Anda di halaman 1dari 27

MANAGEMENT AND TREATMENT OF

HERPES SIMPLEX KERATITIS

Pembimbing:
dr. Nanik Sri Mulyani, Sp.M

Iftitah Rahma Fitriani

30101206639
Identitas Jurnal

Judul Jurnal

Management and Treatment of Herpes Simplex Keratitis

Penulis

Rishi M, Prathibha M, MV Raghavendra Rao, Maka B, Acharya Y, Ghani A


dan Sowmya JK

Penerbit

Medwin Publishers

Tahun Terbit

2016
PENDAHULUAN
Herpes simplex virus (HSV) keratitis merupakan infeksi
okular umum dan serius yang dapat menyebabkan kebutaan
unilateral, terutama karena infeksi rekurennya (infeksi
selanjutnya). Kemajuan pemahaman tentang virus pada
tingkat seluler maupun molekuler belum mampu
menghilangkan dilema antara terapi penggunaan antiviral
tunggal atau steroid tunggal atau kombinasi keduanya.
Perlu pertimbangan antara resiko penggunaan steroid
dan komplikasinya dengan perkembangan resiko penyerta
tanpa penggunaan steroid.
Dilema ini dapat dikurangi hingga batas tertentu jika diterapkan
prinsip dasar virologi dan patogenesisnya. Oleh karena itu, artikel ini
membahas konsep terkini dari virologi dan aspek klinis HSV keratitis
untuk mendapatkan pemahaman yang luas dari perkembangan
penyakit.
Virologi

Herpes simplex virus termasuk dalam famili Herpesviridae


yang juga satu famili dengan Varicella zoster virus,
Cytomegalovirus dan EpsteinBarr virus.
Virus ini terbentuk dari inti DNA dan protein kapsid dengan
162 kapsomer silinder berongga. Nukleokapsid dikelilingi
selubung membentuk partikel virus (virion) dengan
diameter keseluruhan 130-180 nm.
Jenis Virus:

Ada dua jenis HSV, yaitu tipe 1 dan tipe


2. Secara umum, tipe 1 menyebabkan
infeksi diatas pinggang terutama mata,
mulut dan kulit. Tipe 2 penyebab infeksi
dibawah pinggang terutama herpes
genital, neonatal herpetik keratitis dan
conjunctivitis.
Strain Virus:

Strain yang menghasilkan sejumlah besar glikoprotein memiliki


kemampuan menginduksi lebih banyak sistem imun humoral dan sel
mediasi respon imun. Strain ini dapat dikaitkan dengan bentuk
keparahan penyakit stroma kornea.
Infeksi Litik :

Herpes simplex virus biasanya mempengaruhi jaringan asal ectodermal,


seperti kulit, selaput lendir, atau sistem saraf.
menyerang reseptor
HSV spesifik pada permukaan penetrasi
sel manusia

DNA virus Periode eclipse Melepaskan DNA


menginduksi (Virus tidak dari sel menuju inti
produksi enzim terdeteksi)
inang maupun
enzim virus-spesifik

dipindahkan ke inti
thymidine kinase Protein virus di mana
dan DNA disintesis di nukleokapsid
polimerase sitoplasma dibentuk

Sel inang berada dalam


terjadi lisis sel dan selubung dengan bentuk
terlepas baru dengan partikel yang
telah terinfeksi
Masa Laten dan Reaktivasi :
HSV dapat menjadi laten pada trigeminal ganglia dari inang setelah infeksi
primer. Setelah infeksi primer, virus memasuki ujung saraf sensorik. HSV
tidak memproduksi protein virus pada masa ini dan gen virus berada pada
trigeminal ganglia.

Tempat paling penting pada masa laten virus adalah trigeminal ganglia.
Partikel virus berjalan secara sentripetal ke neuronal sel tubuh
dengan aliran retrograde axoplasmic. Virus bertahan hidup di sini
selama beberapa dekade dan kemungkinan bergabung ke dalam
nuklear DNA sel inang; namun virus meninggalkan morfologi sel,
antigen sel, dan fungsional normal sel.

Infeksi laten dapat ditunjukkan dengan menghilangkan jaringan


inang kemudian dilakukan kultur in vitro selama beberapa hari. Hal
ini dimungkinkan dapat mengidentifikasi virus.

Virus tetap laten di sebagian besar individu sepanjang hidup. Namun


pada beberapa orang, faktor pemicu tertentu seperti demam,
penyakit sistemik, stres, sinar UV atau anestesi umum dapat
mengaktifkan virus kembali.
Virus yang kembali aktif dapat berjalan menyusuri saraf dan
menyebabkan penyakit perifer

Baru-baru ini dilaporkan bahwa kornea merupakan tempat


saraf tambahan terjadinya infeksi laten. Mekanisme
molekuler yang terlibat dalam masa laten dan reaktivasi
HSV tidak diketahui. Latency-associated transcripts (LAT)
(transkrip masa laten) telah diidentifikasi pada percobaan
manusia dan hewan. Namun protein dari masa laten belum
diidentifikasi pada percobaan in vivo.

Kornea sendiri merupakan sebuah tempat infeksi persisten;


Oleh karena itu, penggunaan steroid topikal pada
penyakit kronis dapat memicu proliferasi dan penetrasi
virus dalam kornea. Perawatan yang cukup harus
dilakukan pada pasien dengan kekeruhan kornea untuk
pengobatan dengan keratectomy phototherapeutic.
Diagnosis

Adanya penampakan klinis biasanya yang menunjukkan infeksi HSV. Selain itu
adanya riwayat terpajan pada penderita dengan infeksi herpes labialis aktif.
Infeksi Rekuren:
Faktor utama yang dapat memperparah kejadian rekuren herpes adalah respon imun
inang, strain virus, nutrisi dan terapi.

Lesi corneal yang dangkal (dendritic and geographic ulcers) berkaitan dengan
adanya virus yang bereplikasi.

Lesi yang lebih dalam (stromal, uveal) muncul lebih dominan karena respon imun.
HSV endothelitis:
Perkembangan inflamasi endothelial dapat terjadi pada
infeksi HSV type 1. Pada beberapa pasien, dendritic
ulceration dapat menimbulkan lesi yang berlebih. Bentuk
sumuran merupakan bentuk yang paling umum pada
keratitis.
Ada bentuk area sumuran pada stromal oedema yang dapat
terjadi tanpa infiltrasi atau vascularisasi. Area ini dapat
menyebar, terpusat ataupun tidak berarturan. Gejala yang
ditunjukkan berupa peningkatan produksi air mata,
photophobia, perasaan tidak nyaman, dan pandangan kabur.
Hipersensitifitas diperantarai lyphocyte T kemungkinan
berperan penting pada patogenesis bentuk sumuran keratitis.
HSV iridocyclitis:

Bentuk sumuran HSK yang lebih dalam dapat berhubungan dengan


uveitis. Namun kejadian rekuren non granulomatous uveitis anterior
kemungkinan memiliki manifestasi dengan pengaruh HSV okular
tanpa riwayat infeksi.

Penyebab utamanya kemungkinan adalah reaksi imunologi. Virus


hidup dapat terlihat pada anterior chamber dan beberapa kasus pada
jaringan iris.
Secara kilinis, tingkat keparahan dapat bervariasi
dari inflamasi sedang ke parah yang
menghasilkan fibrin, hypopyon, hyphema,
synechiae posterior, segmental iris necrosis mirip
pada gambar yang terlihat pada zoster
keratouveitis dan inflammatory membrane pada
anterior chamber dengan secondary glaucoma.
Tujuan terapi adalah untuk mengobati bentuk
parah pada anterior dengan penggunaan
acyclovir oral yang merupakan pilihan terbaik
untuk kasus yang sudah melalui diagnosis
laboratorium, dosis dan durasi pengobatan
belum dapat ditetapkan.
Trabeculitis:

Herpes peripheral corneal dapat berpengaruh pada trabecular


meshwork dan menjadikan trabeculitis. Akibatnya, secondary
glaucoma dapat bersifat sementara atau memperparah kerusakan.
AIDS and HSK:
Kondisi HSK pada pasien immuno-suppressed pasca transplantasi
dapat lebih serius daripada individu yang immunocompetent.

Hodge and Margolis melakukan study pada pasien HSK AIDS dan
pasien AIDS tidak ada perbedaan signifikan pada respon dan terapi
dibandingkan pada kelompok kontrol non-immuno-compromised.
Secara keseluruhan, angka kejadian rekuren lebih tinggi pada kelompok
HIV positif.

Hal ini disimpulkan pada episode pertama infeksi HSV, tempat infeksi
kronik laten terlihat pada kornea, hal ini menunjukkan bahwa
immunosuppressi oleh infeksi HIV dapat mengganggu mekanisme lain
yang bertanggung jawab pada infeksi cornea.
Diagnosa Lab :
Metode yang tersedia yaitu kultur virus, uji
imunologi, pemeriksaan histopatologi dari spesimen
keratoplasty menunjukkan reaksi granulomatous pada
stroma dan sekitar membran Descemet.
Uji imunologi yang umum dilakukan adalah enzyme
linked immune adsorbent assay (ELISA), immune
filtration test, latex agglutination, immune peroxidase
methods and immune affinity membrane test.
Immunocytochemistry dapat menunjukkan antigen
HSV pada stromal keratocyctes, endothelial, and
epitheloid cells.
Terapi
Tujuan utama dari terapi HSK adalah untuk mencegah
perkembangan komplikasi, terutama kerusakan stroma
dan jaringan parut.
Terapi antivirus merupakan dasar terapi HSV keratitis
yang masih menjadi standar emas. Agen terapi yang
umum digunakan untuk HSV Keratitis adalah trifluridine,
idoxuridine, vidarabine, acyclovir and ganciclovir.
Agen antivirus dapat digunakan secara topikal atau oral.
Antivirus oral memiliki lebih sedikit komplikasi okular
secara langsung.
Trifluridine dan acyclovir lebih unggul dibandingkan
dengan idoxuridine dan vidarabine.
Pada sediaan salep, ganciclovir memiliki angka penyembuhan yang
lebih unggul dan tolerasnsi yang lebih baik dibandingkan dengan
acyclovir.

Efek samping ganciclovir lebih sedikit, seperti menurunnya rasa


terbakar atau pandangan kabur.
Interferon tunggal efektif untuk dendritic epithelial keratitis, namun
tidak memiliki keuntungan tambahan dibandingkan dengan antivirus
yang tersebut diatas.

Efektivitas beberapa obat antivirus dapat ditingkatkan dengan


kombinasi interferon.
Penggunaan steroid pada HSV keratitis masih
menjadi pertanyaan sulit untuk para dokter
dikarenakan adanya efek samping penyerta.
Steroid tidak menambah keuntungan terapi yang
berkaitan dengan komplikasi dan peningkatan
kejadian rekuren.
Acyclovir topikal terbukti lebih efektif dibandingkan
dengan steroid dengan tingkat rekuren yang lebih
rendah pada kelompok acyclovir dibandingakan
dengan kelompok steroid. Penyakit serupa, corneal
epithelial disease sembuh dan pulih lebih cepat
dengan acyclovir.
Kesimpulan :
Meskipun telah melakukan pemahaman dan pengalaman klinis
selama beberapa tahun namun dapat dikatakan kami membuat
kemajuan terbatas dalam mengelola infeksi HIV. Kami masih
bergantung pada gejala-gejala klinis untuk diagnosis.

Kami terlah memahami kemampuan dari HSV dalam infeksi


laten pada saraf sensorik dan kornea, namun kami belum dapat
menggunakan pengetahuan ini untuk pencegahan
perkembangan penyakit.

Keterbatasan pengetahuan kami ini dapat dijadikan penelitian


skala laboratorium untuk mengatasi HSV yang merupakan
tantangan utama dalam manajemen.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai