Anda di halaman 1dari 334

GEOLOGI

SULAWESI
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagai­mana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggara­n Hak Cipta
atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
GEOLOGI
SULAWESI
Editor:
Prof. Dr. Surono
Prof. Dr. Udi Hartono

LIPI Press
© 2013 Pusat Survei Geologi, Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Katalog dalam Terbitan (KDT)

Geologi Sulawesi/Surono dan Udi Hartono.―Jakarta: LIPI Press, 2013.


xxix + 352 hlm.; 17,6 x 25 cm

ISBN 978-979-799-757-1
1. Geologi 2. Sulawesi

551

Copieditor : Fadly Suhendra dan Muhammad Kadapi


Penata Isi : Yudi Firman dan Fadly Suhendra
Desainer Sampul : Junaedi Mulawardana, Wawan Sujana, dan Novan P. Mirza

Cetakan Pertama : November 2013

Diterbitkan oleh:
LIPI Press, anggota Ikapi
Jln. Gondangdia Lama 39, Menteng, Jakarta 10350
Telp. (021) 314 0228, 314 6942. Faks. (021) 314 4591
E-mail: bmrlipi@centrin.net.id
lipipress@centrin.net.id
press@mail.lipi.go.id

atas kerja sama dengan:


Pusat Survei Geologi, Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

PUSAT SURVEI GEOLOGI


PENGANTAR PENERBIT

Sebagai penerbit ilmiah, LIPI Press memiliki tanggung jawab ­untuk


mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penyediaan terbitan ilmiah yang
berkualitas. Buku ilmiah dengan judul Geologi Sulawesi ini telah melalui
m­ekanisme penjaminan mutu, termasuk proses penelaahan dan penyun­tingan­­
oleh Dewan Editor LIPI Press.
Topik utama yang diangkat dalam buku ini adalah kondisi geologi P­ulau
Sulawesi dan kawasan sekitarnya yang amat rumit. Kerumitan tersebut
disebabkan karena adanya tumbukan dari tiga lempeng (tripple junction)
yang masih aktif hingga saat ini, yaitu Lempeng Hindia-Australian yang
bergerak relatif ke arah utara, Lempeng Samudra Pasifik bergerak relatif
ke barat, dan Lempeng Eurasi yang relatif diam. Tumbukan ketiganya
mengakibatkan (di antaranya) kawasan itu mempunyai struktur geologi
dan stratigrafi yang rumit dan komposisi batuan yang beragam. Kondisi
ini menjadi daya tarik tersendiri sehingga menarik minat para ahli geologi
dan ahli ilmu kebumian lain, baik dari dalam maupun luar negeri untuk
menelitinya.
Harapan kami, semoga buku ini dapat memperkaya khazanah ilmu
penge­tahuan dan teknologi di bidang geologi pada khususnya dan ilmu
kebumian pada umumnya. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu proses penerbitan buku ini.

LIPI Press

v
vi | Geologi Sulawesi
KATA PENGANTAR

Kerumitan kondisi geologi Pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya


sudah dikenal sampai ke luar negeri. Kondisi seperti ini justru sangat
menarik bagi para pakar di bidang ilmu kebumian, termasuk pakar geologi
seluruh dunia, untuk meneliti lebih lanjut kawasan ini. Hasil penelitian
mereka telah dipublikasikan di berbagai majalah ilmiah dalam dan luar
negeri. Saya amat menyadari publikasi yang demikian banyak ditambah
­r umitnya kondisi geologi kawasan ini di lapangan tentu merupakan
kesulitan­ tersendiri bagi para penyusun buku ini untuk merangkumnya
menjadi satu kesatuan. Namun, dengan pengalaman para penulis yang
telah begitu banyak melakukan penelitian secara terus-menerus di kawasan
ini, tentu akan menghasilkan suatu buku yang layak sebagai acuan yang
berharga bagi para ahli kebumian.
Saya memberikan penghargaa­n yang setinggi-tingginya kepada para
penulis atas kerja kerasnya sehingga tersusunlah buku Geologi Sulawesi ini.
Para penulis buku ini terdiri atas pegawai aktif dan pegawai purna bakti dari
Pusat Survei Geologi, ditambah satu orang dari Fakultas Ilmu Kebumian,
Institut Teknologi Bandung (ITB); dan satu orang dari Pusat Penelitian
Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penerbitan
buku ini atas kerja sama Pusat Survei Geologi dengan LIPI Press. Untuk
itu semua saya mengucapkan terima kasih semoga kerja sama yang baik ini
dapat diteruskan dan dikembangkan pada kegiatan yang lain.
Seperti harapan saya sebelumnya, semoga buku ini dapat menjadi acuan
bagi para ahli geologi atau ahli kebumian lainnya untuk meneliti lebih
lanjut kawasan yang menarik itu. Saya juga berharap dengan terbitnya
buku ini dapat memberikan motivasi bagi para ahli geologi lainnya di
lingkungan Pusat Survei Geologi khususnya dan Badan Geologi pada
umumnya, untuk menulis buku lain yang sesuai dengan bidang kepakaran
masing-masing.
Bandung, Medio November 2013

Dr. Ir. Adi Wibowo, M.Sc.


Kepala Pusat Survei Geologi

vii
viii | Geologi Sulawesi
PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Swt.


yang karena rahmat dan petunjuk-Nya, penyusunan buku Geologi Sulawesi
ini dapat selesai sesuai waktu yang direncanakan. Kegiatan penyusunan
buku Geologi Sulawesi ini dilakukan dalam dua Tahun Anggaran (2011–
2012), kemudian satu tahun berikutnya (2013) untuk editing, perbaikan
dan pencetakan. Penyusunan buku Geologi Sulawesi ini dilakukan oleh
suatu tim, yang terdiri atas Prof. Dr. Ir. Surono, M.Sc. (merangkap sebagai
koordinator); Dr. Rab Sukamto; Dr. Ir. Haryadi Permana DEA; Dr. Ir.
Bambang Priadi DEA; Dr. Drs. Sardjono, M.Sc.; Ir. Sidarto, M.Si.; Dr.
Ir. Syaiful Bachri, M.Sc.; Ir. Nana Ratman, Dra. Imtihanah M.Phil.; dan
dibantu oleh Wawan Sujana serta Sudijono sebagai juru gambar. Editor
buku ini adalah Prof. Dr. Ir. Surono, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Udi Hartono.
Kondisi geologi Pulau Sulawesi dan kawasan sekitarnya amatlah
kompleks. Hal ini disebabkan di tempat itu terjadi tumbukan yang masih
aktif sampai sekarang, antara tiga lempeng: Lempeng Benua Eurasia yang
relatif diam ditabrak oleh Lempeng Hindia–Australia yang bergerak relatif
ke utara dan Lempeng Samudra Pasifik yang bergerak ke barat. Akibatnya,
kondisi geologi kawasan itu menjadi sangat rumit sekaligus sangat menarik
minat para ahli geologi dan ahli ilmu kebumian lain untuk menelitinya.
Hasil penelitian mereka telah dipublikasikan di berbagai jurnal ilmiah dan
sebagian berupa laporan dan peta geologi yang tersimpan di berbagai
perpustakaan di dalam dan luar negeri. Tidak kurang 600 makalah telah
terhimpun dari hasil kegiatan penelitian di kawasan ini. Kawasan ini juga
sebagai lokasi penelitian tugas akhir mahasiswa S1, S2, dan S3. Lebih 12
orang mahasiswa S3 dari dalam dan luar negeri telah memilih kawasan ini
sebagai daerah penelitian untuk tugas akhir mereka. Buku ini merupakan
rangkuman dari sebagian pustaka tersebut, ditambah pengalaman para
penulis yang telah lama bekerja dan/atau melakukan penelitian di Sulawesi
dan daerah sekitarnya.
Para penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1) Kepala Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral; atas pemberian dukungan, kesempatan, fasilitas
dan dana kepada para penulis untuk melakukan penyusunan buku ini.

ix
2) Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
atas dukungan dan pemberian motivasi.
3) Kepada Prof. Dr. Robert Delinom yang dengan kesungguhannya
mengoreksi draft pertama.
4) Para editor Prof. Dr. Surono, M.Sc. dan Prof. Dr. Udi Hartono yang
banyak memberikan koreksi dan masukan untuk memperkaya isi dan
mening­katkan mutu buku ini.
5) Kepada Saudara/i Dra. Imtihanah, M.Phil., Sudijono, Yudi ­Firman,
Wawan Sujana, dan Novan Priyagus Mirza yang telah banyak
membantu­ dalam penggambaran, layout, dan administrasi sampai buku
ini dapat diterbitkan.
6) Kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu
yang telah memberi koreksi dan masukan ataupun bantuan untuk
kelancaran kegiatan penyusunan buku ini.

Bandung, Pertengahan November 2013

Para Penulis

x | Geologi Sulawesi
RANGKUMAN

Pulau (P.) Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya mem­


punyai kondisi geologi yang kompleks. Hal ini disebabkan kawasan itu
merupakan­ tempat tumbukan aktif dari tiga lempeng (tripple junction):
Lempeng Hindia-Australian yang bergerak relatif ke arah utara, Lempeng
Samudra Pasifik bergerak relatif ke barat, dan Lempeng Eurasi yang relatif
diam. Tumbukan ketiganya mengakibatkan (di antaranya) kawasan itu
mempunyai struktur geologi dan stratigrafi yang rumit, serta komposisi
batuan yang beragam. Akan tetapi, kerumitan itu justru menarik para ahli
ilmu kebumian dari dalam dan luar negeri untuk meneliti.
Pulau Sulawesi mempunyai bentuk seperti huruf “K” yang ujung kiri
atasnya memanjang dan berputar searah jarum jam sehingga hampir barat-
timur. Bagian itu dinamai Lengan Utara, sedangkan bagian di bawahnya
yang memanjang baratlaut-tenggara diberi nama Lengan Timur. Kaki
kirinya (belakang) disebut Lengan Selatan dan kaki kanan (depan) dinamai
Lengan Tenggara. Daerah pertemuan keempat lengan itu dinamai bagian
Tengah Sulawesi, sedangkan bagian yang melengkung, menghubungkan
bagian Tengah Sulawesi dengan Lengan Utara disebut Leher Sulawesi.
Kondisi geologi P. Sulawesi bagian barat berbeda dengan bagian timur­
nya. Bagian Barat Sulawesi meliputi Lengan Selatan, bagian barat Tengah
Sulawesi, Leher Sulawesi, dan Lengan Utara. Bagian Timurnya terdiri atas
Lengan Timur, bagian timur Tengah Sulawesi, dan Lengan Tenggara.
Bagian Barat Sulawesi didominasi oleh batuan hasil kegiatan gunungapi
dan batuan sedimen. Di lain pihak, Bagian Timurnya didominasi oleh
dua kelompok besar batuan yang mempunyai asal berbeda: batuan asal
lempeng samudra dan batuan asal lempeng benua. Batuan klastik dan
karbonat yang umumnya berumur Neogen, dinamai Molasa Sulawesi,
melampar luas di kedua bagian Sulawesi itu.
Batuan tertua di Bagian Barat Sulawesi adalah mélange, batuan
­malihan dan granit, yang ditindih oleh sedimen flysch berumur Kapur
Akhir. Kala Paleogen dan Neogen daerah ini didominasi oleh batuan

xi
gunungapi disertai dengan batuan sedimen klastika dan karbonat laut
dangkal. Di ujung Lengan Utara kegiatan gunungapi masih aktif sampai
sekarang.
Bagian Timur Sulawesi disusun oleh batuan asal samudra (kepingan
samudra) dan benua (kepingan benua), yang kemudian ditutupi oleh
Molasa Sulawesi. Batuan asal samudra, yang diberi nama Lajur Ofiolit
Sulawesi Timur atau Kompleks Ofiolit Sulawesi, yang diduga berasal dari
punggung tengah samodra (mid-oceanic ridge) merupakan kompleks ofiolit
terluas nomor tiga di dunia. Kompleks Ofiolit ini terdiri atas batuan
peridotit (lersolit, harsburgit, dan dunit), gabro-gabro mikro, retas-retas
piroksenit, diabas (dolerit), basal, dan endapan pelagos laut dalam berupa
rijang radiolaria, serpih atau batugamping merah. Umurnya, berdasarkan
pentarikhan K-Ar dan kandungan fosil dalam sedimen laut dalamnya
adalah Kapur Akhir-Oligosen Akhir.
Batuan asal benua diduga merupakan kepingan benua yang terpisah
dari pinggir utara Australia. Kepingan benua yang mempunyai berbagai
ukuran ini tersebar mulai ujung timur Lengan Timur Sulawesi sampai P.
Buton. Dua kepingan benua terbesar adalah Kepingan Benua Banggai-
Sula di Lengan Timur dan Kepingan Benua Sulawesi Tenggara di Lengan
Tenggara­ Sulawesi. Batuan tertua di kedua kepingan benua ini adalah
batuan malihan berumur Karbon Akhir, yang ditindih takselaras oleh
batuan gunungapi dan diterobos oleh batuan granitan. Kedua batuan itu
berumur sama Trias Tengah–Trias Akhir (kemungkinan co-magmatic).
Ketiga jenis batuan itu menjadi batuan alas bagi batuan sedimen yang
diendapkan kemudian, berturut-turut sedimen klastika (Trias-Jura) dan
karbonat (Kapur). Batuan sedimen yang didominasi karbonat Eosen-
Oligosen, menumpang takselaras di atas batuan Mesozoikum tersebut.
Pada akhir dan setelah terjadi tumbukan antara kepingan benua
dan kepingan samudra pada Oligosen Akhir-awal Miosen Tengah, di
Bagian Timur dan Bagian Barat Sulawesi terendapkan Molasa Sulawesi.
Batuan Molasa Sulawesi ini terbentuk pada sekitar Miosen Awal-Pliosen,
berupa sedimen klastika halus-kasar dan karbonat, yang diendapkan pada
­ling­kungan darat–laut dangkal.
Akibat dari tumbukan yang masih aktif sampai sekarang, P. Sulawesi­
dan daerah sekitarnya mempunyai beberapa struktur geologi utama
(sesar) yang umumnya juga masih aktif. Struktur geologi utama tersebut di
­antaranya Sesar Palu-Koro, Sesar Walanae, Sesar Matano, Sesar Naik Batui,

xii | Geologi Sulawesi


Sesar Naik Poso, Sesar Balantak, Sesar Gorontalo dan Tujaman (Parit)
Sulawesi Utara. Sesar-sesar utama itu juga mengakibatkan terbentuknya
sesar-sesar lokal, lipatan, dan cekungan di berbagai tempat.
Berdasarkan sejarah tektonik regional, tektonik P. Sulawesi dan
­daerah sekitarnya dapat dibagi menjadi lima tektonik, yaitu (1) tektonik
ekstensional Mesozoikum; (2) tunjaman Kapur; (3) tunjaman Paleogen;
(4) tumbukan Neogen; dan (5) tunjaman Ganda Kuarter. Tektonik
­ekstensional Mesozoikum merupakan peristiwa di mana kepingan benua
yang sekarang berada di Bagian Timur Sulawesi, terpisah dari tepi utara
Australia. Selama perjalanan ke utara kepingan benua itu pecah menjadi
beberapa kepingan yang lebih kecil. Pada Kapur, tunjaman yang miring
ke barat terjadi di proto Sulawesi (sebelum pada kedudukan sekarang).
Tunjaman Paleogen berhubungan dengan pergerakan kepingan benua ke
barat baratlaut bertubrukan dengan tunjaman di bagian timur Sulawesi
dan zona akrasi Kapur Awal Benua Eusrasia. Batuan gunungapi Paleogen
di Lengan Selatan Sulawesi ditafsirkan sebagai hasil subduksi kepingan
benua dari Australia dengan tepi timur Kraton Sunda. Tumbukan Neogen
merupakan peristiwa pengalihtempatan beberapa kepingan benua ke barat
baratlaut sehingga menabrak kompleks ofiolit di Bagian Timur Sulawesi.
Tumbukan Paleogen ini sangat penting dalam pembentukan P. Sulawesi
dan daerah sekitarnya. Tunjaman Kuarter terjadi di utara dan tunjaman
ganda terjadi di timur laut Sulawesi. Di utara Lengan Utara Sulawesi, kerak
samudra Laut Sulawesi menghunjam di bawah Lengan Utara Sulawesi.
Penunjaman ini menghasilkan gunungapi aktif di Lengan Utara Sulawesi.
Tunjaman ganda di timur laut Sulawesi menghasilkan gunungapi aktif di
ujung timur Lengan Utara Sulawesi.

Rangkuman | xiii
xiv | Geologi Sulawesi
Daftar Isi

BAGIAN I
BAB I: PENDAHULUAN Oleh: Sidarto................................................... 1
A. Geografi dan Administrasi................................................................................. 1
B. Tinjauan Geologi Regional................................................................................. 3
C. Penelitian Geologi................................................................................................ 7
D. Pemetaan Bersistem............................................................................................ 9
E. Perubahan Status Satuan Peta.......................................................................... 10
F. Pembagian Pembahasan.................................................................................... 11

BAGIAN II
BAB II: BATUAN PRATERSIER Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman.....13
A. Tinjauan Umum................................................................................................. 13
B. Batuan pra-Kapur Akhir................................................................................... 17
1. Batuan malihan.............................................................................................. 17
2. Kompleks tektonika Lengan Selatan Sulawesi.......................................... 21
a. Lemping (slabs) batuan malihan dalam kompleks melange................. 22
b. Batuan sedimen dalam kompleks melange............................................ 23
c. Batuan gunungapi dalam kompleks melange........................................ 27
d. Bancuh (chaotic rocks) dalam kompleks melange................................... 28
e. Batuan ultramafik dalam kompleks melange......................................... 29
C. Batuan Kapur Akhir.......................................................................................... 29
1. Batuan gunungapi Kapur Akhir................................................................. 29
2. Batuan sedimen tipe flysch Kapur Akhir..................................................... 30
D. Batuan di Sulawesi Tengah Bagian Timur..................................................... 35
Bab III: Batuan Paleogen Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman...... 37
A. Batuan Gunungapi Paleogen........................................................................... 40
1. Batuan gunungapi Paleosen......................................................................... 41
2. Batuan gunungapi Eosen–Miosen Awal.................................................... 41
3. Batuan gunungapi Bawah-Laut Oligosen–Miosen Awal........................ 42
B. Batuan Vulkaniklastika-Epiklastika Paleogen................................................ 46
C. Batuan Terobosan Paleogen............................................................................. 49
D. Batuan Klastika Paleogen................................................................................. 51
1. Batuan sedimen klastika Eosen Awal......................................................... 51

xv
2. Batuan sedimen klastika Eosen-Oligosen................................................. 52
3. Batuan sedimen klastika Eosen Awal–Miosen Awal............................... 54
a. Batuan sedimen klastika laut-darat.......................................................... 54
b. Batuan sedimen klastika laut dalam tipe flysch ...................................... 55
E. Batuan Karbonat Paleogen.............................................................................. 56
1. Batuan karbonat Eosen Awal–Miosen Tengah........................................ 59
2. Batuan karbonat Oligosen-Miosen............................................................ 63
BAB IV: BATUAN NEOGEN Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman........ 65
A. Batuan Gunungapi Neogen............................................................................. 66
1. Batuan gunungapi Oligosen-Miosen.......................................................... 69
2. Batuan gunungapi Miosen Awal ................................................................ 70
3. Batuan gunungapi Miosen Tengah–Pliosen.............................................. 70
4. Batuan gunungapi Pliosen Akhir................................................................ 76
B. Batuan Vulkaniklastika–Epiklastika Neogen................................................. 77
1. Batuan vulkaniklastika-epiklastika Oligosen-Miosen Awal ................... 77
2. Batuan vulkaniklastika–epiklastika Miosen Tengah–Pliosen.................. 78
C. Batuan Terobosan Neogen.............................................................................. 79
D. Batuan Klastika Neogen................................................................................... 82
1. Batuan sedimen klastika Miosen Tengah–Miosen Akhir........................ 82
2. Batuan klastika Miosen Akhir/Tengah–Pliosen....................................... 84
a. Data hasil eksplorasi minyak dan gas bumi........................................... 86
b. Hasil penyelidikan geofisika di daerah Cekungan Walanae................. 87
c. Data hasil penyelidikan geofisika di Cekungan Lariang...................... 88
E. Batuan Karbonat Neogen . ............................................................................. 90
1. Batuan karbonat Miosen batuan karbonat Formasi Camba,
  batuan karbonat Formasi Tapadaka, dan batuan karbonat
 Ratatotok........................................................................................................ 91
2. Batuan karbonat Miosen Akhir–Pliosen Anggota Selayar,
 Anggota Tacipi, Formasi Mamuju, dan Anggota Tapalang................... 92
BAB V: BATUAN KUARTER Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman......... 93
A. Batuan Gunungapi Kuarter ............................................................................ 96
1. Batuan gunungapi Pliosen–Plistosen......................................................... 96
2. Batuan gunungapi Plistosen........................................................................ 97
3. Batuan hasil gunungapi aktif ...................................................................... 98
B. Batuan Terobosan Kuarter............................................................................... 99
C. Batuan Klastika Kuarter.................................................................................100
1. Cekungan terban.........................................................................................100
2. Cekungan danau..........................................................................................102
3. Dataran pesisir ...........................................................................................104
D. Batuan Karbonat Kuarter..............................................................................110

xvi | Geologi Sulawesi


BAB VI: MAGMATISME SULAWESI Oleh: Bambang Priadi. ............... 113
A. Magmatisme Pra-Tersier.................................................................................115
B. Magmatisme Paleogen.....................................................................................118
C. Magmatisme Neogen......................................................................................120
1. Magmatisme kalk-alkali potasik (KAP)...................................................122
2. Magmatisme ultrapotasik/shonshonitik (SH)........................................123
D. Magmatisme Kuarter......................................................................................125

BAGIAN III
BAB VII: KOMPLEKS BATUAN MALIHAN Oleh: Haryadi Permana. .....127
A. Tinjauan Umum...............................................................................................127
B. Keterdapatan, Pengelompokan, dan Stratigrafi..........................................129
1. Keterdapatan................................................................................................129
2. Pengelompokan...........................................................................................133
3. Stratigrafi......................................................................................................133
C. Kompleks Malihan Malino.............................................................................135
D. Kompleks Malihan Pompangeo....................................................................140
E. Kompleks Malihan Mengkoka.......................................................................143
F. Kompleks Malihan Mendoke, Rumbia, dan Kabaena...............................146
G. Kompleks Malihan Palu-Koro......................................................................147
H. Kompleks Malihan Latimojong-KaRoSsa...................................................149
I. Kompleks Malihan Matano...........................................................................150
J. Kompleks Malihan Bantimala-Barru............................................................150
K. Kompleks Malihan Buton..............................................................................152

BAGIAN IV
BAB VIII: KEPINGAN BENUA Oleh: Surono......................................153
A. Kepingan Benua Banggai-Sula......................................................................153
1. Stratigrafi......................................................................................................156
2. Batuan alas...................................................................................................158
3. Sedimen klastika Jura..................................................................................160
4. Karbonat Kapur..........................................................................................162
5. Karbonat Paleogen.....................................................................................163
B. Kepingan Benua Siombok..............................................................................166
C. Kepingan Benua Tambayoli...........................................................................167
D. Kepingan Benua Bungku...............................................................................172
E. Kepingan Benua Mattarombeo.....................................................................172
F. Kepingan Benua Sulawesi Tenggara..............................................................175
1. Batuan dasar.................................................................................................177
2. Batuan sedimen Mesozoikum...................................................................178
a. Formasi Meluhu.......................................................................................178
b. Batugamping Kapur................................................................................187
c. Batuan sedimen Paleogen.......................................................................188

Daftar Isi | xvii


G. Kepingan Benua Buton..................................................................................196
1. Batuan malihan dan ofiolit.........................................................................200
2. Batuan sedimen Mesozoikum-Paleogen..................................................200
3. Batuan sedimen Neogen-Kuarter.............................................................204
H. Kepingan Benua Tukang Besi.......................................................................210
BAB IX: KOMPLEKS OFIOLIT Oleh: H. Permana & Surono...............213
A. Tinjauan Umum...............................................................................................213
B. Penelitian Terdahulu........................................................................................216
C. Penyebaran dan Jenis Batuan Lost................................................................217
D. Petrologi dan Geokimia ................................................................................220
1. Lengan timur Sulawesi...............................................................................220
2. Lengan tenggara Sulawesi dan P. Kabaena.............................................221
E. Peridotit Zona Sesar Palu-Koro....................................................................222
F. Peridotit Kompleks Melange Bantimala-Barru...........................................222
G. Umur.................................................................................................................223
H. Kemagnetan Purba.........................................................................................224
BAB X: BATUAN SEDIMEN NEOGEN DAN KUARTER
Oleh: Surono............................................................................................ 225
A. Batuan Sedimen Neogen................................................................................227
1. Formasi Lonsio...........................................................................................227
2. Formasi Bongka..........................................................................................228
3. Formasi Kintom..........................................................................................230
4. Formasi Larona...........................................................................................232
5. Formasi Bonebone.....................................................................................236
6. Formasi Tomata..........................................................................................236
7. Formasi Pandua...........................................................................................238
a. Anggota Konglomerat Matarape..........................................................239
8. Formasi Langkowala...................................................................................239
a. Anggota Konglomerat Tolitoli..............................................................241
b. Anggota Batupasir...................................................................................244
9. Formasi Boepinang.....................................................................................247
10. Formasi Eemoiko.....................................................................................248
11. Pengendapan Molasa Sulawesi................................................................250
B. Sedimen Kuarter..............................................................................................253
1. Formasi Buara.............................................................................................253
2. Formasi Luwuk...........................................................................................253
3. Formasi Alangga.........................................................................................255

BAGIAN V
BAB XI: GAYABERAT Oleh: Sardjono. .................................................259
A. Sumber Data....................................................................................................259

xviii | Geologi Sulawesi


B. Citra dan Peta Garis Kontur Gayaberat.......................................................260
C. Anomali Gayaberat dan Tektonika Mendala...............................................261
1. Busur magmatik Sulawesi Utara...............................................................262
2. Lajur plutono-vulkanik Sulawesi Barat....................................................265
3. Lajur malihan Sulawesi Tengah.................................................................267
4. Lajur ofiolit Sulawesi Timur......................................................................268
5. Kepingan benua Banggai-Sula..................................................................269
D. Model Kerak.....................................................................................................270
1. Model kerak lintasan L1.............................................................................270
2. Model kerak lintasan L2.............................................................................272
3. Model kerak lintasan L3.............................................................................274
E. Ringkasan..........................................................................................................275

BAGIAN VI
BAB XII STRUKTUR GEOLOGI Oleh: Sidarto dan Syaiful Bachri..........277
A. Struktur Geologi Regional.............................................................................277
1. Sesar Palu-Koro...........................................................................................277
2. Sesar Walanae...............................................................................................278
3. Sesar Matano................................................................................................279
4. Sesar Balantak..............................................................................................279
5. Sesar Gorontalo...........................................................................................280
6. Sesar naik Batui...........................................................................................280
7. Sesar naik Poso............................................................................................280
8. Sesar naik Wekuli.........................................................................................281
9. Lajur lipatan–sesar naik Majene................................................................281
10. Lajur lipatan–sesar naik Kalosi...............................................................281
11. Lajur sesar naik Tolitoli............................................................................281
12. Selat Makassar...........................................................................................282
13. Tunjaman Sulawesi Utara........................................................................282
14. Tunjaman Sangihe.....................................................................................283
15. Selat Bone..................................................................................................283
B. Struktur Geologi Lokal...................................................................................284
1. Lengan Timur Sulawesi . ...........................................................................284
a. Sesar...........................................................................................................284
b. Lipatan......................................................................................................286
2. Lengan Tenggara Sulawesi .......................................................................286
3. Sulawesi Tengah..........................................................................................288
4. Lengan Selatan Sulawesi ...........................................................................290
a. Daerah Palu dan sekitarnya....................................................................290
b. Daerah Pangkajene dan sekitarnya.......................................................293
5. Lengan Utara Sulawesi...............................................................................296
a. Sesar mendatar . ......................................................................................297

Daftar Isi | xix


b. Sesar turun................................................................................................298
C. Kepingan Benua...............................................................................................300
1. Kepingan benua Banggai-Sula..................................................................300
2. Kepingan benua Sulawesi Tenggara.........................................................301
3. Kepingan benua lain...................................................................................301
a. Sesar naik..................................................................................................301
b. Lipatan......................................................................................................302
c. Kelurusan..................................................................................................302
BAB XIII: TEKTONIK SULAWESI Oleh: Syaiful Bachri dan Sidarto......303
A. Evolusi Tektonik Regional.............................................................................303
1. Tektonik ekstensional Mesozoikum.........................................................303
2. Tunjaman Kapur . ......................................................................................304
3. Tunjaman Paleogen.....................................................................................304
4. Tunjaman Neogen......................................................................................305
5. Tunjaman ganda Kuarter...........................................................................306
B. Tektonik Tiap Lengan.....................................................................................306
1. Tektonik lengan Selatan Sulawesi.............................................................306
2. Tektonik lengan Utara Sulawesi................................................................309
a. Kelompok sesar Perantanaan (A)..........................................................311
b. Kelompok sesar Gorontalo (B).............................................................313
c. Kelompok sesar Paleleh (C)...................................................................313
d. Kelompok sesar Randangan (D)..........................................................313
e. Kelompok sesar Kuandang (E) . ..........................................................314
f. Orientasi sistem tegasan ........................................................................314
3. Tektonik Lengan Timur Sulawesi.............................................................316
a. Daerah Banggai-Sula (Cekungan Luwuk-Banggai)............................317
b. Evolusi tektonik Pra-Tersier..................................................................318
c. Evolusi tektonik Tersier..........................................................................318
4. Tektonik lengan Tenggara Sulawesi ........................................................320
a. Periode pra tumbukan.............................................................................320
b. Periode tumbukan...................................................................................320
c. Periode pasca tumbukan.........................................................................320

DAFTAR PUSTAKA................................................................................325
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS...............................................349

xx | Geologi Sulawesi
Daftar Gambar

1.1 Wilayah administrasi dan pembagian tubuh Pulau Sulawesi........................2


1.2 Topografi dan batimetri laut Pulau Sulawesi di sekitarnya...........................3
1.3 Pembagian mendala geologi P. Sulawesi dan daerah sekitarnya
(dimodivikasi dari Kadarisman, 2005)..............................................................6
1.4 Indeks peta geologi skala 1:250.000 (diberi nomor angka) dan skala
1:1.000.000 (ditandai dengan huruf A dan B) yang melingkupi Pulau
Sulawesi dan daerah sekitarnya. ...................................................................... 8
2.1 Ciri Mendala Geologi Sulawesi Barat sebagai lajur vulkano-plutonik......14
2.2 Sebaran satuan batuan pra-Tersier..................................................................18
2.3 Korelasi satuan batuan pra-Tersier.................................................................19
2.4 Bentang alam Kompleks Melange Bantimala ..............................................22
2.5 Peta geologi daerah Kompleks Melange Bantimala.....................................24
2.6 Keterangan peta geologi pada 2.5...................................................................25
2.7 Batupasir Paremba berumur Jura yang terlipat sangat kuat di
Kompleks Melange Bantimala..........................................................................26
2.8 Rijang Paring berlapis bagus, beralaskan dan bersisipan breksi sekis.......27
2.9 Batuan sedimen bertipe flysch; batupasir Formasi Balanbaru, Kapur
Akhir, miring landai menindih Kompleks Melange Bantimala..................31
3.1 Sebaran satuan batuan Paleogen.....................................................................38
3.2 Korelasi satuan batuan Paleogen.....................................................................39
3.3 Stratigrafi daerah Pegunungan Bone, Lengan Selatan Sulawesi
(ubahan dari van Leeuwen dkk., 2010)..........................................................57
3.4 Stratigrafi daerah Sulawesi Tengah bagian barat, Leher Sulawesi, dan
Lengan Utara Sulawesi bagian barat (ubahan dari van Leeuwen dan
Muhardjo, 2005)...................................................................................................... 58
3.5 Morfologi karst, tebing tegak, dan perlapisan mendatar menjadi ciri
pemandangan pada batugamping Formasi Tonasa di daerah Sulawesi
Selatan).................................................................................................................60
4.1 Korelasi satuan batuan Neogen.......................................................................67
4.2 Sebaran satuan batuan Neogen di bagian barat Sulawesi...........................68

xxi
4.3 Peta geologi rinci daerah Biru, Lengan Selatan Sulawesi
(Elburg, 2002).....................................................................................................73
4.4 Batuan sedimen tipe molasa, Formasi Walanae di Pakkita, Sinjai
Tenga­h, Sulawesi Selatan...................................................................................85
5.1 Korelasi satuan stratigrafi Kuarter..................................................................94
5.2 Sebaran batuan Kuarter di bagian barat Sulawesi........................................95
6.1 Posisi lengan-lengan Sulawesi yang mempunyai komposisi batuan dan
tektonik yang berlainan (Hall dkk., 2005)....................................................113
6.2 Zona kemunculan produk vulkanik/magmatik di bagian barat
Sulawesi, yang untuk kemudahan teknis diskusi dikelompokkan
dalam zona Makassar (UP), Toraja (TJ), Palu (PL), Tolitoli (TT),
dan Manado (MN)...........................................................................................114
6.3 Distribusi produk vulkanik Neogen-Resen dengan afinitas magmatik
berbeda pada bagian barat Sulawesi (Priadi, 1993)....................................121
6.4 Distribusi granitoid di zona Palu menunjukkan adanya empat jenis
grani­toid yang penyebarannya konsentris terhadap ZSPK (Zona
Sesar Palu-Koro) dengan granitoid paling muda berada pada bagian
tengah (Priadi, 1996, dengan menggunakan peta dasar geologi oleh
Sukamto, 1973).................................................................................................124
7.1 Penyebaran batuan malihan di Pulau Sulawesi (Sukarna, 2002)..............131
7.2 Penyebaran kompleks malihan di Pulau Sulawesi (peta geologi
bersumber dari Sukarna, 2002)......................................................................134
7.3 Stratigrafi Mendala Sulawesi Barat dan Mendala Sulawesi Timur serta
Mendala Banggai Sula (Sukamto & Simandjuntak, 1983)........................136
7.4 Batuan malihan di bagian timur Sulawesi dan Buton yang secara
stratigrafi berumur Devon (Surono, 1996a)................................................137
7.5 Penyebaran batuan Malihan Malino di Leher Sulawesi
(dari Ratman, 1976).........................................................................................138
7.6 Peta geologi penyebaran batuan malihan di bagian barat laut
dan bagian Leher Sulawesi (Sukarna, 2002)................................................138
7.7 Peta geologi penyebaran batuan malihan di bagian tengah Pulau
Sulawesi (disederhanakan dari Sukarna, 2002)............................................141
7.8 Penyebaran batuan malihan dalam Kompleks Malihan Pompangeo
(diseder­hanakan dari Simandjuntak dkk., 1991a).........................................142
7.9 Geografis Kompleks Malihan Mengkoka dan Kompleks Malihan
Mendoke-Rumbia-Kabaena, Sulawesi, di Lengan Tenggara Sulawesi....144

xxii | Geologi Sulawesi


7.10 Penyebaran Kompleks Malihan Mengkoka dan Kompleks Malihan
Mendoke-Rumbia-Kabaena, Sulawesi (Rusmana dkk., 1993b;
Simandjuntak dkk., 1994)...............................................................................145
8.1 Peta geologi bagian timur Sulawesi, disederhanakan dari peta-peta
geologi terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, skala
1:250.000............................................................................................................154
8.2 Kepingan benua di bagian timur Sulawesi dan pulau-pulau
di sekitarnya (Surono, 1998a).........................................................................155
8.3 Peta geologi Kepulauan Benua Banggai-Sula, disederhanakan dari
Supandjono & Haryono (1993), Surono dkk. (1994) dan Surono &
Sukarna (1993)..................................................................................................157
8.4 Stratigrafi Kepingan Benua Banggai-Sula, dikompilasi dari Rusmana
dkk. (1993), Supandjono & Haryono (1993), Surono & Sukarna
(1993), dan Surono dkk. (1994).....................................................................159
8.5 Sisipan batugamping foraminifera yang mengandung Numulites
secara melimpah di tebing jalan dekat Desa Salodik.................................164
8.6 Stratigrafi Kelompok Salodik menurut Hasanusi dkk. (2007).................165
8.7 Peta geologi sekitar Teluk Kolonedale, Sulawesi Tengah
(Simandjuntak, 1991a, b)................................................................................168
8.8 Penampang stratigrafi batugamping Trias Akhir di Kolonodale,
menurut Martini dkk. (1997)..........................................................................169
8.9 Penampang stratigrafi batugam­ping Trias Akhir di Kolonedale,
menurut Villeneuve dkk. (2001)....................................................................171
8.10 Gambaran morfologi Lengan Tenggara Sulawesi dari citra IFSAR
(Surono, 2010)..................................................................................................174
8.11 Peta geologi Lengan Tenggara Sulawesi (Rusmana dkk., 1993b;
Siman­djuntak, 1991a, 1993, & 1994)............................................................175
8.12 Stratigrafi Kepingan Benua Sulawesi Tenggara (modi­fikasi dari
Surono, 2010)....................................................................................................176
8.13 Sekis di Pegunungan Rumbia, ujung selatan Lengan Tenggara
Sulawesi..............................................................................................................177
8.14 Penyebaran Formasi Meluhu di Lengan Tenggara Sulawesi dan
pulau-pulau di sekitarnya (Surono & Bachri, 2002)...................................179
8.15 Penyebaran Anggota Toronipa, Formasi Meluhu di bagian timur
Lengan Tenggara Sulawesi (Surono, 2002)..................................................179
8.16 Penampang stratigrafi Anggota Toronipa, Formasi Meluhu pada
lokasi tipenya di TanjungToronipa, di pantai utara Tanjung Kendari
(Surono & Bachri, 2002).................................................................................180

Daftar Isi | xxiii


8.17 Kenampakan lapangan Anggota Toronipa, Formasi Meluhu di tebing
jalan antara Kendari dan Sawa.......................................................................181
8.18 Komposisi batupasir Anggota Toronipa, Formasi Meluhu (Surono,
1997b)................................................................................................................182
8.19 Penampang stratigrafi Anggota Watulaluboto, Formasi Meluhu di
pantai barat Tanjung Laonti (Surono & Bachri, 2002)..............................183
8.20 Penampang stratigrafi Anggota Tuetue pada lokasi tipe (Surono &
Bachri, 2002).....................................................................................................185
8.21 Interpretasi pengendapan Formasi Meluhu menurut Surono
& Bachri (2002)................................................................................................186
8.22 Lokasi batugamping berumur Kapur di pulau kecil dekat
P. Labengke, yang ditemukan oleh Cornee dkk. (1995)............................188
8.23 Penyebaran Formasi Tampakura di bagian timur Lengan Tenggara
Sulawesi..............................................................................................................189
8.24 Kenampakan lapangan batugamping oolit pada Formasi
Tampakura di P. Labengke bagian selatan...................................................190
8.25 Penampang gabungan Formasi Tampakura di P. Labengke (Surono,
1998b; Surono, 2010)......................................................................................191
8.26 Penampang stratigrafi Runtunan Batuasah, Formasi Tampakura di P.
Labengke (Surono, 1998b; Surono, 2010)....................................................192
8.27 Penampang stratigrafi Runtunan Labengke Utara, Formasi Tampakura
di P. Labengke (Surono, 1998b).....................................................................193
8.28 Penampang stratigrafi Runtunan Labengke Selatan, Formasi
Tampakura di P. Labengke (Surono, 1998b)...............................................194
8.29 Penampang stratigrafi Runtunan Labengke Barat, Formasi Tampakura
di P. Labengke (Surono, 1998b).....................................................................195
8.30 Interpretasi pengendapan Formasi Tampakura menurut Surono
(1998b)...............................................................................................................197
8.31 Rekonstruksi paleogeografi Kepingan Benua Sulawesi Tenggara pada
Paleogen.............................................................................................................198
8.32 Peta geologi P. Buton dan P. Muna (disederhanakan dari
Sikumbang dkk., 1995)....................................................................................200
8.33 Stratigrafi Pulau Buton (Milson dkk., 1999)................................................201
8.34 Tektonostratigrafi P. Buton (Smith & Silver, 1991)...................................202
8.35 Lokasi penampang stratigrafi di P. Buton yang dilakukan
oleh Fortuin dkk. (1990).................................................................................206
8.36 Penampang stratigrafi Formasi Tondo di sepanjang Sungai Wakoko,
dekat Teluk Pasarwajo (Fortuin dkk., 1990)................................................207

xxiv | Geologi Sulawesi


8.37 Penampang Formasi Sampolakosa di sepanjang Teluk Sampolakosa
di dekat Kampung Buku (Fortuin dkk., 1990)...........................................208
8.38 Batimetri Kepulauan Tukangbesi yang menunjukkan adanya perbedaan
yang tajam di tepi kepulauan itu (disederhanakan dari Silver dkk.,
1983 dan Rehault dkk., 1991 oleh Surono, 2010)......................................209
8.39 Peta geologi Kepulauan Tukang Besi yang disusun oleh
Koswara dan Sukarna (1995).........................................................................210
9.1 Penyebaran ofiolit yang umumnya berasosiasi dengan kompleks
melange di Asia Tenggara...............................................................................214
9.2 Penyebaran Kompleks Ofiolit Sulawesi (Kadarusman, 2004)..................215
9.3 Kenampakan morfologi Kompleks Ofiolit Sulawesi pada citra IFSAR
di daerah sekitar muara S. Lasolo yang dengan mudah dibedakan
dengan batuan di sekitarnya (Surono, 2010); ofiolit (Ku), Formasi
Tampakura (Teot), dan aluvium (Qa)...........................................................216
10.1 Penyebaran Formasi Lonsio di Lengan Timur Sulawesi (disederhanakan
dari Rusmana dkk., 1993a; Simandjuntak dkk., 1991b; dan Surono
dkk., 1994).........................................................................................................226
10.2 Kenampakan Formasi Lonsio di pinggir jalan Salodik-Poh yang
didominasi oleh konglomerat endapan sungai teranyam..........................228
10.3 Kenampakan lapangan tuf dalam Formasi Lonsio di Lengan Timur
Sulawesi..............................................................................................................229
10.4 Kenampakan lapangan Anggota Konglomerat Ofiolit, Formasi
Kintom...............................................................................................................230
10.5 Anggota Konglomerat Batugamping, Formasi Kintom; fragmen
batuan berupa batugamping berasal dari kepingan benua........................231
10.6 Kenampakan lapangan Anggota Konglomerat Polimik, Formasi
Kintom yang fragmen batuannya terdiri atas percampuran batuan
yang berasal dari kepingan samodra (ofiolit) dan kepingan benua
(batugamping)...................................................................................................231
10.7 Penampang stratigrafi bagian bawah Anggota Konglomerat
Batugam­ping, Formasi Kintom di daerah Luwuk (Barianto
dkk., 2012).........................................................................................................233
10.8 Penampang stratigrafi bagian atas Anggota Konglomerat
Batugamping, Formasi Kintom di daerah Luwuk (Barianto
dkk., 2012).........................................................................................................234
10.9 Peta geologi leher Lengan Timur Sulawesi (dimodifikasi
dari Rusmana dkk., 1993a).............................................................................235

Daftar Isi | xxv


10.10 Penyebaran Formasi Larona, Formasi Bonebone, dan Formasi
Tomata di bagian utara Lengan Tenggara Sulawesi (disederhanakan
dari Simandjuntak dkk., 1991a; 1991b; 1993; dan 1994)..........................237
10.11 Penyebaran Molasa Sulawesi yang melampar luas di Lengan Tenggara
Sulawesi (modifikasi dari Rusmana dkk., 1993b dan Simandjuntak
dkk., 1994).........................................................................................................238
10.12 Geologi daerah Kendari-Tinobu yang didominasi oleh batuan
Kelompok Molasa Sulawesi (Formasi Langkowala, Formasi Pandua,
dan Formasi Eemoiko)...................................................................................240
10.13 Kenampakan lapangan Konglomerat Matarape (kiri) dan kenampakan
mikroskopis (kanan), contoh diambil dari pantai dekat Desa Matarape.
(Surono, 2010)..................................................................................................241
10.14 Penyebaran Anggota Tolitoli, Formasi Langkowala di sekitar Teluk
Wawosungu (Surono, 1995c)..........................................................................242
10.15 Batupasir pada bagian atas Anggota Tolitoli, Formasi Langkowala
yang ditindih takselaras oleh pasir Kuarter Formasi Alangga
membentuk ketidakselarasan menyudut di tebing jalan dekat
pelabuhan ikan Jayanti, Kendari....................................................................242
10.17 Penampang stratigrafi Anggota Tolitoli, Formasi Langkowala di
pantai dekat Desa Tolitoli (Surono, 1995c).................................................244
10.18 Penampang stratigrafi Anggota Tolitoli, Formasi Langkowala di
sekitar DesaTolitoli (Surono, 1995c).............................................................245
10.19 Hasil pengukuran arah arus purba pada Anggota Tolitoli, Formasi
Langkowala di sekitar Desa Tolitoli (Surono, 1995c)................................246
10.20 Kenampakan alur sungai purba pada tebing pantai di dekat Desa Toli-
toli.......................................................................................................................247
10.21 Penyebaran Anggota Batupasir, Formasi Langkowala di sekitar
Kendari (Surono, 1995c).................................................................................248
10.22 Penampang stratigrafi Anggota Batupasir, Formasi Langkowala di sebelah
barat Desa Powatu (Surono, 2010).......................................................................249
10.23 Penampang stratigrafi Anggota Batugamping Pohara, Formasi
Eemoiko, di tebing jalan antara jembatan S. Sampara dan Desa
Pohara (Surono dan Sukarna, 1996).............................................................250
10.24 Penampang stratigrafi Anggota Batugamping Pohara, Formasi
Eemoiko (Surono & Sukarna, 1996)............................................................251
10.25 Interpretasi sedimentasi molasa Sulawesi yang dimulai diendapkan
pada cekungan sungai dan diakhiri pada cekungan laut dangkal (Surono
& Sukarna, 1996)..............................................................................................252

xxvi | Geologi Sulawesi


10.26 Kenampakan morfologi teras Formasi Luwuk (Sumosusastro dkk.,
1989)...................................................................................................................254
10.27 Penampang melintang teras Formasi Luwuk dan hasil pentarikhan
radiokarbon (Sumosusastro dkk., 1989).......................................................255
10.28 Diagram kecepatan rata-rata pengangkatan versus umur
(Sumosu­sastro dkk., 1989)..............................................................................256
10.29 Kenampakan lapangan batupasir kuarsa Formasi Alangga di selatan
Kota Kendari. Singkapan ini diduga merupakan endapan pantai...........257
11.1 Relief topografi dan batimetri Sulawesi dan daerah sekitarnya...............260
11.2 Citra gayaberat Sulawesi dan daerah sekitarnya..........................................261
11.3 Model kerak bumi pada lintasan 1 (L1).......................................................271
11.4 Model kerak bumi pada lintasan 2 (L2).......................................................273
11.5 Model kerak bumi lintasan 3 (L3).................................................................275
12.1 Struktur geologi utama Pulau Sulawesi........................................................278
12.2 Struktur geologi lengan timur Sulawesi........................................................284
12.3 Struktur geologi lengan tenggara Sulawesi..................................................287
12.4 Struktur geologi bagian tengah Sulawesi.....................................................289
12.5 Struktur geologi lengan selatan Sulawesi.....................................................291
12.6 Struktur geologi daerah Palu dan sekitarnya...............................................293
12.7 Geologi Struktur daerah Pangkajene dan sekitarnya.................................294
12.8 Struktur geologi lengan utara Sulawesi........................................................295
12.9 Struktur geologi daerah Gorontalo dan sekitarnya....................................296
12.10 Struktur geologi daerah Tolitoli dan sekitarnya...........................................297
12.11 Struktur geologi daerah Manado dan sekitarnya..........................................299
13.1 Peta geologi daerah Sulawesi bagian barat, dikompilasi berdasarkan
Sukamto (1975b), Bergman dkk. (1996), Djuri dkk. 1998), dan Bachri &
Baharuddin (2001).............................................................................................................308
13.2 Penampang seismik di Selat Makassar bagian utara (Puspita dkk.,
2005)...................................................................................................................309
13.3 Profil seismik (time domain) SO98-11 (kiri) dan SO98-37 (kanan)
antara Busur Sulu dan Lengan Utara Sulawesi (Schluter dkk., 2001).....310
13.4 Skematik penampang BL-TG yang menggambarkan elemen-elemen
tektonik Sulawesi Utara (Walpersdorf dkk., 1988); Mikrokontinen
(Kepingan Benua) Banggai-Sula bergerak ke arah barat...........................310

Daftar Isi | xxvii


13.5 Diagram mawar kelurusan dan sesar bagian tengah Lengan Utara
Sulawesi berdasarkan klasifikasi dengan menggunakan interval 10°
(A), dan arah rata-rata dari kelima kelompok struktur kelurusan dan
sesar (B).............................................................................................................311
13.6 Sebaran daerah depresi di bagian tengah Lengan Utara Sulawesi...........312
13.7 Peta struktur bagian tengah Lengan Utara Sulawesi pada Neogen........314
13.8 Peta struktur bagian tengah Lengan Utara Sulawesi pada Pliosen
Akhir–Plistosen, dimodifikasi dari Bachri dkk. (1994) dan Apandi &
Bachri (1997).....................................................................................................315
13.9 Elip tegasan bagian tengah Lengan Utara Sulawesi, A: Neogen
Akhir, B: Pliosen Akhir–Plistosen.................................................................316
13.10 Tataan tektonik Cekungan Luwuk-Banggai, Cekungan Salawati, dan
Sesar Sorong dengan interval batimetri 1.000 m (Charlton, 1996 dan
berdasarkan beberapa sumber). ...................................................................317
13.11 Evolusi tektonik Sulawesi bagian timur dan Banggai-Sula selama
Miosen Awal-Pliosen Akhir (Garrard dkk., 1988).....................................319
13.12 Peta geologi daerah Cekungan Luwuk-Banggai, struktur di Teluk
Tolo berdasarkan Davies (1990), isopach cekungan (dalam km)
mengacu ke Hamilton (1979), geologi daratan berdasarkan peta-peta
terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, dikompilasi
oleh Charlton (1996).......................................................................................321
13.13 Peta geologi Tanjung Laonti dan daerah sekitarnya menunjukkan
Sesar Naik Sangisangi (Surono dkk., 1997) ...............................................322
13.14 Sesar utama di Lengan Tenggara Sulawesi (dikompilasi dari peta
geologi Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi) (Surono dkk.,
1997)...................................................................................................................323
13.15 Cekungan Wawatobi dan Cekungan Sampara yang dibentuk oleh
sesar geser mengiri Sistem Sesar Konaweha dan Sesar Kolaka
(Surono dkk., 1997).........................................................................................324

DAFTAR Tabel
1.1 Peta geologi dan penyusunnya yang meliputi Sulawesi dan sekitarnya......9
8.1 Stratigrafi Kepingan Mattarombeo (dari atas ke bawah)..........................173
10.1 Molasa Sulawesi di bagian timur Sulawesi berdasarkan peta geologi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, mulai ujung utara
lengan timur ke ujung selatan lengan tenggara Sulawesi..........................227

xxviii | Geologi Sulawesi


BAGIAN I
BAB I
PENDAHULUAN
 Oleh: Sidarto

A. Geografi dan administrasi


Pulau Sulawesi atau Celebes mempunyai luas 174.600 km2, merupakan
pulau terbesar keempat di Indonesia setelah P. Sumatra, P. Kalimantan,
dan P. Papua. Secara etimologi, Sulawesi diperkirakan berasal dari Sula
(pulau) dan Besi. Nama tersebut diduga merujuk dari pulau ini yang
menghasilkan pertambangan bijih besi sangat besar, yang terdapat di
sekitar Danau Matano dan Soroako.
Pulau Sulawesi terdapat di bagian tengah dari rangkaian Kepulauan
Indonesia. Di bagian baratnya dibatasi oleh Selat Makassar, di utara
oleh Laut Sulawesi, di timur dibatasi oleh Laut Maluku dan Laut Banda,
dan di selatan oleh Laut Flores. Pulau-pulau di sekeliling P. Sulawesi
adalah P. Kalimantan di sebelah barat, P. Halmahera di sebelah timur, P.
Flores di sebelah selatan, dan di sebelah utaranya adalah Negara Filipina.
Berdasarkan administrasinya, P. Sulawesi dibagi menjadi enam provinsi,
yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi
Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Gorontalo, dan Provinsi
Sulawesi Utara (Gambar 1.1). Pulau utama menyerupai huruf K besar
yang membujur dari utara ke selatan dan tiga semenanjung yang membujur
ke timur laut, timur dan tenggara; sedangkan pulau-pulau kecil terdiri atas
Kepulauan Selayar dan Kepulauan Bonerate di selatan yang termasuk
dalam Provinsi Sulawesi Selatan, Kepulauan Sangihe dan Talaud yang
termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Utara, Kepulauan Togean
yang terdapat di Teluk Tomini, dan P. Peleng di bagian timur termasuk­
Provinsi Sulawesi Tengah, dan P. Buton dan P. Muna yang terletak di
tenggara termasuk wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Kota-kota ­besar

1
Gambar 1.1 Wilayah administrasi dan pembagian tubuh Pulau Sulawesi.

di pulau ini adalah Kota Makassar dengan populasi 1.334.090 jiwa,


Kota Manado denga­n populasi 408.354 jiwa, Kota Palu dengan jumlah
­penduduk 335.297 jiwa, dan Kota Kendari dengan populasi 314.812 jiwa.
Hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk di P. Sulawsi adalah
17.359.416 jiwa.
Pulau Sulawesi secara morfologi terdiri atas dataran dengan ketinggian
0 sampai 50 meter, dan pegunungan dengan ketinggian tertinggi mencapai
3.428 meter (Gambar 1.2). Berdasarkan peta kedalaman laut di sekeliling
pulau ini terdapat beberapa palung, yaitu di utara Laut Sulawesi, di sebelah

2| Geologi Sulawesi
Gambar 1.2 Topografi dan batimetri laut Pulau Sulawesi di sekitarnya.

barat Selat Makassar, Teluk Bone yang terletak antara Lengan Selatan dan
Lengan Tenggara, dan di dalam Teluk Tomini yang terletak di barat daya
Kota Gorontalo.

B. TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL


Secara geologi, Kepulauan Indonesia merupakan pusat pertemuan tiga
lempeng aktif utama dunia, yaitu Lempeng Hindia-Australia yang bergerak

Pendahuluan |3
ke arah utara-timur laut, Lempeng Samudra Pasifik yang bergerak ke arah
barat-baratlaut, dan Lempeng Benua Eurasia yang hampir statis atau
bergerak sangat lambat ke selatan-tenggara (Hamilton, 1979; Hutchison,
1989). Berdasarkan posisi tersebut, kondisi geologi Indonesia sangatlah
kom­pleks.
Pulau Sulawesi yang terletak di tengah-tengah kepulauan Indonesia
menyerupai huruf K. Bentuk tersebut dipengaruhi oleh aktivitas pergerakan
k­etiga lempeng utama di atas. Nama setiap bagian P. Sulawesi akan
berbeda sesuai dengan keperluannya, yang meliputi kaitanya dengan
­administrasi pemerintahan, bentuk fisiografi regional, dan mendala geologi.
Berdasarkan fisiografi regionalnya yang semata-mata hanya berdasarkan
bentuk dari bagian-bagian huruf K adalah Lengan Selatan Sulawesi, Bagian
Tengah Sulawesi, Lengan Utara Sulawesi, Lengan Timur Sulawesi, Lengan
­Tenggara Sulawesi, dan Leher Sulawesi.
Berdasarkan sifat geologi regionalnya, P. Sulawesi dan sekitarnya dapat
dibagi menjadi beberapa Mendala Geologi (Geologic Provinces). Mendala
Geologi Sulawesi Timur disebut sebagai non-volcanic arc meliputi Lengan
Tenggara Sulawesi, bagian timur Sulawesi Tengah dan Lengan Timur
Sulawesi. Mendala ini di bagian baratnya dicirikan oleh Jalur Malihan
Tinondo–Pompangeo dan bagian timurnya dicirikan oleh Jalur Ofiolit
Hialu–Balantak (Sukamto & Simandjuntak, 1983).
Mendala Geologi Sulawesi Barat atau Busur Sulawesi Barat atau Lajur
Sulawesi Barat disebut sebagai volcanic arch, terdiri atas Lengan Selatan
Sulawesi, Bagian Tengah, Leher Sulawesi, dan Lengan Utara Sulawesi
(Gambar 1.1). Batuan alas dari mendala ini, di Sulawesi Tengah bagian
barat dan di Leher Sulawesi, terdiri atas batuan metamorf pra-Tersier
sehingga Katili, (1978) berpendapat bahwa posisi jalur ini berimpit dengan
tepi bagian timur Kraton Sunda, dan merupakan inti Lempeng Benua
Eurasia bagian tenggara (Hutchison, 1989), sedangkan menurut Murphy
(1979, dalam Situmorang, 1984) lengan ini merupakan kepingan benua
yang terpisahkan dari Kraton Sunda. Di Lengan Selatan Sulawesi, batuan
alas tersusun oleh kompleks melange yang berumur pra-Kapur Akhir
(Sukamto, 1986). Hasil penelitian terbaru menyimpulkan bahwa Kompleks
Malihan Bantimala-Latimojong-Pompangeo di P. Sulawesi sampai Lok
Ulo di P. Jawa merupakan busur metamorf tekanan tinggi yang terbentuk
pada Kapur (Soesilo, 2012). Pemisahan P. Sulawesi dan P. Kalimantan
disebabkan oleh adanya pemekaran di Selat Makassar (Katili, 1978). Calvert
(1999) berpendapat bahwa pemekaran (rifting) Selat Makasar terjadi pada

4| Geologi Sulawesi
Eosen Tengah–Eosen Akhir. Berdasarkan pemodelan data gaya berat
ternyata bahwa Selat Makassar dialasi oleh kerak samudra yang berumur
Eosen (Cloke dkk., 1999 dalam McClay dkk., 2000). Namun Bergman dkk.
(1996) menyatakan bahwa Cekungan Selat Makassar Utara bukan lokasi
pemekaran Tersier, tetapi cekungan tersebut merupakan hasil ­pemendekan
(shortening) berarah baratlaut–tenggara, sebagai akibat tumbukan benua–
benua pada Neogen di Sulawesi bagian barat. Mendala Geologi Sulawesi
Barat didominasi oleh batuan gunungapi dan batuan plutonik Miosen
yang membentuk jalur gunungapi Tersier sistem tunjaman dari timur pada
Neogen (Sukamto, 1978; Simandjuntak, 1993), dan disebut juga sebagai
Busur Gunungapi Sulawesi Barat (Surono, 1998a), di bagian timur Lengan
Utara Sulawesi terdiri atas deretan gunungapi aktif dengan arah hampir
utara–selatan, yang disebut sebagai Busur Gunungapi Kuarter Minahasa-
Sangihe (Simandjuntak, 1993).
Kondisi geologi bagian timur Sulawesi dan beberapa pulau kecil di
sekitarnya merupakan bagian yang lebih kompleks (Gambar 1.3). Lengan
Timur dan Lengan Tenggara tersusun oleh batuan malihan dan sedimen
penutupnya serta ofiolit yang merupakan hasil proses pencuatan (obduction)
selama Miosen (Smith and Silver, 1991). Surono (1998a) menyebutkan
bahwa jalur batuan malihan dan sedimen penutupnya tersebut sebagai
Mintakat Benua, sedangkan batuan ofiolitnya merupakan Lajur Ofiolit
Sulawesi Timur. Bagian timur Sulawesi ini memanjang mulai ujung timur
Lengan Timur, sisi timur Bagian Tengah, Lengan Tenggara Sulawesi,
Muna-Buton sampai ke Kepulauan Tukang Besi di ujung tenggara. Secara
geologi bagian timur Sulawesi ini disusun oleh tiga kelompok besar batuan,
yang masing-masing dibentuk oleh kondisi dan waktu geologi yang ber-
beda. Ketiga kelompok besar itu sering disebut pula dengan nama mendala
(Sukamto, 1975b, c), lajur atau belt (Simandjuntak, 1986) dan mintakat atau
terrane (Surono, 1996a). Ketiga kelompok besar itu adalah:
1) Kepingan Benua
2) Kompleks Ofiolit
3) Molasa Sulawesi
Banyak kepingan benua yang diduga mempunyai asal yang sama
tersebar di bagian timur Sulawesi dan beberapa pulau di sekitarnya. Ukuran
kepingan benua ini sangat beragam, mulai yang besar seperti Keping
Benua Banggai-Sula sampai yang kecil seperti Kepingan Benua Tambayoli.
Batuan penyusun kepingan benua juga bervariasi mulai batuan malihan

Pendahuluan |5
Gambar 1.3 Pembagian mendala geologi P. Sulawesi dan
daerah sekitarnya (dimodivikasi dari Surono, 2010)

berumur Karbon Akhir sampai batuan sedimen berumur Eosen–Oligosen.


Uraian secara lebih rinci dari kepingan benua akan dibahas dalam Bab
VIII.
Lajur Ofiolit Sulawesi Timur dalam uraian selanjutnya disebut
Kompleks­ Ofiolit, merupakan kompleks batuan yang menyebar luas di
bagian timur Sulawesi dan pulau-pula kecil di sekitarnya. Penyebaran
Kompleks Ofiolit di kawasan ini (Gambar 1.3) termasuk terbesar di
dunia. Kompleks Ofiolit di bagian timur Sulawesi sering disebut Eastern
Sulawesi Ophiolite Belt atau Lajur Ofiolit Sulawesi Timur (Simandjuntak,
1983). Batuan pembentuk lajur ini didominasi oleh batuan ultramafik dan
mafik serta sedimen pelagik. Sementara batuan mafik terdiri atas gabro,
basalt, dolerit, mikrogabro, dan amfibolit. Sedimen pelagiknya tersusun
oleh batugamping laut dalam dan rijang radiolaria. Bahasan secara rinci
tentang ofiolit ini diuraikan dalam Bab IX.

6| Geologi Sulawesi
Sebagai akibat tumbukan antara kepingan benua dan kompleks
ofiolit pada Oligosen Akhir–Miosen Awal, kompleks ofiolit tersesar­
naikkan ke atas mintakat benua. Molasa Sulawesi, yang terdiri atas batuan
sedimen klastik dan karbonat, terendapkan selama saat akhir dan sesudah
­tumbukan, sehingga molasa ini menindih takselaras kedua kelompok besar
batuan tersebut di atas. Pada akhir Kenozoikum kedua lengan Sulawesi ini
dikoyak oleh sesar geser regional mengiri, Sesar Matano, Sesar Pagimana,
Sesar Lawanopo dan Sesar Kolaka serta beberapa pasangannya.
Pada Miosen Akhir tumbukan antara kepingan benua yang
­merupakan pecahan Benua Australia dengan Mintakat Sulawesi Barat
mencapai ­klimaksnya, yang ditandai dengan adanya thin skinned trust fault-
ing di S­ulawesi dan di Kalimantan bagian timur (Coffield dkk., 1993).
Tektonik selanjutnya dan mungkin sampai sekarang masih aktif adalah
pengangkatan­ yang disertai erosi yang sangat intensif.

C. Penelitian Geologi
Kerumitan geologi Sulawesi sebagai akibat pertemuan tiga lempeng besar
(lempeng India-Australia, Pasifik dan Eurasia) telah menarik para ahli
untuk melakukan penelitian. Sejak 1960-an, selain pemetaan geologi ber-
sistem, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral juga telah melakukan berbagai penelitian geo­
logi dan geofisika, yang meliputi: paleontologi, stratigrafi, sedimentologi,
petrologi, kimia batuan, geokronologi, fisika batuan, dan kemagnetan
purba. Berbagai penelitian geologi dan geofisika tersebut juga dilakukan
oleh pihak lain, baik oleh tim peneliti manca negara, perguruan tinggi,
perusahaan swasta, BUMN maupun oleh instansi pemerintah yang lain.
Hasil penelitian berbagai aspek geologi dan geofisika selama ± 40 tahun
itu telah menghasilkan data yang sangat melimpah.
Berbagai penelitian telah dilakukan di daerah Lengan Selatan
­Sulawesi, meliputi penelitian stratigrafi dan paleontologi dalam batuan
sedimen ‘flysch’ Kapur Akhir di daerah-daerah Birru dan Latimojong.
Kemudian penelitian satuan stratigrafi Paleogen Formasi Toraja dan
­Formasi Makale di daerah Toraja, dan Formasi Salokalupang di sisi
­sebelah timur ­Terban Walanae; dan satuan stratigrafi Neogen Formasi
Tonasa di daerah Ralla, dan di daerah Sengkang untuk Formasi Walanae.
Pada satuan batuan gunung­api telah dilakukan penelitian petrologi dan
geokimia batuan gunung­api Kalamiseng di Pegunungan Bone, dan batuan

Pendahuluan |7
gunungapi ­Lamasi di sebelah timur Pegunungan Latimojong. Selama kurun
waktu 1994–1999, di daerah Lengan Selatan Sulawesi juga telah dilakukan
berbagai penelitian geologi,­ yang meliputi paleontologi, stratigrafi, sedimen-
tologi, geo­kronolog­i, petrologi, geokimia, struktur, tektonika, kemagnetan
purba, gaya­berat, fisika batuan, dan seismotektonik. Penelitian batuan
malihan Sulawesi dimulai sejak tahun 1990-an, beberapa penulis antara

Gambar 1.4 Indeks peta geologi skala 1:250.000 (diberi nomor angka) dan skala­
1:1.000.000 (ditandai dengan huruf A dan B) yang melingkupi Pulau Sulawesi
dan daerah sekitarnya. Lihat Tabel 1.1 untuk nama lembar, penyusun, dan tahun
­terbitannya

8| Geologi Sulawesi
Tabel 1.1 Peta Geologi dan Penyusunnya yang Meliputi Sulawesi dan Sekitarnya.

lain Parkinson­(1998), Parkinson dkk.(1998), dan Helmers dkk. (1990); yang


terbaru oleh van Leeuwen & Muhardjo (2005), van Leeuwen dkk. (2007)
dan Soesilo (2012). Seiring dengan banyaknya permasalahan geologi, pulau
ini telah menghasilkan puluhan doktor geologi, yang mengambil penelitian
untuk desertasi mereka.

D. Pemetaan Bersistem
Pemetaan geologi dan geofisika bersistem bersekala 1:250.000 P. ­Sulawesi
telah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
­selama dasawarsa 1970-an sampai 1980-an. Hasil pemetaan diterbitkan
dalam bentuk lembar peta geologi dan lembar peta gayaberat dengan
penjelasannya.­ Penjelasan untuk peta geologi, sebagian dalam bentuk
buku dan sebagian termuat dalam lembar peta; dan untuk peta gaya­
berat semuanya termuat dalam lembar peta. Kompilasi hasil pemetaan

Pendahuluan |9
bersistem sekala 1:250.000 itu digunakan untuk menyusun peta regional
bersekala 1:1.000.000, yang terdiri atas Lembar Ujung Pandang dan ­Lembar
Manado. Indeks peta geo­logi dan geofisika berskala 1:1.000.000 dan
1:250.000 dapat dilihat pada Gambar 1.4 dan Tabel 1.1. Dalam rangka
interpretasi citra inderaan jauh untuk peta geologi skala 1:50.000 seluruh
wilayah Indonesia, P. Sulawesi yang terlingkupi oleh citra Interfferometry
Synthetic Aperture Radar (IFSAR), dan interpretasi geologi inderaan jauh
bersekala 1:50.000 telah dilakukan juga.

e. Perubahan Status Satuan Peta


Hasil kegiatan gunungapi selama Neogen cukup luas terhampar di Lengan
Selatan Sulawesi, Sulawesi Tengah bagian barat, dan di Lengan Utara
Sulawesi. Ketika pemetaan geologi berlangsung selama dasawarsa 1970-an
dan 1980-an, peta dasar yang digunakan bersekala 1:250.000 dengan
ketelitian yang tergolong kurang, dan potret udara pun hanya melingkupi­
beberapa daerah yang sempit. Citra inderaan jauh lainnya masih sangat­
kurang, kalaupun ada dengan resolusi rendah. Penentuan tempat di
lapangan hanya dengan kompas dan peta topografi yang tidak teliti.
Umur satuan batuan ditentukan berdasarkan analisis fosil foraminifera
dan penarikhan radiometri secara acak, serta superposisi dengan satuan
batuan di sekitarnya.
Selama pemetaan geologi regional tersebut di atas, ada beberapa
satuan batuan yang dipetakan dalam peringkat formasi. Dalam pemetaan
geologi lebih rinci dan dengan sekala yang lebih besar, sudah tentu dapat
dipetakan banyak formasi, dan status awal sebagai formasi bisa diting-
katkan menjadi Kelompok atau Superkelompok. Sebagai contoh, Batuan
­Gunungapi Formasi Camba di sekitar Komplek Melange ­Bantimala,
­dengan peta dasar bersekala 1:50.000 dapat dipetakan menjadi empat
­formasi, yaitu Formasi Benrong, Formasi Kunyikunyi, Formasi ­Ceppiye,
dan ­Formasi Tondongkarambu. Demikian pula di daerah sekitar Birru,
sebelah timur laut Gunung Lompobatang, Batuan Gunungapi ­Formasi
Camba dapat dibedakan menjadi: Batuan Gunungapi Sopo, Batuan
G­unungapi Pamusureng, dan Batuan Gunungapi Lemo. Batuan gunungapi
di sekitar daerah Birru ini ada yang mengandung ignimbrit trakit, dan tefrit
leusit (van Leuween, 1981). Sedangkan di sekitar Toraja, batuan gunungapi
Tersier dapat diketahui sumbernya sehingga batuan tersebut dapat dibagi
menjadi beberapa batuan gunungapi sesuai dengan sumbernya.

10 | Geologi Sulawesi
F. Pembagian Pembahasan
Kondisi geologi P. Sulawesi dan daerah sekitarnya dapat dibagi menjadi
dua bagian besar, yaitu bagian barat dan bagian timur. Bagian barat yang
meliputi Lengan Selatan, bagian tengah dan menerus ke Lengan Utara
Sulawesi disebut Busur Vulkanisme Sulawesi Barat. Bagian timur, yang
terdiri atas Lengan Tenggara dan Lengan Timur Sulawesi, dibentuk oleh
dua kelompok besar batuan; yang meliputi kepingan benua dan kepingan
samudra. Kedua kepingan batuan yang berbeda asalnya ini ditutupi oleh
sedimen molasa yang dikenal sebagai Molasa Sulawesi.
Berdasarkan gambaran tersebut, dalam buku ini pembahasan dibagi
menjadi enam bagian yang terdiri dari 13 bab. Bagian I merupakan
peng­antar bagi pembaca untuk mengetahui secara umum keadaan Pulau
Sulawesi. Geologi Sulawesi bagian barat diuraikan dalam Bagian II, sedang­
kan Bagian III akan menguraikan batuan malihan yang tersebar di hampir
seluruh Sulawesi. Geologi Sulawesi bagian timur diuraikan pada Bagian
IV. Secara umum Bagian V menguraikan pemodelan geologi berdasarkan
gayaberat. Terakhir Bagian VI membahas geologi struktur dan tektonik
Sulawesi dan daerah sekitarnya.

Pendahuluan | 11
12 | Geologi Sulawesi
BAGIAN II
GEOLOGI BAGIAN BARAT

BAB II
BATUAN PRATERSIER
 Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman

A. TINJAUAN UMUM
Mendala Geologi Sulawesi Barat secara fisiografi meliputi Lengan Selatan
Sulawesi, Sulawesi Tengah bagian barat, Leher Sulawesi dan Lengan Utara
Sulawesi. Beberapa daerah di sepanjang mendala ini sudah dilakukan
penye­lidikan geologi tinjau sejak zaman penjajahan, awal abad ke-20
oleh, antara lain, Ahlburg (1913), Abendanon (1915), Koperberg (1929),
Brouwer, (1934a,b), dan van Bemmelen (1949). Pemetaan geologi secara
bersistem dilakukan sejak diselenggarakan REPELITA oleh Pemerintah
Indonesia pada tahun 1969/1970. Hasil pemetaan diterbitkan dalam
bentuk lembaran peta geologi skala 1:250.000 dengan narasi geologi
setiap lembar, yang sebagian termuat dalam lembaran peta, dan sebagian
lain termuat dalam buku terpisah. Sebaran satuan batuan (Gambar 2.1)
dan uraian geologi di sepanjang mendala ini terutama berdasarkan peta
geologi bersistem skala 1:250.000 sebanyak 14 lembar, yang disusun, dari
ujung selatan ke utara, oleh: Koswara dkk. (1994, 2007); Sukamto dan
Supriatna (1982, 1990); Sukamto (1982, 1990); Djuri dan Sudjatmiko
(1974); Djuri dkk., (1998); Ratman (1993); Ratman dan Atmawinata (1993);
Simandjunta­k dkk. (1991a, 1991b); Sukido dkk. (1993); Sukamto dkk.
(1973); Ratman (1976); Bachri dkk. (1994); Apandi dan Bachri (1973,
2011); Effendi dan Bawono (1976, 1997); dan Samodra (1994, 2007).
Indeks lembar peta geologi dapat dilihat pada Gambar 1.4 dan Tabel 1.1.
Hasil rangkuman geologi regional dari peta geologi bersistem tersebut
kemudian dilengkapi dan diperbaiki berdasarkan hasil penelitian oleh
berbagai pihak, baik oleh lembaga dan instansi pemerintah, perusahaan
pertambangan, maupun oleh perguruan tinggi.

13
Selama pemetaan geologi bersistem berjalan dan sesudahnya, banyak
ahli geologi dan ahli ilmu kebumian lain yang telah melakukan penyelidikan
dan penelitian berbagai segi geologi. Penyelidikan dan penelitian itu dilakukan

Gambar 2.1 Ciri Mendala Geologi Sulawesi Barat sebagai lajur vulkano-plutonik.

14 | Geologi Sulawesi
dalam rangka eksplorasi sumber daya mineral dan energi serta disertasi
pascasarjana perguruan tinggi, baik dari dalam maupun luar negeri. Hasil
penyelidikan dan penelitian dari berbagai kalangan yang diacu untuk
menyusun ulasan geologi Mendala Geologi Sulawesi Barat ini meliputi segi
stratigrafi dan sedimentologi, paleontologi, petrologi dan geo­kronologi,
serta tektonika dan geofisika. Data hasil penyelidikan dan penelitian
­tentang stratigrafi dan sedimentologi yang diacu antara lain dari Witkamp
(1940), van Leeuwen dan Muhardjo (2005), Barber dan Simandjuntak
(1995), Calvert (2000), Calvert dan Hall (2003), Chamberlain dan Siego
(1995), Cofield dkk (1993), Crotty dan Engelhardt (1993), Grainge dan
Davies (1983), Harahap (1998), Hasan (1991), Kusnama dan Andi-Mangga
(2007), Maryanto (1999), Maryanto dkk. (2004), Rangin dkk. (1997),
Susanto (1997),Van den Berg dkk. (1991, 1994), Van Leeuwen (1981),
Van Leeuwen dkk (2006), dan Wilson dan Bosence (1997). Data tentang
paleontologi antara lain diacu dari: Azis (1993), Barstra (1977), Sartono
(1987), Sihombing (1998), dan Sudijono (2005). Penelitian petrologi dan
geokronologi di Mendala Sulawesi Barat juga sudah banyak dilakukan,
dan data yang diacu antara lain dari Carlile dkk. (1997), Priadi dkk. (1994),
Polve dkk. (1997), Subandrio (2006), dan Yuwono (1987). Beberapa data
tentang tektonika dan geofisika yang diacu antara lain dari: Bergman dkk.
(1996), Harahap (1998), Panjaitan dkk (2000), Sukamto (1986).
Pemetaan geologi bersistem selama tahun 1970–1988 di wilayah
Mendal­a Geologi Sulawesi Barat didukung dengan sarana yang kurang
memadai. Peta dasar topografi yang digunakan dalam pemetaan di lapanga­n
kebanyakan kurang teliti, banyak yang tidak sesuai dengan keadaan
lapanga­­­­­­­­n, sebagian garis kontur ketinggian hanya berupa bagan dengan
garis putus-putus. Sarana potret udara hanya setempat-setempat, tidak
merata, dan penentuan tempat hanya menggunakan kompas dan tali ukur.
Sarana angkutan pada waktu itu pun sangat jarang sampai ke daerah-
daerah pelosok. Dengan adanya sarana citra inderaan jauh sejak tahun
2008-an, yaitu Sattelite Radar Technology Mapping (SRTM) yang mempunyai
resolusi sampai 5 m, maka sudah selayaknya kalau pemetaan geologi meng­
gunakan peta dasar citra ini. Dalam buku ini pembahasan geologi Mendala
Sulawesi Barat telah mempertimbangkan hasil penafsiran citra SRTM.
Mendala Geologi Sulawesi Barat secara geologi dicirikan oleh endapan
gunungapi Tersier, dan batuan pluton di bagian tengah dan utaranya. Oleh
sebab itu, maka mendala ini disebut pula sebagai Busur Vulkano-Plutonik
Tersier (Sukamto, 1975b; Sukamto dan Simandjuntak, 1983). Selanjutnya

Batuan Pratersier | 15
mereka menyatakan bahwa busur Vulkano-Plutonik Tersier ini dialasi oleh
batuan malihan dan mélange berumur pra-Kapur Akhir. Batuan sedimen
Kapur Akhir yang dicirikan oleh sedimen bertipe flysch, juga berhimpun
dengan batuan gunungapi. Di bagian barat Lengan Utara Sulawesi dan di
Leher Sulawesi, batuan gunungapi dan batuan terobosan berumur Tersier
tersebar sangat luas.
Batuan gunungapi berumur Paleosen tersingkap di dua daerah sempit
di Biru dan Bantimala, Lengan Selatan Sulawesi. Batuan gunungapi Eosen
Awal–Oligosen Akhir tersingkap agak luas di bagian timur Lengan Selatan
Sulawesi, dan di beberapa tempat di Kepulauan Bonerate. Batuan serupa
yang berumur Oligosen Akhir–Miosen Awal tersingkap lebih luas di
bagian barat Sulawesi Tengah, dan dapat dianggap sekerabat dengan yang
tersingkap di daerah selatannya. Batuan sedimen klastika dan karbonat
paparan yang berumur Paleogen di Lengan Selatan Sulawesi dan Sulawesi
Tengah bagian barat terdapat cukup luas sebarannya. Batuan gunungapi
di Leher Sulawesi dan bagian barat Lengan Utara Sulawesi yang semula
diperkirakan Paleogen (Sukamto, 1973) ternyata batuan ini merupakan
kelanjutan batuan gunungapi Formasi Latimojong (Sukido dkk., 1993)
yang berumur Kapur Akhir (Subbab II.C.1).
Selama Neogen, sepanjang mendala tersebut merupakan busur
­mag­matik yang aktif, tetapi sebelum dan sesudah Neogen mempunyai
perbedaan perkembangan tektonika antara daerah-daerah Lengan Selatan
Sulawesi, Sulawesi Tengah bagian barat, Leher Sulawesi dan Lengan Utara
Sulawesi. Batuan gunungapi berumur Neogen tersebar sangat luas, yang
menandakan adanya kegiatan gunungapi yang kuat selama kala itu. Seumur
dengan batuan gunungapi, batuan epiklastika berselingan dengan batuan
vulkaniklastika dan karbonat berumur Tersier juga terhampar luas.
Kegiatan gunungapi selama Kuarter hanya terjadi di ujung selatan
mendala, beberapa tempat di bagian tengah, dan secara luas di bagian
utara. Di Lengan Utara Sulawesi dan menerus ke Kepulauan Sangihe,
kegiatan gunungapi masih menerus sampai sekarang. Endapan karbonat
paparan terjadi di ujung selatan mendala selama zaman Kuarter.
Himpunan batuan berumur dari akhir Kapur Akhir sampai ­Pliosen
merupakan himpuan batuan tetapasal atau priloka (autochthone) yang
­superposisi serta hubungannya dapat diamati dengan jelas. Sedimen flysch
Formasi Balangbaru yang berumur akhir Kapur Akhir menindih tak-­
selaras Kompleks Melange Bantimala, dan ditindih berturut-turut oleh
batuan vulkanik Formasi Alla, sedimen darat Formasi Malawa, ­karbonat

16 | Geologi Sulawesi
paparan Formasi/Kelompok Tonasa, batuan vulkaniklastika serta
­vulkanik Formasi/Kelompok Camba, dan diakhiri oleh endapan darat
asal longsoran­ serta runtuhan yang berumur Pliosen.
Ada perbedaan struktur yang sangat menyolok antara satuan batuan
pindahan (allochtone) dan satuan batuan priloka. Kalau semua satuan batuan
pindahan di dalam Kompleks Mélange Bantimala bersentuhan satu sama
lain dengan sesar dan bidang gerus yang miring terjal > 450, sebaliknya
semua satuan batuan yang priloka memiliki hubungan stratigrafi yang jelas
dengan struktur perlapisan yang landai < 250. Hubungan antara satuan-
satuan yang pindahan dan yang priloka berupa ketakselarasan bersudut.

B. Batuan pra-Kapur Akhir


Batuan pra-Kapur Akhir di Mendala Sulawesi Barat berupa batuan
­malihan dan batuan tektonit mélange, yang tersingkap di Lengan Selatan
Sulawesi, Sulawesi Tengah, Leher Sulawesi, dan di bagian barat Lengan
Utara ­Sulawesi (Gambar 2.2 dan 2.3). Di wilayah ini satuan batuan yang
kedudukan stratigrafinya masih sangat jelas adalah batuan sedimen tipe
flysch, berumur Kapur Akhir dan Paleogen. Di Lengan Selatan Sulawesi,
batuan pra-Kapur Akhir, sebagai alas batuan sedimen Kapur Akhir, sudah
mengalami proses tektonika sangat kuat. Batuan malihan menjadi bagian
dari kompleks mélange, yang bercampuraduk bersama batuan sedimen,
batuan beku, batuan ultramafik, dan batuan bancuh. Di sini batuan
sedimen tipe flysch berumur Kapur Akhir menindih kompleks mélange,
sedangkan di Sulawesi Tengah bagian barat menindih batuan malihan.
Meskipun tidak lengkap, singkapan batuan malihan dan batuan ultra­
mafik di daerah Barru, sebelah utaranya, dan di daerah Biru, sebelah selatan­
nya, juga diduga sebagai bagian dari suatu kompleks mélange. Batuan
yang diperkirakan juga merupakan alas pra-Kapur Akhir tersingkap pula
di beberapa tempat di Kepulauan Bonerate, sebelah barat Laut Flores.
Kedudukan stratigrafi batuan malihan dan batuan ultramafik tidak mudah
diketahui karena penentuan umur dengan metode radiometri terkendala.
Kendala pada batuan malihan karena sebagian besar mengalami pemalihan
ulang, dan pada batuan ultramafik karena sangat lapuk.

1. Batuan malihan
Batuan malihan di Lengan Selatan Sulawesi tersingkap di daerah-daerah
Barru, Bantimala, dan Biru. Yang di daerah Bantimala tersingkap sebagai

Batuan Pratersier | 17
Gambar 2.2 Sebaran satuan batuan pra-Tersier

18 | Geologi Sulawesi
Gambar 2.3 Korelasi satuan batuan pra-Tersier

Batuan Pratersier | 19
lemping (slabs) dan bodin di dalam kompleks melange; diperkirakan ber­
umur antara 111–164 juta tahun (Sukamto, 1986; dibahas dalam Subbab
II.B.2 dan VII.A). Penelitian lain di daerah Bantimala (Wakita dkk., 1994,
1996) melaporkan bahwa sekisnya berumur antara 114+6–115+6 jt, sekis
mika-garnet berumur 124+6 jt, dan sekis glaukofan-garnet berumur antara
132+7–113+6 jt, ketiganya pada kala Kapur Awal. Batuan malihan di
daerah Biru berupa batutanduk (antofilit, kordierit, epidot, garnet, kuarsa,
feldspar, muskovit, karbonat) yang diduga berumur Paleogen. Batuan ini
merupakan malihan kontak yang dihasilkan oleh terobosan granodiorit
berumur 19+2 jt (van Leeuwen, 1974; Sukamto dan Supriatna, 1982).
Di Sulawesi Tengah, terdapat dua kelompok batuan malihan yang
dibatasi oleh garis-pisah antara Mendala Geologi Sulawesi Barat dan
Mendala Geologi Sulawesi Timur, berupa Sesar Sungkup Poso. Yang di
Mendala Geologi Sulawesi Barat disebut Batuan Malihan Wana, yang
diduga seorogen dengan Pluton Granit Gumbasa (Hadiwidjojo dkk.,
1993; Ratman dan Atmawinata, 1993). Batuannya terdiri atas sekis (mika,
amfibol), genes, kuarsit, filit dan batusabak. Di tepian Pluton Granit
Gumbasa terdapat granit-diorit yang sebagian genesan dan mengandung
xenolit sekis. Batuan malihan ini diduga berumur Trias yang oleh van
Leeuwen dan Muhardjo (2005) disebut sebagai Kompleks Malihan Palu,
yang tersusun oleh sekis dan genes biotit, amfibolit, sekis dan genes
amfibolit. Selanjutnya, van Leeuwen dkk. (2006) melaporkan adanya
granulit dan eklogit, yang mencirikan sebagai batuan malihan berderajat
tinggi. Kompleks malihan ini mengandung metasedimen dan metagranitoid
berumur Permo-Trias. Di tepi utara Cekungan Karama batuan malihan
ini disebut Kompleks Malihan Karossa, yang tersusun oleh metabasit dan
metapelit. Batuan malihan yang di Mendala Timur dinamakan Kompleks
Malihan Pompangeo oleh Simandjuntak dkk. (1991, 1997), yang tersusun
oleh sekis (mika, garnet, serisit, muskovit, klorit, glaukofan, pumpeliit,
amfibol), genes, kuarsit, filit, serpentinit, batusabak, pualam, dan breksi,
bersisipan grafit. Parkinson (1998) melaporkan bahwa umur sekis di
kompleks malihan ini 111 jt (akhir Kapur Awal).
Di Lengan Utara Sulawesi, batuan malihan hanya tersingkap di bagian
barat saja, dan menerus ke daerah Leher Sulawesi. Batuan malihan di
daerah itu tersusun oleh sekis (biotit, kuarsa, felspar, garnet, epidot, klorit,
talkum), genes (mika, garnet, felspar), sekis hijau (amfibol, epidot), dan
pualam, dengan terobosan retas dan stok andesit, diorit, granodiorit, dan
sienit (Sukamto dkk, 1973; Ratman, 1976). Berdasarkan satuan batuan

20 | Geologi Sulawesi
sedimen yang menindihnya, batuan malihan ini diduga berumur pra-Kapur
Akhir, sedangkan Brouwer (1947) menduga Paleozoikum. Batuan malihan
yang tersingkap di bagian selatan daerah Tolitoli dinamakan Kompleks
Malihan Malino, tersusun oleh sekis mika dan genes (kuarsa-felspar)
yang diterobos oleh granitoid meta berumur antara 358+20–320+4 jt
(Devon-Karbon Awal) (van Leeuwen dkk., 2006). Batuan malihan yang
terdiri atas sekis dan genes, dan berselingan dengan sekis hijau, amfibolit,
pualam, dan kuarsit ini, diduga berasal dari batuan sedimen turbidit dan
granitoit. Sekis hijau di tepi Kompleks Malihan Malino diduga berasal
dari batuan Paleogen di sekitarnya, yang termalihkan terutama selama
Miosen Awal–Miosen Tengah (23,1–11,3 jt), dan terakhir pada 7 jt atau
Miosen Akhir (van Leeuwen dkk., 2006). Diduga kompleks batuan malihan
ini awalnya berupa mintakat benua yang melambung ke Sulawesi pada
Mesozoikum, dan menjadi batuan dasar yang muncul sebagai kompleks
inti pada Miosen. Batuan malihan berderajat rendah juga ditemukan
pada batuan Paleogen di daerah Leher Sulawesi, seperti filit dari Formasi
Tinombo di sebelah timur Teluk Donggala yang berumur 44,1–44,8 jt
(Eosen Tengah) (van Leuwen dan Muhardjo, 2005).

2. Kompleks tektonika Lengan Selatan Sulawesi


Penelitian rinci di daerah Bantimala, Lengan Selatan Sulawesi, menunjuk-
kan bahwa runtunan batuan pra-Tersier yang masih jelas kedudukan
stratigrafinya adalah yang berumur Kapur Akhir. Kelompok-kelompok
batuan malihan, batuan sedimen, batuan beku, batuan ultramafik, dan
batuan gunungapi, semuanya berumur lebih tua dari Kapur Akhir, telah
tercampuraduk dan tersirapkan secara tektonika menjadi suatu kompleks
mélange (Gambar 2.4, 2.5, dan 2.6). Kompleks tektonika itu dari utara ke
selatan berturut-turut tersingkap di daerah-daerah Barru, Bantimala, Biru,
dan di Kepulauan Bonerate. Dari keempat daerah singkapan kompleks
tektonika itu, yang telah dilakukan pemetaan secara rinci adalah yang di
Bantimala (Sukamto, 1986), yang kemudian dinamai Kompleks Melange
Bantimala. Kompleks mélange ini tersusun oleh lemping batuan malihan,
batuan sedimen, batuan gungapi, dan batuan ultramafik, yang tersirapkan
(imbricated) miring terjal (>45°) ke arah timur laut. Sentuhan setiap lemping
dengan lemping yang lain berupa sesar dan bidang gerusan. Di antara
lemping-lemping terdapat pula bancuh (chaotic rocks), dengan bongkah
atau bodin batuan sejenis yang membentuk lemping, dalam masa dasar
lempung bersisik. Secara keseluruhan, kompleks mélange ini tertindih

Batuan Pratersier | 21
takselaras oleh batuan sedimen Kapur Akhir, yang lapisannya miring
monoklin < 250 ke arah timur laut.

Sumber: Rab Sukamto


Gambar 2.4 Bentang alam Kompleks Melange Bantimala (1). Warna coklat depan
adalah Kompleks Melange Bantimala; (2). Daerah berbukit warna hijau tengah
adalam Formasi Balangbaru; (3). Tebing tegak warna hijau tengah adalah Formasi
Tonasa, dan (4). Pegunungan warna hijau di atas adalah Formasi Camba

a. Lemping (slabs) batuan malihan dalam kompleks melange


Batuan malihan tersingkap luas di daerah Barru Bantimala, yang sebagian
besar terdiri atas sekis (amfibol, kuarsa, K-felspar, mika, glaukofan, garnet,
epidot, klorit, serisit, zoisit, kalsit, magnetit) dan sedikit genes; di dalam
sekis ditemukan barik grafit (Sukamto, 1982). Penelitian rinci menunjukkan
bahwa batuan malihan di daerah Bantimala berupa lemping dan bong-
kah dalam suatu kompleks tektonika yang dinamai Kompleks Melange
­Banti­mala­ (Sukamto, 1986). Batuan malihan di sini dapat dipetakan dalam
sekala 1:25.000 dan Sukamto (1986) menyebutnya sebagai Satuan batuan
Metamorfit Bontorio, membentuk beberapa lemping berukuran beraneka
(terbesar 1,85 km x 22 km). Bongkahan batuan malihan yang tak dapat
dipetakan terdapat pula dalam bancuh, bercampur dengan maca-macam
batuan lain dengan masa dasar lempung bersisik.

22 | Geologi Sulawesi
Satuan batuan Metamorfik Bontorio (disebut juga Metamorfit
Bontorio)­, adalah hasil pemalihan timbunan (burial metamorphism) dari
seruntun batuan sedimen, yang masih memperlihatkan struktur asal-
nya berupa tinggalan (relic) perlapisan, konglomerat dan breksi (Suka-
mto, 1982). Selanjutnya, dia berpendapat bahwa himpunan mineral yang
dikandung­nya menunjukkan adanya pemalihan ulang dari derajat tinggi-
sedang pada fasies amfibolit menjadi derajat rendah pada fasies sekis hijau.
Data radiometri yang diambil dari percontoh sekis dari Breksi Sekis, yang
mengalasi rijang radiolaria, menunjukkan umur 111 jt (akhir Kapur Awal:
Parkinson, 1998), dan satu percontoh genes dari komponen konglomerat
pada Formasi Balangbaru berumur 164+22 jt (Jura Tengah: van Leuwen,
1981). Konglomerat dari batuan sedimen Jura Awal–Jura Tengah (sebagai
lemping dalam kompleks melange) juga mengandung rombakan batuan
malihan serupa dengan batuan malihan dari Metamorfit Bontorio. Dari
ketiga data itu, maka disimpulkan bahwa pemalihan awal terjadi setidaknya
pada Trias, dan diduga terjadi di lajur orogen tepi kerak benua yang
berkembang menjadi lajur tunjaman.

b. Batuan sedimen dalam kompleks melange


Batuan sedimen yang merupakan bagian dari Kompleks Melange
Bantimala­ adalah Batupasir Paremba, Breksi Sekis, dan Rijang Paring
(Sukamto, 1986). Ketiga macam satuan batuan yang dapat dipetakan
sebagai lemping itu, juga terdapat sebagai bongkah atau bodin dalam
bancuh bermasa-dasar lempung bersisik.
Batupasir Paremba (Gambar 2.7) berupa lemping memanjang searah
dengan struktur dalam Kompleks Melange Bantimala, sepanjang ± 9,5
km dengan tebal tidak kurang dari 300 m. Batuannya terdiri atas batu-
pasir berselingan dengan batulanau, bersisipan batulempung, breksi serta
konglomerat aneka-bahan (polymict) dan batugamping. Sebagian batuannya
terbreksikan serta tergeruskan, dan sebagian termalihkan lemah. Di suatu
tempat terdapat singkapan sentuhan pengendapan breksi aneka-bahan dari
Batupasir Paremba dengan Metamorfit Bontorio. Komponen breksi dan
konglomerat terutama terdiri atas sekis, kuarsa, batupasir dan batuan beku.
Ini menunjukkan bahwa batuan asal Batupasir Paremba antara lain adalah
batuan malihan yang mungkin berasal dari Metamorfit Bontorio. Fosil
moluska yang ditemukan di dalam batupasir dan batulanau dikenali sebagai
cephalopoda, gastropoda dan brachiopoda; antara lain Fuciniceras yang
menunjukkan umur Jura Awal–Jura Tengah, dalam lingkungan cekungan
depan daratan.

Batuan Pratersier | 23
24 |
Geologi Sulawesi
Gambar 2.5 Peta geologi daerah Kompleks Melange Bantimala
Batuan Pratersier |
Gambar 2.6 Keterangan peta geologi pada Gambar 2.5

25
Sumber: Rab Sukamto
Gambar 2.7 Batupasir Paremba berumur Jura yang terlipat sangat kuat di Kompleks
Melange Bantimala

Breksi Sekis mencapai ketebalan ± 340 m, sebagian merupakan alas


dari Rijang Paring, setebal antara 8–9 m, dan bersamanya mem­bentuk
lemping dalam kompleks melange. Breksi Sekis berupa breksi yang
­sebagian besar komponennya terdiri atas sekis dan genes. Secara kasatmata
komponen breksi terdiri atas sekis klorit, sekis mika, sekis amfibol, genes
dan kuarsit. Setempat mengandung komponen basal dan batupasir wake
yang terubah kuat. Sentuhan dengan Rijang Paring berupa sentuhan
pengendapan, dan dengan satuan batuan lain berupa sesar atau bidang
gerusan. Lapisan-lapisan tipis breksi dan batupasir sekis, setebal antara 1–2
m, juga ditemukan sebagai sisipan dalam Rijang Paring. Breksi Sekis juga
ditemukan di dalam Bancuh Pangkajene (Subbab II.B.2.d) sebagai bodin
dengan lebar singkapan antara 1–50 m. Umur Breksi Sekis diperkirakan
sama atau sedikit lebih tua dari Rijang Paring, yang berdasarkan fosil
­radiolaria berumur Jura Akhir–Kapur Awal. Breksi Sekis yang komponen-
nya takterpilah dan tersusun terutama oleh campuran bongkah, kerakal
dan kerikil, dengan masadasar batupasir serta sedikit batulempung ini bisa
jadi terbentuk oleh aliran rombakan (debris flow) di laut dalam bersama
dengan pengendapan rijang radiolarian (Sukamto, 1986).

26 | Geologi Sulawesi
Rijang Paring (Gambar 2.8) terdiri atas rijang berlapis bagus dengan
perlapisan kebanyakkan antara 1–20 cm, ada yang mencapai 40 cm,
dan mengandung banyak fosil radiolaria. Di dalamnya terdapat sisipan
batulempung, batupasir sekis, dan breksi sekis. Sebagian lapisan rijang
mengan­dung pecahan sekis sampai 20 cm. Termasuk satuan ini adalah
batu­lempung yang sebagian rijangan, dan berselingan dengan batupasir
wake. Perlapisannya sebagian bergelombang, sebagian terlipat kuat, dan
sebagian terbreksikan. Di suatu tempat terdapat sentuhan pengendapan
lapisan rijang di atas breksi sekis. Di dalam Kompleks Melange Bantimala,
satuan Rijang Paring ini berupa lemping sepanjang ± 7 km, dengan tebal
± 290 m. Kandungan fosil radiolaria yang antara lain Pseudodictyomitra,
Xitus, Zifondium, dan Archaedictyomitra menunjukkan umur Jura Akhir–
Kapur Awal (160–97 jt: Harahap, 2000). Rijang radiolaria berlapis bagus
seperti itu ditafsirkan terjadi di dalam suasana air tenang di laut dalam.

Sumber: Imtihanah
Gambar 2.8 Rijang Paring berlapis bagus, beralaskan dan bersisipan breksi sekis.

c. Batuan gunungapi dalam kompleks melange


Batuan gunungapi dalam kompleks melange yang dapat dipetakan dinamai
Basal Dengengdengeng (Sukamto, 1985). Satuan batuan ini berupa
lemping-lemping memanjang searah dengan struktur di dalam kompleks­
mélange, mempunyai tebal tidak kurang dari 300 m dan panjang singkapan­
mencapai­ ± 3,5 km. Batuannya terdiri atas basal yang kebanyakan ter­
breksikan sangat kuat, dan sebagian tergerus dan terubah menjadi batuan

Batuan Pratersier | 27
kaya epidot. Bagian tertentu mengandung urat kuarsa dan retas basal
porfir. Sentuhan dengan batuan di sekitarnya berupa sesar atau bidang
gerusan. Basal bantal yang ditemukan di beberapa tempat s­ecara terpisah
mungkin merupakan bagian dari Basal Dengeng-dengeng. ­Bongkahan
­batuan basal serupa juga ditemukan di dalam Breksi Sekis dan ­Bancuh
Pangkajene, yang mungkin berasal dari Basal Dengeng-dengeng.
Diperkirakan­ satuan basal ini terjadi setidaknya pada zaman Jura Tengah
di daerah tepi kerak benua yang mempunyai kompleks batuan malihan.

d. Bancuh (chaotic rocks) dalam kompleks melange


Batuan campur-aduk yang terdiri atas bongkah dan bodin berbagai macam
batuan yang membentuk lemping-lemping, dengan masa-dasar lempung
bersisik disebut Bancuh Pangkajene (Sukamto, 1985). Bongkah dan bodin
berbagai macam batuan di dalamnya tak dapat dipetakan sendiri-sendiri
dalam sekala 1:25.000. Bancuh itu tersusun oleh berbagai jenis batuan yang
berbeda cara terjadinya, berdampingan satu sama lain dengan sentuhan
tergerus, dan bermasa-dasar lempung bersisik. Bermacam bongkah dan
bodin itu antara lain adalah sekis, breksi sekis, granit, diorit, basal, batuan
ultramafik, rijang, batupasir rijangan, batugamping, batulanau, batupasir
wake, dan konglomerat serta breksi aneka-bahan, dengan masadasar
berupa batulempung atau lempung bersisik. Banyak di antara bongkah-
bongkah itu yang berbentuk memanjang dan berstruktur bodin, terutama
yang terkurung oleh lempung bersisik. Sebagai contoh, bancuh yang ter­
singkap di S. Pangkajene dan di simpangan S. Pangkajene–S. Cempaga–­S.
Pateteyang. Bancuh ini memperlihatkan perselingan berbagai jenis batuan
yang terdiri atas sekis selebar antara 10–55 m, breksi sekis antara 8–80 m,
granit antara 3–80 m, diorit antara 1–28 m, basal antara 4–180 m, serpen-
tinit antara 3–45 m, rijang antara 6–80 m, batupasir rijangan antara 75–140
m, batupasir wake antara 11–400 m, konglomerat aneka-bahan antara 1–6
m, breksi aneka-bahan antara 30–70 m, batupasir-batulanau antara 1–20
m, dan batulempung bersisik berbodin kecil antara 2–500 m. Breksi dan
konglomerat aneka-bahan berkomponen sekis, kuarsa, marmer, batuan
ultramafik, batupasir, batuan beku (basal, andesit, diorit, granodiorit, dan
granit) dan rijang. Di antara sejumlah singkapan bancuh ada yang tebalnya
tidak kurang dari 900 m. Fosil moluska dan foraminifera dalam komponen
batupasir gampingan dari breksi aneka-bahan menunjukkan umur Kapur
Tengah. Bodin diorit kuarsa terubah kuat menunjukkan umur radiometri
79,6–45,9 jt (pertengahan Kapur Akhir–Eosen). Berdasarkan pada kedua

28 | Geologi Sulawesi
umur batuan dari komponen mélange (bancuh) itu dan umur Formasi
Balangbaru, diperkirakan mélange terjadi pada akhir Kapur Akhir (van
Leuwen, 1981).

e. Batuan ultramafik dalam kompleks melange


Batuan ultramafik di Lengan Selatan Sulawesi (Batuan Ultramafik Kayubiti:­
Sukamto, 1985) atau disebut juga Ultramafit Kayubiti, tersingkap di dae-
rah Barru, Bantimala, dan di Kepulauan Bonerate. Di daerah Barru,
batuan ultra­mafik berkontak sesar dengan batuan malihan, tertindih tak
selaras oleh sedimen flysch Kapur Akhir dan diterobos oleh diorit yang
diduga berumur Paleosen. Seperti batuan lain dalam kompleks mélange,
batuan ultramafik di sini juga berupa lemping dan bongkah. Lempingnya
bermacam ukuran, yang terbesar 1,2 km x 9,3 km. Ultramafit Kayu-
biti ini sebagian pejal dan sebagian berlapis, kebanyakan terbreksikan
dan terserpen­tinkan sangat kuat. Kuatnya serpentinisasi pada mineral-
mineral olivin dan piroksen hanya dapat diketahui bahwa batuan itu
adalah kelompok peridotit, dan tidak dapat ditentukan jenisnya (harzburgit,
lherzolit, wehrlit, atau websterit). Serpentinit yang banyak ditemukan,
diduga sebagian berasal dari piroksenit. Mineral kromit ditemukan di sana-
sini sebagai buncak dalam batuan ultramafik berlapis. Batuan ultramafik,
yang membentuk kompleks mélange bersama dengan batuan sedimen
Yura Awal–Jura Tengah dan batuan malihan Trias di daerah ini, diduga
setidaknya berumur Trias.
Batuan ultramafik juga ditemukan di ujung selatan Mendala ­Geologi
Sulawesi Barat, yaitu di Kepulauan Bonerate. Di daerah ini batuan
­ultramafik tersingkap di P. Tambolongan, P. Pulasi, P. Kalao, dan di P.
Madu, terdiri atas piroksenit, gabro, dan basal. Satuan batuan ini diterobos
oleh granit-monzonit dengan retas-retas diorit, diabas, dan andesit, yang
diduga berumur Eosen-Oligasen, dan tertindih takselaras oleh batuan
karbonat, batuan gunung api, dan batuan sedimen berumur Paleogen
(Koswara dkk., 1994).

C. Batuan Kapur Akhir


1. Batuan gunungapi Kapur Akhir
Batuan sedimen tipe flysch dan batuan gunungapi bawah laut yang
ter­hampa­r di daerah Palu, semula dinamakan Formasi Tinombo,
dan ­ber­umur Eosen (Sukamto, 1973). Formasi batuan ini tersebar di

Batuan Pratersier | 29
­ egunungan Lampopana (sebelah barat lajur Sesar Palu-Koro) dan
P
di sekitar Gunung (G.) Balia (sebelah timur lajur Sesar Palu-Koro).
Pada penelitian selanjutnya (Suminto, 1994; Hall dan Wilson, 2000;
van ­Leuwen dan Muhardjo, 2005), batuan sedimen flysch dan batuan
g­unungapi di Pegunungan Lampopana dapat dikorelasikan dengan batuan
serupa dari Formasi Latimojong yang berumur Kapur Akhir di Lembar
Pasangkay­u (Sukido dkk., 1993), di selatannya (Lengan Selatan bagian
tengah). Berdasar­kan hasil penafsiran citra SRTM, batuan gunungapi di
P­egunungan Lampopana, yaitu di G. Gawalis dan di sekitar Donggala,
dapat digambarkan sebarannya dan mempunyai rona yang berbeda dengan
batuan gunungapi yang ada di G. Balia (Formasi Tinombo berumur
Eosen). Dengan demikian, batuan sedimen flysch dan batuan gunungapi
bawah laut di Pegunungan Lampopana, termasuk batuan gunungapi di G.
Gawalis dan di sekitar Donggala, diduga kuat sebagai kelanjutan Formasi
Latimojong berumur Kapur Akhir. Batuan gunungapi tersebut terdiri atas
diabas, spilit, dan andesit.
Batuan sedimen flysch dan batuan gunungapi bawah laut berumur
Kapur Akhir di Lengan Selatan Sulawesi terhampar mulai dari selatan ke
utara dan berturut-turut dinamakan sebagai Formasi Marada, ­Formasi
Balangbaru dan Formasi Latimojong. Hasibuan dan Limbong (2009)
melaporkan bahwa sedimen flysch ini diduga menerus sampai ke daerah
Donggala.

2. Batuan sedimen tipe flysch Kapur Akhir


Batuan berumur Kapur Akhir di sepanjang Mendala Geologi Sulawesi
Barat, dari selatan ke utara, tersingkap di beberapa tempat di Lengan Selatan
Sulawesi, dan di Sulawesi Tengah bagian barat. Di Lengan Selatan Sulawesi
satuan batuan itu dinamakan Formasi Marada dan Formasi Balang­baru, dan
di Sulawesi Tengah disebut Formasi Latimojong. ­Batuan ini mempunyai
ciri umum sebagai sedimen laut dalam bertipe flysch (Gambar­ 2.9), yang
sepengendapan dengan batuan gunungapi bawah laut yang berciri spilitik.
Dari selatan ke utara, formasi batuan ini memper­lihatkan perubahan baik
komposisi maupun jangka waktu pengendapannya.
Di Kepulauan Bonerate, ujung selatan mendala, batuan pra-Kapur
Akhir tertindih langsung oleh batuan berumur Paleogen Akhir (Koswara
dkk., 1994). Ke daerah sebelah utaranya, satuan batuan ini tersingkap
di daerah Biru, dan disebut sebagai Formasi Marada (van Leeuwen,
1981; Sukamto dan Supriatna, 1982). Satuan ini tersusun oleh perselingan

30 | Geologi Sulawesi
Sumber: Rab Sukamto
Gambar 2.9 Batuan sedimen bertipe flysch; batupasir Formasi Balangbaru,
Kapur Akhir, miring landai menindih Kompleks Melange Bantimala.

batupasir (wake, arkosa), batulanau, batulempung, serpih dan batusabak


(tipe flysch), dengan variasi sisipan konglomerat aneka-bahan, breksi aneka-
bahan, batugamping, rijang, tufa dan lava (basalan, andesitan, trakitan).
Batuan sedimen, yang tebalnya mencapai 1.000 meter ini, berbatasan
secara sesar dengan batuan malihan kontak dan tertindih takselaras oleh
Batuan Vulkanik Pamusurang dan batuan sedimen Formasi Walanae (van
Leeuwen, 1981). Penelitian paleontologi dan stratigrafi (Hasibuan dan
­Limbong, 2009) di sedimen Formasi Marada ini menunjukkan bahwa
material klastiknya bersumber dari batuan bekuan asam, batuan malihan
dan batuan gunungapi; diendapkan dalam lingkungan berfasies turbidit;
mengandung fosil nano yang antara lain Ceratolithoides, Lithraphidites,
­Lucianorhabdus dan Micula, berumur Kapur Akhir atau Maastrichtian Akhir
(Hasibuan dan Limbong, 2009).
Ke arah utara, di daerah Bantimala, batuan sedimen Kapur Akhir
­ter­singkap sangat bagus. Di daerah ini, batuan sedimen bertipe flysch
d­isebut sebagai Formasi Balangbaru (Sukamto, 1982), yang berketebalan­
tidak kurang dari 3.500 m, menindih takselaras Kompleks Melange
­Bantimala. Formasi batuan ini berpelapisan monoklin miring landai kurang

Batuan Pratersier | 31
dari 25 derajat ke arah timur laut, dan tertindih batuan berumur Paleogen
(Batuan Gunungapi Formasi Alla, batuan sedimen Formasi Malawa),
yang juga miring landai ke arah timur laut. Struktur pelapisan batuan
sedimen ini sangat menyolok bedanya dengan struktur Kompleks Melange
Bantimala yang ditindihnya dengan struktur miring terjal lebih dari 45o
juga miring ke arah timur laut. Dalam pemetaan secara rinci diketahui
kejelasan runtunan stratigrafi dan hubungannya dengan satuan lain serta
diketahuinya umur Formasi Balangbaru memungkinkan formasi batuan ini
dipakai sebagai formasi kunci dalam menyusun stratigrafi daerah Bantimala
khususnya dan daerah Lengan Selatan Sulawesi pada umumnya (Sukamto,
1986). Penelitian yang lebih khusus lagi tentang sedimentologi Formasi
Balangbaru juga telah dilakukan oleh Hasan (1991). Hasilnya, secara
umum, disajikan pada uraian berikut.
Batuan sedimen Formasi Balangbaru mempunyai perlapisan sangat
baik dan struktur sedimen turbidit di sana-sini, tersusun oleh perseli­
ngan batupasir-batulanau-batulempung (tipe flysch; Gambar 2.9) dengan
sisipan breksi, konglomerat, dan lava. Formasi ini mengandung lebih
banyak batulempung di bagian tengah, tetapi di bagian bawah dan atasnya
lebih banyak mengandung batupasir; bersisipan breksi aneka-bahan di
bagian bawah, lava basal di bagian bawah dan tengah, dan konglomerat
aneka-b­ahan di bagian atas. Sangat sedikit batuan yang gampingan dan
miskin akan fosil yang dapat dikenali di lapangan. Pada umumnya batuan-
nya sa­ngat kompak, sebagian telah menjadi sabakan, dan yang dekat
dengan Kompleks Melange Bantimala terbreksikan, sebagian tergerus,
me­­­­ngan­dung­­­ barik (veinlet) kalsit. Bagian bawahnya, yang bersentuhan
dengan Kompleks Mélange Bantimala, mengandung rombakan batuan
yang berasal dari kompleks mélange, membentuk lapisan atau sisipan
breksi aneka-bahan. Lapisan breksi aneka-bahan ini berkomponen sekis,
genes, kuarsit, granit, diorit, dasit, batuan ultramafik, rijang, konglomerat,
batupasir dan batu­lempung, dengan masadasar batupasir wake sebagian
gampingan. Bagian bawah Formasi Balangbaru ini, yang dinamai Anggota
Unyi, diterobos­ oleh diorit. Bagian atas Formasi Balangbaru yang diciri-
kan oleh sisipan konglomerat aneka-bahan dinamai Anggota Timpalaja.
­Berbeda dengan lapisan konglomerat aneka-bahan dibagian bawah, lapisan
konglomerat aneka-bahan di bagian atas ini mengandung komponen
basal, gabro, dasit, diorit, granit, batupasir, batulanau, batugamping, dan
kuarsa; sedikit sekis, batuan ultramafik dan rijang; dengan masadasar
batupasir wake. Secara keseluruhan tebal Formasi Balangbaru tidak kurang

32 | Geologi Sulawesi
dari 3.500 m, bagian bawahnya (Anggota Unyi) setebal ± 500 m, bagian
tengahnya setebal ± 2.000 m, dan bagian atasnya (Anggota Timpalaja)
setebal ± 1.000 m.
Analisis paleontologi yang telah dilakukan pada beberapa contoh
dari sebelah timur Kampung Bantimala, menunjukkan adanya ­fosil
­Globotruncana dan Heterohelix yang berumur Kapur Akhir bagian atas.
­Ciri-ciri­­ himpunan batuan Formasi Balangbaru menunjukkan bahwa asal
batuannya dari kompleks mélange, dari denudasi suatu daratan, dan dari
busur magma, baik yang masih aktif maupun yang sudah tererosi. Secara
­keseluruhan Formasi Balangbaru dengan ciri-ciri asal batuan seperti itu,
dan struktur umum berupa turbidit dapat ditafsirkan sebagai endapan
cekungan depan-busur pada suatu sistem busur-palung Kapur Akhir
bagian atas.
Penelitian rinci sedimentologi Formasi Balangbaru telah menghasilkan
pengetahuan tentang proses dan lingkungan pengendapannya (Hasan,
1990). Ciri runtunan sedimentasinya menunjukkan pengendapan sedimen
aliran gayaberat (sediment gravity flows), dalam lingkungan kipas bawahlaut
dari batial bawah hingga abisal. Berdasarkan ciri sedimentologi, Formasi
Balangbaru dibagi menjadi tiga anggota, yaitu bagian bawah jadi ­Anggota
Allub yang bersumber dari kompleks bumbunan melange (Anggota Unyi,
Sukamto 1986), bagian tengah jadi Anggota Panggalungan yang berciri
turbidit distal, dan bagian atas jadi Anggota Bua yang berciri turbidit
proksimal­ yang bersumber dari busur vulkanik (Anggota Timpalaja,
Sukamto­, 1986). Tinggalan arus aliran pengendapan yang teramati menun-
jukkan arah kebanyakan dari baratlaut dan barat, dan sedikit dari timur
laut. Morfologi cekungannya terjal di sayap baratlaut.
Batuan sedimen flysch mirip dengan Formasi Balangbaru tersingkap
lagi di daerah Barru, sebelah utara daerah Bantimala. Di daerah ini,
batuan sedimen flysch menindih takselaras batuan malihan dan batuan
ultramafik yang diterobos oleh batuan diorit. Batuannya juga tersusun oleh
perselingan batupasir, batulanau, batulempung dan serpih, seperti bagian
tengah Formasi Balangbaru.
Batuan Kapur Akhir di Sulawesi Tengah bagian barat dipetakan s­eba­
g­ai­ Formasi Latimojong, tersebar di daerah Pegunungan Latimojong dan
di sebelah utara Bulu Kambuno, berkontak sesar dengan batuan pluton
granit dan batuan gunungapi Formasi Lamasi, dan ditindih takselaras
oleh Formasi Toraja (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Simandjuktak dkk.,

Batuan Pratersier | 33
1991; Ratman dan Atmawinata, 1993). Batuannya terdiri dari perselingan
batupasir, batulanau, dan batulempung (tipe flysch), bersisipan batu­
lempung gampingan, batugamping, wake, rijang, konglomerat, dan breksi;
sebagian termalih lemah jadi batusabak, serpih, filit, marmer, kuarsit; dan
­di­terobos oleh batuan bekuan menengah-basa. Batuannya termalih lemah
jadi ­serpih, batusabak, filit, kuarsit, dan pualam; diterobos oleh batuan
bersifat andesitan-basalan. Formasi ini tersingkap luas di Pegunungan
Latimojong yang dipakai sebagai nama formasi dalam sekala regional.
Satuan batuan serupa juga tersingkap luas di daerah Mamuju (Ratman dan
Atmawinata, 1993), dan di daerah Pasangkayu (Hadiwijoyo dkk., 1993).
Batuan tipe flysch semacam ini sangat jarang ditemukan fosil di dalamnya,
tetapi bagian yang semula dipetakan sebagai Formasi Maroro (Brouwer,
1947), pernah dilaporkan adanya fosil berumur Kapur (Brouwer, 1934;
Reyzer, 1920). Meskipun sangat jarang mengandung fosil, dalam Formasi
Latimojong di daerah Mamuju ditemukan batulempung gampingan yang
mengandung fosil Globotruncana yang berumur Kapur Akhir (Ratman
dan Atmawinata, 1993). Satuan batuan ini beralaskan batuan malihan
yang diduga berumur Paleozoikum Akhir (Brouwer, 1947), dan ditindih
takselaras batuan ­sedimen terestrial Formasi Toraja yang berumur Eosen
Tengah–Oligosen, dan batuan vulkanik berumur Eosen–Oligosen (Djuri
dan Sudjatmiko, 1974). Analisis radiometri pada batuan malihan dari
Pegunungan Latimojong menunjukkan umur antara 114–128 jt atau Kapur
Awal (Helmers dkk., 1990; Bergman dkk., 1996).
Formasi Latimojong di daerah Cekungan Lariang dan Karama
­mempunyai tebal paling sedikit 1.000 m. Penelitian stratigrafi di daerah
ini sudah lebih rinci dalam rangka eksplorasi minyak dan gas bumi. Fosil
nano dan foraminifera yang dikandungnya menunjukkan umur Campanian
Akhir–Maastrichtian (Chamberlain dan Seago, 1995). Formasi Latimojong
di daerah ini mengandung mineral rombakan zirkon di dalam lapisan
grewake, menindih takselaras Kompleks Malihan Karossa, dan tertindih
takselaras Formasi Budungbudung (Calvert dan Hall, 2003). Pentarikhan
radiometri U/Pb pada mineral zirkon menunjukkan beberapa umur yang
berkisar dari 78 jt (Kapur Akhir) sampai 2.600 jt (pra-Kambrium), dengan
beberapa puncaknya pada 80–120 jt (Kapur), 270 jt (Perem), 500–620 jt
(Kambrium-Proterozoikum), 650 jt (Proterozoikum Akhir), dan 1.100 jt
(Proterozoikum Tengah).
Mengingat sebaran batuan Formasi Latimojong sangat luas, maka
s­udah seharusnya ditingkatkan peringkatnya menjadi Kelompok

34 | Geologi Sulawesi
­ ati­mojong. ­Penelitian lebih lanjut di daerah Pegunungan Latimojong
L
­memunculkan wacana baru tentang peringkat formasi itu. Satuan batuan
sedimen yang semula berperingkat formasi itu, karena belum diketahui
alasnya dan sebagian telah termalihkan, maka diusulkan menjadi Kompleks
Latimojong (Barber dan Simandjuntak, 1995; Harahap, 1998). Adanya
­batusabak mengan­dung kordierit dan kiastolit, dan adanya sekis biotit-kuarsa
serta sekis horenblenda di dalamnya diduga sebagai akibat dari pemalihan
kontak terobosan granit; sedangkan adanya pelipatan dan ­penyesaran yang
tejadi beberapa kali diduga sebagai penyebab pemalihan dinamika di daerah
ini (Wahyono dkk., 1996). Batuan sedimen serupa, yaitu­ bertipe flysch, di
daerah Leher Sulawesi dan Lengan Utara Sulawesi yang semula diperkirakan
sebagian berumur Kapur, dalam penelitian s­elanjutnya disimpulkan bahwa
batuan sedimen itu termasuk dalam runtunan­ batuan berumur Paleogen
(dibahas dalam Bab III, Batuan Paleogen).
Satuan batuan sedimen bertipe flysch tersebut merupakan satuan
kunci stratigrafi yang jelas umur dan superposisinya sebagai batuan alas
satuan-satuan berumur Tersier. Satuan ini menunjukkan umur Kapur
Akhir berdasarkan fosil antara lain fosil Globotruncana. Satuan batuan ini
di daerah selatan menindih takselaras kompleks melange, dan di daerah
tengah dan utara diduga berhubungan takselaras menindih batuan malihan
yang diperkirakan berumur Trias.

D. BATUAN DI SULAWESI TENGAH BAGIAN TIMUR


Sesar sungkup yang membentang hampir utara-selatan, di daerah ­antara
Gunung Kambuno di barat dan Danau Poso di timur menjadi batas
Mendala Geologi Sulawesi Barat dan Mendala Sulawesi Timur. Sesar
ini dinamai Sesar Sungkup Poso, terjadi sebelum pengendapan Formasi
Puna dan batuan karbonat Formasi Poso yang keduanya berumur Miosen
Akhir–Pliosen (Simandjuntak dkk., 1991b), dan diperkirakan terjadi pada
Miosen Tengah. Tepi barat Mendala Geologi Sulawesi Timur di Sulawesi
Tengah bagian timur ini disitir geologinya untuk memberikan gambaran
perbedaan antara mendala barat dan mendala timur. Batuan di daerah ini
dipetakan sebagai Batuan Malihan Kompleks Pompangeo, yang dapat
dipilah menjadi batuan malihan terutama sekis, batuan malihan terutama
genes, dan batuan malihan terutama karbonat (marmer). Selain itu, di
daerah ini juga tersingkap batuan ultramafik sebagai bagian dari Lajur
Ofiolit Sulawesi, dan batuan karbonat Kapur Akhir yang dipetakan sebagai

Batuan Pratersier | 35
Formasi Matano (Simandjuntak dkk., 1991a). Sebagian dari batuan Malihan
Kompleks Pompangeo, terimbrikasi bersama dengan batuan ultramafik
Lajur Ofiolit Sulawesi, dan batuan karbonat Formasi Matano. Batuan
sedimen klastika Formasi Bonebone, Formasi Puna dan batuan karbonat
Formasi Poso, yang ketiganya berumur Miosen Akhir–Pliosen, menindih
takselaras ketiga macam batuan itu.
Batuan Malihan Kompleks Pompangeo tersusun oleh sekis, grafit,
batusabak, genes, serpentinit, kuarsit, batugamping malih, dan setempat
breksi. Batuan yang terutama tersusun oleh sekis terdiri atas sekis mika,
sekis mika-yakut, sekis serisit, sekis muskovit, sekis klorit-serisit, sekis
hijau, sekis glokofan, sekis pumpeliit, dan sekis yakut-amfibolit. Batuan
yang terutama tersusun oleh genes terdiri atas genes albit-muskovit, genes
kuarsa-biotit, dan genes epidot-muskovit-plagioklas. Batuan malihan
karbonat terdiri atas pualam dan batugamping terdaunkan, yang diduga
berasal dari sedimen pelagos laut dalam berumur lebih tua dari Kapur.
Formasi Matano terdiri atas batugamping hablur, kalsilutit, argilit, dan
serpih, bersisipan rijang dan batusabak; mengandung fosil Heterophelix dan
radiolaria berumur Kapur Akhir. Batuan ultramafik terdiri atas harzburgit,
lherzolit, websterit, werlit, dunit, gabro, serpentinit, dan diabas.

36 | Geologi Sulawesi
Bab III
Batuan Paleogen
 Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman

Satuan-satuan stratigrafi Paleogen yang memiliki kesamaan atau


kemiripan himpunan batuan dan umurnya dapat dikelompokkan menjadi:
Batuan Gunungapi Paleogen, Batuan Vulkaniklastika, dan Epiklastika­
P­aleogen, Batuan Terobosan Paleogen, Batuan Klastika Paleogen,
dan Batuan Karbonat Paleogen (Gambar 3.1). Dalam beberapa hal,
­pengelompokan itu tidak tepat seperti yang dimaksudkan, karena ada
beberapa satuan batuan yang umurnya melintasi dari kelompok yang tua
ke k­elompok yang lebih muda. Satuan-satuan batuan pada setiap kelompok
dikorelasikan di masing-masing daerah: Lengan Selatan Sulawesi, Sulawesi
Tengah bagian barat, Leher Sulawesi, dan Lengan Utara Sulawesi, seperti
pada Gambar 3.2.
Di Lengan Selatan Sulawesi, termasuk di Kepulauan Bonerate, satuan-
satuan batuan gunungapi berumur Paleogen dipetakan sebagai Formasi
Kayuadi di Kepulauan Bonerate (Koswara dkk., 1994), Formasi Langi di
daerah Biru (van Leuwen, 1981; Sukamto dan Supriatna, 1982), Batuan
­Gunungapi Terpropilitkan atau Formasi Alla di daerah Bantimala, dan
­Batuan Gunungapi Kalamiseng di Pegunungan Bone (Sukamto, 1982, 1986).
Batuan gunungapi Formasi Alla disebut pula Formasi Bua ­(Yuwono, 1987;
Calvert dan Hall, 2003; van Leeuwen dan Muhardjo, 2005). ­Campuran
batuan epiklastika dan vulkaniklastika di sisi timur Lembah Walanae di-
petakan sebagai Formasi Salokalupang. Batuan sedimen yang didominasi
batupasir kuarsa dipetakan sebagai Formasi Malawa, dan yang sebagian besar
tersusun oleh batuan karbonat dipetakan sebagai Formasi Tonasa.

37
Gambar 3.1 Sebaran satuan batuan Paleogen

38 | Geologi Sulawesi
Gambar 3.2 Korelasi Satuan Batuan Paleogen

Batuan Paleogen | 39
Satuan-satuan batuan gunungapi berumur Paleogen di Sulawesi
Tenga­h bagian barat dipetakan sebagai Batuan Gunungapi Lamasi dan
Tufa Rampi (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Ratman dan Atmawinata,
1993; Simandjuntak dkk., 1991a, 1997; Sukido dkk., 1993), dan Batuan
Gunung­api Tineba (Simandjuntak dkk., 1991a, 1997). Setelah beberapa
penelitian terhadap Batuan Gunungapi Lamasi di sekitar Palopo dan
daerah sebelah selatannya menemukan bukti bahwa batuan itu adalah
batuan vulkanik asal dasar samudra, maka batuan serupa yang tersingkap
di sekitar ­Cekungan Karama dan Cekungan Lariang seharusnya tidak
dipetakan sebagai ­Formasi Lamasi, dan selanjutnya disebut sebagai Batuan
Gunungapi Mirip Lamasi (Bg Mirip Lamasi).
Seperti halnya di Lengan Selatan, batuan sedimen klastika ber­umur
Paleogen yang banyak mengandung klastika kuarsa di daerah ini di-
petakan sebagai Formasi Toraja (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Ratman
dan Atmawinata,­ 1993; Simandjuntak dkk., 1991a), dan yang tersusun
terutama oleh karbonat dipetakan sebagai Batugamping Formasi Toraja
atau Anggota Rantepao, Napal Date, Napal Riu, Batugamping Formasi
Makale, dan Batugamping Formasi Lamasi (Djuri dan Sudjatmiko, 1974;
Ratman dan Atmawinata, 1993).
Batuan berumur Paleogen di Leher Sulawesi dan di Lengan Utara
Sulawesi masih dipetakan secara lebih regional, belum ada pemetaan dan
penelitian yang lebih rinci. Di daerah-daerah itu, batuan sedimen bertipe
flysch dipetakan sebagai Formasi Tinombo, dan batuan gunungapinya
dipetakan sebagai Batuan Gunungapi Formasi Tinombo. Batuan sedimen
bertipe flysch di daerah-daerah itu semula diduga terjadi sejak Kapur Akhir,
dan berlangsung sampai Paleogen dalam lingkungan laut dalam (Sukamto
dkk., 1973; Ratman, 1976; Bachri dkk., 1993; Apandi dan Bachri, 1997;
Effendi dan Bawono, 1997), tetapi sampai dewasa ini fosil yang ditemukan
belum ada yang berumur lebih tua dari Eosen.

A. Batuan Gunungapi Paleogen


Batuan gunungapi Paleogen di Mendala Geologi Sulawesi Barat (Tabel 1.1)
dalam pembahasannya dibagi menjadi: Batuan Gunungapi Paleosen (For-
masi Langi, Batuan Gunungapi Terpropilitkan/Formasi Alla/Formasi
Bua); Batuan Gunungapi Eosen–Miosen Awal (Batuan Gunungapi Formasi
Tinombo, Batuan Gunungapi Papayato); dan Batuan Gunungapi Oligosen–
Miosen Awal (Formasi Kayuadi, Formasi Kalamiseng, Formasi Lamasi).

40 | Geologi Sulawesi
1. Batuan gunungapi Paleosen
Batuan gunungapi Formasi Langi tersingkap di daerah Biru, tersusun
oleh perselingan breksi gunungapi, lava (andesitan-trakitan) dan tufa,
sebagian terubah kuat (terpropilitkan), bersisipan serpih dan batugamping.
Satuan batuan setebal tidak kurang dari 400 m ini tertindih takselaras oleh
batugamping Formasi Tonasa, dan diterobos oleh batuan granodiorit. Data
radiometri jejak-belah dari tufa menunjukkan umur 63 juta tahun (jt) atau
Paleosen Awal (van Leeuwen, 1981).
Batuan gunungapi di sebelah timur Kampung Bantimala yang me­
nindih takselaras Kompleks Melange Bantimala dan tertindih sedimen
k­lastika Formasi Malawa, semula dipetakan sebagai Batuan Gunungapi
Terpropilitkan. Pada pemetaan lebih rinci berikutnya, kemudian nama
­sa­tuan itu dirubah menjadi Formasi Alla (Sukamto, 1986), atau Formasi
Bua (Yuwono dkk., 1987). Satuan batuan ini tersusun oleh perselingan
lava, breksi vulknik dan tufa, bersisipan batuan klastika di bagian
bawahnya.­ Lava bersifat basalan-andesitan-riolitan, sebagian berstruk-
tur bantal. Breksi gunungapi berkomponen basal dan andesit, setempat
mengandung dasit, ignimbrit, dan batugamping koral. Tufa sebagian ber-
selingan dengan batupasir dan batulempung cokelat kemerahan. Sisipan
batuan klastika terdiri atas konglomerat dan breksi aneka-bahan, batupasir
wake, batulumpur dan batulempung. Konglomerat dan breksi aneka-bahan
berkomponen andesit, basal, riolit, batupasir, batulanau, batulempung serta
kuarsit. Bagian atas tersusun oleh lava riolit-dasit dan breksi, bersisipan
batugamping, batupasir, batulumpur dan batulempung berlignit. Satuan
batuan ini mempunyai ketebalan tidak kurang dari 800 m, diendapkan
dalam lingkungan payau. Data radiometri K/Ar dari basal dan andesit
menunjukkan umur berkisar antara 67,8­–56,2 jt (van Leeuwen, 1981)
atau akhir Kapur–akhir Paleosen. Rombakan batuan malihan dan batuan
sedimen yang lebih tua di bagian bawah formasi memberikan petunjuk
bahwa Formasi Alla telah terbentuk di dalam suatu cekungan pantai atau
laguna, di tepi suatu tinggian yang tersusun oleh Formasi Balangbaru dan
Kompleks Mélange Bantimala (Sukamto, 1986).

2. Batuan gunungapi Eosen–Miosen Awal


Batuan gunungapi berumur Paleogen di Leher Sulawesi dan di bagian
barat Lengan Utara Sulawesi terhampar cukup luas. Batuan gunungapi
seumur di bagian barat Lengan Utara Sulawesi, di barat dipetakan sebagai

Batuan Paleogen | 41
Formasi Tinombo (fasies gunungapi), berumur Eosen–Oligosen (Bachri
dkk., 1993), dan di timur dipetakan sebagai Formasi Tinombo Fasies
G­unungapi, berumur radiometri 50 jt atau Eosen Awal (Apandi dan
Bachri, 1997). Himpunan batuan gunungapi di daerah ini dicirikan oleh
batuan breksi dan lava basalan, sebagian berstruktur bantal, dan ke­­ban­yak­an­­­
spilitik.
Dalam penelitian lebih rinci, di daerah bagian utara Leher Sulawesi
dan bagian barat Lengan Utara Sulawesi, sebagian dari batuan gunung­
api Formasi Tinombo dipetakan sebagai Vulkanik Papayato (Trail dkk.,
1972; van Leeuwen dan Muhardjo, 2005). Batuan vulkanik ini diciri-
kan oleh bimodal suit, bersifat mafik (basalan) dengan sedikit felsik, lava
basal ­sebagian berstruktur bantal, bersisipan vulkanoklastika, batugamping
pelagos, batulumpur merah, dan rijang radiolaria; setempat diterobos oleh
pilar (stock) gabro dan diorit, serta kerumunan retas (dyke swarm) basal.
Kebanyakan batuannya terubah dengan mineral sekunder kalsit, zeolit dan
kalsedon (spilite). Ciri-ciri batuan gunungapi seperti itu ditafsirkan sebagai
hasil kegiatan busur gunungapi bawah-laut (Carlile dan Mitchel, 1994).
Umur satuan batuan Vulkanik Papayato ditentukan berdasarkan beberapa
data: terdapat lensa rombakan batugamping Eosen Atas, menindih lava
bantal (Rangin dkk., 1997); berdasarkan sisipan batugamping merah yang
diduga berumur Miosen Awal (Trail dkk., 1974); analisis radiometri K/Ar
pada batuan beku menunjukkan umur berkisar antara 40–50 jt atau Eosen
Tengah, dan ada pula yang 22 jt atau Miosen Awal (Polve dkk.,1994); dan
analisis fosil nano yang menunjukkan kisaran umur dari Eosen Akhir,
Oligosen, sampai Miosen Awal (van Leeuwen dan Muhardjo, 2005).

3. Batuan gunungapi bawah-laut Oligosen–Miosen Awal


Di pesisir timur Lengan Selatan Sulawesi terdapat satuan batuan gunungapi
yang pada awalnya belum diketahui asal-usul dan kedudukan stratigrafinya.
Setelah penulis lakukan kompilasi lebih lanjut, diketahui adanya korelasi
antara satuan-satuan batuan gunungapi Formasi Kayuadi di Kepulauan
Bonerate, Formasi Kalamiseng di pesisir timur Lengan Selatan Sulawesi,
dan Batuan Gunungapi Lamasi, yang terdapat di timur Pegunungan
Latimojong, Sulawesi Tengah bagian barat. Komposisi satuan batuannya
hampir mirip, dan umurnya pun hampir sama.
Di ujung selatan Lengan Selatan Sulawesi, di daerah Lembar Bone­
rate­ (Kepulauan Bonerate), tersingkap satuan batuan gunungapi Formasi

42 | Geologi Sulawesi
Kayuadi yang mengandung fosil berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal
dalam ­lingkungan laut neritik (Koswara dkk., 1994). Batuan gunungapi
ini ter­singkap di Pulau Kayuadi dan di pesisir utara Pulau Tanah ­Jampea,
t­ersusun oleh perselingan breksi, lava (andesitan-basalan) dan tufa,
ber­sisipan batupasir tufaan, batulanau, napal, dan batugamping. Tebal
satuan ini lebih dari 400 m. Berdasarkan ciri himpunan batuannya dan
korelasi­ ­regionalnya, satuan batuan gunungapi ini dapat dikorelasikan
dengan batuan gunungapi Formasi Kalamiseng di daerah sebelah utaranya,
Lembar Ujung Pandang­–Benteng–Sinjai dan Lembar ­Pangkajene–Watam-
pone ­Bagian Barat (Sukamto, 1982; Sukamto dan Supriatna, 1982).
Batuan gunung­api Formasi Kayuadi dan Formasi Kalamiseng dikelom-
pokkan ­bersama de­ngan batuan gunungapi Formasi Lamasi di Lembar
Majene­–Palopo bagian barat dan Lembar Malili, menjadi satuan batuan
kerak samudra yang tercuatkan ke arah Lengan Selatan Sulawesi pada kala
Miosen­ Tengah (Harahap, 1998).
Batuan Gunungapi Kalamiseng terhampar di sisi timur Pegunungan
Bone, pesisir timur Lengan Selatan Sulawesi. Batuannya tersusun oleh
lava, breksi, tufa (basalan–andesitan), berselingan dengan batupasir, batu­
lempung dan napal. Satuan batuan yang tebalnya diperkirakan sekitar
4.250 m itu, menunjukkan umur radiometri 19+2 jt (Miosen Awal)
pada terobosan granodiorit, dan 9,3 jt (Miosen Akhir) pada terobosan
­andesit (Sukamto dan Supriatna, 1982). Berdasarkan superposisinya, dan
umur radiometri batuan yang menerobosnya, semula ditempatkan dalam
stratigrafi sebagai hasil kegiatan gunungapi pada Miosen Awal–Miosen
Tengah. Penelitian selanjutnya pada batuan gunungapi ini ditemukan juga
retas-retas diabas yang geokimianya menunjukkan komposisi basal toleiit
N-MORB (Yuwono, 1987). Formasi Kalamiseng, bagian bawah terdiri atas
lava bantal berselingan dengan breksi gunungapi, dan bagian atas tersusun
terutama oleh breksi gunungapi, bersusunan basalan-andesitan-riolitan.
Satuan batuan ini mengandung sedikit sisipan batupasir vulkanoklastik,
batu lumpur merah gampingan, dan batugamping, yang menunjukkan
lingkungan laut dalam; diterobos oleh retas dan pilar (stock) yang juga
bersusunan basalan-andesitan-riolitan. Pentarikhan radiometri K/Ar ter­
hadap empat contoh batuan menghasilkan umur 33,3+1,67 jt (batas
Eosen-Oligosen), dan 21,72+1,09 jt, 17,5+0,88 jt, 18,7+0,94 jt (Yuwono,
1987) yang ketiganya menunjukkan umur Oligosen Awal-Miosen Awal.
Satuan batuan gunungapi Formasi Kalamiseng, ditafsirkan sebagai bagian
dari kerak samudra yang tercuatkan ke permukaan sejak Miosen Awal.

Batuan Paleogen | 43
Batuannya terdeformasi kuat, termalihkan lemah menjadi fasies sekis
hijau. Umur 9,3 jt di atas atau Miosen Akhir itu ditafsirkan sebagai umur
tektonika terakhir, yaitu ketika proses pencuatan terjadi selama akhir
Miosen Awal-Miosen Tengah.
Penelitian yang lain pada Batuan Gunungapi Kalamiseng, memperoleh
lagi tambahan data bahwa terobosan-terobosan yang terjadi bukan hanya
retas-retas diabas, tetapi juga pilar-pilar gabro, diorite, dan granodiorit
(Subandrio, 1996). Selain itu, di beberapa tempat ditemukan lapisan-lapisan
breksi gunungapi yang mengandung sisipan batugamping bioklastika.
Lapisan-lapisan breksi dan lava bersisipan tufa terutama tersebar di daerah
barat, dan lapisan-lapisan tufa lebih banyak terdapat di bagian timur. Pada
umumnya, sebaran terobosan berpola searah dengan struktur sesar, yaitu
barat-timur. Pola sesar memancar dan ciri himpunan batuan gunung­api­
nya memberikan pertanda bahwa Gunung Copobenro merupakan pusat
erupsi batuan gunungapi Formasi Kalamiseng (Subandrio, 2006). Data
geokimia menunjukkan bahwa batuan gunungapi Formasi Kalamiseng
dan batuan beku yang menerobosnya mempunyai sumber magma yang
sama (comagmatic), dengan kandungan MgO, CaO, Al2O3 dan Fe relatif
tinggi. Perajahan pada diagram K2O–SiO2 menunjukkan magma asal toleiit,
diagram MnO–TiO2–P2O5 menunjukkan toleiit busur Kepulauan, dan
diagram (Na2O + K2O)–MgO–FeO menunjukkan tipe magma kalk-alkali
(Subandrio, 2006).
Dalam rangka penelitian stratigrafi untuk mengetahui lebih lanjut
posis­i stratigrafi Formasi Salokalupang (Lihat Bab III hlm. 46), diperoleh
formasi baru yang disebut Formasi Deko. Formasi ini bersama ­Formasi
K­alamiseng dimasukkan dalam Kelompok Bone, yang dicirikan oleh
batua­n gunungapi bawah-laut dan batuan sedimen laut dalam (van
Leeuwen­ dkk., 2010). Formasi Deko tersusun oleh batulumpur berselinga­n
dengan batupasir vulkanoklastika; setebal tidak kurang dari 375 m;
mengan­dung banyak fosil nano dan foram plangton berumur Oligosen
(sekitar 32–27 jt).
Di Sulawesi Tengah bagian barat, daerah pesisir sebelah timur
­Pegunungan Latimojong tersingkap batuan gunungapi basalan-andesitan
yang dinamai Batuan Gunungapi Lamasi. Satuan batuan yang singkapan-
nya lebih dari 600 m itu pada awalnya ditempatkan pada kedudukan
stratigrafi yang sedikit berbeda pada tiga lembar yang berdampingan, yaitu
Paleosen (Simandjuntak dkk., 1991), Oligosen (Djuri dan Sudjatmiko,
1974), dan Oligosen Akhir-Miosen Awal (Ratman dan Atmawinata, 1993).

44 | Geologi Sulawesi
Hasil penelitian selanjutnya (van Leeuwen dan Muhardjo, 2005; Hall dan
Willson, 2000) menunjukkan adanya perbedaan antara yang terhampar
di sebelah timur Pegunungan Latimojong dan yang tersebar di sebelah
timur Cekungan Karama dan Cekungan Lariang, dan di sekitar lajur Sesar
Palu-Koro. Batuan Gunungapi Lamasi/Formasi Lamasi yang tersebar di
kedua daerah terakhir itu selanjutnya disebut Batuan Gunungapi Mirip
Lamasi dan akan dibahas dalam Bab IV. (hlm 156).
Batuan Gunungapi Lamasi di sebelah timur Pegunungan Latimojong
(Lembar Malili, Simandjuntak dkk., 1991a) tersusun terutama oleh lava
(basalan-andesitan), breksi dan tufa, yang belakangan diketahui sebagai
bagian dari batuan gunungapi bawah-laut yang dekat dengan kompleks
ofiolit. Sementara itu, Batuan Gunungapi Mirip Lamasi di daerah Lembar­
Pasangkayu, Lembar Mamuju, dan Lembar Majene-Palopo (Sukido dkk.,
1993; Ratman dan Atmawinata, 1993; Djuri dan Sudjatmiko, 1974),
tersusun oleh tufa, breksi, lava (andesitan-dasitan), bersisipan batupasir
gampingan dan serpih.
Penelitian selanjutnya terhadap Batuan Gunungapi Lamasi yang
terhampar di sebelah timur Pegunungan Latimojong menghasilkan
informasi­ yang menjelaskan tentang jenis himpunan batuan dan kedudu-
kan stratigrafi satuan batuan itu. Batuannya tersusun oleh lava dan breksi
gunungapi (basalan­–andesitan), bersisipan batupasir, batulanau dan serpih;
dan ­kompleks batuan beku yang terdiri dari gabro, pegmatit, serpentinit,
troktolit, dengan teroboson retas dolerit dan aplit (Barber dan Simandjun-
tak, 1995). Batuan gabro sebagian berlapis (cummulate gabbro), retas-retas
sebagian dolerit dan sebagian basal, lava sebagian berstruktur bantal, dan
diselingi dengan vulkaniklastika (Priadi dkk., 1994; Baharudin, 1997).
Batuan yang termalihkan lemah dengan fasies sekis hijau (epidot, klorit,
aktimolit, albit) itu memiliki kandungan silikat sangat bervariasi, yaitu SiO2
dari 39%–72% (basalan–riolitan) dengan unsur Nb rendah (Priadi dkk.,
1994; Bergman dkk., 1996). Ciri-ciri susunan kimianya secara keseluruhan
menunjukkan batuan asal dari magma toleiit bertipe N-MORB yang terjadi
di daerah orogen belakang busur.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa satuan batuan tersebut
semakin terlihat kekompleksannya pada penelitian-penelitian ­berikutnya,
dan kemudian muncul peringkat dan nama satuan yang baru, seperti
­Kompleks Lamasi (Barber dan Simandjuntak, 1995), Kompleks Ofiolit
­Lamasi (Bergman dkk., 1996; Baharudin, 1997), Formasi Lamasi
(Subandrio,­ 2006), dan terbagi menjadi tiga satuan, yaitu Batuan Ofiolit

Batuan Paleogen | 45
Palopo, Batuan Gunungapi Lamasi–Songka serta Batuan Gunungapi
Lamasi–Pohi (Priadi dkk., 1994). Secara mendatar himpunan batuannya
mempunyai perbedaan, yaitu di sebelah utara dan timur terutama terdiri
atas gabro, dolerite, dan basal; sedangkan di daerah selatan dan barat
terutama terdiri atas lava, breksi, tufa, dan konglomerat (Subandrio, 1996).
Konglomerat di daerah ini mengandung komponen rombakan batuan
dari Formasi Latimojong. Berdasarkan model anomali gaya berat Bouguer
ditafsirkan satuan batuan ini memiliki tebal antara 800–1.000 m (Panjaitan
dkk., 1999).
Pentarikhan radiometri yang semula menunjukkan umur 17 8 jt atau
Miosen Awal (Sukamto, 1975b), kemudian diperoleh data yang lebih
rinci sehingga diketahui adanya tiga satuan geokronologi, yaitu Batuan
Ofiolit 158,50–137,17 jt atau Jura Akhir-awal Kapur, Batuan Gunungapi
32,89–28,50 jt atau Oligosen Awal, dan Batuan Gunungapi 15,38–15,35
jt atau Miosen Tengah (Priadi dkk., 1994). Bahkan berikutnya ditemukan
pula umur yang lebih tua, yaitu 320 jt (Mississipian Akhir) atau awal
Karbon (Bergman dkk., 1996). Beberapa peneliti menyatakan bahwa
Kompleks Batuan Gunungapi Lamasi ini adalah bagian dari kerak samudra
yang tercuatkan ke arah barat pada kala Oligosen Akhir–Miosen Awal
(Bergman dkk., 1996), atau yang paling mungkin adalah terjadi setelah
pengendapan Formasi Toraja, yaitu setelah atau setidaknya pada Miosen
Tengah (Harahap, 1998).
Kompleks batuan asal dasar samudra tersebut memiliki beraneka
batuan beku dengan umur yang bermacam-macam. Ada yang berumur
Karbon Akhir, Yura Akhir, Oligosen, dan yang Miosen Tengah. Bisa jadi
beraneka macam batuan beku asal dasar samudra tersebut merupakan
lemping-lemping kompleks tektonika yang tercuatkan ke daratan pada
Miosen Tengah. Petunjuk adanya lemping-lemping tektonika itu sudah
teramati dengan adanya tiga sataun batuan yang dinamai Batuan Ofiolit
Palopo, Batuan Gunungapi Lamasi–Songka serta Batuan Gunungapi
Lamasi–Pohi (Priadi dkk., 1994).

B. Batuan Vulkaniklastika-Epiklastika
Paleogen
Di sebelah timur Lembah Walanae, Lengan Selatan Sulawesi, tersingkap
satuan batuan yang tersusun oleh perselingan antara batuan vulkaniklastika
dan epiklastika, yang dipetakan sebagai Formasi Salokalupang. Formasi

46 | Geologi Sulawesi
ini merupakan himpunan batuan sedimen darat yang berselingan d­­engan
batuan gunungapi, dan batuan sedimen laut dalam yang berstruktur
turbidit. Batuannya tersusun oleh perselingan batupasir, serpih, batu­
lempung, kongglomerat, batugamping, napal, breksi gunungapi, lava dan
tufa. Berdasarkan fosil foraminifera yang dikandungnya, satuan batuan
yang tebalnya antara 1.500–4.500 m ini, terendapkan dalam lingkungan
laut dangkal selama Eosen Awal-Oligosen Akhir. Ke arah barat, dalam
satuan batuan ini ditemukan lebih banyak komponen kasar dari batuan
gunungapi, sebaliknya ke arah timur lebih banyak komponen halus dari
klastika laut (Sukamto, 1982; Sukamto dan Supriatna, 1982). Penelitian
lebih lanjut pada formasi ini dilakukan untuk mengetahui posisi stratigrafi
dan lingkungan pengendapannya, dan dibandingkan dengan formasi lain
yang seusia, antara lain dengan Formasi Malawa dan Formasi Toraja, yang
terpisahkan oleh Lembah Walanae dan Dataran Sengkang.
Penelitian sedimentologi pada Formasi Salokalumpang tersebut selama
tahun 1995–1999 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi meng-
hasilkan kejelasan mengenai lingkungan pengendapannya (Susanto, 1997;
Maryanto dkk., 2004). Komponen vulkaniklastika andesitan merupakan
bagian terbesar dalam formasi ini dengan sedikit komponen karbonat.
Endapan darat dan gunungapi terdapat di bagian barat daya dan selatan,
sedangkan endapan laut terdapat di bagian timur laut dan utara. Penelitian
sedimentologi pada lintasan di Salo (Sungai) Kalupang dan Salo Deka
menemukan empat fasies pengendapan, yaitu pertama fasies batulempung,
kedua fasies batupasir berlapis tipis, ketiga fasies batupasir berlapis susun,
dan keempat fasies batulumpur berbongkah. Arus purba menunjukkan
bahwa arah pengendapannya dari barat daya ke timur laut, mengarah ke
lingkungan laut dalam, dan endapan turbiditnya memperlihatkan arus
memanjang dari arah barat daya ke timur laut. Fosil foram plangton yang
dikenali menunjukkan umur Eosen Tengah-Eosen Akhir di bagian bawah,
Eosen Akhir-Oligosen Awal di bagian tengah, dan Miosen Tengah di
bagia­n atas (Susanto, 1997). Singkapan di Salo Baco memperlihatkan ada­
nya napal yang mirip dengan napal dari Formasi Tonasa, yang menjemari
dengan batuan sedimen klastika dari Formasi Salokalupang. Hubungan
stratigrafi Formasi Salokalupang dengan Formasi Walanae diduga berupa
ketakselarasan, dan dengan Batuan Gunungapi Kalamiseng berupa sesar.
Berdasarkan data stratatigrafi dan sedimentologinya, dapat diketahui bahwa
proses pengendapan Formasi Salokalupang dipengaruhi oleh pengangkatan
akibat tektonik pada waktu itu. Pengangkatan yang terjadi di bagian barat

Batuan Paleogen | 47
daya cekungan, dan mengakibatkan paparan karbonat Formasi Tonasa
meluas ke bagian timur, maka lingkungan pengendapan turbidit laut dalam
di bagian timur laut kemudian juga berkembang menjadi paparan laut
dangkal (Maryanto dkk., 2004).
Untuk mengetahui lebih lanjut posisi stratigrafi Formasi Salokalupang,
selain lintasan di beberapa sungai tersebut, para geologiwan dari Lembaga
Geoteknologi-LIPI dan PT Rio Tinto Exploration telah di melakukan
pula lintasan geologi di sungai-sungai lain sehingga sampai dengan tahun
2004 ada sebanyak 11 sungai yang dilintasi, yaitu S. Kalupang, S. Coda, S.
Karopa, S. Deko, S. Deko Kanan, S. Linrung, S. Matajang, S. Katumpang
Kiri, S. Katumpang Kanan, S. Mata, dan S. Baco. Berdasarkan data geologi
rinci dari sebelas lintasan geologi itu, van Leeuwen dkk. (2010) menyusun
stratigrafi Pegunungan Bone (sebelah timur Lembah Walanae) menjadi
Kelompok Salokalupang dan Kelompok Bone. Kelompok Salokalupang
dapat dibagi menjadi tiga satuan batuan yang dapat diangkat sebagai
formasi, yaitu Formasi Matajang, Formasi Karopa, dan Formasi Baco;
oleh karena itu maka Formasi Salokalumpang dapat ditingkatkan statusnya
menjadi Kelompok Salokalumpang.
Formasi Matajang tersusun oleh perselingan epiklastika-vulkaniklastika,
bersisipan breksi gunungapi, lava dan batugamping, berumur Eosen
Tengah­–Eosen Akhir; membentuk bagian bawah Kelompok Salokalupang.
Formasi Karopa tersusun oleh batugamping berselingan dengan batuan
gampingan (batulumpur, batulanau, dan batupasir), berumur Oligosen
Tengah–Oligosen Akhir. Formasi Baco terdiri atas batupasir, batulumpur,
batupasir dan breksi vulkanik, serta lava, berumur Miosen Awal-Miosen
Tengah. Batuan Gunungapi Kalamiseng atau Formasi Kalamiseng, ber-
sama dengan formasi baru, yaitu Formasi Deko, digabungkan jadi Kelom-
pok Bone, yang dicirikan oleh batuan gunungapi bawah-laut dan batuan
sedimen laut dalam (dibahas dalam Subbab III.A).
Formasi Matajang dapat dibedakan menjadi dua anggota: ­Anggota
A dan Anggota B. Anggota A, merupakan bagian atas formasi ini,
tersusun terutama oleh vulkaniklastika, breksi vulkanik, lava basal ol-
ivin, batu­gam­ping, serpih dan batulumpur, setebal lebih dari 450 m,
fosil plangton menunjukkan umur antara P.13–14 (Eosen Tengah),
dan menurut data radiometri berumur antara 39,8–38 jt (akhir Eosen
­Tengah). Anggota B, merupakan bagian bawah Formasi Matajang, ter-
susun terutama oleh batuan vulkanik berselingan dengan batugamping,

48 | Geologi Sulawesi
batupasir vulkaniklastika,­ batulumpur, dan batugamping, setebal lebih dari
650 m. Lapisan batu­gamping kebanyakan mengandung fosil Pellatispira
provalae yang ­menunjukkan umur bagian atas zona Tb; bagian bawahnya
­mengandung fosil Numulites javanus yang berumur Eosen Tengah. Pada
akhir Eosen Tengah, dalam Anggota B ini mulai diendapkan lapisan
batuan vulkanik kalk-alkali, berupa lava, piroklastika, dan breksi vulkanik,
yang ­pengen­dapannya menerus sampai Eosen Akhir. Anggota ini terenda-
pkan dalam lingkungan neritik dan karbonat terumbu laut dangkal, dengan
energi laut sedang-tinggi (van Leeuwen dkk., 2010).
Formasi Baco dapat dibagi dua: Anggota C dan Anggota D. ­Anggota
C terdiri atas runtunan pelapisan batupasir, batulumpur, dan breksi kaya
lumpur. Runtunan batupasir vulkaniklastika serta breksi vulkanik dengan
sedikit lava, merupakan Anggota D. Pada umumnya, Anggota C meru­
pa­kan­­ endapan turbidit, mengandung fosil nano dan foram plangton yang
­menunjukkan umur antara CN 3–5A, setara dengan 16,8–11,61 jt (akhir
Miosen Awal-Miosen Tengah), dan terendapkan dalam lingkungan laut
terbuka. Anggota D tersusun oleh batuan vulkanik bersifat potasik, dan
fosilnya (plangton) menunjukkan umur Miosen Tengah, zona N10–N12,
atau setara dengan 14,01–11,08 jt (van Leeuwen dkk., 2010). Oleh karena
itu, maka umur Kelompok Salokalupang menjadi Eosen Awal–Miosen
Tengah.

C. Batuan terobosan Paleogen


Selama Paleogen terjadi terobosan batuan beku di berbagai tempat di
Mendala Geologi Sulawesi Barat. Batuannya bersusunan mulai dari granit,
adamelit, monzonit, granodiorit, diorit dan gabro; dalam bentuk pluton,
pilar, dan retas.
Di Pulau Tanahjampea, Kepulauaun Bonerate tersingkap batuan
­terobosan berkomposisi granit dan monzonit. Batuan terobosan ini
­umumnya terkekarkan, dan banyak mengandung urat kuarsa dan ­mineral
sulfida. Berdasarkan kedudukan stratigrafi dengan satuan batuan di
sekitarnya, umur batuan terobosan itu diduga Eosen-Oligosen. Kontak
dengan batuan yang lebih muda umumnya berupa sesar. Batuan granit ini
diterobos oleh retas, korok dan pilar bersusunan andesit, basal-diabas, dan
diorit yang diduga berumur Miosen Tengah (Koswara dkk., 1994).
Dalam pemetaan lebih rinci di daerah Bantimala dan sekitarnya,
Lengan Selatan Sulawesi (Sukamto, 1986), ditemukan beberapa kelompok

Batuan Paleogen | 49
batuan terobosan yang berbeda jenis dan umurnya. Batuan terobosan yang
diduga berumur Paleogen di daerah Bantimala dan daerah Barru adalah
yang berbentuk pilar dan retas, dan kebanyakan bersusunan diorit.
Batuan terobosan berumur Paleosen dipetakan sebagai Diorit Langko
dan Dasit Pasorang. Diorit Langko berupa kompleks t­erobosan yang
terdiri atas pilar diorit dengan retas diorit dan andesit di dalamnya.
Kebanyakan­ batuannya terubah, terkekarkan, terpecahkan, ­sebagian
tergerus, dan mengandung urat kuarsa. Retas diorit dan andesit ­menerobos
tubuh diorit di sana-sini, dengan tebal antara 0,2–30 m. Batuan ini
­menerobos F­ormasi Balangbaru, dekat sentuhan dengan Kompleks
­Melange Bantimala,­ ­memanjang kira-kira ke arah barat laut-tenggara.
­Pinggiran_ tubuhnya sebagian mengandung helatan (xenolith) sekis,
batupasir, batulanau dan batulempung. Hasil analisis radiometri K/Ar
menunjukkan umur 65 ± 4,2 jt atau Paleosen. Dasit Pasorang berupa
tubuh dasit yang menerobos Metamorfit Bontorio. Singkapannya sangat
lapuk, bagian yang agak segar terdiri atas dasit porfir, mungkin berumur
sama dengan Diorit Langko.
Analisis radiometri dan isotop pada batuan malihan dan batuan
terobosan di beberapa daerah di Sulawesi Tengah bagian barat di Leher
Sulawesi, dan di bagian barat Lengan Utara Sulawesi menunjukkan umur
stratigrafi batuan Eosen Tengah–Oligosen Awal (Elburg dkk., 2003).
Batuan granit kalk-alkali dari Granit Kambuno, di sebelah barat daya
Danau Poso, dekat tempat pemineralan tembaga Sangkaropi, berumur
29,87 jt (Oligosen Akhir). Tempat pemineralan ini merupakan perbatasan
sesar sungkup dengan Batuan Gunungapi Lamasi yang diterobos oleh
retas basal toleiit. Batuan terobosan di sebelah timur laut Kota Palu
berumur 37,5 jt (Eosen Akhir), dan granit di daerah Renangkali, sebelah
utaranya, berumur 35,1–33,4 jt (Oligosen Awal). Batuan berumur Eosen
Tengah–Oligosen Awal itu juga tersebar di daerah Leher Sulawesi (van
Leeuwen dan Muhardjo, 2005; van Leeuwen dkk., 2007).
Penelitian kandungan isotop Sr, Nd, dan Pb pada batuan beku di
­Sula­wesi Tengah bagian barat dan di bagian utara Leher Sulawesi dan
bagian barat Lengan Utara Sulawesi menghasilkan pengetahuan tentang
umur dan sejarah perkembangan tektonika kerak dan mantel bumi di
daerah-daerah itu (Elburg dkk., 2003). Sejarah perkembangan evolusi
batuan beku di kawasan ini dapat diamati selama 51 jt–2 jt yang lalu
(Eosen Awal–Pliosen Akhir), yang pada awalnya bersifat toleiit dan
kalk-alkali ­normal, kemudian­ berkembang menjadi kalk-alkali kaya-K.

50 | Geologi Sulawesi
Berdasarkan­ data analisis radiometri, geokimia dan isotop di bagian utara
Leher ­Sulawesi dan di Lengan Utara Sulawesi, beberapa peneliti ber-
kesimpulan bahwa batuan beku basalan berumur Paleogen diduga terjadi
di atas kerak samudra (Kavalieris dkk., 1992; Pearson dan Caira, 1999).
Sementara itu, batuan terobosan yang berumur antara 22 jt–0,9 jt (Miosen
Awal–Plistosen Awal) bersifat kalk-alkali terjadi di busur gunungapi (Polve
dkk.,1997; Elburg dan Foden, 1998).

D. Batuan Klastika Paleogen


Batuan klastika Paleogen di Mendala Sulawesi Barat dapat dikelompok­
kan menjadi dua, yaitu kelompok yang dicirikan oleh lingkungan
­pengen­dapan­ dari darat sampai laut dangkal, dan kelompok yang
dicirikan oleh lingkungan pengendapan laut dalam. Dua satuan batuan
yang dicirikan oleh lingkungan pengendapan darat–laut dangkal adalah
F­ormasi —Malawa di Lengan Selatan Sulawesi, dan Formasi Toraja di
Sulawesi ­Tengah bagian barat. Kedua satuan batuan itu mempunyai
kandungan kuarsa yang sangat tinggi dan lapisan batubara di beberapa
tempat t­ertentu. Berbeda dengan yang di daerah-daerah Leher Sulawesi
dan Lengan Utara Sulawesi, di sana batuan klastika Paleogen dicirikan
oleh batuan sedimen bertipe flysch, de­ngan struktur turbidit dan sisipan
rijang yang menandakan suatu lingkungan laut dalam. Satuan batuan itu
dipetakan sebagai Formasi Tinombo.

1. Batuan sedimen klastika Eosen Awal


Formasi Malawa yang tebalnya berkisar antara 100–400 m, mengalasi
Formasi Tonasa (>3.000 m) di Pegunungan Soppeng (Sukamto dan
Supriatna, 1982). Formasi ini tersusun terutama oleh batupasir kuarsa,
sebagian gampingan atau lempungan, dengan selingan yang berbeda
dari satu tempat ke tempat lain, berupa batulanau, serpih, batulempung,
batugamping dan tufa. Setempat mengandung sisipan konglomerat, breksi
konglomeratan, riolit serta lignit dan batubara. Satuan ini sebagian besar
bercirikan endapan fluviatil, dengan endapan saluran terlihat di sana-
sini, dan sebagian mengandung fosil moluska. Formasi ini ditemukan
hampir di semua tempat sebagai alas dari Formasi Tonasa. Perselingan
batulempung, batugamping dan riolit di bagian bawah merupakan lapisan
peralihan secara berangsur ke Formasi Alla yang ditindihnya, dan tak
selaras menindih batuan yang lebih tua. Perselingan batupasir kuarsa,

Batuan Paleogen | 51
batulempung serta batugamping di bagian atas juga merupakan lapisan
peralihan secara berangsur ke Formasi Tonasa yang menindihnya. Sisipan
batugamping dari bagian atas Formasi Malawa mengandung fosil foram
yang menunjukkan umur Eosen Awal. Batuan sedimen yang dicirikan
oleh kandungan kuarsa melimpah, dengan variasi selingan yang luas dari
satu tempat ke tempat lain, mengandung endapan saluran, dan sisipan
batubara memberikan petunjuk bahwa Formasi Malawa terbentuk dalam
lingkungan fluviatil. Lapisan batulanau–batulempung berfosil moluska dan
sisipan batugamping merupakan endapan antara darat dan laut, mungkin
suatu laguna. Batuan fluviatil yang terlampar sangat luas dan menindih
takselaras batuan yang lebih tua, setempat mengandung endapan laguna,
menunjukkan bahwa Formasi Malawa telah terbentuk dalam suatu data-
ran pesisir sangat luas selama Eosen Awal. Satuan batuan ini mengalasi
batuan karbonat paparan Eosen Akhir–Miosen Tengah Formasi Tonasa.
Penelitian terhadap Formasi Malawa setebal sekitar 100 m di Gatarang,
daerah ­Soppeng, menghasilkan pengetahuan bahwa bagian bawahnya
tersusun oleh batupasir kuarsa, berbutir menengah-kasar, serpih, dan
batulempung; dan bagian atasnya tersusun oleh batulumpur dan batupasir
halus­ ­karbonan. Formasi ini terendapkan mulai dari lingkungan darat,
pantai dan laut dangkal (Kusnama dan Andi-Mangga, 2007).
Di tempat penambangan batugamping Tonasa I, bagian tengah dae-
rah Pangkajene, tersingkap Formasi Malawa di bawah Formasi Tonasa.
Formasi Malawa di daerah ini tersusun oleh perlapisan batupasir kuarsa,
batubara, dan lempung yang sebagian berlapis (Crotty dan Engelhardt,
1993). Dari data di daerah ini, ditafsirkan bahwa Formasi Malawa berkon-
tak secara berangsur dan menjemari dengan Formasi Tonasa, dan diduga
berumur Eosen Tengah–Eosen Akhir.

2. Batuan sedimen klastika Eosen-Oligosen


Formasi Toraja tersingkap luas di antara Pegunungan Toraja dan
­Pegunungan Latimojong, Sulawesi Tengah bagian barat. Formasi ini
dicirikan oleh kandungan pasir kuarsa yang melimpah, dan banyaknya
kerikil kuarsa pada sisipan konglomeratnya. Dengan variasi perbedaan
himpunan batuan di daerah-daerah tertentu, secara garis besar formasi
itu tersusun oleh: batupasir, konglomerat, serpih (napalan, karbonan),
batulanau, batulempung, bersisipan napal, batugamping dan batubara.
Batuan klastika yang tebalnya tidak kurang dari 1.000 m ini diendapan

52 | Geologi Sulawesi
dalam lingkungan dari paralas sampai laut dangkal (neritik), selama Eosen
sampai Miosen Tengah.
Di tempat tertentu, sisipan batugamping berkembang menjadi bio­herm
bercirikan fosil Numulites, yang dipetakan sebagai fasies batugam­ping
Formasi Toraja. Umur Formasi Toraja yang diperkirakan mulai dari Eosen
sampai Miosen Tengah di Lembar Majene (Djuhri dkk., 1998), dan Eosen
Tengah-Eosen Akhir di Lembar Mamuju (Ratman dan Atmawinata, 1993).
Adanya batuan-batuan yang dapat berfungsi sebagai batuan induk hidro-
karbon (serpih karbonan dan batubara) serta batuan waduk hidrokarbon
(batupasir dan batugamping) pada Formasi Toraja, ditambah adanya
rembesan minyak bumi di beberapa tempat di sekitar Tana Toraja, telah
mendorong dilakukannya penelitian stratigrafi lebih rinci di daerah ini.
Batuan sedimen Formasi Toraja ini cukup tebal, yaitu antara 1.000–1.250
m, diperkirakan menindih takselaras Formasi Latimojong. Hubungannya
dengan Formasi Makale sulit diketahui karena berkontak sesar, tetapi ciri
himpunan batuan dan lingkungan pengendapannya menunjukkan adanya
hubungan menjemari di bagian atasnya. Di daerah sebelah barat Palopo,
batuan sedimen Formasi Toraja diterobos oleh Granodiorit Palopo yang
berumur Miosen Akhir (6,45 ± 0,14 jt; Priadi, 1994), dan bersentuhan
sesar dengan Batuan Gunungapi Lamasi (Harahap, 1998). Di bagian utara,
Formasi Sekala menindih takselaras Formasi Makale dan Formasi Toraja.
Hasil penelitian sedimentologi pada Formasi Toraja menunjukkan
adanya beberapa fasies pengendapan yang dapat ditafsirkan sebagai ­sejarah
lingkungan terjadinya. Pengendapan Formasi Toraja dapat diamati adanya
empat fasies, yaitu pertama fasies batulempung pejal, kedua fasies batu-
pasir silang-siur, ketiga fasies batulempung berlapis, dan keempat fasies
batugamping klastika (Maryanto, 1997). Fasies pertama, kedua, dan ketiga
menunjukkan lingkungan pengendapan pasang-surut dengan arus berarah
dari utara ke selatan, dan fasies keempat memperlihatkan ­lingkungan
pengendapan dangkalan laguna yang dipengaruhi oleh gelombang
­berarah utara timur laut-selatan barat daya di lepas pantai berarah timur
tenggara-barat laut. Pada fasies batulempung berlapis yang gampingan
ditemukan sisa-sisa tumbuhan dan lubang-lubang binatang. Penelitian lebih
lanjut menunjukkan bahwa berdasarkan komponen klastikanya, sumber
batuan Formasi Toraja berasal dari daerah batuan sedimen, malihan dan
­gunungapi; yang diendapkan dalam lingkungan danau, sungai teranyam,

Batuan Paleogen | 53
pasang-surut, dangkalan laguna dan paparan laut terbuka (Maryanto, 1999).
Batuan sedimen Formasi Toraja yang semula diperkirakan setebal antara
1.000–1.250 m dan berumur Eosen–Miosen Tengah, berdasarkan model
anomali gaya berat Bouguer ditafsirkan memiliki tebal tidak kurang dari
4.000 m (Panjaitan dkk., 1999).

3. Batuan sedimen klastika Eosen Awal–Miosen Awal


a. Batuan sedimen klastika laut-darat
Dalam rangka eksplorasi minyak dan gas bumi di wilayah bagian barat
Sulawesi Tengah, pada tahun 1992 perusahaan minyak bumi PT ARCO
Indonesia melakukan penyelidikan geologi di daerah Kalosi PSC. Hasil
penyelidikan sementara antara lain, bahwa Formasi Toraja bagian atas yang
mengandung lapisan batubara dan batulempung karbonan adalah batuan
induk hidrokarbon di daerah ini; rembesan minyak bumi menunjukkan
mutu yang sudah matang dan lewat-matang, berjenis parafin dengan
­kandungan belerang rendah; batupasir di bagian atas formasi, selain
s­ebagai batuan induk, juga berfungsi sebagai batuan waduk; dan sebagai
batuan penutup (seal) adalah napal atau batuan karbonat berlumpur dari
Formasi Makale (Cofield, 1993).
Penelitian lebih lanjut terhadap batuan sedimen Paleogen di daera­h
Cekungan Lariang dan Cekungan Karama, dalam rangka eksplorasi
minyak bumi, memperoleh data bahwa batuan sedimen Paleogen itu
dapat dipetakan menjadi dua formasi, yaitu Formasi Kalumpang dan
Formasi Budungbudung. Nama Formasi Budungbudung yang dipakai
oleh Calvert dan Hall (2003) untuk batuan sedimen berumur Eosen
Tengah–Eosen Atas tersebut, sebenarnya sudah dipakai oleh Ratman
dan Atmawinata (1993) dalam peta geologi Lembar Mamuju dengan
nama Formasi Budongbudong. Batuan sedimen di daerah itu yang semula
dipetakan sebagai Formasi Toraja, maka peringkatnya meningkat menjadi
Kelompok Toraja (Calvert dan Hall, 2003).
Formasi Kalumpang tersusun oleh perselingan sepih dan batupasir
kuarsa, dengan sisipan batubara; berlokasi tipe di S. Kalumpang, anak S.
Karama, setebal sekitar 3.200 m. Formasi ini menindih takselaras batuan
sedimen flysch berumur Kapur, dan secara mendatar sebagian menjemari
dengan dan sebagian tertindih selaras oleh Formasi Budungbudung. Fosil
polen yang dikandungnya menunjukkan umur Eosen Tengah-Eosen Atas.
Formasi ini tersebar di sebelah utara Pegunungan Quarles, terendapkan

54 | Geologi Sulawesi
dalam cekungan sesar berarah timur laut–barat daya. Formasi inilah yang
di masa lampau disebut sebagai Coalfields (Reyzer, 1920).
Formasi Budungbudung tersusun oleh batulumpur (sebagian ser­piha­n),
batupasir kuarsa, batugamping, kongklomerat, dan vulkaniklastika, yang
s­eluruh tebalnya mencapai antara 1.000–2.000 m; menindih takselaras
batuan sedimen flysch Kapur Akhir, dan menindih selaras Formasi
Kalumpan­g. Fosil yang dikandungnya menunjukkan umur Eosen-Oligosen,
dan terendapkan dalam lingkungan neritik dalam dan neritik luar.

b. Batuan sedimen klastika laut dalam tipe flysch


Di daerah Leher Sulawesi dan Lengan Utara Sulawesi, batuan sedimen
flysch dipetakan sebagai batuan sedimen Formasi Tinombo yang diendap-
kan dalam satu cekungan dengan batuan vulkanik Formasi Tinombo
(Sukamto, 1973; Ratman, 1976; Apandi, 1977; Bachri dkk., 1993). Batuan
sedimen Formasi Tinombo tersusun oleh peselingan batupasir, batulanau
dan batu­lempung, bersisipan batugamping, serpih merah, rijang merah
berradiolaria, dan batuan gunung api andesitan-basalan. Batuan formasi
ini telah mengalami pemalihan lemah menjadi batusabak, filit, kuarsit,
pualam dan batutanduk. Nama Formasi Tinombo sudah dipakai sejak
awal abad ke-20 (antara lain oleh Ahlburg, 1913; dan Brouwer dkk., 1934).
Satuan batuan ini termasuk pula yang sebelumnya dipetakan sebagai
Formasi Dolokapa (Molengraaff, 1902). Semula batuan sedimen Formasi
Tinombo diperkirakan berumur Kapur Akhir-Tersier Awal, tetapi sampai
pemetaan geologi bersistem skala 1:250.000 di daerah-daerah itu hanya
ditemukan beberapa jenis fosil yang berumur Eosen. Formasi ini, selain
disebut sebagai Formasi Tinombo, ada pula yang menyebutnya sebagai
Formasi Tinombo Fasies Sedimen. Laporan lama menyebutkan bahwa
bagian bawah Formasi Tinombo mengandung rombakan sekis dan granit
serta fosil berumur Kapur (Koperberg, 1929, 1930), dan bagian atasnya
mengandung lebih banyak hasil kegiatan vulkanik bawah laut yang spilitik,
serta sisipan karbonat dengan fosil berumur Eosen (Brouwer, 1934). Bisa
jadi fosil berumur Kapur itu berasal dari rombakan satuan batuan yang
lebih tua.
Batuan sedimen tipe flysch Formasi Tinombo (Kelompok Tinombo)
sebagian telah mengalami pemalihan menjadi filit dan kuarsit. Batuan
filit dari Formasi Tinombo di sebelah timur Teluk Donggala berumur
44,1–44,8 jt (Eosen Tengah).

Batuan Paleogen | 55
Penelitian lebih lanjut tentang kedudukan stratigrafi serta umur
F­ormasi Tinombo di daerah-daerah Sulawesi Tengah bagian barat, Leher
Sulawesi, dan di bagian barat Lengan Utara Sulawesi, telah menemukan
fosil yang dapat menentukan umurnya. Di S. Tinombo, bagian bawah
F­ormasi Tinombo tersusun oleh batupasir gampingan, batugamping
pasiran, dan konglomerat gampingan yang mengandung fosil bentos
N­umulit yang diduga berumur Eosen Tengah–Eosen Akhir. Lapisan
atasnya terdiri atas batusabak, filit, dan grewake, dengan sisipan lava
(andesitan), vulkaniklastika, dan karbonat pelagos dengan fosil berumur
Eosen Tengah–Oligosen Tengah. Lensa-lensa batugamping Numulit
juga ditemukan di sana-sini dalam Formasi Tinombo (van Leeuwen dan
Muhardjo, 2005). Sebagian besar fosil Numulit menunjukkan umur Eosen
Tengah–Oligosen Tengah, namun di bagian atas Formasi Tinombo di
sebelah barat Tolitoli juga mengandung fosil Miosen Awal.
Penelitian geologi rinci untuk molibden porfiri di daerah Malala
(Tolitoli), emas epitermal di daerah Palu, dan untuk tembaga porfiri di
daerah Masabo-Budungbudung (Sulawesi Tengah), yang dilakukan secara
berselang oleh PT Rio Tinto dalam kurun waktu 1971–2000, menghasilkan
beberapa data geologi baru (van Leeuwen dan Muhardjo, 2005). Berdasar-
kan data petrografi, geokimia, peleontologi, isotop Sr-Nd-Pb, dan umur
radiometri, dapat dikenali adanya dua mintakat (terrain), yaitu Mintakat
Sulawesi Barat (bagian barat Sulawesi Tengah) dan Mintakat Sulawesi
Utara (Leher Sulawesi dan bagian barat Lengan Utara Sulawesi). Di kedua
mintakat itu terdapat perbedaan stratigrafi pada kala sebelum Miosen
Tengah (Gambar 3.3–3.4). Selama Eosen Tengah–Miosen Awal di daerah
Mintakat Sulawesi Barat terjadi pengendapan Formasi Budungbudung
(darat-neritik) di atas Formasi Latimojong (Kapur Akhir) dan Kompleks
Batuan Malihan Karossa di tepi utara Cekungan Lariang. Sedangkan, di
daerah Mintakat Sulawesi Utara terjadi pengendapan Formasi Tinombo
dan Batuan Vulkanik Papayato (laut dalam) di atas Kompleks Batuan
Malihan Malino (van Leeuwen dan Muhardjo, 2005).

E. Batuan Karbonat Paleogen


Satuan batuan karbonat Paleogen tersingkap sedikit di Kepulauan
Bonerat­e, tetapi sangat luas di Pegunungan Soppeng, Lengan Selatan
Sulawesi. Satuan batuan ini di Pegunungan Bonerate dipetakan sebagai
Formasi Batu, dan di Pegunungan Soppeng dipetakan sebagai Formasi

56 | Geologi Sulawesi
Gambar 3.3 Stratigrafi daerah Pegunungan Bone, Lengan Selatan Sulawesi (ubahan
dari van Leeuwen dkk., 2010).

Batuan Paleogen | 57
Gambar 3.4 Stratigrafi daerah Sulawesi Tengah bagian barat, Leher Sulawesi, dan
Lengan Utara Sulawesi bagian barat (ubahan dari van Leeuwen dan Muhardjo, 2005).

58 | Geologi Sulawesi
Tonasa. Batuan karbonat Paleogen di Sulawesi Tengah bagian barat, yang
tersebar di lima daerah lembar peta geologi, yaitu Lembar Majene dan
Palopo Bagian Barat, Lembar Mamuju, Lembar Pasangkayu, Lembar
Malili, dan Lembar Poso, batuan karbonat Anggota Rantepao (Formasi
Toraja), Napal Date, Napal Riu, batuan karbonat Formasi Makale, dan
batuan karbonat Formasi Lamasi. Batuan karbonat Paleogen di Leher
Sulawesi dan di Lengan Utara Sulawesi, terdapat dalam bentuk lensa-lensa
batugamping Numulit (yang tak ter­petakan) dalam batuan sedimen flysch
Formasi Tinombo.

1. Batuan karbonat Eosen Awal–Miosen Tengah


Batuan karbonat Paleogen di ujung selatan Lengan Selatan Sulawesi
tersingkap di Kepulauan Bonerate sebagai Formasi Batu. Formasi ini
­ter­singkap di pesisir timur dan selatan P. Tanahjampea, setebal lebih
dari 100 m, tersusun oleh bioklastika, kalsirudit, dan kalkarenit. Fosil
fora­minifera yang dikandungnya menunjukkan umur Oligosen–Miosen
Tengah, dan terendapkan dalam lingkungan laut dangkal. Bisa jadi,
batuan karbonat ini diendapkan dalam satu cekungan atau seumur dengan
batuan gunungapi Formasi Kayuadi, yang tersingkap di P. Kayuadi sebelah
utaranya (Koswara dkk., 1994).
Batuan karbonat Paleogen yang terhampar luas di bagian barat
L­engan Selatan Sulawesi, dipetakan sebagai Formasi Tonasa. Formasi
ini merupakan endapan karbonat yang tebal, dan sangat mudah dikenal
dengan morfologinya yang berupa karst, dengan tebingnya yang tegak
dan lapisannya yang hampir mendatar (Gambar 3.5). Tebal formasi di
daerah ini diperkirakan 500–3.000 m. Batuannya terdiri atas batugamping
koral, batugamping bioklastika, dan kalkarenit, kebanyakan pejal dan
berlapis, bersisipan napal, serpih dan batupasir di bagian bawah. Fosil
foraminifera yang dikandungnya menunjukkan umur berkisar dari Eosen
Akhir sampai Miosen Tengah, dan dalam lingkungan pengendapan laut
neritik. Formasi ini menindih Formasi Malawa dan ditindih Kelompok
Camba dengan batas secara berangsur, tetapi secara setempat menunjuk-
kan ketakselarasan. Hubungan berangsur dengan Formasi Malawa di
bawahnya menandakan bahwa dataran pesisir kala Eosen Awal kemudian
berkembang menjadi ­paparan neritik pada Eosen Akhir–Miosen Tengah
(Sukamto dan Supriatn­a, 1982).

Batuan Paleogen | 59
Sumber: Surono
Gambar 3.5 Morfologi karst, tebing tegak, dan perlapisan mendatar menjadi ciri
pemandangan pada batugamping Formasi Tonasa di daerah Sulawesi Selatan).

Penelitian lebih lanjut terhadap batuan karbonat Formasi Tonasa


dilakukan di daerah Ralla, di bagian utara Lengan Selatan Sulawesi. Dari
hasil penelitian sedimentologi selanjutnya diperoleh penjelasan lebih rinci
bahwa Formasi Tonasa di daerah Ralla dari bagian bawah ke bagian
atas dapat dikenali adanya lima fasies pengendapan, yaitu pertama fasies
batugamping bioklastika I, kedua fasies napal–batugamping, ketiga fasies
batugamping bioklastika II, keempat fasies napal–batugamping klastika,
dan kelima fasies konglomerat batugamping (Sudijono, 2005). Fasies
pertama mengandung fosil yang di antaranya Fasciolites dan Numulites
dan diendapkan dalam lingkungan laguna atau belakang terumbu. Fasies
kedua dan ketiga yang mengandung foram besar (Discocyclina) dan foram
plangton diendapkan dalam lingkungan paparan terbuka atau lereng atas.
Fasies keempat mengandung foram besar yang di antaranya
Discocyclina,­ dan diendapkan dalam lingkungan laut yang agak dalam
sebagai­ hasil longsoran (berstruktur turbidit). Fasies yang kelima

60 | Geologi Sulawesi
mengandung­ banyak foram besar dan komponen asing berupa kerakal dan
bongkah dari sekis dan batupasir.
Batuan karbonat Formasi Tonasa di daerah penelitian ini memiliki tebal
antara 400 m dan 1.450 m, tetapi di tempat lain dilaporkan memiliki tebal
mencapai 3.000 m. Dari penelitian yang lebih dahulu dilaporkan bahwa
Formasi Tonasa ini menindih selaras batuan klastika Formasi Malawa (Eosen),
bercirikan kandungan kuarsa, dan tertindih selaras oleh batuan gunungapi
Formasi (Kelompok) Camba, yang berumur Miosen Tengah–Miosen Akhir.
Penelitian rinci batuan karbonat Formasi Tonasa telah dilakukan di
beberapa daerah di Lengan Selatan Sulawesi (Wilson dan Bosence, 1997).
Batuan karbonat di daerah itu umumnya bermorfologi kars, sebagian di daerah
Jeneponto terlipat dengan kemiringan antara 5o–55o dengan sumbu berarah
barat laut-tenggara, dan terpotong sesar juga dengan arah barat laut-tenggara.
Kontak batuan Formasi Tonasa dengan batuan di bawahnya dan
menindihnya dapat diamati dengan jelas di beberapa tempat. Di tempat
penambangan batugamping Tonasa I, bagian tengah daerah Pangkajene,
tersingkap Formasi Tonasa menindih berangsur Formasi Malawa. Di
beberapa tempat di daerah Pangkajene dan Jeneponto, Formasi Tonasa ter-
lihat berkontak berangsur dengan batuan gunungapi Formasi (Kelompok)
Camba yang menindihnya, seperti yang tersingkap di tepi timur daerah
Pangkajene dan di tepi utara daerah Jeneponto (Crotty dan Engelhardt,
1993). Batuan karbonat di daerah ini diterobos oleh retas, korok dan pilar
batuan basal dan diorit berumur Miosen Tengah-Misen Akhir.
Hasil penelitian lebih rinci terhadap Formasi/Kelompok Tonasa
menunjukkan adanya perbedaan lingkungan pengendapan antara yang
ter­singkap di daerah Jeneponto dan di daerah Pangkajene (Wilson dan
­Bo­sence, 1997). Di daerah Jeneponto lebih banyak ditemukan lapisan-
lapisan napal dari pada di daerah Pengkajene. Lapisan napal di ­daerah
Jeneponto ada yang masih mendatar dengan tebal lebih dari 90 m.
Lapisan-lapisan napal berselingan dengan bioklastika jenis packstone dan
grainstone, banyak mengandung fosil pelagos dan sedikit fosil foram
plangton;­ terendapkan dalam lingkungan dari sublitoral sampai batial laut
terbuka. Bagian bawah satuan batuan mengandung sedikit mineral glokonit
dan kuarsa (asal daratan), dan tinggalan arah arus purba pada lapisan
silang-siur batuan packstone, yang menunjukkan arah arus datang dari barat.
Berdasarkan hasil penelitian di beberapa daerah di Lengan Selatan
Sulawesi, disimpulkan bahwa batuan karbonat Formasi/Kelompok Tonasa
di daerah Pangkajene dan sekitarnya terendapkan di paparan laut dangkal

Batuan Paleogen | 61
terbuka, yang terpisah dari sumber batuan klastika bukan-karbonat. Hal
ini ditunjukkan oleh tiadanya rombakan batuan silikat, seperti kuarsa
dan lain-lain. Lapisan-lapisan napal dan bioklastika di daerah Jeneponto
diduga _berasal dari rombakan batuan karbonat Paparan Tonasa di daerah
­Pang­kajene ke daerah cekungan sesar. Demikian pula batuan karbonat yang
tersusun terutama oleh perselingan napal dan bioklastika di daeah Cekungan
Barru, ditafsirkan sebagai endapan rombakan karbonat yang sumbernya dari
karbonat Paparan Tonasa di daerah Pangkajene, yang meng­alir ke lembah
sesar. Berdasarkan fosil yang dikandungnya, pengendapa­n batuan karbonat
Kelompok Tonasa berlangsung selama Eosen Akhir sampai Miosen Tengah
(Sukamto, 1982; Wilson dan Bosenco, 1996).
Di daerah Sulawesi Tengah bagian barat, batuan karbonat Paleogen ­antara
lain dipetakan sebagai batugamping Formasi Toraja atau batu­gam­ping Anggota
Rantepao, Formasi Toraja. Satuan batuan ini tersusun oleh batugamping
koral, batugamping bioklastika, kalkarenit, napal, dan batugamping Numulites
yang berumur Eosen. Batuan karbonat setebal tidak kurang dari 500 m ini
diendapkan dalam lingkungan pengendapan dari neritik sampai laguna.
Penelitian pada Anggota Batugamping, Formasi Toraja yang ter­
singkap di Sungai Nanggala, 10 km timur laut kota Rantepao, menemukan
ciri anggota itu sebagai batugamping klastika yang kaya akan foram besar
(Sudijono, 2005). Bagian bawahnya mengandung fosil Alveolina spp.
yang berumur Eosen Tengah (Ta), dan bagian atasnya mengandung fosil
­Pellatispira madaraszi dan Discocyclina/Asterocylina spp. yang berumur Eosen
Akhir (Tb). Anggota batugamping ini tertindih oleh seruntun batuan
sedimen yang tersusun dari batupasir vulkaniklastika dan batulempung,
dengan kandungan foram plankton berumur Eosen Akhir (Zona P 15),
dalam lingkungan laguna di bagian bawah dan laut terbuka di bagian atas.
Formasi Makale di Sulawesi Tengah bagian barat, yang semula di­pet­a­
kan­ sebagai batugamping terumbu berumur Miosen Awal-Miosen Tengah
(Ratman dan Atmawinata, 1993; Simandjuntak dkk., 1991a), kemudian
dalam penelitian lebih lanjut diketahui berumur Eosen Aklhir–Miosen
Tengah. Melalui penelitian rinci dapat diamati adanya lima fasies pengen­
dapan, yaitu pertama fasies napal-batupasir gampingan, kedua fasies
napal-batugamping klastika, ketiga fasies terumbu koral-batugamping
klastika kasar, keempat fasies batugamping klastika halus, dan kelima fasies
batugamping non-klastika, dengan fosil-fosil foram besar, foram plangton,
algae (ganggang) dan koral (Maryanto, 1997). Fasies pertama dan kedua
merupakan batuan sedimen yang diendapkan pada paparan laut terbuka. Di

62 | Geologi Sulawesi
beberapa tempat ditemukan dolomit sebagai sisipan (Coffield dkk., 1993).
Penelitian paleontologi lebih rinci menunjukkan bahwa himpunan­ fosil
pada napal-batugamping bagian bawah Formasi Makale berumur Eosen
Akhir, pada napal bagian tengah berumur Oligosen Tengah, dan pada
batugamping-napal bagian atas berumur Miosen Awal-Miosen Tengah
(Sihombing, 1999). Fosil foram plangton berumur Oligosen Akhir juga
ditemukan di bagian atas Formasi Toraja (Wahyono dkk., 1996). Berdasarkan
model anomali gaya berat Bouguer ditafsirkan batugamping Formasi Makale
memiliki tebal tidak kurang dari 900 m (Panjaitan dkk., 1999). Hubungan
stratigrafi antara Formasi Makale dengan Formasi Toraja sulit diketahui
di daerah telitian karena selalu ditemukan berupa sesar. Akan tetapi, ber-
dasarkan ciri himpunan batuannya, lingkung­an pengendapannya dan
umurnya, diperkirakan Formasi Makale yang berumur Eosen Awal-Miosen
Tengah menjemari dengan bagian atas Formasi Toraja atau perubahan fasies­
(Maryanto, 1999).­ Di bagian utara, Formasi Makale tertindih takselaras oleh
batuan vulkaniklastika Formasi Sekala (Sukido dkk., 1993).

2. Batuan Karbonat Oligosen-Miosen


Di Sulawesi Tengah bagian barat, daerah antara Pegunungan Gandadiwata
dan Pegunungan Latimojong, terhampar batuan karbonat yang dipetakan
sebagai napal Formasi Date, napal Formasi Riu, batugamping Formasi
Makale, dan batugamping dalam Formasi Lamasi. Formasi Date di Lembar
Majene-Palopo, tersusun oleh napal bersisipan batulanau gampingan dan
batupasir gampingan, singkapannya setebal antara 500–1.000 m, dan fosil
yang dikandungnya menunjukkan umur Oligosen Tengah–Miosen Tengah
(Djuri dan Sudjatmiko, 1974). Lamparan ke sebelah utaranya di Lembar
Mamuju, formasi ini dipetakan dengan nama Formasi Riu, yang tersusun oleh
napal, batugamping, serpih, batupasir gampingan, bersisipan batu­lempung
dan tufa (Ratman dan Atmawinata, 1973). Di dalam kedua formasi itu
terdapat ­fasies terumbu batugamping yang dipetakan sebagai Formasi
Makale. Satuan batuan yang merupakan fasies karbonat dalam Batuan
Gunungapi Mirip Lamasi juga dikelompokkan dalam Batuan Karbonat
Oligosen-Miosen.
Sejauh ini belum ada laporan adanya batuan karbonat berumur Paleo­
gen yang ditemukan di Leher Sulawesi dan di Lengan Utara Sulawesi.
Di kedua daerah itu, selama Paleogen merupakan laut dalam yang tak
mungkin terjadi endapan karbonat paparan dan karbonat terumbu koral.

Batuan Paleogen | 63
64 | Geologi Sulawesi
BAB IV
BATUAN NEOGEN
 Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman

Batuan berumur Neogen di sepanjang Mendala Geologi Sulawesi


Barat sebagian besar merupakan hasil kegiatan gunungapi berlingkungan
laut sampai darat. Selama kala Neogen seluruh Mendala Geologi Sulawesi
Barat merupakan busur gunungapi yang aktif, tetapi sebelum dan sesudah
Neogen mempunyai perbedaan lingkungan tektonika antara daerah-daerah
Lengan Selatan Sulawesi, Sulawesi Tengah, Leher Sulawesi dan Lengan
Utara Sulawesi. Satuan-satuan stratigrafi Neogen yang memiliki kesamaan
atau kemiripan himpunan batuan dan umurnya dapat dikelompokkan men-
jadi: Batuan Gunungapi Neogen, Batuan Vulkaniklastika dan Epiklastika
Neogen, Batuan Terobosan Neogen, Batuan Klastika Neogen, dan Batuan
Karbonat Neogen (Gambar 4.1).
Di antara satuan-satuan batuan Neogen ada yang berumur Oligosen
Akhir–Miosen Awal (mulai akhir Paleogen), dan ada pula yang berumu­r
Miosen Akhir–Plistosen dan Pliosen–Plistosen (sampai awal zaman
Kuarter). Di daerah Leher Sulawesi tidak ditemukan batuan Tersier yang
berumur Neogen (Gambar 4.2). Mungkin hal ini disebabkan karena peng­
angkatan dan erosi yang cepat, seperti ditunjukkan oleh adanya granit
dan tonalit berumur Miosen Tengah di Baliohuto, Sulawesi Utara, yang
telah terangkat setinggi 1.400 m; dan singkapan granit serta granodiorit
di Gunung Bulukambuno yang luas di Sulawesi Tengah pada ketinggian
2.900 m di atas muka laut (dpl).
Batuan sedimen tipe molasa merupakan umbulan geologi Pulau Sulawesi,
karena mempunyai ciri khas yang mudah dikenal di lapangan, dan erat
berhubungan dengan peristiwa tektonika yang terjadi pada kala Miosen

65
Tengah. Pada beberapa cekungan akhir Neogen terendapkan batuan
sedimen klastika darat dan laut dangkal bersama dengan batuan karbonat.
Batuan sedimen klastika itu di banyak tempat, terutama di tepi cekungan,
menunjukkan lingkungan paralas (darat-laut dangkal) dikenal sebagai
Celebes Molasse (Sarasin dan Sarasin, 1901) diterjemahkan sebagai ­Molasa
Sulawesi. Sedimen tipe molasa dicirikan oleh himpunan konglomerat
kasar dan batupasir; dengan sisipan serpih, napal, lignit, dan batugamping
(Gambar 4.2). Batuan sedimen tipe itu merupakan hasil rombakan daerah
sembul (horst) yang terendapkan di tepi cekungan terban (graben) sebagai
hasil pengangkatan dan penyesaran bongkah.
Sebagaimana dibahas pada Bab III, bahwa terdapat perbedaan
­stratigrafi pada kala sebelum Miosen Tengah antara daerah Sulawesi
Tengah bagian barat (Mintakat Sulawesi Barat) dan daerah Leher Su-
lawesi serta bagian barat Lengan Utara Sulawesi (Mintakat Sulawesi
Utara), maka kemudian sejak Miosen Tengah terjadi kesamaan stratigrafi
di kedua ­daerah itu (Gambar 3.3). Selama Miosen Tengah–Pliosen Awal,
kedua daerah itu berada di dalam lingkungan pengendapan yang sama,
yaitu dalam suatu busur gunungapi (Elburg dkk., 2003; van Leeuwen dan
­Muhardjo, 2005; van Leeuwen dkk., 2006). Selama kurun waktu itu, di
daerah Mintakat Sulawesi Barat terendapkan Formasi Lisu dan batuan
gunungapi kaya-K serta Batuan Vulkanik Gimpu (kalk-alkali asam kaya-K,
dan potasik-ultrapotasik); sedangkan di daerah Mintakat Sulawesi Utara
terendapkan Formasi Buol (Buol Beds) dan Batuan Vulkanik Ongka (kalk-
alkali asam kaya-K). Sejak Pliosen Tengah, secara merata di kedua daerah
mintakat itu terendapkan sedimen bertipe molasa (Molasa Sulawesi).

A. Batuan Gunungapi Neogen


Hasil kompilasi data geologi dari 14 lembar peta geologi bersekala
1:250.000 (terbitan selama 1970–1980-an), yang didukung dengan
­penafsiran citra Suttle Radar Topographic Mission (SRTM), di M­endala
G­eologi Sulawesi Barat, menghasilkan pengetahuan bahwa batuan
­gunungapi berumur Miosen Tengah–Miosen Akhir terhampar sangat luas
di sepanjang mendala itu, kecuali di daerah Leher Sulawesi. Dari ujung
selatan sampai ke ujung utara mendala, batuan gunungapi yang berselingan
dengan batuan sedimen epiklastika berumur Neogen dipetakan sedikitnya
menjadi 17 satuan batuan gunungapi dan satuan batuan vulkaniklastika dan
epiklastika. Dalam pemetaan geologi lebih rinci di berapa daerah dihasilkan

66 | Geologi Sulawesi
Gambar 4.1 Korelasi satuan batuan Neogen

Batuan Neogen | 67
Gambar 4.2 Sebaran satuan batuan Neogen di bagian barat Sulawesi

68 | Geologi Sulawesi
satuan-satuan baru berperingkat sebagai formasi maka peringkat sebagian
formasi yang lama meningkat menjadi kelompok.
Satuan batuan gunungapi sebanyak 17 tersebut dapat dikelompok-
kan menjadi: Batuan Gunungapi Laut-Darat Oligosen-Miosen (Batuan
Gunungapi Mirip Lamasi, Batuan Gunungapi Tineba, Tufa Rampi); Batuan
Gunungapi Miosen Awal (Batuan Gunungapi Soppeng); Batuan Gunung­
api Miosen Tengah–Pliosen (batuan gunungapi Formasi/Kelompok­
Camba, Batuan Gunungapi Walimbong, Batuan Gunungapi Talaya,
Batuan Gunungapi Adang, Tufa Beropa, Batuan Gunungapi Pani, Breksi
Wobudu, Batuan Gunungapi Bilungala, Batuan gunungapi tanpa-nama);
dan Batuan Gunungapi Pliosen (Batuan Gunungapi Tondongkarambu,
Batuan Gunung­api Parepare, Batuan Gunungapi Bukide). Pada dasarnya,
17 satuan batuan gunungapi itu tersusun terutama oleh himpunan
batuan breksi gunungapi, lava dan tufa; dengan sedikit perbedaan umur,
komposisi, dan sisipannya. Semua satuan batuan itu mempunyai sisipan
batuan sedimen laut dengan kadar dan jenis yang sedikit berbeda. Ke arah
menyamping, sisipan batuan sedimen laut menjadi meluas dan membentuk
formasi batuan sedimen vulkaniklastika dan epiklastika. Sejak pemetaan
geologi bersistem tahun 1970–1980-an sampai tahun 2000-an sudah
banya­k tambahan data hasil penyelidikan dan penelitian yang sebagian
besar terangkum dalam tulisan ini.

1. Batuan gunungapi Oligosen-Miosen:


Batuan Gunungapi Mirip Lamasi, Batuan
Gunungapi Tineba
Di Sulawesi Tengah bagian barat tersebar beberapa satuan batuan gunung­
api Neogen yang dipetakan dengan nama yang sama, yaitu batuan gunung­
api Formasi Lamasi, tetapi pada penelitian selanjutnya diketahui adanya
perbedaan lingkungan pengendapannya. Sebagaimana diungkapkan pada
Subbab III.A.3., bahwa batuan gunungapi yang semula dipetakan sebagai
Formasi Lamasi (Batuan Gunungapi Mirip Lamasi) yang tersebar di tepi
timur Cekungan Karama dan Cekungan Lariang, serta yang tersebar di
sekitar lajur Sesar Palu-Koro, pada penelitian lebih rinci menunjukkan ada­
nya­ perbedaan dengan Formasi Lamasi yang terhampar di sebelah timur
Pegunungan Latimojong. Batuan Gunungapi Mirip Lamasi itu tersusun
oleh lava (basalan-andesitan-dasitan), breksi dan tufa, bersisipan dengan
batupasir, batulanau, dan serpih (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Ratman dan
Atmawinata, 1993; Sukido dkk., 1993). Satuan batuan ini, yang tersingkap

Batuan Neogen | 69
di sebelah selatan Lembah Lariang, seperti di Sungai Tebo, bersisipan
batuan napal yang mengandung fosil foraminifera berumur Oligosen
Akhir–Miosen Awal (Sukido dkk., 1993).
Dalam penelitian yang berkaitan dengan eksplorasi minyak dan gas
bumi, batuan gunungapi tersebut dianggap sebagai bagian bawah dari
Formasi Budungbudung (van Leeuwen dan Muhardjo, 2005), yang ber­
umur Eosen Tengah-Miosen Awal. Batuan vulkanik di bagian bawah dari
formasi ini diduga sekerabat dengan Batuan Vulkanik Kambuno yang
kemungkinan berumur lebih tua dari Eosen (Calvert, 2000). Bagian bawah
formasi lebih banyak mengandung batuan vulkanik dan vulkaniklastika
bersisipan batugamping Numulit, diendapkan dalam lingkungan neritik
dalam–neritik luar.
Selain di daerah-daerah tersebut, di sisi utara Danau Lindu dan di b­ebe­
rap­a­ tempat di daerah sebelah selatannya, dekat batuan pluton G­ranit
Kambuno, juga tersingkap batuan gunungapi yang dipetakan sebagai
Batuan Gunungapi Tineba. Batuan gunungapi itu tersusun oleh lava
(andesitan-basalan), latit, dan breksi gunungapi, yang diperkirakan ber­
umur Oligosen–Miosen Awal. Batuan gunungapi sejenis yang tersebar di
sebelah timur lajur Sesar Palu-Koro, yang juga dipetakan sebagai Batuan
Gunungapi Tineba, tetapi umurnya diduga Miosen Tengah-Miosen Akhir
(Simandjuntak dkk., 1991a, b).

2. Batuan gunungapi Miosen Awal


Di Pegunungan Soppeng, sebelah barat Lembah Walanae, Lengan Selatan
Sulawesi, tersebar luas batuan gunungapi Neogen. Di daerah sebelah utara
dan selatan Watansoppeng, memanjang utara-selatan di lereng timur
P­egunungan Soppeng, tersingkap batuan gunungapi terpropilitkan. Satuan
batuan ini dipetakan sebagai Batuan Gunungapi Soppeng (Sukamto, 1982),
tersusun oleh breksi gunungapi dan lava (basal leusit, sebagian berstruktur
bantal), bersisipan tufa (pasir-lapili), dan batulempung. Batuan Gunungapi
Soppeng mempunyai tebal sekitar 4.000 m, menindih takselaras Formasi
Tonasa, dan terdindih selaras Formasi Camba; umurnya diperkirakan Miosen
Awal, dan diterobos oleh retas dan selit (sill), batuan beku trakitan-andesitan.

3. Batuan gunungapi Miosen Tengah–Pliosen


Batuan Gunungapi Miosen Tengah–Pliosen tersebar luas di Mendala
Sulawesi Barat, mulai dari Kepulauan Bonerate di ujung selatan sampai ke

70 | Geologi Sulawesi
Kepulauan Sangihe di ujung utara. Secara regional batuan gunungapi ini
dipetakan sebagai Batuan Gunungapi Formasi/Kelompok Camba, Batuan
Gunungapi Walimbong, Batuan Gunungapi Talaya, Batuan G­unungapi
Adang, Tufa Beropa, Batuan Gunungapi Pani, Breksi Wobudu, Batuan
Gunungapi Bilungala, dan batuan gunungapi tanpa-nama di daerah
L­embar Manado.
Batuan Gunungapi Formasi/Kelompok Camba di Lengan Selatan
Sulawesi tersingkap luas di Pegunungan Soppeng, sebelah barat Lembah
Walanae, dan di ujung selatan Pegunungan Bone, sebelah timur Lembah
Walanae (Sukamto dan Supriatna, 1982; Sukamto, 1982). Batuan gunungapi
ini dipetakan sebagai fasies gunungapi atau anggota batuan gunungapi dari
runtunan batuan sedimen vulkaniklastika dan epiklastika-laut Formasi/
Kelompok Camba (dibahas pada Subbab IV.B). Anggota ini tersusun oleh
breksi gunungapi, lava (andesitan-basalan), aglomerat, dan tufa (halus-
lapili); bersisipan batupasir (tufaan-gampingan), batulempung berlignit,
napal, dan batugamping. Selain foraminifera, dalam batuan napal dan
batugampingnya juga ditemukan fosil koral dan moluska.
Kelompok/Formasi Camba mengandung fosil koral dan moluska
menandakan pengendapan dekat pantai, dan fosil foraminifera menun-
jukkan umur Miosen Tengah–Miosen Akhir, sebagian ada yang sampai
Pliosen Awal; berlingkungan pengendapan laut neritik; adanya sisipan
batubara menunjukkan lingkungan darat atau dekat darat. Pentarikhan ra-
diometri sebanyak 24 contoh batuan gunungapi dan terobosan di Lengan
Selatan Sulawesi dan Sulawesi Tengah bagian barat menunjukkan umur: 6
percontoh 19±3,4–12,7 jt (juta tahun) atau Miosen Awal–Miosen Tengah,
14 percontoh 10,6–5,0 jt (Miosen Akhir), dan 4 percontoh 4,95–3,35 jt
(Pliosen). Berdasarkan luas sebaran batuan magmatit di sepanjang busur
kepulauan ini, kelihatannya kegiatan magma mulai mereda lagi pada kala
Pliosen.
Pemetaan geologi lebih rinci dalam skala 1:50.000, pada batuan gunung­
api Kelompok/Formasi Camba menghasilkan beberapa satuan batuan
yang dapat dipetakan sebagai formasi. Oleh karena itu, penamaan Batuan
Gunungapi Formasi Camba seharusnya ditingkatkan peringkatnya menjadi
Batuan Gunungapi Kelompok Camba. Pemetaan geologi rinci yang diacu
dalam tulisan ini adalah yang dilakukan di daerah Biru (van Leeuween,
1978), dan di daerah Bantimala (Sukamto, 1986).

Batuan Neogen | 71
Batuan Gunungapi Kelompok Camba yang tersingkap di daerah
Biru (Gambar 4.3), sebelah timur laut Gunung Lompobatang, dalam
pemetaan geologi rinci ditemukan tujuh satuan batuan gunungapi setingkat­
­formasi dan atau anggota, yaitu Batuan Gunungapi Sopo, Ignimbrit
Marara, Batuan Gunungapi Bila, Sienit Biru, Batuan Gunungapi Kahu,
Batuan Gunung­api Ulubila, dan Batuan Gunungapi Lemo (Elburg dkk.,
2002). Batuan Gunungapi Sopo tersusun oleh vulkaniklastika dan lava
andesitan-basalan bersifat shosonit, diterobos oleh retas andesit, setebal
tak kurang dari 260 m, dan berumur antara 10,5–11,2 jt. Ignimbrit Marara
bersifat ­dasitan, setebal sekitar 110 m, terkekar meniang, dan berumur
10,3 jt. ­Batuan Gunungapi Bila tersusun oleh vulkaniklastika, napal
t­ufaan, dan lava leusit-tefrit dan basal piroksen, setebal sekitar 175 m, dan
berumur 10–8 jt. Sienit Biru merupakan batuan terobosan bersusunan
sienit-monzonit, dan berumur 8,4 jt. Batun Gunungapi Kahu terdiri dari
batuan vulkaniklastika berselingan dengan aliran lava (basalan–a­ndesitan),
setebal sekitar 100 m, dan berumur 7,0–7,6 jt. Batuan Gunungapi Ulu-
bila juga terdiri dari batuan vulkaniklastika berselingan dengan aliran
lava (andesitan-dasitan), hanya tersingkap 50 m, dan berumur 6,2 jt.
Sementara itu, Batuan Gunungapi Lemo tersusun oleh breksi gunungapi,
tufa, lava, dan retas (andesitan), berkerabat alkali tinggi–lkali olivin basal,
setebal lebih dari 350 m, dan berumur 6,3–7,0 jt. Ketujuh satuan batuan
gunungapi itu menunjukkan umur Miosen Akhir, dan bisa jadi bagian
atasnya berumur Pliosen.
Dalam pemetaan lebih rinci di daerah Bantimala skala 1:50.000, batuan
vulkaniklastika dan epiklastika Kelompok Camba dapat dipetakan men-
jadi Formasi Benrong dan Formasi Kunyikunyi. Formasi Benrong, yang
tersingkap di sebelah timur Kompleks Mélange Bantimala, t­ersusun oleh
tufa, batupasir, batulempung, napal, dan bersisipan breksi gunung­api, serta
mengandung fosil foraminifera yang menunjukkan umur Miosen Tengah,
berlingkungan pengendapan neritik. Formasi Benrong setebal >400 m,
menindih berangsur Formasi Tonasa, dan ditindih selaras ­Formasi Tondong-
karambu. Formasi Kunyikunyi, sebelah barat Kompleks Mélange Bantimala,
tersusun oleh batupasir, tufa dan tufa breksi; b­ersisipan batulempung, lignit,
batugamping, napal, breksi serta konglomerat aneka-bahan di bagian bawah
(berkomponen batugamping, batupasir, batulanau, andesit, basal, sekis,
breksi sekis, kuarsa, rijang, dan batuan ultramafik). Fosil foraminiferanya
menunjukkan umur Miosen Tengah, dan lingkungan pengendapan neritik.
Formasi ini bertebal lebih dari 500 m, menjemari dengan Formasi Ceppiye,
dan menindih Formasi Tonasa secara selaras dan setempat takselaras.

72 | Geologi Sulawesi
Gambar 4.3 Peta geologi rinci daerah Biru, Lengan Selatan Sulawesi (Elburg, 2002)

Batuan Neogen | 73
Di Sulawesi Tengah bagian barat terlampar batuan gunungapi yang
dipetakan sebagai Batuan Gunungapi Walimbong, Batuan Gunungapi
Talaya, Batuan Gunungapi Adang, dan Tufa Beropa. Batuan Gunung­
api Walimbong tersusun oleh lava dan breksi gunungapi yang bersifat
basalan-andesitan-trakitan (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Djuri dkk., 1998).
Satuan batuan ini mengandung mineral felspatoid dan lava berstruktur
bantal, umurnya diperkirakan Miosen Tengah–Pliosen. Ke daerah sebelah
utaranya, batuan gunungapi ini dipetakan dengan nama Batuan Gunungapi
Talaya, tersusun oleh breksi, lava (andesitan-basalan-trakitan), dan tufa
(halus-lapili), bersisipan batupasir (grewake), rijang, serpih, napal, setempat
batupasir karbonan dan batubara. Batuan Gunungapi Talaya diperkirakan
berumur Miosen Tengah–Pliosen, berketebalan lebih dari 750 m, dan
menjemari dengan Formasi Sekala (Ratman dan Atmawinata, 1993).
Sebarannya ke utara hanya sampai ke sebelah tenggara Lembah Lariang.
Di daerah ini, Batuan Gunungapi Talaya tersusun oleh tufa, breksi, dan
lava yang andesitan dan perselingan basalan. Satuan ini merupakan bagian
bawah dari Batuan Gunungapi Talaya; diperkirakan berumur Miosen
Tengah–Miosen Akhir (Sukido dkk., 1993). Tufa Beropa terdiri atas tufa
dan batupasir tufan, bersisipan breksi gunungapi dan batupasir wake,
setebal lebih dari 500 m, diduga berumur Miosen Tengah (Ratman dan
Atmawinata, 1993).
Di pesisir barat Sulawesi Tengah bagian barat, terhampar batuan
gunungapi yang dipetakan sebagai satuan Batuan Gunungapi Adang (Rat-
man dan Atmawinata, 1993). Batuannya tersusun oleh tufa lapili, breksi
gunungapi, dan sisipan lava (basal leusit), batupasir serta batulempung.
Satuan batuan gunungapi ini tebalnya lebih dari 400 m, ke daerah selatan
menjemari dengan Formasi Mamuju dan Anggota Tapalang Formasi
Mamuju. Diperkirakan satuan batuan ini berumur Miosen Tengah–Miosen
Akhir. Dalam pemetaan lebih rinci di daerah Majene, Batuan Gunungapi
Walimbong di sebelah utara Kota Polewali, dipetakan sebagai Formasi
Galunggalung (Bachri dan Baharuddin, 2001). Formasi ini tersusun oleh
runtunan batuan vulkanoklastika (batupasir tufa), lava dasitan, breksi
andesitan-dasitan, berselingan dengan batulanau dan batupasir; diduga
berumur Miosen Akhir–Pliosen, terendapkan sebagai batuan gunungapi
bawah laut pada busur kepulauan.
Batuan beku berumur Miosen Tengah–Miosen Akhir tersebar di
sekitar Palu dan Gimpu (di selatan), dan di sekitar Tolitoli dan Ongka
(di utara). Batuan vulkanik kaya-K di daerah selatan, di DAS Pasangkayu,

74 | Geologi Sulawesi
barat daya Kota Palu, berumur 14,1–11,6 jt (Miosen Tengah), lava di
sebelah­ utara Kota Palu berumur 7,7 jt (Miosen Akhir), dan terobosan
di timur laut Kota Palu, berumur 3,4 jt (Pliosen Awal). Batuan ­vulkanik
kaya-K di sekitar daerah Gimpu berumur antara 8,9–4,9 jt (Miosen
Tenga­h–Pliosen Awal). (Elburg dkk., 2003)
Di Leher Sulawesi, dari sekitar Kota Palu sampai ke sekitar Kota
­Tolitoli, tidak ditemukan batuan gunungapi berumur Neogen (Sukamto,­
1973; Ratman, 1976). Di Lengan Utara Sulawesi, batuan gunungapi
­Neogen terhampar luas mulai dari sebelah barat laut Kota Gorontalo,
ke arah timur sampai ke daerah sekitar Danau Tondano, yang tertindih
oleh batuan gunungapi Kuarter. Di Lengan Utara ini, batuan gunungapi
Neogen, dari daerah barat dipetakan sebagai Batuan Gunungapi Bilungala,
Batuan Gunungapi Pani, Breksi Wobudu, Formasi Dolokapa, dan ke timur
sampai di sekitar Danau Tondano disebut sebagai Batuan Gunungapi
Miosen Tengah atau Batuan Gunungapi Tanpa-nama (Bachri dkk., 1993;
Apandi dan Bachri, 1997; Ratman, 1976).
Batuan Gunungapi Bilungala terhampar cukup luas di Lengan Utara
Sulawesi, mulai dari sebelah barat laut Danau Limboto, meluas ke timur
sampai ke sekitar Danau Tondano dan P. Lembeh. Batuannya tersusun
oleh breksi gunungapi berselingan dengan tufa dan lava (andesitan-dasitan-
basalan), kebanyakan terpropilitkan. Satuan batuan ini mempunyai tebal
lebih dari 1.000 m, menjemari dengan Formasi Dolokapa, dan umurnya
diduga Miosen Tengah–Miosen Akhir. Satuan batuan gunungapi di sebelah
barat daya Gunungapi Soputan, yang mengalasi batuan gunungapi Kuarter
di sekitar Ibukota Manado; dimasukkan dalam satuan Batuan Gunungapi
Bilungala ini. Di daerah ini batuan gunungapi bersisipan batupasir, batu­
lempung, dan lensa batugamping.
Di daerah utara Lembar Tilamuta tersebar batuan gunungapi yang
dipetakan sebagai Breksi Wobudu (Bachri dkk., 1994, 2011). Satuan batuan
ini tersusun oleh breksi gunungapi, aglomerat, tufa (halus-lapili), dan
lava (andesitan-basalan), setebal 1.000–1.500 m, berdasarkan superposisi
­stratigrafi umurnya diperkirakan Pliosen Awal. Di daerah selatan bagian
barat Lembar Tilamuta juga tersebar batuan gunungapi yang dinamai
­Batuan Gunungapi Pani. Batuannya terdiri atas lava (dasitan-andesitan),
tufa, aglomerat dan breksi gunungapi. Satuan batuan gunungapi ini
mempunyai tebal beberapa ratus meter, menindih takselaras Formasi
Randangan, dan diperkirakan berumur Pliosen Awal.

Batuan Neogen | 75
Penelitian lebih rinci di daerah bagian utara Leher Sulawesi dan
bagian barat Lengan Utara Sulawesi menemukan data baru tentang batuan
gunungapi Neogen. Di bagian barat Lengan Utara Sulawesi, selatan Toli­
toli, ditemukan batuan gunungapi felsik berumur 7 jt (Miosen Akhir),
dan dinamakan sebagai Vulkanik Ongka (van Leeuwen dkk., 2006). Di
daerah itu ditemukan pula pilar dan retas bersusunan andesitan-dasitan
yang bersifat kalk alkali. Vulkanik Ongka mulai terendapkan sejak Miosen
Awal (Kavaliers dkk., 1992), dan berdasarkan kemiripan batuan, geokimia
unsur-langka serta isotop, diduga sama-asal dengan Kerabat Dondo atau
Dondo Suite (van Leeuwen dkk., 1994; Polve dkk., 1997; Elburg dkk., 2003).

4. Batuan gunungapi Pliosen Akhir


Di Pegunungan Soppeng, Lengan Selatan Sulawesi, di bagian tengah sebe-
lah timur Kompleks Melange Bantimala, terhampar batuan gunungapi yang
membentuk Bulu Tondongkarambu (G. Gatarang/Bulu Maraja) setinggi
1.694 m dpl. Batuan gunungapi ini mengandung banyak mineral leusit, dan
dipetakan sebagai Batuan Gunungapi Tondongkarambu (Sukamto, 1982;
1986). Satuan batuan ini tersusun oleh breksi dan lava, mempunyai tebal
lebih dari 950 m, menindih selaras Batuan Gunungapi Camba dan batuan
vulkaniklastika dan epiklastika Formasi Benrong. Batuan Gunungapi
Camba yang ditindihnya berumur radiometri K/Ar 7,37 jt atau Miosen
Akhir, maka Batuan Gunungapi Tondongkarambu diperkirakan setidaknya
berumur Pliosen.
Di ujung utara Pegunungan Soppeng, sebelah selatan Dataran Pinrang,
terhampar batuan gunungapi yang dipetakan sebagai Batuan Gunungapi
Parepare. Batuannya tersusun oleh tufa (halus-lapili), breksi dan konglome­
rat gunungapi, bersisipan lava (trakitan-andesitan), dan batupasir tufaan.
Satuan batuan yang tebalnya tidak kurang dari 500 m ini, di bagian timur
hamparan tertindih oleh lava bersusunan trakit. Data analisis radiometri
K/Ar terhadap lava dan tufa dari satuan batuan ini menunjukkan umur
4,25–4,95 jt atau Pliosen (Sukamto, 1982). Satuan Batuan Gunungapi
Parepare juga terhampar di sebelah utara Dataran Pinrang, di ujung selatan
Pegunungan Gandadiwata. Di daerah ini Batuan Gunungapi Parepare
tersusun oleh breksi dan lava (trakitan-andesitan), berselingan dengan batu
apung, batupasir tufaan, dan konglomerat.

76 | Geologi Sulawesi
Batuan gunungapi bersusunan andesitan-basalan yang dipetakan
sebagai Batuan Gunungapi Bukide, di Pulau Bukide, Kepulauan Sangihe,
diduga berumur Pliosen Akhir (Samodra, 1994). Satuan batuan itu terdiri
atas tufa, breksi dan lava (sebagian berstruktur bantal), mengandung batu
apung dan obsidian. Batuan gunungapi semacam itu, yaitu yang ber­susun­an­
basalan-andesitan-dasitan tersebar luas di Lengan Utara Sulawesi, yang
dipetakan sebagai batuan gunungapi Pliosen-Plistosen (Lihat Bab V, hlm.
96). Bisa jadi sebagian dari batuan gunungapi Pliosen-Plistosen di Lengan
Utara Sulawesi itu termasuk pula batuan gunungapi Pliosen Akhir yang
dapat dipisahkan dalam pemetaan lebih rinci.

B. Batuan Vulkaniklastika–Epiklastika
Neogen
Batuan sedimen vulkaniklastika yang berselingan dengan batuan sedimen
epiklastika berumur Neogen yang dapat dipisahkan dari batuan vulkanik
(gunungapi) adalah yang berumur Oligosen–Miosen Awal dan berumur
Miosen Tengah–Pliosen. Yang berumur Oligosen–Miosen Awal adalah
Tufa Rampi di Sulawesi Tengah bagian barat yang berumur Miosen
Tengah–Pliosen adalah Kelompok Camba di Lengan Selatan Sulawesi;
Formasi Sekala dan Formasi Loka di Sulawesi Tengah bagian barat; dan
Formasi Dolokapa di Lengan Utara Sulawesi.

1. Batuan vulkaniklastika-epiklastika Oligosen-


Miosen Awal
Batuan vulkaniklastika berselingan dengan epiklastika yang tersebar di
­beberapa tempat di utara pluton Granit Kambuno dipetakan sebagai
satuan batuan Tufa Rampi. Satuan batuan ini tersusun oleh perselingan
tufa (kristal, litik, abu) dengan batupasir tufaan, berlapis baik, termampat­
kan dan terubah, diterobos oleh granit berumur Pliosen-Plistosen,
dan di­perkirakan berumur Oligosen Akhir–Miosen Awal (Ratman dan
­Atmawinata, 1993). Tufa Rampi yang diduga menjemari dengan Batuan
Gunungapi Tineba, dan menindih takselaras Formasi Latimojong itu
memiliki tebal singkapan sekitar 500 m. Namun ada pula yang menduga
berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir (Simanjuntak dkk., 1993), dan
Paleogen (Sunarya, 1980; Sunarya dkk., 1991, 1980).

Batuan Neogen | 77
2. Batuan vulkaniklastika–epiklastika Miosen
Tengah–Pliosen:
Kelompok Camba, Formasi Sekala, Formasi Loka, Formasi
Dolokapa
Di daerah Lengan Selatan Sulawesi dan Sulawesi Tengah bagian barat,
satuan batuan gunungapi yang sebagian besar tersusun oleh rombakan
batuan gunungapi (vulkaniklastika), piroklastika dan sedimen laut dinamai­
sebagai Batuan Vulkaniklastika Kelompok Camba (Sukamto, 1982;
Sukamto dan Supriatna, 1982), Formasi Loka (Djuri dkk., 1998) dan
Formasi Sekala (Djuri dan Sudjatmiko, 1994; Djuri dkk., 1998; Ratman
dan Atmawinata, 1993). Secara umum, himpunan batuan itu terdiri atas
vulkaniklastika (batupasir, grewake), tufa, batulanau, serpih, batulempung
dan napal; bersisipan batugamping, konglomerat, breksi vulkanik dan
lava (andesitan-basalan); setempat bersisipan batubara. Kandungan fosil
foraminifera ketiga satuan batuan Neogen ini menunjukkan umur Miosen
Tengah sampai Miosen Akhir, dan ada pula yang sampai Pliosen.
Batuan sedimen laut berselingan dengan batuan gunungapi di Lengan
Selatan Sulawesi yang dipetakan sebagai Kelompok Camba t­erhampar
c­ukup luas, dan tidak mudah dipisahkan dari batuan gunungapi yang
­sebagian besar terdiri dari breksi, lava dan tufa (Anggota Batuan
­Gunungapi Camba; dibahas pada Bab IV. hlm.70). Batuannya tersusun
oleh batupasir tufaan berselingan dengan tufa, batupasir, batulanau dan
batulempung; bersisipan dengan napal, batugamping, konglomerat,
dan breksi ­gunungapi, dan setempat dengan batubara (di S. Marros).
­Kandungan fosil koral dan moluska menunjukkan pengendapan dekat
pantai, dan fosil foramini feranya menunjukkan umur Miosen Tengah–
Miosen Akhir, sebagian ada yang sampai Pliosen Awal, yang terendapkan
dalam lingkungan neritik. Adanya sisipan batubara menunjukkan lingkun-
gan darat atau dekat darat. Formasi Camba secara keseluruhan mencapai
ketebalan antara 2.500–5.000 m, menindih takselaras batuan karbonat
Formasi Tonasa, dan secara mendatar menjemari dengan batuan sedimen
Formasi Walanae. Satuan batuan gunungapi (breksi, lava, konglomerat,
dan tufa) dan satuan batuan sedimen laut berselingan dengan batuan
gunungapi, yang tersingkap di bagian timur P. Selayar, juga dinamakan
sebagai bagian dari Kelompok Camba.
Di Sulawesi Tengah bagian barat, sebelah timur Lembah Sungai
Lumu, sebelah barat Rantepao, terhampar satuan batuan yang dipetakan

78 | Geologi Sulawesi
sebagai Formasi Sekala (Ratman dan Atmawinata, 1993). Batuannya
tersusun oleh batupasir (hijau), grewake, napal, batulempung, batupasir
(mikaan), tufa, serpih, dan batupasir gampingan, bersisipan konglomerat,
breksi dan lava (trakitan-andesitan-basalan). Perlapisannya menunjuk-
kan turbidit, dan sebagian lavanya berstruktur bantal. Fosil foraminifera
yang dikandungnya menunjukkan umur Miosen Tengah–Pliosen, dan
­lingkungan pengendapan sublitoral. Satuan batuan ini menindih takselaras
Formasi Riu, menjemari dengan Batuan Gunungapi Talaya, mempunyai
tebal lebih dari 1.000 meter. Di sebelah barat dan timur Lembah S­addang,
terhampar batuan sedimen yang dipetakan sebagai Formasi Loka (Djuri
dkk., 1998). Batuannya tersusun oleh vulkaniklastika dan epiklastika,
berupa batupasir andesitan, batulanau, konglomerat dan breksi. Fosil
yang dikandungnya menunjukkan umur Miosen Tengah–Miosen Akhir,
terendapkan dalam lingkungan laut dangkal, delta dan darat.
Formasi Dolokapa merupakan perselingan batuan sedimen ­klastika
dengan batuan gunungapi, tersebar di bagian utara Lembar Tilamuta
namun tidak menerus ke daerah-daerah sebelah timurnya. Batuannya
­tersusun oleh batupasir (grewake), batulanau, batulumpur, konglo­merat,
­tufa (halus-lapili), aglomerat, breksi gunungapi, dan lava (andesitan-­
basalan). Satuan ini mempunyai tebal sekitar 2.000 m, mengandung fosil
foramini­fera yang berumur Miosen Tengah–Miosen Akhir, dan diendapkan
dalam lingkungan sublitoral.

C. Batuan Terobosan Neogen


Sesuai dengan luasnya sebaran batuan gunungapi Neogen di Mendala
Sulawesi Barat, batuan terobosan yang berumur Neogen juga cukup
banyak ditemukan. Terdapat berbagai bentuk terobosan batuan beku,
mulai dari yang kecil berupa retas, pilar, selit, tajur, sampai yang besar
berupa pluton tersingkap di mendala ini. Demikian pula jenis batuannya
yang bervariasi mulai dari basalan, dioritan sampai granitan. Sebagian besar
batuan terobosan belum diberi nama, dan yang sudah diberi nama antara
lain: Granodiorit Biru, Granit Palopo, Granit Kambuno, Diorit Bone,
Diorit Boliohuto, dan Granodiorit Bumbulan.
Di Lembar Bonerate tersingkap terobosan andesit, basal-diabas, dan
diorit yang umurnya disetarakan dengan terobosan andesit di Lengan
Selatan Sulawesi, yaitu berumur Miosen Tengah. Terobosan pilar andesit
dan diorit tersingkap di Pulau Tanahjampea, retas basal-diabas di Pulau

Batuan Neogen | 79
Tanahjampea, dan di Pulau Bimba (Koswara, 1994). Retas basal piroksen
setebal antara 0,5–30 m membentuk bukit-bukit memanjang di sekitar
Bulu Baturape dan Bulu Cindako, sebelah barat daya dan utara Gunung
Lompobatang, Lengan Selatan Sulawesi, yang sebarannya mengarah ke
pusat erupsi.
Data pentarikhan radiometri pada batuan terobosan di sekitar daerah-
daerah Bantimala, Tonasa, dan Camba menunjukkan umur batuan: grano-
diorit di Biru 19 jt (Miosen Awal), basal di timur Tonas 17,87 jt (Miosen
Awal), trakit di Bantimala 10,9–8,3 jt (Miosen Akhir), diorit aplit di timur
Marros 9,21–7,74 jt (Miosen Akhir), granodiorit di timur Camba 9,03 jt
(Miosen Akhir), dan tiga batuan basal/dolerit di sekitar Camba berkisar
antara 6,99–7,50 jt (Miosen Akhir).
Di daerah yang sudah dipetakan secara rinci, seperti di daerah
­Bantimala dan sekitarnya, ditemukan batuan terobosan retas, pilar, selit,
dan tajur, bersusunan basalan, andesitan dan trakhitan. Batuan terobosan
yang dipetakan sebagai Diorit Pannettekang dan Trakit Erasa (Sukamto,
1986), menerobos Formasi Balangbaru, Formasi Malawa dan Formasi
Tonasa. Trakit Erasa terdiri dari trakit bertekstur porfir, berhablur dari
halus sampai kasar, dengan fenokris felspar sampai sepanjang 3 cm.
Pada umumnya, singkapannya segar dan terkekarkan, setempat terlihat
sangat lapuk. Terobosan trakit di daerah Bulu Malotong dan Bulu Erasa
yang tersingkap pada batas antara Formasi Malawa dan Formas Tonasa
diduga merupakan suatu lakolit. Hasil analisis radiometri K/Ar pada
dua percontoh trakit menunjukkan umur 8,3 dan 10,9 jt, atau Miosen
Akhir. Selain terobosan itu, ada pula terobosan basal, andesit, diorit,
trakit, dan tefrit, dalam bentuk retas dan selit, dengan tebal antara 0,2–30
m, yang umumnya menerobos batuan di Kompleks Melange Bantimala
dan sekitarnya. Diperkirakan berbagai macan retas dan selit di daerah
ini sebagian seumur dengan Terobosan Paleosen dan sebagian dengan
Terobosan Miosen.
Batuan pluton tersingkap sangat luas di Sulawesi Tengah bagian barat.
Batuan pluton terdiri atas granit, granodiorit, diorit, sienit, monzonit dan
riolit, serta sedikit retas apatit dan gabro. Batuan pluton membentuk
beberapa puncak gunung yang cukup tinggi, antara lain G. Paroreang dan
G. Gandadiwata (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Djuri dkk., 1998), yang
bisa saja diusulkan menjadi namanya sebagai Granit Paroreang dan Granit
Gandadiwata. Di tempat lain ada pula yang diusulkan menjadi Granit
Mamasa (Ratman dan Atmawinata, 1993), dan ada pula yang mengusulkan

80 | Geologi Sulawesi
menjadi Granit Kambuno (Simandjuntak dkk., 1991a; 1991b). Dengan
mempertimbangkan bahwa batuan terobosan itu menerobos batuan
gunungapi berumur Miosen–Pliosen, maka diduga setidaknya berumur
Pliosen. Hal ini didukung dengan data radiometri K/Ar seumur 3,35 jt
dari batuan granit di sebelah barat Lembah Palu, selatan Gimpu. Batuan
pluton di sebelah timur Lembah Lariang sebagian besar terdiri atas granit
dan sedikit diorit. Pentarikhan radiometri jejak-belah pada batuan granit
di daerah ini menunjukkan umur Miosen Tengan–Miosen Akhir (Sukido
dkk., 1993). Bisa jadi, batuan pluton di daerah ini sekerabat dengan
batuan gunungapi berumur Miosen Tengah–Pliosen yang tersebar luas di
sekitarnya, yaitu Batuan Gunungapi Walimbong dan Batuan Gunungapi
Adang. Data analisis radiometri atas beberapa jenis batuan terobosan,
yaitu granodiorit, diorit, trakit dan basal menunjukkan umur berkisar
antara Miosen Awal dan Pliosen. Beberapa percontoh menunjukkan umur
Miosen Awal (19–17 jt).
Penelitian rinci terhadap batuan terobosan antara lain dilakukan
pada batuan terobosan granitan yang tersebar di sepanjang lajur Sesar
Palu-Koro. Hasil penelitian petrografi menunjukkan adanya paling sedikit
enam satuan, yaitu granit genes, Granit Sibayu, Granit Palu-Koro, grano-
diorit, dan granit muskovit (Utoyo dkk., 1997). Untuk penentuan umur
batuan granitan secara K-Ar, telah dilakukan analisis terhadap 10 biotit, 1
­muskovit, dan 1 hornblenda. Analisis radiometri menghasilkan umur biotit
berkisar antara 8,39–1,76 jt (Miosen Akhir–Pliosen Akhir); horenblenda
5,46 jt (Miosen Akhir); dan muskovit 1,06 jt (Plistosen Awal). Hasil analisis
radiometri ini menunjukkan bahwa kegiatan magma yang menghasilkan
batuan terobosan menerus selama Neogen. Hal itu membuktikan bahwa
Sesar Palu-Koro terus aktif sejak Miosen Akhir sampai Pliosen-Plistosen,
di mana granitoid tersingkap. Hubungan antara kegiatan magmatik dan
kejadian tektonik terlihat dari contoh Granit Palu yang mencapai 4,28
jt dan granit termilonitkan 5,46 jt di daerah Kulawi-Saluwa. Hal ini
menunjukkan bahwa fase Granit Palu menerus sesudah kegiatan tektonik
yang mencapai 5,46 jt.
Batuan terobosan berumur Neogen yang tidak muncul di Leher
Sulawesi, dijumpai lagi di Lengan Utara Sulawesi dengan sebaran yang
luas. Batuan terobosan granodiorit dan gabro, bersifat toleiit–kalk-alkali,
di daerah Tolitoli menunjukkan umur berkisar antara 22,45–18,14 jt atau
Miosen Awal. Granodiorit dari Kerabat Dondo, seperti yang tersingkap di
sekitar Tolitoli, juga tersingkap di bagian barat Sulawesi Tengah. Granitoid

Batuan Neogen | 81
di daerah itu kebanyakan berupa monzogranit dan monzonit-kuarsa besifat
kalk-alkali tinggi-K. Selain itu, juga ditemukan retas bersifat shoshonit,
yang menunjukkan umur radiometri K/Ar pada mineral biotit sebesar
6,7 jt atau Miosen Akhir (Elburg dkk., 2003). Batuan vulkanik tinggi-
K di sebelah timur Ongka, yang dinamai Andesit Bolano, mempunyai
umur radiometri 11,6 jt (Miosen Tengah). Granodiorit Kerabat Dondo
menerobos Formasi Tinombo, dan umumnya dikelilingi oleh tritis malihan
kontak (contact metamorphic aureol). Lebih ke daerah timur, di daerah Lem-
bar Tilamuta dan Lembar Kotamobagu, sebaran batuan terobosan baik
yang kecil maupun yang besar (pluton), semakin luas sebarannya. Batuan
terobosan pluton yang diberi nama antara lain adalah Diorit Bone, Diorit
Boliohutu, dan Granodiorit Bumbulan.

D. Batuan KlastikA Neogen


Satuan batuan klastika Neogen di sepanjang Mendala Sulawesi Barat dapat
dikorelasikan menjadi yang berumur Miosen Tengah–Miosen Akhir dan
yang berumur Miosen Akhir–Pliosen. Kelompok yang pertama ­meliputi
Formasi Mandar, Formasi Puawang, Formasi Tapadaka, dan Formasi
Randangan; dan yang kedua meliputi Formasi Kalao, Formasi Walanae,
Formasi Mapi, Formasi Bonebone, Formasi Lariang, Formasi Lisu, dan
Formasi Buol.

1. Batuan sedimen klastika Miosen Tengah–Miosen


Akhir:
Formasi Mandar, Formasi Puawang, Formasi Tapadaka, Formasi
Randangan
Di Sulawesi Tengah bagian barat tersebar batuan sedimen yang dinamakan
sebagai Formasi Mandar (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Djuri dkk., 1998),
Formasi Tapadaka dan Formasi Randangan (Bachri dkk., 1994; 2011). Tiga
formasi itu memiliki kesamaan atau kemiripan himpunan batuannya, yang
tersusun terutama oleh batupasir, konglomerat, batulanau, serpih, batu­
lempung, tufa, napal, batugamping, dan setempat lignit. Di banyak tempat
konglomerat tersusun oleh kerakal dan berangkal yang mencirikan suatu
hasil rombakan dari suatu tinggian yang terangkat cepat (tipe molasa).
Cekungan pengendapan batuan sedimen itu lingkungannya juga tergambar
pada lapisan-lapisan tertentu, seperti lapisan tufa menunjukkan lingkungan
dekat pada kegiatan gunungapi, lapisan lignit menunjukkan lingkungan

82 | Geologi Sulawesi
dekat daratan/dekat laut, dan napal serta batugamping menunjukkan
lingkungan laut dangkal.
Formasi Mandar tersebar di dekat pantai timur Selat Makassar,
­Sula­wesi Tengah bagian barat, tersusun oleh batupasir, batulanau dan
serpih, berlapis baik dan mengandung lensa lignit. Formasi, yang tebalnya
lebih dari 400 m ini, mengandung fosil foraminifera yang menunjukkan
umur Miosen Akhir, yang terendapkan dalam lingkungan dari laut ­dangkal
sampai delta. Pada peta Geologi Lembar Majene-Palopo (Djuri dan
Sudjatmiko, 1974), Formasi Mandar tersusun oleh batupasir, batulanau,
dan serpih (Miosen); dan Formasi Mapi tersusun oleh batupasir tufa,
batulanau, batulempung, batugamping pasiran, dan konglomerat (Miosen-
Pliosen). Pada citra SRTM terlihat Formasi Mandar bermorfologi lebih
tegar (riggid), dan lebih kasar, serta berlajur lipatan memanjang. Sementara
itu, Formasi Mapi, bermorfologi lebih halus, bergelombang, dan menindih
Formasi Mandar. Tafsiran pada citra ini menyimpulkan bahwa Formasi
Mapi lebih muda dari Formasi Mandar; dan Formasi Mandar memiliki
kemiripan dengan Formasi Mamuju.
Selanjutnya ke daerah-daerah sebelah timur di Lengan Utara Sulawesi,
batuan sedimen klastika Neogen dipetakan sebagai: Formasi Randangan,
Formasi Tapadaka, dan Batuan Sedimen tak bernama (Bachri dkk., 1993;
Apandi dan Bachri, 1997; Effendy dan Bawono, 1997).
Formasi Puawang, berupa batulempung, batulempung gampingan,
napal, napal pasiran, dengan lensa batupasir, tersebar di sebelah utara
kota Polewali (Bachri dan Baharuddin, 2001). Formasi ini berlokasi tipe
di Sungai Puawang; tebalnya tidak kurang dari 1.500 m, mengandung
fosil foram kecil Globigerina nephenthes, Globorotalia plesiotumida, Globoquadrina
venezuelana, Globigerinoides trilobus, dan Sphaeroidinellopsis semmulina, yang
menunjukkan umur Miosen Akhir sampai awal Plistosen (N 18–N 19)
berlingkungan pengendapan sublitoral luar dan berlingkungan tektonik
pasca orogenesa di tepian cekungan. Formasi Puawang menindih tak
selaras Formasi Mapi yang berumur Miosen. Batuan sedimen klastika
yang tersingkap di sebelah tenggara Kota Tolitoli, di tengah pegunungan,
tersusun oleh batupasir kuarsa (sebagian terkersikkan), serpih, grewake,
dan bersisipan batugamping foraminifera. Fosilnya menunjukkan umur
Miosen Awal–Miosen Tengah (Ratman, 1976). Satuan batuan ini diterobos
oleh batuan pluton granit (?). Di lereng barat laut Pegunungan Dapi,
tersingkap batuan sedimen klastika yang lamparannya tidak begitu luas di
suatu dataran lembah, yang dipetakan juga sebagai Formasi Randangan.

Batuan Neogen | 83
Batuannya tersusun oleh perselingan konglomerat, batupasir wake, batu-
lanau, dan batulumpur, besisipan batugamping. Fosil foraminifera yang
dikandungnya menunjukkan umur Miosen Tengah–Miosen Akhir (Bachri
dkk., 1994).
Di sekitar Kotamobagu terhampar di beberapa tempat batuan sedimen
klastika yang tersusun oleh batupasir (sebagian terkersikkan), grewake,
dan serpih, yang dipetakan sebagai Formasi Tapadaka. Sebagian batuan-
nya gampingan dengan kandungan fosil foraminifera berumur Miosen
Awal–Miosen Akhir. Batuan karbonat dalam formasi ini dinamai Anggota
Batugamping Formasi Tapadaka, yang juga berumur sama. Di pesisir
selatan sebelah tenggara Kotamobagu tersingkap batuan sedimen sejenis
di daerah yang tidak begitu luas. Di ujung utara Lengan Utara Sulawesi,
di pesisir utara dan di beberapa pulau sebelah utaranya, terhampar batuan
klastika yang tersusun oleh breksi (andesitan), konglomerat, batupasir,
batulanau, dan lempung, yang diduga berumur Pliosen (Effendy dan
Bawono, 1997). Satuan batuan ini termasuk pula yang semula dipetakan
sebagai Formasi Dolokapa (Molengraaff, 1902), yang dianggap lebih tua
dari Neogen.

2. Batuan klastika Miosen Akhir/Tengah–Pliosen:


Formasi Kalao, Formasi Walanae, Formasi Mapi, Formasi Bone-
bone, Formasi Lariang, Formasi Tapadaka, Formasi Lisu, Formasi
Buol. Formasi Napu
Batuan sedimen klastika Miosen Akhir/Tengah–Pliosen di Lengan Se-
latan Sulawesi dan di Sulawesi Tengah bagian barat dipetakan sebagai
Formasi Kalao (Koswara dkk., 1994), Formasi Walanae (Koswara dkk.,
1994; Sukamto, 1982; Sukamto dan Supriatna, 1982; Djuri dan Sudjatmiko
1974; Djuri dkk., 1998), Formasi Mapi (Djuri dan Sudjatmiko 1974; Djuri
dkk., 1998), Formasi Bonebone (Simandjuntak dkk., 1991a), Formasi
Lariang (Ratman dan Atmawinata, 1993), dan Formasi Lisu (van Leeuwen
dan Muhardjo, 2005). Enam satuan stratigrafi itu memiliki kesamaan
atau kemiripan himpunan batuan, yang tersusun terutama oleh batuan
klastika (kasar-halus), berisisipan tufa, napal, batugamping, dan setempat
lignit. Pada cekungan tertentu, batuan sedimen laut diendapkan bersama
karbonat sejak Miosen Tengah sampai Pliosen. Di banyak tempat kon-
glomerat tersusun oleh kerakal dan berangkal yang mencirikan suatu hasil
rombakan dari suatu tinggian yang terangkat cepat, dan masuk ke dalam

84 | Geologi Sulawesi
tepian cekungan berlingkungan paralas (darat dan laut) menjadi sedimen
tipe molasa (Celebes Molasse, Sarasin dan Sarasin, 1901; Gambar 4.4).
Sedimen tipe molasa itu dicirikan oleh himpunan konglomerat kasar dan
batupasir (dengan sisipan serpih, napal, lignit, serta batugamping), sebagian
merupakan hasil rombakan daerah sembul (horst) yang terendapkan di
tepi cekungan terban (graben), sebagai hasil pengangkatan dan penyesaran
bongkah.

Sumber: Kusdji Darwin Kusumah


Gambar 4.4 Batuan sedimen tipe molasa, Formasi Walanae di Pakkita, Sinjai Tenga­h,
Sulawesi Selatan.

Di Kepulauan Bonerate tersingkap batuan sedimen yang dipetakan


sebagai Formasi Kalao. Singkapan formasi ini ditemukan di P. Kayuadi
dan P. Kalao, terdiri atas batupasir berlapis (tufaan-gampingan), bersisipan
napal dan konglomerat aneka-bahan. Satuan batuan ini mempunyai tebal
lebih dari 300 m, mengandung fosil foraminifera yang menunjukkan umur
Miosen Tengah, dan lingkungan pengendapan laut dangkal (Koswara dkk.,
1994). Batuan sedimen Formasi (Kelompok) Walanae terhampar luas di
sepanjang Lembah Walanae, yang membentang hampir barat laut utara-
tenggara selatan, dan di dataran pesisir timur Watampone yang melampar
luas ke utara sampai ke kaki Pegunungan Latimojong. Satuan batuan ini
di Lembah Walanae menghampar ke selatan sampai ke P. Selayar, serta P.
Tambolongan dan P. Pulasi (Kepulauan Bonerate), dan ke utara sampai

Batuan Neogen | 85
ke Lembah Sadang. Formasi Walanae mencapai ketebalan >4.500 m,
sebagian besar tersusun oleh perselingan batupasir, batulanau, tufa, napal,
batulempung, konglomerat, dan batugamping, setempat bersisipan lignit;
fosil foraminiferanya menunjukkan umur Miosen Tengah–Pliosen, yang
terendapkan dalam lingkungan laut dangkal, dan dekat dengan kegiatan
gunungapi. Di tengah lembah terdapat lebih banyak batuan klastika halus
dan karbonat, dan di tepi barat dan timurnya lebih banyak mengandung
batuan klastika kasar dan konglomerat.

a. Data hasil eksplorasi minyak dan gas bumi


Penelitian lebih rinci pada batuan sedimen Formasi/Kelompok Walanae,
dalam rangka eksplorasi minyak dan gas bumi, menemukan petunjuk
adanya endapan hidrokarbon di daerah Cekungan Sengkang. Berdasarkan
hasil eksplorasi melalui pemboran dan seismik diketahui adanya Antiklin
Sengkang (bawah permukaan) yang memisahkan Cekungan Sengkang
Barat dari Cekungan Sengkang Timur (Grainge dan Davies, 1983; van den
Berg dkk., 1995).
Cekungan Sengkang Barat merupakan bagian dari Terban Walanae
yang dibatasi oleh Sesar Soppeng di sisi baratnya dan Sesar Walanae yang
memotong Antiklin Sengkang di sebelah timur. Pemetaan yang lebih rinci
dengan skala 1:50.000, batuan sedimen Formasi Walanae di Cekungan
Sengkang Barat dapat dibagi menjadi 4 anggota, yaitu pertama, Anggota
Beru yang dicirikan oleh endapan sungai-danau-muara yang mengandung
fosil vertebrata; kedua, Anggota Samaoling yang dicirikan oleh endapan
pasang-surut bersisipan piroklastika; ketiga, Anggota Burecing yang diciri-
kan oleh fosil laut dangkal dan lignit, dan keempat Anggota Tacipi yang
dicirikan oleh batugamping koral (van den Bergh dkk., 1995). Anggota
yang terakhir ini telah diusulkan peringkatnya manjadi Formasi Tacipi
(Grainge dan Davies, 1983). Di bagian barat cekungan, batuannya lebih
banyak tersusun oleh hasil kegiatan gunungapi seperti tufa dasitan dan
ignimbrit. Formasi Walanae yang semula diperkirakan setebal ±4.500 m
(Sukamto, 1982), berdasarkan penampang seismik diperkirakan memiliki
tebal >3.500 m (Grainge dan Davies, 1983), sedangkan berdasarkan
penampang anomali gaya berat Bouguer diperkirakan berketebalan ± 4.500
m (Panjaitan dkk., 1998).
Cekungan Sengkang Timur meliputi daerah yang melampar dari Anti­
klin Sengkang sampai ke pantai Teluk Bone, dan batuannya dapat dibagi
menjadi tiga satuan, yaitu pertama Formasi Walanae itu sendiri yang diciri-

86 | Geologi Sulawesi
kan oleh perselingan batupasir dan batulumpur (dilihat dari penampang
bor); kedua Formasi Tanrung yang takselaras menindih Formasi Walanae
dan dicirikan oleh konglomerat mengandung fosil vertebrata (terma-
suk Stegodon); dan ketiga Endapan Teras yang dicirikan oleh sedimen
sungai. Berdasarkan penampang seismik, batuan sedimen di Cekungan
Sengkang Timur ini terlihat menipis, hanya mancapai ± 1.800 m (Grainge
dan Devie­s, 1983). Dari segi stratigrafi, satuan yang semula diberi nama
Formasi Walanae dan Anggota Tacipi (Sukamto, 1982) sudah seharusnya
diberi peringkat sebagai Kelompok Walanae, atau bahkan manjadi Superke-
lompok Walanae, yang di dalamnya terdapat banyak formasi dan anggota.
Seperti di daerah Sengkang saja sudah diusulkan adanya formasi-formasi
baru, yaitu Formasi Tacipi dan Formasi Tanrung. Penelitian lebih rinci
mengungkapkan bahwa banyak satuan stratigrafi yang memiliki ciri-ciri
berbeda antara satu dan lainnya dalam hal himpunan batuan, kandungan
fosil, dan lingkungan pengendapannya. Misalnya, Formasi Tanrung dan
Anggota Beru dicirikan oleh konglomerat dan fosil vertebrata; di antaranya
gajah purba, anoa purba, dan kurakura purba (Azis, 1978; Bortstra, 1977,
1991; Sartono 1979; van Hekeren, 1958; Hoijer, 1948).
Analisis sedimentologi dan lingkungan pengendapannya menunjukkan
bahwa di daerah Sengkang pada Pliosen Awal terjadi genang-laut karena
menurunnya Terban Walanae di Cekungan Sengkang Barat dan paparan
laut dangkal di Cekungan Sengkang Timur (Hasibuan dkk., 1995). Pada
Pliosen Akhir di Cekungan Sengkang Barat sudah penuh dengan sedimen
yang diakhiri dengan endapan sungai teranyam dan endapan danau. P­eng­
angkatan yang terjadi pada Plistosen Awal telah memutuskan hubungan
laut antara Selat Makassar dan Teluk Bone, dan mencapai kestabilan
­daratan pada kala Plistosen Akhir. Akan tetapi, pengendapa­n Plistosen
Akhir di beberapa tempat masih teramati keberadaannya ­berdasarkan
fosil foram (Azis, 1990), dan berdasarkan kemagnetan purba (magneto­
stratigrafi) yang menunjukkan batas antara Kala Brunhes dan Kala Ma-
tuyama (0,87–0,97 jt; Panjaitan dkk., 1995).

b. Hasil penyelidikan geofisika di daerah Cekungan Walanae


Dua lintasan penampang gaya berat berarah timur-barat di sebelah selatan
dan utara Sengkang menghasilkan peta anomali Bouguer, peta anomali
sisa dan dua penampang model anomali Bouguer (Panjaitan dkk., 1998).
Dua penampang yang modelnya ditafsirkan berdasarkan data anomali
Bouguer menunjukkan bahwa batuan sedimen di Cekungan Walanae, pada

Batuan Neogen | 87
porosnya mencapai kedalaman ± 4.500 m dan mendangkal, baik ke sisi
cekungan sebelah barat maupun ke sisi sebelah timur. Batuan sedimen itu
beralaskan batuan gunungapi berapat-masa 3,0 gr/cm3, yang muncul ke
permukaan di sebelah barat berupa batuan gunungapi Kelompok Camba
yang memberikan anomali Bouguer mancapai 90 mgal. Di sebelah timur,
batuan gunungapi ini tidak muncul ke permukaan, tetapi anomali Bouguer-
nya juga mancapai ± 95 mgal dan di bagian selatan Pegunungan Bone
tersingkap batuan gunungapi yang dipetakan sebagai Batuan Gunungapi
Kalamiseng dan Formasi Salokalupang.
Pada Cekungan Walanae sendiri teramati anomali Bouguer sebesar
antara +15 mgal dan -15 mgal, dan ditafsirkan sebagai lapisan-lapisan
dari atas ke bawah: batuan klastika Formasi Walanae berapat-masa 2,6 gr/
cm3 setebal antara 200–1.600 m, batugamping Formasi (Anggota) Tacipi
berapan-masa 2,8 gr/cm3 setebal ±800 m, batuan gunungapi berapat-masa
2,65 gr/cm3 setebal antara 80–1.200 m sampai kedalaman ±3.300 m, dan
batugamping–batulempung berapat-masa 2,7 gr/cm3 setebal antara 20–800
m sampai kedalaman ±4000 m. Model penampang anomali Bouguer
pada poros Cekungan Walanae memperlihatkan anomali mencapai -40
mgal, dan dibatasi oleh dua sesar di kedua sayapnya. Di sebelah barat
Cekungan Walanae terdapat masa batuan berapat-masa 3,1 gr/cm3 pada
inti Pegunungan Soppeng, yang ditafsirkan sebagai tubuh terobosan trakit
(Panjaitan dkk., 1998). Akan tetapi, pada lajur itu yang tersingkap adalah
batuan pra-Kapur Akhir tersirapkan (imbricated) yang diterobos oleh batuan
trakit, dan dipetakan sebagai Kompleks Melange Bantimala (Sukamto,
1986).

c. Data hasil penyelidikan geofisika di Cekungan Lariang


Berdasarkan hasil analisis gaya berat di daerah Cekungan Lariang, di-
dapatkan harga anomali Bouguer yang bervariasi. Harga anomali itu dapat
dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu 1) anomali gaya berat dari 10
mgal hingga 90 mgal ditafsirkan sebagai batuan malihan, dan 2) anomali
gaya berat <10 mgal ditafsirkan sebagai batuan sedimen. Secara regional
terlihat adanya landaian anomali yang nisbi kecil di daerah Pantobatu,
sampai -10 mgal, yang ditafsirkan sebagai Cekungan Lariang yang terisi
oleh Formasi Pasangkayu dan Formasi Lariang. Ke arah timur terdapat
anomali gaya berat < 10 mgal, sebagai gambaran dari batuan granit yang
tersebar cukup luas. Batuan granit itu merupakan bagian dari Granit
Mamasa yang tersebar luas sampai ke sebelah barat Toraja dan sebelah

88 | Geologi Sulawesi
utara Palopo. Nilai anomali gaya berat dari 0 mgal sampai 20 mgal di
sebelah timur pluton granit itu, berupa anomali yang mengelompok dan
membulat, dan ditafsirkan sebagai gambaran dari Formasi Latimojong.
Di daerah barat laut Lembah Pasangkayu terdapat anomali yang tinggi,
mencapai 60 mgal, menggambarkan adanya batuan malihan. Anomali
ini terlihat menyebar ke arah Dapuran di sebelah selatannya. Anomali di
daerah ini juga cukup tinggi, sampai mencapai 90 mgal, yang ditafsirkan
sebagai batuan malihan yang menebal ke arah selatan. Bentuk Cekungan
Lariang memanjang lebih-kurang timur-barat, dan semakin dalam ke arah
lepas pantai di barat (Panjaitan dkk., 2000).
Formasi Mapi tersebar di sepanjang Lembah Mapi, sebelah barat laut
Teluk Mandar. Formasi ini tersusun oleh batupasir tufaan, berselingan
dengan batulanau, batulempung, batugamping pasiran, dan konglomerat.­
Satuan batuan yang tebalnya lebih dari 100 m ini mengandung fosil
foraminifera yang menunjukkan umur Miosen Tengah–Pliosen. Masih
di dekat pantai timur Selat Makassar, di daerah yang lebih ke utara,
terhampar satuan batuan sedimen yang dinamai sebagai Formasi Lariang.
Sebarannya mencakup daerah hilir Sungai Lumu dan Sungai Lariang, yang
keduanya mengalir ke barat ke Selat Makassar (dalam eksplorasi minyak
bumi, disebut sebagai daerah Cekungan Karama, Cekungan Pasangkayu,
dan Cekungan Lariang).
Di dataran Palopo daerah timur, sebelah barat laut Teluk Bone
­terdapat satuan batuan yang dipetakan sebagai Formasi Bonebone. Satuan
batuan ini tersebar di lereng bawah batuan pluton Granit Kambuno,
tersusun oleh perselingan konglomerat, batupasir, napal dan lempung
tufaan. Komponen konglomerat terutama terdiri atas batuan malihan
(sekis, genes, dan kuarsit), dan sedikit batugamping, kuarsa dan andesit.
Satuan batuan yang tebalnya >750 m ini mengandung fosil foraminifera
yang umurnya Miosen Akhir–Pliosen, dan terendapkan dalam lingkungan
laut dangkal atau neritik.
Dalam beberapa cekungan Neogen terlihat bahwa batuan sedimen
klastika laut terendapkan bersama dengan batuan karbonat selama Miosen
Tengah-Pliosen. Batuan sedimen ini di banyak tempat di tepi cekungan,
menunjukkan lingkungan paralas (darat-tepi laut) dengan sedimen tipe
molasa (Celebes Molasse, Sarasin dan Sarasin, 1901). Sedimen tipe molasa
yang dicirikan oleh himpunan konglomerat kasar dan batupasir (dengan
sisipan serpih, napal, lignit, serta batugamping) dalam lingkungan paralas
itu adalah hasil rombakan daerah sembul (horst) yang terendapkan di tepi

Batuan Neogen | 89
cekungan terban (graben) sebagai hasil pengangkatan dan penyesaran
bongkah.­ Berdasarkan hasil pemboran eksplorasi oleh Indonesia Gulf
Oil Co. (1973a, b) diketahui bahwa batuan sedimen yang sebagian bertipe
molasa di Cekungan Walanae bersisipan karbonat, lignit dan tufa, setebal
lebih dari 2.300 m, dan diendapkan dalam lingkungan litoral-sublitoral
selama Miosen Tengah-Pliosen. Batuan sedimen yang sama ditemukan
pula di Cekungan Lariang setebal >2.800 m. Di Cekungan Bone, batuan
sedimen molasa tidak mengandung tufa, dan selama Pliosen sampai Resen
tebalnya mencapai >3.200 m (Indonesia Gulf Oil Co., 1971).
Di Leher Sulawesi, dari sekitar Kota Palu sampai ke sekitar Kota
Tolitoli, tidak ditemukan batuan gunungapi dan batuan sedimen klastika
berumur Oligosen–Miosen Awal (Sukamto, 1973; Ratman, 1976). Batuan
sedimen klastika bertipe molasa, Miosen Akhir–Pliosen, di Lengan Utara
Sulawesi, terhampar mulai dari sebelah timur Kota Tolitoli meluas ke
­daerah sebelah timurnya. Batuan gunungapi Pliosen-Plistosen, secara
­setempat terdapat di Pegunungan Tobuli, pantai selatan dekat Teluk
T­omini, dan semakin luas ke daerah timur.
Di S. Napu, sebelah barat kota Poso, tersingkap Formasi Napu, yang
diduga berumur Pliosen (Simanjuntak dkk., 1991a). Formasi ini terdiri
atas konglomerat, batupasir, lumpur, dan gambut, tebalnya <1.000 m;
merupakan endapan molasa Sulawesi. Lingkungan pengendapannya adalah
lakustrin, dan menindih takselaras Granit Kambuno.

E. Batuan Karbonat Neogen


Batuan karbonat Neogen tersebar di sana-sini di sepanjang Mendala
Sulawesi Barat, ada yang sebarannya cukup luas, dan ada pula yang sempit.
Di Lengan Selatan Sulawesi, batuan karbonat Neogen dipetakan sebagai
Anggota/Formasi Selayar, Anggota/Formasi Tacipi, dan batuan karbonat
Formasi Camba. Di Sulawesi Tengah bagian barat satuan batuan itu
dipetakan sebagai Formasi Salowajo, Anggota/Formasi Tacipi, dan Napal
Formasi Mamuju. Di Leher Sulawesi tidak ditemukan singkapan batuan
karbonat Neogen. Batuan karbonat Neogen di Lengan Utara Sulawesi
tersingkap di bagian tengah, sekitar Gorontalo, dan bagian timur di selatan
Kotamobagu.
Batuan karbonat Formasi Salowajo terhampar di sebelah selatan Pe-
gunungan Latimojong, membentang dengan arah timur–barat (Djuri dan
Sudjatmiko, 1974, Djuri dkk., 1998). Satuan batugamping ini terutama ter-

90 | Geologi Sulawesi
susun oleh batugamping koral (terumbu), bioklastika, kalkarenit (berlapis),­
dan napal. Satuan napalnya tersusun terutama oleh napal, kalkarenit,
bioklastika dan sedikit batugamping koral, di sana-sini berselingan atau
bersisipan dengan batulempung, serpih, batupasir, tufa, konglomerat dan
breksi. Berdasarkan fosil foraminifera yang dikandungnya, satuan batuan
Formasi Salowajo berumur Miosen Awal–Miosen Tengah.
Di sepanjang aliran bagian tengah S. Sadang, ditemukan beberapa
singkapan batugamping yang dipetakan sebagai Formasi Makale, yang
bagian timurnya dibatasi oleh sesar sungkup. Formasi ini tersusun dari
batugamping terumbu berlingkungan pengendapan laut dangkal. Umurnya
diduga Miosen Awal–Miosen Tengah (Djuri dkk., 1998).

1. Batuan karbonat Miosen


Batuan karbonat Formasi Camba, Batuan karbonat Formasi
Tapadaka, dan Batuan karbonat Ratatotok
Di beberapa tempat di ujung utara Pegunungan Soppeng, dalam Batuan
Gunungapi Kelompok Camba, tersingkap batuan karbonat yang dipetakan
sebagai Anggota Batugamping Formasi Camba. Batuannya terdiri atas
batugamping kalkarenit berlapis, tufaan-pasiran, sebagian glaukonitan,
mengandung fosil foraminafera, moluska dan koral. Himpunan fosil
­foraminifera yang dikandungnya menunjukkan umur Miosen Tengah–
Miosen Akhir, berlingkungan pengendapan neritik.
Batuan karbonat berumur Neogen di Lengan Utara Sulawesi tidak
se­luas seperti yang ditemukan di Lengan Selatan Sulawesi. Di daerah
Lenga­n Utara itu, batuan karbonat tersingkap tidak begitu luas di antara
Kota Gorontalo dan Kotamobagu, dan dipetakan sebagai Anggota Batu-
gamping Formasi Tapadaka. Batugamping di sini mengandung kepingan
batuan gunungapi berwarna hijau. Sama dengan batuan sedimen Formasi
Tapadaka, anggota batugamping ini juga berumur Miosen Awal-Miosen
Akhir. Batugamping yang terdapat dalam satuan Batuan Gunungapi
B­ilungala dipetakan menjadi Anggota Batugamping, Batuan Gunungapi
Bilungala (Apandi dan Bachri, 1997; Effendi dan Bawono, 1997). Batuan-
nya kebanyaka­n terdiri atas batugamping kelabu dengan fosil foraminifera
berumur Miosen Awal–Miosen Akhir. Sebagian dari singkapan batu-
gamping dalam Batuan Gunungapi Bilungala, sebagian besar tersusun
oleh batugamping terumbu yang berumur Miosen Awal–Miosen Tengah,
dipetakan sebagai Batugamping Ratatotok (Effendi dan Bawono, 1997).

Batuan Neogen | 91
2. Batuan karbonat Miosen Akhir–Pliosen
Anggota Selayar, Anggota Tacipi, Formasi Mamuju, dan Anggota
Tapalang.
Batuan karbonat yang pada awalnya dipetakan sebagai Anggota Selayar
dan Anggota Tacipi, merupakan fasies karbonat dari Formasi/Kelompok
Walanae. Di ujung selatan Lembah Walanae terhampar batuan karbonat
yang dipetakan sebagai Anggota Selayar, dan menerus sampai ke P. Selayar
(Sukamto dan Supriatna, 1982). Batuannya tersusun oleh batugamping
­berlapis berselingan dengan batugamping pasiran, dan mengandung ­fosil
yang menunjukkan umur Miosen Akhir–Pliosen Awal, ber­lingkungan
peng­en­dapan­ neritik. Batuan karbonat serupa tersingkap pula di
Kepulaua­n Bonerate (P. Kalao, P. Bonerate, P. Kalaotoa, P. Karompa-
Lompo), yang juga mengandung fosil berumur Miosen Tengah–Pliosen.
Kebanyakan batuan karbonat di beberapa pulau di Kepulauan Bonerate­
memperlihatkan undak/teras berjumlah antara 3–7 undak (Koswara dkk.,
1994). Fasies karbonat lain dari Formasi/Kelompok Walanae adalah Ang-
gota Tacipi yang terhampar di ujung utara Pegunungan Bone. Batuannya­
tersusun oleh batugamping koral, kalkarenit, dan napal, bersisipan batu­
lempung, batupasir, dan tufa (Sukamto, 1982); tebalnya sekitar 1.700
m, berumur Miosen Akhir–Pliosen berdasarkan fosil foraminifera, dan
terendapkan dalam lingkungan laut neritik.
Formasi Mamuju tersusun oleh napal, kalkarenit, dan batugamping ko-
ral; bersisipan tufa dan batupasir, setempat konglomerat di bagian bawah.
Himpunan fosil foraminifera yang dikandungnya menunjukkan umur
Miosen Akhir, dan berlingkungan pengendapan sublitoral. Satuan batuan
yang tebalnya lebih dari 500 m itu diamati menjemari dengan Batuan
Gunungapi Adang. Bagian yang tersusun terutama oleh b­atu­g ­am­ping
koral dan kalsirudit dengan sisipan napal dinamakan sebagai Anggota
Tapalang. Dalam Anggota ini juga ditemukan banyak fosil moluska.
Batugamping Anggota Tapalang Formasi Mamuju dan napal ­Formasi
Mamuju (Ratman dan Atmawinata, 1993) tersebar di daearah Teluk
Lebani, barat daya Kota Mamuju. Satuan batugamping terutama tersusun
oleh batugamping koral (terumbu), bioklastik, kalkarenit (berlapis), dan
napal. Satuan napalnya tersusun terutama oleh napal, kalkarenit, bioklastika
dan sedikit batugamping koral, di sana-sini berselingan atau bersisipan
dengan batulempung, serpih, batupasir, tufa, konglomerat dan breksi.
Berdasarkan fosil foraminifera yang dikandungnya, satuan batuan ini juga
berumur Miosen Awal–Miosen Tengah.

92 | Geologi Sulawesi
BAB V
BATUAN KUARTER
 Oleh: Rab Sukamto dan Nana Ratman

Satuan stratigrafi batuan berumur Kuarter di Mendala Sulawesi


Barat, disusun oleh endapan-endapan gunungapi, danau, rawa, sungai,
dan pantai yang terendapkan dalam lingkungan darat. Di beberapa tempat
masih ada pula sedimen klastika dan karbonat laut dangkal. Sebagian
dari satuan-satuan batuan itu membentuk undak, yang membuktikan
adanya proses pengangkatan di daerah ini. Batuan klastika kasar yang
memperlihatkan tipe molasa ditemukan di banyak tempat, yaitu di tepian
cekungan memanjang semacam terban dan di cekungan membulat. Batuan
klastika Kuarter yang sebarannya luas hanya ditemukan di Lengan Selatan
Sulawesi dan bagian barat Sulawesi Tengah; sedangkan di Lengan Utara
Sulawesi sebarannya sempit-sempit kecuali di Dataran Rendah Gorontalo.
Satuan batuan gunungapi Kuarter di Lengan Selatan Sulawesi dan di
bagian barat Sulawesi Tengah dihasilkan oleh kegiatan gunungapi, mulai
dari kala Pliosen Awal sampai kala Plistosen; sedangkan di Lengan Utara
Sulawesi berlangsung sampai sekarang (Gambar 5.1).
Sebaran batuan berumur Kuarter (Gambar 5.2) berhubungan erat
de­ngan berbagai bentuk morfologi dan bentuk cekungan yang dihasilkan
oleh proses tektonika terakhir yang berkembang sejak Miosen Akhir,
kegiatan gunungapi, dan pengangkatan denudasi. Sebaran batuan Kuarter
dapat dikenali dari citra inderaan jauh, baik dengan potret udara, radar
maupun­ dengan Landsat. Dataran aluvium dan batugamping koral
terangkat yang terhampar luas menunjukkan kemantapan batuan dasarnya.
Dataran aluvium yang memanjang pada suatu cekungan, bisa jadi batuan
dasarnya berada di lembah terban. Terkait dengan cekungan terban ini,

93
Gambar 5.1 Korelasi satuan stratigrafi Kuarter

94 | Geologi Sulawesi
Gambar 5.2 Sebaran batuan Kuarter di bagian barat Sulawesi

Batuan Kuarter | 95
pada bagian pinggir terbentuk endapan molasa sebagai hasil rombakan
batuan dari tinggian sembul di sampingnya. Di Mendala Sulawesi Barat
juga ditemukan batuan sedimen Kuarter yang sebarannya membulat
atau melonjong, yang ditafsirkan sebagai bekas danau purba atau kawah
gunungapi purba. Di ujung selatan Lengan Selatan Sulawesi dan di ujung
timur Lengan Utara Sulawesi dapat diamati dengan jelas adanya beberapa
kerucut gunungapi yang sebagian masih giat.
Batuan sedimen yang diendapkan sejak Mio-Pliosen banyak di antara­
nya yang bertipe molasa, dan berlangsung sampai Plistosen. Mengamati
bentuk sebarannya, batuan sedimen Kuarter diduga sebagian diendapkan
di dalam cekungan terban, sebagian di dalam cekungan danau, sebagian
di dataran pesisir pada muara-muara sungai, dan sebagian membentuk
­morfo­logi kerucut. Selain itu, ada pula yang dihasilkan oleh proses
­longsoran dan runtuhan.

A. Batuan gunungapi KUARTER


1. Batuan gunungapi Pliosen–Plistosen
Batuan gunungapi yang diduga berumur Pliosen, terdapat di bagian
selata­n Lengan Selatan Sulawesi yang dinamai sebagai Batuan Gunungapi
Baturape-Cindako (Gambar 5.1; Sukamto dan Supriatna, 1982). Batuan
gunungapi ini terhampar di Sairu dan Bulu Bunebune, sebelah barat G.
Lompobatang (Gambar 5.2). Batuannya tersusun dari lava dan breksi,
dengan sisipan sedikit tufa dan konglomerat; bersusunan basal, sebagian
besar porfir dengan fenokris piroksen berukuran sampai 1 cm. Lava
sebagian berkekar meniang dan sebagian berkekar lapis; breksinya ­terutama
berkomponen basal dan sedikit andesit. Pilar dan retas diorit yang terdapat
di dalam satuan ini diduga merupakan bekas pusat erupsinya. Satuan
batuan gunungapi ini mempunyai tebal tidak kurang dari 1.250 m, dan
berdasarkan kedudukan stratigrafinya yang menindih selaras Formasi
Camba, umurnya diduga Pliosen Akhir atau Pliosen Awal sampai Plistosen.
Di Leher Sulawesi bagian utara, di beberapa tempat di pesisir selatan,
pantai utara Teluk Tomini, tersingkap batuan gunungapi yang berdasarkan
kedudukan stratigrafinya diduga sebagai hasil kegiatan gunungapi selama
Pliosen-Plistosen. Batuannya terdiri atas tufa dan lava, bersifat dasitan-
riolitan, membentuk perbukitan rendah. Di Lengan Utara Sulawesi bagian
barat, tersebar batuan gunungapi yang tersusun oleh aglomerat, breksi, lava,
dan tufa (abu-lapili), dan bersifat andesitan-dasitan–basalan. Berdasarkan

96 | Geologi Sulawesi
hubungan stratigrafi, batuan gunungapi ini dinamakan sebagai Batuan
Gungapi Pinogu yang berumur Pliosen-Plistosen.
Batuan gunungapi yang terdiri atas vulkanoklastik andesitan, banyak
kandungan batuapung, lapili batuapung, breksi, ignimbrit, lava andesitan-
trakitan, dan tufa trakitan, tersingkap luas di sekitar Danau Tondano di
ujung timur Lengan Utara Sulawesi. Batuan gunungapi ini dinamakan
Tufa Tondano dan diperkirakan sebagai hasil ledakan hebat Gunungapi
Tondano yang kini bekas kawahnya menjadi Danau Tondano. Di bagian
bawahnya atau menjemari dengan Tufa Tondano terdapat aliran lava
berkomposisi andesit–trakhit, yang tersingkap di G. Tanuwantik. Pentarikhan
radiometri terhadap empat percontoh batuan lava basal dari sebelah utara
Gunungapi Tongkoko dan dari P. Lembeh menghasilkan umur berkisar
antara 4,77–1,94 jt (Pliosen); tetapi diyakini bahwa kegiatan gunungapi ini
berlangsung terus sampai Plistosen Awal.
Batuan gunungapi yang terdiri atas breksi, lava, tufa, dan aglomerat
yang diperkirakan berumur Pliosen-Plistosen di deretan Kepulauan Sangihe
dinamai sebagai Batuan Gunungapi Sahendaruman, Batuan Gunungapi
Kalama, Batuan Gunungapi Tamata, dan Batuan Gunungapi Malingge
(Samodra, 1994). Batuannya kebanyakan bersifat andesitan-basalan, ada
yang dasitan, sebagian lava berstruktur bantal, ada pula endapan awan pa-
nas, ignimbrite, dan tufa berbatuapung. Di beberapa tempat ditemukan retas
andesit dan urat kuarsa dengan pemineralan emas, dan ada pula mataair
panas. Di ujung tenggara P. Sangihe Besar, terdapat batuan terobosan pilar
dan retas dari diorit dan andesit yang membawa pemineralan emas, dan
diperkirakan berumur Pliosen-Plistosen.

2. Batuan gunungapi Plistosen


Di sekeliling G. Lompobatang, terhampar luas satuan batuan gunungapi
terutama di sebelah barat dan selatannya (ujung selatan Lengan Selatan
Sulawesi) yang diberi nama sebagai batuan Gunungapi Lompobatang
(Gambar 5.1 dan 5.2). Batuannya tersusun oleh aglomerat, lava, breksi,
endapan laharik dan tufa, bersusunan andesitan-basalan membentuk
kerucu­t gunungapi strato, dengan puncak tertinggi 2.950 m di atas muka
laut. Gunungapi yang masih aktif tersebut merupakan kegiatan gunung­
api yang sudah dimulai sejak kala Plio-Plistosen. Sebagian besar darinya
terbentuk dalam lingkungan darat, dan merupakan batuan gunungapi
termuda di ujung selatan Lengan Selatan Sulawesi. Morfologi kerucut-

Batuan Kuarter | 97
nya menunjukkan hasil kegiatan gunungapi yang sangat muda, dengan
­beberapa kubah (kerucut) parasit di sekitar kepundan.
Di Sulawesi Tengah bagian barat tersingkap batuan gunungapi muda
yang dinamakan sebagai Tufa Barupu dan Batuan Gunungapi Masamba
(Gambar 5.1), yang tersusun oleh tufa (lapili-pasir-abu), breksi dan lava,
dan bersifat andesitan-dasitan. Hasil pentarikhan radiometri K/Ar pada
batuan gunungapi ini di Lengan Selatan Sulawesi dan di Sulawesi Tengah
bagian barat itu menunjukkan umur antara 1,68–0,97 jt (Plistosen).
Batuan gunungapi yang dinamai sebagai batuan Gunungapi Masamba
tersebut, di daerah sebelah utara Palopo tersebar di beberapa tempat di
sepanjang sesar Palu-Koro, terdiri atas tufa, breksi dan lava, bersusunan
andesitan-dasitan-basalan. Satu percontoh batuan berumur radiometri
4,25 jt (Pliosen), tetapi secara keseluruhan diperkirakan berumur Pliosen-
Plistosen. Di wilayah Toraja terhampar Tufa Barupu, bersusunan dasitan-
riolitan, berumur 0,95 jt atau Plistosen sampai Resen.

3. Batuan hasil gunungapi aktif


Di Lengan Utara Sulawesi bagian timur yang membelok dan menjulur ke
utara dan menerus ke Kepulauan Sangihe terdapat kegiatan gunungapi
yang masih berlangsung hingga sekarang (Gambar 5.2). Deretan gunungapi
itu dapat dianggap sebagai suatu kesatuan lajur gunungapi Sulawesi Utara–
Kepulauan Sangihe. Di ujung barat daya lajur dimulai dengan G. Ambang,
ke arah timur laut dan terus ke utara berjajar deretan gunungapi dengan
selang jarak antara 50–100 km, berturut-turut G. Soputan, G. Lokon, G.
Mahawu, G. Tongkoko, G. Ruang, G. Karangetang, G. Banua Wuhu, dan
G. Awu. Kesembilan gunungapi itu, kecuali G. Ambang, masih sering
meletus, dan menghasilkan batuan yang bersusunan aglomerat, lava, tufa
(bom, lapili, abu), endapan awan panas, dan endapan lahar; kebanyakan
berkomposisi andesitan (hipersten-augit) sampai basalan (olivin-augit).
Analisis radiometri terhadap satu percontoh lava andesit dari lereng barat
G. Lokon menghasilkan umur 0,89 jt (Plistosen Awal).
Berdasarkan catatan pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi serta buku Data Dasar Gunungapi Indonesia (Kusumadinata,
1979), kedelapan gunungapi aktif tersebut pernah meletus, yaitu G.
Soputan (1.784 m dpl) antara tahun 1725–2008 meletus sebanyak 28
kali; G. Lokon (1.579 m dpl) antara tahun 1829–2012 meletus sebanyak
21 kali; G. Mahawu (1.331 m dpl) antara tahun 1789–1958 sebanyak 4

98 | Geologi Sulawesi
kali; G. Tangkoko­ (1.149 m dpl) antara tahun 1725–1952 sebanyak 10
kali; G. ­Ruang (714 m dpl) antara tahun 1603–2002 sebanyak 19 kali; G.
Karangetang (1.784 m dpl) antara tahun 1675–2009 sebanyak 40 kali;
G. Banua Wuhu (12 m dpl–bawah muka laut) antara tahun 1835–1919
sebanyak 6 kali; dan G. Awu (1.320 m/th.1923–921 m/th.1968 dpl) antara
tahun 1640–2004 meletus sebanyak 17 kali.
Gunung Ambang yang tingginya 1.689 m dpl, dimasukkan ke dalam
Tipe A oleh Neuman van Padang (1939), tetapi oleh para gunungapiwan
yang lain dimasukkan ke dalam Tipe B bersama dengan G. Sempu dan
G. Klabat, di Sulawesi Utara. G. Ambang meletus terakhir kali pada
tahun 1840, batuannya terdiri atas tufa, aglomerat, lava, dan endapan
lahar, dan bersusunan andesitan. Dalam kawahnya terdapat fumarola yang
mengendapkan belerang; pada tahun 1939 bersuhu antara 100o –130o, dan
pada tahun 1972 antara 90o–110o. Satu lagi gunungapi aktif yang jauh
terpisah dari lajur kira-kira 350 km sebelah barat daya G. Ambang, yaitu
G. Colo (G. Unauna; 508 m dpl), terletak di P. Unauna, Teluk Tomini,
meletus pada tahun 1898, dan terakhir pada tahun 1980-an. Letusannya
menghasilkan batuan gunungapi andesitan (biotit, hornblende, augit),
sebagian mengandung kepingan peridotit. Di ujung utara lajur, di tepi
timur Laut Sulawesi, daerah lepas-pantai barat Kepulauan Sangihe, terdapat
tiga gunungapi bawah laut yang juga masih aktif.

B. Batuan terobosan Kuarter


Di daerah-daerah Sulawesi Tengah bagian barat, Leher Sulawesi, dan
bagian barat Lengan Utara Sulawesi, tersingkap batuan terobosan yang
­diduga berumur Pliosen-Plistosen. Batuan terobosan granit-granodiorit
yang diberi nama sebagai Granit Mamasa dan Granit Kambuno menunjuk­
kan umur radiometri 3,35 jt atau Pliosen. Batuan retas andesit-diorit di
daerah ini menunjukkan umur radiometri 1,68–0,97 jt atau ­Plistosen.
B­atuan pluton granodiorit-granit-dasit yang diberi nama sebagai
Granodiori­t Bumbulan di bagian barat Lengan Utara Sulawesi diperkirakan
berumur Pliosen.
Di G. Arengkambing, Kepulauan Sangihe ditemukan batuan terobosan
diorit, menerobos Batuan Gunungapi Sahendaruman yang berumur Plio-
Plistosen.

Batuan Kuarter | 99
C. Batuan klastika Kuarter
Di sebelah selatan Palu di sekitar Zona Sesar Palu-Koro, tersingkap batuan
klastika, berupa runtunan konglomerat dan batupasir, setempat batu­
lempung gampingan. Runtunan batuan ini disebut Formasi Pakuli (Sukido
dkk., 1993). Umurnya diduga Pliosen Akhir atau Plistosen, tebalnya sekitar
10 m. Formasi Pakuli terletak takselaras di atas semua satuan yang lebih
tua; terendapkan dalam lingkungan terestrial/fluviatil, berupa kipas aluvial,
dan teras sungai, yang merupakan bagian dari endapan molasa Sulawesi.
Batuan klastika berumur Kuarter diendapkan dalam cekungan-
cekungan terban, danau, rawa, dan di lembah serta muara sungai. Sebagian
diendapkan dalam lingkungan laut, sebagian dalam lingkungan payau, dan
sebagian besar dalam lingkungan darat. Dari bentuk dan luas sebaran-
nya, batuan sedimen klastika Kuarter, dapat menggambarkan batuan
dasarnya. Di daerah Lengan Selatan Sulawesi dan di Sulawesi Tengah
bagian barat, terdapat batuan sedimen Kuarter pada dataran pesisir yang
cukup luas di beberapa tempat (Gambar 5.2), pada cekungan memanjang
membentuk terban, dan pada cekungan membulat atau melonjong yang
menggambarkan sebagai cekungan bekas danau purba. Di daerah Leher
Sulawesi dan Lengan Utara Sulawesi terdapat sebaran batuan sedimen
Kuarter yang cukup luas di dataran cekungan antar pegunungan, yaitu
Dataran Paguyaman, Dataran Gorontalo, Dataran Dumoga dan Dataran
Kotamobagu. Di daerah lain di sepanjang pesisir kebanyakan terbentuk
dataran muara sungai yang sempit.

1. Cekungan terban
Dataran sedimen Kuarter di Lembah Terban Walanae, Lengan Selatan
(Gambar 5.2) mempunyai lebar antara 10–20 km, terapit oleh sembul
Pegunungan Soppeng (selebar 15–50 km, puncak tertinggi 1.694 m dpl)
di sebelah baratnya, dan sembul Pegunungan Bone (selebar 10–20 km,
puncak tertinggi 765 m dpl) di sebelah timurnya. Dataran sedimen Kuarter
di Lembah Terban Saddang, mempunyai lebar antara 1–10 km, terapit
oleh Pegunungan Toraja (Pegunungan Quarles; puncak tertinggi 2.884
m dpl) dan Pegunungan Gandadiwata (puncak tertinggi 3.074 m dpl) di
sebelah baratnya, dan Pegunungan Latimojong (puncak tertinggi 3.440 m
dpl) di sebelah timurnya. Secara garis besar, batuan sedimen Kuarter di
Cekungan Terban Walanae dan Cekungan Terban Saddang terendapkan
sejak Tersier Akhir sampai Kuarter Awal, dalam lingkungan sebagian laut
dangkal, sebagian payau, dan sebagian besar dalam lingkungan darat. Pada

100 | Geologi Sulawesi


lapisan atas batuan sedimen Kuarter di daerah ini, di sana-sini ditemukan
morfologi undak.
Pemboran eksplorasi oleh Indonesia Gulf Oil Co. (1973), menemukan­
data bawah permukaan bahwa Cekungan Walanae di sekitar daerah
­Sengkang terdiri atas Cekungan Sengkang Barat dan Cekungan S­engkang
Timur. Cekungan Sengkang Barat yang merupakan bagian timur dari
Cekungan Walanae, menurut data pemboran mengandung batuan sedimen
bertipe molasa setebal lebih dari 2.300 meter, dan Cekungan Sengkang
Timur, menurut data seismik memiliki batuan sedimen setebal sekitar
1.800 meter. Seperti telah dikemukakan di muka bahwa pemetaan geolog­i
rinci sekala 1:50.000 di daerah Sengkang mendapatkan empat satuan
batuan di Cekungan Sengkang Barat (van den Bergh dkk., 1995), dan
tiga satuan batuan di Cekungan Sengkang Timur (Grainge dan Devies,
1983). Di antara tujuh satuan batuan itu, dua di antaranya mengandung
fosil vertebrata, yaitu Anggota Beru yang tersusun oleh endapan sungai-
danau-muara, dan Formasi Tanrung yang terdiri atas endapan sungai.
Kedua satuan batuan itu menindih takselaras satuan batuan Formasi
(Kelompok) Walanae, dan mengandung fosil vertebrata, antara lain gajah
purba Archidiscodon celebensis (Hooijer, 1949) atau Archidiscodon celebochoerus
(Sartono, 1981), anoa purba, dan kurakura purba yang berumur Pliosen
Akhir-Plistosen Awal (Azis, 1978; Bortstra, 1977, 1991; Sartono 1979; van
Hekeren, 1958; Hoijer, 1948 ).
Penelitian sedimentologi menunjukkan bahwa pada kala Pliosen
Akhir di Cekungan Sengkang Barat sudah penuh dengan sedimen laut
yang diakhiri dengan endapan sungai teranyam dan endapan danau
(Hasibuan dkk., 1995). Pengangkatan yang terjadi pada Plistosen Awal
telah memutuska­n hubungan laut antara Selat Makassar dan Teluk Bone,
dan mencapai kestabilan daratan pada kala Plistosen Akhir. Berdasar-
kan dijumpainya fosil foram, di beberapa tempat masih teramati adanya
pengendapan sedimen laut selama kala Plistosen Akhir (Azis, 1990), dan
berdasarkan kemagnetan purba (magnetostratigrafi) yang menunjukkan
batas antara Kala Brunhes dan Kala Matsuyama (0,87–0,97 jt; Panjaitan dkk.,
1995 ).
Di beberapa tempat, bagian atas dari formasi-formasi berumur
­Neogen, sedimen bertipe molasa diendapkan menerus sampai Plistosen
Awal. Sebagaimana diungkapkan pada pembahasan Batuan Neogen
(Bab IV), batuan sedimen bertipe molasa ini adalah hasil rombakan
daerah s­embul yang terendapkan di tepi cekungan terban sebagai hasil

Batuan Kuarter | 101


pengangkatan­ dan penyesaran bongkah, dalam lingkungan paralas dan
darat.
Di ujung utara dataran Terban Walanae terdapat empat danau, dua di
antaranya yang besar adalah Danau Tempe (10 km x 11 km) dan Danau
Sidenreng (4,5 km x 6 km). Daerah di sekitar danau ini merupakan dataran
aluvium yang luas, dari selatan lembah hulu Sungai Walanae berarah
selatan–utara (sepanjang sekitar 52 km, terlebar 34 km), dan dari utara
lembah hilir Salo Dua dan Salo Bila bearah selatan–utara (19 km x 15
km) dari sebelah barat daya Pegunungan Latimojong. Ke arah barat
laut dari daerah sekitar Danau Sidenreng, terhampar dataran aluvium
Rappang–Pinrang yang luas berarah tenggara–barat laut (40 km x 15
km); di bagian tenggara merupakan dataran hilir Salo Rappang (Salo
Karajae, sebelah barat Pegunungan Latimojong), dan di bagian barat laut
merupakan lembah hilir Salo Saddang (yang juga berupa lembah terban).
Di daerah sekitar empat danau itu sebagian berawa, dan sedimennya
berupa endapan danau dan endapan rawa.
Endapan sedimen terban juga terjadi di lembah Sesar Palu–Koro,
yang di bagian utaranya dari sekitar Desa Bangga sampai ke sekitar Kota
Palu membentuk terban, yang bisa disebut sebagai Terban Palu. Terban
Palu sepanjang sekitar 58 km, di daerah sekitar Palu selebar lebih-kurang
17 km, di daerah sekitar Bangga hanya selebar sekitar 6 km, dan terus
menyempit ke arah selatan. Dalam cekungan Terban Palu ini diendapkan
batuan sedimen bertipe molasa, terdiri atas konglomerat, batupasir, dan
batulumpur, yang di bagian utaranya bersisipan batugamping dan napal
berumur Miosen–Pliosen. Diperkirakan pengendapan batuan sedimen di
Terban Palu ini berlangsung sampai kala Plistosen, dalam lingkungan laut
dangkal dan berkembang jadi daratan sampai sekarang.

2. Cekungan danau
Sebaran batuan sedimen Kuarter berbentuk membulat dan melonjong,
berukuran besar dan kecil, terdapat di beberapa tempat di daerah
­pegunungan di sepanjang Mendala Sulawesi Barat, dan ditafsirkan s­ebagai
endapa­n danau purba. Di Pegunungan Soppeng di Lengan Selatan
­Sulawesi terdapat sedikitnya sebelas cekungan selebar antara 1–4 km,
yang terisi endapan danau (Sukamto, 1982; Sukamto dan Supriatna, 1982).
Di daerah pegunungan, sebelah barat daya Pegunungan Gandadiwata,
terhampar batuan sedimen (konglomerat berkomponen granit, batu­­­­pasir

102 | Geologi Sulawesi


tufa, balanau dan serpih, dan berfosil moluska) dinamakan sebagai
Endapan Antar Gunung, seluas 6 km x 8 km, yang diendapkan dalam
lingkungan danau pada kala Plistosen (Djuri dkk., 1998). Juga di daerah
pegunungan sebelah utara Bulu Kambuno, terdapat dua cekungan dengan
endapan danau (seluas 4 km x 4 km, dan 4 km x 8 km), yang diberi nama
sebagai Formasi Pakuli (konglomerat, batupasir, sisipan batulempung
karbonan), yang berumur Plistosen (Sukido dkk., 1993). Batuan sedimen
endapan danau juga terhampar di beberapa tempat daerah pegunungan
di sebelah barat dan utara Bulu Kambuno. Di atas Pegunungan Takole-
kaju, antara Sesar-sungkup Poso dan Sesar Palu-Koro, terhampar batuan
sedimen di empat daerah dataran tinggi. Batuannya terdiri atas batupasir,
konglomerat, batulanau, dan batulempung bersisipan gambut, dan dinamai
sebagai Formasi Napu, yang diduga diendapkan dalam lingkungan mulai
dari laut dangkal sampai payau; berumur Pliosen-Plistosen, dan mem­
punyai tebal lebih dari 1.000 m (Simandjuntak dkk., 1991b). Satuan batuan
ini ditindih takselaras oleh batuan sedimen endapan danau, termasuk
sedimen di sekitar Danau Lindu yang berumur Plistosen. Ada sedikitnya
sepuluh hamparan batuan sedimen endapan danau di daerah pegunungan
ini, yang luasnya beragam dari 5 km x 1 km sampai 20 km x 8 km, dan
yang di dataran timur Danau Lindu seluas 18 km x 10 km. Batuannya
tersusun oleh kerakal, kerikil, pasir, dan lempung bergambut.
Di tengah Lengan Utara Sulawesi, dari barat ke timur, terdapat
­beberapa dataran cekungan antar pegunungan yang di dalamnya ter­
endapkan batuan sedimen bertipe molasa dan endapan danau. Di bagian
barat, terdapat endapan aluvium di lembah antar pegunungan, antara lain
di sebelah barat laut Pegunungan Dapi dan di sekitar Pegunungan Loba.
Batuan sedimen bertipe molasa terhampar luas di sebelah barat daya
Pegunungan Paleleh, 30 x 9 km2, dinamakan sebagai Molasa Sulawesi dan
Formasi Lokodidi seperti yang terhampar di pesisir utara. Diperkirakan,
batuan bertipe molasa di lembah antar pegunungan ini sebagai en­dapan
danau Pliosen–Plistosen. Di bagian tengah terdapat dataran daerah aliran
sungai (DAS) Paguyaman, seluas kira-kira 40 x 12 km2. DAS ini ­ter­letak di
sebelah timur laut Pegunungan Loba, di dalamnya terendapkan batulem-
pung, batupasir, kerikil, dan setempat berlignit, yang ditafsirkan sebagai
endapan danau Plistosen (Bachri dkk., 1993). Endapan sedimen yang
sejenis terhampar di dataran rendah Gorontalo, sebelah timurnya, 40 x 8
km2, yang merupakan pertemuan tiga DAS, yaitu DAS Bolango (52.775

Batuan Kuarter | 103


ha), DAS Bone (104.067 ha), dan DAS Limboto (86.517 ha), dan di
tengahnya terdapat Danau Limboto.
Di daerah hulu S. Bone dan S. Aisa, sebelah barat Pegunungan
Bone, bagian timur Lengan Utara Sulawesi, di daerah pegunungan
­terdapat beberapa cekungan kecil yang terisi batuan konglomerat, breksi
dan batupasir. Batuan itu dinamakan sebagai Molasa Sulawesi yang ber­
umur Pliosen­–Plistosen (Apandi dan Bachri, 1997). Di sebelah tenggara
­Pegunungan Buludawa terdapat dua dataran tinggi antar pegunungan, yaitu
Dataran Dumoga dan Dataran Kotamobagu, yang terisi batu­lempung,
batupasir dan kerikil, setempat berlignit, dan dinamakan endapan ­danau
Plistosen, yang sebagian sudah terungkit sampai 30o (Apandi dan ­Bachri,
1997). Secara setempat, batuannya dicirikan oleh endapan molasa, yang
tersusun oleh konglomerat, breksi, batupasir, dan lumpur berlignit.
­Dataran Dumoga, panjang sekitar 30 km dan lebar antara 1–12 km, berada
di antara pegunungan berbatuan gunungapi dan sedimen Neogen, serta
batuan gunungapi Pliosen–Plistosen. Dataran Kotamobagu, seluas 17 x 15
km2, berada di antara pegunungan berbatuan sedimen Paleogen, sedimen
dan gunungapi Neogen, dan gunungapi Kuarter G. Ambang yang berupa
lapangan solfatara. Di sebelah timur laut G. Ambang terdapat endapan
danau Plistosen, panjang kira-kira 21 km dan lebar antara 1–4 km.
Selain danau yang sudah surut dan menyisakan batuan sedimen-
nya, di sepanjang Mendala Geologi Sulawesi Barat juga masih terdapat
genangan danau, baik di dataran rendah maupun di daerah pegunungan.
Di Lengan Selatan Sulawesi, di dataran rendah, terdapat Danau Tempe,
Danau Sidenreng­, dan Danau Lapompaka. Di Sulawesi Tengah bagian
barat terdapat Danau Lindu pada ketinggian di atas 1.000 m dpl. Di
pesisir barat Leher Sulawesi terdapat dua danau, satu Ranau Baleisang
di Tanjung Bau, dan satu lagi Ranau Lembata di Tanjung Dampelas.
Di bagian tengah Lengan Utara Sulawesi terdapat Danau Limboto yang
sudah semakin ­mendangkal, yang pada dua dasawarsa yang lalu masih
sedalam 30 m, sekarang tinggal sedalam 4 m. Di sebelah timur G. Ambang
terdapat Danau Mala sekitar 4 x 2 km2. Danau yang luas berada di sisi
timur kaldera Tondano, ujung timur Lengan Utara Sulawesi, adalah Danau
Tondano, kurang-lebih 12 x 5 km2.

3. Dataran pesisir

104 | Geologi Sulawesi


Batuan sedimen Kuarter di dataran pesisir merupakan endapan delta
sungai dan endapan payau, sebagian membentuk dataran aluvium yang
luas di muara sungai besar, dan sebagian membentuk dataran aluvium
sempit di muara sungai kecil. Di daerah hulu sungai besar yang dekat pada
sumbernya, aluvium terdiri atas bongkah, kerakal, kerikil, pasir, lanau dan
lumpur; dan di daerah hilir yang jauh dari sumbernya, aluvium tersusun
oleh lempung, lanau, lumpur, pasir, kerikil, dan kerakal. Endapan aluvium
di pantai kebanyakan tersusun oleh pasir, lumpur, dan rombakan batu-
gamping koral; dan yang di daerah berawa atau daerah payau kebanyak­an
tersusun oleh lumpur, lempung, dan gambut. Di beberapa tempat di
daerah pantai terdapat undak sungai sampai beberapa meter tingginya.
Di Kepulauan Bonerate, endapan aluvium hanya tersebar sempit
di pesisir timur P. Tanah Jampea, dan agak luas di pesisir barat, berupa
endapan sungai, rawa, dan pantai. Di P. Selayar, sebaran aluvium sempit
hanya terlihat di pesisir barat. Secara setempat, di dekat pantai ditemukan
pula batugamping koral. Endapan aluvium pantai di P. Salayar ditemukan
di beberapa tempat di pesisir barat, kebanyakan sempit, terlebar hanya
sekitar 3 km; di pesisir timurnya sebagian besar berpantai terjal.
Di Lengan Selatan Sulawesi terdapat endapan aluvium luas di pesisir
barat, yaitu di Dataran Takalar–Makassar (sepanjang + 50 km, terlebar­
17,5 km), sebagai delta S. Jeneberang dan beberapa sungai kecil di
­sekitarnya. Dataran Takalar–Makassar ini melampar ke paparan lepas
­pantai Spermonde, seluas sekitar 11.000 km2, sebelah barat ­dayanya
­dengan pulau-pulau atol batugamping koral di sana-sini. Di sebelah
utaranya juga terhampar dataran aluvium pesisir yang luas, yaitu Dataran
Marros–Pangkajene–Segiri (sepanjang + 50 km, terlebar 22,5 km), sebagai
delta sungai besar Marros dan Pangkajene, dan beberapa sungai kecil di
sekitarnya. Dataran pesisir Marros dan daerah-daerah sebelah utaranya,
sampai ke Parepare, sepanjang sekitar 60 km tersebar sedimen aluvium,
terlebar 5 km, dengan perbukitan rendah batuan Neogen dan Paleogen
muncul di sana-sini. Dataran aluvium di pesisir timur tidak seluas yang di
pesisir barat, yang nisbi luas adalah Dataran Sinjai (sepanjang + 20 km,
terlebar 5 km), Dataran Lapasak–Marek (sepanjang + 20 km, terlebar 5
km). Dataran lembah hilir Salo Walanae, membentang tenggara–barat
laut sepanjang sekitar 40 km dan terlebar 10 km, dan Dataran Pesisir
Maroanging–Baulolong sepanjang sekitar 82 km dan terlebar 10 km.
Bagian utara dataran pesisir ini merupakan pesisir timur Sulawesi Tengah
bagian barat, dan di tengahnya terdapat dataran dari lembah Salo Gilirang,

Batuan Kuarter | 105


membentang timur–barat sepanjang sekitar 22,5 km dan terlebar 5 km. Di
pesisir selatan, daerah sekitar antara Takalar–Bantaeng-Bulukumba, dataran
pesisir nisbi sempit terdapat di beberapa tempat (terpanjang + 15 km, dan
terlebar 3 km).
Di pesisir barat, Dataran Parepare–Tupu sepanjang 50 km (terlebar 20
km) terhampar endapan aluvium yang sebagian besar merupakan endapan
delta Salo Saddang (lembah terban antara Pegunungan Gandadiwata di
sebelah barat, dan Pegunungan Latimojong di sebelah timur). Dataran
­aluvium Parepare–Tupu berada di pantai timur Teluk Mandar. Di pantai
utara teluk, terdapat dataran aluvium lembah hilir Salo Mapili (25 x 17
km2), dan dataran aluvium Majene (8 x 2 km2) serta aluvium sungai (10
x 2 km2). Di sekitar dataran aluvium Majene terhampar endapan laut
berupa napal yang dinamakan sebagai Napal Pambuang yang berumur
Plistosen (Djuri dkk., 1998). Di pesisir barat Sulawesi Tengah bagian
barat ini, daerah antara Majene–Mamuju berpantai terjal, dan di sana-sini
terdapat endapan aluvium pantai yang sempit (terluas 5 x 1 km2). Di
daerah sebelah utaranya terdapat dua dataran aluvium yang luas, yaitu
dataran di Cekungan­ ­­Karama (Budongbudong) dan dataran di Cekungan
Lariang. Daerah pesisir antara Mamuju–Belangbelang, endapan aluvium-
nya nisbi sempit, hanya sepanjang kira-kira 40 km dan terlebar 6 km;
tetapi daerah antara Belangbelang-Kambunong, sepanjang sekitar 57 km
dan terlebar lebih dari 22 km, meluas jadi dataran aluvium Cekungan
Karama sebagai delta tiga sungai besar, yaitu S. Karama, S. Lumu, dan S.
Budongbudong. Batuan sedimen aluvium di daerah ini (kipas alluvium:
breksi, batupasir, pasir, lempung dan lumpur) menindih Formasi Budong-
budong ­(konglomerat, batupasir, sisipan batugamping dan batulanau),
yang berumur­ Plistosen (Ratman dan Atmawinata, 1993). Lembah S.
Karama sepanjang sekitar 15 km dan terlebar 5 km juga merupakan
dataran aluvium yang menjorok ke arah hulu. Di daerah dekat pantai,
di sana-sini terlonggok batugamping koral berumur Plistosen. Dataran
Cekungan Lariang di sebelah utaranya, daerah antara Kambunong–Pasang­
kayu–Weliri, sepanjang tidak kurang dari 103 km dan terlebar sekitar 27
km, terendapkan aluvium delta sungai besar Lariang dan beberapa sungai
kecil di sekitarnya. Batuan sedimen aluvium di dataran ini menindih
Formasi Pasangkayu (batupasir, batulempung, sisipan kongglomerat, dan
batugamping), yang berumur Pliosen–Plistosen dalam lingkungan laut
dangkal (Sukido dkk., 1993).

106 | Geologi Sulawesi


Dataran aluvium di pesisir timur Sulawesi Tengah bagian barat (pantai
barat dan pantai barat laut Teluk Bone) nisbi lebih sempit daripada yang
di pesisir barat. Di sebelah utara dataran pesisir Maroanging–Baulolong
adalah dataran aluvium pesisir Baulolong–Palopo, sepanjang sekitar 68 km
dan terlebar 22 km, dengan bukit-bukit Batuan Gunungapi Lamasi di sana-
sini. Batuan sedimen aluvium yang luas di pesisir timur ini disebut sebagai
Cekungan Bonebone dan melampar di antara Palopo–Bombolo, sepanjang
sekitar 68 km dan terlebar 35 km. Dataran aluvium ini merupakan­
en­d­a­p­a­n­­­­ delta dan limpahan banjir sungai-sungai besar antara lain S.
Rongkang, S. Balease, dan S. Bonebone. Sebagaimana disebutkan di muka,
bahwa data pemboran Indonesia Gulf Oil Co. (1971) di Cekungan Bone-
bone menunjukkan adanya pengendapan batuan sedimen bertipe molasa
yang menerus dari Pliosen hingga Holosen, setebal lebih dari 3.200 m.
Di daerah Leher Sulawesi, antara Palu dan Sumpilopong-Simboluton,
baik sepanjang pantai Selat Makassar dan pantai Laut Sulawesi maupun
sepanjang pantai Teluk Tomini (Gambar 5.2), dicirikan oleh sebaran
batuan sedimen Kuarter yang nisbi sempit. Di beberapa tempat di pesisir
barat terhampar batuan sedimen (konglomerat, batupasir, batulumpur,
batugamping koral, dan napal) yang berumur Pliosen–Plistosen. Satuan
batuan yang terhampar di daerah aliran sungai Salo Suramana, daerah
Donggala, dan sepanjang pesisir barat Tawueli-Tompe ini dinamakan
sebagai Molasa Sulawesi, yang di daerah selatannya dinamakan sebagai
Formasi Pasangkayu (Sukido dkk., 1993). Batuan sedimen aluvium pantai
yang nisbi luas hanya di daerah antara Weliri–Tanahmeja, sepanjang sekitar
35 km dan terlebar 4 km, dan di sekitar Tompe seluas 12 x 4 km2. Dari
Tanjung Bau sampai ke Tanjung Kapas, sepanjang sekitar hampir 200
km daerah pesisir dicirikan oleh sedikitnya tujuh tanjung yang menjorok
ke Selat Makassar dan Laut Sulawesi, dan oleh sedikitnya enam teluk
yang melekuk ke daratan Leher Sulawesi. Dataran aluvium pantai hanya
terhampar di pesisir teluk yang luasnya sekitar antara 15 x 5 km2 dan 25 x
7 km2. Daerah ini dicirikan pula oleh paparan laut dangkal (sampai 50–100
m) selebar 1–25 km. Batuan sedimen serupa, yang di P. Pangalasian,
mempunyai perlapisan yang sudah terungkit sampai miring 40o.
Dataran aluvium pantai di pesisir timur terhampar nisbi luas di daerah
antara Tanjung Ponindilisa–Parigi, sepanjang sekitar 40 km dan terlebar 12
km, dan di sekitar daerah-daerah Ampibobo, Kasimbar, dan Labuanbajo,
masing-masing selebar 6–7 km; sedangkan di antara daerah-daerah itu
dataran aluvium pantainya sempit, ada yang kurang dari satu kilometer.

Batuan Kuarter | 107


Batuan sedimen molasa Pliosen–Plistosen tersingkap tidak luas di sebelah
utara Parigi, di sekitar Kasimbar dan Labuanbajo. Demikian pula di
sepanjang pesisir tenggara Leher Sulawesi di sebelah utaranya, dataran
aluvium pantai juga ditemukan tidak begitu luas di beberapa tempat. Dari
sekitar Tanjung Lemo sampai ke sekitar Tanjung Palasa, terdapat paparan
laut dangkal (sampai 50–100 m) selebar antara 1–8 km.
Di daerah pesisir selatan bagian barat Lengan Utara Sulawesi,
sepanjang­ sekitar 150 km antara Tanjung Palasa–Tanjung Panjung, ter­
hampar batuan berumur Kuarter yang luas, terdiri atas batuan sedimen­
sungai dan pantai, batuan gunungapi (Batuan Gunungapi Kuarter),
sedimen aluvium, dan paparan laut dangkal (50–100 m dpl) selebar 7–22
km. Batuan sedimen sungai dan pantai (kerikil, pasir, dan lempung ber-
sisipan gambut) mempunyai hamparan terlebar sekitar 15 km; sedimen
aluvium tak begitu lebar (terlebar 3 km) terdapat di sana-sini; dan paparan
laut dang­kal sepanjang 80 km antara Kampung Ogomapas–Kampung
Moutong yang ditumbuhi terumbu koral. Dataran aluvium berawa di
Tajung Panjung berbentuk segitiga, sepanjang 32 km dan terlebar 15 km,
merupakan delta beberapa sungai besar dan endapan rawa, antara lain dari
S. Molobuaya dan S. Marisa, tersusun oleh pasir, lempung, lanau, lumpur,
kerikil dan kerakal.
Daerah pesisir selatan bagian tengah, berarah barat-timur sepanjang
sekitar 120 km antara Tanjung Tamboo–Teluk Gorontalo; dan bagian
timur berarah barat laut–tenggara sepanjang sekitar 30 km antara Teluk
Gorontalo–Tanjung Momonggawa, dan kemudian berarah barat–timur
sepanjang sekitar 140 km antara Tanjung Momonggawa–Tanjung
Mayopang,­ sebagian besar bercirikan pantai yang terjal. Garis pantainya
berliku-liku membentuk teluk dan tanjung yang tidak begitu lebar, dengan
dataran aluvium nisbi sempit di muara sungai; dan dataran aluvium yang
agak luas terdapat di sekitar Kampung Malibagu (12 x 3 km2). Paparan laut
dangkal sampai kedalaman 100 m juga terdapat di beberapa daerah, seperti
di antara Tanjung Panjung–P. Asiangi sepanjang sekitar 63 km dan terlebar
10 km, dan di sekitar Kepulauan Batutolu (25 km x terlebar 5 km), yang
ditumbuhi terumbu koral.
Pesisir tenggara ujung timur Lengan Utara Sulawesi (membelok ke
arah timur laut) dari Tanjung Mayopang ke Teluk Belang, sepanjang
lebih-kurang 62 km, seperti di daerah pesisir sebelah baratnya, sebagian
besar bercirikan pantai yang terjal dengan garis pantai berliku-liku mem-

108 | Geologi Sulawesi


bentuk teluk dan tanjung yang tidak begitu lebar, dengan dataran aluvium
nisbi sempit di muara sungai. Dataran aluvium pantai yang sedikit luas
hanya berukuran sekitar 17 x 7 km2 dan 15 x 3 km2. Pantai Teluk Belang
merupa­kan batas bentuk garis pantai yang berliku-liku di sebelah barat
daya dengan garis pantai yang lurus dari batuan gunungapi Kuarter di
sebelah timur lautnya.
Di pesisir utara Lengan Utara Sulawesi bagian barat, antara Tanjung
Kapas dan Tanjung Dako (Gambar 5.2), terdapat dataran aluvium pantai
yang nisbi sempit di beberapa tempat; yang tergolong agak luas berukuran
antara 25 km x terlebar 3 km. Dataran aluvium yang luas terhampar di
sepanjang hilir S. Buol, yang bermuara di Kota Buol. Di pantai, dataran
aluvium ini selebar sekitar 10 km, menjorok ke pedalaman (daratan)
sampai sejauh lebih-kurang 35 km, yang ujungnya selebar kurang dari
satu kilometer. Batuan sedimen bertipe molasa terhampar barat-timur
sepanjang lebih-kurang 70 km dan terlebar sekitar 16 km dari sebelah
barat daya Kota Buol. Batuannya tersusun oleh konglomerat, batupasir
kuarsa, grewake, serpih, batulempung, tufa, napal, dan batugamping koral,
diperkirakan berumur dari Miosen Akhir sampai Plio-Plistosen, di sebelah
barat daya dan selatan Kota Buol dinamakan sebagai Molasa Celebes
(Ratman, 1976), dan yang di sebelah timurnya dinamakan sebagai Formasi
Lokodidi (Bachri dkk., 1993).
Mirip dengan pesisir selatan, pesisir utara Lengan Utara Sulawesi
bagian tengah dan timur, daerah antara Kampung Japan–Teluk Kuandang,
dan antara Teluk Kuandang–Bolaang Mongondow (Gambar 5.2), sebagian
besar bercirikan pantai yang terjal. Garis pantainya berliku-liku membentuk
teluk dan tanjung yang tidak begitu lebar, dengan dataran aluvium nisbi
sempit di muara sungai. Formasi Lokodidi masih tersingkap di beberapa
tanjung di daerah antara Kampung Japan–Tanjung Lilato, dan di sebelah
selatan Teluk Kuandang. Sepanjang daerah lepas pantai antara Kampung
Japan–Teluk Kuandang–Bolaang Mongondow, terdapat paparan laut
dangkal (50–100 m dpl) selebar antara 3–25 km.
Pesisir barat laut ujung timur Lengan Utara Sulawesi (membelok
ke arah timur laut) dari Bolaang Mongondow ke Tanjung Korakora,
sepanjang sekitar 135 km, membentuk tonjolan tanjung dan lekukan teluk
(antara lain yang luas adalah Teluk Amurang dan Teluk Manado), yang
terbentuk oleh hasil kegiatan gunungapi selama Pliosen-Plistosen, dan
sebagian masih giat sampai sekarang. Daerah pesisir ini terluas, dan terdiri

Batuan Kuarter | 109


atas batuan gunungapi Kuarter; dan yang sempit berupa dataran pantai
di beberapa tempat. Dataran aluvium yang nisbi luas hanya terdapat di
ujung timur laut Lengan Utara Sulawesi, sebelah selatan Tanjung Korakora,
sekitar 4 x 20 km2. Batuannya terdiri atas pasir, lanau, lempung yang
s­ebagian napalan, dan setempat berfosil moluska dan kayu. Sebagian
batuan sedimen Kuarter di daerah ini sudah membentuk undak, yang
menandakan adanya pengangkatan muda dari lingkungan laut menjadi
lingkungan darat. Dataran aluvium ini melandai ke arah utara menjadi
paparan laut dangkal (20–100 m) seluas lebih-kurang 25 x 17 km2, dengan
beberapa pulau batuan klastika berumur Pliosen. Daerah lepas pantai
sebelah utara Teluk Manado terdapat beberapa pulau batuan sedimen
Tersier, batuan gunungapi Kuarter, dan sedimen aluvium pantai.
Di Kepulauan Sangihe, aluvium pantai dan sungai tersusun oleh
pasir, lempung, lumpur, kerikil dan kerakal. Di daerah ujung tenggara P.
Sangihe Besar tersingkap himpunan batuan yang terdiri dari konglomerat,
pasir, lanau, dan sisipan tufa yang dinamakan sebagai Formasi Pintareng,
menindih batuan gunungapi Plio-Plistosen, dan diperkirakan berumur
Plistosen Akhir. Di dalam Formasi Pintareng ini ditemukan fosil Stegodon
sp. B. cf. Trigonocephalus (Samodra, 1994).
Endapan sedimen klastika berumur Kuarter tersebut di banyak tempat
sudah menjadi teras dengan morfologi yang lebih tinggi, dan bisa disebut
sebagai aluvium tua. Batuan sedimen ini tersusun oleh tanah pasiran,
lempung, pasir, dan kerikil; yang membentuk dataran bergelombang, baik
di dataran pesisir maupun di cekungan bekas danau. Endapan Kuarter
yang lain berasal dari longsoran dan runtuhan batuan yang terbentuk di
bawah tebing, ditemukan di beberapa daerah, seperti di sekitar Kompleks
Melange Bantimala, dan di sepanjang sesar Palu-Koro.

D. Batuan karbonat Kuarter


Endapan karbonat yang sangat muda atau Holosen, terdapat di beberapa
daerah pesisir P. Sulawesi. Kebanyakan batuan karbonat itu memperlihat-
kan morfologi undak sebagai pertanda adanya proses pengangkatan di
­pulau ini. Batugamping koral di sebagian besar pesisir Kepulauan Boner-
ate, Kepulauan Pasitallu, dan Kepulauan Macan memperlihatkan dengan
jelas adanya beberapa undak pantai seperti juga teramati di P. Salayar. Di
daerah lepas pantai Dataran Takalar–Makassar, melampar paparan laut
dangkal Spermonde, seluas + 11.000 km2, tumbuh terumbu koral yang

110 | Geologi Sulawesi


sebagian telah muncul ke permukaan menjadi pulau atol batugamping
koral.
Di Sulawesi Tengah bagian barat, sebelah barat laut Majene dan di
sebelah barat laut muara S. Mapili tersingkap batuan sedimen karbonatan
yang dinamakan sebagai Napal Pambuang, dan terdiri atas napal tufaan,
serpih napalan, batupasir tufaan, dan konglomerat, mengandung fora­­­
mini­fera­ berumur Plistosen (Djuri dan Sudjatmiko, 1974). Endapan karbonat
laut dangkal terpetakan sebagai bagian dari Formasi Budongbudong di
dataran Cekungan Karama. Di dekat pantai, secara setempat ditemukan
pula batugamping koral dan bioklastika, sebagian mengandung moluska,
sebagian memperlihatkan undak.
Batugamping berumur Kuarter di Leher Sulawesi juga tersingkap
di beberapa daerah. Di sekitar daerah Donggala, pesisir barat Tawueli–
Tompe, dan di pesisir barat daya Tanjung Bau terhampar batugamping
koral yang luas, berumur Pliosen–Plistosen. Pada paparan laut dangkal di
pesisir tenggara Leher Sulawesi, antara sekitar Tanjung Lemo sampai ke
sekitar Tanjung Palasa, terdapat paparan laut dangkal (sampai 50–100 m)
seluas 8 x 1 km2 dengan terumbu karang tumbuh di sana-sini.
Daerah antara Tanjung Bau dan Tanjung Kapas di pantai barat Leher
Sulawesi, sepanjang sekitar hampir 200 km lepas pantai Selat Makassar
dan Laut Sulawesi, pada paparan laut dangkal (sampai 50–100 m) seluas
25 x 1 km2 terdapat pulau-pulau dan atol batugamping koral. Di beberapa
tempat sepanjang daerah pesisir ini, batugamping koralnya sudah ada yang
terangkat ke permukaan, dan yang agak luas tersingkap di sekitar Tanjung
Dampelas dan Tanjung Bagimpuang (Gambar 5.2).
Di paparan laut dangkal lepas-pantai utara Teluk Tomini, antara
­Kampung Ogomapas–Kampung Moutong, antara Tanjung Panjung–P.
Asiangi (Gambar 5.2), dan di sekitar Kepulauan Batutolu bermunculan­
batugam­ping koral ke permukaan laut menjadi pulau-pulau atol. Batu-
gamping koral berumur Kuarter di daerah antara P. Limba–Teluk Goron-
talo, sudah terangkat ke permukaan menjadi bagian dari daerah pesisir
selatan Lengan Utara Sulawesi. Secara setempat batugamping koral Kuarter
juga tersingkap di daerah pesisir antara Teluk Gorontalo dan Kampung
Malibagu.
Batugamping koral berumur Kuarter terhampar luas di sebelah barat
Kota Buol, di Tanjung Dako (Gambar 5.2), sebelah utara Kota Buol
(sudah terangkat sampai setinggi + 200 m), dan tersingkap nisbi sempit

Batuan Kuarter | 111


di Tanjung Kapas dan Santigi. Di paparan laut dangkal antara Kampung
Japan–Teluk Kuandang–Bolaang Mongondow tumbuh terumbu koral,
yang di antaranya sudah muncul ke permukaan sebagai pulau atol.
Di sekitar Dataran Gorontalo (Gambar 5.2), terhampar batugamping
berumur Kuarter, di sebelah baratlaut D. Limboto seluas sekitar 20 x 4
km2 berumur Pliosen–Plistosen, dan di sebelah barat serta selatannya,
seluas sekitar 37 x 4 km2 berumur Plistosen. Beberapa tempat di pesisir
selatan daerah Kotamobagu, dan sedikit di pesisir utara, ditemukan batu-
gamping terumbu dan bioklastika berumur Holosen yang sudah terangkat
menjadi daratan. Pengangkatan Resen daerah ini juga ditunjukkan oleh
adanya batugamping koral terangkat dan membentuk undak di beberapa
tempat daerah pesisir. Di beberapa tempat di daerah pantai di sekitar
Manado terdapat batugamping koral yang terangkat.

112 | Geologi Sulawesi


BAB VI
MAGMATISME SULAWESI
 Oleh: Bambang Priadi

Pulau Sulawesi dengan bentuknya yang khas seperti huruf “K”


terletak di daerah dengan tektonik kompleks di zona pertemuan antara
Lempeng Eurasian, Indo-Australia, dan Pasifik (Hamilton, 1979; Silver
dkk., 1983a). Keempat lengan Pulau Sulawesi, Lengan Selatan Sulawesi,
Lengan Utara Sulawesi, Lengan Timur Sulawesi, Lengan Tenggara
S­ulawesi, dan Sulawesi Tengah, tersusun oleh batuan yang beragam yang
sebagian berbeda umur dan genesisnya (Gambar 6.1).

Gambar 6.1 Posisi lengan-lengan Sulawesi yang mempunyai komposisi


batuan dan tektonik yang berlainan (Hall dkk., 2005). Produk vulkanik/
magmatik di Sulawesi terkonsentrasi di Lengan Barat Sulawesi.

113
Untuk memudahkan penunjukkan lokasi akan digunakan pembagian­
zona (wilayah) keberadaan produk vulkanik/magmatik berdasarkan
­kelimpahan singkapan produk vulkanik/magmatik yang ada (Gambar 6.2):
1) Zona Ujungpandang (Makassar) (UP): dari ujung selatan Lengan
Selatan Sulawesi sampai dengan Tanah-Toraja.
2) Zona Tana Toraja (TJ): di bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan
sampai ke perbatasan Sulawesi Tengah.
3) Zona Palu (PL): di sekitar kota Palu sampai dengan kota Tolitoli.
4) Zona Tolitoli (TT): zona Lengan Utara Sulawesi mendatar pada arah
barat-timur, antara kota Tolitoli dan bagian timur Gorontalo.
5) Zona Manado (MN): zona paling ujung timur Lengan Utara Sulawesi,
meliputi juga Kepulauan Sangihe yang terus memanjang ke utara.

Gambar 6.2 Zona kemunculan produk vulkanik/magmatik di bagian barat


Sulawesi, yang untuk kemudahan teknis diskusi dikelompokkan dalam zona
Makassar (UP), Toraja (TJ), Palu (PL), Tolitoli (TT), dan Manado (MN).

114 | Geologi Sulawesi


Dalam pembahasan ini akan digunakan antara lain parameter afinitas
magmatik (variasi kandungan %K2O terhadap %SiO2; Peccerillo dan
Taylor, 1976):
1) Afinitas toleitik (TH): kandungan %K2O rendah, mengindikasikan
vulkanisme yang terkait dengan subduksi awal dengan kontribusi
komponen kontinental/benua masih minimal, atau vulkanisme non­
subduksi (sistem pemekaran tengah samudra).
2) Afinitas kalk-alkali (KA): kandungan %K2O sedang, kontribusi
­kom­­ponen kontinental relatif berimbang dengan karakter magma
hasil peleburan mantel. Afinitas KA menunjukkan karakter khas yang
mengindikasikan vulkanisme terkait dengan subduksi.
3) Afinitas kalk-alkali potasik (KAP): kandungan %K2O lebih tinggi
daripada tipe kalk-alkali, mengindikasikan penambahan kandungan
potasium (%K2O), biasanya terkait dengan kerak kontinen yang
relatif tebal, atau vulkanisme yang terkait dengan kolisi antarlempeng
kontinen.
4) Afinitas potasik/ultra-potasik (UP) dan shoshonitik (SH): kandunga­n
%K2O tinggi. Afinitas potasik (%K2O sampai dengan ~6%) meng­
indikasikan vulkanisme yang terkait dengan aktivitas magmatik
pasca-subduksi, sedangkan afinitas ultra-potasik (%K2O > 6%)) terkait
­de­ngan vulkanisme kontinental, atau pasca-subduksi pada kerak kon-
tinen yang tebal.
Pendekatan yang lain adalah membagi kemunculan produk vulkanik/
magmatik berdasarkan umurnya, meskipun pengelompokan ini tidak ­selalu
tepat karena sejumlah aktivitas vukanik/magmatik ada yang menerus
melampaui batasan kisaran umur yang dibuat, terutama untuk yang ber­
umur muda: vulkanisme pra-Tersier dan Paleogen, vulkanisme Neogen,
dan vulkanisme Kuarter.

A. MAGMATISME PRA-TERSIER
Vulkanisme pra-Tersier di Lengan Selatan Sulawesi dijumpai berupa batuan
ultrabasa yang tersingkap di daerah Barru, Bantimala, Kepulauan Bonerate,
ataupun ofiolit di sekitar Palopo-Sinjai dan Watampone.
Di daerah Barru, batuan ultrabasa berkontak sesar dengan batuan
­malihan, tertindih tak-selaras oleh sedimen flysch Kapur Akhir, dan
diterobos oleh diorit yang diduga berumur Paleosen. Batuan ultra­­basanya
mengalami serpentinisasi kuat, terkekarkan dengan banyak memperlihatkan

Magmatisme Sulawesi | 115


struktur gores-garis (Hasan, 1991). Mineralogi penyusun yang teramati
adalah olivin dan piroksen. Batuannya dijumpai ada yang masif dan ada
yang berlapis dengan kemiringan bidang perlapisan 45–650NNE. Laterit
hasil pelapukan sangat tipis menunjukkan pengangkatannya (untuk kontak
dengan kondisi atmosferik) belum terlalu lama.
Di kompleks Melange Bantimala, batuan ultrabasa dipetakan sebagai
Batuan Ultrabasa Kayubiti (Sukamto, 1986). Batuan ultrabasa yang ada
membentuk kompleks melange, bersama dengan batuan sedimen Jura
Awal–Jura Tengah dan batuan malihan Trias di daerah ini, juga diduga
setidaknya berumur Trias (Sukamto, 1986). Seperti batuan lain dalam
kompleks mélange, batuan ultrabasa di sini juga berupa bongkah dalam
bancuh, yang ukurannya bisa mencapai 1,2 x 9,3 km. Batuan ultrabasanya
sebagian masif dan sebagian berlapis, kebanyakan terbreksiakan dan ter­
serpentinisasikan sangat kuat. Serpentinit yang sangat banyak ditemukan
diduga sebagian berasal dari piroksenit (Sukamto, 1986). Mineral kromit
ditemukan setempat-setempat sebagai bercak-bercak dalam batuan ultra-
basa berlapis.
Batuan ultrabasa juga ditemukan di ujung selatan Mendala ­Geologi
Sulawesi Barat, yaitu di Kepulauan Bonerate, tersingkap di Pulau
­Tambolongan, Pulasi, Kalao, dan di Pulau Madu, terdiri dari piroksenit,
gabro, dan basalt. Satuan batuan ini diterobos oleh granit-monzonit
dengan retas-retas diorit, diabas, dan andesit, yang diduga berumur
Eosen-Oligosen, dan tertindih tak-selaras oleh batuan karbonat, batuan
gunungapi, dan batuan sedimen berumur Paleogen (Koswara dkk., 1994).
Singkapan batuan ultrabasa yang berasosiasi membentuk “dismembered­
ophiolite” (Priadi dkk., 1993; Priadi dkk., 2006) dijumpai di antara Palopo
sampai Sinjai di pantai timur Lengan Selatan Sulawesi. Kelompok
batuan ini sebelumnya dikenal dengan nama batuan Gunungapi Lamasi
­(Sudjatmiko dkk., 1981; Simanjuntak dkk., 1991) dan semula disebutkan
mempunyai umur 40K-40Ar 17, 8 jt atau Miosen Tengah (Sukamto, 1975c).
Dari karakter kimia dan data umur yang diperoleh kemudian, batuan
Gunung­api Lamasi dapat dikelompokkan menjadi tiga satuan berbeda,
yaitu Batuan Ofiolit Palopo yang berumur Pra-Tersier, sedangkan dua
satuan lainnya, yaitu batuan Gunungapi Lamasi-Pohi dan batuan Gunun-
gapi Lamasi-Songka menunjukkan umur Tersier (Priadi dkk., 1994). Batuan
Ofiolit Palopo diwakili oleh kehadiran sistem terobosan basalt-diabas
(dyke swarm, di jembatan Sungai Lamasi), serta gabro masif dan gabro
berlapis (di selatan Palopo, di sekitar Bonelemo). Informasi lisan Surono

116 | Geologi Sulawesi


(2011) menyebutkan adanya singkapan peridotit di sekitar pelabuhan
kota Palopo. Data umur 40K-40Ar pada batuan-batuan ini memperlihatkan
kisaran 158,50–137,17 jt atau Jura Akhir dengan tingkat ketidakpastian
cukup tinggi (Priadi dkk., 1993). Afinitas magmatiknya toleitik dan
mem­perlihatkan karakter kimiawi sebagai produk magmatik di belakang
busur (back-arc magmatic system) atau cekungan tepi kontinen (marginal basin
­magmatism) (Priadi dkk., 1993; Polve dkk., 1996; Priadi dkk., 1997).
Keberadaan ofiolit ini dengan batas-batas berupa kontak tektonik
di sisi barat mengindikasikan adanya proses alih-tempat secara tektonik
untuk menempati posisinya saat ini. Data geokimia dari Monnier dkk.
(1995a, b) mengindikasikan kesamaan origin antara vulkanik toleit (TH)
ini dan kompleks Ofiolit di Lengan Timur Sulawesi, yang menunjukkan
ciri vulkanisme cekungan busur-belakang atau cekungan tepi kontinen.
Di daerah Bone/Watampone seri batuan yang diinterpretasi-
kan ­seba­gai bagian atas dari seri ofiolit (Yuwono dkk., 1988) dikenal
­sebelumnya sebagai batuan Gunungapi Kalamiseng (Sukamto, 1982),
yang tersingkap­ di sekitar Watampone, merupakan asosiasi batuan tua
yang menurut Yuwono dkk. (1988) mengalami docking di sekitar 18–15
jtl. Kandungan unsur tanah langkanya menunjukkan kemiripan dengan
komposisi pada batuan Gunungapi Lamasi yang terletak jauh di sebelah
utaranya (Priadi dkk., 1993; Priadi dkk., 2006). Sisi barat dari kehadiran
batuan Gunungapi Kalamiseng ini juga mempunyai kontak tektonik/sesar
dengan satuan batuan lainnya.
Kehadiran batuan ofiolitik/ultrabasa di sisi timur lengan ­selatan
­dijumpai dari sekitar Palopo, Watampone, sampai ke Kepulauan
Takabonerate­ di selatan, dengan batas berupa kontak tektonik di sisi
baratnya. Hal ini memberikan indikasi proses alih-tempat batuan itu secara
tektonik dari sistem pembentukannya di sebelah timur Sulawesi.
Vulkanisme tertua dengan afinitas toleitik cekungan busur belakang
(back-arc magmatic system) yang berumur 158,50–137,17 jt atau Jura Akhir
merupakan produk vulkanik yang pembentukannya diperkirakan di luar
Sulawesi, berkaitan dengan kompleks Ofiolit di Lengan Timur Sulawesi
(Monnier dkk., 1995a, b). Kehadiran produk vulkanik ini di Lengan
Selatan Sulawesi diinterpretasikan melalui proses alih-tempat tektonik.
Menurut Yuwono dkk. (1988), alih-tempat ini diperkirakan terjadi pada
sekitar 15 jtl.

Magmatisme Sulawesi | 117


Kehadiran batuan ultrabasa pada zona Melange Bantimala di sisi barat
Lengan Selatan Sulawesi ditafsirkan sebagai hasil dari proses geologi yang
berbeda. Ditafsirkan adanya subduksi di bawah Lengan Selatan Sulawesi
yang menghunjam ke arah timur (Guntoro, 1996; Susilo, 2012), meskipun­
sejumlah peneliti tetap menganggap sebaliknya, bahwa subduksi meng­
hunjam ke arah barat dengan membentuk zona subduksi yang lebar
(Hamilton, 1979; Parkinson, 1990; 1998; Yuwono dkk., 1988).

B. Magmatisme Paleogen
Batuan vulkanik berumur Paleosen (40K-40Ar; 61,41–59,17 jtl.; Obradovich,
1974 dalam Sukamto, 1975c; Yuwono dkk., 1988; Polve dkk., 1996) yang
ditemukan di bagian selatan Mendala Barat Sulawesi mempunyai litologi
umum berupa lava basalt yang terkelompok dalam Formasi Bua (Yuwono
dkk., 1988). Afinitas kimianya kalk-alkali merupakan afinitas untuk magma
yang pembentukannya berhubungan dengan subduksi. Van Leeuwen dkk.
(2002) menyebutkan bahwa batuan vulkanik Langi di daerah Biru (sekitar
Bantimala) menunjukkan umur 52,3–49,8 jt. Batuan-batuan ini merupakan
produk magmatik berhubungan dengan subduksi yang (saat ini) diketahui
tertua di Sulawesi.
Di bagian timur Lengan Selatan Sulawesi dijumpai lava basalt di Sungai­
Ningo (Watampone) yang merupakan bagian dari Formasi Salokalupang.­
Penentuan umur pada batuan ini dilakukan dengan metode 40K-40Ar dengan
hasil umurnya adalah Eosen atau 52,20 jt (komunikasi personal dengan Alit
Ascaria, 2011). Keterbatasan data geokimia menjadikan­ identifikasi sampel
basalt Formasi Salokalupang ini menjadi terbatas. Kedekatan umurnya
dengan­umur Formasi Bua memberikan perkiraan kedua produk vulkanik ini
identik, yang menunjukkan keberadaan subduksi pada kala Paleosen–Eosen
Awal di ujung selatan Lengan Selatan Sulawesi.
Di sekitar Palu-Donggala, retas-retas basalt toleitik yang menunjuk-
kan umur 40K-40Ar 46,82 jt dan 34,46 jt ditemukan menerobos sedimen
Formasi Tinombo (Priadi dkk., 1993). Karakter kimiawi retas-retas ini
menunjukkan produk vulkanisme yang berkaitan dengan subduksi. Intrusi-
intrusi granodiorit-diorit toleitik juga ditemukan di Paleleh dan di Tantayuo
(zona Gorontalo).
Di daerah utara zona Palu tersebar luas produk vulkanik yang
­ber­asosiasi dengan produk sedimentasi. Batuan itu dipetakan sebagai
batuan Formasi Tinombo (Ratman, 1976). Penamaan Formasi Tinombo

118 | Geologi Sulawesi


sering membingungkan ketika diamati penyebarannya di lapangan. Batuan
penyusun formasi ini sangat beragam. Dari penamaannya yang sebagai
formasi seharusnya mengindikasikan penyusunnya satuan batuan sedimen,
tetapi yang dijumpai di lapangan bervariasi dari batuan sedimen klastik
sampai campuran dengan batuan vulkanik, dengan kisaran umur Oligosen-
Miosen atau Kapur Akhir–Oligosen Awal (Ahlburg, 1913, dalam Sukamto,
1973; Ratman, 1976). Formasi ini melampar sangat jauh (meskipun tidak
selalu membentuk pelamparan yang menyambung) dari daerah sekitar Palu
di Sulawesi Tengah sampai di sekitar Amurang di Sulawesi Utara.
Di daerah Labuanaki, di sisi utara Lengan Utara Sulawesi, dijumpai
kompleks lava basalt toleitik bertekstur bantal (umur 40K-40Ar 41,82 jt,
hasil analisis agak meragukan karena batuan sangat lapuk dan rendahnya
kandungan K2O). Analisis geokimia unsur tanah langka menunjukkan
karakter magmatisme cekungan busur-belakang dan mirip dengan pola
kimia basalt dari dasar Laut Sulawesi (Priadi dkk., 1993), yang datanya
didapat dari hasil pengeboran pada pelayaran riset ODP (Ocean Drilling
Project; Rangin dkk., 1990). Data geokimia, dan batas kompleks ini yang
berupa kontak sesar anjak, memberikan gambaran bahwa kompleks basalt
ini merupakan hasil alih-tempat (obduksi) sebagian dasar Laut Sulawesi ke
Lengan Utara Sulawesi.
Lava basalt toleitik berkarakter subduksi yang juga ditemukan sebagai
litologi Formasi Tinombo di sekitar Ayong (Amurang) dan Kwandang,
memberikan umur 40K-40Ar berturut-turut sebesar 30,50 jt dan 28,30 jt
(Priadi dkk., 1993).
Produk vulkanik berumur Oligosen di bagian selatan Lengan Selatan
Sulawesi (zona Makassar) didapat dari hasil penentuan umur menggunakan
metode 40K-40Ar pada retas diorit toleitik (kandungan K2O rendah) di
sekitar Caming (33,33 jt) yang memotong batuan ofiolitik batuan Gunung­
api Kalamiseng (Yuwono dkk., 1988). Batuan Gunungapi Lamasi-Pohi
(32,89–28,60 jt) berupa lava andesit-basaltik berafinitas magmatik toleitik
dijumpai di sekitar Pohi di selatan Palopo. Produk vulkanik ini dan yang
dijumpai di sekitar Caming mengindikasikan kehadiran subduksi awal
pada bagian tengah-utara Lengan Selatan Sulawesi pada Eosen-Oligosen,
seiring dengan pembentukan basalt Laut Sulawesi di utara (Priadi dkk.,
1993; Polve dkk., 1996).
Subduksi di bagian utara Lengan Selatan Sulawesi akhirnya terjadi
­opti­­mum pada Oligosen Akhir. Tidak jauh dari lokasi mineralisasi
Sangkaropi (di sisi timur laut Rantepao, zona Toraja) dengan dijumpai

Magmatisme Sulawesi | 119


s­ ingkapan granit (Granit Kambuno) berumur 29,87 jt pada analisis
­ K-40Ar, berafinitas magma kalk-alkali yang pembentukan magmanya
40

berkaitan dengan proses subduksi (Priadi dkk., 1993; Polve dkk.,


1996). Dekatnya lokasi antara intrusi granit kalk-alkali dan retas-retas
toleitik memberikan dugaan bahwa retas-retas toleitik terbentuk pada saat
­kompleks ofiolit yang diterobosnya sudah mulai mendekati posisi menyatu
dengan Lengan Selatan Sulawesi.
Kehadiran batuan beku toleitik berumur Oligosen Awal-Tengah di
zona Makassar, Tana Toraja, dan Palu menunjukkan bahwa terdapat
kesamaan sistem geologi antara kedua daerah yang memanjang berjauhan
ini. Pada Oligosen Tengah-Akhir, penyebaran produk vulkanik dengan
karakter kimia yang serupa dijumpai di sepanjang bagian barat Sulawesi
di zona Tolitoli, Toraja, dan Makassar menunjukkan bahwa pada umur ini
sistem geologi yang sama berlaku dari selatan sampai utara, yaitu sistem
subduksi yang menghunjam ke arah barat-barat laut dan berlanjut sampai
37–18 jtl. (Polve dkk., 1996; Priadi dkk., 2009). Gejala obduksi batuan
Laut Sulawesi ke atas Lengan Barat Sulawesi yang teramati pada kompleks
basalt di Bintauna/Labuanaki (zona Manado) diperkirakan merupakan
rangkaian dari proses subduksi tersebut.
Lava basalt toleitik berkarakter subduksi yang juga ditemukan sebagai
litologi Formasi Tinombo di sekitar Ayong (Amurang) dan Kwandang
memberikan umur 40K-40Ar berturut-turut sebesar 30,50 jt dan 28,30 jt
(Priadi dkk., 1993).

C. Magmatisme Neogen
Magmatisme Neogen secara umum merupakan kelanjutan sistem
­sebe­lumnya­ (Paleogen), terutama yang menunjukkan afinitas toleitik
(TH) dan kalk-alkali (KA), sedangkan kehadiran magmatisme ultra-
potasik/­shoshonitik (UP/SH) dan kalk-alkali potasik (KAP) memberikan
kemungkinan­ pola tektonik yang berbeda dari sistem subduksi biasa.
Keberadaan subduksi pada sistem busur kepulauan (volcanic arc)
ditunjukkan­ dengan kehadiran beberapa intrusi granodiorit dan gabro
berafinitas magmatik toleit-kalk-alkali yang dijumpai tersingkap di bagian
utara, di zona Tolitoli dengan umur 22,45–18,14 jt. Di bagian selatan
Lenga­n Selatan Sulawesi (di sekitar Palopo) dijumpai batuan andesitik-dasitik
kalk-alkali yang dikelompokkan dalam batuan Gunungapi Lamasi-Songka
berumur 15,38–15,35 jt atau Miosen (Priadi dkk., 1994, Gambar 6.3).

120 | Geologi Sulawesi


Gambar 6.3 Distribusi produk vulkanik Neogen-Resen dengan afinitas magmatik
berbeda pada bagian barat Sulawesi (Priadi, 1993). Kolisi kontinen-mikro Banggai-
Sula terhadap Sulawesi pada Miosen Tengah (Rangin dkk., 1990) menghentikan
subduksi di Sulawesi Selatan dan menghasilkan produk vulkanik pasca-subduksi
(UP/SH: ultra-potasik/shoshonitik), vulkanisme pasca-kolisi (KAP: kalk-alkali-
potasik) di Sulawesi Tengah, dan tidak mengganggu subduksi yang terus berlanjut
(vulkanisme kalk-alkali/KA) di bagian utara (zona Manado).

Magmatisme Sulawesi | 121


Produk vulkanik kalk-alkali (KA) Miosen-Resen terutama dijumpai di
ujung timur Lengan Utara Sulawesi (zona Manado) yang menerus ke utara
ke arah Kepulauan Sangihe-Talaud (Jezek dkk., 1981; Tatsumi dkk., 1981;
Yuwono dkk., 1995; Priadi dkk., 2006).

1. Magmatisme kalk-alkali potasik (KAP)


Di bagian tengah Bagian Barat Sulawesi, di zona Palu-Tolitoli, ­ter­utama­
di sepanjang Zona Sesar Palu-Koro (ZSPK), keberadaan produk
vulkanik­-magmatik berafinitas kalk-alkali potasik (KAP) ditunjukkan oleh
­kehadiran granitoid dan piroklastika berkomposisi dasitik-riolitik. Di Tana
Toraja produk vulkanik ini diwakili deposit piroklastika Tufa Barupu,
di sekitar Luwuk (Lengan Timur Sulawesi) berupa endapan piroklastika
Formasi Lonsio berumur Mio-Pliosen (Rusmana dkk., 1993), demikian
juga Granit Tolitoli dan piroklastika di zona Tolitoli (Priadi dkk., 1993).
Pentarikhan40K-40Ar pada kelompok batuan asam ini memberikan kisaran
umur 9,5 jtl. sampai Resen (Priadi dkk., 1993, 1994; Maury dkk., 1995;
Polve dkk., 1996; van Leeuwen dkk., 1994; Widiasmoro dkk., 1997).
Kandungan silika produk vulkanik KAP ini cukup tinggi (SiO2 = 61,7–
76,5%), dengan kandungan kuarsa normatif sekitar 20%, meng­indikasikan
pembentukannya melalui proses anateksi atau ada ­keterlibatan komponen
kerak kontinental yang bersifat granitik. Pembandingan komposisi­ batuan
KAP dengan fragmen kerak bagian bawah (peridotit garnet, granulit asam,
dan granulit basa; Helmers dkk., 1990) yang hadir sebagai xenolit di dalam
granitoid, menunjukkan sifat ko-genetik pada extended ­spiderdiagram (Priadi
dkk., 1993, 1994, 2009; Maury dkk., 1995). Berdasarkan hal ini, mereka
berpendapat bahwa komposisi kerak bagian bawah Sulawesi (granulit basa)
merupakan komponen utama sumber magma KAP. Adanya anomali negatif
pada kandungan Ta, Nb, dan Ti memperlihatkan­ adanya karakter yang
berhubungan dengan proses ­subduksi, selain ­mengandung juga Pb dan Th
yang tinggi, yang memperkuat kehadiran karakter kimiawi kerak kontinental
(Priadi dkk., 1993, 1994; Widiasmoro dkk., 1997). Data yang ada menga-
rahkan pada interpretasi bahwa vulkanismenya terkait dengan proses kolisi
antarlempeng kontinen­ yang meleburkan bagian bawah lempeng kontinen
yang terobduksi.
Mengamati data isotopik 143Nd/144Nd, 87Sr/86Sr, 208Pb/204Pb,
207
Pb/204Pb, dan 206Pb/204Pb pada produk magmatik KAP (granitoid dan
piroklastika), senolit-senolit batuan kerak bagian bawah dalam tubuh

122 | Geologi Sulawesi


granitoid, terlihat bahwa pembentukan magmatik KAP berkaitan ­ter­utama
dengan peleburan granulit basa pada bagian bawah kerak kontinen yang
berkarakter Australia (Priadi, 1993; Priadi dkk., 1994; Elburg dkk.,
2003). Berdasarkan pada data isotop 143Nd/144Nd, 87Sr/86Sr, 208Pb/204Pb,
207
Pb/204Pb dan 206Pb/204Pb pada produk magmatik KAP (granitoid dan
piroklastika), senolit-senolit batuan kerak bagian bawah dalam tubuh
­g rani­toid,­ Priadi (1993) dan Priadi dkk. (1994) berpendapat bahwa
­peleburan bagian bawah kerak kontinen akibat kolisi yang melibatkan
kerak kontinen lain (kontinen-mikro Banggai-Sula), sehingga diperkirakan­
kolisi terjadi pada Miosen Tengah (~18 jtl.) yang menghasilkan produk
magmatik­ KAP berumur 9,5 jt sampai Resen. Elburg dkk. (2003)
menafsirkan­ peleburan bagian bawah lempeng kontinen ini berkaitan
dengan subduksi (underthrusting) sebelum 14 jtl., kolisi dengan kontinen-
mikro Banggai-Sula diyakininya pada 5 jtl. Dapat ditekankan di sini bahwa
kolisi yang terjadi adalah antarkontinen-mikro yang berkarakter Australia.
Batas pelamparan kontinen-mikro yang sudah lebih dulu berada di posisi
Sulawesi melebar dari Tana Toraja, Palu-Tolitoli, sampai di sebelah barat-
nya sesar Gorontalo (Priadi, 1993; Priadi dkk., 1994; Elburg dkk., 2003).
Data di sepanjang ZSPK menunjukkan paling tidak dijumpai ada
empat macam granitoid di ZSPK berdasarkan sifat petrologi, asosiasinya
dengan batuan lain, tingkat alterasi/pelapukan, serta komposisi kimianya
(Priadi dkk., 1996; Widiasmoro dkk., 1997). Dari tua ke muda secara
sistematik­ memperlihatkan perubahan yang konsentris mendekati zona
aktif Sesar Palu-Koro, dari granitoid kasar dengan struktur genesan
pra-Neogen (di daerah Toboali), diterobos berturut-turut oleh granit
kasar dengan kandungan mega-kristal K-felspar (8,39–3,71 jtl.), kemudian
diterobos granitoid sedang milonitik-genesan (5,46–3,21 jtl.), dan yang
termuda berupa terobosan granitoid berbutir halus yang miskin mineral
mafik berumur 3,07–1,76 jt yang terkonsentrasi paling dekat dengan ZSPK
(Gambar 6.4).

2. Magmatisme ultrapotasik/shonshonitik (SH)


Vulkanisme ini dijumpai terutama di Mendala Barat Sulawesi pada zona
Makassar-Toraja (sedikit di zona Palu dan Tolitoli), berupa lava atau produk
terobosan berkomposisi basaltik-andesitik (Yuwono dkk., 1988; ­Letterier
dkk., 1990; Bergman dkk., 1996; Polve dkk., 1996) yang kandung­an­­­­­
kimiawinya menunjukkan kehadiran mineral felspatoid sebagai indikasi

Magmatisme Sulawesi | 123


Gambar 6.4 Distribusi granitoid di zona Palu menunjukkan adanya empat ­jenis
grani­toid yang penyebarannya konsentris terhadap ZSPK (Zona Sesar Palu-Koro)
dengan granitoid paling muda berada pada bagian tengah (Priadi, 1996, dengan
­menggunakan peta dasar geologi oleh Sukamto, 1973).

kondisi magmanya yang tidak jenuh silika dan menunjukkan kan­­­­dungan


alkali (%Na+%K) yang tinggi (Yuwono dkk., 1988). Produk vulkanik
ultrapotasik ini dijumpai terutama berumur pada interval 13–11 jtl., dan
lebih muda lagi, yang diinterpretasikan sebagai produk vulkanik pasca-
subduksi (Yuwono dkk., 1988; Yuwono, 1989; Polve dkk., 1996).
Secara umum, produk vulkanik berumur 11 jt sampai Resen dengan
afinitas magmatik berbeda ini tersebar secara geografis di zona Makassar-

124 | Geologi Sulawesi


Toraja (SH), di zona Palu-Tolitoli (KAP), dan di zona Manado (KA).
Kolisi antara Kepingan Benua Banggai-Sula dan Sulawesi (Hamilton, 1979;
Silver dkk., 1983a) dianggap bertanggung jawab atas distribusi vulkanisme
11 jtl sampai Resen ini (Priadi dkk., 1993, 1994; Maury dkk., 1995; Priadi
dkk., 2009). Kolisi yang cenderung berarah barat-baratlaut meng­hentikan
subduksi yang terjadi di zona Makassar-Toraja, dan ­sedikit di zona
Palu-Tolitoli (Waspersdorf dkk., 1997, 1998) menghasilkan ­vulkanisme
pasca-subduksi (SH). Di zona Palu-Tolitoli, kolisi kontinen ­versus
kontinen menyebabkan adanya peleburan bagian bawah kerak-kontinen
(Priadi dkk., 1993, 1994; Maury dkk., 1995; Waspersdorf dkk., 1997, 1998),
­memberikan komposisi magma yang asam (SiO2>60%) ­dengan kandungan
potasik tinggi (KAP). Sementara itu, kontinen-mikro yang pelamparannya
tidak sampai ke zona Manado tidak terlalu mengganggu subduksi yang
berlangsung dan tetap menghasilkan vulkanisme KA (CA di Gambar 6.2)
(Priadi dkk., 1993, 1994; Priadi dkk., 2009).
Kehadiran vulkanisme adakit di Pulau Una-una (Sendjaja dan Sucipta,
2008) memberikan perkiraan bahwa subduksi ke selatan lempeng samudra­
Laut Sulawesi (yang berumur muda) ke bawah Lengan Barat Sulawesi.
Peneliti lain beranggapan subduksi Laut Sulawesi ke arah selatan dianggap
aborted (Rangin dkk., 1990; Waspersdorf dkk., 1997, 1998) karena tertahan
oleh ­lempeng samudra (Lempeng Maluku?) yang sudah terposisikan pada
subduksi yang jauh lebih awal sehingga belum mencapai kondisi untuk meng-
hasilkan produk vulkanik. Publikasi terbaru tentang adakit ini menunjukkan
bahwa kemunculan magmatisme adakitik tidak hanya berkaitan dengan proses
­peleburan lempeng berumur muda yang tersubduksikan, tetapi juga dapat
dijumpai berkaitan dengan proses tektonik kolisional (Topuz dkk., 2011).

D. Magmatisme KUARTER
Kegiatan gunungapi selama Kuarter hanya terjadi di ujung selatan Mendala
Barat Sulawesi, beberapa tempat di bagian tengah, dan tersebar secara
umum mendominasi ujung timur Lengan Utara Sulawesi. Produk vulkanik
Kuarter di sekitar Manado umumnya berafinitas kalk-alkali (KA) yang
berhubungan dengan subduksi muda yang penyebarannya menerus ke arah
Kepulauan Sangihe-Talaud dan menerus ke Filipina.
Gunungapi Lompobatang di ujung selatan Lengan Selatan Su-
lawesi merupakan satu-satunya manifestasi vulkanisme Kuarter
di Lengan S­elatan Sulawesi, produknya berupa batuan vulkanik, dan

Magmatisme Sulawesi | 125


batuan ­vulkano-sedimenter, serta retas-retas muda berafinitas kalk-alkali
­potasik sampai shoshonitik (Yuwono dkk., 1988). Berdasarkan afinitas
magmatiknya,­ aktivitas Gunungapi Lompobatang ini ditafsirkan sebagai
kelanjutan produk vulkanisme pasca-subduksi yang mulai terbentuk di
zona Makassar sejak Miosen Akhir. Satuan batuan Tuf Barupu diusulkan
pertama kali oleh Abendanon (1915, dalam Apandi dkk., 1982) dan
Reyzer (1920, dalam Apandi dkk., 1982) untuk suatu seri tuf di sekitar
Barupu. Satuan ini tersusun oleh tuf berkomposisi liparit-dasit-andesit,
berwarna putih keabu-abuan, berbutir halus, dan setempat memperlihatkan­
­perlapisan. Ketebalan total mencapai 200 m (Apandi dkk., 1982).
Penentuan­ umur radioaktif dari sampel tuf di desa Banga memberikan
umur 0,55 +/- 0,07 jt dan 0,61 +/- 0,12 jt (Priadi dkk., 1993).
Gunungapi Una-una di Teluk Tomini (zona Palu) merupakan
gunung­api yang aktif dan meletus beberapa kali pada tahun 1991–1995,
memberikan­ produk lava dan piroklastika berkomposisi menengah-asam
dengan afinitas magmatik kalk-alkali-potasik (KAP) (Priadi dkk., 1993,
Polve dkk., 1996), yang memberikan penafsiran sebagai kelanjutan produk
vulkanisme pasca-kolisi di zona Palu-Tolitoli sejak Miosen Akhir.
Di bagian ujung timur Lengan Utara Sulawesi (zona Manado)
batuan vulkanik Tersier terutama berkomposisi andesitik (Sukamto dan
Simandjuntak,­ 1983) yang merupakan produk sejumlah gunungapi yang
sebagian masih aktif seperti G. Ambang, G. Soputan, G. Lokon, G.
Mahawu, G. Ruang, G. Karangetang, G. Tangkako, G. Tompusu, G.
Manado-Tua, G. Klabat, G. Dua-Sudara, dan G. Batu-Angus. Produk
erupsinya beragam, berupa breksi-piroklastik, abu, lapili, lahar, aliran
lava, dan bahkan obsidian (Effendi, 1976; Apandi dkk., 1982; Sukamto
dan ­Simandjuntak, 1983). Produk vulkanik itu tidak selalu memberikan
­bentukan kerucut ­vulkanik. Secara umum, produk vulkanik gunungapi
Resen di Sulawesi Utara (zona Manado) dapat dibedakan secara ­petrografi
dan umur ­membentuk kesejajaran yang menerus ke Kepulauan Sangihe
Talaud. Jajaran sisi barat dicirikan produk yang kaya mineral mafik
(Soputan,­ Manado-Tua) yang berumur relatif lebih tua dibandingkan
dengan deretan gunungapi di sisi timurnya yang cenderung lebih kaya
plagioklas. Perbedaan karakteristik mineralogi ini ditafsirkan karena ­adanya
perbedaan penyusun/komposisi batuan dasarnya (Jezek dkk., 1981; Tat-
sumi dkk., 1981; Polve dkk., 1996; Priadi dkk., 2006).

126 | Geologi Sulawesi


BAGIAN III
BAB VII
KOMPLEKS BATUAN MALIHAN
 Oleh: Haryadi Permana

A. TINJAUAN UMUM
Pada tahun 1980-an, penemuan intan mikro dan mineral koesit yang
­ter­bentuk pada kondisi tekanan ultratinggi dalam batuan kerak telah
mening­katkan pemahaman zona tumbukan kerak benua dan dinamika
selubung bumi dalam suatu proses penunjaman lempeng (Chopin, 1984;
Sobolev & Shatsky, 1990 dalam Liou dkk., 1998). Kerak samudra beserta
lapisan batuan sedimen pelagis terhidrasi (pengayaan H2O) kemudian
tertunjamkan secara progresif sehingga mengalami dehidrasi (pengeluaran­
H2O), lalu mengalami rekristalisasi sampai pada kondisi fasies sekis biru
sampai eklogit (tekanan tinggi). Batuan mengalami malihan sampai
­fasies koesit terbentuk akibat penunjaman kerak samudra pada kedala-
man dangkal­ sedangkan intan terbentuk pada kedalaman selubung bumi,
yang dalam beberapa kasus, mencapai kedalaman sampai sekitar 670 km
atau pada batas selubung atas bumi dan selubung bawah bumi (Liou
dkk., 1998). Batuan malihan tekanan ultratinggi tersingkap ke permukaan
melalui proses baji leleran dari material kerak bagian atas (Liou dkk.,
1998) akibat retakan kerak dan pembubungan material lapisan kerak
benua dengan rapat masa rendah (Maruyama dkk., 1996; Liou dkk., 1998).
Pada umumnya, batuan malihan tekanan ultratinggi sering mengalami
pemalihan ulang pada kondisi derajat lebih rendah (Liou dkk., 1998).
Penemuan-penemuan terbaru ini membuka ide bahwa proses geologi
sepanjang zona tunjaman lempeng sangat dinamis (Maruyama & Liou,
1998). Di Indonesia,­ fasies tertinggi batuan malihan mencapai kondisi
tekanan tinggi-sangat tinggi, yang dijumpai di Jawa bagian tengah dan
Sulawesi bagian selatan dan tengah (Parkinson dkk., 1998; Maruyama dkk.,

127
1996; Soeria-Atmadja dkk., 2005; Syafri dkk., 2005; Kadarusman dkk.,
2005; Maulana dkk., 2010; Soesilo dkk., 2010; dan Soesilo, 2012).
Kompleks batuan malihan Sulawesi yang dimaksud adalah semua
jenis batuan malihan yang tersingkap di kawasan Pulau (P.) Sulawesi,
meliputi malihan yang terbentuk pada suhu dan tekanan rendah (fasies
sekis hijau) sampai pada fasies sekisbiru-eklogit-granulit, yaitu batuan
malihan yang terbentuk pada tekanan tinggi (10–12 kbar) dan suhu sedang.
Batuan-batuan malihan yang terbentuk dapat berasal dari berbagai sumber
batuan (protolithe) seperti batuan sedimen dan batuan beku atau berasal
dari batuan malihan itu sendiri yang membentuk beragam jenis batuan
malihan dari tingkat/derajat malihan atau fasies yang berbeda. Batuan-
batuan lainnya seperti yang terbentuk dari hasil proses hidrotermal, batuan
hasil pelapukan, dan proses diagenesa tidak termasuk dalam pembahasan.
Batuan malihan di P. Sulawesi tercakup pada lembar peta 4, 9, 10, 11, 12,
13, 16, 17, 20, 22, dan lembar 25 (Gambar 1.3) dengan daftar pemeta dan
tahun terbitnya disajikan pada Tabel 1.1.
Penelitian awal batuan malihan diuraikan dalam de Roever (1947; 1956),
dan van Bemellen (1949); sedangkan penelitian terbaru telah dilakukan
oleh Helmers dkk. (1990); Kadarusman & Parkinson (2000); van Leeuwen
& Muhardjo (2005); Syafri dkk. (2005); Kadarusman dkk. (2005), van
Leeuwen dkk. (2007); Maulana dkk. (2010); Soesilo, dkk. (2010) dan
Soesilo (2012).
Batuan malihan di Sulawesi dikelompokkan sebagai batuan sekis
kristalin (van Bemellen, 1949) dan dijumpai di Pangkajene yang diduga
berumur lebih tua daripada Kapur. Malihan tersebut bersama dengan
­serpentinit dan kuarsit ditutupi sedimen berumur Kapur dan Eosen.
Batuan­ malihan yang tersingkap di sisi barat Busur Timur Sulawesi
membentuk zona imbrikasi yang ditafsirkan sebagai produk penunja-
man lempeng dengan kemiringan ke arah barat pada Akhir Kapur (?),
Paleogen (?), dan Neogen. Di sisi paling barat zona imbrikasi dijumpai
sekis glukofan (fasies sekis biru) dan melange polimik, sebaliknya ke arah
timur dijumpai batuan malihan derajat rendah. Batuan malihan sekisbiru
yang sangat melimpah di wilayah ini (Hamilton, 1979) disusun dari mineral
glukofan, krosit, lawsonit, jadeit, dan aegirin. Sedangkan batuan malihan
berderajat rendah yang dicirikan oleh kehadiran prehnit dan pumpelit
mengindikasikan bahwa batuan tersebut terbentuk pada tekanan dan suhu
tinggi. Batuan-batuan malihan bertekanan tinggi berbatasan secara kaotik
dengan batuan dari fasies yang berbeda seperi amfibolit, amfibolit epidot,

128 | Geologi Sulawesi


sekishijau dan filit. Di Pulau Buton, batuan malihan berjenis amfibolit,
sekishijau yang berasosiasi dengan batuan serpentinit, harzburgit, dan
gabro.
Di lembah Palu dijumpai batuan granulit berasosiasi dengan peridotit
mengandung garnet (Helmers dkk.,1990; Kadarusman dan Parkinson,
2000), granulit bertekanan tinggi, dan eklogit berasosiasi dengan peridotit
(Syafri dkk., 2005; Kadarusman dkk., 2005). Di Bantimala-Barru (Busur
Barat Sulawesi atau Mendala Sulawesi Barat) dijumpai umumnya sek-
ishijau, sekis mika hornblenda, dan sekis glaukofan dan eklogit dengan
foliasi berkembang baik. Sedikit filit klorit dan kuarsit tersingkap secara
lokal. Hasil penelitian terbaru (Maulana dkk., 2010; Soesilo dkk., 2010;
Soesilo, 2012) menguraikan bahwa batuan malihan Kompleks Malihan
Bantimala-Barru disusun oleh eklogit amfibol, eklogit amfibol epidot,
eklogit epidot; sekisbiru zoisit, sekisbiru turmalin, sekisbiru lawsonit,
sekisbiru epidot, sekisbiru filitik, sekishijau filitik, filit pemontit, dan filit
grafit. Umur batuan tersebut sekitar 111 juta (jt) tahun atau Awal Kapur
berdasarkan pentarihan K-Ar pada mika yang terkandung dalam sekis
garnet (Hamilton,­ 1979). Sementara dalam kompleks melange di wilayah
tersebut dijumpai batuan malihan dari jenis amfibolit, sekis glaukofan-
lawsonit, dan sekishijau (Hamilton, 1979).
Batuan sekis kristalin di Pegunungan Rumbia dan Mendoke (de Roever,
1956) dapat dikelompokkan ke dalam subfasies sekis garnet-lawsonit-­­g­lu­kofan­­
dan subfasies sekis garnet-epidot-glukofan khususnya yang tersing­kap­ di
sisi timur laut. Dalam batuan fasies glukofan dicirikan dengan kehadiran
mineral stabil berupa garnet, epidot, dan glukofan sedangkan mineral tidak
stabil adalah lawsonit. Batuan sekisbiru di Lengan Tenggara Sulawesi disusun
oleh sekis mika-grafit dan kuarsit bermika dan sedikit pualam serta metabasit
(Helmers dkk., 1989). Batuan malihan di selatan Kendari-Kolaka yang
meliputi Pegunungan Rumbia, Mendoke, Boro-Boro, Witokala, dan Kolono
disusun batuan sekis kristalin di sisi barat dan batusabak, filit dan kuarsit di
sisi timur berumur Mesozoikum.

B. KETERDAPATAN, PENGELOMPOKAN, DAN


STRATIGRAFI
1. Keterdapatan
Batuan malihan di P. Sulawesi tersebar mulai dari Tolitoli, di sisi barat
Teluk Tomini, menerus ke selatan, sekitar Palu-Koro, Poso, Pasangkayu,

Kompleks Batuan Malihan | 129


sepanjang Pegunungan Pompangeo sampai ke daerah Malili, dan berakhir
di Teluk Bone (Gambar 7.1). Sedikit singkapan batuan malihan dijumpai di
Pulau Buton dan di wilayah Bantimala-Barru, Sulawesi Selatan, dalam zona
Busur Barat Sulawesi (Mendala Sulawesi Barat). Ke arah tenggara, batuan
malihan tersingkap di sepanjang utara Teluk Bone, Pegunungan Mengkoka
sampai ke daerah Kolaka, di sepanjang Pegunungan Mendoke, menerus
ke G. Rumbia, kemudian ke P. Kabaena. Batuan malihan Sulawesi yang
tersingkap pada batas antara Mendala Sulawesi Barat dan Mendala Sulawesi
Timur (Hamilton, 1979; Sukamto & Simandjuntak, 1983) membentuk
zona imbrikasi dan kompleks melang. Batuan malihan di dalam zona ini
adalah sekis amfibol-epidot, sekis glukofan-lawsonit, atau sekishijau (de
Roever, 1947).
Batuan malihan di bagian barat Lengan Utara Sulawesi yang dipetakan
dalam peta geologi Lembar Tolitoli (Ratman, 1976) dikelompokkan dalam
Kompleks Malihan Malino atau Tolitoli dan menyebar sampai ke bagian
leher Sulawesi disusun oleh batuan malihan sekishijau, sekis mika, dan
genes. Batuan-batuan tersebut diperkirakan berumur Paleozoikum Bawah.
Ke arah selatan, di sekitar Palu (Lembar Palu, Sukamto dkk., 1973)
­ter­singkap batuan malihan dari Formasi Latimojong (Kls) yang disusun
oleh filit, batusabak, kuarsit yang berselingan dengan konglomerat, batu-
pasir, batugamping, dan rijang. Batuan Formasi Latimojong menutupi
batuan Kompleks Malihan Karrosa yang disusun oleh sekis dan genes
(Sukamt­o dkk., 1973). Pada Lembar Mamuju (Ratman & Atmawinata,
1993) ter­singkap batuan malihan dari jenis batusabak, kuarsit, filit, batu-
pasir malih, batulanau malih, pualam, dan setempat batulempung malih.
Batuan malihan dengan penyebaran luas itu dikelompokkan ke dalam
Formasi Latimojong (Kls).
Di bagian tengah Sulawesi, pada Lembar Poso (Simandjuntak dkk.,
1991a) batuan malihan didominasi oleh Kompleks Malihan Pompangeo
(MTmp) yang disusun oleh sekis mika, sekis glukofan, sekis amfibolit,
sekis klorit, dan pualam. Di daerah Luwuk (Peta Geologi Lembar ­Luwuk,
Rusmana dkk., 1993a) tersingkap batuan malihan dalam kompleks batuan
mafik yaitu filit dan sekis sedangkan batuan malihan dalam Formasi
­Meluhu diwakili oleh sabak, filit, sekis, dan batupasir malih. Di wilayah
timur Sulawesi, batuan malihan pada Lembar Batui hanya tersingkap di
Pulau Peleng berupa sekis dan genes (Surono dkk., 1994). Sementara itu,
batuan malihan Paleozoikum (Pzm) umumnya tersingkap dalam bentuk
blok-blok kecil yang dipisahkan oleh batuan yang berumur lebih muda.

130 | Geologi Sulawesi


Beberapa blok atau keratan batuan malihan seperti Kompleks Bantimala-
Barru disusun oleh sekis amfibolit, amfibolit bergarnet, dan sekis dengan
sisipan rijang merah tersingkap pada Lembar Pangkajene dan Watampone
bagian barat (Sukamto, 1982; Maulana dkk., 2010; Soesilo dkk., 2010).
Batuan malihan di Kompleks Bantimala-Barru membentuk kompleks

Gambar 7.1 Penyebaran batuan malihan di Pulau Sulawesi (Sukamto, dkk., 2002).

Kompleks Batuan Malihan | 131


melange disusun oleh lempung-lemping (slab) bergentingan (imbricated)
bersama batuan sedimen, batuan beku, batuan bancuh, rijang radiolaria,
dan batuan ultramafik. Batuan tersebut tersebar memanjang dari barat laut
sampai tenggara berdampingan sesar dengan batuan ultramafik. Batuan
malihan yang bersumber dari batuan sedimen, antara lain sekis kuarsa
felspar, kuarsit, sekis mika, dan granitoid (Maulana dkk., 2010) sedangkan
batuan malihan yang bersumber dari batuan metabasik, antara lain eklogit,
sekis biru, dan sekis hijau. Sementara itu, Kompleks Barru disusun oleh
batuan sedimen termalihkan, sekishijau, sampai amfibolit fasies dan genes
kuarsa felsfatik.
Di sekitar Teluk Bone (Gambar 7.1), batuan malihan pada Lembar Malili
(Gambar 1.2) dapat dibedakan atas beberapa kelompok (Simandjuntak dkk.,
1991a). Batuan malihan dalam Formasi Masiku (KJml) berupa batusabak, filit
bercampur dengan serpih, rijang, dan batugamping. Di dalam Kompleks
Melang Wasuponda (MTmw), batuan malihan hadir berupa sekis amfibolit,
sekis klorit, dan eklogit. Batuan malihan dengan penyebaran cukup luas
termasuk Kompleks Malihan Pompangeo (MTmp) dicirikan oleh sekis,
genes, pualam, kuarsit, batusabak, dan filit sedangkan batuan malihan
pada Lembar Bungku (Simandjuntak dkk., 1993) dimasukan Formasi
Masiku (Kjml), berupa keratan-keratan batuan malihan tertanam di dalam
kompleks batuan ultrabasa. Batuan malihan ini terdiri atas jenis filit dan
batusabak bersama serpih, batupasir, dan batugamping. Batuan ­malihan
seperti filit, marmer, kuarsit, tercampur bersama serpih, rijang, dan breksi
terkersikan membentuk Formasi Latimojong (Kls) ter­amati pada lembar­
peta Majene dan bagian barat Lembar Palopo (Djuri dkk., 1998). Batuan
malihan Paleozoikum (Pzm) berupa sekis, genes, filit, kuarsit, batusabak,
dan sedikit pualam. Sementara batuan yang khususnya disusun oleh pualam
di­kelompokkan dalam satuan pualam Paleozoikum (Pzmm), umumnya
­terkepung oleh batuan malihan Paleozoikum. Batuan-batuan tersebut
tersingkap­ luas dalam Lembar Lasusua-Kendari (Rusmana dkk., 1993b).
Dalam Peta Geologi Lembar Kolaka (Simandjuntak dkk., 1994) ­ter­masuk
di dalamnya Pulau Kabaena, tersingkap batuan malihan dari Kompleks­
Malihan Pompangeo (MTpn) berupa sekis mika, sekis glukofan, sekis
­amfibolit, sekis klorit, dan pualam. Batuan malihan dari Kompleks
­Mekonga (Pzm) disusun oleh sekis, genes, dan kuarsit tersingkap pada
sisi timur Teluk Bone. Batuan malihan lainnya termasuk Formasi ­Meluhu
(TRJm) terdiri atas filit, kuarsit, batusabak, dan batupasir malih. Pada
­Lembar Tukang Besi (Koswara & Sukarna, 1994), batuan malihan

132 | Geologi Sulawesi


(­ Formasi Meluhu/TRJm) terdiri dari perselingan filit, batupasir malih,
batusabak, batugamping malih, dan serpih. Ke arah tenggara, batuan
malihan pada Lembar Buton (Sikumbang dkk., 1995) terdiri atas dua
formasi yaitu Formasi Mukito (PTRm) yang terdiri dari sekis plagioklas-
horenblendeda, sekis klorit-epidot, filit terkersikan, sekis silikat gamping,
dan batuan malihan dan Formasi Doole (TRd) yang terdiri dari kuarsit
mikaan, filit, dan batusabak.

2. Pengelompokan
Kompleks batuan malihan di P. Sulawesi diuraikan berdasarkan ­lokasi
geografis, jenis litologi, dan kontrol tektonik mulai dari Mendala
­Sula­wesi­ Barat, Mendala Sulawesi Tengah, dan Mendala Sulawesi Timur.
­Berdasarkan lokasi geografis, kompleks batuan malihan Sulawesi dapat
dikelompokkan menjadi di bagian Lengan Utara Sulawesi, dua kompleks
malihan, yaitu Kompleks Malihan Tolitoli atau dikenal sebagai Kompleks
Malihan Malino dan Kompleks Malihan Palu, yang keduanya membentuk
batuan alas di wilayah tersebut (Blok 1, Gambar 7.2). Di bagian selatan
dari Kompleks Malihan Palu dijumpai Kompleks Malihan Sesar Palu-
Koro, Kompleks Malihan Latimojong, dan Kompleks Malihan Karrosa
(Blok A, Gambar 7.2, Sukamto, 1973; van Leeuwen & Muhardjo, 2005).
Pada ujung selatan Mendala Sulawesi Barat tersingkap Kompleks Malihan
Bantimala-Barru (Blok C, Gambar 7.2). Sementara itu, pada bagian tengah
Sulawesi dijumpai Kompleks Malihan Pompangeo (Blok 2, Gambar 7.2)
yang dipotong oleh Kompleks Malihan Sesar Matano (Blok B, Gambar
7.2). Blok 3 ditempati oleh Kompleks Malihan Mengkoka dan Kompleks
Malihan Mendoke-Rumbia-Kabaena yang terletak di Blok 4. Kompleks
malihan lainnya, Blok D, adalah Kompleks Malihan Buton. Uraian ­malihan
berikut ini dibagi berdasarkan lokasi geografis keberadaan kompleks
batuan malihan tersebut.

3. Stratigrafi
Batuan sekis kristalin di Pulau Sulawesi secara stratigrafi berumur lebih tua
daripada Mesozoikum atau Paleozoikum Akhir (Brouwer, 1941 dalam van
Bemmelen, 1949). Di Sulawesi bagian tenggara, batuan malihan dari jenis
filit dan batuan malihan derajat rendah atau bukan batuan malihan yang
dijumpai di Pulau Buton berumur Mesozoikum. Di Pangkajene dijumpai
sekis kristalin yang berselingan dengan batuan ultramafik dan rijang yang
ditutupi sedimen Kapur Atas (Brouwer, 1942 dalam van Bemmelen, 1949).

Kompleks Batuan Malihan | 133


Hasil penelitian pada satu dasawarsa terakhir menunjukkan bahwa
batuan malihan, baik yang tersebar dalam Mendala Sulawesi Barat maupun
Mendala Sulawesi Timur secara stratigrafi ditempatkan pada umur Kapur
Bawah sampai Eosen (Gambar 7.3), menutupi batuan kompleks ultrabasa

Gambar 7.2 Penyebaran kompleks malihan di Pulau Sulawesi (peta geologi bersumber
dari Sukamto dkk., 2002). Kotak 1-4 atau A-E adalah pengelompokan kompleks
malihan di Sulawesi.

134 | Geologi Sulawesi


atau batuan sedimen berumur Jura (Sukamto & Simandjuntak, 1983).
Batuan malihan berumur Karbon tersebar di Pegunungan Mengkoko-
Mendoke, sedangkan batuan malihan berumur Kapur Tengah umumnya­
menempati kawasan peralihan antara Mendala Sulawesi Timur dan
Mendala Sulawesi Barat. Sementara itu, batuan malihan Tersier (Eosen)
menempati kawasan Palu dan Tolitoli. Surono (1994; 1998a) memasukkan­
batuan malihan Sulawesi Tenggara dan Buton sebagai batuan dasar
berumur­ Devon (Gambar 7.4).
Proses tektonik yang rumit selama pembentukan P. Sulawesi
­dicerminkan oleh proses metamorfisme, mulai dari proses progradasi
sampai dengan retrograsi pada batuan yang sama. Oleh karena itu, hasil
­pemalihan ulang menyebabkan batuan akan berumur lebih muda atau
lebih tua daripada saat terbentuknya. Hasil pentarikhan K-Ar pengit
(pengite) dari batuan malihan Pompangeo menunjukkan umur 111 jt (Par-
kinson, 1990; Parkinson­ dkk., 1998). Umur batuan ini setara dengan
sekis dari Pegunungan Latimojong yang berumur 114, 123, dan 128 jt
(K-Ar terhadap muskovit; Bergman dkk., 1996) atau batuan Kompleks
Malihan Bantimala-Barru dengan umur berkisar 132±7–113±6 jt dari
glukofan garnet; kemudian 124±6 jt dari batuan perselingan batuan kaya
mika dan keratan batuan kaya garnet dan batuan perselingan sekis mika
dan glukofan berumur 114±6, 115±6 jt (Wakita dkk., 1994 dalam Wakita
dkk., 1996) berdasarkan pentarikhan batuan dengan metode K–Ar dari
mineral fengit. Hasil perhitungan umur dari Kompleks Malihan Malino
memberikan kisaran umur mulai 22,6–23,1 jt (40Ar/39Ar: horenblende)
kemudian batuan malihan meta dan batuan malihan derajat rendah yaitu
sekis hijau terbentuk pada umur 11,3 ± 0,1 jt sampai 14,4 ±0,3 jt (K/Ar:
muskofit dari sekis mika). Hal ini mencerminkan bahwa batuan malihan
Kompleks Malino secara progresif mengalami proses retrograsi.

c. Kompleks Malihan Malino


Kompleks Malihan Malino (van Leeuwen, dkk., 2007) menempati bagian
barat laut Lengan Utara Sulawesi atau Mendala Sulawesi Barat (Gambar
7.4 dan 7.5) tersingkap di kawasan Tolitoli. Kompleks malihan tersebut
membentuk morfologi punggungan berarah barat-timur dengan Gunung
Tinombala (2.183 m) dan Gunung Malino (2.120 m) sebagai puncak
tertingginya (Gambar 7.4, Blok 1 dan Gambar 7.5). Kompleks malihan
tersebut dipetakan dalam Lembar Tolitoli (Ratman, 1976) yang disusun

Kompleks Batuan Malihan | 135


oleh sekishijau, sekis mika, dan genes yang berumur Paleozoikum Bawah.
Ke arah selatan dijumpai Kompleks Malihan Palu (Sukamto, 1973) yang
menerus sepanjang lembah Sesar Palu-Koro. Gambar 7.5 merupakan
gambaran rinci penyebaran batuan malihan di Lengan Utara Sulawesi
(Ratman, 1976).

Gambar 7.3 Stratigrafi Mendala Sulawesi Barat dan Mendala Sulawesi Timur
serta Mendala Banggai Sula (Sukamto & Simandjuntak, 1983).

136 | Geologi Sulawesi


Gambar 7.4 Batuan malihan di bagian timur Sulawesi dan Buton yang secara strati-
grafi berumur Devon (Surono, 1996a).

Kompleks Malihan Malino disusun oleh batuan sekis hijau yang


meling­kupi batuan sekis mika dan genes (van Leeuwen dkk., 2007;
Gambar­ 7.5). Sekis mika mengandung kuarsa dan felspar serta perselingan­
de­ngan kuarsit, sekis grafit, sekis talk, marmer, amfibolit, dan sekis
­amfibolit (van Leeuwen dkk., 2007). Mineral lainnya yang teramati adalah
epidot, sedikit horenblende dengan mineral jarang berupa rutil, apatit,
zirkon, sfen, magnetit, ilmenit, dan turmalin. Batuan malihan lain yang
dijumpai antara lain berupa meta psamit dan meta granitoid.
Batuan malihan sekishijau membentuk foliasi tidak menerus,
umumnya­ dijumpai pada tepi Kompleks Malihan Malino yang melingkupi­
atau kontak sesar dengan satuan sekis mika atau genes. Batuan sekishijau
dan batuan mengandung amfibolit dikelompokkan sebagai metabasit yang
batuan asalnya berupa batuan basal (Ratman, 1976; van Leeuwen &
­Muhardjo, 2005). Batuan malihan sekis hijau merekam ­jejak ­deformasi
­lemah sampai dengan jejak deformasi kuat disertai gejala ­ubahan.
Deformasi­ kuat dicirikan oleh pergeseran pada mineral, deformasi ­plastik
mineral kuarsa, dan plagioklas serta krenulasi pada mika. Kompleks
­Malihan Malino atau sekis dan genes dapat dikelompokkan dalam dua grup,
yaitu batuan malihan derajat rendah atau zona biotit dan batuan malihan
derajat menengah atau zona garnet (van Leeuwen dkk., 2007).

Kompleks Batuan Malihan | 137


Gambar 7.5 Penyebaran batuan Malihan Malino di Leher Sulawesi (dari Ratman,
1976).

Gambar 7.6 Peta geologi penyebaran batuan malihan di bagian barat laut
dan bagian Leher Sulawesi (Sukarna, 2002).

138 | Geologi Sulawesi


Batuan metabasit memperlihatkan perkembangan progradasi ­mulai
dari fasies sekishijau, kemudian fasies epidot-amfibolit sampai pada ­fasies
amfibolit (van Leeuwen dkk., 2007). Batuan sekishijau disusun oleh
­mineral berukuran halus membentuk bidang sekistosa oleh mineral klorit,
epidot, dan albit. Sementara sekis yang dijumpai di sisi barat kompleks
umumnya dibentuk oleh perlapisan batuan kaya mineral klorit dan epidot
berselingan dengan lapisan batuan kaya kuarsa yang menunjukkan batuan
sedimen sebagai sumbernya (Egeler, 1947 dalam van Leeuwen dkk., 2007).
Sebaliknya, batuan malihan yang dijumpai di bagian tenggara berupa
batuan sekishijau menunjukkan bahwa protolit batuan tersebut berupa
batuan beku menengah.
Berikutnya adalah batuan dari fasies epidot-amfibolit dicirikan oleh
kehadiran horenblende biru-hijau dan albit (van Leeuwen dkk., 2007).
Mineral tersebut berukuran halus sampai menengah dan membentuk
bidang sekistosa dari mineral horenblende, muskofit, dan epidot atau
berupa segregasi dari kuarsa dan horenblende yang menunjukkan proses
pemalihan progradasi. Sedangkan batuan dengan derajat lebih tinggi hadir
dari fasies amfibolit dengan kumpulan mineral seperti plagioklas, horen-
blende, kuarsa, dan sedikit epidot, garnet, muskovit. Batuan malihan dari
fasies amfibolit dicirikan dengan terjadinya penggantian horenblende biru-
hijau oleh horenblende hijau-cokelat pucat dan menurunnya kandung­an
epidot disertai kehadiran plagioklas dari jenis albit sampai oligoklas. Hal
tersebut menunjukkan proses progradasi pada saat pembentukan batuan
malihan fasies amfibolit.
Proses selanjutnya yang terekam dalam batuan malihan Kompleks
Malihan Malino adalah proses retrograsi batuan dicirikan oleh kehadiran
mineral klorit, epidot, kuarsa, dan karbonat dengan sedikit/jarang ­mine­ral­
aktinolit dan serisit. Beberapa contoh batuan epidot-amfibolit yang
menunjukkan kemungkinan telah mengalami tahap ketiga retrograsi diciri­
kan oleh inklusi dalam garnet yang mengandung kuarsa, albit, epidot,
ilmenit, magnetit, rutil, dan muskovit yang merupakan ciri kumpulan
mineral dari fasies sekis hijau. Koperberg (1929) melaporkan kumpulan
mineral batuan genes garnet, muskovit, K-felspar, dan kuarsa mengandung­
kianit dengan bagian inti adalah staurolit. Dapat dikatakan bahwa
batuan felspatik kuarsa tersebut menunjukkan gejala telah mengalami
metamorfisme­ progresif dari Zona Biotit melalui Zona Garnet sampai
pada Zona Staurolit.

Kompleks Batuan Malihan | 139


Hasil pengukuran kondisi tekanan (P) dan suhu (T) oleh van Leeuwen
dkk. (2007) menunjukkan batuan malihan fasies sekishijau terbentuk pada
kisaran suhu 300°–350°C, sampai dengan 450°C (kehadiran aktinolit)
dengan maksimum tekanan pada 5 kbar. Sementara itu, perhitungan
P-T pemalihan batuan fasies epidot-amfibolit antara 440°–522°C pada
tekanan sekitar 4,8–6,2 kbar. Untuk batuan amfibolit, hasil perhitungan
P-T menunjukkan variasi mulai dari 646°C sampai 671°C pada tekanan
sekitar 7,5–9,6 kbar.
Batuan Malihan Kompleks Malino secara progresif mengalami proses
retrograsi, dari malihan derajat tinggi (amfibolit) yang menurut pentarikhan
batuan menunjukkan umur 22,6–23,1 jt (40Ar/39Ar: horenblende) kemudian
batuan malihan meta mengandung garnet dan muskovit memberikan umur
19,6 jt (40Ar/39Ar, muskovit) dan batuan malihan derajat rendah, yaitu
sekishijau terbentuk pada umur 11,3±0,1 jt sampai 14,4±0,3 jt (K/Ar:
muskofit dari sekis mika).
Hasil penelitian van Leeuwen & Muhardjo (2005) menunjukkan bahwa
bagian barat Sulawesi diyakini terbentuk dari hasil pemekaran tepi timur
Sundaland yang disusun oleh antara lain batuan alas (batuan malihan)
dengan batuan asal berupa batuan beku basal dan sedimen yang terbentuk
akibat benturan antara Lengan Utara Sulawesi dan kepingan benua dari
Australia pada Miosen Tengah.

d. Kompleks Malihan Pompangeo


Batuan Kompleks Malihan Pompangeo dipetakan dalam Peta Geologi Lembar
Malili (Simandjuntak dkk., 1991a) dan Lembar Poso (Simandjuntak dkk.,
1991b). Batuan malihan ini terletak di sekitar Pegunungan Pompangeo (G.
Tambusi), Gunung Tenematua atau Gunung Kruyt sampai Pegunungan
­Tokorondo (Pegunungan Fenema) seperti diperlihatkan pada Gambar 7.7 dan
Gambar 7.8. Gunung-gunung tersebut memanjang ­ber­arah utara-selatan
memiliki ketinggian lebih dari 2.000 m di atas permukaan laut. Singkapan
batuan tersebut bisa diamati sepanjang Sungai (S.) Malei, S. Wimbi, S.
Toka, dan S. Salua (Parkinson, 1998), atau bisa diamati ­sekitar Tojo dan
Malino di sisi timur; Tentena, sekitar Poso, Mapane, dan Doda di sisi
barat. Secara tektonik, kompleks malihan tersebut terletak dalam Mendala­
Sulawesi Timur (Sukamto & Simandjuntak, 1983). Batuan ­Kompleks
Malihan Pompangeo umumnya berupa sekis glukofan dan lainnya dari
jenis sekis mika, sekis amfibolit, sekis klorit, dan pualam (de Roever,

140 | Geologi Sulawesi


1947). Sekis glaukofan termasuk fasies sekisbiru dicirikan oleh kehadiran
glaukofan, krosit, lawsonit, jadeit, dan aegirin. Batuan malihan lain hadir
dari malihan dengan derajat rendah tetapi tetap memperlihatkan kondisi
pembentukan pada tekanan tinggi daripada suhu pembentukannya, diciri-
kan oleh kehadiran mineral prehnit dan pumpeliyit. Batuan-batuan tersebut
hadir berbatasan dengan batuan malihan dari berbagai fasies berbeda
seperti amfibolit, epidot amfibolit, sekis hijau, dan filit (van Bemmellen,
1949) yang tercampur dengan batuan rijang pelajik, batugamping yang
tidak termalihkan sampai yang termalihkan dan batuan ofiolit.

Gambar 7.7 Peta geologi penyebaran batuan malihan di bagian tengah Pulau
Sulawesi (disederhanakan dari Sukamto, dkk., 2002).

Penelitian intensif batuan malihan Kompleks Malihan Pompangeo


dimulai sejak tahun 1990-an. Beberapa penulis di antaranya Parkinson
(1998) dan Parkinson dkk. (1998). Batuan malihan Pompangeo berumur
111 jt atau Albian (Kapur Awal) yang didasarkan pada pentarikhan K-Ar
terhadap penjit (Parkinson, 1998; Parkinson dkk., 1998). Umur batuan ini

Kompleks Batuan Malihan | 141


setara dengan sekis dari Pegunungan Latimojong yang berumur 114 jt, 123
jt, dan 128 jt (K-Ar terhadap muskovit; Bergman dkk., 1996).

Gambar 7.8 Penyebaran batuan malihan dalam Kompleks Malihan Pompangeo (diseder­
hanakan dari Simandjuntak dkk., 1991a).

Kompleks Malihan Pompangeo berupa perlapisan dengan


skala ­senti­meter sampai dengan puluhan meter dari batuan marmer
­me­ngandung mika dan grafit, filit karbonatan, sekis kuarsa-mika, filit,
dan metakonglomerat. Di dalam kuarsit dijumpai metaserpentinit dan
metabasit.­ Secara umum, dari barat ke timur derajat batuan malihan
menurun­ dari derajat tinggi ke derajat rendah. Di sisi barat Kompleks
Malihan Pompangeo ditempati metabasit, metaserpentinit, kuarsit,
marmer bergrafit dan mika, metakonglomerat, sekis semipelitik, filit,
dan metaklastik­ (Parkinson, 1998). Diperkirakan, material asal dari sekis
Pompangeo berupa batugamping lempungan, tufa, batupasir, grit, dan
konglomerat, berupa endapan laut dangkal atau tepian kontinental.
Secara litostratigrafi, dari timur ke barat, batuan malihan Pompangeo
dicirikan oleh pemunculan atau penghilangan mineral stilpenomelan,
­ferokarfolit, krosit, lawsonit, ferokloritoid, almandin, oligoklas, dan biotit
(Parkinson, 1998; Parkinson dkk., 1998). Batuan sekis dalam Kompleks­
Malihan Pompangeo (Pegunungan Pompangeo) yang disusun oleh
mine­ral albit, kuarsa, kalsit, klorit, muskofit, stilpnomelan, dan garnet

142 | Geologi Sulawesi


terbentuk­ pada kondisi suhu sekitar 200°–300°C dan tekanan 4–6 kbar.
Di Pegunung­an Tokorondo, batuan malihan berselingan dengan ­metabasik
disusun­ oleh glaukofan, garnet, lawsonit, dan klinozoisit, terbentuk
pada suhu sekitar 450°C dengan tekanan 10–12 kbar. Pada bagian timur
dari Kompleks Malihan Pompangeo dicirikan oleh sekis derajat rendah
­berbatasan dengan batupasir berumur Jura (Sukamto & Westerman, 1992;
Parkinson, 1998; Parkinson dkk., 1998). Batuan malihan Kompleks Malihan
Pompangeo ­berbatasan dengan granodiorit dari Mendala Vulkanik Sulawesi
Barat. Kontak di antara keduanya tersingkap sekitar 40 km sebelah barat
Danau Poso, berupa anjakan sesar (Parkinson dkk., 1998), yang diyakini
sebagai batas antara Mendala Sulawesi Timur dan Mendala Sulawesi Barat
(van Bemmelen, 1949; Hamilton, 1979; Sukamto, 1975a; Parkinson, 1998).

e. Kompleks Malihan Mengkoka


Kompleks Malihan Mengkoka tersingkap di Lengan Tenggara Sulawesi,
tepatnya di sebelah sisi timur Teluk Bone. Kompleks malihan tersebut
membentuk morfologi kasar berupa pegunungan memanjang berarah barat
laut-tenggara, yaitu Pegunungan Mengkoka dengan ketinggian puncaknya
mencapai 2.790 m (G. Mengkoka) dan Pegunungan Keleboke dengan
panjang hampir 150 km dan lebar 70 km (Gambar 7.9). Di sisi timur laut,
Kompleks Malihan Mengkoka dibatasi oleh Sesar Lawanopo sedangkan pada
bagian sisi barat daya dibatasi oleh penerusan Sesar Palu-Koro (Gambar­ 7.1
dan Gambar 7.10) atau Sesar Kolaka (Simandjuntak dkk., 1994).
Penyebaran Kompleks Malihan Mengkoka dipetakan dalam Peta
Geologi Lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi (Rusmana dkk., 1993b)
dan Lembar Kolaka, Sulawesi (Simandjuntak dkk., 1994). Studi batuan
­malihan terdahulu telah dilakukan antara lain oleh de Roever (1947,
1956) ­sedang­kan­­ studi komprehensif dilakukan oleh Helmers dkk. (1989).
Kompleks­ malihan tersebut berumur Karbon (Rusmana dkk., 1993b),
disusun oleh sekis, genes, filit, kuarsit dan pualam. Gambaran umum
penyebaran batuan Kompleks Malihan Mengkoka diperlihatkan pada
Gambar 7.10.
Dijumpainya asosiasi mineral malihan seperti glukofan, lawsonit,
epidot, kloritoid, dan garnet di dalam derajat tinggi sampai sekis biru
menunjukka­n bahwa batuan malihan dalam Kompleks Malihan Mengkoka
berbeda dengan yang berada di wilayah tengah Sulawesi (de Roever, 1947)

Kompleks Batuan Malihan | 143


terutama dengan kehadiran mineral jadeit-agirin, krosit, lawsonit, dan
ferrokarfolit.
Kompleks Malihan Mengkoka memperlihatkan sekistositi yang
dibentuk­ oleh glukofan. Batuan malihan disusun oleh sekis grafit-mika
dan mika kuarsit (Helmers dkk., 1989) dengan sisipan pualam. Sementara
batuan-batuan malihan metabasit masih memperlihatkan relik tekstur bat-
uan beku yang ditunjukkan dengan reaksi tepi mineral augit dan plagioklas.

Gambar 7.9 Geografis Kompleks Malihan Mengkoka dan Kompleks Malihan Mendoke-
Rumbia-Kabaena, Sulawesi, di Lengan Tenggara Sulawesi.

144 | Geologi Sulawesi


Analisis kimia menunjukkan bahwa batuan metabasit berasosiasi dengan
toleitik dari suatu MORB dan sebagian lainnya berasal dari grauwake.
Hasil perhitungan P-T terhadap pasangan mineral garnet-pengit, albit-
omfasit, dan pengit menunjukkan batuan terbentuk pada suhu 400°–440°C

Gambar 7.10 Penyebaran Kompleks Malihan Mengkoka dan Kompleks Malihan


Mendoke-Rumbia-Kabaena, Sulawesi (Rusmana dkk., 1993b; Simandjuntak dkk., 1994)

Kompleks Batuan Malihan | 145


dan tekanan 8.5–6 kbar (Helmers dkk., 1989). Pengukuran suhu diperkuat
dengan ketidakhadiran biotit dalam paragenesa penjit menunjukkan
suhu di bawah 450°C. Batuan malihan derajat tinggi kemungkinan telah
­meng­alami pengangkatan atau ekshumasi ke permukaan secara cepat
akibat erosi atau proses lainnya (Helmers dkk., 1989).

f. Kompleks Malihan Mendoke, Rumbia, DAN


Kabaena
Penyebaran batuan Kompleks Malihan Mendoke-Rumbia dan Kabaena
terletak pada bagian selatan dari Lengan Tenggara Sulawesi (Gambar 7.10).
Di kawasan Pegunungan Mendoke, batuan malihan tersebar seluas 60 x
25 km2 sedangkan di Pegunungan Rumbia seluas 40 x 25 km2. Sedikit
singkapan dijumpai di Pegunungan Kolono. Sementara itu, batuan dalam
kompleks batuan malihan di Pulau Kabaena tersebar seluas 30 x 10
km2. Penyebaran batuan malihan tersebut dipetakan dalam Peta Geologi
Lembar Kolaka, Sulawesi (Simandjuntak dkk., 1994; Gambar 7.10).
Berdasarkan peta geologi tersebut, batuan dalam Kompleks Malihan
Mendoke-Rumbia disetarakan dengan Kompleks Malihan Pompangeo
atau MTpm (Subbab 7D) yang berumur mulai Kapur sampai relatif
muda, Paleosen (Parkinson, 1998; Parkinson dkk., 1998). Kemungkinan­
umur yang relatif muda tersebut bukan merupakan umur pada saat
­terbentuknya batuan malihan tetapi sebagai hasil pemalihan ulang selama
proses imbrikasi berlangsung. Secara umum, batuan penyusun Kompleks
Malihan Mendoke-Rumbia di kawasan kajian disusun oleh sekis mika, sekis
amfibolit, sekis klorit, rijang berjasper, sekis genesan, pualam, dan batu-
gamping meta. Batuan malihan di kawasan Mendoke-Rumbia umumnya
didominasi oleh batuan berderajat tinggi seperti sekis mika, sekis amfibolit,
sekis klorit, dan sekis genesan sedangkan di kawasan timur (Kendari,
Pegunungan Kolono) umumnya ditempati batuan dari jenis batusabak,
filit, kuarsit, dan marmer. Batas batuan malihan dengan batuan sekitarnya
umumnya berupa batas tektonik atau sesar.
Di kawasan Mendoke-Rumbia, batuan malihan dikelompokkan ke
dalam subfasies utama berupa sekis garnet-lawsonit-glukofan (de ­Roever,
1956). Beberapa batuan sekis glukofan dicirikan oleh mineral stabil
garnet, epidot, serta glukofan dan mineral tidak stabil, yaitu ­lawsonit.
Sementara­ itu, subfasies sekis garnet-epidot-glukofan sering juga ­hadir
di saat pertumbuhan­ kristal epidot sama dengan mineral glukofan.
Mineral ­paragenesa subfasies tersebut terdiri atas glukofan, lawsonit,

146 | Geologi Sulawesi


garnet, dengan­ sedikit jadeit, dan piroksen mengandung akmit, ­kloritoid,
­klorit, muskovit, kuarsa, albit, kalsit, dan sfen. Mineral paragenesa
­tersebut ­umumnya menjadi ciri batuan malihan dari Pegunungan Rumbia
sedangkan­ batuan malihan dari Pegunungan Mendoke dicirikan oleh
t­erubahnya mineral glukofan menjadi klorit. Sementara itu, subfasies
dengan derajat lebih rendah berupa sekis hijau dicirikan mineral stabil
epidot dan mineral tidak stabil pumpeliyit. Proses penurunan derajat
malihan dicirikan oleh perubahan mineral glukofan dan lawsonit ­menjadi
mineral epidot, klinozoisit, klorit, serisit, albit, dan karbonat. Di P.
­Kabaena, batuan malihan dicirikan oleh fasies epidot-amfibolit yang umur
pemalihannya kemungkinan lebih tua, yaitu pada Mesozoikum.
Hasil penelitian di Bombana, di dalam Kompleks Malihan Mendoke-
Rumbia dijumpai batuan malihan dari jenis sekis mika, sekis amfibol,
amfibolit, genes, metavolkanik (metaandesit dan metabasalt), pualam, dan
batugamping terkristalisasi (Setiawan dkk., 2010). Batuan malihan tersebut
umumnya memperlihatkan bidang foliasi dan bidang belah juga struktur
lain seperti struktur hornfelsik/granulose, kataklastik, dan milonitik. Batuan-
batuan malihan di Bombana memperlihatkan gejala mineralisasi pada
batuan sekis mika tersilisifikasi sampai terpropilitisasi, yang berhubungan
dengan stockwork urat-urat kuarsa (Setiawan dkk., 2010). Hasil analisis
kimia batuan memperlihatkan kisaran yang lebar dari komposisi SiO2
yang menunjukkan bahwa batuan memiliki kisaran komposisi mulai dari
ultrabasa sampai asam. Hasil pentarikhan batuan dengan metode K-Ar
terhadap batuan andesit meta, (plagioklas dan serisit-muskovit) didapatkan
umur batuan vulkanik tersebut berumur Kapur Akhir.
Batuan malihan di Pulau Kabaena bersentuhan secara tektonik dengan
batuan ofiolit (Gambar 7.10). Batuan ini telah mengalami anjakan kuat yang
terjadi pada Eosen Akhir (de Rover, 1956). Batuan malihan dari jenis yang
mirip yang terdapat di Kompleks Malihan Mendoke-Rumbia ini kemungkinan­
terbentuk akibat pencenanggaan batuan kerak samudra ke permukaan.

g. Kompleks Malihan Palu-Koro


Kompleks Malihan Palu-Koro tersingkap sepanjang sisi tengah bagian
Leher Sulawesi menerus sepanjang Sesar Palu-Koro, yang memanjang
membentuk lembah berarah barat laut-tenggara. Batuan malihan yang
tersebar memanjang dengan arah utara-selatan sepanjang Leher Sulawesi
(Gambar 7.7, Gambar 7.6, Gambar 7.4, Blok A, dan Blok 1; Sukamto

Kompleks Batuan Malihan | 147


dkk., 1973), mulai dari Sibayu sampai Palu, membentuk punggungan
dengan puncak ketinggian G. Sidole (sekitar 2.100 m) dan G. Sindo (1.786
m). Batuan malihan sepanjang Sesar Palu Koro teramati mulai dari Teluk
Palu, melewati Kota Palu, menerus ke selatan ke Gimpu. Sesarnya itu
menerus ke arah Masamba dan berakhir di Teluk Bone sepanjang 260 km
(Gambar 7.7).
Kompleks Malihan Palu disusun oleh batuan sekis biotit dan
genes, kemudian amfibolit, sekis amfibolit, dan genes (van Leeuwen
dan ­Muhardjo, 2005; van Leeuwen dkk., 2007). Di dalam Kompleks
Malihan­ Palu dijumpai juga batuan metasedimen dan metagranitoid serta
metabasit berafinitas MORB (van Leeuwen dkk., 2007). Sukamto dkk.
(1973) menguraikan bahwa batuan malihan Palu-Koro disusun oleh sekis
mika, sekis amfibolit, genes, dan pualam. Data lain menyebutkan bahwa
batuan malihan dari Kompleks Malihan Palu-Koro disusun oleh sekis
biotit, genes, amfibolit, dan sekis amfibolit. Batuan jenis lain yang terdapat
dalam kompleks tersebut adalah metasedimen dan metagranitoid yang
berumur Permo-Trias (van Leeuwen dan Muhardjo, 2005). Sementara itu,
di sepanjang zona sesar dijumpai batuan malihan yang terdiri atas malihan
berderajat tinggi seperti granulit, eklogit, dan peridotit mengandung garnet
yang hadir berupa keratan tektonik (Helmers dkk., 1990; Kadarusman
dan Parkinson, 2000; van Leeuwen dan Muhardjo, 2005). Batuan granulit
Lembah Palu dapat dibedakan menjadi:
1) granulit mengandung garnet dan klinopiroksen;
2) granulit mengandung klinopiroksen dan plagiolas; dan
3) granulit mengandung kuarsa dan felspar (Helmers dkk., 1990).

Secara umum granulit disusun oleh garnet, klinopiroksen, plagioklas,


amfibol, serta sedikit rutil dan ilmenit (Syafri dkk., 2005). Perhitungan
­geotermometer mengindikasikan batuan mengalami proses progradasi
dimulai pada 10 kbar dengan suhu mencapai 700°C sampai dengan puncak
proses pemalihan batuan mencapai tekanan pada 22 kbar pada suhu
1.054°C yang kemudian batuan tersebut mengalami proses retrograsi
(Syafri dkk., 2005). Batuan eklogit Lembah Palu disusun oleh garnet, om-
fasit, kuarsa, dan rutil dengan mineral sekunder plagioklas, augit, amfibol,­
dan ilmenit (Kadarusman dkk., 2005). Perhitungan geotermometer min-
eral primer memberikan suhu dan tekanan minimum 985°–1.109°C pada
tekanan 20 kbar, sedangkan geotermobarometer mineral sekunder menun-
jukkan suhu dan tekanan 750°–870°C dan 10–12 kbar (Kadarusman dkk.,

148 | Geologi Sulawesi


2005). Penelitian sebelumnya (Helmers dkk., 1990) menunjukkan kondisi
optimum pembentukan granulit pada suhu 750°–800°C dan tekanan 11–13
kbar. Proses retrograsi diawali dengan penurunan tekanan (8,5–9,3 kbar)
pada suhu yang tinggi (900°–950°C). Mineral-mineral sekunder menunjuk-
kan retorgrasi berlanjut sampai dengan suhu 630°C. Analisis unsur utama
dan unsur jejak granulit Palu menunjukkan sumber batuan berasal dari
batuan beku, berupa basal dan andesit sampai dasit (Helmers dkk., 1990).
Kehadiran granulit dan eklogit di Lembah Palu menunjukkan kom-
pleksitas proses tektonik di kawasan tersebut. Granulit berasal dari kerak
bagian bawah atau bagian eksotik blok dari kepingan keratan kerak benua
(Syafri dkk., 2005) berupa batuan beku basal dan dasit-andesit (Helmers
dkk., 1990) yang tercampur selama proses subduksi-kolisi. Sementara itu,
eklogit Palu ditafsirkan terbentuk selama penunjaman kerak samudra sam-
pai pada kedalaman 60 km (Kadarusman dkk., 2005). Batuan malihan Palu
(granulit dan eklogit) diperkirakan terbentuk selama proses akrasi berumur
Kapur kemudian terangkat ke permukaan di sepanjang Sesar Palu-Koro
melalui mekanisme kolisi dan transportasi tektonik (Kadarusman­ dkk.,
2005). Batuan granulit dan eklogit tersebut kemudian mengalami alih
tempat pada kerak bagian tengah (30 km) pada 27–20 juta tahun lalu
(Kadarusman dkk., 2005).

h. Kompleks Malihan Latimojong-KaRoSsa


Batuan dari Kompleks Malihan Latimojong-Karrosa dipetakan pada Peta
Geologi Lembar Pasangkayu (Lembar 2014), Lembar Mamuju (Lembar
2013), dan Lembar Poso (Lembar 2115) atau Gambar 7.4., Blok A,
dan Gambar 7.7. Kompleks malihan tersebut berada di selatan Palu
disusun oleh filit, batusabak, kuarsit, batupasir kuarsa malih, batulanau-
batulempung malih, dan pualam (Ratman dan Atmawinata, 1993). Batuan
ini berselingan dengan batuan-batuan lain seperti konglomerat, batupasir,
batugamping, dan rijang. Menurut Simandjuntak dkk. (1991a), batuan
malihan ini disusun oleh batusabak, filit, yang bersama dengan batuan
lain dikelompokkan dalam Formasi Latimojong berumur Kapur sampai
Eosen. Penelitian terbaru (van Leeweun & Muhardjo, 2005) menerangkan
bahwa kompleks malihan ini berumur Kapur Tengah-Akhir disusun oleh
malihan batuan pelitik dan psamitik termasuk serpih, filit, dan batusabak.
Batuan Kompleks Malihan Latimojong menutupi secara tektonik batuan
Kompleks Malihan Karrosa (Gambar 7.7).

Kompleks Batuan Malihan | 149


Batuan malihan dalam Kompleks Malihan Karrosa penyebarannya
terbatas, disusun oleh sekis dan genes (Sukamto, 1973) dan metabasit.
Batuan lain yang dijumpai dalam kompleks ini adalah batuan malihan
pelitik dan psamitik derajat rendah yang berselingan dengan konglomerat,
batupasir kasar, lava, volkanik klastik, kuarsit, rijang, dan batugamping.

i. Kompleks Malihan Matano


Batuan malihan dari Kompleks Malihan Matano tersebar berasosiasi
­de­ngan­­ Sesar Matano (Gambar 7.7), yang merupakan sesar geser mengkiri.
Studi rinci di kawasan Sesar Matano dilakukan oleh Waheed A (1975)
batuan malihan berumur Trias Awal. Batuan malihan tersebut disetarakan
dengan batuan dari Kompleks Malihan Mengkoka yang terdiri atas sekis
serisit, sekis hijau, yang berselingan dengan filit, batusabak, dan sedikit
kuarsit serta batugamping terkristalisasikan. Pada batuan malihan yang
terpotong sesar jarang dijumpai pseudotakilit sedangkan di sepanjang
zona sesar dijumpai batuan seperti batulumpur, marmer, sekis kapuran
(calc schist), dan amfibolit dengan bidang foliasi sejajar dengan bidang sesar
(Watkinson dkk., 2011).

j. Kompleks Malihan Bantimala-BARRU


Kompleks Malihan Bantimala-Barru termasuk Blok C (Gambar 7.4) ­hadir
bersama dengan batuan peridotit dan kompleks melange membentuk
suatu Kompleks Tektonik Bantimala-Barru atau dikelompokkan sebagai
Metamorfit Bontorio (Sukamto, 1986) yang berumur Trias. Dalam tulisan
kompilasi data geologi Sulawesi Selatan, Sukamto (2009, tidak terbit)
­menguraikan bahwa batuan malihan di Sulawesi bagian selatan hadir
di dalam Kompleks Tektonik Bantimala dan Kompleks Barru berupa
keratan-keratan tektonik yang membentuk melange terdiri atas sekis
glukofan, genes, kuarsit, marmer, metakonglomerat, metabreksi, filit, dan
batusabak. Ke arah Pegunungan Tineba-Korue, batuan malihan hadir dari
jenis sekis, genes, kuarsit, serpentinit, marmer, metabatugamping, filit,
dan batusabak. Di dalam Kompleks Barru, batuan malihan hadir berupa
malihan kontak yang terdiri atas batutanduk dan sekis. Kompleks Malihan­
Bantimala dan Malihan Barru dapat dibedakan berdasarkan karakter
petrologi dan geokimia (Maulana dkk., 2010). Kompleks Bantimala disusun
oleh batuan malihan tekanan rendah sampai tekanan tinggi (sekishijau
sekisbiru dan eklogit) berasal dari berbagai lingkungan berbeda, antara

150 | Geologi Sulawesi


lain basal busur kepulauan, kumulat, basal pulau samudra, punggungan
tengah samudra, dan batuan kontinental. Sementara itu, batuan Malihan
Barru dicirikan oleh kehadiran sedimen laut dalam (rijang) termalihkan
derajat rendah berselingan dengan sedimen kontinental dan breksi sesar.
Batuan malihan sekishijau sampai amfibolit berasal dari lingkungan busur
kepulauan sampai amfibolit berafinitas dengan basal punggungan tengah
samudra (mid-oceanic ridge basalt-MORB).
Kompleks Malihan Bantimala disusun oleh amfibolit, eklogit amfibol,
eklogit amfibol-epidot, eklogit epidot, sekisbiru ziosit, sekisbiru turmalin,
sekisbiru lawsonit, sekisbiru epidot, sekisbiru filitik, sekishijau, sekishijau
filitik, filit pimontit, dan filit grafit. Garnet umum dijumpai dalam jenis
almandin dan spesartin. Analisis kimia batuan menunjukkan batuan asal
eklogit dan sekisbiru berafinitas dengan toleitik atau berafinitas dengan
kalk-alkali, sedangkan analisis mineral jejak menunjukkan afinitas MORB
(Soesilo, dkk., 2010 dan Soesilo, 2012).
Termobarometer eklogit dari Kompleks Malihan Bantimala
menunjukkan­ tekanan optimum sampai 28±2 kbar pada suhu 650±50°C,
mendekati fasa batas kuarsa-koesit (Maulana dkk., 2010). Perhitungan
­geotermobarometer lainnya (Soesilo dkk., 2010; Miyazaki dkk., 1996)
menunjukkan bahwa batuan Kompleks Bantimala telah mengalami
­pemalihan pada tekanan 27 kbar dan suhu maksimum mencapai 530°C,
sedangkan puncak pemalihan berkisar 18–24 kbar dan 580°–640°C yang
terbentuk pada kedalaman sekitar 65–85 km. Penelitian sebelumnya
menunjukkan puncak pemalihan terjadi pada tekanan mencapai 30,62
kbar dan suhu 667°–671ºC, diikuti kemudian oleh retrograsi (Miyazaki
dkk., 1996; Parkinson dkk., 1998).
Batuan-batuan malihan umumnya telah mengalami proses retrograsi
dicirikan oleh kehadiran kloromelanit, krosit, klorit, lawsonit, dan titanit
seperti pada eklogit dan sekis glukofan garnet (Wakita dkk., 1996). Batuan
eklogit terbentuk dengan suhu puncak T = 580°–640°C pada tekanan
sebesar 18–24 kbar (geotermometer garnet-piroksen) kemudian mengalami
proses retrograsi sampai dengan tekanan 5 kbar dengan suhu 350°C.
Studi komprehensif batuan malihan derajat tinggi (tekanan tinggi)
Bantimala telah dilakukan oleh Wakita dkk. (1996). Batuan malihan
tersebut­ berumur Akhir Jura-Kapur Awal disusun oleh eklogit, glukofan
garnet, sekis glukofan, dan sekis serpentinit. Pentarikhan batuan dengan
metode K–Ar dari mineral fenjit (Wakita dkk., 1994 dalam Wakita dkk.,
1996) menunjukkan umur bervariasi mulai (132±7 jt, 113±6 jt) dari

Kompleks Batuan Malihan | 151


glukofan garnet; kemudian (124±6 jt) dari batuan perselingan batuan kaya
mika dan keratan batuan kaya garnet serta batuan perselingan sekis mika
dan glukofan berumur (114±6 jt, 115±6 jt).

k. Kompleks Malihan Buton


Kompleks Malihan Buton tersebar sangat terbatas yaitu di bagian timur
laut Pulau Buton (Blok D, Gambar 7.4) dan termasuk ke dalam Peta
Geologi Lembar Buton (Sikumbang dkk., 1995). Data Malihan Buton ini
sangat kurang, yang ada hanya berdasarkan Peta Geologi Lembar Buton
(Sikumbang dkk., 1995). Kompleks Malihan Buton disusun oleh batuan
kuarsit mikaan, kuarsit, dan filit. Batuan malihan yang berasosiasi dengan
batuan ofiolit disusun oleh amfibolit dan sekishijau. Batuan tersebut
berumur Trias-Jura dan memiliki kontak tektonik dengan batuan yang
lebih muda.

152 | Geologi Sulawesi


BAGIAN IV
GEOLOGI BAGIAN TIMUR
BAB VIII
KEPINGAN BENUA
 Oleh: Surono

Batuan di bagian timur Sulawesi dapat dikelompokkan menjadi


empat bagian besar, yakni kepingan benua yang disusun oleh batuan
malihan ditutupi oleh sedimen Mesozoikum–Paleogen, kompleks ofiolit,
sedimen Neogen, dan Kuarter (Gambar 8.1). Secara garis besar, setelah
meredanya tumbukan antara kompleks ofiolit dan kepingan benua, di
atas keduanya terendapkan sedimen Neogen yang umum disebut Molasa
Sulawesi, kemudian disusul oleh pengendapan sedimen Kuarter.
Kepingan benua yang diduga berasal dari tepi utara Australia ini
menyebar di bagian timur Sulawesi dan beberapa pulau di dekat bagian
timur Sulawesi. Sedikitnya ada delapan kepingan benua yang tersebar
di Lengan Timur Sulawesi, Lengan Tenggara Sulawesi, dan pulau-pulau
sekitarnya. Kepingan benua itu (dari utara ke selatan, Gambar 8.2) terdiri
atas Banggai-Sula, Siombok, Tambayoli, Bungku, Matarombe, Sulawesi
Tenggara, Buton, dan Tukang Besi.
Kepingan benua dibahas pada Bab VIII ini, sedangkan kompleks
ofiolit dan sedimen Neogen dan Kuarter berturut-turut dibahas pada
Bab IX dan Bab X. Uraian selanjutnya adalah stratigrafi kepingan benua
tersebut di atas.

A. Kepingan Benua BANGGAI-SULA


Kepingan Benua Banggai-Sula memanjang dari barat ke timur dan
menem­pati bagian tenggara Lengan Timur Sulawesi, Kepulauan Banggai,
dan Kepulauan Sulabesi (Gambar 8.2). Kepingan ini mempunyai panjang

153
Gambar 8.1 Peta geologi bagian timur Sulawesi, disederhanakan dari peta-peta
geologi terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, skala 1:250.000.

154 | Geologi Sulawesi


sekitar 491,25 km dan lebar 36,5 km dengan bentuk melebar di bagian
barat dan sebaliknya menyempit di bagian timurnya. Kesamaan stratigrafi
membuat kepingan benua ini dipercaya banyak penulis, di antaranya

Gambar 8.2 Kepingan benua di bagian timur Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya
(Surono, 1998a).

Kepingan Benua | 155


Pigram dkk., 1984 & 1985; Garrad dkk., 1988; Hall dan Sevastjanova,
2012; sebagai kepingan benua yang berasal dari tepi utara Benua Australia.
Kepingan Benua Banggai-Sula juga disebut sebagai Mintakat Benua
Banggai-Sula (Sukamto, 1975b), Banggai-Sula Platform (Pigram dkk., 1984),
Banggai-Sula Microcontinent (Garrard dkk., 1988), dan Sula Spur (Hall dan
Sevastjanova, 2012). Kepingan benua ini secara administratif termasuk
Provinsi Sulawesi Tengah (Lengan Timur Sulawesi, P. Peleng, P. Banggai,
dan P. Selue Besar) dan Provinsi Maluku Utara (P. Taliabu, P. Manggole,
dan P. Sulabesi).
Sampai saat ini, penelitian secara terperinci dan menyeluruh dari kondisi
geologi Kepingan Benua Banggai-Sula sangatlah kurang. Namun, pemeta-
an geologi regional telah dilakukan sejak sebelum 1975 oleh Direktorat
Geologi (sekarang Pusat Survei Geologi, Badan Geologi). Sukamto (1975a)
telah menerbitkan peta geologi Lembar Ujungpandang skala 1:1.000.000
yang daerahnya mencakup kepingan benua ini. Kemudian disusul oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi menerbitkan peta geologi
skala 1:250.000; Lembar Batui (Surono dkk., 1994), Lembar Banggai
(Supandjono & Haryono, 1993), Lembar Luwuk (Rusmana dkk., 1993a),
dan Lembar Sanana (Surono dan Sukarna, 1993). Hasil penyederhanaan
keempat lembar peta geologi tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.3.
Publikasi tentang kepingan benua ini umumnya berkaitan dengan potensi
migas (di antaranya Brower, 1921, 1926; Kolhoven, 1930; Sato dkk., 1978;
Pigram dkk., 1984 & 1985; Garrard dkk., 1988; Surono, 1989a; Sardjono
dan Mirnanda, 2007; Hasanusi dkk., 2007; Kusnama, 2008; Ferdian dkk.,
2010; dan Watkinson dkk., 2011). Beberapa lintasan regional geofisika
dilakukan di sekitar Kepulauan Banggai-Sula, yang hasilnya dipublikasikan
oleh Hamilton (1979), Bowin dkk. (1980), McCaffrey dkk. (1981), dan
Letouze dkk. (1983). Uraian di bawah ini merupakan rangkuman dari
berbagai sumber tersebut.

1. Stratigrafi
Secara stratigrafi, batuan pembentuk Kepingan Benua Banggai-Sula terdiri
atas batuan yang berumur dari Paleozoikum sampai Kuarter (Gambar 8.4).
Sebagai batuan alas pada kepingan benua tersebut adalah batuan malihan
yang diterobos oleh granit dan ditindih oleh batuan gunungapi asam.
Batuan alas ini ditindih takselaras oleh sedimen klastik darat–laut dangkal
dari Formasi Bobong dan Formasi Nanaka. Runtunan sedimen klastik ini
berumur Jura Awal-Tengah dan ditindih selaras serpih hitam dan lempung

156 | Geologi Sulawesi


Gambar 8.3 Peta geologi Kepulauan Benua Banggai-Sula, disederhanakan dari Supandjono & Haryono (1993), Surono dkk. (1994) dan
Surono & Sukarna (1993).

Kepingan Benua
| 157
endapan laut dangkal Formasi Buya yang berumur Jura–Kapur Awal
(Surono & Sukarna, 1993; Supandjono & Haryono, 1993). Di P. Mangole
dan P. Taliabu, Formasi Buya ditindih batugamping endapan laut dalam
Formasi Tanamu. Kemudian batuan karbonat Eosen-Miosen Formasi
Salodik, Pancoran, dan Poh melampar luas dan menutupi takselaras run-
tunan batuan yang lebih tua. Akhirnya, konglomerat dan batugamping
Kuarter menutupi takselaras sedimen Tersier tersebut. Batuan Kuarter ini
tersingkap baik di sepanjang pantai selatan Lengan Timur Sulawesi.

2. Batuan alas
Seperti diuraikan di atas, batuan alas terdiri atas batuan malihan yang
diterobos oleh granit dan ditindih takselaras oleh batuan gunungapi.
Granit dan batuan gunungapi mempunyai umur yang sama (co-magmatic).
Batuan malihan tersingkap di P. Banggai, P. Peleng bagian barat,
P. Labobo, P. Bankurung, P. Salue Besar, P. Taliabu, P. Mangole, dan
P. Sulabesi (Gambar 8.4). Batuan penyusunnya terdiri atas batusabak,
filit, ampibolit, batupasir malih, kuarsit, sekis, dan genes. Berdasarkan
pentarikhan sekis dari P. Banggai, umur batuan malihan ini 306–305
+ 6 jt (juta tahun) atau Karbon Akhir (Sukamto, 1975a). Supandjono
dan Haryono (1993) memperkenalkan Formasi Menanga untuk runtu-
nan batuan sedimen malih yang terdiri atas perselingan batupasir malih,
batugamping malih, batusabak, dan filit, tersebar di P. Taliabu. Mereka
menduga formasi ini berumur pasca-Karbon, mungkin Trias.
Granit pada Kepingan Benua Banggai-Sula diperkenalkan pertama kali
oleh Supandjono dan Haryono (1993) dengan sebutan Granit Banggai,
yang kemudian diikuti oleh Surono dan Sukarna (1993). Granit Banggai
umum­nya berwarna merah maroon, yang tersusun oleh granit, granit
muskovit, dan granodiorit. Hasil pentarikhan radiometri granit dari P.
Banggai dan P. Taliabu menghasilkan umur berturut-turut 235+10 jt dan
245+25 jt (Sukamto, 1975a). Supandjono dan Haryono (1993) melakukan
pentarikhan radiometri pada granit dari dekat Bobong dan menghasilkan
umur 221+2 jt hingga 225+2 jt. Sementara itu, Surono dan Sukarna (1993)
melakukan hal yang sama dan menghasilkan umur 225+2 jt–240+2 jt.
Semua umur hasil pentarikhan tersebut sama dengan Trias Tengah–Trias
Akhir pada Skala Waktu Geologi (International Commission of Stratigraphy, 2004).
Batuan hasil kegiatan gunungapi terdiri atas riolit, tuf terkersikkan,
ignimbrit, tuf lapili, dan breksi gunungapi (Surono dan Sukarna, 1993;

158 | Geologi Sulawesi


Gambar 8.4 Stratigrafi Kepingan Benua Banggai-Sula, dikompilasi dari Rusmana dkk.
(1993), Supandjono & Haryono (1993), Surono & Sukarna (1993), dan Surono dkk.
(1994).

Supandjono dan Haryono, 1993). Kumpulan batuan gunungapi ini diberi


nama Batuan Gunungapi Mangole oleh Supandjono dan Haryono (1993).
Hasil pentarikhan radiometri riolit dari P. Mangole menunjukkan umur
210+25 jt atau Trias Akhir (Sukamto, 1975a). Hal ini memberikan pe-
tunjuk bahwa Batuan Gunungapi Mangole terbentuk bersamaan dengan
terobosan Granit Banggai, atau co-magmatic.

Kepingan Benua | 159


Surono dan Sukarna (1993) melaporkan runtunan batugamping yang
telah mengalami hablur ulang di P. Nofanini, selatan P. Mangole (Gambar
8.4). Batugamping ini, yang mereka perkenalkan dengan nama Batugam­
ping Nofanini, mengandung fosil koral dan moluska. Satuan ini menindih
takselaras satuan batuan gunungapi dan tertindih takselaras oleh satuan
batuan sedimen klastik Jura. Berdasarkan kedudukan stratigrafinya ini
mereka menduga umur satuan itu adalah Trias Akhir. Di Lengan Timur
Sulawesi ditemukan runtunan batugamping (batugamping dan napal bersi-
sipan serpih dan batupasir) yang dinamai Formasi Tokala oleh Surono dkk.
(1994). Kundig (1956) menemukan Misolia dan Rynchonella pada Formasi
Tokala ini, yang menunjukkan umur Trias Akhir. Batuan yang sama denga­n
Batugamping Nofanini juga ditemukan di Kepingan Benua Sulawesi Teng-
gara (Surono, 1994) dan berdasarkan fosil amonit dan belemnit yang
terkandung di dalamnya menunjukkan umur Trias Akhir.

3. Sedimen klastika Jura


Batuan sedimen klastik Jura, yang menindih batuan gunungapi dan granit,
terdiri atas Formasi Bobong dan Nanaka (Gambar 8.3–8.4). Formasi
Bobong, yang diperkenalkan oleh Supandjono dan Haryono (1993), terdiri
atas perselingan batupasir, konglomerat granit merah, dan serpih dengan
sisipan batubara. Kusnama (2008) membagi Formasi Bobong di P. Peleng
menjadi tiga fasies (dari bawah ke atas):
1) Fasies breksi-konglomerat yang terdiri atas breksi dan konglomerat,
yang kepingan batuan pada keduanya didominasi oleh granit merah,
batuan malihan, dan kuarsa.
2) Fasies batupasir kuarsa yang didominasi oleh batupasir kuarsa dengan
lensa serpih dan batulumpur pada bagian atasnya.
3) Fasies perselingan serpih, batulempung dan batulumpur, setempat
sisipan batubara.
Kusnama (2008) juga menemukan dua sisipan batubara dalam
Formasi Bobong di P. Taliabu, dengan ketebalan lapisan 30-40 cm dan
100–120 cm. Nilai kalori batubara tersebut antara 6.715 dan 7.350 kal/g,
kandungan belerang 3–4%, karbon padat 45,69–53,96%, dan kadar abu
7,86–16,3%. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa batubara itu termasuk
bituminous sampai high volatile bituminous. Formasi Bobong ini tersebar luas
di P. Taliabu, P. Banggai, P. Peleng, dan P. Sanana dengan ketebalan sekitar
2.000 m dan menipis ke arah timur.

160 | Geologi Sulawesi


Sementara itu, Formasi Nanaka, yang tersebar di bagian tengah Lenga­n
Timur Sulawesi dengan ketebalan >800 m, terdiri atas konglome­rat, batu­pasir,
bersisipan serpih (Rusmana dkk., 1993a; Surono dkk., 1994). Kepingan
konglomerat umumnya mengandung granit berwarna merah maroon. Di
beberapa tempat kepingan granit ini mendominasi kepingan konglomerat.
Di bagian selatan Lengan Timur Sulawesi, tepatnya di Sungai Nambo,
Desa Nambo, ditemukan runtunan batuan sedimen setebal 300 m, yang
terdiri atas napal pasiran dan napal (Formasi Nambo), mengandung banyak
amonit dan belemnit berumur Jura (Surono dkk., 1994). Setara dengan
Formasi Nambo di Tanjung Balantak, ujung timur Lengan Timur Su-
lawesi, dijumpai runtunan batugamping termalihkan Formasi Sinsidik
(Simandjuntak dkk., 1992b) yang mengandung fosil amonit, belemnit, dan
foraminifera. Formasi ini tersusun dari wackestone–packstone (Hastuti dkk.,
2000).
Runtunan sedimen laut, seperti yang dijumpai di Lengan Timur
Sulawesi, melampar jauh lebih luas di Kepulauan Banggai-Sula. Sedimen
itu didominasi oleh serpih bersisipan batupasir, batugamping, napal, dan
kong­lomerat dan disebut sebagai Formasi Buya (Surono dan Sukarna,
1993). Pada serpih banyak dijumpai fosil muluska, di antaranya Haplophyllo-
ceras strigile, Blanfordiceras cf. wallichi, Himalayayites treubi, Stephanoceras daubenyi,
Malayomaurica malayomaurica, Spiticeras sp., Macrochepalites sp., Inoceramus
sp., I. hasiti, Belemnopsis stolleyi, B. mangolensis, Bivalis, dan Gastropoda.
Kumpulan fosil tersebut menunjukkan umur Formasi Buya adalah Jura
Tengah–Jura Akhir dan terendapkan dalam lingkungan laut dangkal
(Surono dan Sukarna, 1993). Di samping itu, Supandjono dan Haryono,
(1993) menganalisis fosil dari Kepulauan Banggai dan mengidentifikasi
Irianites sp., I. moermani, Macrocephalites sp., M. (Dalikephalites) cf. keewensis,
M. cf. transitorus, M. (Dolikephalites) cf. subcompressus, Oxycerites roedoensis,
Belemnopsis spp., Bositra buchi, Idoceras mihanum, Bullatimorphites sp., Docidoceras
(Docidoceras) longalvum, cf. spp. Limatun, Stephanoceras (Teloceras) cf. indicus,
Dicoelites spp., Posidonomya sp., Mayaites (Parypoceras) aff. sinuatus, Lima sp.,
Entolium sp., Belemnit phragmocone, Belemnit indet., dan Amberleya (Eucyclus) sp.
Kumpulan fosil tersebut juga menunjukkan umur Jura Tengah–Jura Akhir
dan terendapkan di laut dalam(?)–dangkal. Kandungan foraminifera kecil
dalam Formasi Buya ini di antaranya Eoguttulina liassica, Saracenaria sublaevis,
Dentalina jurensis, Lenticulina bochardi, dan Spirillina radiata; yang menunjuk-
kan umur Jura Tengah dan diendapkan di laut dalam (Surono dan Sukarna,
1993). Nannoplankton dalam formasi itu di antaranya Watznaueria com-

Kepingan Benua | 161


munis, W. barnesea, dan Cretarhabdus angustiforatus; yang juga menunjukkan
umur Jura Tengah (Surono dan Sukarna, 1993). Analisis paleontologi di
atas menunjukkan bahwa Formasi Buya diendapkan dalam laut dangkal
dan peralihan, setempat laut dalam, pada Jura Tengah–Jura Akhir. Formasi
Buya mempunyai ketebalan >2.500 m dan bagian bawahnya menjemari
dengan bagian atas Formasi Bobong serta ditindih takselaras (paracorformity)
oleh Formasi Tanamu. Brouwer (1921) menyatukan Formasi Buya dan
Formasi Tanamu dan memberikan nama Way Galo Beds.

4. Karbonat Kapur
Runtunan batuan karbonat berumur Kapur terdiri atas napal bersisipan
batugamping kapuran dan serpih. Surono dan Sukarna (1993) menamai
runtunan ini sebagai Formasi Tanamu. Penyebaran Formasi Tanamu
dijumpai di sepanjang pantai utara P. Taliabu dan P. Mangole (Gambar
8.3–8.4) dengan ketebalan maksimum 500 m.
Batugamping kapuran mengandung fosil Globotruncana sp., G. stepani-
turbinata, G. gr. lapparenti, G. Coronata, dan G. cf. fornicata; yang menunjuk-
kan umur Kapur Akhir (Surono dan Sukarna, 1993). Surono dan Sukarna,
(1993) juga menganalisis kandungan nannoplankton dan menemukan
Arkhangelskiella cymbiformis, Broinsonia parcea, Eiffelithus turriseiffeli, Cribosphae-
rella ehrenbergi, Lucianorhabdus cayeuxi, Pararhabdolithus embergi, Prediscosphaera
cretacea, Microsphabdules decoratus, Manivilette pemmatoidea, Tetralithus corpulathus,
T. aculeus, T. gothius, T. trifibus, dan Watznaueria barnesa; yang menunjukkan
umur Kapur Akhir dan terendapkan di lingkungan laut dalam.
Formasi Tanamu mempunyai hubungan ketidakselarasan semu (para-
conformity) dengan Formasi Buya yang ada di bawahnya. Secara setempat
formasi ini ditindih secara takselaras oleh Formasi Peleng yang berumur
Kuarter. Brouwer (1926) menyatukan Formasi Tanamu ini dengan Formasi
Buya dengan nama Way Galo Beds.
Cornee dkk. (1995) menganalisis kandungan fosil dalam contoh
batu­gamping dari daerah Salodik, leher Lengan Timur Sulawesi, dan
menemukan foraminifera plankton: Planoglobolina cf. multicamerate, Pseudotex-
tularia elegans, Heterohelicidae, Globotruncana linneiana, G. insignis, G. ventricosa,
G. dupleublei, Globotruncanita stuartiformis, G. cf. stuarti, Contusotruncana cf.
walfischensis, C. cf. fornicata; dan nannoplankton: Watznaueria sp., W. barnesae,
Biscutum sp., Rhagodiscus sp., Prediscosphaera sp., Cribrosphaerella ehrenbergii,
dan Lithraphidites praequadratus. Kumpulan fosil tersebut juga menunjukkan
umur Maastrichtian tengah atau akhir Kapur Akhir.

162 | Geologi Sulawesi


5. Karbonat Paleogen
Batuan karbonat Paleogen di Kepingan Banggai-Sula terdiri atas Formasi
Salodik dan Formasi Poh. Keduanya dibedakan dari komposisi batuannya;
Formasi Salodik didominasi batugamping dengan sisipan napal sedangkan
Formasi Poh didominasi oleh napal bersisipan batugamping dan batupasir.
Hubungan kedua formasi ini menjemari, menumpang takselaras dengan
satuan di bawahnya dan ditindih takselaras oleh Molasa Sulawesi (terutama
Formasi Kintom).
Formasi Salodik menyebar luas di Lengan Timur Sulawesi dan se-
tempat di P. Banggai, P. Peleng, P. Mangole, dan beberapa pulau kecil di
sekitarnya (Gambar 8.3–8.4). Penelitian stratigrafi yang dilakukan oleh
Sihombing dkk. (2011) membagi batugamping ke dalam dua bagian:
bagian bawah terdiri atas grainstone–rudstone yang kaya akan fosil Numulites;
sedangkan bagian atasnya terdiri atas mudstone, wackestone, packstone, dan
grainstone. Ketebalan Formasi Salodik diperkirakan sekitar 1.000 m.
Batugamping numulites tersingkap baik pada tebing jalan sekitar 500
m, selatan Desa Salodik (Gambar 8.5). Foraminifera besar dalam batu-
gamping tersebut di antaranya Numulites sp., Operculina sp., Lepidocyclina sp.,
Cycloclypeus sp., dan Heterostegina sp., yang menunjukkan umur Oligosen–
Miosen Tengah (Surono dkk., 1994). Rusmana dkk. (1994) menganalisis
fosil dalam Formasi Salodik, yang diambil dari Lembar Luwuk. Fosil
yang terkandung di dalam formasi itu adalah Proporocyclina, Numulites sp.,
Marginospora sp., Amphistigina sp., Lepidocyclina sp., Sorites sp., Rotalia sp.,
Flosculinella sp., Brizolina sp., Planulina sp., Heterostigina sp., dan Miogypsina
sp., yang menunjukkan umur Eosen–Miosen Tengah dan terendapkan
dalam lingkungan laut dangkal tepi benua. Surono dan Sukarna (1993)
melakukan analisis fosil dari Lembar Sanana menghasilkan umur Miosen
Awal–Miosen Te­ngah.
Beberapa ahli geologi dari perusahaan minyak (salah satunya Hasanusi
dkk., 2007) meningkatkan Formasi Salodik di Blok Senoro-Toili menjadi
Kelompok Salodik (Gambar 8.6), yang terdiri atas (dari bawah ke atas)
Formasi Tomori, Formasi Matindok, Formasi Minahaki, dan Formasi Poh.
Bagian bawah Formasi Tomori, yang berumur Miosen Awal Akhir, terdiri
atas sedimen klastik sedangkan bagian atasnya dibentuk oleh batugamping.
Formasi Matindok didominasi oleh klastika dengan sisipan lignit berumur
Miosen Tengah. Formasi Minahaki merupakan hasil pengendapan paparan
karbonat. Tidak selaras di bawah Formasi Tomori dijumpai runtunan
batugamping yang berumur Eosen–Oligosen.

Kepingan Benua | 163


Sumber: Surono
Gambar 8.5 Sisipan batugamping foraminifera yang mengandung Numulites secara
melimpah di tebing jalan dekat Desa Salodik.

164 | Geologi Sulawesi


Gambar 8.6 Stratigrafi Kelompok Salodik menurut Hasanusi dkk. (2007). Penamaan
dan stratigrafi satuan batuan ini sangat berbeda dengan apa yang telah dipublikasi-
kan oleh Rusmana dkk. (1993a) dan Surono dkk. (1994). Lihat uraian pada Bab VIII,
hlm.163.

Kepingan Benua | 165


Penulis berpendapat ada perbedaan yang signifikan antara Formasi
Salodik (Surono dkk., 1994) dan Kelompok Salodik (Hasanusi dkk., 2007).
Bahkan menurut Surono dkk. (1994), pada bagian bawah Formasi Salodik
ditemukan sisipan batugamping foraminifera yang mengandung Numulites
secara melimpah (Gambar 8.5). Memang, batuan penyusun keduanya
didominasi oleh batugamping tetapi mempunyai umur yang berbeda dan
sangat mungkin diendapkan pada cekungan sedimen yang berbeda pula.
Formasi Salodik (Surono dkk., 1994) berumur Eosen-Oligosen sedangkan
Kelompok Salodik (Hasanusi dkk., 2007) berumur Miosen Awal–Miosen
Tengah. Menurut Surono dkk. (1994) dan Rusmana dkk. (1993a), Formasi
Poh menjemari dengan Kelompok Salodik tetapi Hasanusi dkk. (2007)
memasukkan Formasi Poh ke Kelompok Salodik. Dari semua uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa ada dua satuan batuan yang didominasi
batugamping, satu satuan berumur Eosen-Oligosen (Formasi Salodik dan
Formasi Poh), yang lain takselaras di atasnya berumur Miosen Awal-Akhir.
Formasi Poh menyebar luas di Lengan Timur Sulawesi dan mem­
punya­i ketebalan sekitar 750 m. Sisipan batugamping dalam formasi ini
terdiri atas grainstone, rudstone, dan packstone (Sihombing dkk., 2011).

B. Kepingan BENUA Siombok


Nama Kepingan Benua Siombok diperkenalkan oleh Surono (1996a)
untuk kepingan benua yang berada pada bagian barat Lengan Timur
Sulawesi (Gambar 8.2). Menurutnya, nama Siombok diambil dari sungai
terbesar yang menoreh kepingan benua itu. Kepingan benua ini berukuran
panjang sekitar 41,25 km dan lebar 38,75 km. Penelitian secara terperinci
pada kepingan ini belum banyak dipublikasikan. Menurut Simandjuntak
dkk. (1991a, b) dan Surono dkk. (1994), kepingan ini disusun oleh (dari
tua ke muda) Formasi Tokala, Formasi Nanaka, dan setempat Formasi
Nambo. Formasi Tokala, yang sebagai penyusun mendominasi Kepingan
Siombok, terdiri atas batugamping, napal dengan sisipan serpih. Formasi
ini banyak mengandung koral dan moluska. Kundig (1956) menemukan
Rynchonella dan Misolia yang menunjukkan umur Trias Akhir. Surono dkk.
(1994) menduga formasi ini diendapkan di lingkungan laut dangkal–dalam
dengan ketebalan lebih dari 900 m.
Formasi Tokala ditindih selaras oleh Formasi Nanaka, yang disusun
oleh konglomerat dengan fragmen granit, batupasir, dan serpih. Formasi
Nanaka diduga menjemari dengan Formasi Nambo yang dibentuk oleh

166 | Geologi Sulawesi


sedimen klastik halus berupa napal dan napal pasiran. Kedua formasi
ini diduga berumur Jura (Surono dkk., 1994). Sisipan batubara sering
ditemukan pada Formasi Nanaka dengan ketebalan 10-60 cm. Formasi
Nanaka di Kepingan Siombok diduga diendapkan pada lingkungan fluvial
dan mempunyai ketebalan lebih dari 800 m (Surono dkk., 1994).

C. Kepingan BENUA Tambayoli


Nama Kepingan Benua Tambayoli diperkenalkan oleh Surono (1996a)
berdasarkan Teluk Tambayoli yang berada di timurnya. Kepingan benua
itu berada tepat di pertemuan antara Lengan Timur dan bagian tengah
Sulawesi (Gambar 8.2), memanjang barat laut-tenggara, dan berukuran
panjang 53,75 km dengan lebar 11,25 km. Batuan pembentuk kepingan
benua ini didominasi oleh Formasi Tokala (di Lembar Poso, Simandjuntak
dkk., 1991b menyebutnya sebagai Formasi Masiku) dan sedikit Formasi
Nanaka. Pada kepingan ini, Formasi Tokala melampar luas di daratan
Sulawesi (Gambar 8.7) sedangkan Formasi Nanaka hanya tersingkap di
pulau-pulau kecil (P. Nanaka). Hubungan kedua formasi ini tidak diketahui
dengan pasti karena belum ditemukannya sentuhan keduanya di lapangan.
Berdasarkan kemiripkan litologi antara Formasi Nanaka dan Formasi
Bobong di P. Peleng (Supandjono dan Haryono, 1993) diduga keduanya
berumur sama, Jura Awal–Jura Tengah.
Sama dengan Formasi Tokala di Kepingan Siombok, Formasi Tokala
di Kepingan Tambayoli disusun oleh batugamping, napal dengan sisipan
serpih. Formasi Nanaka merupakan perselingan antara batupasir kuarsa,
konglomerat, serpih dengan sisipan batubara. Lensa batubara ditemukan
secara setempat. Fragmen konglomerat didominasi oleh granit merah dan
kuarsa.
Cornee dkk. (1995), Martini dkk. (1997), dan Villeneuve dkk. (2001)
meneliti secara terperinci Kepingan Tambayoli di sekitar Teluk Tambayoli
dan sekitarnya. Cornee dkk. (1995) menganalisis kandungan fosil contoh
batuan dari beberapa tempat dari Lengan Tenggara dan Lengan Timur
Sulawesi, termasuk singkapan Formasi Tokala di Kolonodale. Singkapan
batugamping Formasi Tokala setebal 200-250 m di daerah Kolonodale
telah diteliti oleh Martini dkk. (1997). Hasil mereka dapat dilihat pada
Gambar 8.8, yang menunjukkan adanya pola regresi (dari bawah ke atas).
Dari hasil penelitian foraminifera, conodon, dan koral, umur yang terkan-
dung di dalam batugamping terumbu menunjukkan umur Trias Akhir.

Kepingan Benua | 167


Gambar 8.7 Peta geologi sekitar Teluk Kolonedale, Sulawesi Tengah (Simandjuntak,
1991a, b). Karbonat Jura merupakan Formasi Tokala bagian dari Kepingan Benua
Tambayoli.

168 | Geologi Sulawesi


Semula bagian bawah merupakan endapan tepi paparan karbonat, semakin
ke atas berubah menjadi endapan terumbu dan terakhir bagian atas men-
jadi hasil endapan intertidal.
Selanjutnya, Villeneuve dkk. (2001) meneliti litostratigrafi terperinci
pada 1.200 m batugamping dari Formasi Tokala di tempat yang sama
dengan tempat Martini dkk. (1997) meneliti. Hasil penelitian mereka dapat
dilihat pada Gambar 8.9. Mereka membagi runtunan batugamping di
Kolonodale (Formasi Tokala) secara lebih terperinci sebagai berikut (dari
bawah ke atas):

Gambar 8.8 Penampang stratigrafi batugamping Trias Akhir di Kolonodale, menurut


Martini dkk. (1997).

Kepingan Benua | 169


1) Batugamping mikrit (>100 m): mengandung filament dan radiolaria
serta conodon Misikella posthersteini, yang menunjukkan umur Norian–
Rhaetian atau Trias Akhir. Batas bawahnya tidak diketahui.
2) Batugamping bioklastik pejal (100 m): dengan foraminifera bentos,
megalodontid, koloni koral, sponge, brachiopoda, echinoid, dan ooid.
Analisis foraminifera yang terkandung di dalamnya menunjukkan
lingkungan lagon ke arah barat dan lingkungan terumbu ke arah timur,
dan umurnya berdasarkan Triasina hantkeni adalah akhir Norian–Rhaetian
atau Trias Akhir.
3) Oolit dan perselingan batugamping lempungan (argilalaceous), setebal
20–50 m: termasuk batugamping pasiran, batugamping oolit, batu-
gamping cryptalgal, batugamping mikrit dengan fenestral, dan napal.
Satuan ini diendapkan pada lingkungan subtidal–intertidal. Asosiasi
palynomorph pada napal menunjukkan umur Rhaetian (akhir Trias-awal
Jura).
4) Laminasi batugamping bioklastik (20–40 m) mengandung sisa porifera
(sponge remnant), radiolaria, dan foraminifera bentos serta Involutina lias-
sica yang menunjukkan umur Lias Awal-Tengah atau Jura Awal. Satuan
ini diendapkan pada paparan karbonat luar (outer carbonate platform).
5) Batugamping bioklastik pejal (20–30 m) mengandung sisa porifera,
echinoid dari lingkungan paparan karbonat luar.
6) Perselingan batugamping bioklastik hemipelagik–pelagik dan batu-
gamping lempungan hitam (150 m) mengandung belemnit, jarang
amonit, moluska pelagik, dan radiolaria. Fosil nanno gampingan yang
terkandung di dalamnya menunjukkan umur Toarsian Awal–Tengah
(akhir Jura Awal) dan amonit (Hammatoceras gr. tipperi-moluccanum)
menunjukkan umur akhir Toarsian (Jura Awal).
7) Napal berselingan dengan batugamping bioklastik (30–50 m) mengan­
dung bival pelagik, diduga sebagai endapan pelagik.
8) Batugamping dan sisipan radiolaria (+100 m) mengandung fosil nanno
gampingan yang menunjukkan umur Bajocian–Bathonian (Jura Tengah)
diendapkan di lingkungan batial.
9) Batugamping dan serpih merah mengandung rijang (>100 m) mengan­
dung radiolaria dan foraminifera plankton berumur Albian (akhir
Kapur Awal) diendapkan dalam lingkungan batial.

170 | Geologi Sulawesi


Gambar 8.9 Penampang stratigrafi batugam­
ping TriasAkhir di Kolonedale, menurut Vil-
leneuve dkk. (2001).

Kepingan Benua | 171


10) Kalsilutit pelagik merah mengandung moluska pelagik, radiolaria, dan
foraminifera plankton yang menunjukkan umur Campanian–Maastrich-
tian atau akhir Kapur.
11) Kalsilutit merah dan perselingan batugamping bioklastik (>100 m)
merupakan bongkah terpisah dalam melang di bawah ofiolit mengan­
dung fosil yang menunjukkan umur Oligosen–Miosen.

Villeneuve dkk. (2001) menyimpulkan bahwa pada Norian Akhir–


Rhaetian (Trias Akhir) terjadi regresi pada paparan karbonat sehingga
terendapkan batugamping pada paparan karbonat luar, kemudian batu-
gamping terumbu terbuka (open reefal carbonate) dan diakhiri pengendapan
batugamping yang bercampur dengan material klastik dalam lingkungan
laguna. Selama Lias Awal–Tengah paparan itu mengalami penenggelaman,
yang mungkin disebabkan ekstensi, kemudian terendapkan batugamping
pada paparan karbonat luar. Penulis menduga ekstensi itu berhubungan
dengan mulai pemisahan pinggir utara Australia pada Jura.

D. Kepingan BENUA Bungku


Nama Kepingan Benua Bungku diberikan oleh Surono (1996a) untuk
kepingan benua yang memanjang barat laut-tenggara di sepanjang pantai
timur bagian utara Lengan Tenggara Sulawesi (Gambar 8.2). Kepingan
ini berukuran panjang sekitar 50 km dan lebar 12,5 km. Belum banyak
penelitian yang dilakukan pada kepingan ini. Simandjuntak dkk. (1993)
dalam rangka pemetaan geologi skala 1:250.000 melakukan survei di
daerah Bungku. Di peta itu tergambarkan bahwa Kepingan Benua Bungku
tersusun oleh Formasi Tokala. Namun, dari laporan terbuka Simandjuntak
dkk. (1981) dapat ditafsirkan bahwa kepingan benua ini tersusun oleh dua
formasi, yaitu Formasi Tinala yang ditindih selaras oleh Formasi Nanaka.
Formasi Tinala merupakan perselingan antara batugamping klastik, batupa-
sir malih, serpih, napal, dan lempung pasiran serta bersisipan batubara. Di
lain pihak, Formasi Nanaka tersusun oleh konglomerat, batupasir mikaan,
serpih, dan lensa batubara.

E. Kepingan BENUA MatTarombeO


Nama Kepingan Benua Mattarombeo diberikan oleh Surono (1996a)
untuk kepingan benua yang memanjang hampir barat–timur sepanjang
sekitar 81,25 km dengan lebar 18,75 km mulai dari pantai timur Lengan

172 | Geologi Sulawesi


Tabel 8.1 Stratigrafi Kepingan Mattarombeo (dari atas ke bawah)
Simandjuntak dkk. Simandjuntak dkk. Susunan Batuan
(1981) (1993)
Formasi Lerea Formasi Salodik Perselingan batupasir dan batugam­
ping
Formasi Lamusa Formasi Masiku Batusabak, serpih, filit, batupasir, dan
batugamping dengan nodul rijang
Formasi Tinala Formasi Tokala Perselingan batugamping klastik, batu-
pasir sela, napal, wake, serpih, napal,
dan lempung pasiran dengan sisipan
argilit

Tenggara Sulawesi sampai di tepi Danau Towuti (Gambar 8.2). Nama


Mattarombeo diambil dari pegunungan yang berada di bagian selatan
kepingan benua itu. Belum ada publikasi yang membahas secara terperinci
mengenai kepingan benua ini. Bahasan di bawah ini berdasarkan peta
geologi skala 1:250.000 Lembar Bungku yang dikeluarkan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, yang satu sebagai laporan terbuka
(Simandjuntak dkk., 1981) dan yang lain terbit dengan berwarna penuh
(Simandjuntak dkk., 1993). Ada perbedaan penamaan formasi di antara
kedua peta geologi itu. Dalam pembahasan di bawah ini digunakan perian
satuan batuan pada peta baru (Simandjuntak dkk., 1993, Tabel 8.1).
Formasi Tokala pada Kepingan Mattarombeo didominasi oleh mate-
rial klastik, sebaliknya pada tipe lokasinya di Kepingan Siombok lebih
didominasi batuan karbonat. Hal ini menggambarkan bahwa Formasi
Tokala di Kepingan Mattarombeo diendapkan pada lingkungan yang lebih
dekat ke darat. Pada batugampingnya ditemukan Halobia, Amonit, dan
Belemnit yang dimungkinkan menunjukkan umur Trias Akhir–Jura Awal
(Simandjuntak dkk., 1993).
Batugamping dalam Formasi Masiku mempunyai lensa rijang yang
mengan­dung radiolaria. Fosil Globotruncana sp. juga dijumpai pada batu-
gamping dalam formasi ini (Simandjuntak dkk., 1993). Globotruncana sp.
dan radiolaria dalam batugamping ini menunjukkan umur Formasi Masiku
adalah Jura Akhir–Kapur Awal dan diendapkan dalam lingkungan laut
dalam. Ketebalan Formasi Masiku diperkirakan sekitar 500 m. Hubungan
antara Formasi Tokala dan Formasi Masiku belum diketahui dengan jelas,
diduga Formasi Masiku menumpang di atas Formasi Tokala secara selaras.
Secara takselaras, di atas Formasi Masiku terendapkan Formasi Salodik
yang disusun oleh kalsilutit, batugamping pasiran, napal, batupasir, dan
rijang. Semula, Formasi Salodik di bagian utara Kepingan Mattarombeo

Kepingan Benua | 173


disebut Formasi Lerea oleh Simandjuntak dkk. (1981). Formasi ini mengan­­
dung Globorotalia spp., Globigerina sp., Chilogumbelina sp., Globigerinoides
immaturus, Gb. sacculiferus, Discocyclina spp., Numulites sp., Operculina sp., Le­
pidicyclina sp., dan Spiroclypeus sp; dan pada napal mengan­dung Globoquadrina
altispira, Sphaeroidinellopsis seminulina, Globigerinoides immaturus, Gb. altiaper­
turus, Gb. trilobus, Globigerina sp., dan Globigerinita sp. (Simandjuntak dkk.,
1993). Kumpulan fosil tersebut menunjukkan umur Eosen Akhir–Miosen
Awal. Lingkungan pengendapan Formasi Salodik pada kepingan ini diduga
di laut dangkal. Keterdapatan rijang pada formasi ini mengindikasikan
sebagian dari formasi ini terendapkan pada laut dalam. Kemungkinan
Formasi Salodik diendapkan pada suatu paparan karbonat laut dangkal
yang dikelilingi laut dalam seperti halnya Formasi Tampakura di Kepingan
Benua Sulawesi Tenggara (Surono, 1996b). Ketebalan Formasi Salodik
dalam Kepingan Mattarombeo diduga sekitar 250 m.
Batugamping Paleogen melampar luas di ujung selatan Kepingan
Benua Mattarombeo, terutama di sekitar Tanjung Tampakura. Surono
(1995b) menamai runtunan batugamping ini sebagai Formasi Tampakura.

Gambar 8.10 Gambaran morfologi Lengan Tenggara Sulawesi dari citra


IFSAR (Surono, 2010).

174 | Geologi Sulawesi


Uraian lebih terperinci dari formasi ini dapat dilihat pada Kepingan Benua
Sulawesi Tenggara di bawah ini.

F. Kepingan BENUA Sulawesi Tenggara


Kepingan benua di Lengan Tenggara Sulawesi diberi nama Lajur Tinondo
oleh Rusmana & Sukarna (1985), Benua Renik Sulawesi Tenggara/Muna
(Southeast Sulawesi/Muna Microcontinent) oleh Davidson (1991), dan Mintakat

Gambar 8.11 Peta geologi Lengan Tenggara Sulawesi (Rusmana dkk., 1993b;
Siman­djuntak, 1991a, 1993, & 1994).

Kepingan Benua | 175


(Kepingan) Benua Sulawesi Tenggara oleh Surono (1994). Kepingan benua
ini memanjang barat laut-tenggara, dengan ukuran panjang sekitar 205
km dan lebar 97,5 km sehingga menempati sebagian besar luas Lengan
Tenggara Sulawesi (Gambar 8.2). Morfologi Kepingan Benua Sulawesi
Tenggara umumnya membentuk pegunungan dengan kemiringan sedang-
terjal (Gambar 8.10). Peta geologi dan stratigrafi kepingan benua ini
berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 8.11 dan 8.12. Uraian di bawah
ini merupakan rangkuman dari publikasi sebelumnya, di antaranya Surono
(1995a, b, c; 1996a, b, c; 1998b; 1999) dan Surono dan Bachri (2002).

Gambar 8.12 Stratigrafi Kepingan Benua Sulawesi Tenggara (modi­


fikasi dari Surono, 2010).

176 | Geologi Sulawesi


1. Batuan dasar
Batuan tertua sebagai batuan dasar pada Mintakat Benua Sulawesi
Tenggara adalah Kompleks Batuan Malihan yang diterobos oleh batuan
granitan di beberapa tempat. Kedua satuan batuan itu menjadi batuan
alas sedimen Mesozoikum yang terendapkan di atasnya. Kompleks batuan
malihan menempati bagian tengah Lengan Tenggara Sulawesi, membentuk
Pegunungan Mendoke dan ujung selatannya membentuk Pegunungan
Rumbia (Gambar 8.11). Kompleks ini didominasi batuan malihan yang
terdiri atas sekis, kuarsit, sabak, dan marmer (Simandjuntak dkk., 1994;
Rusmana dkk., 1993b), dan diterobos oleh aplit dan diabas (Surono, 1986).
Untuk uraian lebih jelas tentang batuan malihan lihat Bab VII hlm. 127.
Sejumlah percontoh batuan malihan dari kompleks batuan malihan
(Gambar 8.13) di Lengan Tenggara Sulawesi itu diambil oleh Bothe (1927)
dan sebagian dari percontoh tersebut dianalisis oleh de Rover (1956).
Ia mengenali dua periode pemalihan batuan, tua dan muda. Pemalihan
tua menghasilkan fasies epidot-ampibol dan yang muda menghasilkan
fasies sekis glaukofan. Pemalihan tua berhubungan dengan penimbunan
sedangkan yang muda diakibatkan oleh sesar naik. Sangat mungkin sesar

Gambar 8.13 Sekis di Pegunungan Rumbia, ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi.

Kepingan Benua | 177


naik tersebut terjadi pada Oligosen–awal Miosen, sewaktu kompleks ofiolit
tersesarnaikkan ke atas kepingan benua.
Helmers dkk. (1989) meneliti evolusi sekis hijau di Lengan Tenggara S­ula­
wesi, terutama dari Pegunungan Mendoke, Pegunungan Rumbia, dan Pulau
Kabaena. Menurutnya, peristiwa pemalihan pertama adalah rekristali­sasi
sekis hijau pada akhir dari penimbunan cepat (fast burial). Percontoh
yang diambil dari sekitar Kolaka menunjukkan bahwa seluruh kompleks
pernah mengalami subduksi (penunjaman). Apabila benar, sekis hijau
merupakan hasil penunjaman yang mungkin terjadi sebelum pengendapan
Formasi Meluhu pada Trias Akhir. Surono dan Tung (2009) dan Idrus dkk.
(2011) menyimpulkan batuan malihan ini, terutama di sekitar Bombana,
merupakan sumber suatu tipe cebakan emas orogen yang endapan emas
sekundernya dijumpai di Dataran Langkowala.

2. Batuan sedimen Mesozoikum


Batuan sedimen berumur Mesozoikum menumpang takselaras di atas
batuan dasar. Sedimen Mesozoikum yang telah dikenal luas adalah Formasi
Meluhu yang berumur Trias. Secara setempat, terutama di P. Labengke dan
sekitar Desa Matarape, Sulawesi Tenggara; ditemukan singkapan sedimen
Kapur (Cornee dkk., 1995).

a. Formasi Meluhu
Formasi Meluhu dapat dibagi menjadi tiga anggota (Surono, 1997b; Surono
& Bachri, 2002) dari bawah ke atas:
1) Anggota Toronipa, yang didominasi oleh batupasir dengan sisipan
batupasir konglomeratan, batulumpur, dan serpih serta setempat lignit;
2) Anggota Watutaluboto didominasi oleh batulumpur dan batulanau
dengan sisipan batupasir dan konglomerat; dan
3) Anggota Tuetue terdiri atas batulumpur, batulanau, dan napal serta
batugamping di bagian atas.
Penyebaran ketiga anggota itu dapat dilihat pada Gambar 8.14 dan
8.15. Anggota Toronipa ditindih secara selaras oleh Anggota Watutaluboto,
dan selanjutnya Anggota Watutaluboto ditindih selaras Anggota Tuetue.

(1) Anggota Toronipa


Anggota Toronipa, Formasi Meluhu diberi nama oleh Surono (1994, 1998a)
dengan tipe lokasi pada Tanjung Toronipa di sebelah selatan Kendari.

178 | Geologi Sulawesi


Gambar 8.14 Penyebaran Formasi Meluhu di Lengan Tenggara Sulawesi dan
pulau-pulau di sekitarnya (Surono & Bachri, 2002).

Gambar 8.15 Penyebaran Anggota Toronipa, Formasi Meluhu di bagian


timur Lengan Tenggara Sulawesi (Surono, 2002).

Kepingan Benua | 179


Anggota Toronipa mempunyai penyebaran paling luas dalam Formasi Me-
luhu, baik secara horizontal maupun vertikal (Gambar 8.14). Penampang
stratigrafi Anggota Toronipa di lokasi tipenya dapat dilihat pada Gambar
8.16. Di lapangan, Anggota Toronipa ini dikuasai oleh batupasir dengan

Gambar 8.16 Penampang stratigrafi Anggota Toronipa, Formasi Meluhu pada


lokasi tipenya di TanjungToronipa, di pantai utara Tanjung Kendari (Surono &
Bachri, 2002).

180 | Geologi Sulawesi


Gambar 8.17 Kenampakan lapangan Anggota Toronipa, Formasi Meluhu di tebing
jalan antara Kendari dan Sawa. Runtunannya menghalus ke atas.

ketebalan yang beragam (Gambar 8.17). Lingkungan pengendapan anggota


ini diduga pada sungai kekelok (Surono & Bachri, 2002).
Surono (1997b) menganalisis petrografi 78 batupasir Anggota Toro-
nipa dari daerah Kendari. Komposisi rata-rata fragmen dalam batupasir
tersebut terdiri atas 68,2% kuarsa monokristal, 12,7% kuarsa polikristal,
16,6% fragmen batuan, dan 1,4% felspar (Gambar 8.18). Secara petrografi,
batupasir itu termasuk dalam sub-litharenite. Sebagian kuarsa berasal dari
batuan malihan, tetapi dalam beberapa sayatan ditemukan kuarsa yang
berasal dari batuan gunungapi. Fragmen batuan gunungapi dan felspar
ditemukan di bagian utara dari penyebaran Anggota Toronipa dengan
persentase relatif kecil. Kaolin merupakan mineral lempung yang cukup
melimpah dalam Formasi Meluhu.
Adanya fragmen yang berasal dari batuan gunungapi menunjukkan
bahwa sebagian dari batuan asal Anggota Toronipa merupakan batuan
gunungapi. Namun, sampai saat ini di Lengan Tenggara Sulawesi tidak
ditemukan singkapan batuan gunungapi. Padahal di Kepingan Benua
Banggai-Sula batuan gunungapi tersingkap luas dan tebal (lihat Bab VIII
hlm. 156). Hal ini mungkin disebabkan batuan gunungapi di Kepingan
Benua Sulawesi Tenggara hanya merupakan lapisan tipis yang kemudian

Kepingan Benua | 181


Gambar 8.18 Komposisi batupasir Anggota Toronipa, Formasi
Meluhu (Surono, 1997b).

mungkin habis tererosi, yang hasilnya diendapkan pada Cekungan Anggota


Toro­nipa. Apabila dugaan ini benar, letak Cekungan Anggota Toronipa itu
mungkin cukup jauh dari pusat kegiatan gunungapi pada masa itu.
Petrografi organik dari 19 contoh dari Anggota Toronipa dan Ang-
gota Tuetue, yang terdiri atas lignit dan sedimen karbonan, telah dilakukan
oleh Surono (1999). Vitrinit merupakan maseral yang dalam dominan
contoh tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa iklim pada saat pengendapan
Formasi Meluhu sangat basah. Pemantulan (reflectance) vitrinit sekitar 0,48%

182 | Geologi Sulawesi


Gambar 8.19 Penampang stratigrafi Anggota Watulaluboto, Formasi Meluhu di pantai
barat Tanjung Laonti (Surono & Bachri, 2002).

Rvmax dan 0,82% Rvmax dengan rata-rata 0,69% Rvmax, yang menunjuk-
kan rank sub-bituminous–high volatile bituminous.
Sebagai ciri endapan sungai kekelok, penampang tegak Anggota
T­oronipa umumnya menghalus ke atas seperti pada Gambar 8.16. Namun
di hulu Sungai Andonowu, selatan Tinobu, penampang tegak anggota ini
justru mengasar ke atas. Ini diduga sebagai endapan kipas sungai yang
dipengaruhi oleh tektonik aktif semasa pengendapannya (Surono, 1997b).

Kepingan Benua | 183


(2) Anggota Watutaluboto
Nama Anggota Watutaluboto diambil dari Desa Watutaluboto, Tanjung
Labuanbajo, tempat lokasi tipe anggota tersebut tersingkap (Gambar 8.19,
8.20: Surono, 1994, 1995b; Surono & Bachri, 2002). Seperti telah diuraikan
di depan, Anggota Watutaluboto disusun oleh batulumpur dan batulanau
dengan sisipan batupasir dan konglomerat.
Bagian bawah anggota ini diendapkan pada lingkungan delta yang energi­­­
nya didominasi oleh sungai, sedangkan bagian atasnya lebih didominasi
energi pasang-surut. Surono & Bachri (2002) memperkirakan perbedaan
antara arus pasang dan arus surut sekitar 2–4 m.

(3) Anggota Tuetue


Lokasi tipe Anggota Tuetue terdapat di dekat Desa Tuetue, Tanjung Labuan-
bajo (Gambar 8.20, Surono dan Bachri, 2002). Batuan penyusun anggota
ini terdiri atas batulumpur, batulanau, dan napal serta batugam­pin­g di
bagian atas (Surono, 1994). Bagian bawahnya kaya akan struktur sedimen
yang umum ditemukan pada lingkungan pasang-surut, seperti flase-bedding,
lensoidal-bedding, herring-bone, dan wavy-bedding. Pada bagian atas anggota ini
ditemukan fosil laut seperti bival, gastropoda, amonit, dan belemnit, yang
menunjukkan lingkungan laut. Belemnit yang dianalisis oleh Surono (1994)
menemukan Preflorianites sp. yang menunjukkan umur Trias Awal dan Tropites
sp. mengindikasikan umur Trias Akhir. Analisis palinologi menunjukkan
adanya Falcisporites spp. yang berumur Trias Awal–Trias Akhir (Surono,
1994).

(4) Sedimentologi Formasi Meluhu


Surono dan Bachri (2002) telah menguraikan secara terperinci sedi­
mentologi Formasi Meluhu, yang kemudian diacu dalam buku Geologi
Lengan Tenggara Sulawesi (Surono, 2010). Uraian di bawah ini merupakan
ringkasan dari makalah yang pertama.
Lingkungan pengendapan Formasi Meluhu dimulai dari sungai
kekelok (Anggota Toronipa), transisi dari darat ke laut (Anggota Watuta-
luboto), kemudian menjadi laut dangkal (Anggota Tuetue) (Gambar 8.21).
Ini menunjukkan bahwa lingkungan pengendapan itu mengalami pendala-
man, yang sangat mungkin disebabkan adanya penurunan dasar cekungan
atau transgresi. Hasil analisis arus purba, yang diukur pada struktur sedi-
men, menghasilkan arah tenggara (115o). Analisis paleomagnitik (magnet

184 | Geologi Sulawesi


purba) pada 44 contoh batuan dari Formasi Meluhu menghasilkan bahwa
formasi ini terendapkan pada 20o LS dan terputar 25o searah jarum jam
(Surono dan Bachri, 2002). Menurut Embleton (1984), pusat Benua
Australia pada Trias–Jura terletak pada sekitar 35o–65o LS, sehingga tepi
utaranya berada sekitar 15o–45o LS. Dengan demikian, cekungan tempat
diendapkan Formasi Meluhu (20o LS) berada di tepi utara Australia pada

Gambar 8.20 Penampang stratigrafi Anggota Tuetue pada lokasi tipe (Surono &
Bachri, 2002).

Kepingan Benua | 185


Gambar 8.21 Interpretasi pengendapan Formasi Meluhu menurut Surono & Bachri
(2002). A: Sewaktu pengendapan Anggota Toronipa dan B: Pada pengendapan ang-
gota Tuetue.

Trias dan arah arus purba waktu pengendapan formasi itu adalah 90o, atau
ke arah timur. Garis pantai sewaktu pengendapan Formasi Meluhu diduga
memanjang hampir sejajar dengan pantai sekarang, sedangkan laut ke arah
timur laut.
Sesuai dengan hasil analisis petrografi dan arus purba, asal batuan
yang diendapkan dalam cekungan itu dari barat, dengan komposisi batuan
asal didominasi oleh batuan malihan yang diterobos oleh batuan felsik dan
ditindih oleh lapisan tipis batuan gunungapi. Oligoklas lapuk ditemukan
bersama dengan felspar segar dalam sayatan sama, ini menunjukkan bahwa
topografi batuan asal sangat kasar, sungai mengalir deras sehingga dapat
menoreh dari batuan yang lapuk sampai ke batuan segar. Sungai seperti
itu pasti mempunyai air cukup banyak. Semua itu menunjukkan bahwa
iklim waktu itu cukup basah dengan curah hujan yang tinggi. Kaolin pada
umum dijumpai di daerah subtropis–tropis (Weaver, 1989; dan Konta, 1985).
Uraian itu semua memperkuat dugaan bahwa cekungan Formasi
Meluhu terletak pada tepi utara Australia, di daerah subtropis dengan iklim
cukup basah. Cekungan yang semakin dalam mungkin lebih disebabkan
adanya ekstensi pada awal proses pemisahan Kepingan Benua Sulawesi
Tenggara dari tepi utara Australia.
Sampai saat ini, pada Kepingan Benua Sulawesi Tenggara tidak dite-
mukan sedimen klastik yang berumur Jura. Padahal sedimen itu ditemukan
menyebar luas dan mempunyai ketebalan cukup besar di Kepingan Benua
Banggai-Sula (Surono & Sukarna, 1993). Namun, pada kepingan benua
yang dekat dengan Kepingan Benua Sulawesi Tenggara (Kepingan Benua
Mattarombeo) sedimen Jura ditemukan cukup tebal. Kalau benar dugaan

186 | Geologi Sulawesi


bahwa semua kepingan benua di Sulawesi bagian timur itu merupakan
pecahan dari bagian utara Australia, mungkin tidak ditemukannya sedimen
Jura pada Kepingan Sulawesi Tenggara lebih disebabkan letak geografi
kepingan benua itu pada Jura. Kepingan Benua Sulawesi Tenggara terletak
lebih ke arah darat dibanding­kan dengan kepingan benua yang lain, seperti
Kepingan Banggai-Sula dan Kepingan Mattarombeo. Dengan demikian,
sedimen Jura tidak terendapkan dengan baik.

b. Batugamping Kapur
Tidak seperti pada Kepingan Benua Banggai-Sula, pada Kepingan Benua
Sulawesi Tenggara batuan sedimen Kapur, tidak tersingkap secara luas.
Singkapan batugamping (mudstone/wakestone) berumur Kapur ditemukan
oleh Cornee dkk. (1995) di sebuah pulau kecil sebelah barat P. Labengke
dan pantai Desa Matarape (Gambar 8.22). Di pulau kecil itu, batugamping
tersingkap setebal 10 m. Batugamping tersebut banyak mengandung fora-
minifera, di antaranya Heterohelicidae sp., Pseudotextularia sp., Rugoglobigerina
sp., Globotruncanita cf. stuartiformis, G. Atlantica, dan Contusotruncana cf.
fornicata; yang menunjukkan umur Campanian atau awal Kapur Akhir.
Cornee dkk. (1995) mengambil dua contoh batugamping dari pantai
Desa Matarape. Satu contoh mengandung Heterohelix sp., Globigerinolloides
sp., Globotruncana linneiana, G. arca, Globotruncanita cf. atlantika, Gl. cf. cal-
carata, Gl. Stuartiformis, dan Rugoglobigerina sp. yang berumur Campanian. Satu
lainnya mengandung Rugoglobigerina cf. rugosa, Globotruncanita cf. stuartiformis,
G. gr. atlantica-conica, dan Costusotruncana cf. fornicata yang diduga berumur
Campanian-Maastrichtian atau Kapur Akhir.

Gambar 8.22 Lokasi batugamping berumur Kapur di pulau kecil dekat P. Labengke,
yang ditemukan oleh Cornee dkk. (1995).

Kepingan Benua | 187


Surono dkk. (1997) menduga Kepingan Benua Sulawesi Tenggara
dan semua kepingan benua lainnya di bagian timur Sulawesi, termasuk
Kepingan Benua Banggai-Sula, merupakan satu-kesatuan, yakni bagian
utara dari Benua Australia. Keterbatasan singkapan batuan sedimen Kapur
pada Kepingan Benua Sulawesi Tenggara ini mungkin disebabkan letak
geografis kepingan benua ini lebih ke arah darat dibandingkan dengan
Kepingan Benua Banggai-Sula. Hal ini juga diperkuat posisi cekungan
Formasi Meluhu, yang merupakan alas batuan sedimen Kapur, terletak
lebih ke arah darat dibandingkan dengan batuan sedimen seumur di
Kepingan Benua Banggai-Sula (lihat Bab VIII hlm.153).

c. Batuan sedimen Paleogen


Semula, Rusmana dkk. (1985) menamakan batugamping Paleogen di Lenga­n
Tenggara Sulawesi, terutama di sekitar Tanjung Tampakura, dengan nama
Formasi Tampakura. Namun, pada publikasi berikutnya (Rusmana dkk.,
1993b) menggantinya menjadi Formasi Salodik. Padahal, lokasi tipe For-
masi Salodik terletak jauh (>100 km) ke utara, di ujung timur Lengan
Timur Sulawesi. Litologi penyusun kedua satuan peta tersebut juga ber-
lainan, yaitu Formasi Salodik di Lengan Timur terdiri atas batugamping
dengan sisipan napal (Surono dkk., 1994) sedangkan Formasi Salodik di
Lengan Tenggara disusun oleh kalsilutit dan batugamping oolit (Rusmana
dkk., 1993b). Oleh sebab itu, beberapa publikasi setelah 1993 (di anta-
ranya Surono, 1995a, 1996b, 1997a) tetap menggunakan nama Formasi
Tampakura. Nama dalam uraian di bawah tetap menggunakan Formasi
Tampakura. Surono (1995a, 1996b, 1997a) menguraikan secara terperinci
Formasi Tampakura ini. Lokasi tipe yang diusulkan tersingkap di pantai
Tanjung Tampakura (Gambar 8.23). Sebagian besar uraian di bawah ini
merupakan rangkuman dari ketiga makalah tersebut. Sementara itu, satuan
batuan karbonat seumur lainnya di Lengan Tenggara Sulawesi (Gambar
8.14), sampai saat ini belum ada penelitian secara terperinci.
Di lapangan Formasi Tampakura tersusun oleh berbagai jenis batu-
gamping, di antaranya oolit, mudstone, wakestone, packstone, dan framestone
(Surono, 1996a; Gambar 8.24). Ketebalan Formasi Tampakura di P. Labengke
diukur >400 m. Penampang stratigrafi gabungan dari formasi ini dapat
dilihat pada Gambar 8.25. Bagian terbawah dari Formasi Tampakura, yang
disebut sebagai Runtunan Batuasah (Batuasah Beds, Gambar 8.26) oleh
Surono (1996a), merupakan sedimen klastik dari lanau, batupasir, kong­
lomerat, dan napal. Struktur sedimen akibat arus pasang-surut berkembang

188 | Geologi Sulawesi


Gambar 8.23 Penyebaran Formasi Tampakura di bagian timur Lengan Tenggara S­ulawesi.
Lokasi pengukuran stratigrafi terperinci: A = Runtunan Batuasah, B = Runtuna­n
Labengke Utara, C = Runtunan Labengke Selatan, D = Runtunan Labengke Barat, dan
E = Runtunan Marege.

Kepingan Benua | 189


Gambar 8.24 Kenampakan lapangan batugamping oolit pada Formasi Tampakura di
P. Labengke bagian selatan.

baik pada bagian bawah ini. Runtunan Batuasah, yang merupakan endapan
delta yang didominasi energi sungai, menumpang takselaras di atas For-
masi Meluhu. Ketebalan Runtunan Batuasah lebih dari 30 m dan ditindih
secara transisi oleh bagian tengah (Runtunan Labengke Utara (Northern La-
bengke) oleh Surono (1996b). Bagian tengah Formasi Tampakura dinamai
Runtunan Labengke Utara (Northern Labengke Beds) oleh Surono (1996b),
disusun oleh mudstone dan wackestone (Gambar 8.27). Lapisan tipis lanau
masih menyisipi bagian terbawahnya. Bagian atas Formasi Tampakura
merupakan Runtunan Labengke Selatan (Southern Labengke Beds) didominasi
oleh runtunan tebal dari framestone dengan sisipan mudstone dan rudstone
(Gambar 8.28). Oolit diikuti dolomit berkembang baik pada bagian teratas
(Gambar 8.29). Secara setempat oolit mendominasi bagian atas ini, seperti
pada Western Labengke beds dan Marege Beds.
Berbagai jenis fosil yang terawetkan dalam Formasi Tampakura, antara
lain foraminifera, nannofosil, moluska, algae, koral, dan ecinoid. Sepuluh
contoh yang mengandung foraminifera dianalisis oleh Surono (1996b) dan
hasilnya: Chilogumbilina sp., Numulites sp., Miliolides sp., Reussela sp., Opercu-

190 | Geologi Sulawesi


lina sp., Turborotalia pseudomayeri, Globigerina sp., Planorbulinella cf. Larvata,
dan Discogypsina sp., yang kumpulan fosil tersebut menunjukkan umur
Eosen Akhir–Oligosen Awal. Surono (1996b) juga menganalisis nanno­
flora yang terkandung dalam tiga contoh. Nannoflora itu di antaranya

Gambar 8.25 Penampang gabungan Formasi Tampakura di P.


Labengke (Surono, 1998b; Surono, 2010).

Kepingan Benua | 191


Cyclicargolithus floridanus dan Coronocyclus netescens yang menunjukkan umur
Eosen Tengah–Miosen Tengah. Berdasarkan kandungan fosil tersebut,
Surono (1996a, b) menyimpulkan umur Formasi Tampakura adalah Eosen
Akhir–Oligosen Awal.
Menurut Surono (1996b), lingkungan pengendapan Formasi Tam­
pakur­a dimulai dari delta, yang semula energinya didominasi sungai

Gambar 8.26 Penampang stratigrafi Runtunan Batuasah, Formasi Tampakura di


P. Labengke (Surono, 1998b; Surono, 2010). Lokasi penampang lihat Gambar 8.23.
Untuk keterangan simbol, lihat Gambar 8.25.

192 | Geologi Sulawesi


Gambar 8.27 Penampang stratigrafi Runtunan Labengke Utara, Formasi Tampa­
kura di P. Labengke (Surono, 1998b). Lokasi penampang lihat Gambar 8.23.

Kepingan Benua | 193


Gambar 8.28 Penampang stratigrafi Runtunan Labengke Selatan, Formasi Tampakura
di P. Labengke (Surono, 1998b). Lokasi penampang lihat Gambar 8.23 dan untuk
keterangan simbol lihat Gambar 8.25 dan 8.27.

194 | Geologi Sulawesi


Gambar 8.29 Penampang stratigrafi Runtunan Labengke Barat, Formasi Tampakura
di P. Labengke (Surono, 1998b). Lokasi penampang lihat Gambar 8.23 dan untuk
keterangan simbol lihat Gambar 8.25 dan 8.27.

Kepingan Benua | 195


kemudian berubah menjadi dominasi arus pasang-surut (Gambar 8.30).
Lingkung­an ini kemudian berubah menjadi suatu paparan karbonat.
Pengaruh arus pasang-surut pada paparan karbonat itu sangat signifikan
sehingga sebagia­n merupakan zona subtidal sampai zona intertidal. Tepi
paparan karbonat itu berada di sebelah utara, sebaliknya daratan berada
di selatannya. Meski demikian, ada dua contoh yang mengindikasikan
diendapkan di laut dalam. Hal itu semua menunjukkan bahwa paparan
k­arbonat tersebut mungkin merupakan (menurut klasifikasi Tuker &
Wright, 1990; Burchette & Wright, 1992) rimmed shelf. Formasi Tampakura
diduga mempunyai umur yang sama dengan Formasi Lerea dan Tambo-
rasi. Kalau dugaan ini benar, sangat mungkin Kepingan Benua Sulawesi
Tenggara pada Paleogen dike­lilingi oleh paparan karbonat (Gambar 8.31).
Paparan karbonat ini langsung berbatasan dengan laut dalam yang mem-
bentuk paparan berpenghalang atau rimmed shelf (Surono, 2010).
Kedudukan Formasi Tampakura sekarang berada pada 3o–4o LS.
Formasi ini menumpang takselaras di atas Formasi Meluhu yang diduga
diendapkan pada 20o LS. Dengan demikian, Formasi Tampakura mungkin
diendapkan pada 4o–20o LS. Keberadaan fosil Nummulite, ganggang
merah, semen aragonit, dan Mg-kalsit menunjukkan formasi ini terbentuk
pada wilayah subtropis–tropis berair hangat. Lees (1975) melaporkan ooid
dan aggregate, yang melimpah dalam bagian atas Formasi Tampakura,
terbentuk lebih baik pada daerah subtropis (15o–25o LS) dibandingkan
dengan daerah sekitar ekuator. Kiranya dapat disimpulkan bahwa Formasi
Tampakura diendapkan di air laut hangat pada lintang purba 15o–20o LS.
Sangat mungkin formasi ini diendapkan selama perjalanan Kepingan
Sulawesi Tenggara dari tepi utara Australia ke posisi sekarang.
Menurut Surono (1997b), dolomit, yang melimpah di bagian atas
Formasi Tampakura, terbentuk pada temperatur <50oC di zona intertidal–
supratidal. Menurutnya pula, pembentukan dolomit itu terjadi di bagian
atas zona intertidal–supratidal tempat larutan kaya akan Mg merembes
ke laut kembali. Model pembentukan dolomit yang paling cocok adalah
reflux model.

G. Kepingan BENUA Buton


Kondisi geologi P. Buton telah lama dikenal sejak terbitnya publikasi
oleh Hetzel (1936). Kemudian disusul berturut-turut oleh Umbgrove
(1943) yang memerikan koral dalam sedimen yang mengadung aspal;

196 | Geologi Sulawesi


Gambar 8.30 Interpretasi pengendapan Formasi Tampakura menurut Surono (1998b). A = Runtunan Batuasah dan
Runtunan Labengke Utara (delta-paparan pasang surut); B = Runtunan Labengke Selatan, Labengke Barat dan Labengke

Kepingan Benua
Utara (rim karbonat-paparan pasang surut); C = Runtunan Marege (subtidal-intertidal); D = Anggota Laonti (supratidal-
subtidal) di Tanjung Laonti. Lihat Gambar 8.1 untuk lokasi penampang.

| 197
198 |
Geologi Sulawesi
Gambar 8.31 Rekonstruksi paleogeografi Kepingan Benua Sulawesi Tenggara pada Paleogen. Kepingan benua dikelilingi oleh paparan
karbonat tempat terendapkannya Formasi Tampakura, Formasi Lerea, dan Formasi Tamborasi. Paparan karbonat itu mungkin langsung
berbatasan dengan laut dalam (Surono, 2010).
Keyzer (1945) melaporkan foraminifera kecil; dan Beet (1943) meng­
analisis moluska Oligosen Akhir–Mio-Pliosen. Van Bemmelen (1949)
secara lengkap merangkum kondisi geologi Kepulauan Buton dari berbagai
sumber hasil penelitian sebelumnya. Lama setelah itu tidak ada publikasi

Gambar 8.32 Peta geologi P. Buton dan P. Muna (disederhanakan dari Sikumbang dkk., 1995).

Kepingan Benua | 199


tentang geologi Buton, baru kemudian Wiryosujono & Hainim (1978)
dan disusul di antaranya oleh Sikumbang dkk. (1995) menerbitkan peta
geologi Lembar Buton (Gambar 8.32). Kemudian disusul oleh Smith
(1983), Fortuin dkk. (1990), Smith & Silver (1991), Soeka (1991), Soeka
& Mudjito (1992), Milson dkk. (1999), dan Soeka dkk. (2008). Kajian di
bawah ini merupakan rangkuman dari sebagian publikasi tersebut di atas.
Kepingan Benua Buton ini mempunyai panjang sekitar 158 km dan
lebar sekitar 125 km yang memanjang dengan arah utara–selatan. Keping­
an ini meliputi seluruh P. Buton dan P. Muna serta beberapa pulau kecil
di sekitarnya (Gambar 8.2). Stratigrafi Kepingan Benua Buton dapat
dilihat pada Gambar 8.33 di bawah ini. Sementara itu, tektonostratigrafi
P. Buton yang diperkenalkan oleh Smith dan Silver (1991) dapat dilihat
pada Gambar 8.34.

1. Batuan malihan dan ofiolit


Batuan penyusun Kepingan Benua Buton berumur mulai dari pra-Meso-
zoikum sampai Kuarter (Gambar 8.33). Menurut Sikumbang dkk. (1995),
batuan tertua dalam Kepingan Buton adalah Kompleks Malihan Doole
(mereka menyebutnya Formasi Doole) yang terdiri atas batuan malihan
berderajat rendah, kuarsit mikaan berselingan dengan filit, dan batusabak.
Umur satuan batuan malihan ini diduga pra-Trias. Smith (1983) dan Smith
& Silver (1991) memberi nama satuan ini Formasi Lakansai yang berumur
Paleozoikum.

2. Batuan sedimen Mesozoikum-Paleogen


Kompleks Ofiolit Kapantori berasosiasi dengan Formasi Mukito diduga
kedua satuan batuan ini terbentuk setelah Kompleks Malihan Doole.
Umur keduanya masih dalam perdebatan, Smith & Silver (1991) menduga
berumur Paleozoikum, belakangan Mudjito dkk. (1998) memperkirakan
Trias Awal. Kompleks Ofiolit Kapantori disusun oleh peridotit, serpen­
tinit, rijang, filit, dan kuarsit. Sementara itu, Formasi Mukito terdiri atas
metabesite, metarijang (metachert), dari sekis hijau dan fasies ampibol. Menu-
rut Smith & Silver (1991), Formasi Mukito di sepanjang Sungai Mukito
dapat dibagi menjadi:
1) Filit basa, silikaan, dan sedikit karbonat dengan mineral penciri fasies sekis
hijau; dan

200 | Geologi Sulawesi


2) Amfibolit sekisan berbutir halus.

Kedua satuan batuan ini diduga terbentuk pada zona subduksi dari
lempeng samudra tempat terbentuknya Kompleks Ofiolit Kapantori
(Mudjito dkk., 1998).

Gambar 8.33 Stratigrafi Pulau Buton (Milson dkk., 1999).

Kepingan Benua | 201


Gambar 10.22 Penampang stratigrafi Anggota Batupasir, Formasi
Langkowala di sebelah barat Desa Powatu (lihat Gambar 10.7 untuk
lokasi). Ukuran butir S = batupasir, G = kerikil, P = kerakal (Surono, 2010).

Di sekitar Desa Pohara, Anggota Batupasir terlihat jelas menjemari


dengan Anggota Batugamping Pohara, Formasi Eemoiko, yang terendap­
kan dalam lingkungan laut dangkal, shelf (lihat uraian selanjutnya). Di
beberapa tempat, bagian terbawah Anggota Batupasir merupakan kon-
glomerat atau batupasir konglomeratan. Hal ini menunjukkan bahwa
anggota ini pada waktu pengendapannya berada dekat dengan batuan asal,
atau lebih dekat ke darat dibandingkan dengan Anggota Batugamping
Pohara. Sehingga diduga, batupasir tersebut merupakan suatu pematang
pantai (beach ridge) sedangkan Anggota Batugamping Pohara lebih ke arah
laut pada lingkungan laut dangkalnya paparan (shelf).

248 | Geologi Sulawesi


9. Formasi Boepinang
Kartaadiputra dan Sudiro (1973) memberi nama Formasi Boepinang untuk
satuan batuan yang terdiri atas batulempung pasiran, napal pasiran, dan
batupasir. Batupasir konglomeratan dijumpai secara setempat. Ketebalan
Formasi Boepinang diduga mencapai 450 m. Formasi ini tersebar luas di
sekitar Boepinang, Kabupaten Bombana; ujung selatan Lengan Tenggara
Sulawesi (Gambar 10.11).
Simandjuntak dkk. (1994) menganalisis kandungan foraminifera dalam
Formasi Boepinang dan menemukan di antaranya Globorotalia tumida, Gl.
minardii, Gl. acostaensis, Gl. flexuosa, Globigerinoides immaturus, Gb. extremus,
Gb. sacculifer, Pulleniatina primalis, Sphaeroidinellopsis seminulina, dan Hastigerina
sp. Kumpulan fosil tersebut menunjukkan umur Miosen Akhir–Pliosen.
Lingkungan pengendapan Formasi Boepinang diduga laut dangkal.
Formasi Boepinang menindih selaras, setempat takselaras, Formasi
Langkowala dan menjemari dengan Formasi Eemoiko. Secara takselaras,
Formasi Boepinang ditindih oleh sedimen Kuarter, Formasi Buara, dan
Formasi Alangga (Simandjuntak dkk., 1994).

10. Formasi Eemoiko


Formasi Eemoiko diberi nama oleh Kartaadiputra dan Sudiro (1973).
Formasi yang didominasi batugamping dengan sisipan batupasir dan napal
ini menyebar luas di sekitar Eemoiko, Kabupaten Bombana, ujung selatan
Lengan Tenggara Sulawesi (Gambar 10.11). Batugampingnya tersusun
oleh grainstone, wackestone, dan boundstone. Ketebalan keseluruhan formasi
ini diduga mencapai 300 m. Lingkungan pengendapan Formasi Eemoiko
diduga laut dangkal dengan energi yang cukup tinggi.
Umur Formasi Eemoiko belum dapat ditentukan dengan pasti karena
belum ditemukannya fosil penunjuk umur batuan. Berdasarkan kedudukan
formasi ini yang selaras di atas Formasi Langkowala dan menjemari
dengan Formasi Boepinang, umurnya diduga Miosen Akhir–Pliosen.
Surono dan Sukarna (1996) memberi nama Anggota Batugampin­g
Pohara, Formasi Eemoiko, untuk suatu runtunan batuan sedimen yang
tersingkap di tebing jalan dekat Desa Pohara, sebelah barat Kota
Kendari (Gambar 10.23 dan 10.24). Anggota Batugamping Pohara di-
dominasi oleh batugamping dengan sisipan batupasir dan konglomerat
pada bagia­n bawahnya. Anggota ini diduga terendapkan dalam periode
mulai berkurangnya pasokan sedimen klastik dari daratan. Surono (1994)

Batuan Sedimen Neogen dan Kuarter | 249


Gambar 10.23 Penampang stratigrafi Anggota Batugamping Pohara, Formasi
Eemoiko, di tebing jalan antara jembatan S. Sampara dan Desa Pohara (Surono dan
Sukarna, 1996).

menganalisis foraminifera dalam Anggota Batugamping Pohara ini dan


menemukan Globigerinoides ruber, Globigerinoides extremuus, Globigerinoides trilobus,
Globigerinoides immaturus, Globorotalia acostaensis, Globorotalia crassaformis, Globoro-
talia menardii, Brizalina sp., Planulina sp., dan Bulimina sp., yang menunjukkan
umur Miosen Akhir-Pliosen dan diendapkan dalam lingkungan outer sublit-
toral. Sofiati (Surono, 1994) mengidentifikasi makrofosilnya, terutama Pecten
sp., Dosina suboblonga, Dosina uttleyi, Tellina planata, Ostrea sp., Malea valencienes,
dan Arca. Berdasarkan Dosina suboblonga, Dosina uttleyi, dan Tellina planata
tersebut, umur satuan ini adalah Miosen Awal. Dengan demikian, umur
Anggota Batugamping Pohara adalah Miosen Awal–Pliosen.

11. Pengendapan Molasa Sulawesi


Molasa Sulawesi diendapkan sesaat pada akhir dan setelah tumbukan antara
kepingan benua dan ofiolit. Akibat tumbukan itu, ofiolit tersesarnaikkan
ke atas kepingan benua. Ofiolit yang telah menumpang di atas kepingan
benua ini mungkin ketebalannya tipis (Surono, 1994; Surono dan Sukarna,
1996; Sardjono dan Mirnanda, 2007), sehingga fragmen batuan yang
berasal dari ofiolit umumnya hanya menempati bagian bawah Molasa
Sulawesi. Sementara itu, bagian atasnya lebih didominasi oleh batuan yang

250 | Geologi Sulawesi


Gambar 10.24 Penampang stratigrafi Anggota Batugamping Pohara, Formasi Eemoiko
(Surono & Sukarna, 1996). Lihat Gambar 10.23 untuk lokasi pengukuran.

berasal dari kepingan benua. Hal seperti ini tidak hanya dapat diamati
di Lengan Tenggara Sulawesi, tetapi juga tampak jelas di Lengan Timur
Sulawesi. Fragmen konglomerat dan batupasir dalam bagian bawah For-
masi Kintom didominasi batuan ofiolit dan tidak ditemukan batuan yang
berasal dari kepingan benua. Sebaliknya, pada bagian atas formasi itu tidak
ditemukan fragmen batuan dari ofiolit.
Bagian bawah Molasa Sulawesi umumnya mempunyai ukuran butir
yang jauh lebih besar dibandingkan dengan bagian atasnya, atau dengan
kata lain ukuran butirnya mengecil secara signifikan ke atas. Di beberapa
tempat, bagian terbawahnya mempunyai ukuran butir sampai >100 cm. Hal
ini dapat terjadi apabila energi transportasi yang cukup tinggi, atau sangat
mungkin terjadi pada topografi kasar yang mempunyai sungai dengan
kemiringan cukup besar (curam). Topografi kasar ini tentu diakibatkan
oleh tektonik yang dialami daerah itu relatif kuat, sangat mungkin akibat
tumbukan dua mintakat yang berbeda (benua dan samudra) itu.
Surono dan Sukarna (1996) menggambarkan awal pengendapan Sula­
wesi Molasa di Lengan Tenggara Sulawesi yang sangat mungkin dapat
diterap­kan di seluruh bagian timur Sulawesi. Awal pengendapannya terjadi
pada tahap akhir tumbukan antara kedua mintakat tersebut. Pengendap­
an terjadi dalam beberapa cekungan aluvial berukuran relatif kecil yang
terpisahkan satu sama lain oleh topografi yang kasar akibat tumbukan
kedua kepingan benua dan samudra itu (Gambar 10.25a). Seiring dengan

Batuan Sedimen Neogen dan Kuarter | 251


Gambar 10.25 Interpretasi sedimentasi Molasa Sulawesi yang dimulai diendapkan
pada cekungan sungai dan diakhiri pada cekungan laut dangkal (Surono & Sukarna,
1996). Sedimentasi Molasa Sulawesi a = pada awal pengendapan terbentuk cekungan
fluvial terisolasi, b = transgresi menyatukan cekungan fluvial menjadi satu cekungan
laut dangkal.

252 | Geologi Sulawesi


menurunnya aktivitas tektonik tersebut, diikuti pula oleh menurunnya
pasokan sedimen asal daratan ke dalam cekungan. Hal ini ditandai dengan
menurunnya ukuran butir ke arah atas. Di hampir seluruh bagian timur
Sulawesi, bagian atas molasa berubah menjadi sedimen karbonat laut dang­
kal yang melampar luas. Ini semua menunjukkan bahwa cekungan tempat
diendapkannya bagian atas molasa ini mungkin sudah menjadi satu-kesatuan,
dan berubah menjadi laut dangkal yang luas menutupi hampir seluruh
bagian timur Sulawesi (Gambar 10.25b). Perubahan sedimen ini diduga
karena penurunan cekungan seba­gai pelepasan energi setelah berhentinya
stres kompresi sehingga naiknya permukaan laut. Proses transgresi ini
mungkin juga berhubungan dengan naiknya permukaan laut global pada
Miosen Tengah (Haq dkk., 1988).

B. SEDIMEN KUARTER
Batuan sedimen Kuarter umumnya terdiri atas batugamping koral yang
melampar di sepanjang pantai. Penyebaran yang luas berada di pantai
selatan Lengan Timur Sulawesi dan di sekitar Kendari, Sulawesi Tenggara.
Yang di Lengan Timur disebut Terumbu Koral Kuarter oleh Surono dkk.
(1994) sebaiknya sekarang kita namai sebagai Formasi Luwuk; sedangkan
yang di ujung selatan Lengan Tenggara dinamai Formasi Buara oleh
Simandjuntak dkk. (1994). Di bawah ini uraian singkat keduanya, disusul
sedimen klastik Kuarter Formasi Alangga.

1. Formasi Buara
Formasi Buara ditemukan di sekitar Buara (ujung selatan Lengan Tenggara
Sulawesi), membentang dari Boepinang sampai Taori, terutama menempati
daerah dataran dan perbukitan kecil. Batuan penyusunnya didominasi oleh
batugamping terumbu koral dengan sisipan konglomerat dan batupasir.
Dalam batupasir banyak ditemukan cangkang moluska di antaranya
Turitella. Fosil yang ditemukan dalam formasi ini adalah Candeina nitida,
Hastigerina sp., Orbulina universa, dan Ostracoda. Kandungan fosil tersebut
menunjukkan umur Plistosen–Holosen (Simandjuntak dkk., 1994).

2. Formasi Luwuk
Formasi Luwuk melampar luas di sepanjang pantai selatan Lengan Timur
Sulawesi (Gambar 10.1). Formasi ini membentuk morfologi teras yang baik
di sepanjang pantai mulai dari ujung timur Lengan Timur Sulawesi sampai

Batuan Sedimen Neogen dan Kuarter | 253


barat Batui (Gambar 10.26). Elevasi teras tertinggi mencapai lebih dari
400 m di atas permukaan laut (dpl). Litologi formasi ini didominasi oleh
batugamping terumbu dengan sisipan napal di beberapa tempat. Dalam
napal itu ditemukan Globorotalia tosaensis, G. tumida, G. truncatulinoides,
Pulleniatina primalis, dan P. obliquiloculata; yang menunjukkan umur N22 atau
Plistosen (Surono dkk., 1994).
Sumosusastro dkk. (1989) meneliti teras secara terperinci dari For-
masi Luwuk ini, terutama proses pengangkatannya. Uraian di bawah
ini merupakan ringkasan dari hasil penelitian mereka. Menurut mereka,
berdasarkan morfologi, teras Formasi Luwuk dapat dibagi menjadi tiga
kelompok: bawah, tengah, dan atas. Tentu saja, kelompok atas mempunyai
umur tertua sedangkan kelompok bawahnya paling muda. Kelompok
bawah terdiri dari 6–10 teras yang miring (<5o) ke arah laut dengan
ketinggian maksimum 30–100 m di atas muka laut (dml). Morfologi dan
hasil pentarikhan radiokarbon dan isotop dapat dilihat pada Gambar 10.28
berikut. Kelompok tengah mempunyai elevasi 250 m dml dan miring ke
arah laut sebesar 18o–22o. Kelompok atas berada pada ketinggian lebih dari
400 m (Gambar 10.26 dan 10.27).
Sumosusastro dkk. (1989) menghitung rata-rata pengangkatan ber-
dasarkan kurva permukaan lautnya (sea level curve) terumbu Huon. Teras
tertinggi atau teras tertua mempunyai kecepatan pengangkatan rata-rata
184 cm/1.000 tahun. Tiga teras dari kelompok bawah yang ditarikh (dating)
menunjukkan pengangkatan rata-rata terendah sebesar 53 cm/1.000 tahun

Gambar 10.26 Kenampakan morfologi teras Formasi Luwuk (Sumosusastro dkk., 1989).

254 | Geologi Sulawesi


Gambar 10.27 Penampang melintang teras Formasi Luwuk dan hasil pentarikhan
radiokarbon (Sumosusastro dkk., 1989).

pada 101 dan 67 ribu tahun (rt). Berdasarkan perhitungan ini, mereka
berkesimpulan bahwa kecepatan rata-rata pengangkatan tersebut menurun
seiring dengan naiknya umur (Gambar 10.27 dan 10.28).

3. Formasi Alangga
Nama Formasi Alangga diberikan oleh Rusmana dkk. (1993) pada satuan
batuan yang didominasi oleh batupasir dan konglomerat. Pada umumnya
batuan pembentuk satuan ini masih belum terkompakkan secara baik dan

Batuan Sedimen Neogen dan Kuarter | 255


Gambar 10.28 Diagram kecepatan rata-rata pengangkatan versus umur (Sumosu­
sastro dkk., 1989).

mempunyai perlapisan yang relatif masih horizontal. Batupasirnya tampak


putih bersih dan masih belum kompak, seperti pada singkapan di selatan
Kota Kendari (Gambar 10.29). Di beberapa tempat formasi ini menindih
tidakselaras menyudut dengan satuan batuan di bawahnya (Gambar 10.15).
Formasi Alangga menyebar luas di sekitar Kota Kendari membentuk
dataran rendah yang luas. Singkapan terbaiknya di daerah Alangga, Keca-
matan Tinanggea, Sulawesi Tenggara, dan mempunyai ketebalan sekitar
125 m (Simandjuntak dkk., 1994). Namun, Rusmana dkk. (1993) menduga
ketebalannya hanya beberapa puluh meter. Fosil tidak ditemukan dalam
formasi ini. Berdasarkan kedudukan stratigrafi dengan satuan di bawahnya,
formasi ini membentuk ketidakselarasan menyudut dan lapisan batuan
yang masih horizontal, satuan ini diduga berumur Kuarter. Lingkungan
pengendapan formasi ini diduga darat–pantai.

256 | Geologi Sulawesi


Gambar 10.29 Kenampakan lapangan batupasir kuarsa Formasi Alangga di selatan
Kota Kendari. Singkapan ini diduga merupakan endapan pantai.

Batuan Sedimen Neogen dan Kuarter | 257


258 | Geologi Sulawesi
BAGIAN V
BAB XI
GAYABERAT
Oleh: Sardjono

Dalam bab ini dibahas mendala geologi dan tataan kerak yang melan-
dasi Pulau Sulawesi serta wilayah di sekitarnya berdasarkan peta gayaberat.
Nilai dan pola anomali dari tiap-tiap mendala geologi yang membangun
Sulawesi diutarakan sebagai upaya mengenali ciri khas gayaberat mereka.
Bangun kerak bumi dan implikasi tektoniknya dipelajari melalui analisis
model gayaberat dan data terkait lainnya, yaitu topografi dan batimetri serta
ketebalan sedimen regional yang dihimpun dari hasil analisis dan penaf-
siran penampang-penampang seismik skala regional (Hamilton, 1974).

A. SUMBER DATA
Gayaberat dan topografi serta batimetri merupakan data utama yang
diguna­kan untuk membuat citra dan peta garis-garis kontur. Data gaya­
berat di darat diperoleh dengan mendigit garis kontur peta-peta gayaberat
berskala 1:250.000 yang diterbitkan oleh Pusat Survei Geologi (PSG).
Pendigitan yang dilakukan terhadap 17 lembar peta gayaberat menghasil­
kan tidak kurang dari 500.000 titik data digitan, yang kemudian dipilih
sekitar 50.000 titik data digitan untuk membuat citra gayaberat di daratan
Pulau Sulawesi. Data gayaberat di wilayah perairan berupa nilai kisi gaya­
berat udara-bebas global (global free-air gravity grids), dengan ukuran kisi
1 menit busur (Sandwell & Smith, 2009). Data topografi dan batimetri
yang digunakan berupa kisi model terin digital (digital terrain model grids)
dengan ukuran kisi sekitar 1 menit (Smith & Sandwell, 1997). Gambar
11.1 menyajikan relief serta citra topografi dan batimetri Pulau Sulawesi
serta wilayah di sekitarnya.

259
B. CITRA DAN PETA GARIS KONTUR GAYABERAT
Data gayaberat darat dan laut digabungkan, kemudian dilakukan peng-
hitungan kembali nilai kisi guna menyetarakan aras anomali kedua jenis
data itu, utamanya di sepanjang lajur peralihan dari laut ke darat, atau
sebaliknya. Hasil penghitungan kembali nilai kisi anomali gayaberat itu,
selanjutnya diolah menjadi citra warna serta garis-garis konturnya. Citra
majemuk (composite imagery) dibuat dengan menindihkan citra warna gaya­
berat di atas relief topografi dan batimetri, dengan tingkat keterawangan
50%. Di atas citra majemuk itu digambar garis-garis kontur gayaberat
dengan selang 10 mGal (Gambar 11.2).

Gambar 11.1 Relief Topografi dan Batimetri Sulawesi


dan Daerah Sekitarnya

260 | Geologi Sulawesi


C. ANOMALI GAYABERAT DAN TEKTONIKA MENDALA
Anomali gayaberat Pulau Sulawesi dan wilayah di sekitarnya dicirikan
oleh kurun nilai anomali yang lebar serta pola garis kontur yang beragam
(Gambar 11.2). Kurun nilai anomali di antara -200 mGal atau lebih
rendah, yang dijumpai di perairan Laut Maluku, dan +100 mGal atau

Gambar 11.2 Citra Gayaberat Sulawesi dan Daerah Sekitarnya

Gayaberat | 261
lebih tinggi di sepanjang Busur Magmatik Sulawesi Utara dan wilayah
yang dihuni oleh bongkahan Kepingan Benua Banggai-Sula. Kurun nilai
anomali +50 mGal hingga +100 mGal menempati kawasan mendala
vulkanik di Kepulauan Togian yang terletak di Teluk Tomini dan kawasan
kepingan benua yang membentuk Buton, Muna, dan Kepulauan Tukang
Besi. Kurun anomali sebesar ini juga dijumpai pada keratan-keratan batuan
ultra­basa di sepanjang pantai yang melingkupi Teluk Bone. Ke selatan,
pada arah Pulau Selayar dan Kepulauan Bonerate, kurun anomali di
wilayah ini juga di antara +50 dan +100 mGal. Pola yang dibentuk
oleh garis-garis kontur anomali gayaberat umumnya eliptik dengan arah
baringa­n menuruti letak dan baringan mendala-mendala geologi itu. Garis-
garis kontur yang rapat menandai batas antara satu mendala terhadap
mendala yang lain, pada umumnya berupa sesar.
Berikut ini dibahas hubungan antara pola dan kurun nilai anomali
gayaberat terkait dengan peringkat tektonika tiap-tiap mendala. Bahasan ini
menganggap bahwa susunan kerak terdiri atas bongkah granitan berapat
masa rata-rata 2,67 gram/cm3 dengan selapis batuan endapan yang berapat
masa rata-rata 2,37 gram/cm3 di permukaannya, jika dijumpai kerak basa-
lan, nilai rata-rata rapat masanya 2,77 gram/cm3, keratan ultrabasa berapat
masa rata-rata 2,97 gram/cm3, pluton granitan serta batuan malihan
memiliki rapat masa rata-rata 2,47 gram/cm3, dan nilai rata-rata rapat masa
air laut 1,03 gram/cm3. Bongkah kerak granitan atau kerak basalan dialasi
oleh bagian atas selubung yang berapat masa rata-rata 3,07gram/cm3.

1. Busur magmatik Sulawesi Utara


Anomali gayaberat Busur Magmatik Sulawesi Utara (Gambar 11.2) diciri-
kan oleh pola garis-garis kontur eliptik memanjang pada arah barat-timur
hingga barat daya-timur laut, menempati wilayah yang membentang dari
121°BT; 1°LU hingga 126°BT; 4°LU bahkan menerus ke utara ke arah
Kepulauan Sangihe dan perairan bagian barat Laut Maluku. Kurun nilai
anomali di antara +50 mGal dan +160 mGal atau lebih tinggi. Tingginya
nilai anomali di sepanjang busur magmatik ini bukan terkait dengan
agihan batuan gunungapi yang sebagian dijumpai di permukaan wilayah
itu, tetapi terkait dengan meningginya aras diskontinuitas Moho, batas
antara bagian bawah kerak dan bagian atas selubung. Batuan gunungapi
bersusunan andesitan yang ditemukan lazimnya tidak terlalu tebal sehingga
anomali gayaberat yang ditimbulkannya tidak sebesar yang ditimbulkan
oleh meningginya aras Moho yang mengakibatkan bagian atas selubung

262 | Geologi Sulawesi


yang berapat masa 3,07 gram/cm3 terletak lebih dekat ke permukaan.
Meningginya Moho berdampak langsung terhadap kerak granitan yang
harus menipis hingga mencapai 20 km atau lebih tipis. Penipisan kerak
granitan diikuti dengan pengikisan pada alas kerak dan pengikisan pada
permukaan kerak serta sedimentasi di permukaan kerak. Sebagai gam-
baran, di wilayah batuan endapan dengan ketebalan rata-rata 2.000 m,
kerak granitan menipis hingga 18 km. Apabila dalam keadaan setimbang
isostatik dengan Bouguer anomali gayaberat 0 mGal, tebal kerak granitan
adalah 30 km, total pengikisan pada alas dan permukaan kerak mencapai
12 km. Penipisan kerak yang terjadi seperti ini lazim disebabkan oleh gaya
tektonik regangan, umumnya regangan oblik.
Meskipun liniasi utama garis-garis kontur secara umum berarah timur-
barat hingga barat daya-timur laut, di beberapa ruas Lengan Utara tampak
penyimpangan arah liniasi utama. Di bagian tengah dan barat misalnya,
liniasi utama menyimpang pada arah barat laut-tenggara. Penyimpangan
arah liniasi seperti itu dapat terjadi karena offset bongkah kerak sebagai
akibat gerakan sesar mendatar. Sesar mendatar menganan telah menye-
babkan fragmentasi di bagian tengah dan bagian barat Lengan Utara. Di
bagian timur dan timur laut ke arah Kepulauan Sangihe, anomali gayaberat
mencapai +160 mGal, aras Moho di bagian ini terletak sekitar 19 km di
bawah permukaan laut. Ke barat, aras Moho mendalam sesuai dengan
nilai anomali gayaberat yang merendah, dan mencapai 22 km di bawah
permukaan laut pada tingkat anomali Bouguer sebesar +100 mGal di
bagian barat Lengan Utara Sulawesi.
Di perairan sebelah utara Lengan Utara Sulawesi, kurun nilai anomali
di antara -40 mGal dan 0 mGal, dengan pola garis kontur eliptik yang
kurang lebih membujur pada arah barat-timur. Pola garis-garis kontur
dengan nilai anomali rendah sebesar -20 mGal atau lebih rendah yang
membujur pada arah barat-timur ini dikaitkan dengan lajur muka tunjaman
(subduction front) kerak Laut Sulawesi. Di sepanjang lajur ini, kedalaman
laut mencapai 4.000 m. Selain itu, batuan endapan di kawasan tersebut
juga cukup tebal (sekitar 2.000 m) sehingga nilai anomali gayaberatnya
negatif. Namun, tingginya aras Moho di kawasan itu mengakibatkan nilai
anomali yang cukup tinggi dan mengimbangi pengaruh gayaberat oleh
batuan endapan itu. Sebagai gambaran, jika rendahnya anomali gayaberat
di kawasan itu hanya disebabkan oleh laut sedalam 4.000 m dan oleh
batuan endapan setebal 2.000 m, nilai anomali yang diamati sebesar -300
mGal. Namun kenyataannya, anomali gayaberat rata-rata yang diamati

Gayaberat | 263
hanya sebesar -20 mGal. Berarti, Moho di sepanjang kawasan itu meninggi
hingga mencapai 16 km di bawah permukaan laut. Anomali yang dibang-
kitkan oleh meningginya aras Moho di kawasan ini mencapai +280 mGal.
Di sepanjang lajur muka tunjaman, kerak Laut Sulawesi menebal hingga 10
km. Sebagai acuan, pada kesetimbangan isostatik, di perairan laut terbuka,
nilai anomali udara-bebas (free-air anomalies) sama dengan nol dan kerak laut
yang bersusunan basalan memiliki ketebalan 6 km, kedalaman laut 5.000
m, dan aras Moho terletak pada 11 km di bawah permukaan laut.
Di perairan di sebelah selatan Lengan Utara Sulawesi dijumpai dua
wilayah gayaberat, yaitu wilayah gayaberat Teluk Tomini di bagian barat
dan wilayah gayaberat Laut Maluku di bagian timur. Wilayah gayaberat Te-
luk Tomini dicirikan oleh kurun nilai anomali sekitar 0 mGal hingga +40
mGal di bagian barat dan sekitar +40 mGal hingga +80 mGal di bagian
timur. Di bagian barat Teluk Tomini kedalaman laut mencapai 1.000 m
atau lebih dan mendangkal ke timur hingga 500 m atau lebih dangkal. Di
kedua bagian wilayah gayaberat Teluk Tomini ketebalan batuan endapan
mencapai 3.000 m. Jika rata-rata kedalaman air di Teluk Tomini 1.000 m
dan rata-rata ketebalan sedimen 3.000 m, aras Moho terletak di sekitar 21
km di bawah permukaan laut. Dengan tataan seperti ini dapat disimpulkan
bahwa Teluk Tomini dilandasi oleh kerak granitan setebal 17 km.
Di kawasan Kepulauan Togian, anomali gayaberat meninggi dan
mencapai +80 mGal. Meningginya nilai anomali gayaberat di kawasan ini
disebabkan oleh peninggian lokal bagian atas selubung yang, mungkin,
disebabkan diapirisme karena gaya tekan oblik dari sistem sesar mendatar
yang aktif di kawasan itu. Kepulauan Togian merupakan ruas wilayah
yang mengalami gaya tekan oblik sehingga bagian atas selubung yang
berapat masa rata-rata 3,07 gram/cm3 itu terangkat ke dekat permukaan.
Di kawasan Kepulauan Togian peninggian setempat bagian atas selubung
mencapai 16 km di bawah permukaan laut.
Wilayah gayaberat Laut Maluku dicirikan oleh kurun nilai anomali dari
-20 mGal hingga -200 mGal atau lebih rendah. Di bagian barat wilayah
gayaberat Laut Maluku, kedalaman laut mencapai 3.000 m, ditempati oleh
Cekungan Gorontalo yang memiliki ketebalan batuan endapan hingga
4.000 m dan anomali gayaberat yang terekam sebesar -100 mGal. Dengan
tataan kerak bagian atas seperti itu dapat disimpulkan bahwa Cekungan
Gorontalo dialasi oleh kerak granitan dengan ketebalan sekitar 14 km
dan Moho terletak di sekitar kedalaman 21 km di bawah permukaan laut.
Apabila Cekungan Gorontalo dialasi oleh kerak samudra, anomali gaya­

264 | Geologi Sulawesi


berat yang diamati akan sebesar +55 mGal dan Moho terletak di sekitar
kedalaman 13 km di bawah permukaan laut. Bagian timur Cekungan
Gorontalo dibatasi oleh struktur anjak yang terbentuk oleh tenggelamnya
sisa kerak Laut Maluku oleh kontraksi tektonik yang mengakibatkan
menyempit, dan kelak, menutupnya Laut Maluku. Kedalaman laut rata-rata
di kawasan itu mencapai 2.000 m dan anomali gayaberat paling rendah
yang diamati sebesar -240 mGal atau lebih rendah. Air laut sedalam
2.000 m membangkitkan anomali gayaberat udara bebas sekitar -140
mGal. Anomali gayaberat diamati yang sebesar -100 mGal itu merupakan
jumlahan pengaruh gayaberat yang dibangkitkan oleh bancuh tektonik
berapat masa rata-rata 2,17 gram/cm3 dan sisa kerak Laut Maluku (2,77
gram/cm3) serta bagian atas selubung (3,07 gram/cm3).
Dinamika kerak yang berlangsung kini adalah menebalnya bancuh
tektonik, mendangkalnya laut, dan upaya sistem untuk meninggikan aras
Moho. Namun, daya apungan (bouyance force) sisa kerak Laut Maluku saat
ini masih membawa sistem untuk tenggelam. Pada saat daya apung habis,
yaitu pada saat sisa Kerak Laut Maluku tidak lagi bisa bergerak ke bawah
karena tidak ada lagi perbedaan rapat masa terhadap batuan selubung yang
leleh sebagian (partially molten), sistem tektonik yang sebelumya disebut
se­bagai Laut Maluku mengalami jeda sesaat (quiescent state). Pada saat itu,
Laut Maluku sudah tidak ada lagi. Batuan endapan yang terdiri atas bancuh
tektonik dan batuan endapan lain sudah terpapar di permukaan. Bahkan,
topografi sudah terbentuk, mungkin cukup tinggi. Pada saat itu erosi di
permukaan berlangsung dan aras Moho meninggi untuk kembali mencapai
kesetimbangan isostatik yang dicirikan oleh nilai anomali Bouguer 0 mGal.

2. Lajur plutono-vulkanik Sulawesi Barat


Lajur plutono-vulkanik Sulawesi barat dicirikan oleh kurun nilai anomali
gayaberat antara -40 dan +40 mGal, dengan pola garis kontur eliptik yang
umumnya membujur pada arah hampir utara-selatan. Lajur plutono-
vulkanik menempati separuh dari seluruh daratan Sulawesi. Di bagian se-
latan, pola liniasi garis kontur menyimpang pada arah barat laut-tenggara,
menandai liniasi Sesar Sengkang.
Bagian selatan lajur plutono-vulkanik dicirikan oleh nilai anomali
rata sekitar +40 mGal. Di sekitar Cekungan Sengkang, batuan endapan
mencapai ketebalan 3.000 m. Dengan tataan seperti ini, ketebalan kerak
granitan yang melandasi wilayah ini mencapai 22 km. Aras Moho terletak

Gayaberat | 265
pada kedalaman sekitar 25 km di bawah permukaan laut. Karena nilai
anomali gayaberat rata-rata di sepanjang lajur plutono-vulkanik ini sebesar
+40 mGal dan ketebalan batuan endapan antara 1.000 hingga 3.000 m,
secara umum, ketebalan rata-rata kerak granitan yang melandasi lajur
plutono-vulkanik Sulawesi Barat sekitar 22 km dan aras Moho terletak
pada kedalaman sekitar 26 km di bawah permukaan laut.
Di wilayah Cekungan Lariang ketebalan batuan endapan rata-rata
mencapai 2.000 m. Nilai anomali gayaberat rata-rata mencapai +25 mGal.
Ketebalan kerak granitan yang melandasi Cekungan Lariang mencapai
25 km dan aras Moho terletak pada kedalaman sekitar 27 km di bawah
permukaan laut.
Di bagian utara lajur plutono-vulkanik nilai rata-rata anomali gaya­berat
mencapai +60 mGal. Jika batuan gunungapi di kawasan itu memiliki
ketebalan hingga 3.000 m, dan batuan endapan lainnya setebal 3.000 m,
anomali gayaberat yang dibangkitkan oleh batuan gunungapi ini hanya
sebesar +6 mGal dan nilai anomali gayaberat yang sebesar +54 mGal
dibangkitkan oleh meningginya aras Moho yang mencapai kedalaman 24
km di bawah permukaan laut dan kerak granitan yang melandasi wilayah
ini memiliki ketebalan sekitar 18 km.
Di bagian selatan, di kawasan Pulau Selayar dan Kepulauan Bonerate,
nilai anomali gayaberat berada pada kurun +50 mGal hingga +100 mGal.
Di Pulau Selayar dan sekitarnya nilai rata-rata anomali gayaberat mencapai
+50 mGal dengan kedalaman laut sekitar 1.000 m. Jika batuan endapan di
wilayah itu rata-rata setebal 2.000 m, Pulau Selayar dan sekitarnya dilandasi
oleh bongkah kerak granitan dengan ketebalan sekitar 18 km dan aras
Moho terletak pada kedalaman sekitar 21 km di bawah permukaan laut. Di
kawasan Kepulauan Bonerate nilai rata-rata anomali gayaberat mencapai
+80 mGal dan kedalaman laut rata-rata mencapai 2.000 m. Jika ketebalan
batuan endapan mencapai 2.000 m, Kepulauan Bonerate dan sekitarnya
dilandasi oleh bongkah kerak granitan dengan ketebalan rata-rata sekitar 12
km dan aras Moho terletak pada kedalaman 16 km di bawah permukaan
laut. Jika sisa kerak samudra dengan ketebalan asal 6 km melandasi wilayah
itu, ketebalan batuan endapan bisa mencapai 6.000 m. Pada tataan seperti
itu, aras Moho terletak pada kedalaman sekitar 14 km di bawah permukaan
laut. Jika sisa kerak samudra mengalami penebalan hingga 12 km, ketebal­
an batuan endapan dapat mencapai 3.500 m dan aras Moho terletak pada
kedalaman sekitar 17,5 km di bawah permukaan laut. Studi kemagnetan
di wilayah Kepulauan Bonerate dan sekitarnya akan memberikan peluang

266 | Geologi Sulawesi


untuk lebih mengenali jenis kerak yang melandasi serta implikasinya
terhadap ketebalan batuan endapan di wilayah itu.
Di perairan Teluk Bone nilai rata-rata anomali gayaberat sebesar +10
mGal, kedalaman laut rata-rata 1.000 m, dan ketebalan batuan endapan
mencapai 4.000 m atau lebih. Dengan tataan kerak bagian atas seperti itu,
maka wilayah Teluk Bone dilandasi oleh kerak granitan setebal 18 km dan
aras Moho terletak pada kedalaman sekitar 23 km di bawah permukaan
laut. Kerak granitan di wilayah ini telah mengalami penipisan hingga 12
km. Penipisan kerak yang terjadi seperti ini lazim disebabkan oleh gaya
tektonik regangan, umumnya regangan oblik. Di sepanjang pantai yang
melingkupi Teluk Bone dijumpai anomali setempat yang nisbi meninggi
mencapai +40 mGal atau lebih, yang dikaitkan dengan keratan-keratan
ultrabasa di kawasan ini. Namun, pola garis kontur yang melebar dengan
nilai anomali mencapai +60 mGal dan lebih tinggi yang meliputi kawasan
pulau-pulau Kabaena, Muna, Buton, Wangi-Wangi, dan Kepulauan Tukang
Besi, berkaitan dengan keratan-keratan kerak granitik yang nisbi tipis. Jika
ketebalan rata-rata batuan endapan di kawasan itu 2.000 m, pada aras
anomali +80 mGal keratan-keratan kerak granitan yang melandasinya
menipis hingga 18 km atau lebih tipis.

3. Lajur malihan Sulawesi Tengah


Lajur Malihan Sulawesi Tengah dicirikan oleh anomali gayaberat berkurun
-60 mGal hingga -10 mGal. Merendahnya nilai anomali gayaberat di
wilayah ini dikaitkan dengan sembulan pluton granitan dan rendahnya
rapat masa batuan malihan. Pada anomali gayaberat sebesar itu, ketebalan
pluton granitan mencapai 7.000 m dan dalam analisis diambil rapat masa
rata-rata 2,47 gr/cm3, sama halnya dengan rapat masa batuan malihan
di wilayah itu. Di wilayah Lajur Malihan Sulawesi Tengah liniasi garis
kontur gayaberat tidak secara tegas menunjukkan liniasi Sesar Palu-Koro.
Padahal, pada citra topografi liniasi Sesar Palu-Koro tampak sangat jelas.
Diduga bahwa, pluton granitan dan batuan malihan telah mengaburkan
kesan dari liniasi Sesar Palu-Koro yang seharusnya tampak jelas atau
cukup jelas seperti halnya yang ditunjukkan oleh liniasi garis-garis kontur
gayaberat pada Sesar Sengkang yang terletak di bagian selatan Lajur
plutono-vulkanik Sulawesi Barat. Atau, aras Moho yang terletak pada
kedalaman sekitar 24 km tidak mengalami perbedaan letak (dislocation) oleh
kegiatan Sesar Palu-Koro yang geser-mengiri itu (Socquet drr., 2006). Itu
disebabkan perbedaan letak kedalaman aras Moho sebesar 1.000 m akan

Gayaberat | 267
membangitkan perbedaan anomali gayaberat sekitar 17 mGal dan dapat
dilihat pada perubahan liniasi garis-garis konturnya.
Di bagian tengah lajur malihan ini nilai anomali gayaberat mencapai
-60 mGal. Secara umum, jika rapat masa rata-rata batuan malihan 2,47 gr/
cm3, ketebalan batuan malihan tersebut bisa mencapai 8 km atau lebih.
Batuan malihan di kawasan ini dialasi oleh kerak granitan dengan ketebalan
mencapai 15 km dan aras Moho terletak di sekitar 25 km di bawah
permukaan laut. Di Lengan Tenggara batuan malihan yang tersingkap
di permukaan ditandai oleh kurun nilai anomali 0 hingga -10 mGal. Di
daerah ini ketebalan batuan malihan yang tersingkap sekitar 15 km, aras
Moho terletak pada kedalaman 24 km di bawah permukaan laut. Kedua
daerah tempat batuan malihan tersingkap, di bagian tengah lajur malihan
dan di Lengan Tenggara, dipisahkan oleh tinggian anomali gayaberat +20
mGal. Lajur tinggian gayaberat tersebut bertepatan dengan liniasi sesar
Matano. Di sepanjang lajur Sesar Matano, liniasi garis-garis kontur tampak
jelas dan sesuai dengan liniasi sesarnya yang berarah barat laut-tenggara.
Dislokasi aras Moho di sepanjang lajur Sesar Matano bisa mencapai 1.000
m. Jika di sebelah utara lajur sesar aras Moho terletak pada kedalaman
25 km, di sebelah selatan lajur sesar, aras Moho terletak pada kedalaman
sekitar 24 km.

4. Lajur ofiolit Sulawesi Timur


Walau ofiolit banyak dijumpai di kawasan Lengan Timur dan Lengan
Tenggara, nilai anomali gayaberat yang diamati tidak sesuai dengan ke-
beradaan batuan berapat masa tinggi (2,97 gr/cm3) yang mengakar pada
kedalaman di bawah permukaan air laut. Ini menunjukkan bahwa ofiolit
umumnya terdapat di atas bidang acuan gayaberat. Kalaupun berada di
bawah bidang acuan, umumnya tipis. Untuk tataan kerak yang sesuai, jika
ofiolit banyak terdapat di bawah bidang acuan, nilai anomali gayaberat
yang diamati bisa mencapai +60 mGal atau lebih tinggi. Anomali gayaberat
di kawasan ini terekam pada kurun nilai 0 hingga +30 mGal. Ini menun-
jukkan bahwa batuan endapan di bawah ofiolit bisa mencapai ketebalan
3.000 m atau lebih dan, di bawah batuan endapan, kerak granitan melan-
dasinya dengan ketebalan sekitar 20 km, Moho terletak pada kedalaman
26 km di bawah permukaan laut.
Di kawasan Lengan Timur, anomali gayaberat menunjukkan kisaran
nilai +10 hingga +30 mGal. Anomali setempat sebesar +40 mGal di
bagian selatan di dekat wilayah Kolonodale, mungkin terkait dengan

268 | Geologi Sulawesi


keratan ofiolit yang berada di bawah garis datum gayaberat di wilayah itu.
Di kawasan Tanjung Poh, di bagian timur laut Lajur Ofiolit, nilai anomali
mencapai +25 mGal. Ofiolit mengakar hingga kedalaman sekitar 500 m,
menindih batuan sedimen setebal 3.000 m yang dialasi oleh kerak granitan
setebal 19 km, Moho terletak pada kedalaman 25 km di bawah permukaan
laut.
Seperti halnya di kawasan Lengan Timur, kurun nilai anomali gaya­
berat di kawasan Lengan Tenggara menunjukkan kisaran yang sama
yaitu +10 hingga +30 mGal. Ini ditafsirkan bahwa tataan kerak yang
membangun kawasan Lengan Tenggara dan Lengan Timur, kurang lebih,
sama. Yaitu, ofiolit mengakar hingga kedalaman sekitar 500 m atau lebih
tipis, menindih batuan sedimen setebal 3.000 m yang dialasi oleh kerak
granitan setebal 19 km, Moho terletak pada kedalaman 25 km di bawah
permukaan laut. Jika keberadaan batuan malihan diperhitungkan dan
batuan endapan yang terlampar lebih tipis, misalnya 2.000 m atau 1.000 m,
ketebalan batuan malihan yang melandasi batuan endapan bisa mencapai
15 km. Dengan batuan endapan setebal 3.000 m, seperti yang diutarakan
sebelumnya, batuan malihan bisa mencapai ketebalan lebih dari 15 km.

5. Kepingan benua Banggai-Sula


Kepulauan Banggai yang terdiri atas pulau-pulau Peleng, Banggai, Labobo,
Bangkurung, dan Kepulauan Salue merupakan bagian barat Kepingan
Benua Banggai-Sula yang menumbuk Sulawesi di wilayah Lengan Timur.
Tumbukan ini merupakan konsekuensi kegiatan sistem Sesar Geser Sula-
Sorong yang mengiri itu (Wilson, 2000). Ke timur dijumpai pulau-pulau
Taliabu dan Mangole serta Sulabesi. Deretan pulau-pulau yang disebut
Kepingan Benua Banggai-Sula ini dicirikan oleh kurun nilai anomali
gayaberat sekitar +50 hingga +200 mGal, dengan garis-garis kontur
yang membentuk pola eliptik memanjang dan membentang pada arah
timur-barat hingga lebih dari 400 km. Kepingan Benua Banggai-Sula
dibangun utamanya oleh kerak granitan yang mengalami pengikisan oleh
gerak mendatar sistem sesar Sula-Sorong. Pengikisan terjadi tidak saja pada
permukaan, tetapi juga pada dasar kerak. Pengikisan yang berlangsung
mengakibatkan penipisan kerak granitan sehingga tinggal setebal 14 km
di bawah Pulau Mangole dan sekitar 20 km di bawah Kepulauan Banggai.
Di bawah Pulau Taliabu kerak menipis hingga 16 km. Nilai anomali
gayaberat yang meninggi itu merupakan pertanda meningginya Moho di
kawasan kepingan benua tersebut. Jadi, apabila ketebalan rata-rata batuan

Gayaberat | 269
endapan yang menyelimuti kawasan Kepingan Benua Banggai-Sula 2.000
m, ketebalan kerak granitan di bawah Kepulauan Banggai adalah 20 km
dan Moho terletak pada kedalaman 22 km di bawah permukaan laut. Di
Pulau Taliabu anomali gayaberat mencapai +180 mGal. Dengan ketebalan
rata-rata batuan endapan 2.000 m, ketebalan kerak granitan yang melandasi
Taliabu adalah 16 km dan Moho terletak pada kedalaman sekitar 18 km
di bawah permukaan laut. Di Pulau Mangole yang ditandai oleh anomali
gayaberat +200 mGal atau lebih tinggi, dengan ketebalan rata-rata sedimen
yang sama, maka kerak granitan yang melandasi Mangole tinggal 14 km
atau lebih tipis dan Moho terletak pada kedalaman sekitar 16 km di bawah
permukaan laut, bahkan bisa lebih dangkal.

D. MODEL KERAK
Geometri kerak bumi yang membangun Sulawesi dan wilayah di sekitarnya
dipelajari melalui analisis model gayaberat. Dalam analisis ini, dianggap
bahwa, susunan kerak terdiri atas bongkah granitan berapat masa rata-rata
2,67 gram/cm3 dengan selapis batuan endapan berstruktur sederhana
yang berapat masa rata-rata 2,37 gram/cm3 di permukaannya atau, apa-
bila dijumpai kerak basalan, nilai rata-rata rapat masanya 2,77 gram/cm3.
Batuan malihan dan pluton granitan berapat masa rata-rata 2,47 gram/cm3,
keratan ultrabasa berapat masa rata-rata 2,97 gram/cm3, dan nilai rata-rata
rapat masa air laut 1,03 gram/cm3. Bongkah kerak granitan atau kerak
basalan dialasi oleh bagian atas selubung yang berapat masa rata-rata 3,07
gram/cm3. Aras diskontinuitas Moho merupakan antar muka alas bongkah
kerak granitan atau kerak basalan dan bagian atas selubung.

1. Model kerak lintasan L1


Lintasan analisis L1 berarah barat laut-tenggara, sepanjang 680 km, ter-
bentang dari Laut Sulawesi, memotong Lengan Utara, melintasi Cekungan
Gorontalo, memotong Tanjung Poh dan Kepulauan Banggai, dan berakhir
di bagian utara Laut Banda (Gambar 11.3). Sepanjang lintasan analisis
L1, nilai anomali gayaberat antara -70 dan +120 mGal. Penampang kerak
terdiri atas air Laut Sulawesi, Teluk Tomini, dan bagian utara Laut Banda,
selapis batuan endapan berstruktur sederhana yang melampar sepanjang
penampang, kerak granitan dan kerak basalan melandasi lamparan batuan
endapan tersebut, di kedua ujung penampang, kerak granitan dan kerak
basalan membaji dan membentuk kontak yang biasanya berwujud sesar.

270 | Geologi Sulawesi


Air Laut Sulawesi, perairan Teluk Tomini dan bagian utara Laut
Banda, membangkitkan anomali gayaberat udara-bebas (free air) negatif
yang cukup dalam. Namun, secara umum, karena proses kinematika kerak,
merendahnya nilai anomali di laut, selalu diimbangi dengan meningginya
Moho yang berakibat menipisnya kerak granitan. Tektonik regang-oblik,
umumnya, bertanggung jawab atas dinamika kerak seperti ini. Di kawasan
Laut Sulawesi, di bagian utara lintasan analisis L1, kedalaman laut men-
capai 4.000 m dan anomali gayaberatnya merendah hingga -25 mGal.
Dengan ketebalan batuan endapan rata-rata 2.000 m, ketebalan rata-
rata kerak granitan sekitar 10 km dan kerak Laut Sulawesi setebal 6 km,
menunjam di bawah kerak granitan yang menipis. Diskontinuitas Moho
terletak di bawah kerak Laut Sulawesi pada kedalaman 12 km hingga 22
km di bawah permukaan laut.
Ke selatan, di wilayah Lengan Utara, batuan endapan yang terlampar
bisa mencapai 2.000 m, dilandasi oleh kerak granitan setebal hampir 20
km dan Moho terletak pada kedalaman sekitar 22 km di bawah permukaan

Gambar 11.3 Model Kerak Bumi pada Lintasan 1 (L1)

Gayaberat | 271
laut. Kegiatan gunungapi di wilayah Lengan Utara dan lajur vulkanik
terusannya dilukiskan sebagai model dengan intrusi magma dari kedalaman
kerak yang melandasi lajur gunungapi tersebut. Mengingat perubahan
kemiringan bidang tunjaman kerak Laut Sulawesi yang makin besar dengan
bertambahnya kedalaman, sumber lelehan magma bisa terletak lebih dalam
lagi.
Di wilayah perairan Teluk Tomini, kedalaman laut mencapai 2.000 m
dan ketebalan rata-rata batuan endapan mencapai 2.000 m serta menipis
ke arah Semenanjung Poh di selatan. Kerak granitan yang melandasi Teluk
Tomini berketebalan rata-rata 17 km dan Moho terletak pada kedalaman
sekitar 22 km di bawah permukaan laut.
Di bagian ujung selatan lintasan analisis model L1, batuan endapan
yang melampar di Kepulauan Banggai, yang dalam model diwakili oleh
Pulau Peleng, mencapai ketebalan 2.000 m dan menipis ke selatan di per-
airan Laut Banda Utara. Kerak granitan yang melandasi wilayah Kepulauan
Banggai berketebalan sekitar 22 km, tetapi menipis dan membaji kala
bertemu dengan kerak Laut Banda Utara. Di bawah Kepulauan Banggai,
Moho terletak pada kedalaman sekitar 24 km di bawah permukaan laut.
Di wilayah perairan Laut Banda Utara, kerak lautnya berketebalan sekitar
6 km dan melandasi batuan endapan setebal 1.000 m, pada kedalaman laut
lebih dari 4.000 m. Moho terletak pada kedalaman sekitar 11 km di bawah
permukaan laut.

2. Model kerak lintasan L2


Lintasan analisis L2 berarah barat daya-timur laut, sepanjang 670 km,
terbentang dari Selat Makassar, memotong bagian selatan Lengan Barat
dan Lengan Tenggara, melintasi Teluk Bone, dan berakhir di wilayah
perairan Laut Banda Utara (Gambar 11.4). Sepanjang lintasan analisis
L2, nilai anomali gayaberat antara -40 dan +70 mGal. Penampang kerak
terdiri atas air laut Selat Makassar, Teluk Bone, dan perairan Laut Banda
utara, serta selapis batuan endapan berstruktur sederhana yang melampar
sepanjang penampang. Kerak granitan melandasi hampir semua lintasan
analisis L2 dan kerak basalan melandasi bagian ujung timur lautnya. Pada
pertemuan antara kerak granitan dan kerak basalan di ujung lintasan di
timur laut, kerak granitan menipis dan membaji, membentuk kontak
berupa sesar anjak terhadap kerak Laut Banda Utara (Sesar Tolo).
Sepanjang lintasan L2, kerak granitan mengalami fragmentasi yang
ekstensif sehingga terbentuk bongkah-bongkah kerak serta implikasinya

272 | Geologi Sulawesi


terhadap pembentukan cekungan-cekungan batuan endapan. Di sepanjang
lintasan analisis model kerak L2, kerak granitan berketebalan 10 km hingga
22 km dan batuan endapan berstruktur sederhana yang melampar di atas
permukaan kerak granitan memiliki kurun ketebalan dari 1.000 hingga
sekitar 10.000 m. Batuan endapan nisbi tipis, sekitar 1.000 m dijumpai
di bagian barat lintasan L2 dan yang paling tebal dijumpai di kawasan
Lengan Tenggara, mencapai 8.000 m atau lebih tebal. Akan tetapi, jika
batuan endapan setebal itu digantikan oleh batuan malihan dengan rapat
masa 2,47 gram/cm3, ketebalan batuan malihan yang melandasi Lengan
Tenggara bisa mencapai 15 km (Gambar 11.4).
Pada lamparan batuan endapan paling tipis, kerak granitan memiliki
ketebalan sekitar 22 km dan pada lamparan batuan endapan paling tebal,
kerak granitan terkikis hingga tinggal berketebalan 12 km atau lebih tipis
lagi. Di wilayah Teluk Bone, ketebalan batuan endapan mencapai 3.000 m

Gambar 11.4 Model Kerak Bumi pada Lintasan 2 (L2)

Gayaberat | 273
atau lebih, kerak granitan terkikis hingga tinggal 18 km tebalnya. Di Laut
Banda Utara, kawasan kerak basalan melandasi wilayah perairan itu, batuan
endapan yang melampar di atasnya hanya setebal 600 m atau lebih tipis
lagi. Di perairan Laut Banda Utara dengan kedalaman laut yang mencapai
4.000 m atau lebih, kerak basalan dan batuan endapan yang melampar
di atasnya cenderung menipis. Namun, nilai anomali gayaberat udara
bebasnya (free-air gravity) cenderung meninggi, bahkan setempat, mencapai
+50 mGal atau lebih. Tataan tektonik semacam ini berkembang oleh
menipisnya kerak basalan hingga sekitar 4.000 m, bahkan bisa 3.000 m dan
batuan endapan yang melampar di atasnya hanya tipis, atau tanpa batuan
endapan, dan aras Moho terletak amat dangkal, yaitu pada kedalaman 8
km di bawah permukaan laut. Kerak basalan yang melandasi kawasan Laut
Banda Utara melengkung, menipis, dan membentuk struktur kubahan
akibat tenggelamnya sisa kerak Laut Maluku. Melengkungnya kerak Laut
Banda Utara menyebabkan berkembangnya tekanan dan regangan pada
tubuh kerak itu sehingga berpeluang terjadinya sayatan dan rekahan yang
memicu aliran cairan atau bahan setengah leleh dari bagian atas selubung
ke permukaan dasar laut.

3. Model kerak lintasan L3


Lintasan analisis L3 berarah barat-barat daya timur-timur laut, sepanjang
620 km, terbentang dari Selat Makassar, memotong bagian tengah Pulau
Sulawesi, menerus ke timur melalui Teluk Tomori dan berakhir di perair­
an Kepulauan Banggai (Gambar 11.5). Sepanjang lintasan analisis L3,
nilai anomali gayaberat antara -40 dan +120 mGal. Penampang kerak
terdiri atas air laut sedalam 1.500 m di Selat Makassar, sekitar 1.000 m di
Teluk Tomori dan tidak lebih dari 500 m di perairan Kepulauan Banggai.
Penampang kerak juga tersusun atas selapis batuan endapan berstruktur
sederhana yang melampar sepanjang penampang. Kerak granitan melandasi
seluruh lintasan analisis L3.
Sepanjang lintasan analisis model kerak L3, kerak granitan berketebal­
an 16 km hingga 24 km dan batuan endapan berstruktur sederhana yang
melampar di atasnya berketebalan 500 m hingga 2.000 m. Di Bagian
Tenga­h Sulawesi, model kerak dengan pluton granitan menerangkan
meren­dahnya nilai anomali gayaberat di kawasan itu yang mencapai -60
mGal atau lebih rendah lagi. Nilai anomali gayaberat meninggi menca-
pai +120 mGal di ujung timur laut lintasan L3, di perairan Kepulauan

274 | Geologi Sulawesi


Gambar 11.5 Model Kerak Bumi Lintasan 3 (L3)

Banggai. Meningginya nilai anomali ini merupakan akibat meningginya


aras Moho, atau, menipisnya kerak granitan yang melandasi perairan
Kepulauan Banggai. Aras Moho di kawasan Kepulauan Banggai terletak
pada kedalam­an 20 km di bawah permukaan laut, mendalam ke barat daya,
mencapai 27 km di bawah Bagian Tengah Sulawesi.

E. RINGKASAN
Pulau Sulawesi dan kawasan di sekitarnya, umumnya, dilandasi oleh kerak
granitan. Di sebagian besar wilayah itu, kerak granitan mengalami fragmen-
tasi akibat penyesaran berskala dalam hingga terbentuk bongkah-bongkah
kerak granitan serta implikasi terhadap terbentuknya cekungan-cekungan
batuan endapan. Kerak basalan umumnya dijumpai di luar wilayah Pulau
Sulawesi, kecuali Kerak Laut Sulawesi, dan ditemukan sebagai keratan-
keratan sisa kerat laut yang terjebak dalam lingkungan tektonik tahap lan-
jut, seperti tenggelamnya Kerak Laut Maluku dan membubungnya Kerak
Laut Banda Utara, yang keduanya merupakan keratan-keratan sisa Kerak
Samudra Pasifik. Batuan endapan berstruktur sederhana yang melampar di
permukaan kerak granitan memiliki ketebalan yang beragam, bergantung

Gayaberat | 275
pada bangun bongkah-bongkah kerak granitan yang mengalami penye-
saran berskala dalam sebagai konsekuensi kinematika regangan oblik atau
mampatan oblik yang umumnya berlangsung.
Meningginya anomali gayaberat di Lengan Utara bukan disebabkan
oleh agihan batuan gunungapi yang sebagian terpapar di permukaan,
tetapi lebih disebabkan oleh meningginya aras Moho yang berakibat
atau mengakibatkan menipisnya kerak granitan. Hal serupa terjadi di
kawasan Kepingan Benua Banggai Sula. Meningginya anomali gayaberat
disebabkan oleh menipisnya kerak granitan dan meningginya aras Moho
oleh kinematika Sesar Sula-Sorong yang mengiri. Rendahnya nilai anomali
gayaberat di Bagian Tengah Sulawesi berkaitan dengan batuan malihan dan
pluton granitan memiliki rapat masa rendah (2,47 gr/cm3).
Batuan ultrabasa yang banyak dijumpai di Lengan Timur dan Lengan
Tenggara tidak bersesuaian dengan nilai anomali gayaberat yang diamati
di wilayah itu. Ini menunjukkan bahwa batuan ultrabasa itu hanya tipis
dan umumnya tidak mengakar di bawah bidang acuan gayaberat, dalam
hal ini permukaan laut. Kalaupun mengakar, tidak cukup dalam untuk
membangkitkan nilai anomali yang berarti. Mekanisme obdaksi pada
tumbukan antara Kepingan Benua Banggai-Sula dan Lengan Timur
serta Lengan Tenggara dipahami mengakibatkan pelamparan (emplacement)
batuan ultrabasa tersebut.

276 | Geologi Sulawesi


BAGIAN VI
STRUKTUR GEOLOGI DAN TEKTONIK

BAB XII
STRUKTUR GEOLOGI
Oleh: Sidarto dan Syaiful Bachri

A. STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL


Sulawesi dan daerah sekitarnya mempunyai struktur geologi, terutama
sesar, yang sifatnya regional. Struktur geologi ini telah dikenal dan dibahas
oleh banyak penulis. Struktur geologi utama Sulawesi di antaranya Sesar
Palu-Koro, Sesar Walanae, Sesar Matano, Sesar Batui, Sesar Naik Poso,
Sesar Balantak, Sesar Gorontalo, Tunjaman Sulawesi Utara, dan Teluk
Bone (Gambar 12.1). Di bawah ini uraian secara singkat dari struktur
regional tersebut.

1. Sesar Palu-Koro
Sesar ini dijumpai di Lengan Selatan Sulawesi berarah utara barat laut-
selatan tenggara. Sesar ini dinamai Sesar Palu oleh Hamilton (1979),
tetapi oleh Katili (1970, dalam Hamilton 1979) dan beberapa peneliti
lainnya dinamakan Sesar Palu-Koro karena melewati Kota Palu dan Sungai
Koro. Di darat, sesar ini dicirikan oleh adanya lembah sesar yang datar
pada bagian dasarnya, dengan lebar mencapai 5 km di sekitar Palu, dan
dindingnya mencapai ketinggian 1.500–2.000 m di atas dasar lembah,
sedangkan di laut dicirikan oleh kelurusan batimetri, yaitu kelurusan lereng
dasar laut terjal dan berakhir di Sesar Naik Poso. Menurut Sudradjat
(1981), sesar ini membentang dari sebelah barat Kota Palu sampai Teluk
Bone yang panjangnya kurang lebih 250 km, dengan kecepatan pergerakan
transkaren sekitar 2–3,5 mm sampai 14–17 mm/tahun. Tjia dan Zakaria
(1974) menyebutkan bahwa sesar tersebut menunjukkan pergeseran mengiri;
dan Walpersdorf dkk. (1997) dengan analisis interfrometri GPS (global
positioning system) menunjukkan pergeseran mengiri naik dengan kecepatan

277
3,4 mm/tahun. Simandjuntak (1993) mengatakan bahwa Sesar Palu-Koro
memanjang melalui Selat Bone, memotong Sesar Naik Flores dan berakhir
di Palung Timor, sedangkan ke arah utara berakhir di Tunjaman Mina-
hasa. Namun, kenampakan pada citra SRTM dan Citra IFSAR, sesar ini
berhenti di Sesar Naik Poso, dan ke utara ditunjukkan kelurusan lembah
dan batimetri yang berakhir di Tunjaman Sulawesi Utara (Gambar 12.1).

2. Sesar Walanae
Sesar Walanae terletak di Lengan Selatan Sulawesi bagian selatan yang
berarah utara barat laut–selatan tenggara, kurang lebih sejajar dengan
Sesar Palu-Koro (Gambar 12.1). Kenampakan di darat merupakan ke-
lurusan lembah, di bagian selatan membentuk lembah (depresi) dengan
lebar kurang lebih 1 km, dan di sepanjang lembah ini terdapat beberapa

Gambar 12.1 Struktur Geologi Utama Pulau Sulawesi

278 | Geologi Sulawesi


kenampakan melingkar yang diduga merupakan batuan intrusi; sedangkan
di laut ditunjukkan adanya kelurusan batimetri dalam. Berdasarkan bentuk
pantai di selatan, sesar ini merupakan sesar mendatar mengiri. Beberapa
peneliti menyebutkan bahwa Sesar Walanae menerus ke arah barat laut
memotong Selat Makassar dan bergabung dengan Sesar Paternoster di
Kalimantan. Namun, pada citra indraan jauh hubungan ini tidak jelas dan
diperkirakan kedua sesar tersebut terpisah. Sesar ini melampar ke utara
berakhir di timur laut Kota Mamuju, Sulawesi Barat; sedangkan ke selatan
menerus sampai Sesar Naik Flores.

3. Sesar Matano
Sesar Matano diperkenalkan pertama kali oleh Waheed (1975). Di darat
Sesar Matano dicirikan oleh kelurusan lembah, yang membentang dari
pantai Lengan Tenggara Sulawesi, memotong Sesar Naik Poso di Sulawesi
Tengah dan akhirnya bergabung dengan Sesar Palu-Koro (Gambar 12.1).
Sesar lainnya adalah Sesar Solo, Sesar Matarombeo, dan Sesar Lawanopo
yang menyatu dengan Sesar Matano, dan ke tenggara di laut disebut
sebagai Sesar Hamilton; sedangkan Sesar Lainea–Sesar Eha dan Sesar
Kolaka yang relatif sejajar dengan Sesar Matano berakhir di pantai Teluk
Bone. Sesar-sesar tersebut merupakan sesar mendatar mengiri. Danau
Matano merupakan cekungan pull apart dari Sesar Matano, Danau Towuti
terbentuk oleh pengaruh Sesar Matano, Sesar Lawanopo, Sesar Solo, dan
Sesar Matarombeo. Sesar-sesar ini cukup aktif, terutama Sesar Matano
sebagaimana dijumpainya beberapa gempa sepanjang atau dekat dengan
sesar tersebut (Hamilton, 1979).

4. Sesar Balantak
Sesar ini berarah timur–barat, pada citra dicirikan oleh kelurusan lembah
sangat tajam dan ke barat ditunjukkan oleh kelurusan batimetri; sedangkan
ke arah timur dicirikan oleh kelurusan lereng terjal dasar laut (Gambar
12.1). Namun, posisinya bergeser ke selatan yang disebut Sesar Sula
Utara, sedangkan di selatan pulau disebut Sesar Sula Selatan. Kedua sesar
tersebut menyatu di timur Pulau Sula yang disebut Sesar Sorong (Siman-
djutak, 2004). Di sebelah utara tersingkap Kompleks Ofiolit sedangkan di
selatan merupakan bagian dari benua mikro Banggai-Sula. Berdasarkan
off set Kompleks Ofiolit, sesar ini merupakan sesar mendatar menganan.
Beberapa peneliti menganggap di bagian utara merupakan hanging wall,
sehingga berkembang sebagai sesar naik pada ujung baratnya, yang dikenal

Struktur Geologi | 279


sebagai Sesar Naik Batui. Bentuk kelurusan Sesar Balantak ini sangat tajam
dan lurus (Gambar 12.1), maka boleh jadi sesar ini murni merupakan sesar
mendatar menganan.

5. Sesar Gorontalo
Sesar ini memotong Lengan Utara Sulawesi dan berarah barat laut-teng-
gara (Gambar 12.1). Katili (1970) menyebutkan, sesar ini dicirikan oleh
kelurusan sungai, sepanjang kelurusan terdapat tambang emas dan mataair
panas. Berdasarkan bentuk pantai Selat Gorontalo dan Selat Paleleh, sesar
ini merupakan sesar mendatar mengiri. Berdasarkan konsep escape tectonics,
setelah tumbukan kepingan benua dengan Sulawesi Barat muncul gaya
berarah timur timur-laut sehingga Sesar Gorontalo merupakan sesar men-
datar menganan (Satyana, 2007). Namun, kenampakan lapangan menun-
jukkan adanya pergeseran mengiri batuan gunungapi berlapis yang diduga
berumur Plio-Plistosen sehingga Sesar Gorontalo diduga merupakan sesar
mendatar mengiri, dan diperkuat pendapat Molnar dan Dayem (2010) yang
mengatakan bahwa Sesar Gorontalo merupakan sesar mendatar mengiri
yang masih aktif dengan kecepatan pergeseran 11 mm/tahun.

6. Sesar naik Batui


Sesar Naik Batui merupakan kenampakan permukaan zona tumbukan
antara Kepingan Benua Banggai-Sula dan Ofiolit Sulawesi Timur pada
Neogen (Simandjuntak, 1993); ofiolit sebagai hanging wall, sedangkan
kepinga­n benua sebagai foot wall. Ke utara sesar ini bersambung dengan
Sesar Balantak sedangkan ke selatan dipotong oleh Sesar Kabuabua.
Berdasarkan kegempaan, sesar ini telah teraktifkan (McCaffrey dkk, 1983;
Kertapati dkk, 1992) dan ditunjukkan adanya tiga teras batugamping koral
Kuarter di tepi pantai Lengan Timur Sulawesi (Simandjuntak, 1986).

7. Sesar naik Poso


Sesar naik ini (Gambar 12.1) merupakan kontak antara Kompleks Batuan
Malih Sulawesi Tengah dan Busur Gunungapi Sulawesi Barat; Kompleks
Batuan Malih sebagai hanging wall dan busur gunungapi sebagai foot wall.
Di sebelah barat sesar utama terdapat juga sesar naik minor yang masih
merupakan bagian dari Sesar Naik Poso. Tumbukan ini diperkirakan terjadi
pada Miosen Akhir-Pliosen Awal (Satyana, 2007). Sebaran ke utara sesar
ini ditutupi oleh endapan molasa dan endapan aluvial sedangkan ke selatan

280 | Geologi Sulawesi


ditutupi oleh endapan aluvial. Hal ini menunjukkan bahwa sesar ini saat ini
diduga tidak aktif dan berdasarkan kegempaan sesar ini tidak lama aktif
(Kertapati dkk., 1992). Namun, pada citra menunjukkan bahwa sesar ini
juga memotong endapan muda (aluvium) sehingga sesar naik ini besar
kemungkinan masih aktif.

8. Sesar naik Wekuli


Sesar ini (Gambar 12.1) merupakan batas antara Kompleks Ofiolit
Sulawesi Timur dan Kompleks Batuan Malihan Sulawesi Tengah. Ofiolit
merupakan hanging wall dan batuan malihan sebagai foot wall-nya. Sesar ini
dicirikan oleh kelurusan lembah yang membentuk busur. Sesar ini diduga
terbentuk bersamaan dengan Sesar Naik Poso dan Sesar Naik Batui yang
terjadi pada Neogen.

9. Lajur lipatan–sesar naik Majene


Penyesaran naik di lajur lipatan dan Sesar Naik Majene (Gambar 12.1)
melibatkan batuan berumur Eosen sampai Pliosen Awal, yang mengin-
dikasikan bahwa fase kompresional berlangsung pada saat tumbukan
antara kepingan benua yang merupakan pecahan dari Benua Australia
dan Busur Gunungapi Sulawesi Barat. Struktur utama yang berkembang
di daerah lajur lipatan–sesar naik ini adalah lipatan (antiklin dan sinklin)
dan sesar naik. Di samping itu juga dapat dikenali keberadaan sesar
mendatar mengiri dan menganan. Lipatan-lipatan ini mempunyai poros
relatif utara–selatan, sejajar dengan sesar naik.

10. Lajur lipatan–sesar naik Kalosi


Lajur ini berkembang di Lengan Selatan Sulawesi (Gambar 12.1) yang
berarah utara–selatan yang relatif sejajar dengan Lajur Lipatan–Sesar Naik
Majene. Lajur ini melibatkan batuan sedimen dan batugamping berumur
Eosen–Miosen Akhir, sehingga diduga struktur geologi ini berhubungan
dengan tumbukan antara kepingan benua dan bagian barat Sulawesi pada
Miosen Tengah–Miosen Akhir/Pliosen Awal.

11. Lajur sesar naik Tolitoli


Lajur sesar naik ini berkembang di Lengan Utara Sulawesi yang berarah
timur-barat (Gambar 12.1); blok selatan merupakan foot wall dan blok utara
sebagai hanging wall. Sesar naik ini melibatkan batuan Tersier Awal dan di-

Struktur Geologi | 281


duga berhubungan dengan pembentukan Lajur Lipatan–Sesar Naik Majene
dan Lajur Lipatan–Sesar Naik Kalosi, tetapi blok yang naik berlawanan.

12. Selat Makassar


Selat Makassar terletak di sepanjang bagian timur Paparan Sunda, antara
Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi. Selat ini dibagi menjadi dua bagian,
yaitu Cekungan Makassar Utara dan Cekungan Makassar Selatan. Kedua
cekungan dipisahkan oleh Sesar Paternoster yang berarah barat barat-
laut-timur tenggara dan dicirikan oleh lereng batimetri terjal. Katili (1978)
menduga bahwa Selat Makassar secara tektonik merupakan pemekaran
(rifting) berarah utara-selatan yang dicirikan oleh kemiripan bentuk pantai
di bagian timur Kalimantan dan bagian barat Sulawesi. Situmorang (1983)
menyatakan, berdasarkan data seismik, batuan alas selat ini merupakan
batuan kerak benua. Adanya batuan gunungapi Neogen di sepanjang Sesar
Lupar-Paternoster di Pulau Kalimantan (Bergman dkk., 1988; Siman-
djuntak, 1999) dan batuan gunungapi di Lengan Selatan Sulawesi. Selat ini
diduga merupakan tektonik bukaan pada Neogen. Berdasarkan pemodelan
data graviti ternyata Selat Makassar dialasi oleh kerak samudra yang
berumur Eosen (Cloke dkk., 1999 dalam McClay dkk., 2000); dan diduga
pemisahan Lengan Selatan Sulawesi dari Kraton Sunda terjadi akibat
adanya pemekaran (rifting) Selat Makassar pada Eosen Tengah-Eosen Akhir
(Calvert, 1999). Bachri (2012) menerangkan bahwa pada awalnya (Eosen)
selat ini merupakan tektonik bukaan (rifting), kemudian diikuti tektonik
kompresi dari Neogen sampai sekarang.

13. Tunjaman Sulawesi Utara


Keberadaan tunjaman Sulawesi Utara (Gambar 12.1) berdasarkan rekaman
seismik ditunjukkan oleh adanya parit (trench) di sepanjang bagian dasar
lereng benua di sebelah utara Lengan Utara Sulawesi (Hamilton, 1979),
sedangkan berdasarkan kenampakan batimetri memperlihatkan adanya
laut dalam yang berarah barat–timur di Laut Sulawesi. Benturan kepingan
benua mikro (Banggai-Sula) dengan Mintakat Geologi Sulawesi Barat me-
nimbulkan back-arc thrusting yang berkembang sebagai tunjaman Sulawesi
Utara dan lengan utara berputar searah jarum jam. Menurut McCaffrey
dkk. (1983) dan Kertapati dkk. (1992), berdasarkan data kegempaan, tunja-
man ini sekarang kelihatannya sudah tidak aktif. Namun, adanya beberapa
gempa tektonik di laut Sulawesi akhir-akhir ini dengan focal mechanism

282 | Geologi Sulawesi


menunjukkan sesar naik dengan gaya utama terbesar berarah utara-selatan.
Hal ini menggambarkan bahwa tunjaman ini masih aktif.

14. Tunjaman Sangihe


Tunjaman ini (Gambar 12.1) dicirikan kenampakan batimetri dalam dan
lurus berarah utara timur laut-selatan barat daya. Berdasarkan batimetri
tersebut, ke selatan sebaran tunjaman ini tidak jelas, tetapi menurut Si-
mandjuntak (2004) tunjaman ini menyambung dengan Sesar Naik Batui,
sedangkan Surono (1995) menunjukkan sesar ini memotong Sesar Naik
Batui dan menerus ke selatan. Tunjaman ini disebabkan oleh adanya
pemekaran dasar samudra di Laut Maluku (Simandjuntak, 2004). Tunjaman
Sangihe ini mengontrol munculnya busur gunungapi di Lengan Utara
Sulawesi dan disebut sebagai Busur Gunungapi Kuarter Minahasa–Sangihe
(Simandjuntak, 1993). Tunjaman ini tidak menutup kemungkinan merupa­
kan bagian dari tunjaman ke barat pada Miosen Awal, setelah terjadi
tumbukan kepingan benua di bagian utara terpisahkan dan tidak aktif.
Namun, setelah terjadi pemekaran samudra di Laut Halmahera, tunjaman
ini menjadi aktif kembali, paling tidak sejak Plio-Plistosen.

15. Selat Bone


Selat Bone terletak antara Lengan Selatan dan Lengan Tenggara Sulawesi
(Gambar 12.1). Berdasarkan batimetri, Selat Bone makin ke selatan teng-
gara makin dalam. Yulihanto (2004) menganggap Selat Bone merupakan
cekungan busur muka pada tunjaman Tersier ke barat. Batuan sedimen di
cekungan ini dapat disetarakan dengan Formasi Toraja/Malawa, Formasi
Tonasa/Makale, Formasi Tacipi, dan Formasi Walanae.
Menurut Satyana (2007), Kepingan benua Buton-Tukang Besi dan
Banggai-Sula terlepas dari Kepala Burung (Papua) dan bergerak ke barat
oleh Sesar Sorong, kemudian membentur Sulawesi. Pusat benturan terjadi
di bagian tengah Sulawesi, yang mengakibatkan terbentuknya Sesar Naik
Poso dan terputarnya lengan-lengan Sulawesi. Lengan Tenggara Sulawesi
bagian utara bergeser ke barat dan menabrak Lengan Selatan sedangkan
di bagian selatan tidak; dan Lengan Utara berotasi searah jarum jam.
Tumbukan tersebut mengakibatkan gaya escape yang mengontrol terben-
tuknya cekungan-cekungan (Satyana, 2007). Pembukaan Selat Bone diduga
diakibatkan oleh gaya escape yang berarah tenggara.

Struktur Geologi | 283


B. Struktur Geologi lokal
Struktur geologi ini akan membahas geologi dari struktur yang lebih kecil
atau struktur geologi lokal. Pembahasan struktur geologi tersebut akan
dikelompokkan menurut keberadaannya di setiap lengan.

1. Lengan timur Sulawesi


Berdasarkan pada data indraan jauh, struktur geologi yang dijumpai adalah
sesar dan lipatan (Gambar 12.2).

a. Sesar
Sesar Balantak, Sesar Wekui, dan Sesar Naik Batui telah dibahas dalam
sesar utama. Sesar lainnya adalah sesar berarah barat laut-tenggara yang
terdiri atas Sesar Kabuabua, Sesar Pongian, Sesar Sabo, Sesar Rompi, Sesar
Tomori, dan sesar-sesar kecil lainnya.

Sesar Kabuabua
Sesar Kabuabua (Gambar 12.2) dicirikan oleh kelurusan lembah, singkapan
batuan Kepingan Benua Banggai-Sula, dan Sesar Naik Batui secara tiba-

Gambar 12.2 Struktur Geologi Lengan Timur Sulawesi

284 | Geologi Sulawesi


tiba hilang. Beberapa data seismik menunjukkan fragmen ini menyebar
di laut bagian selatan, maka sesar ini diduga merupakan sesar mendatar
mengiri.

Sesar Pongian
Sesar Pongian (Gambar 12.2) sejajar dengan Sesar Kabuabua, di bagian
tenggara sesar hilang yang terpotong oleh Sesar Naik Batui. Di bagian
barat laut, di utara sesar batuan ultrabasa sebarannya sampai pantai,
sedang­kan di selatan berkembang endapan aluvial. Kenampakan ini me­
nun­jukkan adanya suatu geseran, yaitu di bagian utara bergerak relatif ke
arah barat laut. Jadi, sesar ini merupakan sesar mendatar mengiri.

Sesar Sabo
Sesar Sabo (Gambar 12.2) dicirikan oleh kelurusan lembah dan di barat
laut pada batimetri ditunjukkan adanya kelurusan lereng laut. Di blok barat
daya sesar daratan yang tersusun batuan ultrabasa menjorok ke barat laut,
sedangkan blok timur laut berupa laut. Jika berdasarkan kenampakan ini,
sesar ini merupakan sesar mendatar menganan, tetapi kedudukan sesar ini
sejajar dengan Sesar Kabuabua, dan Sesar Pongian, dan gaya pembentuk
sesar dari arah timur, maka sesar ini diduga merupakan sesar mendatar
mengiri.

Sesar Rompi
Sesar ini (Gambar 12.2) dicirikan kelurusan lembah berarah barat-laut-
tenggara. Sesar ini memotong batuan ultrabasa sehingga tidak tampak
adanya arah pergeseran. Berdasarkan kedudukannya yang sejajar dengan
Sesar Kabuabua, Sesar Pongian, Sesar Sabo, maka sesar ini diduga merupa­
kan sesar mendatar mengiri.

Sesar Boba dan sesar Ondalean


Sesar Boba dan Sesar Ondalean (Gambar 12.2) mempunyai arah hampir
utara-selatan, dicirikan oleh kelurusan lembah dan memotong batuan
ultrabasa. Berdasarkan model Riedel, sesar-sesar ini diduga merupakan
sesar mendatar menganan.

Sesar Solato, sesar Tiworo, dan sesar Mosologi


Sesar Solato, Sesar Tiworo, dan Sesar Mosologi (Gambar 12.2) berarah
utara barat laut-selatan tenggara. Sesar-sesar ini kemungkinan merupakan

Struktur Geologi | 285


sesar sekunder dari sesar barat laut-tenggara sehingga jenisnya dapat diterang­
kan dengan model Riedel. Berdasarkan model ini, sesar-sesar tersebut
diduga merupakan sesar mendatar mengiri.

Sesar Sabuku
Sesar Sabuku (Gambar 12.2) yang berarah timur laut-barat daya memben-
tuk melengkung sehingga diduga kemiringannya tidak tegak. Berdasarkan
model Riedel, sesar ini merupakan sesar naik.

b. Lipatan
Lipatan terdiri atas sinklin dan antiklin yang terdapat dalam Formasi
Solo­dik, yang tersusun oleh batugamping dan sedikit batupasir, dan
berumur Eosen; dan Formasi Poh tersusun oleh napal, batugamping,
dan sedikit batupasir yang berumur Oligosen.

2. Lengan tenggara Sulawesi


Struktur geologi yang berkembang di Lengan Tenggara Sulawesi didomi­
nasi oleh sesar berarah barat laut-tenggara, yang utama terdiri atas Sesar
Matano, Kelompok Sesar Kolaka, Kelompok Sesar Lawanopo, dan Ke-
lompok Sesar Lainea.
Sesar-sesar lainnya terdiri atas Sesar Lemo, Sesar Lameroto, Sesar
Mateupe, Sesar Larumbu, Sesar Lindu, Sesar Lambatu, dan Sesar
Tanjungbasi (Gambar 12.3).

Sesar Lemo, sesar Lameroto, dan sesar Mateupe


Sesar-sesar ini terletak di ujung selatan Lengan Sulawesi Tenggara
(Gambar 12.3). Ketiga sesar itu berarah barat laut-tenggara dan relatif
sejajar de­ngan sesar utama di lengan ini, sehingga sesar-sesar ini diduga
merupakan sesar mendatar mengiri.

Sesar Larumbu
Sesar Larumbu berarah barat-timur dan memotong sesar-sesar utama yang
berarah barat laut-tenggara (Gambar 12.3). Berdasarkan model Riedel,
sesar ini termasuk sesar mendatar mengiri dan sesuai dengan pergeseran
sesar yang dipotong.

286 | Geologi Sulawesi


Gambar 12.3 Struktur Geologi Lengan Tenggara Sulawesi

Sesar Lindu
Sesar Lindu berarah utara barat laut-selatan tenggara (Gambar 12.3). Sesar
ini dicirikan kelurusan lembah, bidang sesar yang terjal, dan bentuknya
berkelok-kelok. Sesar ini diduga merupakan sesar normal, blok bagian
timur merupakan hanging wall. Berdasarkan arahnya, sesar ini diduga ter-
bentuk setelah kompresi yang merupakan pelepasan gaya kompresi.

Struktur Geologi | 287


Sesar Lambatu
Sesar Lambatu berarah timur laut-barat daya (Gambar 12.3). Berdasar-
kan bentuk morfologinya, sesar ini merupakan sesar normal, blok barat
merupa­kan foot wall yang membentuk danau. Hal ini sesuai dengan model
Riedel yang merupakan sesar normal.

Sesar Tanjungbasi
Sesar Tanjungbasi berkembang di pantai barat (Gambar 12.3) yang diciri-
kan kelurusan bentangalam. Berdasarkan bentuknya dan bidang sesar
yang terjal, sesar ini diduga merupakan sesar normal yang terjadi karena
gerakan gravitasi.

3. Sulawesi Tengah
Sulawesi tengah tersusun oleh Kompleks Pompangeo, batugamping malih,
dan ofiolit. Kompleks Pompangeo tersusun oleh sekis, grafit, batusabak,
genes, serpentinit, kuarsit, dan batugamping malih (Simandjuntak dkk.,
1997). Berdasarkan pentarikhan, K-Ar terhadap Kompleks Pompangeo
berumur 111 juta tahun (Parkinson, 1998; Parkinson dkk., 1998). Material
asal sekis Pompangeo diperkirakan berupa batugamping lempungan, tufa,
batupasir, dan konglomerat, berupa endapan laut dangkal atau tepian
kontinental (Haryadi 2013). Batugamping malih yang terdiri atas pualam
dan batugamping terdaunkan yang diduga berasal dari sedimen pelagos
laut dalam dan berumur lebih tua daripada Kapur (Simandjuntak dkk.,
1997). Ofiolit juga disebut Lajur Ofiolit Sulawesi Timur, yang didominasi
oleh batuan ultrabasa dan basal serta sedimen pelagik. Batuan ultramafik
terdiri atas harzburgit, dunit, werlit, lerzolit, websterit, serpentinit, dan
piroksenit (Kundig, 1956; Simandjuntak dkk., 1991a, 1993; Rusmana dkk.,
1993a, b). Berdasarkan pentarikan, K-Ar batuan ini menunjukkan umur
Senomanian–Eosen (Simandjuntak, 1986).
Berdasarkan interpretasi citra, struktur geologi utama yang berkem-
bang di daerah ini adalah Sesar Naik Poso, Sesar Naik Wekuji, Sesar
Matano, Depresi Poso, dan sesar-sesar lainnya (Gambar 12.4).

Sesar naik Poso


Sesar naik Poso membentuk suatu kelurusan lembah melengkung (Gambar
12.4) dan merupakan batas kompleks batuan malih dan Mendala Sulawesi

288 | Geologi Sulawesi


Gambar 12.4 Struktur Geologi Bagian Tengah Sulawesi

Selatan. Sesar ini diduga merupakan sesar naik, karena blok yang ditempati
kompleks batuan malih merupakan blok yang bergerak naik.

Sesar naik Wekuji


Sesar naik Wekuji membatasi Kompleks Pompangeo dan Ofiolit. Sesar
ini dicirikan oleh kelurusan lembah melengkung (Gambar 12.4) sehingga
diduga merupakan sesar naik, yakni ofiolit merupakan blok yang naik.

Struktur Geologi | 289


Sesar Matano
Sesar Matano merupakan sesar regional yang telah dibahas dalam Bab
XII.A.3 hlm. 279. Di Sulawesi Tengah sesar ini memotong batugamping
malih dan berarah barat barat laut-timur tenggara. Pada citra, sesar ini
menunjukkan kelurusan lembah. Berdasarkan kenampakan di Lengan
Tenggara, sesar ini merupakan sesar mendatar aktif mengiri.

Depresi Poso
Depresi Poso terdapat di antara batuan malih dan dibatasi oleh kelurusan
melengkung. Kelurusan ini merupakan batas batuan malih. Di bagian
selatan membentuk Danau Poso sedangkan di daerah Poso dan sekitarnya
diisi oleh Formasi Poso dan Formasi Puna yang masing-masing berumur
Pliosen. Depresi ini diduga terbentuk oleh gaya pelepasan setelah tumbuk­
an kepingan benua dengan kompleks ofiolit.

Sesar-sesar lainnya
Dalam Kompleks Pompangeo berdasarkan kedudukan foliasi dapat dibe-
dakan beberapa satuan yang batasnya cukup lurus tetapi meliuk, sedangkan
batas antara Kompleks Pompangeo dan batugamping malih di selatan juga
merupakan kelurusan melengkung. Dengan adanya batas sesar tersebut,
mungkin Kompleks Pompangeo terdiri atas beberapa mendala geologi,
tetapi masih diperlukan penelitian lebih lanjut.

4. Lengan selatan Sulawesi


Struktur geologi utama terdiri atas Sesar Palu-Koro, Sesar Walanae, lajur
lipatan dan Sesar Naik Majene, serta lajur lipatan dan Sesar Naik Kalosi
(Gambar 12.5). Karena ukurannya cukup panjang, struktur geologi yang
relatif kecil tidak terlihat. Oleh karena itu, pembahasannya dibagi dua,
yaitu di daerah Palu dan sekitarnya dan di bagian selatan (daerah Pang-
kajene dan sekitarnya).

a. Daerah Palu dan sekitarnya


Sesar utama adalah Sesar Palu-Koro. Sesar ini berarah utara barat laut-
selatan tenggara. Kota Palu diduga terletak di antara dua segmen Sesar
Palu yang mengakibatkan terbentuknya Lembah Palu. Struktur lainnya
adalah Sesar Pasangkayu, Sesar Palintuma, Sesar Sausu, Sesar Turun Parigi,
Sesar Naik Pasangkayu, dan pembentukan lembah-lembah (Gambar 12.6).

290 | Geologi Sulawesi


Gambar 12.5 Struktur Geologi Lengan
Selatan Sulawesi

Struktur Geologi | 291


Sesar Pasangkayu dan sesar Palintuma
Kedua sesar ini hampir searah dan berdekatan (Gambar 12.6). Kedua
sesar ini dicirikan lembah berarah barat laut-tenggara. Berdasarkan model
Riedel, kedua sesar ini merupakan sesar mendatar mengiri.

Sesar Sausu
Sesar Sausu relatif sejajar dengan Sesar Pasangkayu dan Sesar Palintuna
(Gambar 12.6) sehingga diduga merupakan sesar mendatar mengiri. Sesar
ini telah menggeser Formasi Puna jauh ke utara. Sesar ini sangat aktif,
beberapa kali telah terjadi gempa tektonik di daerah Sausu yang mengaki-
batkan kerusakan bangunan dan korban jiwa.

Sesar turun Parigi


Sesar Tutun Parigi dicirikan bentuk morfologi melengkung (Gambar 12.6),
di bagian timur merupakan foot wall. Di dalam blok ini bagian selatan terisi
oleh endapan aluvial, sedangkan di utara terdapat perbedaan tinggi dalam
batuan yang sama (Gambar 12.5 dan Gambar 12.6).

Sesar naik Pasangkayu


Sesar Naik Pasangkayu dicirikan kelurusan yang berbelok dan terbentuk
bidang sesar rendah yang diduga sesar naik. Sesar ini terletak di antara
Sesar Lalintuma dan Sesar Pasangkayu (Gambar 12.6) serta terbentuk
dalam batuan sedimen gunungapi Tersier Awal (Eosen–Oligosen).

Pembentukan lembah
Di sebelah timur Sesar Palu-Koro terdapat beberapa lembah dan danau
tektonik, yaitu Lembah Pontana, Lembah Wuasa, Lembah Lore Utara,
Lembah Bewa, dan Danau Lindu.
Lembah Pontana terbentuk sebagai cekungan stepover dua sesar men-
datar mengiri yang berarah barat laut-tenggara.
Lembah Wuasa terbentuk oleh sesar mendatar mengiri utama berarah
barat laut-tenggara dan sesar kecil lainnya yang berarah utara barat laut-
selatan tenggara. Lembah Lore Utara terbentuk oleh dua sesar mendatar
mengiri yang berarah barat laut-tenggara. Lembah Bewa terbentuk oleh
sesar mendatar mengiri berarah barat laut-tenggara dan sesar normal
berarah timur timur laut-barat barat daya. Danau Lindu terbentuk sebagai
step over dua sesar mengiri berarah utara timur laut-selatan barat daya.

292 | Geologi Sulawesi


Gambar 12.6 Struktur Geologi Daerah Palu dan Sekitarnya

b. Daerah Pangkajene dan sekitarnya


Struktur geologi utama yang terlihat di daerah ini adalah Sesar Walanae
yang berarah utara barat laut-selatan tenggara dan memotong menjadi
dua bagian. Di bagian timur utara terdiri atas batugamping dan batuan
sedimen terlipatkan (antiklin dan sinklin), dan selatan berkembang batuan
gunungapi Tersier; sedangkan di bagian barat terdiri atas batuan yang lebih
tua dari bagian timur. Struktur geologi lainnya adalah sesar naik, sesar
mendatar, sesar turun, dan kawah gunungapi purba (Gambar 12.7).

Sesar naik
Sesar naik terdiri atas Sesar Naik Batupute (Gambar 12.7). Sesar naik ini
merupakan batas antara batuan ultrabasa dan batuan malih, blok batuan
ultrabasa (timur) relatif naik. Sesar ini pada citra dicirikan oleh kelurusan

Struktur Geologi | 293


lembah melengkung. Sesar ini terbentuk pada Kapur yang berhubungan
dengan tunjaman ke timur.

Sesar turun
Ada dua sesar turun di daerah ini, yaitu Sesar Turun Kalajo dan Sesar
Turun Bainago (Gambar 12.7). Kedua sesar turun ini mungkin merupakan
kesatuan, kemudian dipotong oleh Sesar Mendatar Lakepo. Sesar Turun
Kalajo di selatan dan Sesar Bainago di utara.
Sesar turun Kalajo
Sesar ini dicirikan oleh tebing terjal yang membentuk lengkungan. Sesar ini
memotong batuan gunungapi Latona yang menindih tidak selaras batuan
yang lebih tua (batuan ultrabasa, batuan malih, dan batuan sedimen Kapur
Akhir–Miosen Awal). Sesar ini diduga terbentuk oleh gaya gravitasi batuan
gunungapi yang meluncur di atas batuan yang lebih tua.
Sesar turun Bainago
Sesar turun Bainago berarah utara-selatan yang dicirikan oleh kelurusan
tebing terjal. Sesar ini diduga terbentuk oleh gaya gravitasi Formasi Camba
batuan gunung api di atas Formasi Tonasa dan sedimen Formasi Camba.

Gambar 12.7 Geologi Struktur Daerah Pangkajene dan Sekitarnya

294 | Geologi Sulawesi


Gambar 12.8 Struktur Geologi Lengan Utara Sulawesi

Struktur Geologi
| 295
Kawah Gunungapi
Kenampakan kawah pada citra dicirikan oleh bentukan depresi melingkar
(Gambar 12.7) dan di sayap gunung diikuti pola aliran radial. Di daerah
ini ada dua kawah gunungapi, yaitu Kawah Gunungapi Latona dan Kawah
Gunungapi Balona.

5. Lengan utara Sulawesi


Struktur geologi di Lengan Utara terdiri atas sesar naik, sesar mendatar,
sesar turun, dan kawah gunungapi (Gambar 12.8).
Kenampakan struktur geologi tersebut (Gambar 12.8) sulit dilihat
secara terperinci, karena itu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di daerah
Gorontalo dan sekitarnya, daerah Tolitoli dan sekitarnya, serta daerah
Manado dan sekitarnya (Gambar 12.9, 12.10, dan 12.11).
Struktur utama di Lengan Utara Sulawesi adalah Sesar Gorontalo
yang merupakan sesar mendatar menganan dan Sistem Sesar Naik Tolitoli.
Struktur geologi lainnya adalah sesar mendatar barat laut-tenggara, sesar
mendatar utara barat laut-selatan tenggara, sesar mendatar timur laut-barat
daya, sesar mendatar barat barat laut-selatan tenggara, sesar turun, depresi,
dan kenampakan gunungapi.

Gambar 12.9 Struktur Geologi Daerah Gorontalo dan Sekitarnya

296 | Geologi Sulawesi


Gambar 12.10 Struktur Geologi Daerah Tolitoli dan Sekitarnya

a. Sesar mendatar
Sesar mendatar barat laut–tenggara
Sistem sesar ini terdiri atas Sesar Apilatawu, Sesar Harapan, Sesar Teba,
dan Sesar Singkap (Gambar 12.8–12.10). Sesar-sesar ini posisinya sejajar
dengan Sesar Gorontalo yang merupakan sesar mendatar menganan,
kecuali Sesar Singkap merupakan sesar mendatar mengiri. Sesar ini pada
awalnya merupakan sesar mendatar menganan, tetapi sejak Plio-Plistosen
dipengaruhi oleh aktivitas Tunjaman Sangihe dan teraktifkan menjadi sesar
mendatar mengiri.

Sesar mendatar utara barat laut-selatan tenggara


Sesar ini adalah Sesar Tinggolodule yang terdapat di daerah Gorontalo
dan sekitarnya (Gambar 12.9). Berdasarkan sistem rekahan Riedel, sesar ini
merupakan Riedel Shear dan diduga merupakan sesar mendatar menganan.

Sesar mendatar timur laut–barat daya


Sesar Kuandang yang terletak di daerah Gorontalo termasuk sistem sesar
ini (Gambar 12.9). Sesar ini melampar dari Pantai Kuandang, terpotong
oleh beberapa sistem sesar dan menerus ke arah barat daya. Berdasarkan
sistem rekahan Riedel, sesar ini merupakan conjungate Riedel shear dan
diduga sebagai sesar mendatar mengiri.

Struktur Geologi | 297


Sesar mendatar barat barat laut–selatan tenggara
Di daerah Gorontalo berkembang sistem Sesar Tibawa, Sesar Mong-
guhiyoma, dan Sesar Biontang (Gambar 12.9). Di daerah Tolitoli terdiri
atas Sesar Tawaromaduri, dan di daerah Manado berkembang Sesar Pangi,
Sesar Motabang, dan Sesar Tentama. Berdasarkan sistem rekahan Riedel,
arah sesar ini merupakan P shear yang merupakan sesar mendatar menga-
nan. Namun, sesar-sesar di sebelah timur Sesar Gorontalo berkembang
sebagai sesar mendatar mengiri. Hal ini disebabkan oleh pengaruh sistem
Tunjaman Sangihe sejak Plio-Plistosen.

b. Sesar turun
Sesar turun dicirikan oleh kelurusan lereng terjal. Beberapa sesar turun di
Lengan Utara di antaranya adalah Sesar Saurah, Sesar Ayumolingo, Sesar
Mulia, dan Sesar Binawa (Gambar 12.9–12.11).

Sesar turun Saurah


Sesar Turun Saurah terdapat di daerah Tolitoli bagian barat (Gambar
12.10) yang dicirikan oleh kenampakan kelurusan melengkung, dan ba-
gian hanging wall di blok selatan yang disusun oleh endapan aluvial dan
batuan Tersier, serta foot wall di bagian utara yang tersusun oleh batuan
malih. Sesar ini diduga terbentuk oleh gaya gravitasi akibat pelepasan gaya
kompresi.

Sesar turun Ayumolingo


Sesar Turun Ayumolingo berarah timur-barat yang terletak di tengah
Lengan Utara Sulawesi (Gambar 12.10) dan dicirikan oleh kelurusan lereng
terjal pada batuan Tersier yang sebagian membentuk lembah yang diisi
oleh endapan aluvial. Pembentukan sesar ini diduga akibat pelepasan gaya
setelah terjadi kompresi pada Miosen Akhir-Pliosen Awal.

Sesar turun Mulia


Sesar turun ini terdapat di bagian tepi selatan (Gambar 12.10) dan diciri-
kan oleh kelurusan lembah melengkung. Bagian yang relatif turun adalah
bagian selatan yang tersusun oleh batuan gunungapi Pani, gunungapi
Litulitu, dan gunungapi Lipa, sedangkan di blok utara tersusun oleh batuan
Tersier. Sesar ini diduga terjadi karena amblesan yang disebabkan muncul-
nya gunungapi-gunungapi tersebut.

298 | Geologi Sulawesi


Sesar turun Binawa
Sesar Turun Binawa dicirikan oleh bidang sesar terjal dan kelurusan
beberapa sungai terutama Sungai Binawa (Gambar 12.9). Bagian turun
adalah blok selatan dan terjadi di dalam batuan gunungapi relatif muda.
Bagian turun dipengruhi oleh Depresi Kotamubagu.

Depresi
Struktur ini dipengaruhi oleh sesar turun di kanan-kirinya. Di Lengan Utara
terdapat dua depresi, yaitu Depresi Kotamubagu dan Rendahan Gorontalo
(Gambar 12.9 dan 12.11). Kedua depresi ini pada awalnya diduga meru-
pakan satu-kesatuan, yaitu suatu depresi berbentuk melingkar dari daerah
Karimbaw (tepi timur) dan di bagian barat Rendahan Gorontalo.
Pada Plio-Plistosen, Rendahan Gorontalo merupakan suatu cekungan
sedimen yang dicirikan oleh adanya pertumbuhan koral yang kemudian
membentuk batugamping. Kavalieris dkk. (1992) menduga depresi ini ter­jadi
karena adanya pemekaran (rifting), tetapi datanya tidak jelas. Berdasar-
kan bentuk melingkar ini diduga depresi ini merupakan sesar normal

Gambar 12.11 Struktur Geologi Daerah Manado dan Sekitarnya

Struktur Geologi | 299


b­erukuran besar. Pembentukannya akibat dari adanya pelepasan gaya
setelah kompresi Neogen, yang mengakibatkan adanya gerak gravitasi be-
sar-besaran. Akibat pengaruh Tunjaman Sangihe pada Kuarter, sepanjang
Depresi Kotamubagu muncul gunungapi Kuarter sedangkan di Rendahan
Gorontalo terangkat yang ditunjukkan oleh adanya batugamping Plio-
Plistosen dengan elevasi cukup tinggi dan Rendahan Gorontalo dikontrol
oleh sesar bukaan (extention fault) yang arahnya tegak lurus dengan gaya
yang berasal dari Tunjaman Sangihe.

Gunungapi
Kavalieris dkk. (1992) mengatakan bahwa pada pra-Miosen Tengah
merupakan busur gunungapi yang dipengaruhi oleh tunjaman ke barat.
Bentukan-bentukan melingkar dapat dijumpai pada citra yang diduga
merupakan kawah gunungapi pra-Miosen Tengah, yaitu Gunungapi Pani,
Gunungapi Latulitu, Gunungapi Lipa; sedangkan di daerah Manado, P.
Lembe diduga merupakan bekas kaldera gunungapi. Di dalam kawah-
kawah Gunungapi Pani, Latulita, dan Lipa terdapat kerucut-kerucut kecil
gunungapi yang diduga batuan gunungapi Plio-Plistosen, dan menurut
Kavalieris dkk.(1992), gunungapi-gunungapi tersebut tidak berhubungan
dengan tunjaman, tetapi akibat bukaan (rifting). Di bagian timur terlihat
Kaldera Gunungapi Tondano, yang bagian di dalamnya berkembang Da-
nau Tondano dan sisa tubuh gunungapi ini masih terlihat di bagian timur.
Gunungapi Tondano ini diperkirakan berumur Plio-Plistosen. Banyak
kerucut gunungapi dijumpai di bagian timur ini, baik yang masih aktif
maupun sudah padam. Gunungapi di bagian timur dipengaruhi oleh
Tunjaman Sangihe dan berumur dari Plio-Plistosen sampai Resen.

C. kepingan Benua
Kepingan benua ini terdiri atas Kepingan Benua Banggai-Sula, Sulawesi
Tenggara, dan Buton. Kepingan benua ini diduga berasal dari bagian utara
Benua Australia (Surono, 1996a), yang pecah dari Benua Australia pada
Jura, dan bergerak ke timur laut, kemudian ke arah barat dan menempati
posisi sekarang ini. Pembahasan stratigrafi terperinci kepingan benua ini
dalam uraian sebelumnya (Bab VIII. hlm. 156).

300 | Geologi Sulawesi


1. Kepingan benua Banggai-Sula
Kepingan benua ini di utara dibatasi oleh Sesar Sula Utara dan di selatan
Sesar Sula Selatan (Gambar 12.1). Di Pulau Peleng berkembang sesar naik
utara-selatan, sesar turun timur laut-barat daya, dan kelurusan utara-selatan
(Gambar 12.2). Sesar naik ini kemungkinan berasosiasi dengan kompresi
dari timur. Sesar turun berarah timur laut-barat daya terbentuk oleh gaya
ekstensional pascatumbukan. Teluk Peleng-Pulau Bangkalan Selatan
merupa­kan suatu graben berarah timur laut-barat daya yang dikontrol oleh
sesar turun ini. Pulau Banggai dan Pulau Peleng kemungkinan dipisahkan
oleh suatu sesar berarah timur laut-barat daya, tetapi sesar ini tidak jelas
jenisnya.

2. Kepingan benua Sulawesi Tenggara


Kepingan Benua Sulawesi Tenggara, yang terletak di Lengan Teng-
gara Sulawesi ini, diusulkan oleh Surono (1994). Pada kepingan benua
ini berkembang beberapa sesar geser mengiri yang berkedudukan hampir
sejajar, seperti Sesar Lawanopo, Sesar Lahumbuti, dan Sesar Kolaka (Gam-
bar 12.1 dan 12.3). Berdasarkan kenampakan batimetri, Sesar Lawanopo
boleh jadi bersambung dengan Sesar Hamilton. Pada umumnya sesar geser
mengiri ini masih aktif sampai kini, yang ditandai dengan tergesernya
endapan aluvial. Di samping itu juga berkembang sesar naik, yang beraki-
bat naiknya batuan ofiolit ke atas kepingan benua tersebut. Sesar naik itu
berumur lebih tua daripada sesar geser mengiri, yang terbentuk pada waktu
tumbukan antara kepingan benua dan kompleks ofiolit. Stratigrafi dan
sedimentologi satuan batuan dalam Kepingan Benua Sulawesi Tenggara
diuraikan dalam Bab VIII. hlm. 175.

3. Kepingan benua Lain


Kepingan benua ini terdiri atas Pulau Muna, Pulau Buton, Pulau Wangi-
wangi, dan Pulau Linea Tiwolo. Kepulauan ini terletak di selatan Lengan
Tenggara Sulawesi. Di Lengan Tenggara berkembar sesar mendatar teng­
gara-barat laut, tetapi sesar-sesar tersebut tidak menerus ke Kepulauan ini.
Struktur geologi yang berkembang adalah sesar naik, lipatan, dan kelurusan
(Gambar 12.3).

Struktur Geologi | 301


a. Sesar naik
Sesar ini terdapat di tepi barat P. Buton dan membatasi P. Muna. Blok naik
di bagian timur sehingga batuannya membentuk morfologi lebih tinggi
dibandingkan dengan morfologi P. Muna.

b. Lipatan
Struktur geologi yang terdiri atas antiklin dan sinklin menunjam terlihat di
bagian selatan Pulau Buton.

c. Kelurusan
Kelurusan ini dicirikan oleh kelurusan lembah yang diperkirakan sebagai
sesar, tetapi arah pergeserannya tidak terlihat jelas. Kelurusan yang ada
berarah timur laut-barat daya dan utara barat laut-selatan tenggara.

302 | Geologi Sulawesi


BAB XIII
TEKTONIK SULAWESI
Oleh: Syaiful Bachri dan Sidarto

A. Evolusi Tektonik Regional


Pulau Sulawesi mempunyai bentuk menyerupai huruf K yang menandakan
bahwa pulau ini mempunyai kondisi geologi dan tektonik kompleks.
Kekompleksan ini disebabkan oleh interaksi dari tiga lempeng yang
bergerak aktif, yaitu Lempeng Benua Australia yang bergerak ke utara,
pergerakan Lempeng Samudra Pasifik yang bergerak ke barat, dan perge­
rakan relatif ke selatan tenggara Lempeng Benua Eurasia. Berdasarkan
pembentukan asal tektoniknya, Simandjuntak (1993) berpendapat bahwa
evolusi tektonik Sulawesi dan sekitarnya dapat dibagi menjadi empat,
yaitu Tektonik Pisahan (divergence) Mesozoikum, Tumbukan Cordileran
Kapur, Tumbukan Neogen Tethyan, dan Tumbukan Ganda Kuarter.
Berdasarkan sejarah, tektonik Sulawesi berkaitan erat dengan persitiwa
tektonik, yang secara regional dibagi menjadi lima periode tektonik, yaitu
tektonik ekstensional Mesozoikum, tunjaman Kapur, tunjaman Paleogen,
tumbukan Neogen, dan tunjaman ganda Kuarter.

1. Tektonik ekstensional Mesozoikum


Batuan tertua di Sulawesi adalah batuan alas kepingan benua (mikrokon-
tinen) yang tersusun oleh batuan malihan yang diterobos oleh batuan
granitan, dan ditindih tidak selaras oleh batuan gunungapi. Batuan malihan
berumur Karbon Akhir (Sukamto, 1975), batuan granitan berumur Trias
Tengah–Trias Akhir (Sukamto, 1975; Supandjono dan Haryono, 1993;
dan Surono dan Sukarna, 1993), dan batuan gunungapi berumur Trias
Akhir (Sukamto, 1975a). Hasil analisis paleomagnet batuan alas tersebut

303
terbentuk pada posisi 3,5°–2° LS, yang terletak di tepi bagian utara
Benua Australia. Berdasarkan hal tersebut, tektonik Sulawesi diawali dari
tempat ini, yakni pada Permo-Trias terjadi thermal doming dan diikuti
adanya pemekaran (rifting) yang disebabkan oleh tektonik ekstensional.
Fragmen-fragmen benua terpisahkan kemudian terpindahkan ke arah
utara barat laut, yang membentuk kepingan benua di Laut Banda dan di
bagian timur Sulawesi (Piagram & Panggabean, 1984; Surono, 1996a).
Selama perjalanannya, kepingan benua tersebut terpecah menjadi beberapa
kepingan, di antaranya Kepingan Benua Banggai–Sula, Kepingan Benua
Tukangbesi, Kepingan Benua Buton, dan Kepingan Benua Sulawesi Teng-
gara (Sumandjuntak, 1986; Surono, 1996a).

2. Tunjaman Kapur
Tumbukan ini ditandai dengan adanya zona subduksi miring ke barat di
sepanjang Sulawesi bagian barat, yakni batuan kerak samudra proto Laut
Banda menunjam di bawah bagian tepi selatan tenggara Kraton Sunda.
Tumbukan pertama terjadi pada Kapur Awal dengan zona subduksi
terdapat di kompleks Melange Bantimala (Sukamto, 1975c); dan dijumpai
adanya Sekis Pampangeo yang merupakan batuan malihan bertekanan
tinggi di dekat Danau Poso, Sulawesi Tengah (Parkinson, 1991).

3. Tunjaman Paleogen
Sementara itu, gerakan kepingan-kepingan benua ke barat dan barat laut
mulai bertumbukan dengan kompleks tunjaman di bagian timur Sulawesi
dan zona akrasi Kapur Awal Benua Eurasia pada Paleogen. Tumbukan ini
merupakan penunjaman yang kedua di Sulawesi. Peristiwa penunjaman
kedua ini ditandai dengan adanya sekis biru dan Kompleks Ofiolit di
Lengan Timur Sulawesi, dan batuan gunungapi berumur Paleogen di Lajur
Magmatik Sulawesi Barat. Sekis biru terbentuk pada Oligosen Tengah dan
berhubungan dengan perpindahan ofiolit (Parkinson, 1991; dan Helmers,
1991). Batuan gunungapi Paleogen yang memanjang di Lengan Selatan
Sulawesi ditafsirkan hasil subduksi antara kepingan benua yang berasal
dari Australia dan Kraton Sunda (Bergman dkk., 1996). Batuan gunungapi
tersebut bersifat kalk-alkalin dan terdapat pengayaan unsur jarang ter-
tentu, yang menunjukkan batuan gunungapi tersebut berhubungan dengan
subduksi (Yuwono, 1985), dan menurut van Leeuwen (1981) batuan
gunungapi tersebut berhubungan dengan zona subduksi miring ke barat.

304 | Geologi Sulawesi


Sementara itu, Milsom dkk. (2000) mengemukakan bahwa di bawah
tutupan ofiolit yang terletak mendatar terdapat batuan sedimen laut ber­
umur Trias Akhir–Kapur, sehingga mereka percaya bahwa obduksi ofiolit
terjadi pada Eosen–Oligosen Awal. Lebih lanjut, Milsom dkk. (2000)
mengemukakan bahwa kepingan benua di bagian timur Sulwesi, Buton,
Buru, dan Seram diduga merupakan bagian dari satu kepingan benua
besar, yang terpisah dari Australia pada Jura dan menumbuk tepian Benua
Eurasia, membentuk orogen Sulawesi pada Oligosen. Dari dugaan yang
hampir sama seperti itu, Surono dkk. (1997) menduga semua kepingan
benua di bagian timur Sulawesi sebelum bertumbukan dengan kompleks
ofiolit merupakan satu kepingan benua besar yang mereka namai Greater
Banggai-Sula Continental Terrane.

4. Tunjaman Neogen
Tektonik Neogen sangat berperan penting dalam pembentukan Pulau
Sulawesi sekarang ini. Tektonik ini merupakan tumbukan antara kepingan-
kepingan benua yang teralihtempatkan ke arah barat-barat laut sepanjang
sistem Sesar Sorong dengan Jalur Batuan Malihan Sulawesi Tengah dan
Jalur Ofiolit Sulawesi Timur pada Neogen (Simandjuntak, 1993; Coffield
dkk., 1993), sedangkan menurut Satyana (2007) tumbukan terjadi pada
Miosen Akhir-Pliosen paling awal. Sistem tumbukan ini tidak membentuk
busur gunungapi; dan tanpa diikuti munculnya cekungan busur muka dan
belakang (Simandjuntak, 1988).
Tumbukan ini dicirikan oleh terbentuknya batuan campur-aduk (ban-
cuh) yang berumur Neogen di sepanjang Sesar Naik Batui; terbentuknya
Sesar Naik Poso, yaitu Kompleks Batuan Malihan Sulawesi Tengah me-
numpang di atas Busur Magmatik Sulawesi Barat dan terbentuknya sesar
mendatar menganan Sesar Balantak. Di Lengan Tenggara Sulawesi, tum-
bukan itu menyebabkan terbentuknya beberapa sesar mendatar mengiri,
yaitu Sesar Matano, Kelompok Sesar Kolaka, Kelompok Sesar Lawanopo,
dan Kelompok Sesar Lainea. Tumbukan itu juga menyebabkan Lengan
Utara mengalami rotasi searah jarum jam (Kavalieris dkk., 1992), terjadinya
penyesarnaikan (back thrusting) dan mulainya tunjaman sepanjang Parit
Sulawesi Utara. Satyana (2007) berpendapat bahwa benturan kepingan-
kepingan benua dengan Sulawesi Timur merupakan peristiwa benturan
keempat di Indonesia. Tumbukan ini diikuti oleh tectonic escapes pasca
benturan, yang meliputi bentuk rotasi searah jarum jam Lengan Utara
S­ulawesi, pembentukan sesar-sesar mendatar regional Sesar-sesar Palu-

Tektonik Sulawesi | 305


Koro, Kolaka, Lawanopo, Hamilton, dan Balantak serta pembukaan Teluk
Bone; dan pembentukan Lembah Palu yang diduga akibat pergerakan
mendatar Sesar Palu-Koro yang merupakan sesar tersegmenkan.

5. Tunjaman ganda Kuarter


Tunjaman ini ditunjukkan dengan adanya tunjaman ganda yang saling
berlawanan di bagian timur Lengan Utara Sulawesi. Tumbukan ini terdiri
atas pergerakan ke selatan tenggara batuan kerak samudra Sulawesi Utara
menunjam di bawah Lengan Utara Sulawesi, dan tunjaman ke barat
kerak samudra Laut Maluku. Tunjaman ke selatan terjadi akibat tumbukan
Neogen antara kepingan benua dan Sulawesi (Kavalieris dkk., 1992),
yang masih aktif sampai sekarang (McCaffrey dkk., 1983). Sementara itu,
tunjaman ke barat mengakibatkan munculnya Busur Gunungapi Minahasa-
Sangihe yang ditandai jalur gunungapi aktif.

B. TEKTONIK TIAP LENGAN


Pulau Sulawesi terdiri atas empat lengan, yaitu Lengan Selatan, Lengan
Utara, Lengan Timur, dan Lengan Tenggara (Gambar 1.1). Setiap lengan
mempunyai kondisi geologi tertentu, sehingga uraian tektonik Sulawesi
akan dibahas untuk setiap lengannya.

1. Tektonik lengan selatan Sulawesi


Batuan alas Lengan Selatan Sulawesi terdiri atas Kompleks Bantimala dan
Kompleks Malihan Tolitoli atau dikenal sebagai Kompleks Malihan Malino.
Kompleks Bantimala tersusun oleh batuan malihan dan batuan ultrabasa.
Hasil analisis K/Ar dari batuan malih di Bantimala menunjukkan umur
111 jt (Obradovich, dalam Hamilton, 1979), dan 115+7 jt (Parkinson,
1991), sedangkan menurut Wakita dkk. (1994) batuan malihan di Batimala
menunjukkan umur 132–114 jt dan batuan malihan di Barru menunjukkan
umur 106 jt. Umur-umur tersebut setara dengan Kapur Awal. Sementara
itu, Kompleks Malihan Malino secara progresif mengalami proses retro-
grasi (Haryadi, 2013), yaitu dari malihan derajat tinggi (amfibolit) yang
ber­umur 22,6-23,1 jt (40Ar/39Ar: hornblen) kemudian batuan malihan meta
mengandung garnet dan muskovit memberikan umur 19,6 jt (40Ar/39Ar,
muskovit). Batuan malihan derajat rendah yaitu sekis hijau terbentuk pada
umur 11,3±0,1 jt sampai 14,4±0,3 jt (K/Ar: muskofit dari sekis mika).
Adanya batuan sedimen Kapur Akhir terdiri atas Formasi Balangbaru

306 | Geologi Sulawesi


yang merupakan endapan turbidit (Hasan, 1991) dan Formasi Marada
yang merupakan endapan turbidit bagian distal (van Leeuwen, 1981).
Kedua formasi itu mempunyai umur yang sama dan secara tektonik
Formasi Balang­baru merupakan endapan cekungan busur muka kecil
(Hasan, 1991).
Adanya persamaan batuan malihan di Kalimantan Tenggara (Pegu-
nungan Meratus) dan batuan alas Lengan Selatan Sulawesi diperkirakan
merupakan daerah kompleks akresi Kapur Awal (Parkinson, 1991). Hal ini
menunjukkan bahwa pada Kapur, Kalimantan dan Sulawesi bagian barat
merupakan satu-kesatuan yang merupakan tepi timur Kraton Sunda.
Berdasarkan data isotop Rb-Sr, Nd-Sm, dan U-Pb, serta data geokimia
unsur utama dan unsur jarang, batuan induk dari batuan beku Miosen
Awal adalah himpunan kerak dan mantel litosfer berumur Proterozoikum
Akhir sampai Paleozoikum Awal yang terpanaskan dan meleleh karena
tumbukan benua–benua, yaitu kerak benua yang berasal dari Lempeng
Australia–Nugini tertunjamkan di bawah ujung timur Daratan Sunda
(Bergman dkk., 1996). Model tektonik ini menyatakan bahwa Selat Makas-
sar ditafsirkan merupakan cekungan daratan-muka (foreland basin) di kedua
sisi dari Daratan Sunda dan Lempeng Australia-Nugini. Sementara itu,
obduksi kerak samudra (Kompleks Lamasi) pra-Eosen ke Sulawesi Barat
terjadi pada Oligosen Akhir-Miosen sedangkan Busur Magmatik Sulawesi
Barat Miosen Akhir diduga sebagai hasil tumbukan benua-benua.
Untuk mengetahui pengaruh tektonik Neogen di lengan ini akan
diambil daerah sampel yang diduga paling representatif karena keleng­
kapan data struktur dan tektonik. Daerah tersebut adalah wilayah Provinsi
Sulawesi Barat (Gambar 13.1), yang meliputi daerah Mamuju dan Majene
di bagian barat, sampai daerah Palopo di bagian timur. Di daerah ini
terdapat dua lajur lipatan–sesar naik, yaitu Lajur Lipatan–Sesar Naik
Majene dan Lajur Lipatan–Sesar Naik Kalosi, dijumpai pluton granit besar,
kompleks ofiolit (Kompleks Lamasi), dan batuan alas malihan pra-Tersier
Latimojong.
Di daerah Majene-Mamuju sampai Palopo dapat dibagi menjadi tiga
domain tektonik utama yang membujur utara-selatan. Ketiga domain
tersebut mulai dari lajur lipatan–sesar naik aktif, lajur vulkano-plutonik,
dan lajur batuan ofiolit (Gambar 13.1).
Bukti di daratan yang menunjukkan Selat Makassar telah mengalami
fase kompresi adalah ditemukannya lajur lipatan dan sesar naik di Sulawesi
Barat, yaitu Lajur Lipatan dan Sesar Naik Kalosi dan Lajur Lipatan dan

Tektonik Sulawesi | 307


Sesar Naik Majene, yang keduanya memiliki arah kecondongan (vergence)
ke barat. Sementara itu, di Kalimantan Timur dijumpai Lajur Lipatan dan
Sesar Naik Samarinda yang mempunyai kecondongan struktur ke timur
(Bachri, 2012).
Pada Eosen Tengah diduga terjadi bukaan Selat Makassar (fase eks-
tensi) seperti dikemukakan oleh beberapa penulis, sedangkan pada Miosen
hingga sekarang terjadi fase kompresi yang mengakibatkan terjadinya lajur
lipatan dan sesar naik di Sulawesi Barat (Lajur Lipatan dan Sesar Naik
Kalosi dan Majene) yang memiliki arah kecondongan struktur ke barat.
Sementara itu, di Kalimatan Timur terbentuk Lajur Lipatan dan Sesar Naik
Samarinda yang memiliki arah kecondongan struktur ke timur. Fenomena
terdapatnya dua arah kecondongan struktur yang berlawanan ini tergambar
pula pada data seismik di Selat Makassar (Gambar 13.2).
Berdasarkan model Lempeng Australia-Nugini tertunjamkan di bawah
ujung timur Daratan Sunda (Bergman dkk., 1996), Selat Makassar ditafsir-
kan merupakan cekungan muka-daratan (foreland basin) di kedua sisi dari
Daratan Sunda dan Lempeng Australia-Nugini. Obdaksi kerak samudra
(Kompleks Lamasi) pra-Eosen ke Sulawesi Barat terjadi pada Oligosen
Akhir sampai Miosen; dan busur magmatik Sulawesi Barat yang berumur
Miosen Akhir diduga sebagai hasil tumbukan benua–benua (Bergman
dkk., 1996).

Gambar 13.1 Peta geologi daerah Sulawesi bagian barat, dikompilasi berdasarkan
Sukamto (1975b), Bergman dkk. (1996), Djuri dkk. (1998), dan Bachri & Baharuddin (2001).

308 | Geologi Sulawesi


Gambar 13.2 Penampang seismik di Selat Makassar bagian utara (Puspita dkk., 2005).

2. Tektonik lengan utara Sulawesi


Pada awalnya Lengan Utara Sulawesi ini merupakan bagian dari Lengan
Selatan Sulawesi, yang memanjang utara-selatan. Namun, pada waktu
tumbukan antara Busur Gunungapi Sulawesi Barat dan mikrokontinen
atau kepingan benua pada Neogen, Lengan Utara terputar searah jarum
jam (Hamilton, 1976; Kavalieris dkk., 1992). Lengan Utara Sulawesi terdiri
atas batuan gunungapi dan batuan sedimen Paleogen (Formasi Tinombo)
yang berasosiasi dengan kerak samudra, dan di barat dialasi oleh batuan
malih dan granotoid yang merupakan bagian tepi tenggara kerak Benua
Eurasia. Batuan kerak samudra menunjam ke selatan di bawah Lengan
Utara. Berdasarkan profil seismik dari Busur Sulu–Busur Sulawesi Utara
(Schluter dkk., 2001) tidak memperlihatkan adanya pemekaran (Gambar
13.3), sedangkan berdasarkan penampang seismotektonik dari Sulawesi
Timur-Laut Sulawesi memperlihatkan sumber gaya pergerakan diperki-
rakan adalah gerakan ke barat Kepingan Benua Sula-Buton yang sampai
sekarang masih aktif (Gambar 13.4).
Selama Miosen Awal ditandai oleh aktivitas gunungapi yang menghasil­
kan batuan gunungapi andesitik kalk-alkalin dan berhubungan denga­n tum-
bukan antara Lengan Utara dan Kepingan Benua Bangai-Sula, sedang­­kan
aktivitas mag­matisme pada Miosen Akhir menghasilkan batuan gunungapi

Tektonik Sulawesi | 309


Gambar 13.3 Profil seismik (time domain) SO98-11 (kiri) dan SO98-37 (kanan) antara
Busur Sulu dan Lengan Utara Sulawesi (Schluter dkk., 2001).

Gambar 13.4 Skematik penampang BL-TG yang menggambarkan elemen-elemen


tektonik Sulawesi Utara (Walpersdorf dkk., 1988); Mikrokontinen (Kepingan Benua)
Banggai-Sula bergerak ke arah barat.

asam-basa yang diduga pengaruh rifting (Kavalieris dkk., 1992). Aktivitas


gunungapi Kuarter di bagian timur dikontrol oleh subduksi Sangihe.
Untuk menganalisis struktur dan tektonik ini diambil daerah contoh di
bagian tengah Lengan Utara, yaitu daerah yang terliput oleh peta geologi
skala 1:250.000 Lembar Tilamuta (Bachri dkk., 1994) dan Lembar Kota-
mobagu (Apandi dan Bachri, 1997). Data struktur geologi diperoleh dari
data indraan jauh dan data lapangan. Untuk analisis kelurusan digunakan
diagram mawar dengan interval 10°. Berdasarkan diagram ini kelurusan
dapat dibagi menjadi 5 kelompok sesar dan kelurusan, yaitu kelompok A,
B, C, D, dan E (Gambar 13.5). Pengelompokan ini cukup sederhana dan
mudah diinterpretasi berdasarkan polanya serta dengan membandingkan

310 | Geologi Sulawesi


struktur-struktur yang dikenal dan terdapat pada peta geologi. Sementara
hubungan antara orientasi tegasan dan jenis sesar mengacu pada teori
Moody & Hill (1956).

a. Kelompok sesar perantanaan (A)


Kelompok struktur ini sangat menonjol dan memiliki arah rata-rata
N95°E–N275°E, dengan interval arah yang relatif sempit. Jumlah panjang
dan frekuensi struktur pada kelas ini lebih besar dibandingkan dengam
kelas–kelas lainnya. Kelurusan atau sesar pada kelompok ini umumnya
tampak menonjol, membentuk kelurusan sampai 35 km panjangnya. Kelu-
rusan atau sesar pada kelompok ini direpresentasikan oleh beberapa sesar
besar, seperti Sesar Perantanaan, Sesar Telongkabila, dan Sesar Tetembu
yang secara jelas teramati pada citra SLAR. Kelompok struktur ini telah
diinterpretasikan secara kontroversial, yaitu apakah merupakan sesar naik
ataukah merupakan sesar normal (Trail dkk., 1974), sedangkan dalam Bab
XII (Struktur Geologi), sistem sesar ini diterangkan sebagai sistem sesar
naik dan sistem sesar turun.
Sesar naik utama terbentuk menyusul setelah berhentinya zona tunja-
man kerak samudra di bawah Laut Sulawesi yang miring ke selatan pada
Neogen Awal. Dalam Bab XII (Geologi Struktur), sesar ini adalah Sistem
Sesar Tolitoli. Sesar naik tersebut teraktifkan kembali menjadi sesar normal

Gambar 13.5 Diagram mawar kelurusan dan sesar bagian tengah Lengan Utara
Sulawesi berdasarkan klasifikasi dengan menggunakan interval 10° (Gambar A), dan
arah rata-rata dari kelima kelompok struktur kelurusan dan sesar (Gambar B).

Tektonik Sulawesi | 311


karena tektonik ekstensional Lengan Utara pada Plio-Plistosen, yang dalam
pembahasan geologi struktur ditunjukkan oleh Sesar Turun Ayumolingo.
Kelompok Sesar Perantanaan ditafsirkan tegak lurus terhadap tegasan
terbesar utama s1 pada Neogen, dan oleh karena itu dapat diduga sebagai
kelompok sesar naik. Keberadaan sesar naik pada arah ini tidak menonjol
di lapangan. Beberapa sesar naik relatif kecil dapat diamati di sebelah utara
Desa Tombuililato, sebelah timur dari daerah contoh di Lengan Utara
Sulawesi di bagian tengah (Bachri dkk., 1997).
Dalam kenyataannya, Kelompok Sesar Perantanaan juga bertepatan
dengan arah punggungan dan lembah-lembah besar atau graben/semigra-
ben di Lengan Utara Sulawesi. Tiga contoh daerah graben tersebut adalah
Lembah Bone, Lembah Limboto, dan Lembah Paguyaman (Gambar
13.6). Lembah-lembah ini tertutupi oleh endapan danau Plistosen-Ho-
losen. Kejadian ini mengindikasikan bahwa kelurusan atau struktur Kelom-
pok A erat hubungannya dengan keberadaan lembah-lembah yang berarah
hampir barat-timur, yang diduga mencerminkan struktur ekstensional yang
terbentuk pada Plistosen Akhir sampai Holosen. Tektonik ekstensional
tersebut mungkin telah memicu pengaktifan kembali vulkanisme setelah
tumbukan Neogen, sebagaimana diindikasikan oleh keberadaan struktur
utama berarah barat–timur, melalui dua kaldera besar di Kotamobagu dan
Tondano (Kavalieris dkk., 1992). Dengan demikian, dapat ditafsirkan bah-
wasanya beberapa sesar naik yang terbentuk oleh tektonik kompresional
pada Neogen teraktifkan kembali menjadi struktur ekstensional, seperti
sesar normal dan daerah-daerah depresi pada Plio-Plistosen.

Gambar 13.6 Sebaran daerah depresi di bagian tengah Lengan Utara Sulawesi.

312 | Geologi Sulawesi


b. Kelompok sesar Gorontalo (B)
Struktur ini mempunyai kisaran arah yang relatif lebar, dengan arah rata-
rata N125°E atau N305°E. Representasi dari kelompok struktur ini yang
paling menonjol adalah Sesar Gorontalo yang melalui Teluk Gorontalo
dan Sesar Bodi–Utilemba di bagian barat Lengan Utara Sulawesi bagian
tengah. Pergeseran menganan terlihat jelas pada Sesar Gorontalo, seperti
adanya pergeseran bentuk Teluk Gorontalo. Sebaliknya, gerakan mengiri
diperlihatkan oleh pergeseran batugamping Kuarter yang terdapat pada
zona sesar. Sesar ini ditafsirkan merupakan sesar mendatar utama yang
terbentuk pada deformasi terdahulu (Neogen Akhir atau lebih tua) yang
kemudian teraktifkan kembali menjadi sesar mendatar mengiri pada defor-
masi yang terjadi kemudian (Plistosen–Holosen). Pergeseran mengiri pada
sesar tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan pergeseran menganan
yang terjadi sebelumnya. Sebagai akibatnya, morfologi Teluk Gorontalo
masih seolah-olah memperlihatkan pergeseran menganan. Dalam Bab VII
(Geologi Struktur), sesar ini dicerminkan oleh sistem sesar barat barat
laut–timur tenggara, yang terdiri atas Sesar Tibawa, Sesar Mongguhiyoma,
Sesar Biontang, Sesar Tawaromaduri, Sesar Pangi, Sesar Motabang, dan
Sesar Tentama.

c. Kelompok sesar Paleleh (C)


Kelompok struktur ini memiliki kisaran arah yang cukup lebar (lihat
Gambar 13.5.B), dengan arah rata-rata N155°E atau N335°E. Representasi
dari kelompok ini yang paling menonjol adalah Sesar Paleleh dan Sesar
Bulokidoka. Sesar-sesar ini semula terbentuk sebagai sesar dekstral–normal
(sesar transpresional) pada waktu Neogen Akhir atau lebih tua, yang secara
berturutan pada deformasi yang terjadi kemudian (Plistosen) teraktifkan
kembali menjadi sesar sinistral–naik (sesar transtensional).

d. Kelompok sesar Randangan (D)


Kelompok struktur ini memiliki arah rata-rata N25°E atau N205°E. Jum-
lah panjang dan frekuensinya relatif kecil dibandingkan dengan kelompok
lain. Sesar Randangan adalah representasi dari kelompok ini. Kelompok
sesar ini ditafsirkan sebagai sesar sinistral–normal yang terbentuk pada de-
formasi yang lebih tua (Neogen Akhir), serta teraktifkan kembali menjadi
sesar dekstral–naik selama deformasi yang lebih muda (Plistosen).

Tektonik Sulawesi | 313


Gambar 13.7 Peta struktur bagian tengah Lengan Utara Sulawesi pada Neogen.
Diekstrak dan dimodifikasi dari Bachri dkk. (1994) dan Apandi & Bachri (1997).

e. Kelompok sesar Kuandang (E)


Kelompok struktur ini juga tidak menonjol dibandingkan dengan Kelom-
pok A, B, atau C. Sesar Kuandang dan Sesar Olie merupakan representasi
yang paling penting dari kelompok ini. Kelompok struktur ini memiliki
arah rata-rata N55°E atau N235°E. Pada Neogen Akhir kelompok ini
terbentuk sebagai sesar mendatar mengiri, sedangkan pada deformasi
berikutnya teraktifkan kembali menjadi sesar mendatar menganan. Struktur
atau kelurusan yang menyertai kelompok ini, yang membentuk sudut kecil
terhadap kelompok ini, ditafsirkan memiliki kombinasi gerakan vertikal
dan lateral. Penjelasan mengenai hubungan antara arah struktur utama
dan orientasi sistem tegasan diberikan pada subbab berikutnya (Orientasi
Sistem Tegasan). Dalam Bab VII (Struktur Geologi), Sesar Kuandangan
diperlihatkan di sepanjang pantai kanan Kuandang melampar ke barat
daya, dan dipotong oleh sistem sesar barat laut–tenggara.

f. Orientasi sistem Tegasan


Daerah penelitian telah mengalami deformasi penyesaran-mendatar utama,
sebagaimana ditunjukkan oleh adanya Sesar Gorontalo dan struktur-
struktur lain yang menyertainya (Gambar 13.7 dan 13.8).

314 | Geologi Sulawesi


Gambar 13.8 Peta struktur bagian tengah Lengan Utara Sulawesi pada Pliosen
Akhir–Plistosen, dimodifikasi dari Bachri dkk. (1994) dan Apandi & Bachri (1997).

Struktur Neogen Akhir di Lengan Utara Sulawesi diduga berkaitan


dengan tunjaman di Laut Sulawesi. Dalam rangka menganalisis hubungan
antara Sesar Gorontalo dan sesar-sesar mendatar lainnya yang lebih kecil,
elip tegasan model Harding dkk. (1973) telah diaplikasikan (Gambar 13.6).
Berdasarkan orientasi Kelompok Sesar Gorontalo dan struktur gerus
penyertanya, tegasan utama terbesar s1 selama Neogen Akhir berarah
N5°E atau N18°E, sedangkan tegasan utama terkecil s3 berarah N95°E
atau N275°E (Gambar 13.9A). Sistem tegasan ini telah menghasilkan
sesar mendatar menganan (dekstral) sintetik Kelompok Sesar Gorontalo.
Kelompok Sesar Perantanaan yang hampir tegak lurus terhadap s1 diduga
memiliki gerakan vertikal (sesar naik). Kelompok Sesar Gorontalo (di
antaranya Sesar Gorontalo dan Sesar Bodi-Utilemba) telah ditafsirkan
sebagai kelompok sesar mendatar menganan (dekstral) orde pertama.
Sistem tegasan selama Plistosen menghasilkan elip tegasan seperti
ditunjukkan pada Gambar 13.9B. Periode deformasi ini didominasi oleh
tektonik ekstensional seperti ditunjukkan oleh keberadaan beberapa sesar
normal dan graben (daerah depresi) dengan sumbu panjang lebih kurang
N95°E atau N275°E. Daerah-daerah depresi tersebut dijumpai di bagian
timur sampai tengah daerah studi, seperti Danau Limboto, Lembah Bone,
dan Lembah Pinogu (terletak di sebelah timur daerah contoh, di Lengan

Tektonik Sulawesi | 315


Gambar 13.9 Elip tegasan bagian tengah Lengan Utara Sulawesi, A: Neogen Akhir, B:
Pliosen Akhir–Plistosen.

Utara Sulawesi bagian tengah). Berdasarkan orientasi struktur utama yang


terbentuk pada Plistosen, tegasan utama terbesar s1 ditafsirkan berarah
N275oE atau N95oE, sedangkan tegasan utama terkecil s3 berarah N5°E
atau N185°E. Orientasi tegasan ini ditafsirkan berkaitan dengan Tunjaman
Sangihe di sebelah timur Lengan Utara Sulawesi. Selama periode ini, Ke-
lompok Sesar Perantanaan teraktifkan kembali menjadi sesar-sesar normal
yang membentuk graben, semigraben, atau daerah depresi, sedangkan
Kelompok Sesar Gorontalo teraktifkan kembali menjadi sesar mendatar
mengiri (sinistral).

3. Tektonik lengan timur Sulawesi


Bagian timur Sulawesi terdiri atas tiga kelompok besar batuan, yaitu batuan
yang berasal dari kerak Samudra Pasifik (kompleks ofiolit), kepingan benua
yang berasal dari Benua Australia di antaranya terdiri atas Kepingan Benua
Banggai-Sula, dan Kepingan Sulawesi Tenggara; dan Molasa Sulawesi
yang terdiri atas batuan sedimen klastik dan karbonat. Molasa Sulawesi
terendapkan selama akhir dan sesudah tumbukan, sehingga molasa ini
menindih takselaras menutupi kedua kelompok besar tersebut (lihat juga
Bab VIII–X). Tektonik Sulawesi bagian timur dapat diuraikan menjadi
dua bagian, yaitu Sulawesi Timur bagian utara (daerah Banggai-Sula) dan
Sulawesi Timur bagian selatan (daerah Kendari, Muna, dan Buton).

316 | Geologi Sulawesi


a. Daerah Banggai-Sula (cekungan Luwuk-Banggai)
Cekungan Luwuk–Banggai adalah cekungan sedimen yang terletak di antara
Lengan Timur dan Kepulauan Banggai. Cekungan ini terbentuk akibat ada­nya
penyesaran mendatar dari Sistem Sesar Sorong yang merupakan sesar tran-
form mengiri. Di daerah Kepulauan Sula dan Kepulauan Banggai, Sesar Sorong
ini terurai menjadi Sesar Sula Selatan dan Sesar Sula Utara, yang di ujung
barat kedua sesar tersebut membentuk Sesar Naik Batui (Gambar 13.10).
Sistem Sesar Sorong telah membawa pecahan Paparan Barat Laut
Australia ke Sulawesi. Di Lengan Timur sistem sesar ini mengakibatkan
terjadinya obduksi ofiolit, yang diikuti oleh pengendapan material si­n-
orogenik sampai pasca orogenik di Cekungan Luwuk-Banggai (Gambar
13.10). Sebaran sedimen paparan benua, sedimen sin–pasca tumbukan dan
batuan ofiolit terlihat pada Gambar 15.1.

Gambar 13.10 Tataan tektonik Cekungan Luwuk-Banggai, Cekungan Salawati, dan


Sesar Sorong dengan interval batimetri 1.000 m (Charlton, 1996 dan berdasarkan
beberapa sumber).

Menurut Wahyudiono dan Gunawan (2011), evolusi tektonik di daerah


Cekungan Luwuk-Banggai dan sekitarnya dapat disederhanakan menjadi
dua tahap, yaitu tahap pra-Tersier dan tahap Tersier, sebagaimana diterang-
kan sebagai berikut:

Tektonik Sulawesi | 317


b. Evolusi tektonik Pra-Tersier
Evolusi pra-Tersier terdapat di Kepingan Benua Banggai-Sula. Menurut
Simandjuntak (1986), Kepingan Benua Banggai-Sula bersama-sama dengan
kepingan benua lain di Indonesia bagian timur mempunyai sedikitnya dua
hiatus sejak Jura Awal. Hiatus pertama pada Jura Awal terjadi di setiap
tempat di dunia. Di Indonesia bagian timur hal ini berhubungan dengan
penurunan eustatik dari pasangan muka laut dengan tektonik. Tektonik
divergen terjadi di batas utara Australia pada awal Trias. Yang kedua, hiatus
Kapur Awal, terjadi hanya di paparan (Banggai-Sula dan Tukangbesi) yang
berupa hiatus submarin. Hal ini berhubungan dengan tektonik divergen,
yaitu platform tersebut saling terpisah dengan yang lain sepanjang zona
transcurrent. Sementara itu, evolusi Tersier menurut Simandjuntak (1986)
juga dibagi dua, yaitu hiatus Paleosen terjadi di Kepingan Benua Banggai-
Sula, Tukangbesi, Buton, dan Buru-Seram. Hiatus ini mengindikasikan
terjadinya pengangkatan (uplift) regional sampai terjadinya pergeseran
transcurrent-tranform. Selama itu, terjadi muka laut turun yang diikuti oleh
tererosinya paparan. Dalam hal ini tidak tercatat adanya sedimen di dalam
kepingan benua. Tektonik divergen pada Paleosen mungkin berhubungan
dengan reaktivasi Sesar Sorong. Hiatus pada Miosen Tengah terjadi akibat
proses tumbukan antara Kepingan Benua Banggai-Sula dan kompleks
ofiolit di Sulawesi Timur yang diikuti oleh hadirnya endapan Molasa
Sulawesi.
Menurut Surono dkk. (1994), pada zaman Akhir Kapur kerak samudra
bergerak ke barat menunjam di pinggiran benua, bersamaan ini Mendala
Sulawesi Timur mengalami deformasi pertama. Selanjutya diikuti oleh
evolusi tektonik Tersier.

c. Evolusi tektonik Tersier


(1) Fase pra tumbukan benua
Menurut Garrard dkk. (1988), pada akhir Paleogen hingga Miosen Awal
Kepingan Benua Banggai-Sula masih bergerak ke barat daya mendekati
Sulawesi dengan difasilitasi oleh gerakan mendatar Sesar Sorong. Kepingan
benua ini terdiri atas batuan alas kerak benua yang ditutupi oleh runtunan
batuan sedimen Mesozoikum–Paleogen yang di dalamnya terdapat rift
graben yang terawetkan (Gambar 13.11). Kepingan benua ini menyambung
dengan kerak samudra di bagian baratnya yang menunjam ke arah barat di
bawah Sulawesi (Lempeng Eurasia).

318 | Geologi Sulawesi


(2) Fase tumbukan
Diperkirakan pada sekitar Miosen Akhir Kepingan Benua Banggai-Sula
mulai berbenturan dengan Sulawesi bagian timur, sehingga di Sulawesi
Timur terjadi obduksi batuan ofiolit dan terjadi imbrikasi pada batuan
sedimen asal paparan benua, dengan batas barat Sesar Naik Batui (defor-
masi ketiga). Sementara itu, di daerah kepingan benua di sebelah timurnya
terjadi sembulan-sembulan, antara lain berupa Pulau Peleng, dan saat
itulah Cekungan Luwuk-Banggai mulai terbentuk.

Gambar 13.11 Evolusi tektonik Sulawesi bagian timur dan Banggai-Sula selama
Miosen Awal-Pliosen Akhir (Garrard dkk., 1988).

Waktu tumbukan antara Kepingan Benua Banggai-Sula dan kompleks


ofiolit Sulawesi Timur ditafsirkan oleh para peneliti pada kurun yang
berbeda-beda. Waktu tumbukan menurut Simandjuntak (1986) terjadi pada
Miosen Tengah. Garrard dkk.(1988) menyebutkan bahwa tumbukan terjadi
pada Miosen-Pliosen. Hamilton (1979) dan Surono dkk. (1997) menafsir-
kan tumbukan mulai terjadi pada Miosen Awal. Penelitian Davies (1990)
menunjukkan bahwa tumbukan terjadi pada Miosen Akhir sedangkan
menurut Villeneuwe dkk. (2002) terjadi pada Pliosen Tengah.

Tektonik Sulawesi | 319


(3) Fase pasca tumbukan
Pada Pliosen Akhir, Cekungan Luwuk-Banggai telah terbentuk dan diikuti
pengendapan sedimen molasa di cekungan tersebut, serta cekungan di sebelah
timur Pulau Peleng dan Pulau Banggai, yang merupakan Paparan Taliabu.

4. Tektonik Lengan Tenggara Sulawesi


Menurut Surono dkk. (1997), terdapat tiga periode tektonik yang terjadi
di Lengan Tenggara Sulawesi, yaitu periode pra tumbukan yang terekam
dalam runtunan stratigrafi dan sedimentologi Trias–Oligosen Awal dari
Kepingan Benua Sulawesi Tenggara; periode tumbukan, yang teridenitifi-
kasi dari kepingan benua dan kompleks ofiolit dari Lajur Ofiolit Sulawesi
Timur; dan periode pasca tumbukan yang terekam dalam runtunan Molasa
Sulawesi.

a. Periode pra tumbukan


Pada periode ini terdapat empat tahapan tektonik utama, yaitu:
1) Tahapan pra pemisahan Perem–Trias
2) Tahap pemisahan Jura
3) Rentangan Apungan (rift–drift) Jura Akhir–Oligosen
4) Subduksi Kapur Akhir

b. Periode tumbukan
Pada periode ini terjadi tumbukan antara kepingan benua dan kompleks
ofiolit yang menyebabkan terbentuknya sesar naik, struktur imbrikasi,
dan lipatan di hampir seluruh Lengan Tenggara Sulawesi (Gambar 13.10–
13.13).

c. Periode pasca tumbukan


Periode ini menghasilkan struktur utama berupa sesar geser mengiri, yaitu
Sesar Matarombeo dan Sistem Sesar Lawanopo yang berarah barat laut–
tenggara (Gambar 13.14) yang berasosiasi dengan batuan campur aduk
Toreo. Sesar Konaweha yang mengiris batuan sepanjang Sungai Konaweha
dan memanjang sekitar 50 km (Surono, 2010; Gambar 13.14–13.15), serta
mengiris endapan aluvial di Cekungan Wawotobi yang mengindikasikan
sesar ini masih aktif sampai sekarang (Gambar 13.15). Sesar Kolaka
memanjang sekitar 250 km dari pantai barat Teluk Bone sampai ujung
selatan Lengan Tenggara Sulawesi (Gambar 13.14). Diduga, Sesar Kolaka
dan Sesar Wawatobi membentuk Cekungan Sampara (Surono, 2010).

320 | Geologi Sulawesi


Gambar 13.12 Peta geologi daerah Cekungan Luwuk-Banggai, struktur di Teluk Tolo berdasarkan Davies (1990), isopach

Tektonik Sulawesi
cekungan (dalam km) mengacu ke Hamilton (1979), geologi daratan berdasarkan peta-peta terbitan Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, dikompilasi oleh Charlton (1996).

| 321
Gambar 13.13 Peta geologi Tanjung Laonti dan daerah sekitarnya menunjukkan Sesar
Naik Sangisangi (Surono dkk., 1997). Keterangan: 1. Endapan aluvial. 2. Anggota
Tolitoli, Formasi Langkowala, 3. Formasi Eemoiko, 4. Formasi Boepinang, 5. Anggota
Laonti bagian atas, 6. Anggota Laonti bagian bawah, 7. Formasi Meluhu, 8. Ofiolit, 9.
Sesar Naik, 10. Sesar, 11. Perlapisan, 12. Perlapisan dari foto udara, dan 13. Lineasi.

322 | Geologi Sulawesi


Gayaberat
Gambar 13.14 Sesar utama di Lengan Tenggara Sulawesi (dikompilasi dari peta geologi Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi). Beberapa sesar dan dataran diberi nama (Surono dkk., 1997).

| 323
Gambar 13.15 Cekungan Wawatobi dan Cekungan Sampara yang dibentuk oleh sesar
geser mengiri Sistem Sesar Konaweha dan Sesar Kolaka (Surono dkk., 1997).

324 | Geologi Sulawesi


DAFTAR PUSTAKA

Abendanon, E. C. 1915. Geologischeen geographische doorkruisingen van Midden-Celebes (1909–


1910) II, 453–944.
Ahlburg, J. 1913. Versuch einer geologische Darstellung der Insel Celebes; Geol. U Pal.
Abhand. Neue Folge, v.12.
Ali, J. R., and Hall, R. 1995. Evolution of the boundary between the Philippine Sea Plate
and Australia: paleomagnetic evidence from eastern Indonesia. Techtonophysics
251: 251–275.
Ali, J.R., Milsom, J., Finch, E.M., and Mubroto, B. 1996. SE Sundaland accretion:
palaeomagnetic evidence of large Plio-Pleistocene thin-skin rotations in Buton.
In: Hall, R. dan Blundell, D.J. (eds). Tectonic Evolution of Southeast Asia. Geol.
Soc. London, Special Publications 106: 431–443.
Apandi, T., dan Bachri, S. 1993. Peta Geologi Lembar Kotamobagu, Sulawesi Utara, skala
1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Apandi, T., Ratman, N. dan Yusup, Y. 1982. Geologi Lembar Mamuju, skala 1:250.000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Ascaria, N.A., Harbury, N.A., and Wilson, M.E.J. 1997. Hydrocarbon potential and
development of Miocene knoll-reefs, South Sulawesi. Proceedings of the Petroleum
Systems of SE Asia and Australia Conference, May 1997: 569–584.
Azis, F. 1993. Fosil fauna Sulawesi batas Wallace. J. SD. Geol., (III) 21: 1–9.
Bachri, S. 2006. Stratigrafi lajur volkano–plutonik daerah Gorontalo, Sulawesi Utara, J.
SD. Geol., (XVI) 2: 94–106.
Bachri, S., 2012. Fase Kompresi di Selat Makassar Berdasarkan Data Geologi Daratan,
Seismik Laut dan Citra Satelit., J. SD. Geol., v. 22 no. 3: 137–144.
Bachri, S., Baharuddin, Bawono, S.S., Turkandi, T., dan Waromi, P. 1998. Geologi Lembar
Majene, Sulawesi Selatan, Skala 1:100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Bandung, laporan tidak terbit.
Bachri, S. dan Baharuddin. 2001. Peta Geologi Lembar Malunda-Majene, Sulawesi, skala
1:100,000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Bachri, S., Partoyo, E., Bawono, S.S., Sukarna, D., Surono dan Supandjono, J.B. 1997.
Geologi Daerah Gorontalo, Sulawesi Utara. Kumpulan Makalah Hasil Penelitian dan
Pemetaan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 1996/1997, 18–30.
Bachri, S., Sukido dan Ratman, N. 1994, 2011. Peta Geologi Lembar Tilamuta, Sulawesi, skala
1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Baharuddin dan Harahap, B.H. 2000. Tinjauan kembali kerangka stratigrafi dan tektonik
daerah Palopo, Sulawesi Selatan. J. SD. Geol., (X) 110: 24 –38.
Barber, A.J., and Simanjuntak, T.O. 1995. Report on geological fieldwork in South
Sulawesi. Rep. No.154, Geological research, London University. Unpublished.
Barianto, D.H., Novian, M.I., Mardiana, V., dan Sihombing, T. 2012. Paleogeografi
Miosen daerah Luwuk, Sulawesi Tengah berdasarkan keberadaan konglomerat
batugamping dari Formasi Kintom dan Formasi Bongka. Proceeding PIT IAGI,
Yogyakarta.

325
Bartstra, G.J. 1977. Walanae Formation and the Walanae terraces in the stratigraphy of
South Sulawesi (Celebes Indonesia). Quarter 27: 21–30.
Becke, F. 1913. Akad.Wiss. Wien. Math. Naturw. Kl. 75: 1–53.
Becker, J. J., and Sandwell, D.T. 2004. Global topography. Scripps Institution of
Oceanography, http://topex.ucsd.edu/wwon html/ srtm30_plus.html.
Beet, C. 1943. Beitrage zur Kenntnis der angeblich oberoligocanen Mollusken-Fauna
der Insel Buton, Niederlandsch-Ostindien. Leidsche Geol. Meded., 13: 256–328.
Beets, C. 1950. On Lower Tertiary Mollusca from SW and Central Celebes. Leidse Geol.
Meded. 15: 282–290.
Bellier, O., Beaudoin, T., Serbier, M., Villeneuvre, M., Bahar, I., Putranto, I., Pratomo, E.,
Massault, M., and Seward, D. 1998. Active faulting in central Sulawesi (eastern
Indonesia). In: Wilson, P., Mitchel, G.W. (Eds.), The Geodynamics of S and SE
Asia (GEODYSSEA Project). Geoforschungszentrum, Postdam, Germany,
276–312.
Bellier, O., Sebrier, M., Beaudouin, T., Villeneuve, M., Braucher, R., Bourles, D., Siame,
L., Putranto, E., and Pratomo, I. 2001. High slip rate for a low seismicity
along the Palu-Koro active fault in central Sulawesi (Indonesia). Terra Nova,
(13) 6: 463–470.
Bergman, S.C., Coffield, D.Q., Talbot, J.P., and Garrard, R.A. 1996. Tertiary tectonic and
magmatic evolution of western Sulawesi and the Makassar Strait, Indonesia:
evidence for a Miocene continent-continent collision. In: Hall, R., dan Blundell,
D. (Eds.), Tectonic evolution of Southeast Asia. Geol. Soc. of London, 106:
391–429.
Bothe, A.C.D. 1927. Voorloopige mededeeling betreffende de geologie van zuid-oost-
Celebes. DeMijningenieur (8) 6: 97–103.
Bothe, A.C.D. 1928. De asfaltgesteenten van het eiland Boeton, hun voorkomen en
economische betekenis. De Ingeniur, Mijnbouw, 4: 27–45.
Bowin, C., Purdy, G.M., Johnston, C., Shor, G., Lawver, L., Hartono, H.M.S., and Jezek,
P. 1980. Arc-continent collision in Banda Sea region. Bull. Am. Assoc. Petrol.
Geol., 64, 6: 868–915.
Brouwer, H.A. 1926. Geologische ondergen zoekin op de Soela-Eilanden-II. Jaarboek
Mijnwezen Nederlandsche Oost Indies, verh., (54) 1: 3–4.
Brouwer, H.A. 1921. Geologische ondergen zoekin op de Soela-Eilanden-I. Jaarboek
Mijnwezen Nederlandsche Oost Indies, verh., (49) 2: 69–158.
Brouwer, H.A. 1934a. Geologisch onderzoekingen op het eiland Celebes. Verhand.
Koninkl. Nederl. Geol. Mijnbouwk. Genoot., Geol. Ser. 10: 39–218.
Brouwer, H.A. 1934b. Geologische onderzoekingen op het eiland Celebes. Verh. K. Ned.
Geol. Mijnbouwkd. Genoot., Ser. 5: 39–218.
Brouwer, H.A. 1947. Geological Explorations in the Island of Celebes. Amsertdam: Norths
Holland.
Brouwer, H.A., W.H. Hetzel and H.E.G. Straeter. 1934. Geologische onderzoekingen op
het eiland Celebes. Verh. Geol. Mijnb. Gen. Ned. dan Kol. Geol Serie, 10: 39–171.
Bucher, K. and Frey, M. 1994. Petrogenesis of Metamorphic Rocks. Edisi ke-6. Springer-
Verlag Berlin Heidelberg. 318p.

326 | Geologi Sulawesi


Burchette, T.P. and Wright, V.P. 1992. Carbonate ramp depositional systems. J. Sed. Petro.,
79: 3–57.
Calvert, S. J. 1999. The Cenozoic Evolution of Lariang and Karama Basin, Sulawesi.
Proc. 27” Indon.Petrol.Assoc. Ann.Conv., I: 505–511.
Calvert, S.J. 2000. The Cenozoic geology of the Lariang and Karama regions, Western Sulawesi,
Indonesia. Ph.D. thesis, University of London, London, 353p.
Calvert, S.J., and Hall, R. 2003. The Cenozoic geology of the Lariang and Karama re-
gions, Western Sulawesi: new insight into the evolution of the Makassar Straits
region. Pro. the 29th Ann. Con. of the Indon. Petroleum Assoc., Jakarta, 501–517.
Carlile, J.C., and Mitchell, A.H.G. 1994. Magmatics arcs and associated gold and copper
mineralization in Indonesia. In: van Leeuwen, T.M., Hedenquist, J.W., James,
L.P., Dow, J.A.S. (Eds.), Mineral Deposits of Indonesia–Discoveries of the past 25
years. J. Geochemical Exploration, 50: 99–142.
Castillo. P.R. 2006. An overview of adakite petrogenesis, Chinese Science Bulletin, (52) 3:
257–268.
Chamberlain, J. L. C., Seago, R. 1995. Geological evaluation of the Lariang PSC area,
South Sulawesi. Amoseas International unpublished report.
Charlton, T.R. 1996. Correlation of the Salawati and Tomori basin, Eastern Indonesia:
a constrain on left-lateral displacement of the sorong fault zone. In: Hall,
R. dan Blundell, D. (eds), Tectonic Evolution of Southeast Asia, Geological Society,
Publication 106: 465–481.
Charlton, T.R. 2000. Tertiary evolution of the Eastern Indonesian Collision Complex.
J. Asian Earth Sci. 18: 603–631.
Chopin, C. 1984. Coesite and pure pyrope in high-grade blueschist of the western Alps:
a first record and some consequenses. Contrib. Minereal Petrol., 86: 107–118.
Coffield, D.Q., Bergman, S.C., Garrard, R.A., Guritno, N., Robinson, N.M., and Talbot, J.
1993. Tectonic and stratigraphic evolution of the Kalosi PSC area and associ-
ated development of a Tertiary petroleum systems, South Sulawesi, Indonesia.
Proc. of the 22nd Ann. Con. of the Indon. Petroleum Assoc., Jakarta, 679–706.
Coleman, R.G. 1971. Plate tectonic emplacement of upper mantle peridotites along
continental edges. J.G.R., (76) 5: 1212–1221.
Coombs, D.S. 1961. Some Recent work on the lower grades of metamorphisme. Australia.
Journal Science, 24: 203–215.
Cornee, J.J., Tronchetti, G., Villeneuve, par M., Lathuiliere, B., Janin, M. C., Saint-Marc,
P., Gunawan, W., and Samodra, H. 1995. Cretaceous of eastern and southeast-
ern Sulawesi (Indonesia): new micro paleontological and biological data. J. SE
Asian Earth Sci., (12) ½: 41–52.
Crotty, K.J. and Engelhardt, D.W. 1993. Larger foraminifera and palynomorphs of the
upper Malawa and lower Tonasa Formations, southwestern Sulawesi Island,
Indonesia. In: T. Thanasuthipitak (ed.) International Symposium on Biostratigraphy
of mainland Southeast Asia: facies and paleontology, Chiang Mai 1993, p. 71–82.
Daly, M.C., Cooper, M.A., Wilson, J., Smith, P.G., and Hooper, B.G.D. 1991. Cenozoic
plate tectonic and basin evolution in Indonesia. Mar. Pet. Geol. 8: 2–21.

Daftar Pustaka | 327


Daly, M.C., Hooper, B.G.D. and Smith, D.G. 1987. Tertiary plate tectonics and basin
evolution in Indonesi. Proc. 16th Ann. Con. Indon. Petroleum Assoc., Jakarta,
399–427.
Darman, H. and Sidi, F.H., (Eds). 2000. An outline of the geology of Indonesia. Indonesian
Association of Geologists.
Davidson, J.W. 1991. The geology and prospectivity of Buton Island, SE Sulawesi,
Indonesia. Proc. 20th Ann. Con. Indon. Petroleum Assoc., 209–233.
Davies, I.C. 1990. Geological and Exploration Review of the Tomori PSC, Eastern
Indonesia, Proc. 19th Ann. Con. Indon. Petroleum Assoc.
De Roever, W.P. 1947. Igneous and metamorphic rocks in Eastern Central Celebes. In:
Geologic exploration in the island of Celebes under the leadership of H.A. Brouwer. North
Holland Publishing Company (N.V. noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij),
Amesterdam, 65–173.
De Roever, W.P. 1956. Some Additional Data on the crystalline schist of the Rumbia
and Mendoke Mountain, South Celebes. Nederlands Geologish-Mijnbouwkundig
Genootschap Verhandelingen, v.16.
Deer, W.A., Howie, R.A., and Zussman, J. 1992. An introduction to rock forming minerals.
Longman Sci. Tech., 2nd, 696p.
Djamal, B., Sudana, D., Soetrisno, Baharuddin, dan Hasan, K. 1993. Peta Geologi Lembar
Tanjuang Mangkaliat, Kalimantan, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengem-
bangan Geologi.
Djuri, R. dan Sudjatmiko. 1974. Peta Geologi Lembar Majene dan Bagian Barat Lembar Palopo,
Sulawesi, skala 1:250.000. Direktorat Geologi, Bandung.
Djuri, Sudjatmiko, Bachri, S., dan Sukido. 1998. Peta Geologi Lembar Majene dan Bagian
Barat Lembar Palopo, Sulawesi, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengem-
bangan Geologi, Bandung.
Effendi, A.C., dan Bawono, S.S. 1997. Peta Geologi Lembar Manado, Sulawesi Utara, skala
1:250.000. Edisi kedua, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Eiler, J.M., Crawford, A., Elliot, T., Farley, K.A., Valley, J.W. and Stopler. E.M. 2000.
Oxygen isotope geochemistry of oceanic-arc lavas. J. Petrol., 41: 229–256.
Elburg, M. and Foden, J. 1998. Temporal changes in arc magma geochemistry, Northern
Sulawesi, Indonesia. Earth Planet. Sci. Lett. 163: 381–398.
Elburg, M., and Foden, J. 1999. Sources for magmatism in Central Sulawesi: Geochemi-
cal and Sr-Nd-Pb constraints. Chemical Geology. 156: 67–93.
Elburg, M., van Leeuwen, TM., Foden, J., and Muhardjo. 2003. Spatial and temporal
isotopic domains of contrasiling igneous suites in Western and Northern
Sulawesi, Indonesia. Chemical Geology, 199: 243–276.
Elburg, M.A., and Foden, J. 1999. Geochemical response to varying tectonic settings:
an example from southern Sulawesi (Indonesia). Geochim. Cosmochim. Acta 63:
1155–1172.
Elburg, M.A., van Leeuwen, T.M., Foden, J., Muhardjo, J., Vroon, Zulkarnain, P.Z.,
and Nasution, L., A. 2002. Origin of geochemical variability by arc-continent
collision­ in the Biru area, southern Sulawesi (Indonesia). J. Petrol., 43: 581–606.

328 | Geologi Sulawesi


Embleton, B.J.J. 1984. Past global settings. In: Veevers, J.J. (ed.) Phanerozoic Earth History
of Australia, Clarendon Press, Oxford, 11–16.
Ermawan, T., Budiman, I., Baharuddin, Nasution, J., dan Mirnanda, E. 2006. Peta
Anomali Bouguer Lembar Kolaka, skala 1:250.000. Pusat Survei Geologi, Badan
Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
Evans, M.J. 1991. Geological field survey of onshore PCS and adjacent area, Sulawesi,
Indonesia, with specific reference to Eosen reservoir quality and distribution.
BP Petroleum Development of Indonesia Ltd. Unpublish report.
Ferdian, F., Hall, R., and Watkinson, I. 2010. A structural re-evaluation of the north
Banggai-Sula area, Eastern Indonesia. Proc. 34th Ann. Con. Indon. Petroleum
Assoc., Jakarta.
Fortuin, A.R., de Smet, M.E.M., Hadiwasastra, S., van Marle, L.J., Troelastra, S.R. and
Tjokrosapoetro, S. 1990. Late Cenozoic sedimentary and tectonic history of
South Buton, Indonesia. J. SE Asian Earth Sci. 4: 107–124.
Frey, F.A., Suen, C.J. and Stockman, H.W. 1985. The Ronda high temperature peridotite:
Geochemistry and petrogenesis. Geochimica et Cosmochimica Acta 49: 2469–2491.
Garrad, R.A., Supandjono, J.B. and Surono. 1988. The geology of the Banggai-Sula
Microcontinent, Eastern Indonesia. Proc. 17th Ann. Con. Indon. Petroleum Assoc.,
Jakarta.
Grainge, A.M. and Davies, K.G. 1983. Reef exploration in the East Sengkang Basin,
Sulawesi. Proc. 12th Ann. Conv. Indon. Petrol. Assoc., I: 207–227.
Grubenmann, U. 1910. Die kristallinen Schiefer. 2nd edit. Borntraeger, Berlin.
Guntoro, A. 1996. Seismic interpretation and gravity models of Bone Bay in realitation
to its evolution, Proc. 25nd Ann. Conv. of Indonesian Assoc. Geologists, Bandung.
Guntoro, A. 1999. The formation of the Makassar Strait and the separation between SE
Kalimantan and SW Sulawesi. J. Asian Earth Sci., 17:79–98.
Haile, N.S. 1978. Reconnaissance paleomagnetic results from Sulawesi, Indonesia and
their bearing on paleogeographic reconstruction. Tectonophysics 46: 77–85.
Hall, R. and Wilson, M.E.J. 2000. Neogene sutures in Eastern Indonesia. J. Asian Earth
Sci. 18: 781–808.
Hall, R. 1996. Reconstructing Cenozoic SE Asia. In: Hall, R., dan Blundell, D.J. (Eds.),
Tectonic Evolution of Southeast Asia. The Geological Society, London, 153–184.
Hall, R. 2002. Cenozoic geological and plate tectonic evolution of SE Asia and the SW
Pacific: computer-based reconstructions, model and animations. J. Asian Earth
Sci., 20: 353–431.
Hall, R., and Sevastjanova, I. 2012. Australian crust in Indonesia. Australian J. Earth Sci.
59: 827–844.
Hall, R., and Wilson, M.E.J. 2000. Neogene sutures in eastern Indonesia J. Asian Earth
Sci., 18: 781–808.
Hamilton, W. 1974. Map of sedimentary basins of the Indonesian region, Folio of the
Indonesian region. Department of the Interior, United States Geological Survey.
Hamilton, W. 1979. Tectonics of the Indonesian region. Geological Survey Proffesional Paper
1078, U.S. Govern. Printing Office, Washington. U.S.G.S. Professional Paper,
1078: 345.

Daftar Pustaka | 329


Haq, B.U., Hardenbol, J. and Vail, P.R. 1988. Mesozoic and Cainozoic chronostratigraphy
and cycles of sea-level change. Soc. Econ. Palaeon. Min., Special Publication 42:
71–108.
Harahap, B., Maryanto, S., Sunata, W., Sudijono, dan Sihombing, T. 1999. Stratigrafi Sula­
wesi Bagian Selatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung,
Laporan, 94 (tidak diterbitkan).
Harahap, B.H. 2000. Kejadian rijang Paring, Sulawesi Selatan. J. SD. Geol., (X) 105: 2–11.
Harahap, B.H. 1998. Geologi Kawasan Pegunungan Latimojong, Sulawesi Selatan.
Laporan Teknis Intern. Puslitbang Geologi Bandung, tidak diterbitkan.
Hasan, K. 1990. The Upper Cretaceous flysch succession of the Balangbaru Formation,
Southwest Sulawesi, Indonesia. Ph.D. Thesis, University of London, 336 p.
Hasan, K. 1991. The upper cretaceous flysch succession of the Balangburu Formation,
Southwest Sulawesi. Proc. 20th Ann. Con. Indon. Petroleum Assoc., Jakarta, 183–208.
Hasanusi, D., Adhitiawan, E., Baasir, A., Lisapaly, L., and van Eykenhof, R. 2007. Seismic
inversion as an exciting tool to delineate facies distribution in Tiaka carbonate
resevoirs, Sulawesi-Indonesia. Proc. 31st Ann. Con. Indon. Petroleum Assoc.
Hasibuan, F. dan Limbong, A. 2009. Geologi dan Paleontologi Formasi Balangbaru dan
Formasi Marada Berumur Kapur, Sulawesi Selatan. Jurnal Sumberdaya Geologi,
XIX (6), hlm. 365–376.
Hastuti, S., Priyantoro, A., Setyoko, J., Setiawan, H.L., Supriyanto, Sumarsono, A., Hadi­
wiryono, T., dan Guntur, A. 2000. Evaluasi sumber daya hidrokarbon Kawasan
Timur Indonesia Volume II. Studi batuan praTersier daerah Luwuk dan sekitarnya, Ka-
bupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Minyak dan Gas Bumi “Lemigas”, Laporan tidak diterbitkan.
Helmers, H. 1991. Sulawesi blueschists and subduction along the Sunda continent, an
alternative view. In: Proc. Symposium on the dynamics of subduction and its
products. Indon.lnst. Science, Res. Dev. Centre for Geotechnology (LIPI), 220–223.
Helmers, H., Maaskant, P. and Hartel, T.H.D. 1990. Garnet peridotite and associated
high-grade rocks from Sulawesi, Indonesia. Lithos 25: 171–188.
Helmers, H., Sopaheluwakan, H., J., Suryanila, E., and Tjokrosaputro, S. 1989. Blueschist
evolution in Southeast Sulawesi, Indonesia. Neth. J. Sea Res., 24 (2/3): 373–381.
Hermianto, M.H., Andi Mangga, S., dan Koesnama. 2010. Lingkungan Pengendapan Ba-
tubara, Formasi Kalumpang di Daerah Mamuju. J. SD. Geol., (XX) 1: 179–187.
Hetzel, W.H. 1936. Verslag van het het onderzoek naar het voorkomen van asfaltges-
teenten op het eiland Boeton. Verslagen en Medeelingen betreffende Indies
delfstofkunde en here toepassingen. Dienst Mijnbouw Nederland Indie, Batavia,
21: 1–56.
Hilton, D.R., Hoogerweff, J.A., van Bergen, M.J. and Hammerschmidt, K. 1992. Mapping
magma sources in the east Sunda-Banda arcs, Indonesia: constraints from
helium isotopes. Geochim. Cosmochim. Acta, 56: 851–859.
Hoogerweff, J.A. 1999. Magma genesis and slab-wedge interaction across an island arc-continent
collision zone, East Sunda Arc, Indonesia. Ph.D. thesis, Utrecht University.
Hooijer, D.A. 1949. Pleistocene vertebrates from Celebes. IV Archideskodon cebensis
nov. Spec.; Zool. Meded., Deel , XX: 14, Leiden.

330 | Geologi Sulawesi


Hsu, K.J. 1968. Principles of melanges and their bearing on the Franciscan-Knoxville
Paradox. Geol. Soc. Am. Bull., 79: 1063–1074.
Hsu, K.J. 1987. The geology of ocean floor. Am. Geoph. Union, 291–300.
Hutchison, C.S. 1989. Geological Evolution of Southeast Asia.Oxford Monograph on Geol-
ogy and Geophysics no. 13, Oxford, 368 p.
Idrus, I., Nur, I., Warmada, I.W., and Fadlin. 2011. Metamorphic rock-hosted orogenic
gold deposit type as a source of Langkowala placer gold, Bombana, Southeast
Sulawesi. J. Geol. Indon., (6) 1: 43–49.
Indonesia Gulf Oil Co. 1971: BBA IX, Offshore Gulf of Bone, South Sulawesi. Lap. tak
terbit Pertamina.
Indonesia Gulf Oil Co. 1973a: Well Report of Stratigraphic test Lameta 1S in Sengkang Area,
South Sulawesi. Lap. tak terbit Pertamina.
Indonesia Gulf Oil Co. 1973b: Well Report of Stratigraphic test of Sailo Bullo 1S, East Tempe
Basin, Sengkang Area, South Sulawesi. Lap. tak terbit Pertamina.
International Commission of Stratigraphy. 2004. Geologic time scale. International Com-
mission of Stratigraphy.
Ishiwatari, A. 1992. Petrology, geochemistry and mineralogy of the Early Cretaceous
evolved N-MORB from sites 765 and 766, Eastern Indian Ocean. In: Grad-
stein, F.M., Luddeen, J.N. (Eds), Proceedings ODP Science Result 123: 201–212.
Jaya, A. 2001. Sequence Stratigraphy of the Tonasa Limestone, Ralla section, South
Sulawesi. J. Penelitian Enjiniring (JPE) FT-UH, 8: 59–68.
Jaya, A. 2006. Facies and Sedimentary Environment of Camba Formation, Dutungan
Area, South Sulawesi. Geosains, Department of Geology, Hasanuddin Univer-
sity, (02) 03: 243–256.
Jezek P.A., Whitford D.J. and Gill J.B. 1981. Geochemistry of Recent Lavas from the
Sangihe-Sulawesi Arc, Indonesia, The Geology and Tectonics of Eastern.
Indon. Geol. Res.Dev. Centre, Spec. Pub., 2: 383–389.
Kadarusman, A. 2011. Basement rocks of Sulawesi and their contribution to the
metallogenic formation. Proceedings of the Sulawesi Mineral Resources Seminar 2011,
MGEI-IAGI.
Kadarusman, A., and Parkinson, C.D. 2000. Petrology and P-T evolution of garnet
peridotites from central Sulawesi, Indonesia. J. Met. Geol., 18, 2: 193–209.
Kadarusman, A., Miyashita, S., Maruyama, S., Parkinson, C.D., and Ishikawa, A. 2004.
Petrology, geochemistry and paleogeographic recontruction of the East
Sulawesi Ophiolite, Indonesia. Techtonophysic, 392: 55–83.
Kadarusman, A., van Leeuwen, T., and Soeria-Atmadja, R. 2005. Discovery of eclogite
in the Palu region, Central Sulawesi, and its imp,ication for the tectonic evolu-
tion of Sulawesi. M. Geol. Indon., Special Edition, (20) 2: 80–89.
Kartaadiputra, L.W and Sudiro, T.W. 1973. A contribution to the geology of South East
Sulawesi. Proc. 2nd Ann. Sci. Meeting, IAGI, Bandung, 12.
Katili, J.A. 1978. Past and present geotectonic position of Sulawesi, Indonesia;
Tectonophysics, 45: 289–322.
Kavalieris, I., van Leeuwen, T. M. and Wilson, M. 1992. Geological setting and styles of
mineralisation, north arm of Sulawesi, J. SE Asian Earth Sci. 7, 2/3: 113–129.

Daftar Pustaka | 331


Keijzer, F.G. 1945. Upper Cretaceous smaller forminifera from Buton (D.E.I.). Proc.
Nederl. Akad., Wetensch., Amsterdam, 48: 338–339.
Keijzer, F.G. 1953. Reconsideration of the so-called Oligocene fauna in the asphaltic
deposits of Buton (Malay Archipelago). Leidsche Geol. Meded. 17: 259–293.
Kertapati, E.K., Soehemi, A., dan Djuanda, A. 1992. Peta Seismotektonik Indonesia, skala
1:5.000.000. Pusat Penelitiandan Pengembangan Geologi, Bandung.
Kolhoven, W.C.B. 1930. Verslag over een Verkenningstocht in de oostarm van Celebes
en den Banggai Archipel. Jaarboek Mijnwezen Nederlandsche Oost Indies, verh., (59)
3: 127–152.
Konta, J. 1985. Mineralogy and chemical maturity and suspended matter in major rivers sampled
under the SCOPE/UNEP Project. SCOPE/UNEP Sonderband Helf 58: 569–592,
Hamburg.
Koperberg, M. 1929. Bouwstoffen voor de geologie van de Residentie Menado, Jaarboek
Mijnwezen Nederlands Indië (57) 2: 1–446.
Kornprobst, J. 1994. Les roches métamorphiques et leur signification géodynamique.
Précis de Petrologie. Masson, Paris, 224p.
Koswara, A. dan Sukarna, D. 1994. Peta Geologi Lembar Tukang Besi, Sulawesi, skala
1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Koswara, A., Panggabean, H., Baharuddin dan Sukarna, D. 1994, 2007. Peta Geologi
Lembar Bonerate, Sulawesi Selatan, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengem-
bangan Geologi, Bandung.
Kundig, E. 1956. Geology and ophiolite problems of east-Celebes. Nederlandse Geologisch
Mijnbouwkundig Genootschap Verhandelingen Series 16: 210–235.
Kusnama dan Andi Mangga S. 2007. Hubungan lingkungan pengendapan Formasi
Malawa dan keterdapatan batubara di daerah Soppeng, Sulawesi Selatan. J. SD.
Geol., (XVII) 4: 218–232.
Kusnama. 2008. Fasies dan lingkungan pengendapan Formasi Bobong berumur Jura
sebagai pembawa lapisan batubara di Taliabu, Kepulauan Sanana-Sula, Maluku
Utara. J. Geol. Indon., (3) 3: 161–173.
Kusumadinata, K. 1979. Data dasar gunungapi Indonesia; Direktorat Vulkanologi, Bandung.
Lee, T-Y., Lawyer, L.A. 1995. Cenozoic plate reconstruction of Southeast Asia.
Tectonophysics, 251: 85–138.
Lees, A. 1975. Possible influences of salinity and temperature on modern shelf carbon-
ate sedimentation. Marine Geology,19: 159–198.
Leterrier J., Yuwono, Y.S., Soeria-Atmadja, R. and Maury, R.C. 1990. Potassic volcanism
in Central Java and South Sulawesi, Indonesia. J. SE Asia Earth Sci., (4) 3:
171–187
Letouze, J., Guinard, J., and Berhon, J.L. 1983. Structure of the Banda-Molucca area
from multichannel seismic refraction dta. Pro. 12th Ann. Con. Indon. Petroleum
Assoc., 143–156.
Liou, J.G., Maruyama S., and Cong, B. 1998. Introduction to geodynamics for high-and
ultrahigh-pressure metamorphism. The Island Arc, 7: 1–5.
Martini, R., Vachard, D., Zaninetti, L., Cirilli, S., Cornee, J-J., Lathuiliere, B., and
Villeneuve, M. 1997. Sedimentology, stratigraphy and micropaleontology of

332 | Geologi Sulawesi


the Upper Triassic reefal series in Eastern Sulawesi (Indonesia). Palaeogeogr.
Palaeoclimatol. Palaeoecol., 128: 157–174.
Martono, U.M. 1999. Structural diversity of the layered rocks in the metamorphic
complex of the western arc of Central Sulawesi. J. Geol. SD. Min (9) 92: 2–12.
Maruyama, S and Liou, J.G. 1998. Initiation of ultrahigh-pressure metamorphism and its
significance on the Proterozoic-Phanerozoic boundary. The Island Arc, 7: 6–35.
Maruyama, S., Liou, J.G., and Terabayashi, M. 1996. Blueschist and eclogites of the
world and their exhumation. Int. Geol. Rev., 38: 490–596.
Maryanto, S. 1999. Proses diagenesis batugamping Eosen di lintasan S. Nanggala, Tana
Toraja, Sulawesi Selatan. J. SD. Geol., (IX) 94: 2–16.
Maryanto, S. 2002. Lingkungan pengendapan Formasi Toraja di daerah sekitar Rantepao,
Sulawesi Selatan. Bull.Geol. Res. Centre 22: 63–84.
Maryanto, S. 2002. Stratigrafi Tersier daerah Toraja, Sulawesi Selatan. Proc. 31th Ann.
Conv. Assoc. Geol. (IAGI) 734–768.
Maryanto, S., Susanto, E.E., dan Sudijono. 2004. Sedimentologi Formasi Salokalupang
di daerah Bone, Sulawesi Selatan. J. SD. Geol., 1: 69–83.
Marzuki, S. 1990. Peta Anomali Bouguer Lembar Pangkajene, skala 1:250.000. Pusat Survei
Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Maulana, A., Ellis, D.J., Christy, A.G. 2010. Petrology, Geochemistry and Tectonic Evolu-
tion of the South Sulawesi Basement Rocks, Indonesia. 34th Ann. ConvdanExhib,
Proc. Ind. Pet. Assoc. IPA10-G-192
Maury, R.C., Polve, M., Priadi, B., Vidal, Ph., Soeria-Atmadja ,R. and Bellon, H. 1995.
Geochemistry of Plio-Quartenary Acidic Magmatism from Central Sulawesi:
Melting of Lower Continental Crust in a Post-Collisional Setting. Abstracts of
Geosea-95, Metro Manila, Philippines.
McCaffrey, R, Sutarjo, R., Susanto, R., Buyung, N., Sukarman, R., Husni, B., Sudiono, M.,
Setudju, D., dan Sukamto, R. 1983. Micro-earthquake survey of the Molucca
Sea and Sulawesi, Indonesia. Bull. Geol. Res. Dev.Center, Bandung, 7: 13–23.
McCaffrey, R., Silver, E.A., and Raitt, R.W. 1981. Seismic refraction study in the East
Arm, Sulawesi-Banggai Islands region of Eastern Indonesia. In: Barber, A.J.
and Wiryosuyono, S. (Eds), The geology and tectonics of Eastern Indonesia. Geol.
Res. Dev. Cen., Special Publication 2, Pergamon Press.
McClay, K., Doaley, T., Ferguson, A. Dan Pablet, J. 2000. Tectonic Evolution of
Sanga-sanga Blok, Mahakam Delta, Kalimantan, Indonesia, AAPG Bul.,(64)
2: 765–786.
Miall, A.D. 1978. Lithofacies types and vertical profile models in braided rivers: a
summary. Can. Soc. Petrol. Geol., Memoir5: 597–604.
Miall, A.D. 1992. Delta. In: Walker, R.G. and James, N.P. (eds), Facies Models. Response to
Sea Level Change. Geol. Asso. Can., Geoscience Series1: 119–142.
Milsom, J., Ali, J. and Sudarwono. 1999. Structure and collision history of the Buton
continental fragment, Eastern Indonesia. Bull. Am. Assoc. Petrol. Geol., 83:
1666–1689.
Milsom, J., Thurow, J. and Roques, D. 2000. Sulawesi dispersal and evolution of the
Northern Banda Arc. Proc. 27th Ann. Con. Indon. Petroleum Assoc., 495–505.

Daftar Pustaka | 333


Mirnanda, E., dan Mubroto, B. 1997. Peta Anomali Bouguer Lembar Bungku, skala
1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Departemen Pertam-
bangan dan Energi.
Mirnanda, E., dan Siagian, H.P. 2007. Peta Anomali Bouguer Lembar Malili, skala 1:250.000.
Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral.
Miyazaki, K., Zulkarnain, I., Sopaheluwakan, J., and Wakita, K. 1996. Pressure–tempera-
ture conditions and retrograde paths of eclogites, garnet–glaucophane rocks
and schists from South Sulawesi, Indonesia. J. Metamorphic Geol., 14: 549–563.
Molengraaff, G.A.F. 1902. Ueber die Geologie der Umgegend von Sumalata, auf Nord
Celebes und uber die dort vorkommenden goldfuhrenden Erzgange. Z.F.prakt.
Geol. 1902: 249–257.
Molnar, P., dan Dayem, K.E. 2010. Major intercontinental strike-slipnand contrasts in
lithospheric strength. Geosphere, 6: 444–467.
Monnier, C., Girardeau, J., Maury, R. and Cotton, J. 1995a. A back-arc basin origin
for the Sulawesi ophiolite (Eastern Indonesia). Proc. GeoSEA ‘95 Manila,
Phillipines.
Monnier, C., Girardeau, J., Maury, R.C., Cotton, J. 1995b. Back Arc origin for the East
Sulawesi Ophiolite (Eastern Sulawesi). Geology, 23: 851–854.
Moody, J.D. and Hill, M.J. 1956. Wrench Fault Tectonics, Geol. Soc. Am. Bul., (67) 9:
1207–1246.
Moores, E.M. 1982. Origin and emplacement of ophiolites. Rev. Geophy. Space Phys. 20:
851–854.
Morris, J.D., Jezek, P.A., Hart, S.R. and Gill, J.B. 1983. The Halmahera island arc, Mo-
lucca Sea collision zone, Indonesia: a geochemical survey. In: Hayes, D.E. (ed.).
The tectonic and geologic evolution of Southeast Asian seas and islands. Washington,
DC: Am. Geophy. Union, 373–387.
Moss, S. J., Chambers, J., Cloke, I., Carter, A., Satria, D., Ali, J. R., and Baker, S. 1997.
New observation on the sedimentary and tectonic evolution of the Tertiary
Kutai Basin. In: Fraser, A. J., Matthews, S. J., and Murphy, R. W. (eds), Petroleum
Geology of Southeast Asia. Geological Society of London Special Publication,
126: 395–416.
Mubroto, B. 1988. A paleomagnetic study of the East and Southwest Arms of Sulawesi, Indonesia.
Desertasi Doctor, Univ. Oxford.
Mubroto, B., Briden, J.C., Mc Clelland, E., Hall, R. 1994. Palaeomagnetism of the
Balantak ophiolite, Sulawesi. Earth Planet. Sci. Lett. 125 (1994) 193–209.
Mujito, Sasongko, H., and Tatut, H.S. 1998. Hydrocarbon resource assessment of the
micro continent Buton Basin, southeast Sulawesi, Indonesia. In: J.L. Rau (ed.)
Proc. of the 33rd Ann. Sess. Comm. Co-ord. Joint Prospecting for Mineral Resources
Asian Offshore Areas (CCOP), 2: 1–9.
Mullen, E.D. 1983. MnO/TiO2/P2O5: a minor element discriminant for basaltic rocks of
oceanic environments and its implication for petrogenesis. Earth and Planetary
Science Letter 62: 53–62.

334 | Geologi Sulawesi


Mulyana, H. dan Santoso. 2006. SedimentasI dan Stratigrafi Facies Endapan Danau
Purba Tondano, Kabupaten Minahasa (Sulawesi Utara) (Berdasarkan pada
analisa geologi bawah permukaan sehubungan dengan situasi deformasi
landform). J. SD. Geol., (XVI) 3: 144–159.
Nainggolan, D.A., Subagio dan Widijono, B.S. 2007. Peta Anomali Bouguer Lembar Luwuk,
skala 1:250.000. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Nichol, G., and Hall, R. 1999. History of the Celebes Sea Basin based on its strati-
graphic and sedimentological record. J. Asian Earth Sci. 17: 47–59.
Nicolas, A. 1995. The mid-oceanic ridges: mountains below sea level. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg 1995, 200 p.
Nicolas, A. 1989. Structure of ophiolite and dynamic of oceanic lithospere. Kluwer Academic
Publishing. Dordrecht, The Netherlands, 367p.
Norvick, M.S., Pile, R.L. 1976. Field report on the Lariang and Karama Geological
Survey West Sulawesi. BP Petroleum Development of Indonesia Ltd. Unpub-
lished report.
Novian, M.I., Astuti, B.S., Barianto, D.H., Mulawardani, A., dan Sihombing. 2012.
Stratigrafi Formasi Poh pada jalur Sungai Bun, Desa Bondot, Pagimana,
Sulawesi Tengah. Proceedings PIT IAGI, Yogyakarta.
Panggabean, H. dan Surono. 2011. Tectonostratigrapi bagian timur Sulawesi. J. SD Geol.,
(21) 5: 239–281.
Panjaitan, S., dan Nasution J. 2004. Potensi minyak bumi dan gas alam lepas pantai
Cekugan Sengkang, Sulawesi Selatan: Tinjauan analisis gayaberat. J. SD. Geol.,
(XIV) 1: 3–12.
Panjaitan, S. dan Hutubessy, S. 2002. Sifat fisik batuan di daerah Palopo dan Makale,
Sulawesi Selatan. J. SD. Geol., (VII) 124: 2–10.
Panjaitan, S., Wahyono, Simamora, W.H., dan Hutubesi, S. 2000. Pengkajian Cekungan
Lariang, Sulawesi Selatan; pendekatan metoda gayaberat dalam prospeksi
batubara. Laporan Kegiatan S 2000–04, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Gelogi (tidak terbit).
Panjaitan, S. 2009. Penelitian Paleomagnetik dan Gayaberat Kaitannya dengan Pemben-
tukan Formasi Batuan di Sulawesi Selatan serta Hubungannya dengan Selat
Makassar dan Kalimantan. J. SD. Geol., (XIX) 5: 297–312.
Parkinson, C. 1990. A Report on a Programme of K-Ar Dating of Selected Metamorphic Rocks
from Central Sulawesi, Indonesia, (unpubl.), 17 p.
Parkinson, C. 1998. An outline of the petrology, structure and age of the Pompangeo
Schist Complex of Central Sulawesi, Indonesia. Island Arc, 7: 231–245.
Parkinson, C.D. 1991. The petrology, structure and geologic history of the metamorphic rocks
of Central Sulawesi, Indonesia. Ph.D. Thesis, University of London, 336 p,
unpublished.
Parkinson, C.D., Miyazaki, K., Wakita, K., Barber, A.J., and Carswell, D.A. 1998. An
overview and tectonic synthesis of the pre-Tertiary very-high-pressure meta-
morphic and associated rocks of Java, Sulawesi and Kalimantan, Indonesia.
Island Arc 7: 184–200.

Daftar Pustaka | 335


Pearson, D.F., and Caira, N.M. 1999. Geology and metallogeny of central north Sulawesi.
Pacrim’99 Congres, Australian Institute of Mining and Metallurgy, 4/99: 311–326.
Peccerillo, A., dan Taylor, S.R. 1976. Geochemistry of Eocene calc-alkaline volcanic
rocks from the Kastamonu area, Northern Turkey. Contrib. Mineral. Petrol., 58:
63–81.
Penrose Field Conference. 1972. Ophiolite, Geotimes. 17: 24–25.
Pigram, C.J. and Panggabean, H. 1984. Rifting of the northern margin of the Australian
continent and the origin of some microcontinents in eastern Indonesia.
Tectonophysic 107: 331–353.
Pigram, C.J., Surono and Supandjono, J.B. 1984. Geology and regional significance of
the Sula Platform, East Indonesia. Joint Publication by Geol. Res. Dev. Cen.,
Indonesia and Bureau of Mineral resources, Australian. Geol. Res. and Dev. Cen.
Pigram, C.J., Surono and Supandjono, J.B. 1985. Origin of the Sula Platform, Eastern
Indonesia. Geology 13: 246–248.
Polve, M., Maury, R.C., Bellon, H., and Rangin, C. 1997. Magmatic evolution of Sulawesi
(Indonesia): constraints on the Cenozoic geodynamic history of the Sundaland
active margin. Tectonophysics 272: 69–92.
Polve, M., Maury, R.C., Bellon, H., Rangin, C., Priadi, B., Yuwono, S., Joron, J.L., and
Soeria Atmadja, R. 1996. Magmatic evolution of Sulawesi: contstraints on the
Cenozoic geodynamic history of the sundaland active margin. Tectonophysics
272: 69–92.
Priadi B., Permana H., Binns R. and Zulkarnain I. 2006. Maselihe Volcano: A new
discovery submarine volcano in the Sangihe Arc, Eastern Indonesia. Proc.
Volcano International Gathering, September 6–8, 2006. Yogyakarta.
Priadi B., Polve M., Maury R., Soeria-Atmadja R. and Bellon H. 1993. Geodynamic
implications of Neogene calc-alkaline magmatism in Central Sulawesi: Geo-
chemical and isotopic constraints. Proc. 22nd Ann. Conv. Indon. Assoc. Geol.,
Bandung, 59–80.
Priadi, B., Polve, M., Maury, R.C., Bellon, H., Soeria-Atmadja, R., Joron, J.L., Cotton, J.
1994. Tertiary and uaternary magmatism in central Sulawesi: chronological and
petrological constraints. J. SE Asian Earth Sci. 9: 81–93.
Priadi, B., Soeria-Atmadja, R., Maury, R., Bellon, H. and Polve, M. 1997. The Oc-
curence of Back-Arc Magmatism in Sulawesi: Geochemical Constraints on
Geodynamic Reconstruction. Proc. 26th Ann. Conv. Indon. Assoc. Geol., Jakarta,
253–262.
Priadi, B., Sucipta, I.G.B.E., Utoyo, H., Sopaheluwakan, J., Sudarsono dan Widiasmoro.
1996. Kompleks Granitoid Neogen di Sulawesi Tengah: Tinjauan Geokimia.
Buletin Geologi ITB, Vol.26, No. 2/3: 129–141.
Priadi, B., Sucipta, IGBE, and Sopaheluwakan, J. 2009. Post-Collisional Granitoids in
Central Sulawesi (Indonesia). Proc GeoSEA Regional Congress, Kuala Lumpur,
Juni 2009.
Puspita, S.D., Hall, R. dan Elders, C.F. 2005. Structural styles of the offshore West
Sulawesi Fold Belt, North Makassar Strait, Indonesia. Proc. Indon. Petrol. Assoc.
30th Annual Convention, August 2005, 519–542.

336 | Geologi Sulawesi


Rangin, C., Maury, R.C., Polve, M., Bellon, H., Priadi, B., Soeria-Atmadja, R. 1997.
Eocene to Miocene back arc basin basalts and associated island arc tholeiites
from Northern Sulawesi (Indonesia): implications for the geodynamic evolu-
tion of the Celebes basin. Bull. Soc. Geol. France (168) 5: 627–635.
Rangin, C., Jolivet, L., and Pubellier, M. 1990. A Simple Model for the Tectonic Evolu-
tion of Southeast Asia and Indonesia Region for the past 43 M.Y. Bull. Soc.
Geol. France, t. (8) 6: 889–905.
Rangin, C., Spakman, W., Pubellier, M., and Bijwaard, H. 1999. Tomographic and
geological constraints on subduction along the eastern Sundaland continental
margin (South-East Asia). Bull. Soc. Geol. France, 170: 775–788.
Ratman, N. 1976, 2007. Peta Geologi Lembar Tolitoli, Sulawesi Utara,skala 1:250.000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Ratman, N dan Atmawinata, S. 1993. Peta Geologi Lembar Mamuju, Sulawesi. Skala
1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi-ESDM, Bandung.
Reyzer, J. 1920. Geologische aanteekeningen betreffende de Zuidelikjke Toraja-Landen,
verzameld uit de verslagen der mijnbouwkundige onderzoekingen in Midden-
Celebes. Jaarboek Minjnwezen Nederlandsch Oost-Indie 1918, Government Printing
Office, Weltereden, 154–209.
Rusmana, E. dan Sukarna, D. 1985. Tinjauan stratigrafi Lengan Tenggara Sulawesi
dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Proceedings Indonesian Association of
Geologists (IAGI), 14th Annual Convention, 61–70.
Rusmana, E., Koswara, A. dan Simandjuntak, T.O. 1985. Peta Geologi Lembar Lasusua-
Kendari, Sulawesi, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung (laporan terbuka).
Rusmana, E., Koswara, A. dan Simandjuntak, T.O. 1993a. Peta Geologi Lembar Luwuk, Su-
lawesi, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Rusmana, E., Sukido, Sukarna, D., Haryono, E. dan Simandjuntak, T.O. 1993b. Peta
Geologi Lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.
Rutten, L. 1927: Voordrachten over de geologie van Nederlandsch Oost-Idie. Wolters U.M.,
Groningen, Den Haag, 839 p.
Samodra, H. 1994, 2007. Peta Geologi Lembar Sangihe dan Siau, Sulawesi, skala 1:250.000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Sandwell D.T., and Smith, W.H.F. 2009. Global marine gravity from retracked Geosat
and ERS-1 altimetry: Ridge segmentation versus spreading rate. J. Geophys. Res.
114, B01411, doi:10.1029/2008 JB006008.
Santoso. 2000. Kajian gejala panas bumi di daerah Maranda, Sulawesi Tengah. J. SD. Geol.,
(X) 107: 2–13.
Sarasin, F. and Sarasin, P. 1901. Entwurf einer geografische, geologischen beschreibung
der Insel Celebes. Weisbaden, Amesterdam.
Sardjono dan Mirnanda, E. 2007. Gravity field and structure of the crust beneath the
East Arm of Sulawesi and the Banggai Archipelago. Proc. 31st Ann. Con. Indon.
Petroleum Assoc.

Daftar Pustaka | 337


Sartono, S. 1987. Migrasi Manusia Plistosen Indonesis: Kaitannya dengan Tektonik
Lempeng. Publikasi Khusus, 7: 7–20.
Sasajima, S., Nishimura, S., Hirooka, K., Otofuji, Y.Y., van Leeuwen, T., and Hehuwat,
F. 1980. Palaeomagnetic studies combined with fission-track datings on the
western arc of Sulawesi, East Indonesia. Tectonophysich 64: 163–172.
Sato, T., Westermann, G.E.G, Skwarko, S.K., and Hasibuhan, F. 1978. Jurassic biostra-
tigraphy of the Sula Islands, Indonesia. Bull. Geol.l Survey Indonesia (4) 1: 1–28.
Satyana, A. 2007. “Escape Tectonic” Indonesia. http://geoblogi.wordpress. com.
Satyana, A.H. 2011a. Collison of micro-continents with eastern Sulawesi, records from
uplifted reef terraces and proven-potential petroleum plays. Proc. 35th Ann. Con.
Indon. Petroleum Assoc., Jakarta.
Satyana, A.H. 2011b. Sulawesi, where two worlds collided geologic controls on biogeo-
graphic Wallace’s line. Proc.36th HAGI and 40th IAGI Ann. Con. dan Exhibit.
Satyana, A.H., T. Faulin and S.N. Mulyati. 2011. Tectonic evolution of Sulawesi Area,
implication for proven and prospective petroleum plays. Proc. 36th HAGI and
40th IAGI Ann. Con. dan Exhibit.
Schlüter, H. U., Block, Ml, Hinz, K.,Neben, S., Sidel, D., Djajadihardja, Y. 2001. Neogene
sediment thickness andMiocene basin-floor fan systems of theCelebes Sea.
Marine and PetroleumGeology 18: 849–861.
Sendjaja P. and Sucipta, EIGB. 2008. Adakite rocks from Una-una island, Central
Sulawesi. Proc. 31th Annual Meeting of IAGI, 213–228, Bandung
Setiawan, I., Zulkarnain, I., Indarto, S., Sudarsono, Fauzi, A., dan Kuswandi. 2010. Potensi
mineralisasi batuan pra Tersier di Indonesia: Mineralisasi emas dan logam dasar pada
batuan metamorf di Indonesia pada kasus daerah Bombana. Laporan Teknis (Belum
Terbit) Nomor: 1187/IPK.1/­OT/2010; Laporan Penelitian Sub Kegiatan:
01.04.01-0039-02843. Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI.
Siagian, H.P., Nasution, J. dan Widijono, B.S. 2007. Peta Anomali Bouguer Lembar Poso,
skala 1:250.000. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral.
Siagian, H.P., Subagio, Sampeliling, H. dan Mirnanda, E. 2006. Peta Anomali Bouguer
Lembar Palu, skala 1:250.000. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Departe-
men Energi dan Sumber Daya Mineral.
Sihombing, T. 1998. Paleontologi dan stratigrafi Satuan Tmpa. Laporan Teknis Intern
Puslitbang Geologi, Bandung, tidak diterbitkan
Sihombing, T., Bariato, D., dan Novian, I. 2011. Penyusunan stratigrafi daerah Luwuk dan
Pagimana serta sekitarnya, Sulawesi Tengah. Laporan Pusat Survei Geologi, 127p.
Sikumbang, N., Sanyoto, P., Supandjono, R.J.B., dan Gafoer, S. 1995. Peta Geologi Lembar
Buton, Sulawesi, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung.
Silver, E.A., McCaffrey, R. and Smith, R.B. 1983a. Collision, rotation, and the initiation
of subduction in the evolution of Sulawesi, Indonesia, J. Geophysic. Res., 88,
B11: 9407–9418.

338 | Geologi Sulawesi


Silver, E.A., McCaffrey, R., Joyodiwiryo, Y. and Stevens, S. 1983b. Ophiolite emplacement
by collision between the Sula Platform and the Sulawesi Island Arc, Indonesia.
J. Geoph. Res., 88B: 9419–9435.
Simamora, H., dan Marzuki, S. 1990. Peta Anomali Bouguer Lembar Ujung Pandang, skala
1:250.000. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Simandjuntak, T.O. 1980. Wasuponda Melanges. The 8th Ann. Meeting Ass. Indon. Geol.
Simandjuntak, T.O. 1986. Sedimentology and tectonics of the collision complex in the East Arm
of Sulawesi, Indonesia. Ph.D. Thesis RHBNC University of London, UK, 374p,
unpublish.
Simandjuntak, T.O. 1992a. New data on the age of the ophiolite in Eastern Sulawesi.
Indon. Geol. R. Dev. Cen. Bull., 15: 38–44.
Simandjuntak, T.O. 1992b. Sedimen Mesozoikum dan propek hidrokarbon di Indonesia
Timur. Studi kasus: Penelitian geologi di Lengan Timur Sulawesi. J. Geol. SD
Min., II: 10–20.
Simandjuntak, T.O. 1993. Neogene plate cenvergence in Eastern Sulawesi. J. Geol. SD Min., III.
Simanduntak, T.O. 1993. Neogene tectonics and Orogenesis Indonesia, J. SD. Min., (20)
2: 2–32.
Simandjuntak, TO. 1999. Neogene Dayak Orogeny in Kalimantan. The 28th Ann Conv.
Indon. Ass. Geol. Jakarta.
Simandjuntak., T.O. 2004. Tektonika. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Publikasi Khusus, 216 p.
Simandjuntak, T.O., Rusmana, E., Supandjono, J.B., Koswara, A. 1981. Peta Geologi Lembar
Bungku, Sulawesi, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung (laporan terbuka).
Simandjuntak, T.O., Rusmana, E., Surono dan Supandjono, J.B. 1991a. Peta Geologi Lembar
Malili, Sulawesi, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung.
Simandjuntak, T.O., Surono dan Supandjono, J.B. 1991b. Peta Geologi Lembar Poso, Su-
lawesi, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Simandjuntak, T.O., Supandjono, J.B., dan Sukido. 1993. Peta Geologi Lembar Bungku, Su-
lawesi. skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Simandjuntak, T.O., Surono, dan Sukido. 1994. Peta Geologi Lembar Kolaka, Sulawesi. skala
1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Situmorang, B. 1982. The formation of the Makassar Basin as determined from subsid-
ence curves. Proc. Indon. Petroleum Assoc., 11thAnnual Convention, 83–108.
Situmorang, B. 1984. Formation, Evolution and Hydrocarbon Prospect of Makassar
Basin, Indonesia. Proceeding Circum Pacific Energy and Mineral Research Conference
Ke III, 227–231.
Smith, R.B. dan Silver, E.A. 1991. Geology of a Miocene collision complex, Buton,
Eastern Indonesia. Geol. Soc. Am. Bull., 103: 660–678.
Smith, R.B. 1983. Sedimentology and tectonics of a Miocene collision complex and overlying late
orogenic clastic strata, Buton Island, eastern Indonesia. Ph.D. thesis, University of
California, Santa Cruz, 254 p.

Daftar Pustaka | 339


Smith, W.H.F., and Sandwell, D.T. 1997. Global seafloor topography from satellite
altimetry and ship depth soundings. Science, 227: 1957–1962.
Sobari, I. dan Mirnanda, E. 1996. Peta Anomali Bouguer Lembar Majene dan Palopo, skala
1:250.000. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Sobari, I., Mirnanda, E. dan Siagian, H.P. 2007. Peta Anomali Bouguer Lembar Kendari,
skala 1:250.000. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral.
Sobari, I., Siagian, H.P., dan Ermawan, T. 2007. Peta Anomali Bouguer Lembar Tilamuta,
skala 1:250.000. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral.
Sobari, I., Siagian, H.P., Ermawan, T., Didi, P.T., Mirnanda, E., Subagio, Ervan, M., dan
Hesty S. 2006. Peta Anomali Bouguer Lembar Mamuju, skala 1:250.000. Pusat Sur-
vei Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Sobari, I., Simamora, W.H. dan Sardjono, 1992. Peta Anomali Bouguer Lembar Manado,
skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Departemen
Pertambangan dan Energi.
Sobari, I., Subagio dan Siagian, H.P. 2007. Peta Anomali Bouguer Lembar Lasusua, skala
1:250.000. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Sobolev, N.V. and Shatsky, V.S. 1990. Diamond inclusion in garnets from metamorphic
rocks. Nature, 343: 742–746.
Socquet, A., Simons, W., Vigny, C., McCaffrey, R., Subarya., C., Sarsito, D., Ambrosius,
B., and Spakman., W. 2006. Microblock rotations and fault coupling in SE Asia
triple junction (Sulawesi, Indonesia) from GPS and earthquake slip vector data.
J. of Geophys. Res. 111, B08409, doi: 10.1029/2005/JB003963.
Soeka, S. 1991. Radiolarian fauna from the Tobelo Formation of the Island of Buton, Eastern
Indonesia. Ph.D. thesis, University of Wollongong, Australia, 398p.
Soeka, S., and Mudjito. 1992. Early Cretaceous–Paleogene radiolarian biostratigraphy
from the microcontinent of Buton, Eastern Indonesia. Abstract 29, International
Conggress 29, 252.
Soeka, S., Ongkosongo, O.S.R., Suhartati, M.N., dan Helfinalis. 2008. Biostratigrafi dan
penelusuran lintang purba Pulau Buton sejak Mesozoikum dengan Radiolaria.
Prosiding Seminar Nasional Ilmu Kebumian, UGM.
Soeria-Atmadja R., Golightly J.P. dan Wahyu B.N. 1972. Mafic and ultramafic rock as-
sociations in the East arc of Sulawesi. Reg. Conf. Geol. S.E. Asia, Kualalumpur,
20–25.
Soeria-Atmadja, R., Permana, H., and Kadarusman, A. 2005. High-pressure metamor-
phics and associated peridotite in Eastern Indonesia. M. Geol. Indon., Special
Edition, 20: 261–67.
Soesilo, J. 2012. Cretaceous Paired Metamorphic Belts in Southeast Sundaland.Dissertation for
obtaining Doctoral degree from Bandung Institute of Technology Indonesia.
Geological Engineering Study Program. Bandung Institute of Technology
(tidak terbit).

340 | Geologi Sulawesi


Soesilo, J., Suparka, E., Abdullah, C.I., dan Schenk, V. 2010. Pemetaan inklusi di dalam
garnet tekanan tinggi pada Kompleks Melange Bantimala, Sulawesi Selatan. M.
Geol. Indon., 25, 3: 143–159.
Song, Y. and Frey, F.A. 1989. Geochemistry of peridotite xenoliths in basalt from Han-
nuoba, Eastern China: Implications for subcontinental mantle heterogeneity.
Geochimica et Cosmochimica Acta 53: 97–113.
Sopaheluwakan, J., Kadarusman, A., Priadi, B. dan Utoyo, H. 1995. The nature of base-
ment rocks in the Palu region, Central Sulawesi. Proc.6th Intern. Congress on Pacific
Neogene Stratigraphy and IGCP 355, Puspitek-Serpong, West Java, LIPI-Bandung,
Indonesia, 2–9 July, 77–83.
Spencer, J.E. 2010. Strctural analysis of three extensional detachment fault with data
from the 2000 space-shuttle radar topography mission. GSA Today, 20: 8.
Stolz, A.J., Varne, R., Davies, G.R., Wheller, G.E. and Foden, J.D. 1990. Magma sources
components in an arc-continent collision zone: the Flores-Lembata sector,
Sunda arc, Indonesia. Contrib. Mineral. Petrol. 105: 585–601.
Subagio dan Siagian, H.P. 2007. Peta Anomali Bouguer Lembar Kotamobago, skala 1:250.000.
Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral.
Subagio, Siagian, H.P., Tasno, D.P. dan Ervan, M. 2007. Peta Anomali Bouguer Lembar
Tolitoli, skala 1:250.000. Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral.
Subandrio. A.S. 2006. Diagenetic alteration in Late Miocene carbonate of Tacipi area,
South Celebes. Proc. 35th Ann. Conv. Indon. Assoc. Geol.
Sudijono. 2005. Biostratigraphy and the depositional environment of the Toraja
Limestone at the Nanggala River Section, Toraja, South Sulawesi. J. SD. Geol.,
(XV) 1: 57–74.
Sudradjat, A. 1981. Geologi Lembah Palu Sulawesi Tengah dengan menggunakan teknik
penginderaan jauh. Disertasi Doktor, Institut Teknologi Bandung. Tidak terbit.
Sukamto, R. 1973. Reconnaissance Geologic Map of Palu Area, Sulawesi Geological
Survey of Indonesia, Directorate of Mineral Resources, Geol. Res. Dev. Cen.
Bull., Bandung.
Sukamto, R. 1975a. Geologic Map of Indonesia, Sheet VIII, Ujung Pandang, scale 1:1.000.000.
Geological Survey of Indonesia.
Sukamto, R. 1975b. Perkembangan Tektonik di Sulawesi dan Daerah Sekitarnya, Suatu
Sintesis Perkembangan Berdasarkan Tektonik Lempeng. Majalah IAGI, (2) 1:
1–13.
Sukamto, R. 1975c. The structure of Sulawesi in the light of plate tectonics. Paper
presented at the Regional Conference on the Geology and Mineral Resources of SE Asia,
Jakarta, August 4-7: 1–25.
Sukamto, R. 1978. The structure of Sulawesi in the light of plate tectonics; Proc. Reg.
Conf. Geol. Min. Res. SE Asia, 121–141.
Sukamto, R. 1982. Peta Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat, Sulawesi,
Skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Daftar Pustaka | 341


Sukamto, R. 1986. Tektonik Sulawesi Selatan dengan awan khusus, ciri-ciri himpunan batuan
daerah Bantimala. Desertasi S3 ITB, Bandung, 363p, tidak terbit.
Sukamto, R. 2009. Kompilasi Data Geologi: Permasalahan dan Pemecahannya, Lengan Selatan
Sulawesi sebagai contohnya (tidak terbit).
Sukamto, R. and Westerman, G.E.G. 1992. Indonesia and Papua New Guinea. In:
Wasterman, G.E.G. (ed.) The Jurassic in the Circum Pacific, 181–93. Cambridge
University Press.
Sukamto, R. dan Supriatna, S. 1982, 1990. Peta Geologi Lembar Ujung Pandang, Bantaeng dan
Sinjai, Sulawesi, sekala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung.
Sukamto, R. dan Suwarna, N. 1986. Peta Geologi Lembar Talaud, Sulawesi,skala 1:250.000;
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Sukamto, R., and Simandjuntak, T.O. 1983. Tectonic relationship between geologic
province of Western Sulawesi, Eastern Sulawesi and Banggai-Sula in the light
of sedimentological aspect. Geol. Res. Dev. Cen. Bull., 7: 1–12.
Sukamto, R., Samodra, H., dan Santoso, S. 1994. Peta Geologi Lembar Manado, Skala
1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Sukamto, R., Sumadirdja, H., Suptandar, T., Hardjoprawiro, R., dan Sudana, D., 1973.
Peta Geologi Tinjau Lembar Palu, Sulawesi, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.
Sukamto, R., Sukido, Amin, T.C., Sukarna, D., Sudarsono, U., Bronto, S., Kertapati, E.,
Effendi, I., Soehaimi, A., Ipranta, Rimbaman, Amiruddin, Permanadewi, S.,
Hardjono, T., Wahyono, H., Budiman,I., Pribadi, D., Sardjono, Simandjuntak,
T.O., Hardjawidjaksana,K., Kristanto, N.A., Hasibuan, F., Azis, F., Mastria, M.,
dan Samodra, H. 2002. Atlas Geologi dan Potensi Sumber Daya Mineral & Energi
Kawasan Indonesia, Skala 1:10.000.000. Puslitbang Geologi, Balitbang Energi dan
Sumber Daya Mineral, DESDM, RI.
Sukardi, Djamal, B., Supriatna, S., dan Santoso, S. 1995a. Peta Geologi Lembar Muaralasa,
Kalimantan, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Sukardi, Sikumbang, N., Umar, I., dan Sunarya, R. 1995b. Peta Geologi Lembar Sangata,
Kalimantan, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Sukido (Hadiwijoyo), Sukarna, D., dan Sutisna, K. 1993. Peta Geologi Lembar Pasangkayu,
Sulawesi, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Sulistyani, L. and Surono, 2006. Facies analisis on the Limestone Member, the Tondo
Formation, based on sample taken from Kaisapu Area, Buton, Southeast
Sulawesi Proveince. Proc. Jakarta 2006 Int. Geosciences Conf. and Exhib., Indon.
Petrol. Assoc., Jakarta (abstract only).
Suminto, 1994. Sedimentologi Formasi Tinombo di daerah Kecamatan Tinombo,
Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. J. SD. Geol. (IV) 38: 2–8.
Sumosusastro, P.A., Tjia, H.D., Fortuin, A.R., and van der Plicht, J. 1989. Quaternary
reef record of defferential uplift at Luwuk, Sulawesi East Arm, Indonesia.
Neth. J. Sea Res., 24 (2/3): 277–285.
Sunarya, Y., Judawinata, K., dan Herman, D.Z. 1980. Penelitian stratigrafi dan geokimia
bijih tipe Kuroko di daerah Sangkaropi, Kecamatan Sesean, Tana Toraja, Su-
lawesi Selatan. Pertemuan Tahunan IAGI LX, Yogyakarta.

342 | Geologi Sulawesi


Supandjono, J.B., dan Haryono, E. 1993. Peta Geologi Lembar Banggai, Sulawesi–Maluku,
skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Surono. 1986. Batuan terobosan dan gunungapi di daerah aliran S. Ranteangin, Sulawesi
Tenggara. Geosurvey Newsletter Indonesia 18: 67–68.
Surono. 1989a. Stratigraphic relationship between the Banggai-Sula Islands and Sulawesi’s
East Arm. Geol. Res. Dev. Cen. Bull., 13: 46–60.
Surono. 1989b. The molasse of Sulawesi’s East Arm. Geol. Res. Dev. Cen. Bull., 13: 39–45.
Surono. 1994. Stratigraphy of the Southeast Sulawesi continental terrane, Eastern
Indonesia. J. Geol. Mineral Res., 31: 4–10.
Surono. 1995a. A petrographic study on an oolitic limestone succession of the Eocene-
Oligocene Tampakura Formation, Southeast Sulawesi, Indonesia. J. Geol. Min.
Res.,V: 50.
Surono. 1995b. A petrographic study on sandstones and fine-grained sedimentary rocks
from the Triassic Meluhu Formation, Southeast Sulawesi, eastern Indonesia.
Proc. Indon. Assoc. Geol. (IAGI), Ann. Con.
Surono. 1995c. Sedimentology of the Tolitoli Conglomerate Member of the Langkowala
Formation, Southeast Sulawesi, Eastern Indonesia. J. Geol. Min. Res., 46: 2–7.
Surono. 1996a. Asal mintakat mintakat benua di bagian timur Sulawesi. Suatu tinjauan
berdasarkan stratigrafi, sedimentologi, dan palaeomagnetik. Kumpulan makalah
seminar national, Peran Sumberdaya Geologi Dalam PJP II, Jurusan Teknik Geologi,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjahmada, 123-138.
Surono. 1996b. A sedimentological study of the oolitic limestone succession of the
Paleogene Tampakura Formation, in Souteastern Sulawesi Indonesia. Proceedings
of the 33rd Session of Coordinating Committee for Coastal and Offshore Geoscience
Programmes in East and Southeast Asia (CCOP).
Surono. 1996c. Stratigraphic review of the Southeast Sulawesi, eastern Indonesia. Proc.
Indon. Assoc. Geol. (IAGI), Ann. Con.
Surono. 1997a. A preliminary study on the origin of dolomite in the Tampakura
Forma­tion, Southeast Sulawesi, Eastern Indonesia. Bull. Geol. Res. Dev. Cen.
21: 151–161.
Surono. 1997b. A provenance study on sandstones from the Triassic Meluhu Formation,
Southeast Sulawesi, Eastern Indonesia. J. Geol. Min. Res. VII, 73: 2–16.
Surono. 1998a. Geology and origin of the Southeast Sulawesi Continental Terrane,
Eastern Indonesia. Media Teknik, XX, 3: 33–42.
Surono. 1998b. Sedimentology of the oolitic limestone succession of the Paleogene Tam-
pakura Formation, southeast Sulawesi, Indonesia. Proceedings of the Thirty-Third
Session of the Coordinating Committee for Coastal and Offshore Geoscience Programmes
in East and Southeast Asia (CCOP), 30 October–2 November 1996.
Surono. 1999. An organic petrology study on coal and carbonaceous rocks from the
Triassic Meluhu Formation, Southeast Arm of Sulawesi, Eastern Indonesia.
M. Geol. Indon., 15 (1–2), 1–7.
Surono. 2007. Tectonostratigraphy of the East and Southeast Arms of Sulawesi,
Indonesia. Proceedings of the Third Workshop on 1:5M International Geological Map
of Asia. Hangzhou, Cina, September 10–14, 2007.

Daftar Pustaka | 343


Surono. 2010. Geologi Lengan Tenggara Sulawesi. Publikasi Khusus, Badan Geologi,
KESDM, 161p.
Surono. 2012. Tectonostratigraphy of the eastern part of Sulawesi, Indonesia. In relation
to terrane origins. J. Geol. Res., (22), 4: 199–207.
Surono and Bachri, S. 2002. Stratigraphy, sedimentation and palaeo geographic signifi-
cance of the Triassic Meluhu Formation, Southeast arm of Sulawesi, eastern
Indonesia. J. Asian Earth Sci., 20: 177–192.
Surono and Sukarna, D. 1993. Peta Geologi Lembar Sanana, Maluku, skala 1:250.000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Surono and Sukarna, D. 1995. The Eastern Sulawesi Ophiolite Belt, Eastern Indonesia.
A review of it’s origin with special reference to the Kendari area. J. Geol.
Mineral Res. 46: 8–16.
Surono and Sukarna, D. 1996. Sedimentology of the Sulawesi Molasse in relation to
the Neogene tectonics, Kendari Area, Eastern Indonesia. Proc. 6th International
Congress on Pacific Neogene Stratigraphy and IGCP-355, Serpong, Indonesia, July
2–9, 1995.
Surono dan Tung, H. 2009. Kemungkinan keterdapatan endapan emas primer di Kabu-
paten Bombana, Sulawesi Tenggara. J. Tek. Mineral Batubara, (5) 4: 163–170.
Surono, Simandjuntak, T.O., dan Rusmana, E., 1997. Collision mechanism between the
oceanic and continental terranes in the Southeast private arm of Sulawesi,
eastern Indonesia. Bull. Geol. Res. Dev. Cen., 21: 109–125.
Surono, Simandjuntak, T.O., dan Situmorang, R.L., 1994. Peta Geologi Lembar Batui,
Sulawesi, skala 1:250,000. Pusat Penelitian dan Pengambangan Geologi.
Susanto, E.E., 1997. Sedimentologi Formai Salokalupang di daerah Libureng, Sulawesi
Selatan. Laporan Teknis Intern Puslitbang Geologi, Bandung, tidak diterbitkan
Suyono dan Kusnama, 2010. Stratigragrphy and tectonics of the Sengkang Basin, South
Sulawesi. J. Geol. Indon. (5) 1: 1–11.
Syafri, I., Kienast, J.R., dan Soeria-Atmadja, R. 2005. High-pressure Granulit from Palu
Valley, Central Sulawesi, Indonesia. P-T history and geodinamics implication.
Special Edition, M. Geol. Indon., 20: 68–79.
Tatsumi, Y., Muratsaki, M., Arsadi, E.M., and Nohda, S., 1981. Geochemistry of
Quaternary Lavas from NE Sulawesi: Transfer of subduction components into
the mantle wedge. Contrib. Mineral. Petrol., 107: 137–149.
Tjia, H.D. and Zakaria, T.H., 1974. Palu-Koro strike-slip fault zone, Central Sulawesi.
Sains Malaysia, 3: 67–88.
Topuz, G., Okay, A.I., Altherr, R., Scahrtz, W,H., Siebel, W., Zack., Satir, M. and Sen,
C. 2011. Post-collisional adakite-like magmatism in the Agvanis Massif and
implications for the evolution of the Eocene magmatism in the eastern
Pontides (NE Turkey). Lithos, 125: 1–2, 131–150.
Trail ,D.S., Bird, M.C., Obial, R.C., Parwoto, Pertzel, B.A. 1972. Progress report Block
2, Sulawesi Utara, Indonesia. P.T. Tropical Endevour Indonesia, unpublish
report, 28 p.

344 | Geologi Sulawesi


Trail, D.S., John, T.U., Bird, M.C., Obial, R.C., Pertzel, B.A., Abiog, D.B., Prawoto and
Subagio. 1974. The general geological survey of Block II, Sulawesi Utara, Indonesia,
Unpublished report, P.T. Tropic Endeavour Indonesia, 68p.
Tucker, M.E. and Wright, J.P. 1990. Carbonate Sedimentology, Blackwell Scientific Publica-
tions, London, 482 p.
Turner, F.J. 1968. Metamorphic Petrology. McGraw-Hill Book Company, New York.
Umbgrove, J.H.F. 1930. Een tocht naar Tandjong Api, Oost Celebes. Onze Aarde 3:
282–286.
Umbgrove, J.H.F. 1938. Geological History of the East Indies; Bull. Am. Assoc. Petrol.
Geol., (1) 22: 1–70.
Umbgrove, J.H.F. 1942. A revision of fossil corals from Celebes described by Dollfus.
Geol. Mijnbouw (N.S.) 5: 14–16.
Umbgrove, J.H.F. 1943. Coral from asphalt deposits of the Island Buton (East-Indies).
Leidsche Geol. Meded., (13) 1: 29–37.
Utoyo H.,Priadi B., Kadarusman, A., dan Sudarsono. 1997. K/Ar of granitoids from
Palu-Koro Fault Zone, Central Sulawesi, Indones. J. SD. Min., VII: 17–20.
Van Bemmelen, R.W. 1949. The geology of Indonesia. General geology Indonesia and adjacent
archipelagoes, 1A, 732. Government Printing Office, Martinus Nijhoff, The
Hague.
Van Bergen, M.J., Vroon, P.J. and Hoogewerff, J.A. 1993. Geochemical and tectonic
relationship in the east Indonesian arc-continent collision region: implications
for the subduction of the Australian passive margin. Tectonophysics, 223: 97–116.
Van Den Berg, G.D., and Azis, F. 1991. Fossil vertebrates from the Walanae Formation
and younger Pleistocene deposits, South Sulawesi. J. SD Gel., (I) 3: 8–11.
Van Den Berg, G.D., Azis, F., Sondaar, P.Y. dan de Vos, J. 1994. The First Stegodon
Fossils from Central Sulawesi and a new adavance elephas species from South
Sulawesi. Bull. GRDC, 17: 22–39.
Van Leeuwen, T.M. 1981. The geology of southwest Sulawesi with special reference to
the Biru area. In: Barber, A., Wiryosujono, S. (Eds.), The Geology and Tectonics of
Eastern Indonesia. Geol. Res. Dev. Cen., Special Publication, Bandung, 277–304.
Van Leeuwen, T.M. 1981. The geology of southwest Sulawesi with special reference to
the Biru area. In: A.J.Barber dan S. Wiryosayono (eds.) The geology and tectonics
of Eastern Indonesia. Geol. Res. Dev. Centre, Bandung, Spec. Publ. 2: 277–30.
Van Leeuwen, T.M., Susanto, E.S., Maryanto, S., Hadiwisastra, S., Sudijono, Muhardjo
and Prihardjo. 2010. Tectonostratigraphic evolution of Cenozoic marginal
basin and continental margin successions in the Bone Mountains, Southwest
Sulawesi, Indonesia. J. Asian Earth Sci. (38) 6: 233–254.
Van Leeuwen, T.M., Susanto, E.S., Maryanto, S., Hadiwisastra, S., Sudijono, Muhardjo
and Prihardjo. 2010. Tectonostratigraphic evolution of Cenozoic marginal
basin and continental margin successions in the Bone Mountains, Southwest
Sulawesi, Indonesia. J. Asian Earth Sci., 38: 233–254.
Van Leeuwen, T.M., Taylor, R., Coote, A. and Longstaffe, F.J. 1994. Porphyry molyb-
denum mineralization in a continental collision setting at Malala, Northwest
Sulawesi, Indonesia. J. Geoch. Expl., 50: 257–258.

Daftar Pustaka | 345


Van Leeuwen, T.M., Allen, C.M., Kadarusman, A., Elburg, M., Palin, J.M., Muhardjo,
and Suwijanto. 2006. Petrologic, isotopic, and radiometric age constraints on
the origin and tectonic history of the Malino Metamorphic Complex, NW
Sulawesi, Indonesia. J. Asian Earth Sci. 29: 751–777.
Van Leeuwen, T.M. and Muhardjo. 2005. Stratigraphy and tectonic setting of the
Cretaceous and Paleogene volcanic-sedimentary successions in northwest
Sulawesi, Indonesia; implication for the Cenozoic evolution of Western ad
Northern Sulawesi. J. Asian Earth Sci., 25:, 481–511.
Van Padang, N.M. 1939. Vulkanologisch onderzoek, Rapport over de maand Juli. Direktorat
Geologi, Bandung.
Villeneuve, M., Gunawan, W., Cornee, J-J., and Vidal, O. 2002. Geology of the central
Sulawesi belt (eastern Indonesia): constraints for geodinamic models. Int. J.
Earth Sci., 91: 524–537.
Villeneuve, par M., Cornee, J.-J., Gunawan, W., Janin, M.-C., Butterlin, J., Saint-Marc, P.,
and Samodra, H. 2000. Continental collision in the eastern arm of Sulawesi
(Indonesia). Structure and geodynamic interpretation. Centre Res. Acad. des
Scien., Paris. Sciences de la terre et des planetes 330: 371–378.
Villeneuve, par M., Cornee, J-J., Gunawan, W., Martini, R., Tronchetti, G., Janin, M-C.,
Saint-March, P., and Zaninetti, L. 2001. La succession lithostratigraphique du
bloc de Banda dans la region de Kolonedale (Sulawesi central, Indonesie). Bull.
Soc. Geol. Francee, 172: 59–68.
Villeneuve, par M., Cornee, J-J., Gunawan, W., Martini, R., Tronchetti, G., Janin, M-C.,
Saint-March, P., and Zaninetti, L. 2001. La succession lithostratigraphique du
bloc de Banda dans la region de Kolonedale (Sulawesi central, Indonesie). Bull.
Soc. Geol. Francee, 172: 59–68.
Vroon, P.Z., van Bergen, M.J., and Forde, E.J. 1996. Pb and Nd isotope constraints
on the provenance of tectonically dispersed continental fragments in east
Indonesia. In: Hall, R., Blundell, D. (Eds.), Tectonic evolution of Southeast Asia.
Geological society Special Publications. Geol. Soc. London, 445–453.
Vroon, P.Z., van Bergen, M.J., Welle Donker, S., and Sasongko, Y. 2000. Contrasting
Sr-Nd isotope signatures of arc magmas from two subduction systems below
north Sulawesi (Indonesia), IAV-CEI General Assembly 2000. Volcanological
Survey of Indonesia, Bali, Indonesia. Bandung, Indonesia, 22.
Waheed., A. 1975. Geology along the Matano fault zone, East Sulawesi, Indonesia.
Proceedings Regional Conference on the Geology and Mineralogy Resources of Southeast
Asia, 143–150.
Wahyudiono, J., dan Gunawan, W. 2011. Laporan Penelitian Struktur Geologi Cekungan
Luwuk–Banggai. Pusat Survei Geologi, tidak terbit.
Wakita, K. 2000. Cretaceous accretionary-collision complexes in central Indonesia. J.
Asian Sci. 18: 739–749.
Wakita, K., Munasri, Sopaheluwakan, J., Zulkarnain, I. and Miyazaki, K. 1994. Early
Cretaceous tectonic events implied in the time-lag between the age of radiolar-
ian chert and its metamorphic basement in Bantimala area, South Sulawesi,
Indonesia. Island Arc 3: 90–102.

346 | Geologi Sulawesi


Wakita, K., Sopaheluwkan, J., Miyazaki, K., Zulkarnain, I., and Munasri. 1996. Tectonic
evolution of the Bantimala Compex, South Sulawesi, Indonesia. In: Hall,
R., Blundell, D.J. (Eds.), Tectonic evolution of Southeast Asia. Geological Society
Special Publication. The Geological Society, London, 353–364.
Walpersdorf, A., Rangin, C., and Vigny, C. 1998. GPS compared to long-term geologic
motion of the north arm of Sulawesi. Earth Planet. Sci. Lett., 184: 272–280.
Walpersdorf, A., Vigny, C., Subarya, C., dan Manurung, P. 1998. Monitoring of the
Palu-Koro Faults (Sulawesi) by GPS. Geoph. Res. Letter, (25) 13: 2313–2316.
Waspersdorf, A., Vigny, C., Rangin, C., Bellon, H. and Priadi, B. 1997. Instantaneous and
finite kinematics in the Northern Arm of Sulawesi, Geodyssea Final Symposium,
Penang-Malaysia.
Watkinson, I. M., Hall, R., and Ferdian, F. 2011. Tectonic re-interpreation of the
Banggai-Sula—Molucca Sea margin, Indonesia. In: Hall, R., Cottam, M.A. dan
Wilson, M.E.J. (Eds), The SE Asian Gateway:History and tectonics of the Australia-
Asia collision. Geological Societ, London. Special Publication, 355: 203–224.
Weaver, C.E. 1989. Clays, Muds, and Shales. Elsevier Science Publishing Company, New
York, 819 p.
Widiasmoro, Priadi, B. dan Soeria-atmadja, R. 1997. Granitoid Neogen tipe tumbukan
di zona Sesar Palu-Koro, Sulawesi Tengah. Proc. 26nd Ann. Conv. Indon. Assoc.
Geol., Jakarta.
Wilson, M.E.J. 1995. The Tonasa Limestone Formation, Sulawesi, Indonesia: development of a
Tertiary carbonate platform. Ph.D. Thesis University of London, 520p.
Wilson, M.E.J., and Bosence, D.W.J. 1996. The tertiary evolution of South Sulawesi; a
record in redeposited carbonates of the Tonasa Limestone Formation. In: Hall,
R., Blundell, D. (Eds.), Tectonic Evolution of Southeast Asia. Special Publication.
Geological Society, London, 365–389.
Wilson, M.E.J. and Bosence, W.J. 1997. In: Fraser, A.J. dan Murphy. R.W. (eds) (1997),
Petroleum Geology of Southeast Asia. Geological Society Special Publication 126:
247–249.
Winkler, H.G.F. 1979. Petrogenesis of Metamorphic Rocks. 5th Edition. Springer-Verlag New
York Inc., 348 p.
Wiryosujono, S., and Hainim, J.A. 1978. Cainozoic sedimentaion in Buton Island. In:
Wiryosujono, S. dan Sudradjat, A. (Eds), Regional Conference Geology and Mineral
Resources Southeast Asia. Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 109–119.
Witkamp, H. 1940. Langs de Lariang rivier (West Celebes). Tijdschr. Kon. Nederl. Aardrijksk.
Genootsch. 57: 581–600.
Yulihanto, B. 2004. Hydrocarbon Play Analysis of Bone Basin, South Sulawesi.Proceedings
IPA-AAPG Deepwater and Frontier Symposium, abstract.
Yuwono, Y.S. 1987. Contribution a l’etude du volcanism potassique de l’Indonesie. Exemples du
sud-ouest de Sulawesi et du volcan Muria (Java). These de Doct. Troisieme cycle,
Univ. Bretagne Occidentale, Brest, France, Vol.I 285p, Vol.II 166p.
Yuwono, Y.S. 1988. G. Lompobatang, Sulawesi Selatan, petrologi dan mineralogi. Proc.
17th Ann. Conv. Indon. Geol. (IAGI).
Yuwono, Y.S. 1989. Petrologi dan mineralogi Gunung Lompobatang, Sulawesi Selatan.
M.Geol. Indon., (1) 1: 483–509.

Daftar Pustaka | 347


Yuwono, Y.S., Digdowirogo, S., Cotten J., Bellon, H. and Priadi, B. 1995. Petrology of
some magmatic rocks from North Sulawesi, Indonesia. Jur. Teknologi Min., (3)
II: 21–32
Yuwono, Y.S., Maury, R.C., Soeria-Atmadja, R., and Bellon, H. 1988. Tertiary and
Quaternary evolution of South Sulawesi: constaint from the study of volcanic
units. M.Geol. Indon., 13: 32–48.

348 | Geologi Sulawesi


DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

Prof. Ris. Dr. Ir. Surono, M.Sc. lahir di Desa


Gaden, sebuah desa kecil di Kecamatan Mojoge-
dang, Karanganyar, Solo pada 19 November 1948.
SMP dan SMA dia tamatkan di Sragen, kemudian
melanjutkan S1 di Jurusan Teknik Geologi, UGM
dan tamat 1977. Master (1990) dan Ph.D. (1994)
diperolehnya dari University of Wollongong, Australia.
Setamat Sarjana Muda tahun 1974 sampai sekarang,
Surono bekerja di Subdit Perpetaan, Direktorat
Geologi, (sekarang bernama Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Ke-
menterian Energi dan Sumber Daya Mineral) di Bandung. Sebagai Profe-
sor Riset, dia telah menulis sekitar 65 makalah, yang dipublikasikan dalam
berbagai majalah ilmiah di dalam dan luar negri, dan sebanyak 15 buku
telah diterbitkannya. Sebagian besar tulisannya bertemakan sedimentologi
dan stratigrafi. Di samping tugas utamanya, Surono juga sebagai dosen
S2 (Sedimentologi), Fakultas MIPA, UI (1996–2010), pembimbing dan
penguji mahasiswa S1, S2, dan S3 di berbagai perguruan tinggi negri; serta
sebagai editor di berbagai jurnal ilmiah di Indonesia.

Dr. Drs. Rab Sukamto (APU), dilahirkan di


Peng­­­­ging, Boyolali di kaki timur G. Merapi, Jawa
Tenga­h, 12 Agustus 1936. Pendidikan dasarnya
ia jalani di Pengging, dan SMP dan SMA di Kota
Solo dan tamat SMA pada pertengahan tahun
1955. Kursus Ahli Praktek Geologi dan Tambang
ia ikuti di Bandung, dan selesai pada tahun 1958.
Sarjana geologi (S1) diperoleh dari Universitas Padjadjaran (1968), dan
Doktor (S3) dari ITB (1986). Sejak 1958, ia diangkat sebagai asisten
geologi pada Djawatan Geologi. Karier jabatan strukturalnya, mulai dari
Eselon IV hingga Eselon II (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi) hingga tahun 1992. Setelah selesai menjabat Kepala Pusat, ia jadi
peneliti sampai pensiun pada 2000 sebagai Ahli Peneliti Utama (APU).
Berbagai makalah terbit antara lain makalah dan buku geologi ekonomi,
geologi umum, dan tektonika yang diterbitkan di dalam dan luar negeri.

349
Ir. Nana Ratman, lahir di Bandung pada tanggal
2 Juni 1941. Setelah lulus dari SMA, ia kemudian
melanjutkan pendidikan pada jurusan Teknik Geologi
ITB, Bandung dan lulus pada tahun 1972. Sejak itu
ia mulai bekerja di Direktorat Geologi (kemudian
bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Geo­
logi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral)
sampai pensiun tahun 2006. Ia mulai meniti karier pejabat struktural dari
eselon IV sampai eselon III, dan kemudian menjadi pejabat fungsional
sampai jenjang Ahli Peneliti Utama (APU).

Dr. Ir. Bambang Priadi DEA lahir di Malang 29


Februari 1960, dan menyelesaikan SD, SMP, dan
SMA di Malang. Ia lulus S1 (1985) dari Jurusan
Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB),
S2 (1989) dari Université de Bretagne Occidentale
(Brest, Perancis) dan S3 (1993) dari Université Paul
Sabatier (Toulouse, Perancis). Sejak 1993 sampai
sekarang sebagai dosen di almaternya (ITB) menga-
jar berbagai mata kuliah, di antaranya geokimia dan
petrologi. Bidang penelitiannya terfokus pada magmatisme dan mineral-
isasi. Publikasi ilmiahnya tersebar di berbagai jurnal ilmiah di dalam dan
luar negri dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Perancis. Banyak seminar
ilmiah international di bidangnya telah diikuti di berbagai negara.

Dr. Ir. Haryadi Permana DEA, yang lahir di


Cirebon 21 September 1960, lulus S1 (1986) dari
ITB, S2/DEA (1995) dari DEA (Marin Geosci-
ences: ophiolites), Universitas Bretagne Occiden-
tale, (UBO, Brest) Perancis; dan S3 (1998) dengan
peringkat sangat terpuji di bidang Geologi dari
Nantes University, Perancis. Sejak lulus dari ITB ia
bekerja di Pusat Penelitian Geoteknologi, LIPI dan
sejak 2011 ditunjuk sebagai Kepala Pusatnya. Di
samping tugas hariannya ia juga menjadi anggota
Dewan Maritim Indonesia sampai sekarang serta membimbing/menguji
tugas akhir mahasiswa S1, S2, dan S3 di banyak perguruan tinggi negeri.

350 | Geologi Sulawesi


Pengalaman risetnya di bidang geologi dan geofisika (banyak mendapatkan
grant dari berbagai instansi) terutama di bawah laut, mencakup hampir
seluruh wilayah Indonesia. Publikasi makalah ilmiahnya telah dipublikasi-
kan diberbagai jurnal, demikian juga ia telah mengikuti seminar ilmiah di
berbagai pertemuan ilmiah di dalam dan luar negri.

Dr. Drs. Sardjono, M.Sc. lahir di Sragen 6 Juli


1951. SR, SMP dan SMA dia tamatkan di Sragen
hingga 1970. Lulus S1 Fisika ITB pada tahun
1978. Diterima sebagai pegawai negeri sipil pada
Departemen Pertambangan pada tahun 1977, di-
tempatkan pada Seksi Geofisika, Direktorat Geo­
logi Bandung. Pada tahun 1982, ia mendapat tugas
belajar untuk jenjang S2 Geofisika Eksplorasi di
Department of Geology and Geophysics, University of
New England, Armidale NSW, Australia, lulus tahun
1986. Pada tahun 1992, ditugaskan belajar untuk jenjang S3 Geofisika
Eksplorasi di Department of Geological Sciences, University College London,
University of London, Inggris, lulus tahun 1996. Sejak itu, bekerja kembali
di Bidang Geofisika, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi yang
kemudian berganti nama menjadi Pusat Survei Geologi. Purnabakti pada
tahun 2007 dan beralih sebagai Praktisi Geofisika Eksplorasi hingga
sekarang.

Ir. Sidarto, M.Si. dilahirkan di Klaten, 14 Okto­


ber 1955. Memperoleh Sarjana (S1) pada dari
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM;
dan Sarjana (S2) dari Fakutas Teknik Geologi,
Universitas Padjadjaran. Bidang inderaan jauh
untuk struktur geologi dan tektonik merupakan
bidang yang ditekuninya. Sejak bekerja di Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi (sekarang
Pusat Survei Geologi); dan sekarang sebagai Ahli
Peneliti Utama bidang inderaan jauh geologi. Penulis telah melakukan
interpretasi geologi citra inderaan jauh hampir seluruh wilayah Indonesia;
menerbitkan puluhan makalah yang umumnya berkaitan dengan struktur
geologi inderaan jauh dan aplikasinya. Di samping itu, penulis telah

Daftar Riwayat Hidup Penulis | 351


melakukan dan memimpin kolaborasi penelitian dengan berbagai pakar
kebumian dari dalam dan luar negeri; melakukan berbagai bantuan teknis
dengan berbagai perusahaan baik domistik maupun asing; dan memberi
kuliah dan membimbing tugas akhir S1 Fakultas Teknik Geologi Univer-
sitas Padjadjaran.

Dr. Ir. Syaiful Bachri, M.Sc. dilahirkan di Bantul


pada 24 April 1957. Menamatkan pendidikan sarja-
na (S1) di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1983). Pada
tahun 1991 penulis memperoleh gelar Master of
Science dari Fakultas Geological Survey, di International
Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC),
Enschede, Belanda. Selanjutnya, pada tahun 2006
memperoleh gelar doktor dalam bidang geologi dari
Universitas Padjadjaran, Bandung. Setelah lulus S1 bergabung dengan
Pusat Survei Geologi (dulu bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi), Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
sampai sekarang. Sebagai Peneliti Utama, karya ilmiahnya sebagian besar
bertemakan tektonik dan struktur geologi, serta sedimentologi–stratigrafi.
Penulis saat ini memiliki jabatan fungsional sebagai Peneliti Utama.

352 | Geologi Sulawesi

Anda mungkin juga menyukai