Anda di halaman 1dari 15

FILSAFAT ISLAM

FILSAFAT AL-FARABI
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam

Dosen Pembimbing

Drs. Amirunddin, M.Ag.

Disusun Oleh: Taufiqur Rohman Rahmad Bowo W Rizka Nur Maulidia Isniatin

Semester II A SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHULULA (STAIM) Nglawak Kertosono Nganjuk 2011

KATA PENGANTAR
Bissmillahirrohmanirrohim Puji syukur alhamdulillah kehadirat ilahi robbi atas rahmat serta hidayah-Nya yang telah di limpahkan-Nya kepada kami, sehingga dapat menyusun makalah ini. Untuk memenuhi tugas yang diberikan. Dan sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW. Yaitu Nabi Akhirul zaman Beliau Nabi Revolusioner moral yang membawa moral kebejatan menuju moral yang penuh dengan kasih sayang. Harapan kami semoga kita mendapat syafaat-Nya di akhirat nanti amin...... Serta kami selaku pemakalah sangat mengharapkan saran dan kritik yang bermanfaat, yang bersifat konstruktif dari manapun datangnya, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat umumnya para mahasiswa dan khususnya kami pribadi selaku pemakalah.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nama lengkapnya dari Al-Farabi adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Di kalangan orang-orang latin abad tengah, Al-farabi dikenal sebagai Abu Nashr. Ia lahir di Wasij, distrik farab, Turkinistan pada 257 H (870 M). ayahnya seorang jendral berkebangsaan persia dan ibunya bekebangsaan turki. Al-farabi dikenal sebagai filsuf islam terbesar, ia memiliki keahlian dibanyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya banyak yang mengambil dan mengupas sistam filsafatnya (ibn sina & ibn rasyd). Pandangannya yang demikian mengenai filsafat, terbukti dengan usahanya untuk mengakhiri kontradiksi antara pemikiran plato dan aristoteles lewat risalahnya Al-jamu baina Rayay alHakimain Aflathun wa Arsthu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Al-Farabi? 2. Apa saja karya-karya Al- Farabi? 3. Bagaiman pemikiran filsafat Al- Farabi? 4. Bagaimana pandangan Al- Farabi tentang moral? 5. Bagaimana pandanagan Al- Farabi tentang teori kenabian?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui riwayat hidup Al- Farabi 2. Untuk mengetahui karya-karya Al- Farabi 3. Untuk mengetahui pemikiran filsafat Al- Farabi

4. Untuk mengetahui pandangan Al- Farabi tentang moral 5. Untuk mengetahui pandanagan Al- Farabi tentang teori kenabian

BAB II PEMBAHASAN
1 Biografi AL-FARABI Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Di kalangan orang-orang latin abad tengah, Al-farabi dikenal sebagai Abu Nashr. Ia lahir di Wasij,

distrik farab, Turkinistan pada 257 H (870 M). ayahnya seorang jendral berkebangsaan persia dan ibunya bekebangsaan turki. Pada waktu mudanya, Ai-farabi pernah belajar bahasa dan sasta arab di bagdad kepada Abu Bakar Al-saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattitus ibn Yunus, seorang kristen nestorian yang banyak menerjamahkan filsafat yunani, dan kepada yuhana ibn hailam. Kemudin ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan yunani di asia kecil,dan berguru kepada Yuhana ibn Jilad. Tetapi tidak berapa lama, ia kembali ke bagdad untuk memperdalam filsafat. Ia menetap di kota ini selama 20 tahun. Di bagdad ia juga membuat dan menulis usulan terhadap buku-buku filsafat yunani dan mengajar. Di antara muridnya yang terkenal adalah Yahya ibn Adi, filsuf kristen. Pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke damaskus dan berkenalan dengan Saif al-daulah al-hamdani, Sultan Danasti Hamdan di Aleppo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang besar sekali, tetapi al farab lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik dengan kekayaan serta kemewahan. Ia hanya memerlukan empat dirham saja sehari hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi, hal yang menggembirakannya ditempat yang baru ini, Al-farabi bertemu dengan para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahlik fiqh dah cendekiawan lainnya. Konon, kegemaran membaca dan menulisnya sering dilakukannya di bawah lampu penjaga malam. Adapun sisa tunjangan jabatan yang diterimanya, dibagi-bagikan kepada fakir-miskindamn amal sosial di aleppo dan damaskus. Al-farabi dikenal sebagai filsuf islam terbesar, ia memiliki keahlian dibanyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya banyak yang mengambil dan mengupas sistam filsafatnya (ibn sina & ibn rasyd). Pandangannya yang demikian mengenai filsafat,

terbukti dengan usahanya untuk mengakhiri kontradiksi antara pemikiran plato dan aristoteles lewat risalahnya Al-jamu baina Rayay alHakimain Aflathun wa Arsthu. 2 Karyanya Disamping karyanya yang disebutkan di atas Al-Farabi mempunyai karya lain, antara lain : a. Syuruh Risalah Zainun al-kabir al-yujani.

