Anda di halaman 1dari 8

ARTIKEL

BERKEBUDAYAAN MALU (SHAME CULTURE)


Keberhasilan Negara Korea Selatan merupakan satu bukti nyata bahwa rasa “malu
dan dendam” dapat dijadikan motivasi kemajuan. Pemerintah dan Masyarakat Korsel berhasil
mengeksplorasi rasa malu dan dendam menjadi sebuah motivasi untuk mengungguli negara
dan bangsa lain, termasuk negara yang selama puluhan tahun pernah menjajahnya. Tulisan ini
pada akhirnya ingin mempertanyakan, “Mengapa rasa “siri” dan “pacce” tidak bisa kita
jadikan motivasi, spirit atau energi untuk melakukan kerja keras, perubahan positif,
percepatan pembangunan dan lompatan kemajuan ? Padahal kita semua tahu, “siri na pacce”
merupakan bagian dari kebudayaan kita.

Korea merupakan negara yang pernah dijajah Bangsa Jepang sejak akhir Abad XVI.
Selama enam tahun tentara Jepang dengan dipimpin Hideyoshi Toyotomi, untuk pertama
kalinya menjajah Korea, yang ketika itu masih berupa Kerajaan Joseon Lama. Namun,
penjajahan selama enam tahun itu belumlah menabur dendam bagi Korea, karena ketika itu
Korea praktis belum terbentuk. Penjajahan Jepang yang menyakitkan bagi Korea adalah
penjajahan yang terbentang antara tahun 1910 – 1945. Ketika itu, Jepang kembali ingin
menunjukkan dominasinya dalam hal aneksasi, sekaligus eksploitasi ekonomi.
Bangsa Korea harus tunduk pada Kaisar Jepang. Menggunakan bahasa Korea dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk merupakan larangan keras. Sekolah-sekolah diwajibkan
menggunakan Bahasa Jepang, dan orang Korea harus mengadopsi nama Jepang. Invasi
Jepang selama 35 tahun di Semenanjung Korea itu mengakibatkan kehancuran dan porak
poranda yang luar biasa, di segenap aspek kehidupan Bangsa Korea. Standar hidup Bangsa
Korea menurun drastis. Tidak ada angka resmi berapa ribu korban jiwa yang jatuh dipihak
Korea, tetapi disebut-sebut selama 35 tahun penjajahan itu, lebih dari 100.000 perempuan
Korea dipaksa melayani nafsu seksual tentara Jepang.

Selain kehancuran sosial, ekonomi dan fisik, invasi Jepang itu juga mengakibatkan
perebutan kepemimpinan antar Bangsa Korea sendiri setelah hengkangnya Jepang dari
“Daratan Pagi yang Tenang” itu. Koreapun terbagi menjadi dua, Korea Utara (Korut) dan
Korea Selatan (Korsel). Selama tiga tahun, antara tahun 1950 – 1953, Korut dan Korsel
terlibat perang saudara memperebutkan kepemimpinan. Barulah selepas tahun 1953, Korsel
bisa mulai membenahi puing – puing perekonomian, pendidikan, sosial serta aspek-aspek
lainnya, serta bangkit sebagai bangsa yang memiliki kedaulatan.
Berlalunya tahun – tahun itu, tidak sedikitpun mengikis dendam Korea Selatan
terhadap Jepang, walaupun secara diplomatis kedua negara mencanangkan berbagai
perjanjian dan kerjasama. Dendam yang besar itu menjadi energi luar biasa bagi Korsel untuk
menyaingi Jepang yang pernah menjajah dan mendzaliminya. Kini setelah lebih dari setengah
abad merdeka, Korsel mulai memetik buah dari jerih payahnya membangun kembali bangsa
yang pernah diporak-porandakan penjajah. Hasil paling nyata dapat dilihat pada industri
manufaktur yang berbasis teknologi.

