sedangkan
batas antara Kompleks Pompangeo dan batugamping malih di selatan juga
merupakan kelurusan melengkung. Dengan adanya batas sesar tersebut,
mungkin Kompleks Pompangeo terdiri atas beberapa mendala geologi,
tetapi masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
Sesar Sausu
Sesar Sausu relatif sejajar dengan Sesar Pasangkayu dan Sesar Palintuna
(Gambar 12.6) sehingga diduga merupakan sesar mendatar mengiri. Sesar
ini telah menggeser Formasi Puna jauh ke utara. Sesar ini sangat aktif,
beberapa kali telah terjadi gempa tektonik di daerah Sausu yang mengaki-
batkan kerusakan bangunan dan korban jiwa.
Pembentukan lembah
Di sebelah timur Sesar Palu-Koro terdapat beberapa lembah dan danau
tektonik, yaitu Lembah Pontana, Lembah Wuasa, Lembah Lore Utara,
Lembah Bewa, dan Danau Lindu.
Lembah Pontana terbentuk sebagai cekungan stepover dua sesar men-
datar mengiri yang berarah barat laut-tenggara.
Lembah Wuasa terbentuk oleh sesar mendatar mengiri utama berarah
barat laut-tenggara dan sesar kecil lainnya yang berarah utara barat laut-
selatan tenggara. Lembah Lore Utara terbentuk oleh dua sesar mendatar
mengiri yang berarah barat laut-tenggara. Lembah Bewa terbentuk oleh
sesar mendatar mengiri berarah barat laut-tenggara dan sesar normal
berarah timur timur laut-barat barat daya. Danau Lindu terbentuk sebagai
step over dua sesar mengiri berarah utara timur laut-selatan barat daya.
Sesar naik
Sesar naik terdiri atas Sesar Naik Batupute (Gambar 12.7). Sesar naik ini
merupakan batas antara batuan ultrabasa dan batuan malih, blok batuan
ultrabasa (timur) relatif naik. Sesar ini pada citra dicirikan oleh kelurusan
Sesar turun
Ada dua sesar turun di daerah ini, yaitu Sesar Turun Kalajo dan Sesar
Turun Bainago (Gambar 12.7). Kedua sesar turun ini mungkin merupakan
kesatuan, kemudian dipotong oleh Sesar Mendatar Lakepo. Sesar Turun
Kalajo di selatan dan Sesar Bainago di utara.
Sesar turun Kalajo
Sesar ini dicirikan oleh tebing terjal yang membentuk lengkungan. Sesar ini
memotong batuan gunungapi Latona yang menindih tidak selaras batuan
yang lebih tua (batuan ultrabasa, batuan malih, dan batuan sedimen Kapur
Akhir–Miosen Awal). Sesar ini diduga terbentuk oleh gaya gravitasi batuan
gunungapi yang meluncur di atas batuan yang lebih tua.
Sesar turun Bainago
Sesar turun Bainago berarah utara-selatan yang dicirikan oleh kelurusan
tebing terjal. Sesar ini diduga terbentuk oleh gaya gravitasi Formasi Camba
batuan gunung api di atas Formasi Tonasa dan sedimen Formasi Camba.
Struktur Geologi
| 295
Kawah Gunungapi
Kenampakan kawah pada citra dicirikan oleh bentukan depresi melingkar
(Gambar 12.7) dan di sayap gunung diikuti pola aliran radial. Di daerah
ini ada dua kawah gunungapi, yaitu Kawah Gunungapi Latona dan Kawah
Gunungapi Balona.
a. Sesar mendatar
Sesar mendatar barat laut–tenggara
Sistem sesar ini terdiri atas Sesar Apilatawu, Sesar Harapan, Sesar Teba,
dan Sesar Singkap (Gambar 12.8–12.10). Sesar-sesar ini posisinya sejajar
dengan Sesar Gorontalo yang merupakan sesar mendatar menganan,
kecuali Sesar Singkap merupakan sesar mendatar mengiri. Sesar ini pada
awalnya merupakan sesar mendatar menganan, tetapi sejak Plio-Plistosen
dipengaruhi oleh aktivitas Tunjaman Sangihe dan teraktifkan menjadi sesar
mendatar mengiri.
b. Sesar turun
Sesar turun dicirikan oleh kelurusan lereng terjal. Beberapa sesar turun di
Lengan Utara di antaranya adalah Sesar Saurah, Sesar Ayumolingo, Sesar
Mulia, dan Sesar Binawa (Gambar 12.9–12.11).
