Anda di halaman 1dari 5

Penataan Ruang dan Pembangunan Berkelanjutan Pipin Noviati Sadikin Maret 2012

Pembangunan Berkelanjutan
Di Indonesia, pembangunan seringkali berkonotasi fisik, yaitu berupa upaya/kegiatan membangun yang bersifat fisik, seperti infrastruktur. Umumnya ukuran keberhasilan pembangunan dan perkembangan suatu wilayah dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonominya, berupa peningkatan Pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB). Kesejahteraan masyarakat pun diukur dari PDB per kapitanya. Bahkan karena terlalu terfokus pada pertumbuhan ekonomi wilayah, perkembangan sector lainnya jadi terlupakan, seperti masalah pemerataan pembangunan atau pelestarian lingkungan. Pembangunan yang hanya memperhitungkan satu aspek akan menimbulkan permasalahan pada aspek lain yang pelik. Istilah Pembangunan Berkelanjutan digunakan pertama kali pada tahun 1987 oleh WCED (World Commission on Environment and Development). Komisi ini menyimpulkan bahwa pembangunan perlu berorientasi kepada keberlanjutan, tidak saja untuk generasi saat ini, tapi juga untuk generasi mendatang. Dalam laporan hasil kajiannya yang berjudul: Our Common Future, dikemukakan tiga dimensi penting dalam pembangunan berkelanjutan yang merupakan satu keterpaduan, yaitu dimensi ekonomi, social dan lingkungan. Ketiga dimensi ini disempurnakan oleh Munasinghe dalam suatu skema segitiga. Ketika terjadi pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah, maka akan ada pengembangan wilayah. Ketika terjadi pengembangan wilayah, maka hal itu perlu berorientasi kepada Pembangunan Berkelanjutan yang mempertimbangkan keseimbangan antara ketiga aspek penyokongnya, yaitu ekonomi, ekologi dan social. Pembangunan berkelanjutan tidak saja mencakup segi waktu dari generasi ke generasi berikutnya. Pembangunan berkelanjutan tentunya juga berkaitan erat dengan adanya wilayah-wilayah atau ruang-ruang pembangunan dalam dimensi ketiga aspek tadi. Karena itu, perlu pembahasan mengenai konsep penataan ruang dalam pembangunan berkelanjutan ini.

Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang di Indonesia


Konsep pengembangan wilayah yang dikaitkan dengan aspek pengaturan ruang diperkenalkan oleh Hirschman dan Myrdal dalam suatu model pertumbuhan ekonomi wilayah dengan teori pengembangan wilayah pada tahun 1979. Konsep ini mempertegas bahwa ada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dalam suatu entitas wilayah (growth pole). Konsep ini didasari pemikiran bahwa kondisi yang terjadi ketika pertumbuhan ekonomi wilayah tidak merata. Di satu wilayah, berkembang pertumbuhan ekonomi semakin baik, sementara di wilayah lain justru terjadi sebaliknya dan semakin terbelakang. Teori pengembangan wilayah yang memadukan aspek ekonomi, pertumbuhan dan lingkungan semakin berkembang. McCann, tahun 2001 membuat model kuantitatif ekonomi wilayah yang mempertimbangkan daya dukung lingkungan, khususnya dalam menghitung nilai sewa lahan untuk suatu wilayah yang mengalokasikan ruang terbuka hijau (green belt) antara kota dan pedesaannya (hinterland) yang berfungsi untuk preservasi kawasan pedesaan.

Di Indonesia, teori dan konsep pengembangan wilayah juga berkembang sejak tahun 1960 dengan pengembangan sektoral dan parsial, dengan kutub pertumbuhan (growth pole) yang lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur, regionalisasi dengan basis wilayah fungsional (functional region) dengan pembagian wilayah Indonesia dalam satuan wilayah ekonomi (SWE). Undang-undang no 17 thn. 2006, dengan pendekatan lingkungan disebutkan tentang Pembangunan Jangka Panjang Indonesia harus berbasis pada tata ruang. Karena itu, konsep pengembangan wilayah di Indonesia perlu mengikuti kaidah penataan ruang. Undang-undang no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mencantumkan bahwa Pembangunan yang mengikuti kaidah Penataan ruang disusun atas dasar keinginan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan buatan untuk kesejahteraan rakyat, dengan demikian harus dijaga dan dikelola untuk prinsip keberlanjutan, menjaga keserasian dan mencegah kesenjangan antar daerah, antar pusat dan daerah, antar kota dan desa, dan antar wilayah/kawasan, menciptakan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, dan berbasis mitigasi bencana untuk meningkatkan keselamatan, kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Berdasarkan Undang-undang tersebut, maka konsep pengembangan wilayah di Indonesia, perlu mengikuti kaidah pendekatan gabungan dalam suatu perencanaan berupa penataan ruang. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruangnya. Undang-undang ini juga menjelaskan adanya gabungan antara (1) struktur ruang dan (2) pola ruang. Struktur ruang terdiri dari pusat-pusat pemukiman dan system jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan pusat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan social masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang merupakan distribusi pada ruang dalam suatu wilayah/kawasan yang meliputi ruang yang berfungsi untuk perlindungan dengan pendekatan ekologis seperti hutan lindung, serta ruang yang berfungsi untuk budidaya. Pengertian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui pelaksanaan program. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang melalui penetapan peraturan zonasi, perijinan yang terkait pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.

Studi Kasus: Ekosistem Mangrove Kecamatan Sukadana TNGP


Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat) selama ini sangat mengandalkan sumberdaya hutan tropis dalam perekonomiannya. Merosotnya produksi kayu akibat berkurangnya luasan hutan tropis membuat pemerintah kabupaten Ketapang mulai memperhatikan sumberdaya pesisir dan lautan berupa ketersediaan sumberdaya perikanan yang bernilai ekonomis tinggi pada ekosistem Mangrove. Luasan Mangrove pada kabupaten Ketapang sekitar 109.742,25 ha dan 17.569,25 ha dari luasan tersebut mengalami rusak berat (data Bappeda Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2002). Ekosistem mangrove ini terletak pada Kecamatan Sukadana, yang merupakan bagian dari ekosistem mangrove Ketapang Utara, di wilayah pesisir Taman Nasional Gunung Palung (TNGP). Kerusakan ekosistem mangrove ini disebabkan karena factor fisik lingkungan dan factor social ekonomi masyarakat. Masyarakat yang bermata pencaharian petani dan petambak dominan memberikan pengaruh terjadinya kerusakan ekosistem mangrove sebagai akibat dari konversi ekosistem mangrove menjadi pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan, pertambakan dan pemanfaatan langsung kayu sebagai bahan bangunan, arang dan kayu bakar. Konversi lahan mangrove ini menyebabkan perubahan pada ekosistem mangrove 2

berupa degradasi secara kuantitas dan kualitas sehingga menurunkan fungsi ekologis dan ekonomisnya. Masyarakat yang tinggal di sekitar ekosistem mangrove ini mempunyai ketergantungan yang sangat besar terhadap ekosistem mangrove tersebut. Mereka dapat berperan sebagai perusak atau perawat/penjaga ekosistem mangrove ini. Untuk itu perlu dibangun suatu pola pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan yang melibatkan masyarakat di sekitar ekosistem ini. Dengan demikian, masyarakat bisa merasakan manfaatnya secara berkelanjutan dan akan mempertahankan keberadaan ekosistem mangrove ini, secara berkelanjutan pula. Pelibatan masyarakat local ini akan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi konservasi dalam suatu kawasan. Meningkatnya kesadaran ini akan mengubah perilaku masyarakat setempat agar merawat dan menjaga fungsi ekologis dan ekonomis ekosistem mangrove ini bagi masyarakat sendiri. Pada akhirnya hal itu akan menimbulkan keseimbangan antara fungsi ekologis dan ekonomis, serta partisipasi masyarakat yang membuat pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan ini menjadi optimal dan berkelanjutan.

Tinjauan Ringkas
Ekosistem mangrove merupakan bagian dari ekosistem pesisir. Batasannya adalah ekosistem hutan mangrove yang toleran terhadap garam (air asin) pada area inter-tidal, kompleks dan rentan. Ekosistem ini memiliki fungsi ekologis dan ekonomis yang sangat tinggi, berupa pendukung produksi ikan yang tinggi di laut sekitarnya, sumber energy dan makanan, kehidupan liar, Spawning ground (daerah pemijahan), nursering ground (daerah pengasuhan), feeding ground (daerah makan), Natural Buffers (pertahanan alami / perlindungan garis pantai), kendali erosi, pembersihan air limbah dan juga pariwisata. Penggunaan/manfaat yang bisa diperoleh: produk kayu, fuels (energy), konstruksi, wild fry berupa makanan dan obat-obatan. Pengelolaan dan Perencanaan Pesisir merupakan pengelolaan sumberdaya dan ekosistemnya melalui perencanaan untuk mengoptimumkan manfaat di dalam batas daya dukung lingkungan guna keberlanjutan fungsi dan manfaatnya. Selain itu, pengarusutamaan mitigasi-adaptasi terhadap perubahan iklim global, dalam pengelolaan penggunaan sumberdaya alam, untuk mencapai MGDs (Millenium Goals Developments) sebagai criteria pembangunan berkelanjutan, memperhitungkan pertumbuhan penduduk dan tekanannya pada daya dukung lingkungan daerah, dan mencegah kerusakan lingkungan. Dalam konteks penataan ruang dan pengelolaan Mangrove (Bakau), secara umum, hasil-hasil ekologis dari ekosistem mangrove biasanya under-valued (dinilai rendah), sehingga sering dikonversi menjadi system yang lebih ekonomis. Padahal mangrove merupakan lokasi teluk, padang lamun, laguna, tidal area, dengan aneka flora fauna: Rhizopora, Avicennia dan Bruquiera. Penataan ruang area ini yang mempertimbangkan nilai social-ekonominya terdiri dari kehutanan, perikanan dan budidaya air, industri, pertanian, pemukiman, pariwisata dan mineral / pertambangan. Namun, permasalahan yang sering ditemui adalah ekploitasi berlebihan karena penggunaan tradisional, konversi lahan mangrove menjadi budidaya, dan Pengembangan pemukiman. Arahan penataan ruang dan pengelolaan kawasan mangrove, yaitu (1) harus dikelola sebagai renewable resources (sumberdaya alam yang bisa diperbaharui) (2) harus dianggap sebagai bagian integral dari coastal zones (pesisir) (3) aktivitas konversi harus dikendalikan (4) pengelolaan proses-proses kritis bagi ketersediaan air tawar dan air asin, ketersediaan nutrisi, dan stabilitas substrat (5) harus dikelola dengan partisipasi masyarakat setempat.*** 3

Bibliography
Djakapermana, R. D. (2010). Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Kesisteman. Bogor: IPB Press. Maskendari. (2006). Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Partisipasi Masyarakat Di Kecamatan Sukadana Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat. Bogor: IPB. Rustiadi, E., Saefulhakim, S., & Panuju, D. R. (2011). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Salim, E. (2008, October 30). Tata Ruang dan Resource Use Plan Untuk Pangan dan Energi. Bogor, Jawa Barat.

Anda mungkin juga menyukai