Anda di halaman 1dari 15

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN JURNAL

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

MONOTERAPI KRIM KETOKONAZOL 2% TOPIKAL SECARA


SIGNIFIKAN MEMPERBAIKI JERAWAT PADA PEREMPUAN DEWASA:
DOUBLE-BLIND DAN RANDOMIZED PLACEBO-CONTROLLED TRIAL

PENYUSUN :
Meildy Susanty Samuddin, S.Ked
K1A1 15 025

PEMBIMBING :
dr. Shinta N. Barnas, M.Kes., Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Meildy Susanty Samuddin, S.Ked

NIM : K1A1 15 025

Judul : Monoterapi Krim Ketokonazol 2% Topikal Secara Signifikan


Memperbaiki Jerawat pada Perempuan Dewasa: Double-blind dan
Randomized placebo-controlled trial

Bagian : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Fakultas: Kedokteran

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo pada
Januari 2020.

Kendari, Januari 2020

Pembimbing

dr. Shinta N. Barnas, M.Kes., Sp.KK

2
Monoterapi Krim Ketokonazol 2% Topikal Secara Signifikan Memperbaiki
Jerawat pada Perempuan Dewasa: Double-blind dan Randomized placebo-
controlled trial

Nacha Chotttawornsak, Yuda Chongpison, Pravit Asawanonda, Chanat


Kumtornrut
Abstrak

Munculnya resistensi bakteri merupakan krisis global. Penggunaan


antibiotik dalam waktu lama terutama pada jerawat adalah salahsatu masalah yang
menjadi perhatian pada dermatologis. Krim Ketokonazol (KTZ), sebuah
antifungal topikal dengan anti inflamasi dan anti androgenik, dapat menurunkan
aktivitas lipid pada Cutibacterium acnes in vitro. Kami mengevaluasi efisiensi
dan keamanan KTZ 2% dan krim plasebo dua kali sehari selama 10 hari. Kami
menilai peningkatannya keparahan klinis, diukur melalui skor derajat AFA dinilai
oleh peneliti dan peserta, dan perubahan jumlah akne. Empat puluh satu peserta
dalam penelitian kami. Proporsi peserta dengan perbaikan jerawat dari baseline
(42,9% dibandingkan 9,5%, p = 0,015) dan tingkat keberhasilan (45,0%
dibandingkan 14,3%, p = 0,043) pada kelompok KTZ adalah signifikan. Secara
signifikan lebih tinggi dari pada kelompok plasebo. Efek samping yang paling
umum adalah kekeringan dan gatal. Persentase perubahan jumlah jerawat
menurun secara signifikan dibandingkan dengan baseline tetapi tidak berbeda
secaa statistik antara kedua kelompok (P = 0,268). Kami menyimpulkan bahwa
monoterapi KTZ menunjukkan efek dapat memperbaiki AFA dengan profil
keamanan yang sangat baik. Ini harus dipertimbangkan sebagai pilhan yang layak
untuk perawatan AFA ringan.

PENDAHULUAN

Semakin banyak bukti resistensi antibiotik adalah perhatian utama di


seluruh dunia. Dermatologis termasuk diantara yang paling umum meresepkan
antibiotik di AS, dan acne vulgaris (AV) adalah indikasi paling umum.

3
Akibatnya, penggunaan antibiotik sangat dianjurkan di beberapa pedoman selama
beberapa tahun terakhir.

Bersama dengan kolonisasi Cutibacterium Acnes, mikroba Dysbiosis,


khususnya Malazessezia spp, telah diakui sebagai faktor penting dalam
patogenesis jerawat pada AV. Studi menunjukkan bahwa jumlah Malassezia spp,
terkait untuk AV, terutama tipe inflamasi.

Prevalensi jerawat wanita dewasa (AFA), yang mendominasi pada wanita


usia lebih dari 25 tahun, baru-baru ini mengalami peningkatan. Sifat kronik dan
berulang AFA berkontribusi pada peningkatan risiko resistensi antibiotik yang
diberikan pada jangka panjang dan berkelanjutan sering diperlukan.

