OLEH
AINURROFIQ, DR, SP.KF, MH
Sebelum membahas kejahatan sexual, perlu
membahas beberapa hal penting yang berkaitan
dengan senggama ( coitus ) agar pemahaman
terhadap kejahatan sexual menjadi lebih sempurna,
sebab beberapa jenis kejahatan sexual mengandung
unsur senggama.
Oleh kalangan hukum, senggama didefinisikan
sebagai perpaduan antara 2 alat kelamin yang
berlainan jenis guna memenuhi kebutuhan biologis (
kebutuhan sexual ).
Perpaduan tersebut tidak harus seluruh penis
masuk kedalam vagina.
Menurut Nojon, penetrasi paling ringan ,yaitu
masuknya ujung penis ( glans penis ) diantara kedua
labium mayor, sudah dapat dikatagorikan sebagai
senggama, baik diakhiri atau tidak diakhiri orgasme
/ ejakulasi.
Senggama yang lengkap diawali dengan penetrasi
penis kedalam vagina, lalu di ikuti geseka-gesekan
antara penis dan vagina, untuk menimbulkan
stimulus ( rangsangan taktil ) dan di akhiri dengan
ejakulasi.
Perlu diketahui bahwa sesudah ejakulasi akan terjadi
fase relaksasi dan penis menjadi lemas kembali,
sehingga tidak mungkin lagi meneruskan senggama
meskipun wanita yang disetubuhi menginkanya,
kecuali sudah melalui fase interval yang relatif
lama.
Kesimpulannya.Laki-laki hanya dapat melakukan
persetubuhan dalam keadaan aktif, yaitu suatu
keadaan yang menggambarkan adanya respon
seksual yang di tandai adanya ereksi penis.
Sedangkan wanita dapat disetubuhi dalam keadaan
aktif maupun pasif. Wanita yang sedang dalam
keadaan tidak sadar atau bahkan meninggal dunia
dapat disetubuhi.
Tanda yang paling menyolok pada wanita yang
aktif ( mengalami respon seksual ) adalah ereksi
klitoris dan lubrikasi ( keluarnya lendir pada vagina )
guna membasahi dinding vagina agar tidak
mengalami iritasi.
Senggama yang legal ( yang tidak melanggar hukum )
adalah yang dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut :
1. Ada izin ( consent ) dari wanita yang
disetubuhi.
2. Wanita tersebut sudah cukup umur, sehat
akalnya, tidak sedang dalam keadaan
terikat perkawinan dengan laki-laki lain
dan bukan anggota keluarga dekat.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka KUHP yang
berlaku disini merinci tindak pidana seksual menjadi
perkosaan ( ps 285 KUHP ), bersenggama dengan
wanita tidak berdaya ( ps 286 KUHP ), bersenggama
dengan wanita dibawah umur ( ps 287 KUHP ),
berzina atau berselingkuh ( ps 284 KUHP ), incest
dsb.
Seorang wanita dianggap belum cukup umur dalam
soal bersenggama, jika belum genap 15 tahun,
sehingga secara hukum belum dibolehkan
memberikan izin ( consent ), sebab dinilai belum
mampu memahami segala resiko yang timbul dari
perbuatan bersenggama.
Adapun izin yang syah menurut hukum adalah
yang dengan sadar, wajar, tanpa keragu-raguan dan
atas kemauan sendiri.
Jadi izin tidak syah menurut hukum, jika diperoleh
secara paksaan, tipu daya atau dengan menciptakan
ketakutan.
Adapun ikatan perkawinan dapat dianggap
sebagai izin bagi suami untuk melakukan
persetubuhan dengan isterinya.
PERKOSAAN
a. Tanda langsung :
* Robeknya selaput dara
* Lecet atau memar akibat geseka-gesekan
penis
* Adanya sperma akibat ejakulasi
b. Tanda tidak langsung :
* Terjadinya kehamilan
* Terjadinya penularan penyakit kelamin
Penetrasi penis kedalam vaguna wanita yang masih
perawan dapat mengakibatkan robeknya selaput
dara.
Pada wanita yang sebelumnya pernah melakukan
persetubuhan, masih ada kemungkinan terjadi
robekan tambahan (robekan baru), mengingat
kasarnya senggama pada kasus-kasus perkosaan
Tidak menutup kemungkinan selaput dara yang
mengalami perkosaan masih utuh, yaitu pada
penetrasi penis yang paling ringan ( antara kedua
labia) atau kondisi selaput dara yang elastis disertai
ukuran penis yang sangat kecil.
Gesekan-gesekan penis terhadap vagina dapat
mengakibatkan lecet-lecet atau memar-memar pada
dinding vagina.
Kelainan tersebut terjadi karena pada korban tidak
terjadi lubrikasi sehingga vagina dalam keadaan
kering.
Perlu diketahui bahwa lubrikasi merupakan respon
seksual pada wanita, yang berfungsi sebagai pelicin.
Dalam keadaan diperkosa, diragukan korban dapat
mengalami respon seksual.
Ada seoarang peneliti dari Amerika, menyatakan
wanita yang diperkosa dapat mengalami respon
seksual, bahkan orgasme.
Kendati terjadi demikian, peristiwa tersebut tetap
digolongkan sebagai tindak pidana perkosaan.
Mengenai ejakulasi yang dialami pemerkosa, dapat
dibuktikan secara medik dengan ditemukanga
sperma pada liang senggama, sekitar alat kelamin,
atau pada pakaian korban.
Pemeriksaan sperma tersebut sangat penting, karena
bukan hanya dapat mengungkapkan persetubuhan
saja, tetapi juga identitas pelakunya melalui
pemeriksaan DNA.
Dari pemeriksaan sperma juga dapat diketahui
golongan dara pelakunya.
Adanya kehamilan dan penyakit kelamin dapat
dijadikan bukti tidak langsung adanya
persetubuhan.
Oleh sebab itu pada setiap korban pemerkosaan, perlu
diperiksa ada tidaknya kehamilan dan penyakit kelamin.
Hanya saja untuk menghubungkan apakah kehamilan
sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan terdakwa,
perlu dilakukan pemeriksaan DNA.
Jika ternyata mengakibatkan kehamilan, maka atas
gugatan dari yang bersangkutan, terhukum dari kasus
perkosaan tersebut dapat ditetapkan sebagai ayahnya.
Jika jumlah terhukum lebih dari satu orang tentunya
pemeriksaan DNA sangat membantu.
2. Tanda-tanda Kekerasan.