Anda di halaman 1dari 10

Rp 7 Triliun untuk Rusunawa di Bantaran Ciliwung

M.Latief | Latief | Jumat, 27 Januari 2012 | 16:05 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono menyatakan, pemerintah akan menggulirkan dana sebesar Rp 7 triliun untuk membangun rumah susun umum sewa (rusunawa) di bantaran Sungai Ciliwung.

Total anggaran sebesar Rp7 triliun dengan metode tahun jamak atau multiyears. -- Agung Laksono

"Total anggaran sebesar Rp7 triliun dengan metode tahun jamak atau multiyears," kata Agung Laksono usai memimpin rapat koordinasi tingkat menteri terkait penataan pemukiman di bantaran Sungai Ciliwung di Jakarta, Kamis (26/1/2012) kemarin. Agung menjelaskan, anggaran tersebut berasal dari APBN sejumlah kementerian terkait dengan metode tahun jamak mulai dari 2012 hingga 2014. Dia menambahkan, pemukiman kumuh di bantaran Sungai Ciliwung juga merupakan salah satu jawaban dari Gerakan Indonesia Bersih (GIB) yang baru diluncurkan pemerintah. "GIB adalah program sangat strategis dan harus dilaksanakan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat," katanya. Dia menambahkan, rapat koordinasi tingkat menteri diharapkan bisa mempercepat implementasi program penataan pemukiman kumuh di bantaran Sungai Ciliwung diantaranya memperbaiki kualitas lingkungan melalui konsep "membangun tanpa

menggusur". Program ini juga akan mengamankan daerah bantaran sungai dalam rangka menjaga kesinambungan daerah aliran sungai Ciliwung serta melakukan perancangan struktural terhadap daerah bantaran sungai yang menjadi kawasan pemukiman dengan tetap memperhatikan karakteristik dasar sungai. Selain itu, membangun rumah susun umum sewa di bantaran sungai untuk menggantikan perumahan yang tidak layak. Dia mengatakan, rencana kegiatan untuk menata pemukiman kumuh di bantaran Sungai Ciliwung antara lain melakukan relokasi penduduk sebanyak 34.051 kepala keluarga. Pemerintah juga akan membangun rumah susun umum sewa sebanyak 22.806 unit di tujuh lokasi yang direncanakan. Ditambah lagi, membangun dua sudetan di lokasi Kebon Baru dan Kalibata dengan total luasan perolehan 2,93 hektar.

http://properti.kompas.com/read/2012/01/27/16054351/Rp.7.Triliun.untuk.Rusunawa.di.Bantaran. Ciliwung

Awas...Banyak Pengembang "Nakal" di Bekasi!


M.Latief | Latief | Jumat, 27 Januari 2012 | 14:08 WIB

BEKASI, KOMPAS.com - Pemerintah Kota Bekasi diminta bersikap tegas melakukan pengawasan terhadap izin pembangunan apartemen dan hotel. Hal ini perlu dilakukan agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari atas keberadaan properti tersebut.

Saya lihat pengawasan itu masih lemah. Ada beberapa pengembang yang telah memulai pembangunan propertinya meski izin belum keluar dan tentu saja perbuatan tersebut tidak dapat dibenarkan. -- Sardi Effendi

"Saya lihat pengawasan itu masih lemah. Ada beberapa pengembang yang telah memulai pembangunan propertinya meski izin belum keluar dan tentu saja perbuatan tersebut tidak dapat dibenarkan," ujar anggota DPRD Kota Bekasi, Sardi Effendi, di Bekasi, Jumat (27/1/2012). Di Kota Bekasi sendiri dalam beberapa waktu terakhir bermunculan bangunanbangunan pencakar langit berupa apartemen, rusunami, serta hotel. Ia mengatakan, pembangunan properti itu harus memperhatikan berbagai aspek, mulai dari analisa dampak lingkungan, dampak lalu lintas, koefisien bangunan, garis sempadan jalan, ruang terbuka hijau, dan lainnya. "Saya imbau pengembang agar mengurus perizinannya dan setelah lengkap baru mulai membangun dan memasarkan. Jangan izin belum selesai, tapi unit propertinya sudah dipasarkan," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Badan Pelayanan dan Perijinan Terpadu Kota Bekasi Renny Hendrawati menegaskan, ada pengusaha properti yang nakal dalam memasarkan properti sebelum izin diurus. Ia menyatakan, pihaknya akan tegas dalam memberikan sanksi terhadap pengembang nakal tersebut dan eksekusinya akan dilakukan oleh Satpol PP. Alokasi RTH Kepala Dinas Tata Ruang Kota Bekasi, Rahmat Kusmayadi, menambahkah bahwa pihaknya akan tetap mengimbau masyarakat atau pun pengusaha yang ingin mendirikan sebuah bangunan. Para pengembang diminta tetap memperhatikan RTH di wilayah pembangunan. Khusus buat lahan gedung, aturan mainnya adalah 70 persen untuk bangunan gedung, sedang 30 persen sisanya untuk RTH. "Yang jelas, harus ada RTH, jangan sampai tidak ada, karena itu akan sangat diperlukan untuk ruang penghijauan dan resapan air," ujarnya. Ia mengatakan RTH di tengah-tengah kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) yang hanya diisi oleh tumbuh-tumbuhan, seperti tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi), sehingga menjadikan sebuah kota jadi lebih indah dan asri. Ia mengakui, lokasi yang akan dibangun apartemen ada yang merupakan ruang terbuka hijau bersifat pribadi (private), bukan ruang terbuka hijau publik, sehingga pihak pengelola bebas mengelola lahan tersebut asalkan sesuai dengan peraturan tata ruang kota. "Yang terpenting harus mempunyai Hak Guna Bangunan (HGB), menyediakan lahan untuk fasilitas sosial (Fasos) dan fasilitas umum (Fasum), karena itu merupakan salah satu syarat untuk membangun sebuah gedung," tegasnya. http://properti.kompas.com/read/2012/01/27/14084332/Awas.Banyak.Pengembang.Nakal.di. Bekasi.

Properti Hadapi Empat Tantangan Besar


M.Latief | Latief | Jumat, 27 Januari 2012 | 10:38 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Perusahaan konsultan properti internasional Jones Lang LaSalle-Procon menyebutkan, sektor properti Indonesia menghadapi empat tantangan dengan beragam dampak pada 2012. Empat tantangan tersebut adalah perlambatan ekonomi global, ancaman inflasi, beragam kebijakan dan regulasi pemerintah, serta persiapan menghadapi pemilihan umum 2014.

Mereka melemah, sedangkan kita semakin menguat. -- Anton Sitorus

Berdasarkan paparan tertulis Kepala Riset Jones Lang LaSalle-Procon Anton Sitorus yang diterima di Jakarta, Jumat (27/1/2012), perlambatan ekonomi global memiliki dampak kecil terhadap sektor properti karena Indonesia memiliki proyeksi ekonomi yang bagus dan berbeda arah dengan perlambatan ekonomi di sejumlah kawasan seperti Eropa dan Amerika Serikat (AS). "Mereka melemah, sedangkan kita semakin menguat," katanya. Hal itu juga ditambah dengan dua lembaga pemeringkat dunia, yaitu Fitch dan Moodys, yang menaikkan peringkat dari negara Indonesia sehingga menjadi tahap investment grade. Anton mengatakan, dua tantangan diyakini akan berdampak lebih besar adalah ancaman inflasi dan sejumlah kebijakan atau regulasi yang sedang digodok pemerintah. Ancaman inflasi dikhawatirkan terkait dengan perkiraan kenaikan harga komoditas pangan serta program pembatasan atau rencana pemotongan subsidi BBM.

Berbagai kebijakan dan regulasi yang akan berdampak pada sektor properti antara lain UU No 20/2011 tentang Rumah Susun dan Undang-Undang No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang atau UU PPATK. Selain itu, terdapat pula skema pemberian Fasilitas Likuiditas Pembangunan Perumahan (FLPP) yang hingga kini masih direnegosiasi antara pemerintah dan berbagai pihak terkait seperti bank pelaksana. Untuk tantangan terakhir, yaitu persiapan dalam menghadapi Pemilu 2014, dinilai juga memiliki dampak kecil. Hanya, yang tetap perlu diperhatikan adalah keyakinan para investor asing dalam menyikapi hal ini. "Untuk masyarakat sendiri, saya lihat sudah cukup dewasa dalam menghadapi pemilu," katanya. http://properti.kompas.com/read/2012/01/27/10380452/Properti.Hadapi.Empat.Tantangan.Be sar

FLPP DISETOP: 10.000 rumah tak terjual di Jabar & Banten


Oleh Irsad Sati Minggu, 29 Januari 2012 | 10:35 WIB JAKARTA: Asososiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) di Banten dan Banten menyatakan sedikitnya 10.000 unit rumah sederhana tapak tipe di bawah 36 m2 macet penjualannya disebabkan dihentikannya program KPR FLPP. Untuk itu, Apersi di kedua provinsi tersebut mendesak Kementerian Perumahan Rakyat untuk segera memberlakukan lagi program pembiayaan FLPP agar unit yang telah ready stock itu bisa diserap pasar kalangan masyarakat menengah bawah. Ketua Apersi Banten Vidi Surfiadi mengatakan 10.000 unit itu ada di Banten sebanyak 4.000 unit dan Jabar sebanyak 6.000 unit. "Terhentinya penjualan rumah yang sudah ready stock itu dampaknya sangat krusial karena ada rentetan transaksi yang terputus. Bagaimana caranya pengembang harus bayar kontraktor, cicilan kredit konstruksi dan komitmen dengan mitra yang lain," ujarnya, Jumat. Dia menambahkan macetnya penjualan untuk 10.000 unit itu memiliki nilai transaksi sekitar Rp700 miliar. Menurut dia, masalah ini menjadi keprihatinan bagi pihaknya karena hampir 100% pengembang yang tergabung Apersi menggarap segmen program pembiayaan FLPP tersebut. Sementara itu, Sekretaris Apersi Jabar Wawan Darmawan mengatakan yang lebih meresahkan bagi pengembang menengah bawah terkait kebijakan Kemenpera yang mewajibkan minimal unit 36 m2. Dalam hal ini, lanjutnya, unit yang telah dibangun di Jabar kebanyakan unit tipe 22 m2, 27 m2 dan 32 m2. "Kalau tipe di bawah 36 m2 tidak lagi dapat program pembiayaan FLPP. Kami tidak lagi menjual dan masyarakat menengah bawah tak mendapat subsidi." Ketua Apersi Banten Vidi mengatakan kalau persoalan program pembiayaan FLPP terus menyulitkan maka pengembang siap meninggalkan program perumahan rakyat dan beralih pada rumah komersial.

"Kalau makin sulit untuk ikut program FLPP ya kami akan banting stir ke rumah komersial. Sekarang kami ragu-ragu untuk garap proyek karena ada potensi perubahan kebijakan yang merugikan proyek kami yang masuk di segmen menengah bawah," katanya lagi. Saat ini, lanjutnya, upaya yang ditempuh Apersi dengan melakukan judicial review UU No.1/2011 tentang Perumahan. Menurut dia, saat ini tengah menunggu panggilan dari Mahkamah Konstitusi setelah memasukan gugatan pada 26 Januari. (Faa) http://www.bisnis.com/articles/flpp-disetop-10-dot-000-rumah-tak-terjual-di-jabarand-banten

ANALISIS KEUANGAN

Kata Sepakat FLPP Sangat Dibutuhkan Masyarakat


Jumat, 27 Januari 2012 Belum ada kata sepakat yang jelas antara pemerintah dan perbankan mengenai komposisi dana penyertaan atau likuiditas telah menyebabkan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) terhenti. Sebab. bagaimanapun kepemilikan rumah merupakan kebutuhan dasar setiap masyarakat. Dalam konteks tadi, Anggota Komisi XI (Keuangan dan Perbankan) DPR RI, Arif Budimanta dari Fraksi PDI Perjuangan meminta agar perdebatan diantara keduanya dihentikan. FLPP bagi masyarakat berpendapatan rendah harus berjalan terus. "Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2011, Pemerintah memiliki tanggung jawab terhadap penyelenggaraan perumahaan dan permukiman yang layak huni bagi masyarakat berpendapatan rendah," kata Arif, melalui siaran persnya, di Jakarta. Berdasarkan kabar yang beredar, hingga saat ini pemerintah dan perbankan masih belum menemui titik temu soal komposisi dana penyertaan atau likuiditas yang sangat menentukan penurunan suku bunga kredit perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan tetap Rp 2,5-4,5 juta per bulan. Beredar berita, komposisi yang diminta oleh kementerian perumahan rakyat dengan yaitu 50 berbanding 50, artinya dana FLPP 50 persen disiapkan oleh pemerintah dan dana bank dari pasar 50 persen. Akibatnya, perbankan berat jika harus menurunkan bunga kredit FLPP dari sebelumnya 8,15 persen (fixed rate) menjadi 5 persen atau 6 persen, kecuali jika pemerintah sanggup bersedia memasang komposisi dana murah FLPP di perbankan dengan komposisi 80 persen. Masih tingginya bunga yang ditetapkan oleh bank kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) boleh jadi sebagai penyebab rendahnya FLPP. Data realisasi FLPP KPR Sejahtera per 30 Desember 2011 lalu, terlihat dari 183.189 unit perumahan yang ditargetkan untuk dibiayai oleh bank melalui skema FLPP tadi, hanya 109.614 unit yang terealisasikan. Angkat tersebut berarti 60 persen dari target. Arif menilai, bank yang ditunjuk pemerintah melalui program FLPP tersebut sudah seharusnya tidak mencari keuntungan. "Saya kira bank sudah mendapat keuntungan jika bunganya di bawah 8 persen. Karena, program ini juga menyertakan uang rakyat yang bersumber dari APBN. Artinya ketersediaan pembiayaan program tersbut jelas dan sumber dananya sudah ada, mengapa bank tidak mau menurunkan suku bunga KPR tersebut?." katanya.

Sampai saat ini, proses pembahasan revisi suku bunga KPR berbasis FLPP masih belum menemui jalan keluar. Belum ada titik temu antara keinginan pemerintah dan kemampuan perbankan sebagai pelaksana penyaluran KPR bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Sejak 6 Januari 2012 silam, Perjanjian kerja sama operasional (PKO) antara Kemenpera, Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Perumahan dan Bank Pelaksana berakhir. Selama proses renegosiasi PKO baru, Pemerintah menghentikan pembiayaan kredit rumah bersubsidi. (Agus) http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=296035

Anda mungkin juga menyukai