Depresi
Struktur ini dipengaruhi oleh sesar turun di kanan-kirinya. Di Lengan Utara
terdapat dua depresi, yaitu Depresi Kotamubagu dan Rendahan Gorontalo
(Gambar 12.9 dan 12.11). Kedua depresi ini pada awalnya diduga meru-
pakan satu-kesatuan, yaitu suatu depresi berbentuk melingkar dari daerah
Karimbaw (tepi timur) dan di bagian barat Rendahan Gorontalo.
Pada Plio-Plistosen, Rendahan Gorontalo merupakan suatu cekungan
sedimen yang dicirikan oleh adanya pertumbuhan koral yang kemudian
membentuk batugamping. Kavalieris dkk. (1992) menduga depresi ini terjadi
karena adanya pemekaran (rifting), tetapi datanya tidak jelas. Berdasar-
kan bentuk melingkar ini diduga depresi ini merupakan sesar normal
Gunungapi
Kavalieris dkk. (1992) mengatakan bahwa pada pra-Miosen Tengah
merupakan busur gunungapi yang dipengaruhi oleh tunjaman ke barat.
Bentukan-bentukan melingkar dapat dijumpai pada citra yang diduga
merupakan kawah gunungapi pra-Miosen Tengah, yaitu Gunungapi Pani,
Gunungapi Latulitu, Gunungapi Lipa; sedangkan di daerah Manado, P.
Lembe diduga merupakan bekas kaldera gunungapi. Di dalam kawah-
kawah Gunungapi Pani, Latulita, dan Lipa terdapat kerucut-kerucut kecil
gunungapi yang diduga batuan gunungapi Plio-Plistosen, dan menurut
Kavalieris dkk.(1992), gunungapi-gunungapi tersebut tidak berhubungan
dengan tunjaman, tetapi akibat bukaan (rifting). Di bagian timur terlihat
Kaldera Gunungapi Tondano, yang bagian di dalamnya berkembang Da-
nau Tondano dan sisa tubuh gunungapi ini masih terlihat di bagian timur.
Gunungapi Tondano ini diperkirakan berumur Plio-Plistosen. Banyak
kerucut gunungapi dijumpai di bagian timur ini, baik yang masih aktif
maupun sudah padam. Gunungapi di bagian timur dipengaruhi oleh
Tunjaman Sangihe dan berumur dari Plio-Plistosen sampai Resen.
C. kepingan Benua
Kepingan benua ini terdiri atas Kepingan Benua Banggai-Sula, Sulawesi
Tenggara, dan Buton. Kepingan benua ini diduga berasal dari bagian utara
Benua Australia (Surono, 1996a), yang pecah dari Benua Australia pada
Jura, dan bergerak ke timur laut, kemudian ke arah barat dan menempati
posisi sekarang ini. Pembahasan stratigrafi terperinci kepingan benua ini
dalam uraian sebelumnya (Bab VIII. hlm. 156).
b. Lipatan
Struktur geologi yang terdiri atas antiklin dan sinklin menunjam terlihat di
bagian selatan Pulau Buton.
c. Kelurusan
Kelurusan ini dicirikan oleh kelurusan lembah yang diperkirakan sebagai
sesar, tetapi arah pergeserannya tidak terlihat jelas. Kelurusan yang ada
berarah timur laut-barat daya dan utara barat laut-selatan tenggara.