Saat ini, pengobatan AFA sering termasuk adapalene dengan benzoyl


peroxide, yang berhubungan dengan iritasi kulit dan tidak mengatasi Malassesia
dysblosis. Krim ketokonazol (KTZ), salahsatu obat antijamur imidazol yang biasa
digunakan, dengan efek inflamasi dan aktivitas antiandrogenik adalah perawatan
efektif untuk gangguan kulit terkait Malassezia seperti dermatitis seboroik yang
sering menjadi komorbiditas dengan jerawat. Selain itu, study in vitro
menunjukkan bahwa KTZ menghambat pertumbuhan Cutibacterium Acnes dan
bekerja melawan isolat yang kebal antibiotik. Ini bisa terjadi dari aktivitas
antilipase nya.

Unutk menunjukkan kemanjuran dan keamanan KTZ pada AFA, kami


melakukan uji klinis acak terkontrol plasebo di antara orang Thailand dengan
AFA ringan.

METODE

Metode yang digunakan yaitu random, double-blind, placebo-controlled,


studi paralel di sebuah pusat perawatan tersier, King Chulalongkorn Memorial
Hospital, Thailand, dari Agustus 2017 sampai Desember 2018. Studi ini dilakukan
dalam perjanjian dengan prinsip-prinsip Deklarasi Helsinki dan disetujui oleh The
Institutional Review Board Fakultas Kedokteran, Universita Chulalongkon,

4
Thailand (protokol no. 317/60). Semua peserta memberikan persetujuan tertulis
sebelum mereka mendaftar dalam penelitian ini. Persetujuan informasi tambahan
adalah diperoleh dari subjek yang fotonya termasuk dalam artikel ini. Uji klinis
menggunakan nomor registrasi adalah NCT03178994. Standar konsolidasi uji
coba pelaporan daftar periksa diikuti untuk naskah ini.

Perhitungan ukuran sampel dilakukan dengan power setidaknya 80% dan


tingkat signifikan 0,05 untuk mendeteksi rata-rata perbedaan jumlah jerawat total
40 antara kedua kelompok, menyesuaikan kerugian 15% untuk ditindaklanjuti.
Peserta yang memenuhi syarat adalah wanita berusia di atas 25 tahun yang
memiliki jerawat ringn dengan AFA skor 2 di wajah berdasarkan Global Acne
Severity Scale. Kriteria eksklusi adalah: (1) penggunaan topikal 2 minggu
dan/atau 4 minggu penggunaan obat jerawat sistemik sebelum penelitian, (2) jenis
jerawat khusus atau kondisi yang muncul dengan jerawat/erupsi akneiformis
(misalnya sindrom SAPHO), (3) siklus haid yang tidak teratur atau diduga secara
klinis sindrom ovarium polikistik, (4) ruam wajah lainnya yang mencegah tingkat
penilaian, (5) alergi terhadap bahan yang diketahui atau diduga, (6) kehamilan
atau menyusui.

Setelah pendaftaran, para peserta memasuki periode pencucian selama 2


minggu untuk menstandarisasi rutinitas perawatan kulit harian dan kosmetik
produk yang digunakan. Penilaian baseline dilakukan terbentuk 14 hari setelah
periode menstruasi terakhir menurun variasi hormon. Random dengan alokasi 1:1
dan random blok empat dengan stata versi 14 software (StataCorp, College
Station, TX, USA). Peserta diberikan baik KTZ 2% (Nizoral Cream; Janssen
Cilag, High Wycombe, UK) atau plasebo dari persiapan di rumah yang dikemas
dalam tabung identik. Plasebo mengandung cetyl alcohol, stearic acid, glyceryl
monostearate, propylene glycol, sodium lauryl sulfate, propyl paraben dan
purified water. Para peserta diminta untuk memakai krim pada seluruh wajah dua
kali sehari selama 8 minggu. Pada akhir minggu 8, peserta dihentikan
menggunakan krim sambil mempertahankan perawatan kulit lainnya dan
memasuki periode pasca-pengobatan selama 2 minggu lebih (masa total penelitian

5
10 minggu) untuk mengeavaluasi efek KTZ. Selama periode penelitian, semua
peserta diminta untuk menggunakan gel pembersih yang disediakan dengan
bahan-bahan non-medicated (yaitu air, cetyl alcohol, propylene glycol, sodium
lauryl sulfate dan stearyl alvcohol, persiapan di rumah) dan menghindari merubah
perawatan kulit atau produk kosmetik lainnya. Hasil penilaian pada minggu awal,
dan minggu 2, 4, 6, 8, 10. Selain itu, asisten terlatih pada penilitian yang
bertanggung jawab untuk menjelaskan bagaimana menerapkan obat pada setiap
kunjungan.

Hasil utama adalah perubahan persen dari jumlah jerawat dibandingkan


antara awal dan akhir penelitian (minggu 8) antara kelompok-kelompok). Dua
dermatologis bersertifikat melakukan perhitungan jumlah jerawat antara lesi yang
meradang dan tidak meradang di bawah cahaya ruangan yang sesuai pada setiap
kunjungan. Kita memilih Adult Female Acne Scoring Tool (AFAST), yang
mengevaluasi dua daerah yang terpisah, wajah (AFAST-F) dan daerah
submandibula (AFAST-S), untuk menghitung keparahan klinis jerawat.
“perbaikan jerawat” didefinisikan sebagai proporsi peserta yang mencapai
setidaknya 1 penurunan kelas AFAST dan “tingkat keberhasilan” pengobatan
seperti itu yang meraih skor AFAST 0 (jelas) dan 1 (hampir jelas) di akhir periode
pengobatan (minggu 8) dan periode pasca perawatan (minggu 10). Hasil sekunder
lainnya menggunakan skor Patient Global Assesment (PGA) untuk keparahan
jerawat dan kualitas hidup, yang dinilai oleh versi thailand yang telah divalidasi
dengan menggunakan kuesioner Dermatology Life Quality Index (DLQI), dan
tolerabilitas kulit yang dilaporkan sendiri (sensasi terbakar, gatal, kerak,
kekeringan dan kekencangan kulit).

Semua data diperiksa dengan menggunakan mean dan standar deviasi (SD)
atau jumlah dan persentase untuk berkelanjutan dan variabel kategorik. Uji-t
berpasangan digunakan untuk membandingkan persentase jumlah jerawat dan
skor DLQI antara awal dan akhir pengobatan (minggu 8). Independent sample t-
test dan x2-test digunakan untuk membandingkan hasil antara kelompok. Semua
analisis statistik menggunakan software Stata versi 14 (StataCorp).

6
HASIL
Data demografi dan karakteristik klinis
Empat puluh satu wanita dengan AFA ringan dan secara acak. Tiga puluh
sembilan peserta (95,1%) menyelesaikan aturan penelitian dan telah
mempertahankan kepatuhan yang baik di seluruh masa penelitian (Gambar 1).
Dua dikeluarkan ada di kelompok plasebo dan terjadi pada masing-masing
minggu ke-4 dan 6, karena berpindah tempat kerja ke provinsi lain. Peserta
berusia antara 25 dan 49 tahun, dengan masing-masing usia rata-rata 35,2 dan
34,1 tahun pada KTZ dan kelompok plasebo. Sekitar 93% dari peserta memiliki
AFA yang konsisten. Total jumlah dari hitung lesi atau derajat keparahan dinilai
dari awal dan faktor lain yang berhubungan dengan kondisi jerawat, termasuk
frekuensi timbulnya jerawat, riwayat keluarga tingkat pertama, penggunaan
kosmetik, penggunaan alkohol dan status merokok, persamaan antara kelompok
(Tabel 1).

