Anda di halaman 1dari 44

KEBIJAKAN KESEHATAN PUBLIK:

ISU, TEORI DAN ADVOKASI

Oleh:
ARIEF SURYONO
KEBIJAKAN PUBLIK
 Kebijakan Publik meliputi segala sesuatu yang
dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan
oleh Pemerintah.
 Kebijakan Publik adalah juga kebijakan-kebijakan
yang dikembangkan/dibuat oleh badan-badan dan
pejabat-pejabat Pemerintah.
 Kebijakan Publik yaitu melihat kebijakan publik
sebagai keputusan yang mempunyai tujuan dan
maksud tertentu, berupa serangkaian instruksi dan
pembuatan keputusan kepada pelaksana kebijakan
yang menjelaskan tujuan dan cara mencapai
tujuan.
TEORI KEBIJAKAN PUBLIK
 Menurut Thomas R. Dye
 Kebijakan Publik adalah apa yang dilakukan oleh
Pemerintah dan apa yang tidak dilakukan oleh
Pemerintah.
 Proses pembuatan kebijakan publik merupakan
proses politik yang melibatkan berbagai
kepentingan dan sumber daya sehingga akhir dari
proses politik tersebut adalah produk subyektif
yang diciptakan oleh pilihan-pilihan sadar dari
pelaku kebijakan.
TAHAPAN MEMBUAT
KEBIJAKAN
1. Agenda setting adalah sebuah fase dan
proses yang sangat strategis dalam realitas
kebijakan publik.
2. Tahap formulasi kebijakan.
3. Tahap adopsi kebijakan.
4. Tahap implementasi kebijakan.
5. Tahap penilaian kebijakan.
TAHAPA-TAHAPAN
OPERASIONAL IMPLEMENTASI
 Tahapan Interpretasi
Merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan
yang bersifat abstrak dan sangat umum ke dalam
kebijakan atau tindakan yang lebih bersifat
manajerial dan operasional.
 Tahapan Pengorganisasian
Tahapan ini adalah penentuan pelaksana kebijakan
yang setidaknya dapat diidentifikasikan sebagai
berikut: Instansi Pemerintah; Sektor Swasta; LSM
maupun komponen masyarakat.
KESEHATAN
 Menurut Pasal 28 H (1) UUD ’45
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan bathin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperolah
pelayanan kesehatan.
KEBIJAKAN KESEHATAN
 Kebijakan menyangkut sistem pelayanan
kesehatan, yaitu (1) apakah pembiayaan
kesehatan seharusnya menjadi tanggung
jawab negara sehingga disediakan secara
sosialistis “cuma-cuma” melalui asuransi
sosial (wajib), atau sebaliknya (2)
diserahkan melalui mekanisme pasar dan
pasien membeli pelayanan kesehatan
melalui asuransi swasta (suka rela).
 Kebijakan (1) Berakar dari aliran
demokrasi sosial klasik, yang melahirkan
konsepsi negara kesejahteraan (welfare
state). Kebijakan (2) Berakar dari konsep
fundamentalisme pasar (market
fundamentalism) yang dianut aliran
neoliberalisme.
 Indonesia menggunakan sistem asuransi
sosial/wajib, namun melibatkan peran serta
masyarakat untuk membayar premi bagi
yang mampu.
PEMBANGUNAN KESEHATAN
 Menurut Pasal 1 (1) UU No. 36/2009
 Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,
mental, spiritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.
 Pembangunan Kesehatan adalah upaya yang
dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang terwujud derajad kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
 Tujuan Pembangunan Kesehatan adalah
tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya agar terwujud manusia
Indonesia yang bermutu, sehat, dan produktif.
SUMBER PERIKATAN
 Pasal 1233 KUHPer.
Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan (perjanjian), baik karena undang-
undang.
 Sumber perikatan:
1. Perjanjian
(Wanprestasi/Ingkar Janji/Cidera Janji)
2. Undang-undang (Peraturan Perundang-
undangan)
(Perbuatan Melanggar/Melawan Hukum)
A. PERJANJIAN
Menurut Pasal 1313 KUHPer.
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya (atau saling
mengikatkan dirinya) terhadap satu orang
lain atau lebih.
SYARAT
SAHNYA PERJANJIAN
Pasal 1320 KUHPer.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
1. SEPAKAT
 Maksudnya adalah bertemunya kehendak para
pihak.
 Sepakat bisa diucapkan, bisa tidak; bisa tertulis,
bisa tidak; bisa dengan isyarat, yang penting telah
terjadi bertemunya kehendak para pihak.
 Kesepakatan tidak ada apabila perjanjian dibuat
atas dasar paksaan, penipuan, atau kilaf.
2. CAKAP
 Cakap artinya para pihak yang membuat perjanjian
harus sudah cakap.
 Yang dimaksud cakap adalah pada dasarnya semua
orang menurut hukum dianggap cakap, kecuali
undang-undang menentukan lain.
 Menurut Pasal 1330 KUHPer
Orang yang tidak cakap:
* Orang yang belum dewasa;
* Ditaruh di bawah pengampuan
* Orang perempuan yang ditetapkan UU
(Bandingkan dengan UU Perkawinan)
3. HAL TERTENTU
 Maksudnya obyek yang diatur dalam perjanjian
harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan.
 Hal yang penting untuk diperhatikan adalah untuk
memberikan jaminan kepastian kepada para pihak
untuk menghindarkan terjadinya perjanjian fiktif.
4. HALAL
 Maksudnya adalah isi kontrak tidak boleh
bertentangan dengan: UU, kesusilaan, dan
ketertiban umum.
 Syarat 1 & 2 disebut syarat subyektif,
apabila syarat subyektif atau salah satu
syarat subyektif tidak terpenuhi, maka
perjanjian dapat dibatalkan.
 Syarat 3 & 4 disebut syarat obyektif,
apabila syarat obyektif atau salah satu
syarat obyektif tidak terpenuhi, maka
perjanjian batal demi hukum
JENIS-JENIS PERJANJIAN
1. Perjanjian Sepihak
2. Perjanjian Dua Pihak (Timbal Balik)
3. Perjanjian Bersyarat
4. Perjanjian Untung-untungan
AZAS-AZAS PERJANJIAN
1. Konsensualisme
2. Kebebasan Berkontrak
3. Mengikatnya Perjanjian
4. Good Faith
1. KONSENSUALISME
 Menurut Pasal 1338 (1) KUHPer: “… perjanjian
yang dibuat secara syah …” yuncto Pasal 1320 (1)
KUHPer: “Sepakat”
 Asas konsensualisme menyatakan bahwa
perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, tetapi cukup diadakan berdasarkan
kesepakatan para pihak.
 Konsensualisme dimaksudkan sebagai dasar utama
lahirnya perjanjian, karena dengan adanya
kesepakatan isi perjanjian dianggap telah mengikat
dan sudah menimbulkan akibat hukum.
2. KEBEBASAN BERKONTRAK
 Menurut Pasal 1338 (1) KUHPer: Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
 Memberikan kebebasan kepada para pihak untuk;
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
3. Mengadakan isi perjanjian, pelaksanaan dan
persyaratannya; dan
4. Menentukan bentuk perjanjian (tertulis/tdk
tertulis)
3. MENGIKATNYA PERJANJIAN
 Menurut Pasal 1338 (3) KUHPer: “… berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya (pacta sunt servanda).
 Perjanjian yang dibuat secara sah memberikan
suatu jaminan kepada para pihak yang membuat
perjanjian.
4. GOOD FAITH
 Menurut Pasal 1338 (3) KUHPer: Suatu perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikat baik.
 Para pihak harus melaksanakan perjanjian
berdasarkan kepercayaan dan keyakinan yang
teguh dan kemauan baik.
 Itikat baik memiliki 2 dimensi yaitu dimensi
subyektif yang berarti itikat baik yang mengarah
pada kejujuran; dan dimensi itikat baik sebagai
rasional dan kepatuhan.
 Itikat baik dalam pelaksanaan mengkaitkan dengan
rasional dan kepatuhan.
UNSUR-UNSUR PERJANJIAN
1. Unsur Essensialia
Adalah unsur yang harus selalu ada didalam perjanjian
atau unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut,
perjanjian tidak mengikat.
2. Unsur Naturalia
Adalah unsur yang oleh undang-undang diatur tetapi
oleh para pihak boleh disimpangi atau diganti.
3. Unsur Accidentalia
Adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para
pihak, dimana undang-undang tidak mengatur hal
tersebut.
BERAKHIRNYA PERJANJIAN
 Waktu ditentukan dalam perjanjian;
 Batas waktunya ditentukan oleh UU;
 Ditentukan berdasarkan terjadinya peristiwa
tertentu;
 Hapus karena putusan hakim;
 Tujuan perjanjian telah tercapai; dan
 Persetujuan para pihak untuk mengakiri perjanjian.
WANPRESTASI
1. Tidak melakukan isi perjanjian
2. Melakukan perjanjian tetapi terlambat
3. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak
sebagaimana yang dijanjikan
4. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh
dilakukan
B. PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
 Pasal 7 UU No. 12/2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
 Pasal8 UU No. 12/2011
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat
yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.
PENGERTIAN
 Pasal1 UU No. 12/2011
(1) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan
yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan dan pengundangan.
(2) Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan
tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan
dalam Peraturan perundang-undangan.
(3) Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-
Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
(4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
dalam hal kegentingan yang memaksa.
(5) Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan
yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-
Undang sebagaimana mestinya.
(6) Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan
yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
(7) Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
(8) Peraturan Daerah Kabupatan/Kota adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama
Bupati/Walikota.
HIERARKHI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
 Pasal 7 UU No. 12/2011
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia
Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
ASAS PREFERENSI HUKUM
 Lex specialis derogat legi generali
= Asas lex spesialis
 Lex posterior derogat legi priori
= Asas lex posterior
 Lex superior derogat legi inferiori
= Asas lex superior
PERBUATAN MELANGGAR
ATAU MELAWAN HUKUM
 Pasal 1365 KUHPer.
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya memberikan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.
 Unsur-unsur Perbuatan Melanggar Hukum
1. Adanya perbuatan
2. Adanya kesalahan
3. Adanya kausal
4. Adanya kerugian
PENYELESAIAN
SENGKETA
 Litigasi
 Non Litigasi
1. LITIGASI
 Pasal 6 (1) UU No. 30/1999
Sengketa atau beda pendapat perdata dapat
diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang
didasarkan pada iktikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara
litigasi di Pegadilan Negeri.
KEKUASAAN KEHAKIMAN
(UU. No.4/2004)
 Pasal1 UU No. 4/2004
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
 Pasal2
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
PUTUSAN PENGADILAN
 Pasal 21
(1) Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama
dapat dimimtakan banding kepada pengadilan
tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan,
kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama,
yang tidak merupakan pembebasan dari
dakwaan atau putusan lepas dari segala
tuntutan hukum, dapat dimintakan banding
kepaa pengadilan tinggi oleh pihak-pihak
yang bersangkutan, kecuali undang-undang
menentukan lain.
 Pasal 22
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat
banding dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan
lain.
 Pasal 23
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-
pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung,
apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang
ditentukan dalam undang-undang.
(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak
dapat dilakukan peninjauan kembali.
2. NON LITIGASI
 UU No. 30/1999 tentang “Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa”
 Pasal 1 UU No. 30/1999
(1) Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.
(3) Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan
berupa klausula arbitrase yang tercantum
dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat
para pihak sebelum timbul sengketa, atau
suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang
dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
(7) Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih
oleh para pihak yang bersengketa atau yang
ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh
lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu yang diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase.
(8) Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih
oleh para pihak yang bersengketa untuk
memberikan putusan mengenai sengketa
tertentu, lembaga tersebut juga dapat
memberikan pendapat yang mengikat
mengenai suatu hubungan hukum tertentu
dalam hal belum timbul sengketa.
(10) Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati
para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian
ahli.
 Pasal 2
Undang-undang ini mengatur penyelesaian
sengketa atau beda pendapat antar para pihak
dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah
mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas
menyatakan bahwa semua sengketa atau beda
pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul
dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan
dengan cara arbitrase atau melalaui alternatif
penyelesaian sengketa.
 Pasal 3
Pengadilan negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat
dalam perjanjian arbitrase.
PELANGGARAN HUKUM
Hukum
Pidana Perdata Administrasi

Laporan Gugatan Laporan

Tuntutan

Pengadilan

Keputusan
Mati/Kurungan/ Ganti Rugi Pencabutan
Penjara/Denda Izin

Anda mungkin juga menyukai