303
terbentuk pada posisi 3,5°–2° LS, yang terletak di tepi bagian utara
Benua Australia. Berdasarkan hal tersebut, tektonik Sulawesi diawali dari
tempat ini, yakni pada Permo-Trias terjadi thermal doming dan diikuti
adanya pemekaran (rifting) yang disebabkan oleh tektonik ekstensional.
Fragmen-fragmen benua terpisahkan kemudian terpindahkan ke arah
utara barat laut, yang membentuk kepingan benua di Laut Banda dan di
bagian timur Sulawesi (Piagram & Panggabean, 1984; Surono, 1996a).
Selama perjalanannya, kepingan benua tersebut terpecah menjadi beberapa
kepingan, di antaranya Kepingan Benua Banggai–Sula, Kepingan Benua
Tukangbesi, Kepingan Benua Buton, dan Kepingan Benua Sulawesi Teng-
gara (Sumandjuntak, 1986; Surono, 1996a).
2. Tunjaman Kapur
Tumbukan ini ditandai dengan adanya zona subduksi miring ke barat di
sepanjang Sulawesi bagian barat, yakni batuan kerak samudra proto Laut
Banda menunjam di bawah bagian tepi selatan tenggara Kraton Sunda.
Tumbukan pertama terjadi pada Kapur Awal dengan zona subduksi
terdapat di kompleks Melange Bantimala (Sukamto, 1975c); dan dijumpai
adanya Sekis Pampangeo yang merupakan batuan malihan bertekanan
tinggi di dekat Danau Poso, Sulawesi Tengah (Parkinson, 1991).
3. Tunjaman Paleogen
Sementara itu, gerakan kepingan-kepingan benua ke barat dan barat laut
mulai bertumbukan dengan kompleks tunjaman di bagian timur Sulawesi
dan zona akrasi Kapur Awal Benua Eurasia pada Paleogen. Tumbukan ini
merupakan penunjaman yang kedua di Sulawesi. Peristiwa penunjaman
kedua ini ditandai dengan adanya sekis biru dan Kompleks Ofiolit di
Lengan Timur Sulawesi, dan batuan gunungapi berumur Paleogen di Lajur
Magmatik Sulawesi Barat. Sekis biru terbentuk pada Oligosen Tengah dan
berhubungan dengan perpindahan ofiolit (Parkinson, 1991; dan Helmers,
1991). Batuan gunungapi Paleogen yang memanjang di Lengan Selatan
Sulawesi ditafsirkan hasil subduksi antara kepingan benua yang berasal
dari Australia dan Kraton Sunda (Bergman dkk., 1996). Batuan gunungapi
tersebut bersifat kalk-alkalin dan terdapat pengayaan unsur jarang ter-
tentu, yang menunjukkan batuan gunungapi tersebut berhubungan dengan
subduksi (Yuwono, 1985), dan menurut van Leeuwen (1981) batuan
gunungapi tersebut berhubungan dengan zona subduksi miring ke barat.
4. Tunjaman Neogen
Tektonik Neogen sangat berperan penting dalam pembentukan Pulau
Sulawesi sekarang ini. Tektonik ini merupakan tumbukan antara kepingan-
kepingan benua yang teralihtempatkan ke arah barat-barat laut sepanjang
sistem Sesar Sorong dengan Jalur Batuan Malihan Sulawesi Tengah dan
Jalur Ofiolit Sulawesi Timur pada Neogen (Simandjuntak, 1993; Coffield
dkk., 1993), sedangkan menurut Satyana (2007) tumbukan terjadi pada
Miosen Akhir-Pliosen paling awal. Sistem tumbukan ini tidak membentuk
busur gunungapi; dan tanpa diikuti munculnya cekungan busur muka dan
belakang (Simandjuntak, 1988).