b. Al-taliqat. c. Risalah fima yaibu marifat qabla taalummi al-falsafah.

d. Kitab tahshil al-saadah. e. f. g. h. i. j. Risalah fi istbat al-mufaraqah. Uyun al-masail. Ara Ash al-madinah al-fadilah. Ihsha al-ulum waal-takrif bi Aghradiha. Maqalat fi maani al-aql. Fushul al-hukm.

k. Risalah al-aql, Dll.

3 a.

Filsafatnya

Pemaduan Filsafat Al-farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pemikiran plato, aristoteles, dan plotinus, juga antara agama dan filsafat. Karena itu, ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika ia di

pengaruhi oleh aristoteles. Dalam akhlak politi di pengaruhi plato. Sedangkan dalam meta fisika ia dipengaruhi oleh plotinus. Sebenarnya, usaha kearah sinkretis pemikiran telah dimulai muncul pada aliran neoplatonisme. Namun, usaha Al-farabi lebih luas karena ia bukan saja mempertemukan aliran filsafat, juga penekanannya bahwa aliran-aliran filsafat itu pada dasarnya satu, meskipun pemunculannya berbeda corak ragamnya. Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti halnya antara plato dan aristotelesmengenai idea, Al-farabi menggunakan interprestasi batin nakni dengan menggunakan tawil bila menjumpai pertentangan pikiran antara kaduanya. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari 3 kemungkinan: 1. Definisa yang di buat tentang filsafat tidak benar. 2. Pendapat orang banyak tententang pikiran-pikiran falsafi dari kedua filsuf tersebut terlalu dangkal. 3. Pengetahuan antara adanya perbedaan antara keduanya tidak benar. b. Metafisika Adapun masalah ketuhanan, al farabi menggunakan pemikiran aristoteles dan neoplatonisme, yakni al-maujud al-awwal sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan dalam ajaran islam, dalam pembuktian adanya tuhan, al farabi mengemukakan dalil wajib al-wujud dan mumin al-wujud. Menurutnya yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga. Tentang sifat Tuhan al farbi sejalan dengan paham mutazilah, yakni sifat tuhan tidak berbeda dengan substnsiNya. Bagi al farabi, Tuhan adalah aql murni. Ia Esa adanya dan yang menjadi objek pemikiranNya hanya substansiNya saja. Ia tidak memerlukan sesutu yang lain

untuk memikirkan substansiNya. Jadi Tuhan adalah Aql, Aqil, dan maqul. Demikian pula Tuhan itu Maha Tahu. Iia tidak membutuhkan sesuatu di luar zatNya untuk tahu dan juga memberitahukan untuk diketahuiNya, cukup dengan substansiNya saja. Jadi Tuhan adalah ilmu, substansi yang mengetahui dan substansi yang diketahui(ilm, Alim, dan malum). Sebagaimana para filsuf muslim pada umumnya, Al-farabi juga mengemukakan ayat-ayat Al-quran dalam rangka mensucikan Tuhan dari sifat-sifat, di antaranya:

Maha suci Tuhanmu yang mempunyai kepercayaan dari apa yang mereka katakan (QS alShaffat;37:180). Tentang penciptaan alam, al-farabi menggunakan teori Neo-platonisme tentang emanasi. Bagi al-farabi, tuhan menciptakan suatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Tuhan menciptakan alam semenjak azali dengan materi alam berasal dari energi yang qadim. Sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Karerna itu, menurut filsuf kun Tuhan yang termaktub dalam al-Quran ditujukan kepada syai bukan kepada ia syai. Al-farabi menjelaskan proses emansi itu adalah Tuhan sebagai akal berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikirannya ini timbul satu maujud. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempinyai substansi, ia disebut akal pertama yang tidak bersifat materi. Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran itu timbul wujud ketiga disebut akal kedua. Wujud pertama dan kedua ini juga berfikir tentang dirinya, dan dari situ timbullangit pertama. Al-farabi mengklasifikasikan yang wujud kepada dua rentetan yaitu:

1. rentetan wujud yang esensinya tidak berfisik, seperti Allah, akal pertama dan Uqaulal-aflak. Serta yang tidak berfisik tetapi bertempat yaitu jiwa, bentuk dan materi. 2. Rentetan wujud yang berfisik, yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bahan tambang, dan unsur yang empat (air, udara, tanah, dan api). Tujuan al-farabi mengemukakan emanasi tersebut untuk menegaskan kemahaesaan Tuhan. Karena tidak mungkin yang Esa berhubungan dengn yang tidak esa atau banyak. Dari pendapat ini al-farabi hanya menyatakan alam adalah taqaddum zamani bukan taqaddum zati. c. Jiwa Adapun tentang jiwa, al-farabi mengemukakan penjapatmya bahwa kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasat tidak membawa binasanya jiwa, jiwa manusia disebut an-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasat siap menerimanya. y Jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut;

1. Daya gerak ; a. makan b. memelihara c. berkembang 2. Daya mengetahui ; a. merasa b. imaginasi 3. Daya berpikir ; a. Akal praktis

b. Akal teoretis y Daya teoretis terbagi menjadi tiga tingkatan;

1. Akal potensial: baru mempunyai potensi berfikir. 2. Akal aktual: dapat melepaskan arti-arti dari materinya. 3. Akal mustafad: dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi. Mengenai keabadian jiwa, Al-farabi membedakan antara jiwa khalidah dan jiwa fana. Jiwa khalidan adalah jiwa fadilah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskam diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah jiwa yang telah berada pada tingkat akal mustafad. Sedangkan jiwa fana adalah jiwa jahilah, tidak mencapai kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi, ia akan hancur dengan hancurnya badan. Tetapi, jiwa yang tahu kesenangan namun menolaknya, tidak akan hancur dan akan kekal, namun kekal dalam kesenhsaraan. Kebahagiaan sejati manusia tercapai dengan cara menganbil bagian sifat akal aktual yang immaterial. Kebahagiaan yang telah ditentukan untuk dinikmati jiwa yang akan datang, tidaklah serupa bentuknya dan juga tidak definitif, melainkan apa yang dilukiskan samar-samar oleh eskatologi keagamaan. Karena sifat setiap jiwa tergantung kepada tubuh yang merupakan tempat tinggal sementara, maka jelaslah bahwa tubuh-tubuh itu berbeda temperamen dan susunannya. Penderitaan hidup yang akan datang, di pihak lain, mengandung arti tekanan atau siksaan yang menyertai rasa sakit yang tidak ada akhirnya karena kerinduannya terhadap kesenangankesenangan jasmani akan menmpa jiwa yang tidak patuh. Sebab sekalipun mereka mengambil bagian keutamaan teoritis, namun jiwa-jiwa ini terseret ke dalam oleh kesukaan materi, yang menghalangi mereka untuk menjalankan profesi intelektual mereka. Dan sekarang dalam

keadaan hidup tanpa wujud, mereka terus-menerus akan menderita keinginan-keinginan yang telah dipenuhi kesenangan-kesenangan indrawi ketika mereka bersatu dalam tubuh. Untuk itulah, kata al-farabi diperlukan pengetahuan tentang kebahagiaan sejati sebagai prasyarat memperoleh kebahagiaan abadi, dan juga sebagai prasarat kelangsungan hidup yang nyata setelah mati. d. Politik Pemikiran al-farabi yang amat penting lainnya adalah tentang politik yang dituangkan dalam bukunya Al-siyasah al- madiniyyah dan Ara al-madinah al- fadilah. Menuutnya yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya. Penguasa ini haruslah orang yang paling unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya di antara yang ada. Jika tidak ada Nabi yang menjadi kepala negara, maka dapat digantikan oleh orang yang dianggap memiliki sifat Nabi, yaitu filsuf. Rakyat harus bekerja sesuai denga kemampuan masing-masing untuk kepentingan bersama. Inilah ciri yang harus ada pada negara ideal. Al-farabi mengelompokkan negara (kota) menurut prinsip-prinsip teleologis (tujuan) yang abstrak. Kota utama yang sering di jadikan bahan rujukan, pada hakekatnya hanyalah satu dimana kehidupan yang baik atau berbahagia dijadikan tujuan utama dan dimana keutamaan dapat brkembang dengan subur. Terakhir dalam beberapa negara (yaitu demokrasi) kesenangan mungkin dipandang sebagai tujuan akhir negara, sementara pada yang lain, dengan bentukbentuk pemerintahan campuran tujuan-tujuan kesehatan, kesengan dan kehormatan digabungkan. Kota yang salah adalah kota yang tidak pernah mencapai lebih dari suatu pengetahuan yang keliru tentang tuhan atau kebahagiaan sejati dan diperintah oleh nabi-nabi palsu, yang menggunakan jalan licin dan tipu daya dalam mencapai tujuannya.

Pemikiran al-farabi tentang kenegaraan tersebut terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi kenegaraan yang ditawarkan oleh plato. Hal ini dimungkinkan, Al-farabi tidak pernah memangku suatu jabatan pemerintahaan, ia lebih menyenangi berkhalwat, menyendiri, sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang melatar belakangi pemikiran al-farabi itu adalah beliau hidup pada masa pemerintahan khalifah Mutamid dan wafat pada masa pemerintahan khalifah Muti. e. Moral Konsep moral yang ditawarkan Al-farabi dan menjadi salah satu hal penting dalam karyanya, Al-farabi menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebaahagiaan didunia dan di akhirat bagi bangsa-bangsa dan warga negara, yakni: (1) keutamaan teoritis adalah prinsi pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga diperoleh melalui belajar dan mengajar. (2) keutamaan pemikiran adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan. (3) keutamaan akhlak adalah bertujuan mencari kebaikan. (4) keutamaan amaliah diperoleh dengan cara pertnyataanpernyataan yang memuaskan dan merangsang. Cara lain adalah pemksaan. f. Teori Kenabian Adapun ciri khas seorang Nabi bagi Al-farabi adalah mempunyai daya imaginasi yang kuat dimana objek indrawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya. Ketika ia berhubungan dengan Aql faal ia dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu adalah limpahan dari Tuhan melalui Aql faal yang dalam penjelasan al-farabi adalah jibril. Dapatnya Nabi berhubungan langsung dengan jibril tanpa latihan. Karena Allah menganugerahinya akal yang mempunyai kekuatan suci (qudsiyah) dengan daya tangkap yang luar biasa yang diberi

nama hads. Sedangkan filsuf dapat berhubungan dengan Tuhan melalui akal mustafad (perolehan) yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya, sehingga dapat menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal. Karena Nabi dan filsuf sama-sama dapat berhubungan dengan akal 10 (jibril) maka antara wahyu dan filsafat tidak terdapat pertentangan. Adapun mujizat sebagai bukti kebenaran. Menurut Al-farabi, dapat saja terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam, karena sumber hukum alam dan mujizat sama-sama berasal dari Allah yang mengatur dunia ini.

BAB IIi KESIMPULAN


Al-farabi dikenal sebagai filsuf islam terbesar, ia memiliki keahlian dibanyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna. Beliau hidup pada masa pemerintahan khalifah Mutamid dan wafat pada masa pemerintahan khalifah Muti. Tetapi beliau tidak pernah memangku suatu jabatan dipemerintahaan pada masa itu. Beliau juga mempunyai karya-karya antara lain : Syuruh Risalah Zainun al-kabir al-yujani, Al-taliqat, Risalah fima yaibu marifat qabla taalummi al-falsafah, Kitab tahshil al-saadah, Risalah fi istbat al-mufaraqah, Uyun almasail,Ara Ash al-madinah al-fadilah, Ihsha al-ulum waal-takrif bi Aghradiha, Maqalat fi maani al-aql, Fushul al-hukm, Risalah al-aql, Dll. Beliau berpendapat bahwa Nabi dan filsuf sama-sama dapat berhubungan dengan akal 10 (jibril) maka antara wahyu dan filsafat tidak terdapat pertentangan. Adapun mujizat sebagai bukti kebenaran. Menurutnya, dapat saja terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam, karena sumber hukum alam dan mujizat sama-sama berasal dari Allah yang mengatur dunia ini.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. Mustofa. 2004. Filsat Isla. Bandung: Pustaka setia. Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Cetakan Kedua. Jakarta: Rineaka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai