Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN NIFAS PATOLOGI


PADA NY. S USIA 34 TAHUN P4A0 NIFAS HARI KE-8 DENGAN
RETENSI URIN DAN DEHISENSI PERINEUM
DI RSUD KARANGANYAR

Disusun Oleh:

VIVI ARDYA SETYANTO

R0317063

DIII KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2019
HALAMAN PERSETUJUAN

Laporan Pendahuluan

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEBIDANAN NIFAS PATOLOGI
PADA NY. S USIA 34 TAHUN P4A0 NIFAS HARI KE-8 DENGAN
RETENSI URIN DAN DEHISENSI PERINEUM
DI RSUD KARANGANYAR

Disusun Oleh:

Nama : Vivi Ardya Setyanto

NIM : R0317063

Tanggal Pemberian Asuhan : 3 Desember 2019

Disetujui :

Pada tanggal Juli 2019

Pembimbing Lahan

Siti Nur Laily, S.Tr.Keb.


NIP.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Nifas
1. Pengertian
Masa nifas atau post partum adalah masa setelah persalinan
selesai sampai 6 minggu atau 42 hari. Masa nifas merupakan masa yang
paling rawan dan selalu dialami oleh ibu yang habis melahirkan, pada
masa ini terjadi proses pengeluaran darah dari dalam uterus selama atau
sesudah persalinan dan pada normalnya berlangsung selama kurang
lebih 6 minggu. Setelah masa nifas organ reproduksi secara berlahan
akan mengalami perubahan seperti sebelum hamil. Lancar atau
tidaknya pengeluaran darah yang dialami oleh Ibu nifas tergantung dari
kuat atau tidaknya kontraksi uterus (involusi uteri). Gagalnya kontraksi
uterus disebut atonia uteri. Apabila seseorang mengalami atonia uteri
bisa mengakibatkan terjadinya perdarahan post partum yang tidak
normal yaitu kadarnya lebih dari 500 cc.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi involusi uteri yaitu
mobilisasi dini, status gizi, usia, paritas, dan menyusui. Pada saat
menyusui maka akan merangsang pengeluaran hormon oksitosin dan
prolaktin. Hormon ini dapat meningkat produksinya apabila ada kontak
antara ibu dengan bayi. Dalam proses menyusui terjadi kontak mulut
bayi dengan putting susu dan proses bayi menghisap dan menelan ASI.
Isapan bayi pada puting susu inilah yang akan merangsang hipofisis
untuk memproduksi hormon oksitosin dan prolaktin. Hormon oksitosin
membantu proses involusi uterus dan mencegah adanya perdarahan
pada masa post partum, sedangkan hormon prolaktin dikeluarkan
kedalam darah oleh hipofise anterior dan memacu sel kelenjar (alveoli)
untuk memproduksi air susu. Jumlah prolaktin dan susu yang di
produksi.
2. Tahapan Masa Nifas
a. Periode immediate postpartum
Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam.
Pada masa ini sering terdapat banyak masalah, misalnya
pendarahan karena atonia uteri. Oleh karena itu, bidan dengan
teratur harus melakukan pemeriksaan kontraksi uterus,
pengeluaran lokhea, tekanan darah, dan suhu.
b. Periode early postpartum (24 jam-1 minggu)
Pada fase ini bidan memastikan involusi uteri dalam keadaan
normal, tidak ada perdarahan, lokhea tidak berbau busuk, tidak
demam, ibu cukup mendapatkan makanan dan cairan, serta ibu
dapat menyusui dengan baik. Selain itu, pada fase ini ibu sudah
memiliki keinginan untuk merawat dirinya dan diperbolehkan
berdiri dan berjalan untuk melakukan perawatan diri karena hal
tersebut akan bermanfaat pada semua sistem tubuh.
c. Periode late postpartum (1 minggu- 5 minggu)
Pada periode ini bidan tetap melakukan perawatan dan
pemeriksaan sehari-hari serta konseling KB.
3. Perubahan Fisiologis Masa Nifas
Sistem tubuh ibu akan kembali beradaptasi untuk menyesuaikan dengan
kondisi postpartum. Organ-organ tubuh ibu yang mengalami perubahan
setelah melahirkan antara lain:
a. Perubahan sistem reproduksi
1) Uterus
Involusi merupakan suatu proses kembalinya uterus pada
kondisi sebelum hamil. Perubahan ini dapat diketahui dengan
melakukan pemeriksaan palpasi untuk meraba di mana TFU-
nya (Tinggi Fundus Uteri).
Tabel Tinggi Fundus Uteri dan Berat Uterus Menurut Hari
Kondisi Tinggi Fundus Uterus Berat Uterus

Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gram

Uri lahir Dua jari di bawah pusat 750 gram

1 minggu Pertengahan pusat- 500 gram


symphisis
2 minggu Tak teraba di atas 350 gram
symphysis
6 minggu Bertambah kecil 50 gram