Tumbukan ini dicirikan oleh terbentuknya batuan campur-aduk (ban-
cuh) yang berumur Neogen di sepanjang Sesar Naik Batui; terbentuknya
Sesar Naik Poso, yaitu Kompleks Batuan Malihan Sulawesi Tengah me-
numpang di atas Busur Magmatik Sulawesi Barat dan terbentuknya sesar
mendatar menganan Sesar Balantak. Di Lengan Tenggara Sulawesi, tum-
bukan itu menyebabkan terbentuknya beberapa sesar mendatar mengiri,
yaitu Sesar Matano, Kelompok Sesar Kolaka, Kelompok Sesar Lawanopo,
dan Kelompok Sesar Lainea. Tumbukan itu juga menyebabkan Lengan
Utara mengalami rotasi searah jarum jam (Kavalieris dkk., 1992), terjadinya
penyesarnaikan (back thrusting) dan mulainya tunjaman sepanjang Parit
Sulawesi Utara. Satyana (2007) berpendapat bahwa benturan kepingan-
kepingan benua dengan Sulawesi Timur merupakan peristiwa benturan
keempat di Indonesia. Tumbukan ini diikuti oleh tectonic escapes pasca
benturan, yang meliputi bentuk rotasi searah jarum jam Lengan Utara
Sulawesi, pembentukan sesar-sesar mendatar regional Sesar-sesar Palu-
Gambar 13.1 Peta geologi daerah Sulawesi bagian barat, dikompilasi berdasarkan
Sukamto (1975b), Bergman dkk. (1996), Djuri dkk. (1998), dan Bachri & Baharuddin (2001).
Gambar 13.5 Diagram mawar kelurusan dan sesar bagian tengah Lengan Utara
Sulawesi berdasarkan klasifikasi dengan menggunakan interval 10° (Gambar A), dan
arah rata-rata dari kelima kelompok struktur kelurusan dan sesar (Gambar B).
Gambar 13.6 Sebaran daerah depresi di bagian tengah Lengan Utara Sulawesi.
Gambar 13.11 Evolusi tektonik Sulawesi bagian timur dan Banggai-Sula selama
Miosen Awal-Pliosen Akhir (Garrard dkk., 1988).
b. Periode tumbukan
Pada periode ini terjadi tumbukan antara kepingan benua dan kompleks
ofiolit yang menyebabkan terbentuknya sesar naik, struktur imbrikasi,
dan lipatan di hampir seluruh Lengan Tenggara Sulawesi (Gambar 13.10–
13.13).
Tektonik Sulawesi
cekungan (dalam km) mengacu ke Hamilton (1979), geologi daratan berdasarkan peta-peta terbitan Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, dikompilasi oleh Charlton (1996).
| 321
Gambar 13.13 Peta geologi Tanjung Laonti dan daerah sekitarnya menunjukkan Sesar
Naik Sangisangi (Surono dkk., 1997). Keterangan: 1. Endapan aluvial. 2. Anggota
Tolitoli, Formasi Langkowala, 3. Formasi Eemoiko, 4. Formasi Boepinang, 5. Anggota
Laonti bagian atas, 6. Anggota Laonti bagian bawah, 7. Formasi Meluhu, 8. Ofiolit, 9.
Sesar Naik, 10. Sesar, 11. Perlapisan, 12. Perlapisan dari foto udara, dan 13. Lineasi.
| 323
Gambar 13.15 Cekungan Wawatobi dan Cekungan Sampara yang dibentuk oleh sesar
geser mengiri Sistem Sesar Konaweha dan Sesar Kolaka (Surono dkk., 1997).
325
Bartstra, G.J. 1977. Walanae Formation and the Walanae terraces in the stratigraphy of
South Sulawesi (Celebes Indonesia). Quarter 27: 21–30.
Becke, F. 1913. Akad.Wiss. Wien. Math. Naturw. Kl. 75: 1–53.
Becker, J. J., and Sandwell, D.T. 2004. Global topography. Scripps Institution of
Oceanography, http://topex.ucsd.edu/wwon html/ srtm30_plus.html.
Beet, C. 1943. Beitrage zur Kenntnis der angeblich oberoligocanen Mollusken-Fauna
der Insel Buton, Niederlandsch-Ostindien. Leidsche Geol. Meded., 13: 256–328.
Beets, C. 1950. On Lower Tertiary Mollusca from SW and Central Celebes. Leidse Geol.
Meded. 15: 282–290.
Bellier, O., Beaudoin, T., Serbier, M., Villeneuvre, M., Bahar, I., Putranto, I., Pratomo, E.,
Massault, M., and Seward, D. 1998. Active faulting in central Sulawesi (eastern
Indonesia). In: Wilson, P., Mitchel, G.W. (Eds.), The Geodynamics of S and SE
Asia (GEODYSSEA Project). Geoforschungszentrum, Postdam, Germany,
276–312.
Bellier, O., Sebrier, M., Beaudouin, T., Villeneuve, M., Braucher, R., Bourles, D., Siame,
L., Putranto, E., and Pratomo, I. 2001. High slip rate for a low seismicity
along the Palu-Koro active fault in central Sulawesi (Indonesia). Terra Nova,
(13) 6: 463–470.
Bergman, S.C., Coffield, D.Q., Talbot, J.P., and Garrard, R.A. 1996. Tertiary tectonic and
magmatic evolution of western Sulawesi and the Makassar Strait, Indonesia:
evidence for a Miocene continent-continent collision. In: Hall, R., dan Blundell,
D. (Eds.), Tectonic evolution of Southeast Asia. Geol. Soc. of London, 106:
391–429.
Bothe, A.C.D. 1927. Voorloopige mededeeling betreffende de geologie van zuid-oost-
Celebes. DeMijningenieur (8) 6: 97–103.
Bothe, A.C.D. 1928. De asfaltgesteenten van het eiland Boeton, hun voorkomen en
economische betekenis. De Ingeniur, Mijnbouw, 4: 27–45.
Bowin, C., Purdy, G.M., Johnston, C., Shor, G., Lawver, L., Hartono, H.M.S., and Jezek,
P. 1980. Arc-continent collision in Banda Sea region. Bull. Am. Assoc. Petrol.
Geol., 64, 6: 868–915.
Brouwer, H.A. 1926. Geologische ondergen zoekin op de Soela-Eilanden-II. Jaarboek
Mijnwezen Nederlandsche Oost Indies, verh., (54) 1: 3–4.
Brouwer, H.A. 1921. Geologische ondergen zoekin op de Soela-Eilanden-I. Jaarboek
Mijnwezen Nederlandsche Oost Indies, verh., (49) 2: 69–158.
Brouwer, H.A. 1934a. Geologisch onderzoekingen op het eiland Celebes. Verhand.
Koninkl. Nederl. Geol. Mijnbouwk. Genoot., Geol. Ser. 10: 39–218.
Brouwer, H.A. 1934b. Geologische onderzoekingen op het eiland Celebes. Verh. K. Ned.
Geol. Mijnbouwkd. Genoot., Ser. 5: 39–218.
Brouwer, H.A. 1947. Geological Explorations in the Island of Celebes. Amsertdam: Norths
Holland.
Brouwer, H.A., W.H. Hetzel and H.E.G. Straeter. 1934. Geologische onderzoekingen op
het eiland Celebes. Verh. Geol. Mijnb. Gen. Ned. dan Kol. Geol Serie, 10: 39–171.
Bucher, K. and Frey, M. 1994. Petrogenesis of Metamorphic Rocks. Edisi ke-6. Springer-
Verlag Berlin Heidelberg. 318p.
349
Ir. Nana Ratman, lahir di Bandung pada tanggal
2 Juni 1941. Setelah lulus dari SMA, ia kemudian
melanjutkan pendidikan pada jurusan Teknik Geologi
ITB, Bandung dan lulus pada tahun 1972. Sejak itu
ia mulai bekerja di Direktorat Geologi (kemudian
bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Geo
logi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral)
sampai pensiun tahun 2006. Ia mulai meniti karier pejabat struktural dari
eselon IV sampai eselon III, dan kemudian menjadi pejabat fungsional
sampai jenjang Ahli Peneliti Utama (APU).