Anda di halaman 1dari 6

Kelainan congenital system reproduksi dapat disebabkan oleh faktor lingkungan,

nutrisi,penyakit metabolik, infeksi virus, obat teratogenik, dan lain-lain yang terjadi pada
masa kehamilan. Banyak dari kelainan tersebut tidak melibatkan ovarium atau genitalia
eksterna sehingga gejala tidak nampak sebelum menarche atau menikah. Kelainan kongenital
tersebut juga dapat disebabkan oleh kelainan kromosom khususnya kromosom seks dan
gangguan hormonal.

I. Kelainan Kongenital Berupa Gangguan Dalam Organogenesis Dari Sistem


Reproduksi Pada Janin Dengan Genetik Normal

1. VULVA
a. Himen Imperforata
Himen imperforate adalah selaput dara (hymen) yang tidak mempunyai
hiatus himenalis (lubang hymen). Kelainan ini tidak nampak sebelum menarche.
Penderita akan mengeluh molimina menstrualia tiap bulan, tetapi tidak diikuti
menstruasi. Darah akan terkumpul di vagina dan rongga rahim. Tampak hymen
kebiruan karena jendalan darah dan tampak menonjol. Penanganan dengan
melakukan himenektomi dan pemberian antibiotika. Darah dari vagina dan
rongga rahim dilakukan drainase, penderita tidur posisi Fowler.
b. Atresia labium minus
Disebabkan karena membran urogenitalis tidak menghilang. Ostium uretra
tetap ada demikian juga dengan liang vagina. Koitus dapat dilakukan, kehamilan
dapat terjadi. Saat persalinan memerlukan sayatan kecil untuk melahirkan
kepala bayi. Pada umumnya bedah rekonstruksi sederhana dapat menyelesaikan
masalah ini.
c. Hipertrofi labium minus
Kelainan ini tidak berbahaya dan tidka berpengaruh terhadap fertilitas.
Masalah yang timbul adalah masalah estetika. Tindakan rekonstruksi berupa
pengangkatan jaringan yang berlebihan akan cukup mengatasi masalah tersebut.
d. Duplikasi vulva
Sangat jarang ditemukan, bila terjadi biasanya diikuti dengan kelainan
congenital yang lain dan seringkali bersifat lethal.
e. Hipoplasi vulva
Bila kelainan ini terjadinya, seringkali disertai dengan tidak berkembangnya
organ reproduksi yang lain. Tanda seksual sekunder juga tidak nampak.
f. Kelainan perineum
Bila septum urogenitalis tidak terbentuk, maka bayi tidak memiliki lubang
anus atau anus bermuara dalam sinus urogenital sehingga terdapat lubang untuk
keluar feces dan urine secara bersama-sama.

2. VAGINA
a. Septum vagina
Septum sagital dapat ditemukan sehingga membagi vagina seakan menjadi
2 ruangan kanan-kiri.Seringkali hal ini ditemukan juga dengan kelainan pada
uterus karena adanya gangguan fusi pada duktus mulleri. Kelainan ini biasanya
tidak menimbulkan keluhan, menstruasi dapat terjadi normal. Saat hubungan
seksual dapat terjadi dyspareuni. Masalah dapat terjadi saat persalinan, karena
septum tersebut dapat menghambat penurunan kepala.Tindakan septektomi
dapat mengatasi masalah tersebut.
b. Aplasia dan atresia vagina
Pada aplasia vagina, terjadi fusi dari duktus mulleri, tetapi tidak terjadi
kanalisasi atau tidak berkembang sehingga vagina tidak terbentuk. Seringkali
terdpat uterus yang rudimenter. Ovarium juga seringkasi hipoplasi atau hanya
berupa jaringan seperti pita atau polikistik sehingga tidak menghasilkan folikel
dan estrogen. Pada aplasia vagina, hanya terdapat cekungan di introitus vagina.
Keadaan ini seringkali tidak disadari atau baru disadari saat hubungan seksual
atau saat konsultasi karena terjadi infertilitas. Tindakan vaginoplasti dapat
mengatasi masalah seksual, besar dan panjang vagina dapat disesuaikan.
Tindakan ini dilakukan saat penderita akan menikah sehingga vagina yang
dibuat dapat “dilatih” sehingga tidak menyempit lagi.
c. Kista vagina
Terdapat dua macam kista kongenital yaitu kista dari sisa epitel duktus
mulleri dan kista dari sisa duktus gardner (kista Gardner) yang terletak pada
bagian anterolateral vagina. TIndakan yang dapat dilakukan adalah ekstirpasi
kista.
3. UTERUS DAN TUBA FALOPI
a. Gagal pembentukan
Bila satu duktus tidak terbentuk,akan terjadi uterus unikornis dengan satu
tuba, satu ovarium dan satu ginjal sedangkan vagina san serviks normal.
Bila kedua duktus tidak terbentuk, maka tidak terdapat uterus, tuba dan
vagina 2/3 bagian atas, sengakan vagina 1/3 bagian bawah tetap terbentuk.
Ovarium dapat terbentuk sehingga tanda seks sekunder normal tetapi terjadi
amenorea.
Tidak terbentuknya serviks tetapi uterus terbentuk merupakan kelainan
yang amat jarang dijumpai, keadaan ini disebut ginatresia servikalis. Penderita
akan mengalami gejala molimina mestrualia dan kriptomenorea. Darah
menstruasi akan tertimbun dalam rongga uterus menimbulkan rasa nyeri.
Tindakan bedah rekonstruksi dengan memasang pipet polietilen dari rongga
uterus ke vagina dan pemberian antibiotic akan dapat mengatasi masalah ini.
Pipet tersebut diambil setelah ada epitelisasi sehingga tetap terbentuk “jalan”
dari dalam uterus ke vagina.
b. Gangguan fusi
 Uterus dengan 2 bagian simetris
1. Satu uterus dengan 2 ruangan dalam rongga uterus yang dipisahkan
oleh sekat menyeluruh (uterus septus) atau sebagian (uterus
subseptus).
2. Dua uterus yang masing-masing memiliki rongga uterus atau 1
rongga uterus dengan 2 puncak uterus.
a. Uterus bikornis bikollis (uterus didelphys)
Dua uterus terpisah, disertai dengan 2 vagina atau satu vagina
yang terbagi oleh sekat vagina menjadi 2 bagian.
b. Uterus bikornis unikolli
Uterus dengan 1 serviks, dengan 2 fundus masing-masing
dengan rongga uterus, 1 tuba dan 1 ovarium.
c. Uterus arkuatus
Terdapat sekungan pada pundus dengan subseptus.
 Uterus dengan 2 bagian tidak simetris
Terjadi akibat satu duktus mulleri berkembanga sedangkan yang satu
lagi tidak berkembang, sehingga terjadi hemiuterus yang berkembang
normal sedangkan yang lain rudimenter. Bagian yang rudimenter seringkali
tidak berhubungan dengan rongga uterus yang terbentuk. Bila endometrium
dari bagian yang rudimenter berfungsi maka dapat terjadi timbunan darah.
Seperempat wanita dengan kelainan uterus kembar tidak akan
mengalami gangguan, dapat hamil dan melahirkan secara
normal. Gangguan yang mungkin timbul adalah dismenorea, menoragia,
metroragia, dispareunia dan infertilitas. Tindakan korektif (operasi) dapat
dilakukan untuk mengatasi kelaian uterus tersebut.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan ginekologi yang
teliti dan mengguna pemeriksaan radiologis berupa histerisalfingograf
(HSG). Bila terdapat kelainan uterus, kelainan traktus urinarius harus
diteliti. Pielografi intravena dapat dilakukan untuk mengetahui kelainan
pada traktus urinarius.
4. OVARIUM
Keadaan tidak adanya ovarium baik bilateral maupun unilateral dengan oragan
reproduksi lainnya normal adalah keadaan yang sangat jarang ditemui.

5. SISTEM GENITAL DAN SISTEM TRAKTUS URINARIUS


Dua sistem ini saat pertumbuhan embriologi memiliki hubungan yang dekat
sehingga dapat terjadi kelainan bersamaan pada kedua system ini, misalnya kloaka
persisten, ekstrofi kandung kemih sehingga mendorong vagina ke daerah suprapubik
dan klitoris yang terbagi 2.

II. KELAINAN KONGENITAL PADA SISTEM REPRODUKSI KARENA


ABNORMALITAS KROMOSOM ATAU PENGARUH HORMONAL.
1. Sindrom Turner
Terdapat kelainan kromosom seks sehingga tidak terbentuk gonad atau gonad
yang terbentuk hanya berupa pita (streak gonad). Tanda klinisnya: tubuh pendek,
epifisis tulang panjang terbuka, amenorea primer, webbed neck, nevus yang banyak,
koartasio aorta, kubitus valgus, tanda seks sekunder tidak tumbuh, genitalia eksterna
normal. Kadar homon FSH tinggi dan kadar estadiol sangat rendah. Sindrom Turner
dipastikan dengan pemeriksaan kromosom (karyotiping) yang akan menunjukkan
hasil 45-X0 (hanya terdapat satu kromosom X). Namun, terdapat 20-40% kasus
sindrom Turner yang memiliki kromosom 46-XX dengan satu kromosom X yang
abnormal atau tipe mosaic X0/XX. Pengelolaan adalah pemberian terapi sulih
hormon. Mungkinkah wanita ini hamil?

2. Superfemale (47-XXX)
Merupakan wanita yang normal, dengan perkembangan seks yang normal namun
seringkali disertai kecerdasan yang rendah.

3. Sindrom Kleinefelter (47-XXY)


Penderita ini memiliki fisik pria dengan genitalia pria yang normal namun dengan
testis yang atrofi dan azoospermia. Saat dewasa timbul pertumbuhan payudara
(ginekomasti) sehingga menimbulkan masalah psikologis.

4. Hermafrodistisms verus
Terdapat jaringan ovotestis yaitu satu sisi terdapat testis dan di sisi yang lain terdapa
ovarium. Sebagian penderita berpenampilan wanita, namun dengan genita yang
ambivalen. Pada pemeriksaan kromosom ditemukan 46-XX atau 46-XY. Prinsip
pengelolaannya adalah mengambil gonad yang berlawanan, bila fenotip kearah
wanita dan diasuh sebagai waniota sejak kecil maka testis diangkat. Jaringan testis
ini juga cenderung menjadi keganasan.

5. Maskulinisasi wanita dengan kromosom wanita


Terjadi pada bayi perempuan yang mengalamicongenital adrenal
hyperplasia sehingga produksi androgen sangat berlebihan yang akan menekan
aktivitas folikel. Saat lahir ditemukan bayi perempuan dengan lipatan labium mayus
menjadi satu dan terdapat klitoromegali. Uterus tuba dan ovarium normal karena
androgen tidak mempengaruhi pertumbuhan genitalia interna. Bayi akan tumbuh
normal tetapi pada usia 10 tahun terjadi penutupan epifise tulang sehingga
pertumbuhannya berhenti. Tidak terdapat pertumbuhan tanda seks sekunder dan
terjadi amenorea primer.
Bila diagnosis dapat ditegakkan dini maka pemberian kortison akan
menghentikan vilirisasi, penderita akan tumbuh sebagai wanita normal yang dapat
hamil. Terapi kortison diberikan seumur hidup. Adanya tumor pada kelenjar perlu
dipikirkan walaupun pada keadaan ini jarang ditemukan.
Maskulinisasi janin perempuan dapat terjadi pada ibu yang mendapat
progestogen androgenik saat kehamilan trimester pertama atau ibu yang menderita
tumor yang menghasilkan androgen.
6. Sindrom Feminisasi Testikular
Terjadi akibat jaringan genital tidak peka terhadap hormon androgen. Penderita ini
memiliki genotip laki-laki namun dengan fenotip wanita. Pertumbuhan payudara
baik, namun rambut pubis dan rambut ketiak tidak banyak, biasanya wanita tumbuh
langsing semampai. Wanita ini memiliki labium mayus, namun dengan vagina yang
pendek dan menutup, testis dapat ditemukan di labium mayus, kanalis inguinalis
atau di rongga abdomen. Testis ini harus diangkat karena berpotensi menjadi
keganasan. Kelainan in disebabkan oleh tidak adanya enzyme 17-kesteroid reduktase
yang mengubah testosterone menjadi dihidrotestoteron yang aktif.

Sumber :
1. Winkjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kandungan. Edisi ketiga, cetakan kesembilan. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo.
2. www.emedicine.com (gatau cara buat dafpus yang ini)

Anda mungkin juga menyukai