Anda di halaman 1dari 14

5. HIV/AIDS HIV adalah salah satu virus mematikan yang menimbulkan penyakit AIDS.

Bayi dapat terinfeksi oleh virus ini selama masa kehamilan atau persalinan. Jika seorang wanita hamil dengan HIV positif, kemungkinan besar bayinya juga terinfeksi oleh HIV. Menyusui juga dapat menularkan virus ini ke bayi. Bayi yang terinfeksi HIV mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun saat lahir. Namun, dalam 2 sampai 3 bulan dia dapat mengembangkan infeksi oportunistik, yaitu penyakit yang berkembang karena sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti pneumonia, tuberkulosis, jamur mulut (sariawan), dll. AIDS dan Kehamilan TABLOID IBU DAN ANAK Informasi dikumpulkan oleh relawan YAI Ibu hamil yang positif mendetita HIV dapat menularkan kepada janin atau bayinya. Namun, resiko itu dapat diperkecil. "Saya kena AIDS, Dok //Gimana// dengan kehamilan saya? Bisa nggak saya dapat bayi yang sehat?" tanya seorang calon ibu, panik dan bertubi-tubi. Sungguh memelas, memang, lantaran sebelumnya ia tidak pernah mimpi tertular HIV, yang belum ada penangkalnya itu. Ia pun merasa, gaya hidupnya selama ini normal-normal saja. Demikian pula sang suami, karena itulah, ia tak ingin bayinya seperti dirinya..... Hindari Sakit Saat Hamil Memiliki anak adalah hal setiap pasangan suami istri. Namun jika sang istri yang mengandung ternyata positif menderita HIV, mereka harus siap dengan kemungkinan bayinya terinfeksi. "Di negara-negara berkembang rata-rata kemungkinan bayi terinfeksi sekitar 30%. Itu pun jika tidak ada upaya apa-apa," tegas dr. Siti Dhyanti Wishnuwardhani, Sp.O.G. Penularan HIV dari ibu kepada janin yang dikandungnya disebut //transmisi vertical //. "Tetapi ibu hamil dengan HIV, tidak 100% menularkan virus pada bayi yang dikandungnya," lanjut staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) ini. Karena itu, akibatnya ibu tidak berpikir untuk segera mengakhiri kehamilan. Yang, paling penting, menurut Dhayanti, ibu harus memperhatikan makanan dan teratur memeriksakan kehamilan. Kemungkinan kena infeksi lain pun harus dihindari. Sebab daya tahan tubuh ibu yang menderita HIV sangat rendah. Bila terkena infeksi, semisal flu, bisa lebih parah dari flu biasa. "Banyak-banyak istirahat, dan jauhi penularan penyakit yang ada disekitarnya," saran Dhayanti. Menular lewat persalinan Dunia kedokteran memperkirakan Proses transmisi atau penularan HIV sudah berlangsung sejak bayi dalam kandungan, yakni melalui Plasenta. Namun, resiko terbesar penularan, menurut

Dhayanti terjadi saat persalinan dan sesudah persalinan. Ini karena virus barkembang subur di daerah Vagina. Saat persalinan bayi mengalami kontak yang erat dengan vagina sebagai jalur lahir. Darah yang dikeluarkan saat persalinan pun akan mengenai tubuh bayi. "Jika ada luka pada bayi, virus (dari darah ibu bisa masuk melalui luka). Karena ini biasanya para dokter mengupayakan tidak melakukan tindakan persalinan dengan alat-alat bantu lantaran bisa melukai bayi", ujar Dhyanti. Sesudah persalinan pun bayi masih bisa tertular HIV. melalui ASI kata dokter yang aktif di Masyarakat Peduli AIDS Indonesia (MPAI) ini. Untuk itu ibu pengidap HIV tidak disarankan memberi ASI. Diakui Dhyanti, ini sulit dilakukan dalam kondisi sekarang, Harga susu formula sangat mahal. Belum lagi rendahnya pemahaman tentang kebersihan saat memberikan susu formula. Tanpa memperhatikan kebersihan air, dari botol susu, bayi sangat rentan terkena diare. Bahkan beberapa kasus menunjukkan, bayi meninggal bukan karena virus, tapi lantaran diare. Karena itulah WHO (World Health Organization), badan kesehatan PBB, mengajurkan apa ASI tetap diberikan. "Tapi jangan dicampur (diselang-seling -//Red.//) dengan susu formula. Karena kalau bayi tidak cocok, bisa terjadi luka pada usus. Akibatnya virus dalam ASI bisa masuk melalui luka tersebut," pesan Dhyanti. Lalu, bagaimana dengan resiko tertular HIV melalui ASI? Dhayanti menegaskan sejak lahir bayi sudah harus diberi pengobatan. Yaitu dengan /Zidovudine//, sejenis sirup//antiretroviral// sesuai petunjuk dokter. Cesar dan AZT, Kurangi Risiko Penularan HIV kepada janin dapat diperkecil bila ibu diberi //AZT// atau antiretroviral. Antiretroviral adalah obat yang dapat menurunkan jenis virus, dengan mencegah virus melakukan 'kopi--cetak'/menggandakan materinya. Selain itu, AZT dapat pula meningkatkan daya tahan tubuh ibu. Menurut penelitian, AZT harus diberikan saat kehamilan 14 minggu. Namun, penelitian lain merekomondasikan untuk kehamilan 8 minggu. Dengan AZT, kemungkinan penularan bisa ditekan sekitar 8-15 persen. Sayangnya, AZT sangat mahal harganya. Tujuh bulan lalu harga AZT di pasaran sekitar Rp 500 ribu, untuk pemakaian selama 2 minggu. Namun penelitian terbaru yang dilakukan di India dan Thailand menyebutkan AZT bisa diberikan pada kehamilan 36 minggu, Berarti hanya 2 minggu sebelum proses persalinan. Hasilnya tak jauh beda dengan pemberian AZT pada usia 8 atau 14 minggu. Proses persalinan dengan operasi //cesar// pun dianggap dapat mengurangi risiko penularan. Pada proses tersebut bayi tidak 'kontak langsung' dengan jalan lahir (vagina). Juga tidak ada kemungkinan bayi terluka akibat alat bantu persalinan. Bahkan menurut pengobatan jika ibu mengkonsumsi AZT dan melahirkan dengan cesar, kemungkinan penularan HIV bisa ditekan hingga 1%.

Mengingat bedah Cesar mahal dan tidak dapat menjangkau penderita di daerah-daerah terpencil, biasanya dokter akan 'membasmi' HIV dari jalan lahir. Sebelum persalinan vagina yang menjadi tempat bersarang virus, dibersihkan dengan antiseptik, setiap 6 atau 8 jam sekali. Tidak Ada Tanda-tanda Tidak mudah memastikan bayi yang lahir terinfeksi HIV atau tidak. "Baru bisa diketahui sesudah anak berusia 18 bulan," Dhayanti. Apalagi, tidak ada tanda-tanda fisik yang tampak. Bayi bisa saja berkembang normal, gemuk dan menggemaskan. Selain itu, tidak ada perlakuan khusus untuk bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV. Namun, perawatan penunjang harus tetap dilakukan. Nutrisi yang cukup dan seimbang serta imunisasi yang lengkap harus pula diberikan, layaknya pada bayi 'normal' Tapi bila bayi sudah menunjukkan penurunan daya tahan tubuh , imunisasi dengan vaksin 'hidup' seperti BCG, polio. campak tidak diberikan. Karena justru dapat menimbulkan penyakit pada bayi. Memang tidak mudah untuk menghadapi kenyataan bahwa bayi yang tidak tahu apa-apa terinfeksi HIV> Namun janganlah pesimis. Pengalaman di banyak Negara menunjukkan , seperlima (20%) bayi yang terinfeksi HIV baru mengalami penyakit yang serius pada usia 1 tahun. Sebagian dari jumlah tersebut meninggal ketika usianya 4 tahun. Yang penting "Keluarga harus mendukung terutama kepada sang ibu. Karena ibu bisa mengalami stress karena penyakitnya sendiri, juga melihat penyakit yang diderita bayinya," saran Dhayanti. AIDS... * Singkatan dari //acquired Immunodeficiency Syndrome// (sindrom cacat kekebalan tubuh yang didapat/bukan keturunan). * Disebabkan virus yang menyerang kekebalan tubuh (//Human Immunodeficiency Virus atau HIV) * Terjadi karena limfosit CD-4 (satu sel darah putih yang bertugas melawan virus, tumor, jamur dan kuman Lain) mati ditumpangi HIV. Sehingga jumlahnya menurun. * Menular lewat hubungan intim tanpa pelindung dengan penderita, transfusi darah, jarum suntik, ibu hamil (ke bayi).

Penderita AIDS di Indonesia * Ditemukan sejak 1987, di Bali * Sampai sekarang jumlah 839 ODHA (Orang Hidup dengan AIDS) * Sebagian (120 orang, dengan komposisi: 97 pria dan 23 wanita, mencakup didalamnya 22 pasutri, 2 memiliki balita, 2 ibu hamil) dinaungi Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Jakarta. Wanita Lebih Berisiko Resiko wanita terinfeksi HIV, 2-4 kali lebih besar dibanding laki-laki. Mengapa?

* Permukaan alat kelamin wanita lebih luas dibanding laki-laki. Kemungkinan infeksi lewat sperma saat berhubungan, lebih besar. * Konsentrasi HIV sperma lebih tinggi konsentrasi dalam cairan vagina. Padahal, spermalah yang masuk ke dalam tubuh wanita saat berhubungan. * Wanita menanggung resiko seks lewat dubur (yang seharusnya tidak boleh dilakukan) yang merusak jaringan anus. Viruspun masuk ke dalam tubuh. (Dr Zubari Djoerban, Spd ketua MPAI). Tegar Di Sisa kehidupan NY. Made, (bukan nama sebenarnya -- Red.), ibu rumah tangga asal Bali, divonis mangidap HIV pada tahun 1996. "Hidupku sekarang seperti lagunya Krisdayanti 'menghitung hari'," ujarnya. Tegar, tetapi getir. Aku hanya bisa pasrah. Toh sudah terlambat Virus HIV-AIDS yang mematikan itu telah bersemayam di dalam tubuhku. Ya, akulah pasien HIV-AIDS. Orang-orang kini menyebutku ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Mereka risih sepertinya melihatku. Acap kami berpapasan di jalan -- padahal jarak kami masih lima meteran - orang sudah menghindar. Belok kiri, belok kanan mundur berbalik arak bahkan kabur! Ya, Tuhan, sedih hatiku. Ek ada juga yang lantaran takut ketularan HIV/AIDS mereka menutup pintu rumahnya rapatrapat kalau aku lewat, Tetapi yang lebih menyedihkan adalah jika mereka, teman-teman dan saudara-saudaraku, menutup hatinya juga. Manurut dokter, rasanya mustahil mengenyahkan virus HIV dari tubuhku. "Sampai sekarang AIDS belum ada obatnya sih, " ujar dokter. Tanpa tedeng aling-aling dokter pun menvonisku akan segera meninggal dunia dalam beberapa tahun. lima tahun, sepuluh tahun.... Bisa juga lebih cepat. Dalam kesempatan berbincang dengan I&A pada seminar HIV/AIDS di Yogyakarta, beberapa pekan lalu, Ny. Made yang berambut panjang khas wanita Pulau dewata, menuturkan riwayat penyakitnya tanpa sedikitpun menagis. Dulu kupikir AIDS hanya mengancam orang-orang bule yang memang banyak di Bali. Atau, ya, paling tidak orang yang gaya hidupnya 'jorok' suka bergonta-ganti pasangan, penjaja seks, homoseks. Tapi ternyata AIDS menimpaku. Padahal aku lahir, besar dan tumbuh dalam keluarga Hindu yang taat beribadah. Seks bebas? Wah, aku takut kepada Sang Hyang Widhi. Sejak, kecil aku juga rasanya tak pernah meninggalkan semua peribadatan, upacara-upacara, sembayang, berbuat baik pada binatang pada sesama manusia. Jadi sekarang rasanya aku ingin berteriak mempertanyakan kepada Sang Dewata. Aku anak tunggal Bapakku wafat ketika aku masih kecil. Ibulah yang membesarkanku tapi terbelik keinginannya untuk menikah lagi. Aku heran, kenapa ibu tak mau menikah lagi, Padahal dia cantik, yang jatuh cinta padanya banyak. Tetapi kata ibu, dia mau mengurus aku saja. Duh terima kasih, Ibu.

Karena sayangnya aku pada ibu, sejak dulu cita-citaku adalah membahagiaan ibu kelak aku pun belajar sungguh-sungguh agar pintar, dan tak menyia-nyiakan jerih payah ibu mencari uang untuk menyekolahkan aku.. Kata orang-orang, pambawaanku riang. Aka juga ceriwis, sehingga mudah bikin orang tersenyum. Banyak orang senang bergaul denganku. Kata mereka wajahku biasa, tapi aku manyenangkan. Makanya banyak yang suka padaku, termasuk, Bram, teman satu SMA. Sayang Bram dan aku berbeda kasta, Kasta Bram lebih tinggi (Brahmana) dariku (Waisya). Setelah bersama-sama 4 tahun, kami terpaksa putus pacaran karena ibu melarangku serius dengan bram "Ibu tak mau melihat kamu disia-siakan oleh Bram lantaran kita berkasta lebih rendah," kata ibu. Ibuku memang masih kolot. Padahal kelurga Bram, meaki berkasta lebih tinggi, memiliki sifat egaliter (kesamaan derajat) begitu besat terhadap orang lain. Bagi mereka derajat seseorang bukan ditentukan keturunan, malainkan sifit dan kepribadiannya. Tapi apa mau di kata, aku tak sampai hati mengecewakan ibu. Bukan kah sejak dulu aku bercita-cita ingin membahagiakannya? Maafkan aku, Bram.... Meski hatiku hancur, aku tetap tersenyum menyambut calon suami pilihan ibu. Namanya, Baskoro, sarjana dari sebuah universitas bonafide di Jakarta yang hidupnya sudah mapan. Dia orang Bali juga. Kasta kami sama, tetapi dia lama tinggal di Jakarta. "Baskoro tampan Perawakannya yang tinggi besar cukup membuatku terkesima pada pertemuan pertama kami. Menurut Ny Made, secara jujur sebenarnya hatinya masih tertuju kepada mantan pacarnya, Bram, Pemanpilan Baskoro yang menawan tak sanggup mengusir cintanya pada Bram, pemuda yang bersahaja Aku cuma punya kesempatan 4 bulan untuk mengenal Baskoro langsung. Setelah itu dia harus kembali ke Jakarta untuk mengurus pekerjaannya, setahun kemudian baru kami menikah. Maka kujalani saja hari-hari perkenalan dengan singkat. Pacaran? Rasanya kurang pas juga disebut begitu. Masalahnya hati kami masih 'jalan' sendirisendiri. Cara baskoro yang berkomunikasi dengan kaku, dingin dan terkesan ada yang menyembunyikan. Misal, waktu aku bertanya masa lalunya, Baskoro menyahut singkat, "Saya pernah punya pacar. Saya juga pernah berhubungan seksual." Aku kaget, Tapi kata orang memang lelaki suka bertualang. Keperjakaan bagi mereka tak penting. Terima sajalah kodrat ini. Hari pernikahan tiba. Baskoro datang dengan pakaian komplit, untuk menyuntingku jadi istrinya. Tetapi, ah kok dia kurus sekali? Raut wajahnya juga kaku, seperti orang sakit. Padahal setahun kemarin dia masih gagah seperti Bima.

Aku tak banyak bertanya. Jodohku dari Dewata. Aku telah mengikat janji mengarungi bahtera rumah tangga bersama Baskoro. Dalam hati aku bertekad belajar mencintai laki-laki ini sepenuh hati. Bulan pertama perkawinan memang payah, karena kami masih saling menyesuaikan diri. Tetapi lama-lama kebahagian mulai berlabuh dihatiku. Apalagi waktu aku dinyatakan positif hamil. Oh, bahagianya. Aku akan punya bayi mungil! Mudah-mudahan dia bagus seperti bapaknya.

Diam-diam aku mulai cinta pada baskoro. Tetapi selagi aku hamil muda, mengapa dia yang muntah-muntah? Badannya juga sering meriang. Sebaliknya aku mual saja tak pernah. Apa ini namanya suami mengidam demi istrinya yang hamil? Menurut kepercayaan orang bali , jika suami payah saat istrinya sedang hamil, berarti cintanya pada istrinya besar. Sampai Ny made hamil besar, suaminya masih sering muntah. Bahkan ketika jabang bayi lahir, Baskoro masih kerap meriang. Lama-lama sang istri curiga beli (kakak -- Red) apa sakit parah?" tanyaku pada Baskoro ketika dia meriang di tempat tidur. Baskoro tidak mejawab. "Kok, obat dari dokter seperti tidak mempan ya, Beli?" desaku lagi. Makin hari suamiku makin kurus kering, Tenggorokannya sakit mulutnya susah mangunyah makanan. Belakangan paru-parunya juga sesak. Apa gerangan ini? Apa sebenarnya yang diderita Baskoro? Bingung aku jadinya. Suatu hati kebetulan kami berkungjung ke rumah pamanku yang dokter. Waktu melihat Baskoro, paman membisiki aku, "Kok, Baskoro seperti penderita AIDS?" Tentu saja aku kaget. Kulihat wajah pamanku, apakah dia guyon? Tetap tidak, wajah paman serius. "Sebaiknya Baskoro periksa darah" usul pamanku. Karena aku ingin melihat Baskoro sembuh dan menungguiku melahirkan anak kami saran paman kuikuti. Sakalian saja aku juga tes darah. Karena jika ternyata Baskoro benar sakit parah, paling tidak aku ingin tahu kondisiku yang telah hidup bersamanya. Beberapa hari kemudian kami dipanggil untuk mendapatkan informasi hasil tes. Waktu itu aku tengah hamil tua. "Ibu positif HIV. Bapak positif AIDS," kata dokter. Seperti ombak setinggi gunung yang menabrak batu karang di Pantai Tanah Lot. Dan langit mana awanmu yang cerah? Apa-apaan ini? ini benar atau main-main? Kok, tega-teganya dokter memberi informasi seperti ini? Tak tahukah dia aku sedang hamil tua dan tak pantas mendengar berita semacam ini? Perutku langsung mulas. Namun memang benar. Memang informasi ini yang harus kami telan. Aku dan suamiku samasama mengidap virus HIV yang menggerogoti kekebalan tubuh kami, tetapi suamiku lebih parah karena kekebalantubuhnya telah terserang lebih dahulu sehingga rontok. Akupun ditularinya. "Bagaimana bayi saya dokter? Apa dia kena juga?" tanyaku gemetar.

"Kita cari tahu setelah dia lahir saja, Bu" Setelah mendengar vonis dokter, menurut Ny. Made, berminggu-minggu dia merenungi takdirnya. Rasa tak percaya pahit begitu pahit.... Akhirnya aku sampai pada sebuah titik di Ujung perenunganku. Apa mau di kata, mungkin inilah karmaku. Pelan-pelan ku kumpulkan kembali keping-keping hati yang berantakan. Kukuatkan hati menyambut kelahiran si kecil. Karena dialah satu-satunya penghiburan di dunia.... Kondisi kesehatan Baskoro makin memburuk. Dia tak, lagi bisa bicara dan bergerak. Hari-hari dilaluinya di atas ranjang, sembari terbujur lemah, Oh, Dewa, sembuhkanlah suamiku. Apa pun dosanya di masa lampau, enyahkan penyakit jahanam itu dari tubuhnya. Beri kami kesempatan berbagi suka dan duka bersama, dan membesarkan anak kami.... Mesti dikategotikan sakit aku tetap ingin melahirkan normal. Dan, eh, ternyata anakku sayang mengerti kondisi Mamanya. Dia lahir mudah dan lancar. Wayan lahir dengan kulit bersih dan wajah ganteng. Tetapi, duh, matanya terkena cairan mulut rahim yang banyak, mengandung virus HIV. Syukurlah dengan penangan jitu dan segera dari tim dokter, beberapa hari kemudian Wayan sembuh ( belakangan aku baru tahu seorang ibu yang terinfeksi HIV seharuanya melahirkan secara cesar untuk mencegah tertularnya virus pada anaknya dari jalan lahirnya) Terima kasih Dewa, Wayan dinyatakan bebas HIV. Aku bersyukur sekali. Aku menaruh sesaji lebih banyak, sebagai tanda syukur. Sinar mata Baskoro yang hampir redup juga kembali bercahaya saat melihat putranya. Dia begitu ingin merengkuhnya dalam pelukannya yang ringan. Namun Baskoro hanya sanggup memandang Wayan yang tidur lelap di ranjangnya yang dingin. Setiap kali Baskoro ingin sesuatu, pelan-pelat tangannya menulis di atus secarik kertas. Aku merasa iba padanya. Di saat separah itu, Baskoro dijauhi pula oleh semua orang. Tak ada yang bersimpati padanya. Oh, begitulah manusia. Tak ada yang abadi. Sambil mengurusi Wayan yang baru lahir aku terus merawat Baskoro. Seminggu setelah Wayan lahir, Baskoro menutup mata. Biarlah yang lalu telah berlalu. Usai ku sesali lagi. Justru dengan kondisi kesehatanku seperti ini, rasanya aku makin bijak menjalani hidupku. Aku sadar waktu ku sudah semakin dekat. Agar hidupku menjadi lebih berarti, selain mengurus Wayan, aku melibatkan diri secara aktif dalam sebuah yayasan peduli AIDS. Lewat lembaga ini kami berusaha mensosialisasikan bahaya AIDS pada masyarakat luas. Aku jadi sering hadir dalam seminar-seminar, berbagai pengalaman, yang kuharap bisa menjadi pelajaran barharga bagi yang lain. Bahwa HIV/AIDS bisa datang secara tak terduga-duga dan berbagai arah. Karena itu berhati-hatilah senantiasa. Meski respon masyarakat masih buruk terhadap ODHA seperti aku, semangatku tak pernah surut Ya kadang aku memang sedih dan marah , bahkan pada Sang Hyang Widhi, karena diperlakukan tidak adil. Tetapi disaat akal sehatku muncul, aku rasanya bisa sangat tabah. Aku juga sudah

cukup tegar mulai menitipkan Wayan pada kerabat-kerabat kami, bila saat tiba, seperti dituturkan Ny Made kepada Aisyah A. Usman Bersama Iqbal, kuhitung hari perpisahan Januari 1998 Ny. Rini dinyatakan Positif terjangkit HIV (//Human Immunodeficiency Virus//). Untung Virus mematikan di dalam darah perempuan ini tidak tertular pada bayi yang baru dilahirkannya. Dengan tabah, bagaimana bayi kecil Ny. Rini kini menghitung hari perpisahan....... Aku penderita AIDS (//Acquired Immunodeficiency Syndrome//). Benar-benar seperti mimpi. Padahal aku bukan perempuan yang suka gonta-ganti pasangan. Aku berhubungan seks cuma dengan suami tercinta. Duh, Tuhan mengapa aku terjangkit virus mematikan ini? Semua terkuak januari 1998. Waktu itu aku masuk rumah sakit karena kecelakaan. Luka-lukaku parah aku mesti di rawat bebarapa hari. Yang membuatku heran perlakuan dokter dan suster di rumah sakit terhadapku agak lain. Peralatan makan dan minumku berbeda dengan pasien lain Mengapa? Apa karena luka-luka di tangan dan mukaku begitu menjijikkan? Suatu pagi suster kepala mendatangiku, dan berkata, aku mesti dipindahkan ke RSCM. "Bukan karena peralatan yang kami miliki di sini tidak lengkap, Bu. Tapi di RSCM Ibu akan ditangani dokter orang lebih ahli" jelas suster kepala. Aku melongo mendengarnya, antara kaget dan bingung. "Memang kenapa suster? Apa luka saya parah sekali? Kok sampai mesti ditangani dokter ahli sagala?" Hatiku ribut bertanya, Anehnya mulutku terkunci rapat. Dengan ambulan siangnya aku dipindahkan ke RSCM, Jakarta. Di rumah sakit pemerintah ini aku masuk kamar perawatan. Rasa heranku terbit lagi di RSCM. Kamar tempat aku di rawat sangat berbeda dengan kamar rumah sakit sebelumnya. Kamarku kini sangat mewah. Ada televisi, kulkas pakai AC lagi! //Ny Rini tertunduk sendu. Katanya kemudian, setelah 2 hari tinggal di RSCM, 2 orang psikolog mendatanginya. Mereka bicara panjang lebar soal HIV dan AIDS// Ya, 2 psikolog itu menceramahiku tentang AIDS dan HIV, seperti asal-usul penyakit ini cara penularannya.... Setelah semua habis dikupas, mereka bertanya apakah aku cukup mengerti? Aku menganguk-angguk sambil bengong. Kemudian, perlahan-lahan dan sangat hati-hati. Kedua ahli jiwa itu menyampaikan bahwa aku terinfeksi virus HIV. Seperti mendengar petir di siang bolong aku terhentak di ranjang. Jantungku berdebar kencang. Mulut ku terasa kering, satu yang terlintas di benak ku saat itu adalah tidak, ini tidak mungkin! Mana mungkin aku menderita AIDS? Aku perempuan bermoral? Aku tak pernah bergonta-ganti pasangan! Aku tak pernah menggunakan obat terlarang! Aku bukan perempuan penjaja seks! Siapa yang menulari kuman jahanam itu? Bukankah terkena AIDS berarti aku akan mati sebentar lagi, dengan cara mengerikan? Tuhan betapa tidak adilnya Engkau!"

Belakangan aku tahu orang yang menulariku virus HIV adalah mantan suamiku sendiri. Pria yang pernah menjadi orang yang terdekat dan paling kucintai-kami bercerai tahun 1996 Hatiku yang marah pun berubah jadi hancur, sehancur-hancurnya. Setelah mengeluarkan segenap emosi, aku menangis di ranjang. Tubuhku lunglai. Habis sudah hidupku. Rasanya aku tak kuat menahan aib. Sudah tangan dan muka cacat gara-gara kecelakaan, menderita AIDS lagi, tertular suami sendiri. Duh..."Memang sekarang sudah ada vaksin AIDS, Bu. Dengan vaksin AIDS itu jumlah virus yang ada di dalam tubuh ibu dapat ditunda perkembangbiakannya," jelas dokter.

Gembiralah aku mendengarnya? Optimiskah aku? Sama sekali tidak? Aku sadar diri, aku orang yang tak punya. Harga vaksin penagkal AIDS hasil penemuan teknologi tinggi itu pasti tidak murah. Dan benar harga vaksin 'harapan' itu memang mahal. Jutaan rupiah sekali minum. Dan kalau mau mendapat khasiatnya pasien harus meminumnya terus menerus. Nah, betulkan harapan itu bukan untuk orang seperti aku? Hanya orang kaya yang bisa memberikan harapan. //Menurut Ny Rini setelah divonis menderita HIV semangat hidupnya terbang entah ke mana. Ibu rumah tangga yang perawakan gemuk dan berperawakan ceria ini patah asa....// Ya, memang benar. Rasanya habislah semua. Untuk apalah aku hidup //ngomong// dan tertawa seperti dulu? Aku menyesal, tapi apa yang disesali? Karena kawin dengan mantan suami ku.

Ditengah kegalauan itu, aku didampingi orang-orang dari Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Inilah yayasan yang bergerak di bidang penanganan masalah AIDS. "Ah....Apa pula!" aku sempat apatis. Tetapi ternyata lewat yayasan ini aku bertemu dengan para ODHA Mereka kawan-kawan senasib ku. Eh ternyata aku masih bisa ngobrol dan tertawa. Yang lebih ajaib, setelah bergaul dengan mereka, aku seperti punya semangat lagi. Bergaul dengan ODHA, aku tidak merasa sendirian menaggung vonis 'mati'. Virus HIV yang kukandung tidak sempat menjangkiti anakku Iqbal ketika dia dalam kandungan. Aku masih punya waktu untuk berserah diri, berkonsentrasi melakukan amalan-amalan, melakukan sesuatu yang berguna bagi orang lain.

Akhirnya tiba waktu ku keluar dari rumah sakit. Saat itulah hatiku kembali was-was. Setelah bercerai dengan suami, aku //numpang// di rumah kakak perempuanku. Dia belum tahu aku kena AIDS kalau dia tahu apakah dia masih mau menerimaku tinggal serumah? "Aku takut mereka tak mau menerimaku lagi aku menganggapku hina," ungkapku pada teman-teman ODHA dan relawan YPI

"Kamu jangan khawatir Rin soal kakakmu, biar kami yang menyampaikan. Mudah-mudahan dia diberi kebesaran hati oleh tuhan, dan tetap mau menyayangi dan memperlakukan kamu dengan baik," ujar relawan YPI. Duh, betapa baiknya kawan-kawan baruku. Entah bagaimana cara mereka menyampaikan, yang pasti, saat kakaku dan suaminya tahu Aku mengidap AIDS, serta mereka menghambur ke pelukanku, memelukku lebih erat dari biasanya. Rasanya saat itu akulah orang paling bahagia, sekaligus haru, sedunia. Siang itu Ny. Rini pulang ke rumah. Di rumah keluarga kakaknya memperlakukan Ny. Rini seperti biasa, tak kurang tak lebih. Ini membuat Ny. Rini besar hati. Secara psikologis dia mengaku bak mendapat kekuatan untuk tetap optimistis dengan AIDS yang diidapnya.

Bagaimana tidak kami tetap melakukan sesuatu seperti biasanya. Makan bersama, nonton TV bareng, Malah rasanya, kakakku makin sayang kepadaku. Tetapi, meski 'diterima' keluarga, aku tetap tak, berani memberitahu orang lain di luar keluarga tentang kondisiku. Jangan nekat Rin. Masyarakat belum tahu banyak tentang AIDS. Lebih baik aku sembunyi dulu keadaanku, agar mereka tak melakukan hal yang tidak-tidak.

Selain itu, aku juga tak bicara sepatah kata pun soal diriku pada Iqbal putraku. Pertimbanganku, Iqbal masih terlalu muda untuk mendengar kabar buruk ini. Masak aku harus bilang padanya, ibunya kena penyakit berbahaya, sebentar lagi akan mati dan tidak ketemu Iqbal lagi selamalamanya? Ah, mana tega aku.... Aku tetap mengasuh Iqbal seperti biasa. Rasa sayangku kian dalam. Bila dia tidur, di luar pengetahuannya dia, kupeluk dia erat-erat seakan tak ingin kulepaskan. Kuciumi pipinya yang gembil Iqbal kalau ibu tak dapat membesarkanmu selama yang kau inginkan, maafkan ibu ya nak....

