Anda di halaman 1dari 18

 Sesak nafas atau dispnea adalah perasaan sulit bernafas yang ditandai dengan

nafas yang pendek dan penggunaan otot bantu pernafasan.


 Gejala subjektif berupa keinginan penderita untuk meningkatkan upaya
mendapatkan udara pernafasan.
 Terdapat beberapa bentuk sesak nafas yang biasa dirasakan oleh pasien:
 Ortopneu: dispnea yang terjadi pada posisi berbaring
 Platipneu: dispnea yang terjadi pada posisi tegak dan akan membaik jika penderita
dalam posisi berbaring
 Takipneu: frekuensi nafas yang cepat yang dapat muncul dengan atau tanpa dispnea.
 Dispnea de effort: sesak nafas ketika aktivitas dan membaik setelah istirahat.
 Nokturnal paroksismal dispnea: sesak pada malam hari dan memerlukan posisis duduk
dengan segera untuk bernafas.
 Sesak nafas dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar berdasarkan
penyebabnya:
 Organik (kelainan pada organ tubuh seperti jantung, ginjal, gangguan metabolisme)
 Non organik (gangguan psikis yang tidak disertai gangguan fisik)

Kardiak:
• Gagal jantung Pulmonal:
• Hipertrofi ventrikel kiri • Penyakit paru obstruktif
• Penyakit arteri koroner kronik (PPOK)
• Hipertrofi katup • Asma
asimetrik • Penyakit paru restriktif
• Kardiomiopati • Penyakit paru herediter
• Perikarditis • Pneumotoraks
• Disfungsi katup • Efusi pleura
• Aritmia
Non kardiak atau non
pulmonal:
• Kondisi metabolik
seperti asidosis
Gabungan kardiak atau
metabolik, hipertiroid
pulmonal:
• Nyeri
• PPOK dengan
• Penyakit neuromuskular
hipertensi pulmonal
seperti muscular
atau cor pulmonale
dystrophy syndrome
• Emboli paru kronik
• Penyakit otolaryngeal
• Trauma
• Penyakit hati seperti
sirosis hati
• Penyakit ginjal seperti
AKI dan CKD

Fungsional:
• Gelisah, panik, Drug induce
hiperventilasi
 Menurut lama berjalannya gejala:
 Dyspnea (Sesak nafas) Akut
Penyebab umum kunjungan ke ruang gawat darurat. Sering disebabkap penyakit paru,
penyakit jantung dan trauma dada. Sesak nafas yang berlangsung <1 bulan.
 Dyspnea (Sesak nafas) Kronis
Dapat disebabkan oleh asma, PPOK, emfisema, inflamasi paru-paru, tumor, kelainan pita
suara. Klasifikasi berdasar gambaran klinis pasien. Sesak nafas yang berlangsung >1 bulan.
 Menurut American Thoracic Society Shortness of Breath Scale:

Tingkat Derajat Kriteria

0 Normal Tidak ada kesulitan bernafas kecuali aktivitas berat

Terdapat kesulitan bernafas, nafas pendek-pendek ketika


1 Ringan
terburu-buru atau ketika menuju puncak landai
Berjalan lebih lambat daripada kebanyakkan orang yang
2 Sedang berusia sama karena sulit bernafas atau harus berhenti
berjalan untuk bernafas
Berhenti berjalan setelah 90 meter untuk bernafas atau setelah
3 Berat
berjalan beberapa menit
Terlalu sulit untuk bernafas bila meninggalkan rumah atau
4 Sangat berat
memakai baju atau membuka baju
 Kemoreseptor
Perubahan pH, pCO2 dan pO2 darah arteri dapat dideteksi oleh kemoreseptor
sentral dan perifer dan mengakibatkan peningkatan aktivitas motorik respirasi.
Aktivitas motorik respirasi dapat menyebabkan hiperkapnia dan hipoksia sehingga
memicu terjadinya dispnea.
 Hiperkapnia
Dispnea yang diinduksi oleh kemoreseptor biasanya merupakan penyebab dari
stimulus lain, seperti hiperkapnia. Hiperkapnia dapat menginduksi terjadinya
dispnea melalui peningkatan stimulus refleks ke aktivitas otot-otot respiratorik.
 Hipoksia
Hipoksia berkaitan dengan kejadian dispnea baik secara langsung (indepenen,
tidak harus ada perubahan ventilasi) maupun tidak langsung (perubahan kondisi
hipoksia dengan terapi oksigen mampu membuat keadaan penderita sesak napas
membaik).
 Metaboreseptor
Metaboreseptor berada pada otot rangka. Aktivitasnya biasanya diinduksi oleh
produk akhir metabolisme dan merupakan sumber sinyal aferen yang berakibat
pada persepsi sesak napas ketika berolahraga. Ketika seseorang berolahraga berat,
jarang sekali ditemui kondisi hipoksemia maupun hiperkapnia, namun tendensi
untuk mengalami gejala sesak napas cenderung tinggi. Sensasi dispnea tersebut
disinyalir berasal dari metaboreseptor yang ada pada otot rangka. Namun, kondisi
detailnya belum terlalu diketahui.
 Reseptor vagal
Terdapat studi yang menyatakan bahwa adanya udara segar yang langsung
dipajankan ke muka atau saluran napas atas dapat menurunkan gejala sesak napas.
Beberapa reseptor dingin ini diinervasi oleh nervus vagus serta berfungsi
memonitor perubahan aliran di saluran napas atas dengan mendeteksi perubahan
temperaturnya.
 Reseptor dinding dada
Sinyal aferen dari mekanoreseptor di sendi, tendon, dan otot dada berlanjut ke otak
dan dapat menyebabkan dispnea.Vibrasi dari dinding dada mengaktivasi muscle
spindle. Aktivasi ini dapat menginduksi sensasi dispnea. Jaras yang berasal dari
kelompok otot interkostalis dinilai penting dalam timbulnya sensasi dispnea ini.
Aferen nervus frenikus juga terbukti mampu memodulasi aktivitas diafragma.
Aktivitas ini mempengaruhi propriosepsi respiratorik dan memicu dispnea.
 Jaras dispnea
Tidak terlalu banyak informasi yang diketahui mengenai jaras saraf dispnea, dan
mekanismenya dinilai lebih kompleks dibanding nyeri. Namun, diketahui bahwa
aktivitas aferen dari otot repiratorik dan reseptor vagal berlanjut ke batang otak,
kemudian ke area talamus.
 Perintah motorik dan Central Corollary Discharge
Sensasi dispnea menunjukkan kesadaran seseorang untuk mengubah aktivitas
motorik respirasinya. Ketika batang otak atau korteks motorik mengirim perintah
eferen ke otot-otot ventilator, beberapa jaras juga disambungkan ke korteks
sensorik. Hubungan ini yang disebut central corollary discharge. Akibatnya,
kesadaran penuh untuk usaha ekstra bernapas timbul.
 Konsep afferent mismatch
Disosiasi antara amplitudo output motorik dan input sensorik dari mekanoreseptor
perifer dapat menyebabkan atau memperparah dispnea. Sebagai contoh, ketika kita
merasakan sensasi sesak napas, seperti mekanisme central corollary discharge
sebelumnya, kita akan merespon dengan usaha sadar tambahan untuk menarik
napas. Usaha tambahan ini justru mampu memperparah dispnea dengan menambah
sensasi ketidaknyamanan bernapas, sementara otot-otot ventilator melemah akibat
peningkatan beban mekanik.
 Dispnea pada penyakit tertentu
Pada penyakit yang menyerang sistem pernapasan, patofisiologi dispnea tidak
spesifik terhadap satu jalur saja. Ada banyak mekanisme yang dibutuhkan untuk
bisa menimbulkan sensasi dispnea pada penyakit-penyakit tersebut.
 Asma: beban otot inspirasi meningkat, sehingga usaha yang dibutuhkan untuk
melawan resistensi aliran napas akibat bronkokonstriksi juga meningkat. Ketika
terjadi hiperinflasi, otot inspirasi menjadi memendek. Kejadian ini mampu
mengubah radius kurvatura diafragma, sehingga terjadi mechanical disadvantage.
Akibatnya, dibutuhkan usaha tambahan untuk mencapai threshold agar terjadi
inspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Pada asma, sensasi dispnea juga
diperkirakan berasal dari stimulasi reseptor vagal.
 Kelainan neurologik (myastenia gravis): dibutuhkan usaha yang lebih besar untuk
memberikan neural drive agar otot-otot respirasi yang melemah terstimulasi.
Output neuromotor yang meningkat ini, melalui jalur central corollary discharge,
dirasakan sebagai peningkatan efek respiratorik. Akibatnya, terjadi dispnea.
 PPOK: reseptor pada saluran napas dan kemoreseptor berkontribusi terhadap
patofisiologi dispnea. Hipoksia akut atau kronik atau hiperkapnia pada PPOK juga
menyebabkan dispnea tersebut. Selain itu, pada penderita penyakit dengan
kelainan dinamika pernapasan, kompresi mekanik tersebut dapat dideteksi oleh
serabut aferen vagus.
 Pasien-pasien treatment ventilasi mekanik: biasanya sesak napas meskipun kerja
otot pernapasannya berkurang. Penyebabnya bisa jadi merupakan peningkatan
tekanan parsial karbondioksida yang tidak sesuai dengan kebutuhan tidal pasien.
 Emboli paru: ketidakseimbangan mekanika respirasi atau pertukaran gas menjadi
patofisiologi dasar sesak napas yang menjadi gejala. Pada laporan kasus, dispnea
yang terjadi pada pasien emboli paru mampu diobati dengan lisis bekuan darah.
Kemungkinan yang paling kuat, reseptor tekanan di pembuluh darah pulmoner
atau atrium kanan serta serabut C di pembuluh paru memediasi sensasi tersebut.
 Gejala umum dari sesak nafas:
 Angina (nyeri dada)
 Cepat merasa lelah
 Sering mengalami batuk
 Terhentinya nafas sesaat ketika tidur
 Gangguan irama jantung dan paru
 Jari tabuh dan sianosis
 Keluhan awal: keluhan awal akut disebabkan adanya gangguan fisiologis akut seperti
serangan asma, emboli paru dan pneumotoraks. Serangan berkepanjangan selama
berjam-jam hingga berhari-hari lebih sering akibat eksaserbasi penyakit paru yang
kronik atau perkembangan proses sedikit demi sedikit seperti pada efusi pleura atau
gagal jantung kongestif.
 Gejala yang menyertai: dapat berupa nyeri dada yang disertai dengan sesak
kemungkinan disebabkan oleh emboli paru, atau penyakit pleura, batuk yang disertai
dengan sesak, khususnya sputum purulen mungkin disebabkan oleh infeksi napas atau
proses radang kronik (misalnya bronkitis atau radang mukosa saluran napas lainnya),
demam dan menggigil mendukung adanya suatu infeksi, dan hemoptisis
mengisyaratkan ruptur kapiler/vaskular, misalnya karena emboli paru, tumor atau
radang saluran nafas.
 Terpajan keadaan lingkungan atau obat tertentu: alergen seperti serbuk, jamur atau zat
kimia mengakibatkan terjadinya bronkospasme dengan bentuk keluhan sesak, debu,
asap, dan bahan kimia yang menimbulkan iritasi jalan napas berakibat terjadinya
bronkospasme pada pasien yang sensitif dan juga obat-obatan yang dimakan atau
injeksi dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan sesak.
 Pemeriksaan fisik
 Foto thoraks
 Tomografi komputer (CT Scan)
 Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)
 Ultrasound (USG)
 Angiografi pembuluh paru
 Pemindaian paru
 Endoskopi
 Pemeriksaan biopsi
 Pemeriksaan sputum
Dalam menangani dyspnea, kita
perlu tahu penyakit atau kelainan
yang menyertainya. Anamnesis,
pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang harus
dilakukan dengan baik dan benar,
sehingga kita dapat menindak
lanjuti sesuai dengan penyakit
yang mendasari dan
menyebabkan gejala sesak nafas.
 Sesak napas atau dyspneu merupakan suatu gejala dari penyakit atau kelainan
yang dimiliki oleh pasien, dimana disaat kita memberikan tatalaksana kita harus
mencari penyakit atau kelainan yang mendasarinya terlebih dahulu, seperti yang
berasal dari paru itu sendiri, jantung, otak, otot, organ lain seperti ginjal, dan hati
atau bahkan bersifat psikis. Dengan mencari kelainan yang ada kita secara
perlahan dapat memperbaiki gejala dyspneu tersebut.

Anda mungkin juga menyukai