8 minggu Sebesar normal 30 ram

2) Lokhea
Lokhea adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas.
Lokhea berbau amis atau anyir dengan volume yang berbeda-
beda pada setiap wanita. Lokhea yang berbau tidak sedap
menandakan adanya infeksi. Lokhea mempunyai perubahan
warna dan volume karena adanya proses involusi. Lokhea
dibedakan menjadi 4 jenis berdasarkan warna dan waktu
keluarnya:
a) Lokhea Rubra
Lokhea ini keluar pada hari pertama sampai hari ke-4
masa postpartum. Cairan yang keluar berwarna merah
karena terisi darah segar, jaringan sisa-sisa plasenta,
dinding rahim, lemak bayi, lanugo (rambut bayi), dan
mekonium.
b) Lokhea Sanguinolenta
Lokhea ini berwarna merah kecokelatan dan berlendir, serta
berlangsung dari hari ke-4 sampai hari ke-7 post partum.
c) Lokhea Serosa
Lokhea ini berwarna kuning kecokelatan karena
mengandung serum, leukosit, dan robekan atau laserasi
plasenta. Keluar pada hari ke-7 sampai hari ke-14.
d) Lokhea Alba
Lokhea ini mengandung leukosit, sel desidua, sel epitel,
selaput lendir serviks, dan serabut jaringan yang mati.
Lokhea alba ini dapat berlangsung selama 2-6 minggu post
partum.
3) Perubahan Vagina
Vulva dan vagina mengalami penekanan, serta peregangan
yang sangat besar selama proses melahirkan bayi. Dalam
beberapa hari pertama sesudah proses tersebut, kedua organ ini
tetap dalam keadaan kendur. Setelah 3 minggu, vulva dan
vagina kembali kepada keadaan tidak hamil dan rugae dalam
vagina secara berangsur-angsur akan muncul kembali,
sementara labia menjadi lebih menonjol.
4) Perubahan Perineum
Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena
sebelumnya teregang oleh tekanan bayi yang bergerak maju.
Pada post natal hari ke-5, perinium sudah mendapatkan
kembali sebagian tonusnya, sekalipun tetap lebih kendur
daripada keadaan sebelum hamil.
b. Perubahan Sistem Pencernaan
Biasanya ibu mengalami konstipasi setelah persalinan. Hal ini
disebabkan karena pada waktu melahirkan alat pencernaan
mendapat tekanan yang menyebabkan kolon menjadi kosong,
pengeluaran cairan yang berlebihan pada waktu persalinan,
kurangnya asupan makan, haemoroid dan kurangnya aktivitas
tubuh.
c. Perubahan Sistem Perkemihan
Setelah proses persalinan berlangsung, biasanya ibu akan sulit
untuk buang air kecil dalam 24 jam pertama. Penyebab dari
keadaan ini adalah terdapat spasme sfinkter dan edema leher
kandung kemih setelah mengalami kompresi (tekanan) antara
kepala janin dan tulang pubis selama persalinan berlangsung.
Kadar hormon estrogen yang besifat menahan air akan mengalami
penurunan yang mencolok. Keadaan tersebut disebut “diuresis”.
d. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Otot-otot uterus berkontraksi segera setelah partus, pembuluh
darah yang berada di antara anyaman otot-otot uterus akan terjepit,
sehingga akan menghentikan perdarahan. Ligamen-ligamen,
diafragma pelvis, serta fasia yang meregang pada waktu persalinan,
secara berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih kembali. Stabilisasi
secara sempurna terjadi pada 6-8 minggu setelah persalinan.
e. Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Setelah persalinan, shunt akan hilang tiba-tiba. Volume darah
bertambah, sehingga akan menimbulkan dekompensasi kordis
pada penderita vitum cordia. Hal ini dapat diatasi dengan
mekanisme kompensasi dengan timbulnya hemokonsentrasi
sehingga volume darah kembali seperti sediakala. Pada umumnya,
hal ini terjadi pada hari ketiga sampai kelima postpartum.
f. Perubahan Tanda-Tanda Vital
1) Suhu Badan
Dalam 1 hari (24 jam) postpartum, suhu badan akan naik
sedikit (37,50 C – 380 C) akibat dari kerja keras waktu
melahirkan, kehilangan cairan dan kelelahan. Apabila dalam
keadaan normal, suhu badan akan menjadi biasa. Biasanya
pada hari ketiga suhu badan naik lagi karena ada pembentukan
ASI. Bila suhu tidak turun, kemungkinan adanya infeksi pada
endometrium.
2) Nadi
Denyut nadi normal pada orang dewasa 60-80 kali per menit.
Denyut nadi sehabis melahirkan biasanya akan lebih cepat.
Denyut nadi yang melebihi 100x/ menit, harus waspada
kemungkinan dehidrasi, infeksi atau perdarahan postpartum.
3) Tekanan Darah
Tekanan darah biasanya tidak berubah. Kemungkinan tekanan
darah akan lebih rendah setelah ibu melahirkan karena ada
perdarahan. Tekanan darah tinggi pada saat postpartum
menandakan terjadinya preeklampsi postpartum.
4) Pernapasan
Keadaan pernapasan selalu berhubungan dengan keadaan suhu
dan denyut nadi. Bila suhu nadi tidak normal, pernafasan juga
akan mengikutinya, kecuali apabila ada gangguan khusus pada
saluran nafas. Bila pernafasan pada masa postpartum menjadi
lebih cepat, kemungkinan ada tanda-tanda syok.
4. Perubahan Psikologis Masa Nifas
Proses penyesuaian ibu atas perubahan yang dialaminya terdiri atas tiga
fase yaitu:
a. Fase Taking In
Fase taking in yaitu periode ketergantungan. Periode ini
berlangsung dari hari pertama sampai hari kedua setelah
melahirkan. Pada fase ini, ibu sedang berfokus terutama pada
dirinya sendiri. Ibu akan berulang kali menceritakan proses
persalinan yang dialaminya dari awal sampai akhir.
Ketidaknyamanan fisik yang dialami ibu pada fase ini seperti rasa
mules, nyeri pada jahitan, kurang tidur dan kelelahan merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari. Hal tersebut membuat ibu perlu
cukup istirahat untuk mencegah gangguan psikologis yang
mungkin dialami, seperti mudah tersinggung, menangis. Hal ini
membuat ibu cenderung menjadi pasif. Pada fase ini petugas
kesehatan harus menggunakan pendekatan yang empatik agar ibu
dapat melewati fase ini dengan baik.
b. Fase Taking Hold
Fase taking hold yaitu periode yang berlangsung 3-10 hari setelah
melahirkan. Pada fase ini ibu timbul rasa khawatir akan
ketidakmampuan dan rasa tanggung jawabnya dalam merawat
bayi. Ibu mempunyai perasaan sangat sensitif sehingga mudah
tersinggung dan gampang marah. Kita perlu berhati-hati menjaga
komunikasi dengan ibu. Dukungan moril sangat diperlukan untuk
menumbuhkan kepercayaan diri ibu.
c. Fase Letting Go
Fase letting go yaitu periode menerima tanggung jawab akan peran
barunya. Fase ini berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan. Ibu
sudah mulai menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya.
Ibu memahami bahwa bayi butuh disusui sehingga siap terjaga
untuk memenuhi kebutuhan bayinya. Keinginan untuk merawat
diri dan bayinya sudah meningkat pada fase ini. Ibu akan lebih
percaya diri dalam menjalani peran barunya. Pendidikan kesehatan
yang diberikan pada fase sebelumnya akan sangat berguna bagi
ibu. Ibu lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan diri dan
bayinya. Dukungan suami dan keluarga masih terus diperlukan
oleh ibu. Suami dan keluarga dapat membantu merawat bayi,
mengerjakan urusan rumah tangga sehingga ibu tidak telalu
terbebani. Ibu memerlukan istirahat yang cukup, sehingga
mendapatkan kondisi fisik yang bagus untuk dapat merawat
bayinya.
5. Retensio Urine
Retensio urine adalah ketidak mampuan untuk
mengosongkan kandung kemih secara spontan. Gejala yang ada
meliputi tidak adanya kemampuan sensasi untuk mengosongkan
kandung kemih ketika buang air kecil, nyeri abdomen bawah
atau tidak bisa berkemih sama sekali. Retensio urin dapat
terjadi secara akut maupun kronik (Stanto, 2014).
Retensio urine akut dapat didefinisakan sebagai rasa nyeri
mendadak yang timbul akibat tidak bisa berkemih selama 24
jam, membutuhkan pertolongan kateter dengan reduksi urin
keluar kurang 50% dari kapasitas sistometer. Retensio urine
kronik lebih sulit untuk didefinisikan. Kandung kemih yang
normal kosong secara sempurna, pada retensio urine kronik terjadi
kegagalan pengosongan kandung kemih (Stanto, 2014).
Retensio urine adalah tidak bisa berkemih selama 24 jam
yang membutuhkan pertolongan kateter, karena tidak dapat
mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih pada
saat berkemih. Biasanya berkemih spontan harus sudah terlaksana
dalam 6 jam sesudah meahirkan. Apabila setelah 6 jam pasien
tidak dapat berkemih dinamakan retensio urin post partum
(Stanto, 2014).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ekasari (2014)
dari hasil penelitian menunjukan bahwa waktu pertama buang air
kecil (BAK) pada ibu postpartum yang telah dilakukan
bladder training seluruh ibu postpartum dapat buang air kecil
(BAK) dengan cepat setelah melahirkan dengan rata - rata waktu
pertama kali buang air kecil (BAK) 2,7 jamdan berdasarkan hasil
penelitian Lestari(2015) menunjukan terdapat manfaat massase
simpisis pubis dan pengencangan musculus transversus
abdominis terhadap percepatan pengeluaran urin pada ibu pos
tpartum spontan.
6. Penyebab Retensio Urine ( Stanto, 2014)
a. Trauma Intrapartum Trauma intrapartum merupakan penyebab
utama terjadinya retensi urin, dimana terdapat trauma pada
uretra dan kandung kemih. Hal ini terjadi karena adanya
penekanan yang cukup berat dan berlangsung lama terhadap
uretra dan kandung kemih oleh kepala janin yang memasuki
rongga panggul, sehingga dapat terjadi perlukaan jaringan,
edema mukosa kandung kemih se dan ekstravasasi darah di
dalamnya. Trauma traktus genitalis dapat menimbulkan
hematom yang luas dan meyebabkan retensi urin post partum.
b. Refleks kejang (cramp) sfingter uretra. Hal ini terjadi apabila
pasien post partum tersebut merasa ketakutan akan timbul perih
dan sakit jika urinnya mengenai luka episiotomi sewaktu
berkemih. Gangguan ini bersifat sementara.
c. Hipotonia selama masa kehamilan dan nifas Tonus otot otot
(otot detrusor) vesika urinaria sejak hamil dan post partum
tejadi penurunan karena pengaruh hormonal ataupun pengaruh
obat-obatan anestesia pada persalinan yang menggunakan
anestesi epidural.
d. Posisi tidur telentang pada masa intrapartum membuat ibu sulit
berkemih spontan.
e. Peradangan
f. Psikogenik
g. Kurangnya mobilisasi
h. Faktor usia
7. Pengaruh Retensio Urine pada Masa Nifas (Stanto, 2014)
Retensio urine pada masa nifas memberikan pengaruh yang
tidak baik terhadap ibu dan masa nifas,Retensio urine pada
masa nifas dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari dan
aktivitas menyusui karena ibu tidak akan merasa nyaman
melakukan aktivitas dan nyeri perut bagian bawah karena kandung
kemih yang penuh
8. Penanganan retensio urine (Stanto, 2014)
a. Bladder training Bladder training adalah kegiatan melatih
kandung kemih untuk mengembalikan pola normal berkemih
dengan menstimulasi pengeluaran urin. Dengan bladder training
diharapkan fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post
partum spontan dapat terjadi dalam 2- 6 jam post partum. Ketika
kandung kemih menjadi sangat mengembang diperlukan
kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama
24-48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dan
memungkinkan kandung kemih menemukan kembali tonus otot
normal dan sensasi. Bila kateter dilepas, pasien harus dapat
berkemih secara spontan dalam waktu 2-6 jam. Setelah berkemih
secara spontan, kandung kemih harus dikateter kembali untuk
memastikan bahwa residu urin minimal. Bila kandung kemih
mengandung lebih dari 150 ml residu urin , drainase kandung
kemih dilanjutkan lagi. Residu urin setelah berkemih normalnya
kurang atau sama dengan 50 ml. Program latihan bladder training
meliputi : penyuluhan, upaya berkemih terjadwal, dan
memberikan umpan balik positif. Tujuan dari bladder training
adalah melatih kandung kemih untuk meningkatkan kemampuan
mengontrol, mengendalikan, dan meningkatkan kemampuan
berkemih. Secara umum, pertama kali diupayakan berbagai cara
yang non invasif agar pasien tersebut dapat berkemih spontan.
b. Pasien post partum harus sedini mungkin berdiri dan jalan ke
toilet untuk berkemih spontan
c. Terapi medikamentosa
d. Diberikan uterotonika agar terjadi involusio uteri yang baik.
Kontraksi uterus diikuti dengan kontraksi kandung kemih.
e. Apabila semua upaya telah dikerjakan namun tidak berhasil untuk
mengosongkan kandung kemih yang penuh, maka perlu
dilakukan kateterisasi urin, jika perlu lakukan berulang.
f. Hidroterapi adalah untuk memperbaiki sirkulasi darah sehingga
dapat memperbaiki fungsi jaringan dan organ. Hidroterapi
banyak digunakan sebagai terapi alternatif untuk pemulihan,
salah satunya dapat mencegah terjadinya retensi urin pada masa
post partum dengan pertimbangan non invasif, mudah dilakukan,
murah, efek samping minimal dan dapat dikerjakan sendiri.
Rasionalisasi hidroterapi dengan air hangat Beberapa literatur
mendukung hidroterapi dengan air hangat dengan suhu 106-
110°F (41- 43°C). Batas suhu tersebut dianggap fisiologis untuk
hidroterapi dan telah diuji melalui beberapa penelitian dengan
risiko terjadinya heatstroke yang minimal. Terapi air hangat pada
kulit, khususnya pada organ urogenitalia eksterna menimbulkan
sensasi suhu pada nerve ending (ujung saraf) pada permukaan
kulit. Sensasi ini mengaktivasi transmisi dopaminergik dalam
jalur mesolimbik sistem saraf pusat.20,26 Universitas Sumatera
Utara Diketahui pada jalur persarafan, perangsangan oleh satu
fungsi sensasi akan menghambat fungsi sensasi yang lain.
Sebagai contoh, beberapa area di medulla spinalis menghantarkan
sinyal yang diperoleh dari nosiseptor (reseptor rasa nyeri) dan
reseptor taktil (reseptor sensasi suhu). Perangsangan reseptor
taktil oleh suhu akan menghambat transmisi impuls nyeri dari
nosiseptor, sebaliknya stimulasi nyeri dapat menekan transmisi
siyal yang diterima dari reseptor taktil. Hal ini dikenal dengan
teori pintu gerbang (gate teory). Transmisi sinyal yang diperoleh
dari reseptor saraf yang satu akan menghambat jalur transmisi
untuk sensasi lain. Hal ini disebut “blocking the gate” atau
dengan kata lain, sensasi suhu dari air hangat yang diterima
reseptor taktil akan menghambat jalur transmisi rasa nyeri yang
diterima oleh reseptor nosiseptor. Sehingga sensasi rasa nyeri
dapat berkurang.20 Terapi air hangat memberikan efek
“crowding process” (proses pengacauan) pada sistem saraf
karena mengakibatkan rasa nyeri terhambat oleh sensasi suhu
yang diterima oleh nerve ending yang bertanggung jawab
terhadap sensasi suhu (nerve endings Ruffini dan Krause)
sehingga memberikan efek penekanan atau pengurangan rasa
nyeri (analgesia). Selain itu, manfaat paparan lokal air hangat
dapat mengakibatkan peningkatan kadar beta endorphin dalam
darah. Beta endorfin diketahui sebagai anti nyeri endogen yang
dapat menimbulkan perasaan relaksasi.
g. Rasionalisasi hidroterapi dengan air dingin Seperti halnya
hidroterapi dengan air hangat, rasionalisasi hidroterapi dengan air
dingin juga mengakibatkan terjadinya proses “blocking the gate”
(sensasi suhu dari air dingin yang diterima reseptor taktil akan
menghambat jalur transmisi rasa nyeri yang diterima oleh
reseptor nosiseptor.). Pada hidroterapi air dingin juga terjadi efek
pengacauan “crowding process”. Sehingga air dingin juga dapat
menekan sensasi rasa nyeri. Selain itu, air dingin juga
menghasilkan efek elektroshock ringan pada korteks serebri
karena kuantitas yang banyak dari nerve ending yang
bertanggung jawab terhadap reseptor dingin pada kulit.
Hidroterapi dengan air dingin dapat mengirim sejumlah besar
impuls dari ujung saraf perifer (nerve endings) ke otak, sehingga
menghasilkan efek analgesia yang lebih besar. Universitas
Sumatera Utara Dari literatur disebutkan bahwa hidroterapi
dengan air dingin pada suhu 55 - 75°F (12 - 24°C) bermanfaat
pada penyembuhan luka perineum. Hidroterapi dengan air dingin