Randomisasi
N = 41

krim KTZ 2% Krim Plasebo


N = 20 N = 21
Populasi ITT Populasi ITT

Selesai Dihentikan Selesai Dihentikan


N = 20 (100,0%) N = 0 (0,0%) N = 19 (50,5%) N = 2 (9,5%)

Drop-out: 2
(9,5%)

N = 20 (100,0%) N = 19 (90,5%)

Populasi PP Populasi PP

Gambar 1. Disposisi subjek. ITT, intention to treat; KTZ, Ketokonazol; PP,


per protokol

7
Tabel 1. Demografi, karakteristik klinis dan Dermatology life quality index
peserta dengan adult female acne (n=41)

KTZ 2 % (n = 20) Plasebo (n=21)


Usia rata-rata (SD), tahun 35,1 (6,4) 34,0 (6,4)
Onset rata-rata usia, tahun 15,3 (3,5) 16,9 (5,1)
Durasi rata-rata (SD), tahun 19,8 (7,7) 17,1 (7,1)
Riwayat dahulu
Riwayat AFA
Riwayat keluarga dari AFA, tingkat 1, n 9 (45,0) 8 (38,1)
(%)
Jenis AFA
Jerawat persisten, n (%) 20 (100,0) 18 (85,7)
Jerawat late-onset, n (%) 0 (0,0) 3 (14,3)
Faktor yang memperberat
Menstruasi 17 (85,0) 18 (85,7)
Stres 7 (35,0) 6 (28,6)
Sinar matahari 2 (10,0) 0 (0,0)
Merokok 0 (0,0) 1 (4,8)
Kosmetik 7 (35,0) 9 (42,9)
Kurang tidur 2 (10,0) 2 (9,5)
Frekuensi rasa terbakar perbulan, n (%)
Sekali 12 (60,0) 10 (47,6)
Dua kali 3 (15,0) 4 (19,0)
Tiga kali 1 (5,0) 2 (9,5)
Setiap bulan 4 (20,0) 5 (23,8)
Karakteristik baseline
Penggunaan kosmetik, n (%)
Foundation 10 (50,0) 7 (33,3)
Bedak 18 (90,0) 18 (85,7)
Penggunaan alkohol, n (%) 1 (5,0) 3 (14,3)
Status merokok, n (%) 0 (0,0) 0 (0,0)
Hitung jerawat
Rata-rata jumlah lesi (SD) 29,9 (17,0) 28,9 (14,1)
Rata-rata lesi komedo (SD) 23,3 (15,0) 21,3 (11,8)
Rata-rata lesi inflamasi (SD) 6,3 (4,7) 7,6 (5,7)
Keparahan dari jerawat wajah (skor
derajat GEA) dari baseline
Rata-rata skor keparahan (SD) 2,1 (0,5) 1,9 (0,5)
Keparahan dari jerawat wajah (skor
AFAST-F) dari baseline
Hampir bersih 4 (20,0) 4 (19,0)
Ringan 14 (70,0) 17 (81,0)
Sedang 2 (10,0) 0 (0,0)
Rata-rata skor keparahan (SD) 1,9 (0,5) 1,8 (0,4)
Keparahan dari jerawat submandibula

8
(skor AFAST-S) dari baseline
Bersih 7 (35,0) 7 (33,3)
Hampir bersih 11 (55,0) 11 (52,4)
Ringan 2 (10,0) 3 (l4,3)
Rata-rata skor keparahan (SD) 0,7 (0,6) 0,8 (0,6)
Rata-rata DLQI (SD) 6,7 (5,0) 8,6 (4,6)

Efisiensi

Rata-rata hitung jerawat di minggu 8 pada kelompok KTZ dan plasebo


dengan statistik signifikan ditolak dari baseline (masing-masing p < 0,001 dan
0,002). Pada kelompok KTZ, rata-rata hitung inflamasi 6,3 (awal) dan 7,0
(minggu 8), dan rata-rata komedo adalah 23,3 (awal) dan 18,1 (minggu 8).
Meskipun, rata-rata persen tidak menunjukkan perubahan yang signifikan antara
kelompok (p = 0,268) (Gambar 2a). Kami mengamati bahwa kemanjuran KTZ
dalam pengurangan jumlah jerawat termasuk lesi inflamasi dan komedo terbanyak
pada minggu 6. Penurunan jumlah lesi komedo dan lesi inflamasi ditunjukkan
sepanjang penelitian (Gambar 2b, c). Jumlah jerawat di kedua kelompok berubah
sedikit selama periode pasca perawatan tanpa perubahan statistik signifikan yang
terdeteksi.

Menariknya, proporsi peserta dalam kelompok KTZ menunjukkan


pengurangan 1 derajat oleh AFAST-F dibandingkan dengan awal secara
signifikan lebih tinggi daripada kelompok plasebo (42,9% dan 9,5%, P = 0,015).
Ada juga yang tiga kali lebih tinggi dari tingkat keberhasilan, sekali lagi
didefinisikan sebagai keberhasilan AFAST-0/1 pada minggu 8, pada kelompok
KTZ dibandingkan dengan plasebo (45,0% dan 14,3%, P= 0,043) (Gambar 3).
Perwakilan foto-foto perbaikan jerawat pada peserta yang menggunakan KTZ 2%
pada awal dan minggu 8 di tunjukkan pada gambar 4. Namun, tidak ada
perbedaan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dalam skor AFAST-
F pada periode pasca perawatan (minggu 10) dan pada skor AFAST-S pada
minggu 8 dan 10 (Gambar 3).

Terlepas dari penilaian berbasis investigator, KTZ menghasilkan proporsi


yang lebih tinggi dengan perbaikan jerawat daripada plasebo yang dievaluasi
melalui peserta (PGA) (66,7% dan 28,6%, P= 0,008) (Gambar 3). Hasil ini mirip
dengan skor AFAST. Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
perubahan rata=rata DLQI antara awal dan minggu 8 di antara KTZ 2% dan
kelompok plasebo, rata-rata skor DLQI dari kedua kelompok secara bertahap
menurun sepanjang tahun masa penelitian.

9
Gambar 2. Persentase perubahan rata-rata dan standar kesalahan rata-rata (SEM)
pada hitung lesi dari awal melalui kunjungan. (a) Total lesi, (b) Komedo, (c) lesi
inflamasi. KTZ, Ketokonazol

Gambar 3. Persentase peserta dengan perbaikan jerawat didefinisikan oleh


AFAST-F, AFAST-S, PGA dan sukses terapi pada akhir terapi (minggu 8).
AFAST-F, Adult Female Acne Scoring Tool dari wajah; AFAST-S, Adult Female
Acne Scoring Tool From Submandibular; KTZ, Ketokonazol; PGA, Patient
Global Assessment. *P < 0,05 dari tes chi square

10
Gambar 4. Perbaikan jerawat pada perwakilan peserta dengan terapi KTZ 2%. (a)
pada awal dan (b) akhir terapi. Foto diambil oleh Visia (Canfield Scientific,
Parsippany, NJ, USA). KTZ, Ketokonazol

Keamanan dan Tolerabilitas kulit

Tidak ada efek samping serius atau utama yang dilaporkan. Beberapa efek
samping terkait pengobatan serupa pada keduanya. Efek samping yang umum
ditemukan pada kelompok KTZ adalah gatal-gatal (25%) dan kekeringan (15%)
yang spontan sembuh tanpa menghentikan pengobatan atau tambahan obat-
obatan.

DISKUSI

Percobaan terkontrol acak saat ini mengevaluasi kemanjuran dan keamanan


krim KTZ 2% pada wanita sehat dengan AFA ringan. Sebagai monoterapi, KTZ
menunjukkan peningkatan keseluruhan yang signifikan dalam keparahan klinis,
dengan efek maksimal pada minggu 6 seteleh pemberian. Ini selaras dengan

11
kemanjuran mikonazol 2% yang menunjukkan efek akumulatif tertinggi pada
pengurangan jerawat pada akhir penelitian (hari ke 45).

Kami memilih AFAST karena ini adalah alat objektif baru untuk menilai
keparahan klinis untuk AFA. Evaluasi subjektif oleh peserta juga menunjukkan
hasil yang signifikan. Hasil positif dari dua evaluator berbeda pada penilaian
klinis tersirat bermanfaat yang diharapkan dari KTZ ketika digunakan di klinik
untuk AFA.

Pada penelitian kami, hanya beberapa peserta yang melaporkan efek


samping pengobatan yang buruk yang bersifat sementara dan spontan sembuh
tanpa manajemen lebih lanjut. Ini bisa menjadi bermanfaat pada KTZ jika
dibandingkan dengan topikal standar yang tersedia pada perawatan, seperti
retinoid topikla dan benzoil peroksida, pada iritasi kulit yang sangat umum dan
sering menyebabkan terhentinya pengobatan. Bersama dengan sifat efek antijamur
dan antiinflamasi, mekanisme KTZ lain yang mungkin dalam pengobatan jerawat
mungkin melalui aktivitas antilipase dan efek antiandrogenik. Lipase adalah
salasatu enzim dan virulelnsi penting untuk faktor C. Acnes untuk merangsang
peradangan dan folikel hiperkeratosis. KTZ menghambat aktivitas lipase pada
antibiotik yang rentan dan C. Acnes yang resisten, yang mengakibatkan penurunan
komponen asam lemak bebas dalam sebum dan tekanan pada pembentukan
komedo. Kami berspekulasi bahwa ini mungkin menjadi penjelasan untuk efek
yang diamati dari KTZ pada saat perbaikan dan onset tindakan. Juga, KTZ
sistemik dapat menekan produksi androgen melalui penghambatan sitokrom P450.
Enzim tergantung pada testis, ovarium dan kelenjar adrenal. Dapat dibayangkan
bahwa KTZ topikla mungkin memiliki efek serupa pada fungsi steroidogenesis
pada unit pilosebaseous.

Pada saat yang sama, KTZ juga dapat mempengaruhi aktivitas lipase dari
Malassezia spp, yang memiliki aktivitas lipase lebih tinggi daripada C.Acnes.
Beberapa penulis percaya bahwa Malassezia Spp adalah terkait dengan jerawat
yang sulit disembuhkan dan peradangan bersamaan lainnya dermatosis wajah
seperti dermatosis seboroik. Karena pengobatan KTZ secara nyata dalam
perbaikan lesi jerawat dan merupakan salahsatu perawatan paling efektif pada
dermatitis seboroik. Seseorang dapat mengusulkan manfaat tambahan dalam
mengobati dua kelainan kulit yang biasa ditemukan dengan menggunakan
monoterapi ini.

Sejak resistensi antibiotik meningkat menjadi kekhawatiran utama publik,


banyak pedoman pengobatan jerawat telah mendorong penggunaan antibiotik
untuk pelayanan. Antibiotik topikal harus digunakan dalam pengaturan terbatas
dan untuk durasi yang terbatas. Jadi, menggunakan KTZ dengan efek pada AV

12
sebanding dengan clindamycin topikal tetapi tidak menyebabkan resistensi
antibiotik harus didorong dalam praktik saat ini.

Ada batasan dalam penilitian kami. Pertama, AFA yang dipilih yang ringan,
dengan beberapa lesi yang disajikan pada awal, dapat membatasi kekuatan untuk
mendeteksi perbedaan jumlah jerawat. Kedua, uji coba kami memiliki periode
waktu yang lebih pendek daripada penelitian jerawat yang lain. ketiga, kami tidak
bisa menggeneralisasi hasil pada AFA sedang dan berat, jerawat remaja atau
jerawat pada subjek pria. Kami juga mengecualikan peserta dengan dugaan atau
dugaan klinis masalah medis yang mendasarinya, terutama sindroma ovarium
polikistik. Studi selanjutnya tentang KTZ topikal atau antijamur lainnya
diperlukan untuk mengkonfirmasi kemanjuran yang menjanjikan termasuk pada
ukuran sampel yang lebih besar, periode tindak lanjut yang lebih lama dan klinis
yang lebih bervariasi. Pada saat yang sama, mekanisme aksi KTZ aktif jerawat
harus secara khusus dieksplorasi.

Berdasarkan penelitian kami, kami merekomendasikan penggunaan KTZ


topikal pada wanita sehat dengan AFA ringan, terutama yang bersangkutan
dengan iritasi dari perawatan antiacne topikal lainnya. Kami juga mendukung
KTZ topikal untuk menjadi pengobatan tambahan di pedoma praktik klinis untuk
AFA. Selanjutnya kombinasi perawatan dapat menghasilkan manajemen jerawat
yang optimal di praktik kehidupan nyata.

Kesimpulannya, diberikan khasiat yang signifikan dan profil keamanan


yang luar biasa, penelitian kami mengungkapkan peran potensila monoterapi KTZ
sebagai perawatan jerawat yang layak tanpa mempedulikan resistensi antibiotik.
Ini harus dipertimbangkan sebagai alternatif terpai untuk perawatan standar untuk
pasien AFA ringan.

PENGHARGAAN

Studi di dukung oleh divisi dermatologi, Departemen Kedokteran, Fakultas


Kedokteran, Universitas Chulalongkom, dan didanai oleh Ratchadapisek
Sompoch Endowment Fund (2017), Universitas Chulalongkorn (Didanai no.
RA61/023) dan masyarakat dermatologis di Thailand. Penulis berterima kasih
kepada Ruangrong Glinhom, Pornterpin Champaphan dan Anukom Sriaram
sebagai teknik asisten, dan Kanjana Yuttaviboon dan Kittima Leklad untuk
dukungan kesekretariatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Morehead MS, Scarbrough C. Emergence of global antibiotic resistance.


Prim Care 2018; 45(3): 467–484.

13
2. Walsh TR, Efthimiou J, Dreno B. Systematic review of antibiotic resistance
in acne: an increasing topical and oral threat. Lancet Infect Dis 2016; 16(3):
e23–e33.
3. Kakpovbia E, Feng H, Feng PW, Cohen JM. Antibiotic prescribing trends
among US dermatologists in Medicare from 2013 to 2016. J Dermatolog
Treat 2019; 9: 1–3.
4. Hayashi N, Akamatsu H, Iwatsuki K et al. Japanese Dermatological
Association guidelines: guidelines for the treatment of acne vulgaris 2017. J
Dermatol 2018; 45(8): 898–935.
5. Le Cleach L, Lebrun-Vignes B, Bachelot A et al. Guidelines for the
management of acne: recommendations from a French multidisciplinary
group. Br J Dermatol 2017; 177(4): 908–913.
6. Thiboutot DM, Dreno B, Abanmi A, et al. Practical management of acne for
clinicians: an international consensus from the Global Alliance to Improve
Outcomes in Acne. J Am Acad Dermatol 2018; 78 (2 Suppl 1): S1–S23.e1.
7. Goh CL, Abad-Casintahan F, Aw DC et al. South-East Asia study alliance
guidelines on the management of acne vulgaris in South-East Asian patients.
J Dermatol 2015; 42(10): 945–953.
8. Akaza N, Akamatsu H, Numata S et al. Microorganisms inhabiting
follicular contents of facial acne are not only Propionibacterium but also
Malassezia spp. J Dermatol 2016; 43(8): 906–911.
9. Numata S, Akamatsu H, Akaza N, Yagami A, Nakata S, Matsunaga K.
Analysis of facial skin-resident microbiota in Japanese acne patients.
Dermatology 2014; 228(1): 86–92.
10. White GM. Recent findings in the epidemiologic evidence, classification,
and subtypes of acne vulgaris. J Am Acad Dermatol 1998; 39(2 Pt 3): S34–
S37.
11. Bagatin E, Freitas THP, Rivitti-Machado MC et al. Adult female acne: a
guide to clinical practice. An Bras Dermatol 2019; 94(1): 62–75.
12. Van Cutsem J, Van Gerven F, Cauwenbergh G, Odds F, Janssen PA. The
antiinflammatory effects of ketoconazole. A comparative study with
hydrocortisone acetate in a model using living and killed Staphylococcus
aureus on the skin of guinea-pigs. J Am Acad Dermatol 1991; 25(2 Pt 1):
257–261.
13. Shaw JC. Antiandrogen therapy in dermatology. Int J Dermatol 1996;
35(11): 770–778.
14. Gupta AK, Kohli Y, Li A, Faergemann J, Summerbell RC. In vitro
susceptibility of the seven Malassezia species to ketoconazole, voriconazole,
itraconazole and terbinafine. Br J Dermatol 2000; 142 (4): 758–765.
15. Sugita T, Miyamoto M, Tsuboi R, Takatori K, Ikeda R, Nishikawa A. In
vitro activities of azole antifungal agents against Propionibacterium acnes
isolated from patients with acne vulgaris. Biol Pharm Bull 2010; 33(1):
125–127.
16. Unno M, Cho O, Sugita T. Inhibition of Propionibacterium acnes lipase
activity by the antifungal agent ketoconazole. Microbiol Immunol 2017;
61(1): 42–44.

14
17. Dreno B, Poli F, Pawin H et al. Development and evaluation of a Global
Acne Severity Scale (GEA Scale) suitable for France and Europe. J Eur
Acad Dermatol Venereol 2011; 25(1): 43–48.
18. Auffret N, Claudel JP, Leccia MT, Poli F, Farhi D, Dreno B. AFAST -
Adult Female Acne Scoring Tool: an easy-to-use tool for scoring acne in
adult females. J Eur Acad Dermatol Venereol 2016; 30(5): 824–828.
19. Mesquita-Guimaraes J, Ramos S, Tavares MR, Carvalho MR. A double-
blind clinical trial with a lotion containing 5% benzoyl peroxide and 2%
miconazole in patients with acne vulgaris. Clin Exp Dermatol 1989; 14(5):
357–360.
20. Poli F, Auffret N, Claudel JP, Leccia MT, Dreno B. AFAST: an adult
female acne treatment algorithm for daily clinical practice. Eur J Dermatol
2018; 28(1): 101–103.
21. Holland C, Mak TN, Zimny-Arndt U et al. Proteomic identification of
secreted proteins of Propionibacterium acnes. BMC Microbiol 2010; 10:
230.
22. Ceruti JM, Leiros GJ, Balana ME. Androgens and androgen receptor action
in skin and hair follicles. Mol Cell Endocrinol 2018; 465: 122–133.
23. Akaza N, Akamatsu H, Takeoka S et al. Malassezia globosa tends to grow
actively in summer conditions more than other cutaneous Malassezia
species. J Dermatol 2012; 39(7): 613–616.
24. Hu G, Wei Y-P, Feng J. Malasseziainfection: is there any chance or
necessity in refractory acne? Chin Med J 2010; 123(5): 628–632.
25. Gupta AK, Versteeg SG. Topical treatment of facial seborrheic dermatitis: a
systematic review. Am J Clin Dermatol 2017; 18(2): 193–213.
26. Wolf JE Jr, Kaplan D, Kraus SJ et al. Efficacy and tolerability of combined
topical treatment of acne vulgaris with adapalene and clindamycin: a
multicenter, randomized, investigator-blinded study. J Am Acad Dermatol
2003; 49(3 Suppl): S211–S217.

15

Anda mungkin juga menyukai