Pada dekade tahun 1960 dan 1970, Korsel hanya dapat meniru produk-produk Jepang.
Pada tahun 1972 Pemerintah Korsel melancarkan gerakan “Sae Maul Undong” sebagai upaya
menggenjot percepatan pembangunan dan kemajuan Korea. Gerakan mobilitas nilai budaya
untuk kemajuan yang disebut “Sae Maul Undong” (sae = desa, maul = baru, Undong =
gerakan) yang dilancarkan para pemimpin yang mengutamakan ‘learning by doing’, yaitu
langsung bekerja ditengah-tengah rakyat dan memberi contoh hidup sederhana dan disiplin.
Pemerintahnya menyadari bahwa mereka tidak mempunyai kekayaan alam yang bisa
diandalkan, penduduknya padat, wilayahnya bergunung – gunung, musim dingin yang
panjang, serta cuaca buruk.

Pembangunannya berhasilnya merubah desa menjadi kota, berhasil merubah kegiatan


pertanian yang seadanya menjadi raksasa industri yang patut diperhitungkan. Hanya dalam
waktu satu dekade, Korsel sudah menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Revolusi mental
dan sikap untuk maju itu telah menunjukkan bukti nyata menjadikan Korsel sebagai salah
satu raksasa negara industri di Asia. Dimulai pada era tahun 1980-an, Korsel mulai
memfokuskan diri pada penelitian dan pengembangan (research and development). Pada
tahun 1982 dicapailah hasil gemilang. Dalam waktu selama 10 tahun pendapatan perkapita
rakyat melejit dari US $ 82 naik menjadi US $ 2.000,- yang 4 tahun kemudian mencapai lebih
dari US $ 5.000,- (T.Hutagalung Simanungkalit, 1983). Bisa dibayangkan, berapa besar
pendapatan perkapita rakyat Korsel saat ini. Diliputi dendam besar yang memanivestasi
menjadi motivasi, masyarakat Korsel rata-rata menjalani 10 jam kerja setiap hari kerja, dari
pukul 8.00 hingga pukul 18.00. Selanjutnya, mulai era tahun 1990-an Korsel mulai menjadi
ancaman serius bagi industri Jepang.

Pesatnya kemajuan industri Korea tidak lepas dari sikap mental masyarakat Korsel
dalam bekerja yang mengacu kepada tiga tujuan. Tujuan pertama, mereka bekerja untuk
bangsa dan negara. Tujuan kedua, mereka bekerja untuk perusahaan yang menggaji mereka.
Tujuan ketiga, setelah tujuan pertama dan kedua terpenuhi, barulah mereka bekerja untuk diri
mereka sendiri. Mereka merasa malu jika sebagai warga negara belum memberikan
sumbangsih dan kontribusi positif bagi kemajuan negaranya. Sebaliknya kita di Indonesia,
justru yang menamakan dirinya abdi negara dan abdi masyarakat, yang menghancurkan
sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi dengan praktek KKN yang merajalela. Masyarakat
yang berharap dapat diperjuangkan oleh Anggota DPR yang telah dipilihnya, malahan “sibuk
dengan gayanya sendiri”.

Nasionalisme orang Korea memang amat tinggi. Semua orang di Negara “Daratan
Pagi Yang Tenang” itu memakai produk dalam negeri, dari makanan, sepatu, produk-produk
elektronik, hingga produk-produk otomotif. Tidak ada paksaan dari pemerintah, tetapi kalau
tidak memakai produk Korea, mereka akan malu sendiri. Restoran Mc Donalds terseok-seok
bersaing dengan restoran lokal, Lotteria. Empat pemuda tampan asal Taiwan yang tergabung
dalam kelompok F4, sama sekali tidak dikenal disana. Yang nama dan gambarnya ada
dimana-mana adalah artis remaja Wun Bin. Di Indonesia, justru menjadi bangga jika sudah
memakai produk-produk luar negeri. Remaja-remaja kita justru merasa hebat jika sudah dapat
menyanyikan lagu-lagu barat dan setiap saat bisa gonta-ganti HP (buatan Jepang dan Korea).
Jangan heran, karena perilaku itu memang dicontohkan oleh para pemimpin dan wakil rakyat
di negeri ini.

Di rumah – rumah orang Korea tidak ada produk elektronik bermerek Sony, Toshiba,
Elektrolux, ataupun Philips. Yang ada hanya dua merek, yakni LG dan Samsung. Di jalan-
jalan dan subway, tidak ada satupun telepon genggam Nokia yang menggantung di dada
anak-anak muda yang doyan menguyah permen karet itu, melainkan berbagai merek lokal.
Dari 100 mobil yang anda jumpai di jalan-jalan, belum tentu ada satu mobil merk Toyota atau
Honda, atau mobil-mobil Erofah. Yang akan anda lihat, dari bus sampai mobil sport dan
sedan mewah, hanyalah melulu merk KIA, Hyundai, Daewoo dan Ssangyong. (Laporan
Kompas).

Korea sangat dendam pada Jepang, dan dendam kepada Jepang itulah yang juga
menjadi pemicu semangat untuk bisa menyaingi dan melebihi Jepang dalam segala hal.
Dilandasi kesadaran tinggi dulunya tidak memiliki produk unggulan berorientasi ekspor,
dipicu pula oleh dendam terhadap Jepang yang harus diakui telah mendominasi Asia dalam
hal ekonomi dan industri, Korsel bergerak amat dinamis dengan semboyannya “Dynamic
Korea”. Bidang industri dianggap sebagai indikator utama keberhasilan Korea menyaingi
Jepang. Masyarakat Korsel menyadari, tidak semua industri negara tersebut unggul atas
Negara Jepang. Namun, beberapa raksasa industri Korsel sudah membuktikan hal itu.
Korselpun mampu mempermalukan Jepang dalam bidang Olahraga. Sejak tahun 1986, Pada
Asian Games X di Seoul hingga saat ini, Korsel sudah berhasil membungkam Jepang. Sejak
Asian Games X hingga Asian Games XIII Bangkok 1998, Korsel langganan menempati
urutan kedua dalam perolehan medali keseluruhan, sedangkan Jepang selalu berada di urutan
ketiga. Sebelumnya, dari Asian Games I New Delhi 1951 sampai Asian Games VIII Bangkok
1978 Jepang selalu menempati urutan teratas dalam perolehan medali. Selanjutnya, mulai
Asian Games IX New Delhi 1982 hingga saat ini posisi juara umum diambil oleh China, yang
juga punya dendam sejarah berdarah terhadap Jepang. Pada Asian Games IX itu Jepang
masih berada di urutan kedua, sebelum tergusur oleh Korsel sejak Asian Games X Seoul
1986 hingga saat ini. (Kompas).

Ratusan ribu kilometer di barat daya Semenanjung Korea ada sebuah Negara yang
350 tahun dijajah oleh Belanda dan tiga setengah tahun dijajah oleh Jepang. Negara tersebut
mengalami kerusakan akibat penjajahan yang tidak kalah hebat dengan Korea, dan merdeka
dua hari saja setelah Korea merdeka. Namun terhadap Negara tersebut, Indonesia tercinta kita
ini, mengeksplorasi rasa malu dan dendam menjadi motivasi adalah hal yang amat futuristis.
Malu dalam terminologi Bugis Makassar berarti siri’. Dalam ukuran nilai, siri’ banyak
dipahami sebagai “kehormatan atau harga diri”. “Appaenteng siri’ dapat diartikan
menegakkan harga diri. Andai saja, masyarakat dan pemerintah dapat mengeksplorasi rasa
malu (menegakkan kehormatan dan harga diri) menjadi sebuah tantangan sekaligus peluang
untuk mengejar kemajuan sebagaimana yang telah dicapai oleh negara dan bangsa lain, tak
mustahil Indonesia bisa menjadi lebih maju dibandingkan Korsel. Hanya orang yang tidak
punya rasa malu, tidak punya harga diri yang dapat melakukan korupsi. Sayangnya, Rezim
berganti rezim tidak pernah membawa perubahan kemapanan sosial dan kemandirian
ekonomi. Salah satu sebabnya mungkin karena pejabat pemerintahnya terlalu doyan korup
dan wakil rakyatnya di parlemen doyan berantem sendiri.

Rasa nasionalisme kita, nanti bangkit kalau wilayah negara diusik dan akan direbut,
baru bersorak-sorai menyatakan perang dan ganyang. Sementara, yang terjadi sebenarnya
setiap hari kita diserang melalui serbuan kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi, perang
pemikiran, sekularisme pendidikan, budaya “westlife” dan industri media, hiburan, seni dan
mode (fashion). Masyarakat dan Pemerintah Indonesia seperti lupa bercermin dari Sejarah
dan melupakan nilai-nilai luhur budayanya. Kalau Siri’ merupakan taruhan harga diri, maka
harga diri tersebut harus diangkat melalui kerja keras, berprestasi, berjiwa pelopor, dan
senantiasa berorientasi keberhasilan. Harga diri terangkat atas dukungan rasa Pesse (Bugis)
atau Pacce (Makassar), yaitu solidaritas terhadap orang lain sebagai partisipasi sosial.
(kepedulian sosial/kesetiakawanan sosial). Sayangnya, rakyat dan pemerintah Indonesia
hanya bisa melaksanakannya hanya sebatas jargon dan slogan. Mari membenahi diri untuk
melakukan perubahan yang lebih baik. Kalau kita tidak bisa menjadi lebih baik dibandingkan
hari kemarin, maka tidak hanya bisa menjadi “malu”, tapi bisa menjadi malu-maluin. Tabe’.
Mariki di ’ .

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2005. Berkebudayaan Malu (Shame Culture). Surat Kabar Umum
(SKU) Pangkep Post, Edisi Agustus 2005.
Mengintegrasikan Kearifan Budaya Lokal Khususnya Budaya Siri’ Na Pacce dalam Dunia
Perpajakan

Penulis : Ahmad Akbar

Kebudayaan merupakan unsur penting bagi sebuah bangsa. Identitas suatu bangsa dapat
dilihat dari sejarah kebudayaannya. Ini dilihat dari berbedanya budaya antar suatu bangsa
dengan bangsa lain yang menampakkan ciri khas dan keunikan tersendiri. Bangsa yang besar
adalah bangsa yang menghargai sejarah kebudayaannya. Indonesia adalah suatu negara
dengan kebudayaan yang sangat kaya dan variatif. Sejarah kebudayaan bisa kita pelajari dari
naskah yang diwariskan. Dengan perjalanan waktu dan zaman banyak peninggalan bersejarah
yang hilang, rusak bahkan terlupakan.

Selain itu, dengan melihat kondisi bangsa seperti sekarang, iklim berbudaya nyaris terlupakan
dengan munculnya permasalahan bangsa di beberapa aspek kehidupan. Apalagi dalam situasi
perekonomian, masalah korupsi, kolusi dan nepotisme. Kosentrasi masyarakat lebih terfokus
berpolitik, supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), perekonomian global daripada
berbicara melestarikan sejarah dan budaya bangsa. Oleh karena itu, mengintegraikan nilai
budaya ke dalam pengelolaan dan pengembangan pilar utama pembangunan ekonomi
nasional, yakni perpajakan merupakan hal yang patut diperhatikan.

Direktorat Jenderal Pajak mendapatkan perhatian yang tinggi dan sorotan tajam dari
masyarakat atas kasus korupsi yang berulang kali terjadi pada lembaga tersebut. Contoh
sejumlah kasus mafia pajak yang mencuat dalam dua tahun terakhir yang menyita perhatian
publik di antaranya:

1. Gayus Tambunan (mantan pegawai Ditjen Pajak) dengan kasus penyalahgunaan


wewenang saat menangani keberatan pajak Rp. 570,92 juta. Memiliki rekening dengan dana
Rp. 25 miliar. Jumlah dana dan transaksi tidak sesuai dengan pekerjaannya. Gayus divonis
dengan hukuman 7 tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan (19/1/2011).

2. Bahasyim Assifie (mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII)
dengan kasus menerima Rp 1 miliar dari wajib pajak dan pencucian uang atas harta Rp 60,82
miliar dan USD 681.000. Memiliki dana hingga Rp 70 miliar di rekening pribadi. Jumlah
dana transaksi tidak sesuai dengan pekerjaannya. Bahasyim divonis dengan hukumanc10
tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan (3/2/2011).

3. Dhana Widyarmika (mantan pegawai Ditjen Pajak) dengan kasus menerima gratifikasi Rp
2,75 miliar dari PT Mutiara Virgo. Dhana Widyarmika terbukti memiliki 12 rekening di 7
bank dengan aliran dana hingga Rp 97 miliar pada salah satu rekening. Sejumlah aliran dana
bersumber dari tiga wajib pajak. Dhana Divonis dengan hukuman 7 tahun penjara oleh
Pengadilan Tipikor (9/11/2012).

4. Tommy Hindratno (mantan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Sidoarjo) dengan kasus menerima Rp 280 juta terkait restitusi pajak PT Bhakti
Investama,Tbk. Transaksi dilakukan di sebuah rumah makan di Tebet, Jakarta. Uang suap
sebesar Rp 280 juta. Tommy Hindratno divonis dengan hukuman 3,5 tahun penjara oleh
Pengadilan Tipikor Jakarta (18/02/2013).
5. Pargono Riyadi (Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Direktorat Jenderal Pajak) dengan kasus
melakukan pemerasan kepada wajib pajak dengan nilai ratusan juta rupiah. Transaksi
dilakukan di Stasiun Gambir, kurir menyerahkan uang Rp 25 juta yang dibungkus tas plastik
di lorong stasiun. Proses hukuman masih berjalan (10/4/2013)

6. Eko Darmayanto dan Mohamad Dian Irwan (penyidik di Direktorat Jenderal pajak pada
kantor Wilayah Jakarta Timur) dengan kasus menerima uang SGD 300.000 atau sekitar Rp
2,3 miliar dari PT The Master Steel dalam operasi tangkap tangan pegawai pajak di halaman
terminal III Bandara Soekarno Hatta (15/05/2013). Proses hukum masih berjalan.

Terakhir, penetapan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sebagai tersangka pada kasus keberatan pajak PT BCA menjadi penambah
fakta empiris terkini atas asumsi bahwa patgulipat antara wajib pajak dan aparat pajak masih
banyak dipraktikkan. Kasus itu juga menegaskan kembali modus yang sudah diyakini
kebenarannya bahwa pengemplangan dan penggelapan pajak bisa terjadi hanya karena orang
dalam ikut berperan serta secara aktif dalam membantu upaya busuk itu. Hadi Poernomo
yang menjabat Dirjen Pajak periode 2002-2004 bersama-sama dengan pihak BCA diduga
merugikan negara Rp 375 miliar.
Citra pengelolaan perpajakan yang mulai memburuk diakibatkan kasus-kasus mafia pajak
dapat memengaruhi kepatuhan rakyat untuk membayar pajak. Kalau pemimpin nomor satu
pada institusi pengumpul pajak saja memiliki kinerja yang demikian sarat dengan moral
hazard, bagaimana dengan aparat pajak di bawahnya dalam menjalankan tugas sehari-hari ?
Tidaklah adil bila kita menggeneralisasi kasus Hadi Poernomo itu dengan asumsi bahwa
semua aparat pajak ialah penilap. Kita yakin bahwa masih ada aparat pajak yang bersih dan
jujur. Kita pun percaya bahwa aparat pajak yang baik jauh lebih banyak daripada yang busuk.

Manajemen pengelolaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini hanya sebatas
pengelola. DJP tidak menerima uang pajaknya karena uang pajak langsung disetor lewat
Bank sesuai dengan nilai SPT wajib pajak, jadi dari mekanisme ini sangat meminimalisir
adanya celah pengkorupsian uang pajak oleh oknum pegawai pajak lagi.
Jika diamati perkembangannya, berbagai tantangan dalam perkembangan perpajakan ke
depan yang akan semakin kompleks menghadapkan kita untuk mengoptimalkan potensi
kearifan budaya lokal khususnya budaya siri’ na pacce yang terintegrasi di dalam
pengelolaan dan pengembangan perpajakan. Budaya malu atau lebih dikenal dengan
budaya siri’ na pacce di Sulawesi Selatan yang sebenarnya telah mendarah daging dan
menjadi falsafah hidup Bugis Makassar. Namun pada saat ini, masyarakat lebih cenderung
mengikuti budaya modernitas yang mengarah ke sifat pragmatis dalam berusaha termasuk
juga di dalamnya melupakan perpajakan yang memiliki visi untuk dapat mewujudkan
kesejahteraan umum.
Falsafah hidup siri’ na pacce ini mengandung makna yang sangat dalam. Siri’, menurut pakar
ilmu sejarah dan budaya yakni Prof. Mattulada, mengajarkan tentang moralitas kesusilaan
yang berupa anjuran, larangan, hak, dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia
untuk menjaga dan mempertahankan kehormatan diri. Solusi dalam pengelolaan dan
pengembangan perpajakan yang berhubungan langsung dengan peningkatan profesionalisme
dan manajemen perpajakan ini sangat sejalan dengan kondisi masyarakat yang ada di
Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan terutama masyarakat Makassar yang memiliki
falsafah hidup, yaitu budaya siri’. Nilai budaya dan falsafah budaya siri’ ini juga dapat
menjadi suatu kearifan lokal (local wisdom) bagi masyarakat Makassar, karena ia mampu
berfungsi sebagai problem solving dalam setiap masalah yang muncul, salah satunya
mengenai pengelolaan dan pengembangan perpajakan yang mengandung unsur korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang dapat memperburuk citra perpajakan.
Dengan memahami makna dari siri’ dan pacce’, ada hal positif yang dapat diambil sebagai
konsep pembentukan hukum nasional, dimana dalam falsafah ini betapa dijunjungnya nilai-
nilai kemanusiaan – berlaku adil pada diri sendiri dan terhadap sesama – bagaimana hidup
dengan tetap memperhatikan kepentingan orang lain. Membandingkan konsep siri’ dan
pacce’ini dengan pandangan keadilan Plato (428-348 SM) yang mengamati bahwa justice is
but the interest of the stronger (keadilan hanya merupakan kepentingan yang lebih kuat),
maka konsep lokal lebih bernilai humanis dan universal.
Oleh karena itu, pengelolaan dan pengembangan perpajakan dengan mengoptimalkan potensi
kearifan budaya lokal khususnya budaya siri’ yang terintegrasi akan memberikan kesadaran
untuk mengatasi lunturnya nilai-nilai budaya serta nilai-nilai dan semangat perperpajakan
yang berusaha untuk mewujudkan dan mengambangkan perekonomian nasional untuk
terwujudnya kesejahteraan sosial. Budaya siri’ ini menjadi solusi efektif untuk menyelesaikan
berbagai persoalan yang timbul akibat perubahan zaman yang mendera setiap pelosok dunia.
Kesadaran mengenai pentingnya membayar pajak serta pengelolaan perpajakan yang didasari
dengan falsafah hidup budaya siri’ na pacce, maka partisipasi dan kontribusi aktif dari
masyarakat dalam dunia perpajakan menjadi hal yang akan terus digalakkan bersama.
Dengan adanya siri’ na pacce dalam diri setiap lapisan masyarakat melalui sosialisai dan
pembinaan yang berkelanjutan dari Direktorat Jenderal Pajak maupun institusi pendidikan
yang ada, maka masyarakat akan merasa malu bila tidak bisa berkontribusi maksimal dalam
terwujudnya Indonesia yang sejahtera termasuk di dalamnya berkontribusi aktif dngan
membayar pajak dalam terwujudnya cita-cita mulia perpajakan untuk berperan serta secara
aktif dalam upaya meningkatkan distribusi pendapatan demi terwujudnya kesejahteraan
masyarakat. Kemajuan dunia perpajakan akan mengokohkan perekonomian rakyat sebagai
dasar kekuatan dan ketahanan perkonomian nasional. []

Anda mungkin juga menyukai