Aku ingin punya tabungan untuk sekolah Iqbal kelak. Niatku itu aku wujudkan dengan mengembangkan hobiku menjahit, jadi pengusaha. Hari-hariku berlalu dengan menjahit sprei. Lumayan berkat promosi dari mulut ke mulut yang dilakukan kakanku. Speiku laku! Di sela kegiatan menjahit, aku juga aktif bantu-bantu di YPI. Tugas yang paling kusukai adalah jika harus membesarkan hati penderita AIDS baru. Seolah dengan tugas ini aku ingin membalas jasa YPI dan kawan-kawan ODHA ku dulu, saat aku baru divonis AIDS. Mengingat baru setahun terjangkit HIV, tubuhku masih normal seperti sedia kala. aku masih gemuk, tinggi besar. Wajahku pun belum tampak lesu. Aku juga masih doyan makan. Malah sekarang tak ada niat untuk diet. Kalau aku ingin sesuatu, makan saja. Asal makanan itu bersih dan sehat. Mumpung belum kehilangan selera makan....

Aku juga masih aktif berolah raga, lari-lari kecil di tempat. Kadang ditemani Iqbal. Kalau sedang bercanda dengan dia, aku harus sering-sering mewanti-wanti diri. Tidak boleh, misalnya mencium bibirnya terlalu gemas. Kalau Iqbal terkena luka tidak tercemar ludah atau darahku. Ya memang dengan AIDS yang kuderita bagaimanapun ada jarak dengan aku dan anakku. Termasuk jarak waktu. Kelak jika AIDS merenggut nyawaku bukankah tak akan kulihat lagi senyum Iqbal yang nakal? indeks 2001 cerita remaja indonesia Dr Widodo Judarwanto SpA Belum lagi permasalahan penyakit polio dan busung lapar mereda, kembali dunia kesehatan Indonesia terguncang. Telah dilaporkan 34 anak usia bawah lima tahun (Balita) di propinsi Papua positif mengidap Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Tampaknya kasus ini tidak hanya menimpa anak balita di propinsi tersebut. Mungkin juga akan dialami beberapa anak balita di propinsi lainnya, mengingat kasus HIV juga mulai menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan selsel darah putih dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). AIDS adalah penyakit fatal yang merupakan stadium lanjut dari infeksi HIV. Infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama pada orang dewasa). Gejala umum yang sering terjadi pada anak adalah diare berkepanjangan, sering mengalami infeksi atau demam lama, tumbuh jamur di mulut, badan semakin kurus dan berat badan terus turun. Serta gangguan sistem dan fungsi organ tubuh lainnya yang berlangsung kronis atau lama. Secara primer HIV dan AIDS terjadi pada dewasa muda, tapi jumlah anak-anak dan remaja yang terkena semakin bertambah jumlahnya. Penularan infeksi HIV dari Ibu ke Anak merupakan penyebab utama infeksi HIV pada anak usia di bawah 15 tahun. Sejak HIV menjadi pandemic di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV. Hampir sebagian besar penderita tersebut tertular melalui penularan dari ibu ke anak. Setiap tahun diperkirakan lebih dari 800.000 bayi menjadi terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke anak. Dan diikuti adanya sekitar 610.000 kematian anak karena virus tersebut. Di Indonesia menurut Ditjen PPM dan PL Departemen kesehatan tercatat

3568 kasus HIV/AIDS pada akhir bulan Desember 2002. Terdapat 20 anak dengan infeksi HIV yang tertular ibunya. Penelitian yang dilakukan Yayasan Pelita Ilmu dan Bagian kebidanan FKUI/RSCM selama tahun 1999-2001 melakukan pemeriksaan pada 558 ibu hamil di daerah miskin di Jakarta, menunjukkan hasil sebanyak 16 orang (2,86%) mengidap infeksi HIV. Wanita sering tertular infeksi HIV melalui hubungan heterosexual dengan pasangan yang terinfeksi atau melalui penggunaan obat-obatan, Meningkatnya infeksi HIV pada anak adalah karena akibat penularan selama perinatal (periode kehamilan, selama dan setelah persalinan). Lebih dari 90% AIDS pada anak yang dilaporkan tahun 1994 terjadi karena transmisi dari ibu hamil ke anak.. Penularan terhadap bayi bisa terjadi selama kehamilan, persalinan atau postnatal melalui ASI. Angka kejadian penularan dari ibu ke anak diperkirakan sekitar 20% - 30%. Penularan HIV dari ke janin bila tanpa dilakukan intervensi dilaporkan berkisar antara 155 45%. Resiko penularan di negara berkembang sekitar 21% - 43%, lebih tinggi dibandingkan resiko penularan di negara maju sekitar 14%-26%. Penularan dapat tejadi saat kehamilan, intrapartum, dan pasca persalinan. Resiko infeksi penularan terbanyak terjadi saat persalinan sebesar 18%, di dalam kandungan 6% dan pasca persalinan sebesar 4%. Penularan di dalam kandungan didiagnosis jika pemeriksaan virologis negatif dalam 48 jam pertama setelah kelahiran, selanjutnya tes minggu pertama menjadi posItif dan bayi tidak menyusui Ibu. Selama persalinan bayi dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang mengandung HIV melalui paparan trakeobronkial atau tertelan pada jalan lahir. Pada ibu yang terinfeksi HIV, ditemukan virus pada cairan vagina 21%, cairan aspirasi lambung pada bayi yang dilahirkan. Besarnya paparan pada jalan lahir sangat dipengaruhi dengan adanya kadar HIV pada cairan vagina ibu, cara persalinan, ulkus serviks atau vagina, perlukaan dinding vagina, infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini, persalinan prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forsep, episiotomi dan rendahnya kadar CD4 pada ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko transmisi antepartum sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan. Transmisi pascapersalinan sering terjadi melalui pemberian ASI (Air susu ibu). ASI diketahui banyak mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang tenderita HIV adalah 1 per 10 4 sel, partikel virus ini dapat ditemukan pada componen sel dan non sel ASI. Berbagai factor yang dapat mempengaruhi resiko tranmisi HIV melalui ASI antara

lain mastitis atau luka di puting, lesi di mucosa mulut bayi, prematuritas dan respon im bayi. Penularan HIV melalui ASI diketahui merupakan faktor penting penularan paska persalinan dan meningkatkan resiko tranmisi dua kali lipat. Beberapa peneliti membuktikan pemberian ASI pada ibu dengan HIV meningkatkan tranmisi HIV 0,7% perbulan pada usia 0 sampai 5 bulan, 0,6% pada usia 6-11 bulan, lalu 0,3% perbulan pada usia 12-17 bulan. Penelitian Leroy menyebutkan resiko tranmissi HIV melalui ASI diperkirakan adalah 3,2 per 100 anak pertahun. Keadaan penyakit ibu juga menjadi pertimbangan karena Ibu yang terinfeksi HIV mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi darinyang tidak menyusui. WHO, Unicef dan UNAIDS mengeluarkan rekomendasi untuk menghindari Air Susu Ibu yang terkena HIV jika alternative susu lainnya tersedia dan aman. Pemeriksaan standar seperti enzyme-linked immunoabsorbent assay dan analisa Western termasuk antibodi immunoglobulin. Imuniglobulin G (IgG) tidak dapat mendiagnosis HIV pada bayi di bawah usia 18 bulan. Hal ini disebabkan karena masih ditemukannya IgG anti HIV ibu yang melewati plasenta di darah bayi, bahkan kadang hingga usia 24 bulan. Sedangkan IgA dan IgM anti HIV tidak dapat melalui plasenta sehingga dapat dijadikan konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Namun sensitifitas kedua pemeriksaan tersebut masih sangat rendah. Pemeriksaan yang bisa dilakukan pada usia di bawah usia 18 bulan adalah pemeriksaan kultur HIV, tehnik PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk mendeteksi DNA atau RNA HIV dan deteksi antigen p24. Infeksi HIV pada bayi di bawah 18 bulan dapat ditegakkan bila dua sampel dari dua kali pemeriksaaan yang berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Infeksi HIV bisa disingkirkan bila 2 macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan dengan PCR atau kultur virus dapart dilakukan sejak lahir dan usia 1 atau 2 bulan. Darah tali pusat tidak dapat digunakan dalam pemeriksaan HIV. Jika PCR kultur virus adalah positif, maka pemeriksaan harus diulang segera untuk konfirm asi sebelum diagnosis HIV dibuat. Bila hasil PCR atau kultur virus dilakukan saat lahir dan usia 1-2 bulan tidak menunjukkan hasil positif dan bayi tidak menunjukkan gejala maka pemeriksaan diulang usia 4 bulan. Pemeriksaan lainnya harus dimajukan sebelum usia 4 bulan bila timbul gejala infeksi pada bayi. Atau bila pemeriksaan hematologi atau imunologi menunjang adanya infeksi HIV.

Orangtua atau ibu dari bayi yang terpapar HIV harus menyadari masalah yang dihadapi anaknya sejak awal. Penentuan diagnosis HIV yang akan dihadapi penderita sangat berpengaruh pada orang tua dan keluarga. Ibu penderita harus diberikan informasi yang jelas tentang seringnya evaluasi pemeriksaan, kesulitan diagnosis awal infeksi HIV pada bayi, manfaat pemeriksaan untuk menentukan status infeksi bayi, pemberian Zidovudine dalam mengurangi resikopenularan, terapi profilasis PCP, modifikasi dalam rekomendasi imunisasi, rekomendasi untuk tidak memberi ASI dan kewaspadaan untuk mencegah penyebaran penyakit.. Dokter yang merawat harus mendiskusikan bersama orang tua tentang penilaian gejala, tampilan klinis penyakit, manifestasi hematologi, penyakit ginjal atau manifestasi neurologi yang diakibatkan oleh penyakit AIDS. Peningkatan kasus HIV memungkinkan terjadi peningkatan keterlibatan dokter khususnya dokter spesialis kandungan dan dokter anak dan tenaga medis lainnya dalam perawatan bayi yang terpapar HIV. Masyarakat khususnya yang beresiko terinfeksi HIV hendaknya juga turut aktif dalam pencegahan penularan HIV pada bayi yang akan dilahirkan. Skrening atau pemeriksan awal HIV pada Ibu hamil yang beresiko harus sudah menjadi tindakan rutin. Resiko dan potensi pada anak untuk terinfeksi HIV semakin meningkat pesat. Untuk mencegah dalam kondisi yang lebih mangkawatirkan, maka pencegahan harus terus dilakukan. Mengurangi kehidupan seks bebas, menghindari narkoba dan perilaku negatif lainnya adalah tindakan yang harus dikampanyekan terus menerus. Jangan sampai dosa dan perbuatan buruk orang tua menjadi beban kehidupan anak Indonesia di kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai