34-48)
Input dari Spinal
Sirkuit neuron di dalam sumsum tulang belakang juga berkontribusi terhadap eksitasi dan penghambatan
. Terdiri dari interneuron (neuron yang menghubungkan 2 neuron lainnya).
Jalur propriospinalis adalah satu jenis rangkaian saraf yang berkomunikasi secara intersegmental, antar
a tingkat yang berbeda di dalam sumsum tulang belakang.
Jalur propriospinalis ini memberi masukan dari aferen perifer, dan juga dari banyak descending pathway
Untuk setiap rangkaian intruksi yang turun melalui saluran kortikospinalis unt
uk memberi sinyal pada postur atau gerakan, salinan dikirimkan ke serebelum
atau otak kecil.
Cerebellum mencatat adanya perbedaan antara sinyal dari korteks motorik
dan akumulasi masukan sensoris dari spindle, tendon, sendi, dan kulit tubuh sel
ama pergerakan.
Output cerebellar membantu mengoreksi kesalahan gerakan atau hambata
n yang tidak diharapkan untuk bergerak melalui korteks dan red nuclei di bata
ng otak. Red nuclei pada gilirannya dapat mengirim sinyal ke alfa motor neuro
n melalui rubrospinal tracts (RuSTs).
Pengaruh langsung otak serebelum terhadap tonus otot dan postur dimedia
Gambar 4-25. Traktus kortikospinal; jalur si melalui hubungan dengan vestibulospinal tracts (VSTs).
skematik dari korteks ke cerebellum dan
spinal cord.
Ganglia Basal
Ganglia basal memodulasi gerakan dan tonus. Gerakan disadari apapun melibatka
n pemrosesan melalui koneksi di ganglia basal, yang terdiri dari lima inti atau kelompok
neuron; putamen, kaudatus, globus pallidus, inti subthalmic, dan substantia nigra.
Beberapa rantai neuron yang melingkar melalui inti ini, maju mundur ke batang otak
dan kembali ke area korteks motorik, memengaruhi planning dan adaptasi postural peril
aku motorik.
Disfungsi nukleus ganglia basal dikaitkan dengan tonus abnormal dan gerakan tida
k teratur, misalnya pada penyakit Parkinson. (gambar 4-26)
Sistem limbik mempengaruhi pergerakan dan tonus otot melalui RST dan melalui koneksi dengan bang
sal ganlia.Sirkuit neuron sistem limbik memberikan kemampuan untuk menghasilkan memori dan melamba
ngkan makna pada mereka. Perubahan dalam tonus otot atau aktivasi dapat terjadi sebagai akibat dar
i emosi yang diingat dengan memori tertentu akan kejadian nyata atau imajiner.
Misal:
Rasa takut berjalan ke tempat parkir yang gelap SNS diaktifkan utk merencanakan pertarungan/lari
mengaktifkan jantung/paru lebih kencang, melerbarkan pupil, dan menurunkan jumlah aliran darah k
e otot tonus otot ditingkatkan untuk pertarungan/lari dari bhaya potensial di tempat parkir.
Ringkasan Tonus Otot Normal
Tonus otot dan aktivasi otot bergantung pada komposisi dan fungsi normal otot, PNS, dan SSP. Meskip
un kedua faktor biomekanik dan neural mempengaruhi respons otot, stimulasi saraf melalui alfa motor ne
uron adalah pengaruh paling kuat pada kedua tonus otot dan aktivasi, terutama saat otot berada di ga
ris tengah panjangnya. Beberapa sumber masukan saraf, baik excitatory dan inhibitory, diperlukan untuk
fungsi normal alfa motor neuron (tabel 4-4). Pada akhirnya, jumlah semua input menentukan jumlah tonus
otot dan aktivasi.
Ketika patologi atau cedera memengaruhi otot, alfa motor neuron, atau salah satu sumber masukan k
e alfa motor neuron, kelainan pada tonus otot dan aktivasi dapat terjadi.
Batas Jalan Abnormal dan Konsekuensinya
Bermacam-macam cedera atau patologis dapat me
nyebabkan otot tidak normal. Contohnya, kompresi ak
ar saraf dengan efek potensinya terhadap tonus dan f
ungsi otot, digambarkan pada Gambar.4-27.
Saat ini, tonus otot abnormal dianggap sebagai ga
ngguan yang mungkin atau mungkin tidak menyebabk
an perubahan fungsional. Pemeriksaan tonus otot sebel
um dan sesudah intervensi dapat menunjukkan keeffek
tifan intervensi dalam mengurangi tonus otot atau dal
Gambar 4-27. Contoh efek patologis pada struktur dan am mengubah kondisi pengendapannya. Konsekuensi t
fungsi tubuh, aktivitas, dan keikutsertaan.
onus abnormal tergantung pada keadaan individu, da
n ini juga harus dinilai ketika memeriksa tonus otot.
Tonus Otot Menurun
Tonus otot yang abnormal, atau hipotonisitas, secara umum
dihasilkan dari kehilangan masukan saraf motorik alfa yang n
ormal ke serabut otot lain yg normal.
Kehilangan tersebut dapat disebabkan dari kerusakan pa
da saraf motorik alfa itu sendiri, sehingga unit motorik yang t
erlibat tidak dapat diaktifkan. Kehilangan stimulasi saraf dari
otot dapat pula berasal dari kondisi yang baik meningkatkan
masukan hambatan maupun penurunan masukan eksitasi pada
saraf motorik alfa (gambar 4-28).
Konsekuensi nya meliputi (1) kesulitan dalam membentuk ke
kuatan yang cukup guna mempertahankan postur atau gerak
Gambar 4-28. Hambatan pada saraf motorik alfa. Masukan an dan (2) postur buruk yang disebabkan oleh bantuan mena
hambatan melebihi masukan eksitasi.
han berat yang terus-menerus dari ligamen, seperti halnya pa
da lutut yang hiperekstensi.
Kerusakan Saraf Motorik Alfa
Bila saraf motorik alfa rusak, impuls elektromekanik tidak
akan mencapai serabut otot dari unit motorik. Jika semua unit
motorik dari otot terlibat, tonus otot akan flaksid dan aktivasi
otot menjadi tidak memungkinkan; otot akan paralisis. Terkad
ang sebutan paralisis flaksid digunakan untuk mendeskripsika
n tonus otot dan kehilangan aktivasinya. Ketika suatu penyakit
atau cedera dari saraf motorik alfa menyingkirkan masukan s
araf dari otot, terjadilah denervasi. Denervasi otot atau kelo
mpok otot dapat seluruhnya atau sebagian saja. Setiap saraf
motorik alfa yang tersisa dapat meningkatkan jumlah serabut
Gambar 4-29. Reaborizasi dari akson yang tersisa untuk otot yang diinervasi dengan meningkatkan jumlah cabang aks
menginervasi serabut otot yang telah mati di sekitarnya,
misal pada poliomyelitis. onal. Proses ini disebut dengan rearboririzing. Saraf yang inta
k dapat menginervasi ulang serabut otot yang kehilangan iner
vasinya dengan saraf motorik alfa yang rusak (gambar 4-29)
Kerusakan Saraf Motorik Alfa
Kotak 4-1 Kemungkinan Konsekuensi dari Tonus Otot Lemah Box 4-2 Interfensi untuk penurunan tonus otot
yang Abnormal
Hydrotherapy
1. Kesulitan membentuk luaran gaya yg adekuat untuk postur tubuh
Quick Ice
normal dan gerakan
Electrical stimulation
- Disfungsi motorik
Biofeedback
- Masalah sekunder yang dihasilkan dari keterbatasan gerak (cont
Light touch
oh: tekanan sakit, kehilangan daya tahan kardiorespirasi)
Tapping
2. Postur yang buruk
Resistive exercises
- Kepercayaan pada ligamen untuk menggantikan menahan otot p
Range-of-motion exercises
eregangan ligamen, integritas sendi yang rentan, nyeri
Therapeutic exercises
- Perubahan penampilan kosmetik yang tidak diinginkan (contoh:
Functional training
tulang belakang yang merosot, otot wajah yang jatuh)
Orthotics
- Nyeri
Rehabilitasi setelah Kerusakan Saraf Motorik Alfa
Rehabilitasi pasien dengan denervasi termasuk intervensi yang membantu mengaktifkan saraf motorik alfa. D
ulu, stimulasi listrik digunakan untuk memfasilitasi viabilitas dari serabut otot sementara akson tumbuh kembali
atau terearborizasi. Stimulasi listrik untuk tujuan ini menjadi kontroversial.
Hidroterapi digunakan untuk menyokong tubuh atau ekstremitas dan menahan gerakan pada latihan ROM di
dalam air. Perpaduan dari kemampuan apung dan tahanan dapat membantu memperkuat otot-otot yg tersisa.
Quick ice atau sentuhan cahaya di tangan di atas kelompok otot menambahkan masukan eksitasi pada saraf
motorik alfa intak manapun melalui saraf sensorik kutan.
Intervensi lain termasuk latihan ROM dan latihan terapeutik untuk mepertahankan panjang otot dan mobilitas
sendi dan untuk memperkuat otot-otot yang tersisa.
Alat penunjang (orthosis) mungkin diperlukan untuk menyokong ekstremitas untuk berfungsi ketika otot dalam
keadaan flaksid atau untuk melindungi saraf dari meregang secara berlebihan.
Eksitasi yang Tidak Mencukupi pada Saraf Motorik Alfa
Masukan Perifer yang Berubah: Imobilisasi. Satu kondisi yang merubah sumber perifer dari masukan ke saraf mot
orik alfa adalah aplikasi cast untuk mempertahankan posisi selama penyembuhan fraktur. Cast menerapkan stimulus tet
ap pada reseptor kutan namun menghambat penerimaan variasi input kutaneus yang biasanya ditemui. Cast juga meng
hambat pergerakan pada 1 atau lebih sendi, membatasi pemanjangan dan pemendekan dari otot sekitar. Ketika cast
dilepas, hasilnya adalah kehilangan kekuatan yang dapat diukur pada otot dan kehilangan ROM pada sendi.
Masukan Supraspinal yang Berubah: Stroke atau Cedera Kepala. Masukan supraspinal ke saraf motorik alfa dap
at dipengaruhi oleh kehilangan suplai darah atau cedera langsung pada saraf kortikal atau subkortikal, yang terjadi p
ada stroke atau cedera kepala. Perubahan pada tonus otot yang terjadi tergantung pada proporsi sisa dari masukan e
ksitasi dan inhibisi pada saraf motorik alfa.
Rehabilitasi untuk Meningkatkan Tonus Otot. Agen fisik tidak sering dipakai untuk rehabilitasi pasien yang telah te
rkena stroke, cedera kepala, atau lesi supraspinal lainnya, terutama menangani hipotonisitas. Bagaimanapun, mereka bi
sa menjadi tambahan yang berharga untuk latihan terapeutik, orthotik, dan latihan fungsi untuk nurorehabilitasi sederha
na. ES, hidroterapi, dan quick ice dapat digunakan dalam konteks ini.
Tonus Otot Meningkat
Banyak kondisi patologis berakibat pada peningk
atan tonus otot abnormal. Setiap lesi supraspinal yang
Box 4- Akibat yang mungkin dari peningkatan tonus otot y
disebutkan pada sesi sebelumnya dapat berakibat pa
3 ang abnormal
da hipertonisitas, walaupun diawali dengan beberapa
bentuk tonus otot yang rendah. Hanya kehilangan sara Perasaan tidak nyaman attau nyeri dari spasme otot
Lesi Serebral
Lesi CNS dari cerebral vascular disorders (stroke), cerebral palsy, tumor, infeksi CNS, atau cedera kepala dapat men
yebabkan hipertonisitas. Selain itu, kondisi yang mempengaruhi transmisi impuls saraf di SSP, seperti multiple sclerosis (
MS), dapat mengakibatkan hipertonisitas.Hipertonisitas pada pasien setelah semua hasil patologi yang diakibatkan ole
h perubahan masukan pada motor neuron alfa (lihat gambar 4-19).
Hipertonisitas: kerusakan primer atau respons adaptif?
Mekanisme neurofisiologis hipertonisitas dalam beberapa perdebatan. Pendekatan bermacam-macam manajemen m
engatasi hipertonisitas berdasarkan asumsi tentang signifikansinya. Dalam satu pendekatan, yang dikembangkan oleh B
obath, sistem saraf diasumsikan berfungsi sebagai hierarki dimana pusat supraspinal mengendalikan pusat gerakan tul
ang belakang dan "tonus abnormal" dihasilkan dari hilangnya kontrol hambat dari pusat yang lebih tinggi. Urutan peng
obatan yang dilakukan adalah menormalkan hipertonisitas sebelum memfasilitasi pergerakan normal. Hipertonisitas mu
ngkin merupakan respons adaptif terbaik yang dapat diberikan sistem saraf mengingat sumber daya yang ada setela
h cedera daripada akibat utama dari cedera itu sendiri.