mengakibatkan penurunan metabolisme sel dan pengurangan
penggunaan oksigen di sekitar jaringan yang tidak luka. Beberapa
penelitian juga telah menunjukkan terapi air dingin menyebabkan
vasokonstriksi dan meningkatkan sirkulasi vena. Dengan
terjadinya vasokonstriksi vena, maka membantu proses drainase
pada jaringan edema oleh pembuluh limfe. Dengan terjadinya
vasokonstriksi pada jaringan edema, cairan intersellular yang
tertahan akan mengalir secara perlahan melalui jaringan ikat di
antara serabut otot ke dalam saluran limfe. Selain itu, proses
drainase ini juga difasilitasi oleh pompa yang terjadi akibat
kontaksi dan relaksasi otot. Karena itu, hidroterapi dengan air
dingin pada ibu post partum spontan yang mengalami laserasi
perineum dapat menjadi salah satu manajemen luka perineum
untuk penanganan edema perineum selain penanganan higienis
perineum dan kuratif dengan medisinal. Dari satu penelitian
dilaporkan insidensi penyembuhan luka laserasi perineum
dengan hidroterapi sebesar 84 % pada sepuluh hari periode post
partum. Penyembuhan lambat sebesar 4,3 %, kejadian Infeksi
perineum 1,2 % dan penyembuhan tidak sempurna sebesar 4,8 %.
Sedangkan kejadian edema perineum ringan akan sembuh pada 3
– 4 hari post partum.
9. Dehisensi luka perineum
Dehisensi luka perineum adalah terbukanya kembali luka jahitan di
perineum. Dehisensi luka menimbulkan dampak negatif baik bagi
penderita, keluarga, maupun ahli bedah beserta tim. Dampak bagi
penderita antara lain infeksi dan perluasan luka yang diikuti oleh
penyulit. Tidak jarang kematian dijumpai sehubungan dengan
infeksi berat atau penyulit yang terjadi. Pada pasien yang bertahan
hidup, kerap diperlukan operasi berulang, lama rawat yang
berkepanjangan dampak psikologis serta biaya pengobatan. Tim ahli
bedah tentunya juga tidak menginginkan dehisensi luka ini terjadi
karena merupakan efek samping yang buruk.
10. Penanganan Robekan perineum
robekan perineum yang melebihi tingkat I harus dijahit. Hal ini dapat
dilakukan sebelum plasenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan
plasenta harus dikeluarkan secara manual, lebih baik tindakan itu
ditunda sampai plasenta lahir. Penderita berbaring dalam posisi
lithotomi, dilakukan pembersihan luka dengan cairan antiseptik dan
luas robekan ditentukan dengan seksama. Adapun penanganan
penjahitan perineum berdasarkan derajatnya seperti dibawah ini :
a. Derajat I Penjahitan tidak diperlukan jika tidak ada perdarahan
dan jika luka teraposissi secara alamiah.
b. Derajat II Jahit dengan menggunakan teknik-teknik. Pada
robekan perineum derajat II setelah diberi anesthesi lokal otot-
otot diafragma urogenitalis dihubungkan di garis tengah dengan
jahitan dan kemudian luka pada vagina dan kulit perineum
ditutup dengan mengikutsertakan jaringan-jaringan dibawahnya.
c. Derajat III Menjahit robekan perineum derajat III harus dilakukan
dengan teliti, mula-mula dinding depan rektum yang robek
dijahit, kemudian fasia per-rektal ditutup dan muskulus sphincter
ani eksternum yang dijahit. Selanjutnya dilakukan penutupan
robekan seperti diuraikan untuk robekan perineum derajat II.
Untuk mendapat hasil baik terapi pada robekan perineum total,
perlu diadakan penanganan pasca pembedahan yang sempurna.
Penderita di beri makanan yang tidak mengandung selulosa dan
mulai hari kedua diberi paraffinum liquidum sesendok makan dua
kali sehari dan jika perlu pada hari keenam di beri klisma minyak.
d. Derajat IV Perbaikan segera dengan benang yang dapat diserap
perlu dilakukan. Robekan derajat ketiga dan keempat
membutuhkan perhatian khusus supaya wanita dapat
mempertahankan kontinensia fekal. Apabila wanita tidak merasa
nyeri, ini akan membantu proses penyembuhan dan hal ini dapat
dibantu dengan memastikan feses wanita lunak selama beberapa
hari. Dalam beberapa kasus, obat antimikroba dapat digunakan.
Menurut Asuhan Persalinan Normal (2004), kewenangan bidan
dalam penjahitan luka ruptur perineum hanya pada derajat satu
dan dua, sedangkan untuk derajat ketiga atau keempat sebaiknya
bidan melakukan kolaborasi atau rujukan ke rumah sakit, karena
ruptur ini memerlukan teknik dan prosedur khusus.
11. Faktor Yang Mempengaruhi Kesembuhan Luka yaitu :
1) Faktor - Faktor Eksternal :
1) Tradisi Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang
untuk perawatan pasca persalinan masih banyak digunakan,
meskipun oleh kalangan masyarakat modern. Misalnya
untuk perawatan kebersihan genital, masyarakat tradisional
menggunakan daun sirih yang direbus dengan air kemudian
dipakai untuk cebok. Penggunaan ramuan obat untuk
perawatan luka dan tehnik perawatan luka yang kurang
benar merupakan penyebab terlambatnya penyembuhan
2) Pengetahuan Pengetahuan ibu tentang perawatan pasca
persalinan sangat menentukan lama penyembuhan luka
perineum. Apabila pengetahuan ibu kurang, terlebih
masalah kebersihan maka penyembuhan lukapun akan
berlangsung lama.
3) Sarana prasarana Kemampuan ibu dalam menyediakan
sarana prasarana dalam perawatan perineum akan sangat
mempengaruhi penyembuhan perineum, misalnya
kemampuan ibu dalam menyediakan antiseptik.
4) Penanganan petugas Pada saat persalinan, pembersihannya
harus dilakukan dengan tepat oleh penanganan petugas
kesehatan, hal ini merupakan salah satu penyebab yang
dapat menentukan lama penyembuhan luka perineum.
5) Gizi Makanan yang bergizi dan sesuai porsi akan
mempercepat masa penyembuhan luka perineum.
b. Faktor - Faktor Internal :
1) Usia Penyembuhan luka lebih cepat terjadi pada usia muda
dari pada orang tua. Orang yang sudah lanjut usianya tidak
dapat mentolerir stress seperti trauma jaringan atau infeksi.
Cara perawatan Perawatan yang tidak benar menyebabkan
infeksi dan memperlambat penyembuhan. Karena
perawatan yang kasar dan salah dapat mengakibatkan
kapiler darah baru rusak dan mengalami perdarahan.
2) Kemungkinan terjadinya infeksi karena perawatan yang
tidak benar dapat meningkat dengan adanya benda mati dan
benda asing. Jika luka dirawat dengan baik maka
kesembuhannya juga akan lebih cepat.
3) Personal hygiene Personal hygiene (kebersihan diri) dapat
memperlambat penyembuhan, hal ini dapat menyebabkan
adanya benda asing seperti debu dan kuman. Adanya benda
asing, pengelupasan jaringan yang luas akan memperlambat
penyembuhan dan kekuatan regangan luka menjadi tetap
rendah . Luka yang kotor harus dicuci bersih. Bila luka
kotor, maka penyembuhan sulit terjadi. Kalaupun sembuh
akan memberikan hasil yang buruk.
4) Aktivitas berat dan berlebihan Menghambat perapatan tepi
luka. Mengganggu penyembuhan yang diinginkan.
5) Infeksi Infeksi menyebabkan peningkatan inflamasi dan
nekrosis yang menghambat penyembuhan luka
12. Perawatan Luka Perineum
Perawatan perineum adalah pemenuhan kebutuhan untuk
menyehatkan daerah antara paha yang dibatasi vulva dan anus pada
ibu yang dalam masa antara kelahiran placenta sampai dengan
kembalinya organ genetik seperti pada waktu sebelum hamil.
Tujuan Perawatan Luka Perineum :
a. Mencegah terjadinya infeksi sehubungan dengan penyembuhan
jaringan.
b. Pencegahan terjadinya infeksi pada saluran reproduksi yang
terjadi dalam 28 hari setelah kelahiran anak atau aborsi. Untuk
menghindari terjadinya infeksi, maka cara membersihkan luka
perineum adalah sebagai berikut :
1) Siapkan alat-alat cuci seperti sabun yang lembut, air, baskom,
waslap, kasa dan pembalut wanita yang bersih.
2) Cuci tangan di kran atau air yang mengalir dengan sabun.
3) Lepas pembalut yang kotor dari depan ke belakang.
4) Semprotkan atau cuci dengan betadin bagian perineum dari
arah depan ke belakang.
5) Keringkan dengan waslap atau handuk dari depan ke
belakang.
6) Setelah selesai, rapikan alat-alat yang digunakan pada
tempatnya. Cuci tangan sampai bersih.
7) Catat, jika ada prubahan-perubahan perineum, khususnya
tanda infeksi.
8) Lakukan tidur dengan ketinggian sudut bantal tidak boleh
lebih dari 30 derajat.
13. Pendokumentasian Kebidanan SOAP
Di dalam metode SOAP, S adalah data subjektif, O adalah
data objektif, A adalah analysis, P adalah planning. Metode ini
merupakan dokumentasi yang sederhana akan tetapi mengandung
semua unsur data dan langkah yang dibutuhkan dalam asuhan
kebidanan, jelas, logis. Prinsip dari metode SOAP adalah sama dengan
metode dokumntasi yang lain seperti yang telah dijelaskan diatas.
Sekarang kita akan membahas satu persatu langkah metode SOAP.
a. Data Subyektif
Data subjektif ini berhubungan dengan masalah dari sudut
pandang klien. Ekspresi klien mengenai kekhawatiran dan
keluhannya yang dicatat sebagai kutipan langsung atau ringkasan
yang akan berhubungan langsung dengan diagnosis. Pada klien
yang menderita tuna wicara, di bagian data di bagian data
dibelakang huruf “S”, diberi tanda huruf “O” atau ”X”. Tanda ini
akan menjelaskan bahwa klien adalah penederita tuna wicara. Data
subjektif ini nantinya akan menguatkan diagnosis yang akan
disusun.
Pengumpulan data subyektif pada ibu nifas dan menyusui
dilakukan melalui wawancara langsung kepada pasien (anamnesa).
Anamnesa ini dilakukan pada ibu nifas secara langsung maupun
anamnesa kepada suami atau keluarga yang mengetahui keadaan.
1) Keluhan utama
Untuk mengetahui masalah yang dihadapi yang berkaitan
dengan masa nifas.
Ny. s mengatakan tidak bisa BAK dengan lancer setelah
melahirkan dan luka perineum belum jadi.
2) Riwayat penyakit
Meliputi riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
sistemik, riwayat penyakit keluarga, riwayat keturunan
kembar, dan riwayat operasi.
Ny. S mengatakan dirinya dan keluarganya tidak sedang dan
tidak pernah menderita penyakit seperti Hepatitis, HIV, TBC,
Anemia, Malaria, Asma, Jantung, Hipertensi, dan IMS.
Ny. S mengatakan dalam keluarganya tidak ada riwayat
keturunan kembar dan riwayat pernah menjalani operasi.
3) Riwayat menstruasi
Menarche: 13 tahun
Siklus: 30 hari
Teratur/tidak teratur: Teratur
Lama: 6-7 hari
Sifar darah: Encer
Bau: khas darah
Fluor Albus: Tidak ada
4) Riwayat perkawinan
Kawin 1 kali, kawin pertama umur 22 tahun, dengan suami
sekarang 12 tahun, status pernikahan sah.
5) Riwayat keluarga berencana
Ny. S mengatakan pernah memakai KB berupa pil selama 3
bulan dan berhenti karena membuat sesak. Kemudian ganti KB
suntik 3 bulan selama 2 tahun.
1) Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu

persalinan Bayi Nifas

Tgl lahir uk Jenis penolong kompikasi jk bb laktasi komplikasi Keadaan


persalinan anak
2008 aterm spontan Bidan Tidak ada Laki-laki 2500 asi Tidak ada Hidup,
sehat

2009 aterm spontan Bidan Tidak ada perempuan 3300 asi Tidak ada Hidup,
sehat

2014 aterm spontan Bidan Tidak ada prempuan 3100 asi Tidak ada Hidup,
sehat

27/11/19 aterm spontan Bidan Tidak ada perempuan 3100 Asi+formula Tidak ada Hidup,
sehat

2) Pola kebiasaan saat nifas


Meliputi nutrisi, eliminasi, istirahat, personal hygiene,
keadaan psikologis, riwayat sosial budaya, dan penggunaan
obat-obatan/rokok.
a) Nutrisi
Makan: 3 kali sehari, 1 porsi tiap kali makan (nasi, sayur, lauk
pauk)
Minum: 1,5 liter per hari, 1 gelas tiap minum (air mineral, susu)
b) Istirahat : Cukup, 6 s.d. 8 jam per hari
c) Personal Hygiene: Mandi/disibin 2 kali sehari, ganti pembalut
2-3 kali sehari
d) Keadaaan Psikologis: Baik, Ny. S merasa bahagia atas kelahiran
anaknya .
e) Riwayat social budaya: Keluarga Ny. S mendukung atas
kelahiran anaknya saat ini.
f) Penggunaan obat-obatan dan rokok: Ny. S mengatakan tidak
pernah merokok dan tidak pernah mengonsumsi obat-obatan
selain yang diberikan dari tempat pelayanan kesehatan.
b. Data Obyektif
Data objektif merupakan pendokumentasian hasil observasi
yang jujur meliputi penyampaian hasil pemeriksaan fisik klien,
hasil Nifas pemeriksaan laboratorium, catatan medik, dan
informasi dari keluarga atau orang lain dapat dimasukkan dalam
data objektif ini sebagai data penunjang. Data ini akan memberikan
bukti gejala klinis klien dan fakta yang berhubungan dengan
diagnosis.
1) Status Generalis
Meliputi kedaan umum (untuk mengetahui keadaan ibu secara
umum pada masa nifas dengan hipertensi) dan tingkat kesadaran
(untuk mengkaji kesadaran pasien).
Keadaan umum baik, kesadaran composmentis
2) Pemeriksaan Vital Sign
a) Tekanan darah
Tekanan darah normal, sistolik antara 110-140 mmHg dan
diastolik antara 70-90 mmHg.
TD: 120/80 mmHg
b) Suhu tubuh
Suhu badan wanita in partu tidak lebih dari 37,20C. Sesudah
partus dapat naik 0,50C dari keadaan normal, tetapi tidak
melebihi 380C.
Suhu: 36,60C
c) Nadi
Umumnya antara 60-80 denyutan per menit. Segera setelah
partus dapat terjadi bradikardi.
Nadi: 82 kali per menit
d) Pernapasan
Pernapasan harus berada dalam rentan yang normal yaitu
sekitar 20-30x/menit.
RR: 20 kali per menit
e) Tinggi badan
Seorang wanita hamil yang terlalu pendek, yang tinggi
badannya kurang dari 145 cm tergolong resiko tinggi karena
kemungkinan besar persalinan berlangsung kurang lancar.
TB: 156 cm
f) Berat badan
Penambahan berat badan rata-rata 2 kg tiap bulan sesudah
kehamilan 20 minggu dan adanya penurunan berat badan
dalam bulan terakhir dianggap sebagai tanda yang baik.
BB sekaramg: 63 kg, BB sebelum hamil: 52 kg
g) Lingkar lengan atas (LILA)
Standar minimal untuk lengan atas pada wanita dewasa
adalah atau usia reproduksi adalah 23,5 cm. Jika ukuran
LILA kurang dari 23,5 cm maka interpretasinya adalah
kurang energi kronis.
LILA: 24 cm
3) Pemeriksaan sistematis
a) Inspeksi
Melakukan pemeriksaan pandang terhadap pasien mulai dari
kepala sampai kaki.
b) Palpasi
Palpasi adalah suatu teknik yang menggunakan indera
peraba, tangan dan jari-jari adalah suatu instrumen yang
sensitive dan digunakan untuk mengumpulkan data tentang
temperatur, turgor, bentuk kelembaban, vibrasi, dan ukuran.
Pada kasus ibu nifas dengan hipertensi dilakukan palpasi
untuk menentukan tinggi fundus uteri.
c) Auskultasi
Auskultasi adalah pemeriksaan dengan jalan mendengarkan
suara yang dihasilkan oleh tubuh dengan menggunakan
stetoskop. Pada kasus ibu nifas dengan hipertensi
pemeriksaan auskultasi dilakukan pada saat pemeriksaan
tekanan darah.
d) Perkusi
Perkusi adalah suatu pemeriksaan denganjalan mengetuk
engan alat reflek hummer atau membandingkan kiri kanan
pada setiap daerah permukaan tubuh dengan tujuan
menghasilkan suara. Pada kasus ibu nifas dengan hipertensi
tidak ada data spesifik yang didapat melalui pemeriksaan
perkusi.
Pemeriksaan sistematis head to toe pada Ny. S terdapat
temuan pada luka jahitan perineum masih basah, belum jadi,
berwarna merah.
4) Pemeriksaan penunjang
Data penunjang diperlukan sebagai pendukung diagnosa apabila
diperlukan misalnya pemeriksaan laboratorium. Pada kasus ibu
nifas dengan hipertensi dilakukan pemeriksaan test proteinuria.
Hasil Tes Laboratorium:
Hb: 13,5 gram/dl Golongan darah: B
Glukosa: 127 HIV : -
Albumin: 5,4 gram/dl HbSAg: Non reaktif
c. Analisis
Langkah selanjutnya adalah analysis. Langkah ini merupakan
pendokumentasian hasil analisis dan intrepretasi (kesimpulan) dari data
subjektif dan objektif. Karena keadaan klien yang setiap saat bisa
mengalami perubahan, dan akan ditemukan informasi baru dalam data
subjektif maupun data objektif, maka proses pengkajian data akan
menjadi sangat dinamis. Saudara-saudara, di dalam analisis menuntut
bidan untuk sering melakukan analisis data yang dinamis tersebut
dalam rangka mengikuti perkembangan klien. Analisis yang tepat dan
akurat mengikuti perkembangan data klien akan menjamin cepat
diketahuinya perubahan pada klien, dapat terus diikuti dan diambil
keputusan/tindakan yang tepat. Analisis data adalah melakukan
intrepretasi data yang telah dikumpulkan, mencakup diagnosis, masalah
kebidanan, dan kebutuhan.
1) Diagnosa kebidanan
Diagnosa dapat ditegakkan yang berkaitan dengan para, abortus,
anak hidup, umur ibu, dan keadaan nifas.
Diagnosa kebidanan : Ny… umur …tahun P.. A.. Post SC post
partum hari ke…
Ny. S Umur 34 Tahun P4A0 nifas hari-8 dengan retensi urin dan
dehisensi perineum.
Data Dasar:
Data Subyektif
Pernyataan Ibu tentang jumlah persalinan, apakah pernah abortus
atau tidak, keterangan ibu tentang umur, keterangan ibu tentang
keluhannya.
Ny. S mengatakan ini anak ke-4
Ny. S mengatakan umurnya 34 tahun
Ny. S mengatakan melahirkan bayinya pada tanggal 27 November
2019 pukul 03.15 WIB
Ny. S mengatakan setelah melahirkan sulit BAK
Ny. S mengatakan jahitannya belum jadi dan masih basah
Ny S mengatakan nyeri pada luka jahitan
Data Obyektif :
a) Keadaan umum : Baik
b) Kesadaran : Composmentis
c) Tekanan darah : 110/70 mmHg
d) Palpasi : keras
e) TFU : 2 jari dibawah pusat
f) Ppv : 5 cc
g) Urin : 100 cc
2) Masalah
Permasalahan yang muncul berdasarkan pernyataan pasien.
Masalah yang muncul pada ibu nifas ini ada nyeri pada luka
perineum dan tidak bisa BAK.
3) Kebutuhan
Kebutuhan merupakan hal-hal yang dibutuhkan klien dan belum
teridentifikasi dalam diagnosa dan masalah. Kebutuhan yang
diberikan pada Ibu nifas normal yaitu menganjurkan ibu untuk
bergerak perlahan, melakukan senam kegel, dan menjaga
kebersihan sekitar daerah kewanitaan.
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan adalah mencatat seluruh perencanaan dan
penatalaksanaan yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif,
tindakan segera, tindakan secara komprehensif, penyuluhan, dukungan,
kolaborasi, evaluasi/follow up dan rujukan. Tujuan penatalaksanaan
untuk mengusahakan tercapainya kondisi pasien seoptimal mungkin
dan mempertahankan kesejahteraanya.
1) Mengobservasi meliputi: Keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda
vital, tinggi fundus uteri, kontraksi uterus.
2) Memberitahu Ibu tentang keadaan yang dialami.
3) Menganjurkan Ibu untuk tetap menjaga personal hygiene.
4) Menganjurkan Ibu untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
5) Menganjurkan Ibu untuk melakukan senam kegel untuk
mengembalikan otot-otot panggul agar kembali normal.
6) Memberikan informasi tentang asi ekslusif yaitu bayi yang hanya
diberikan asi sampai 6 bulan tanpa tambahan makanan apapun.
Kemudian saat seperti ini asi tetap diberikan dengan cara dipompa
kemudian dibawa pulang untuk disusukan ke bayi. Asi bisa tahan
24 jam di lemari es, jika di freezer bisa tahan 6 bulan.
7) Memberikan terapi sesuai advis dokter SPOG, yaitu:
Infus RL 20 tpm
Metonidazol 500mg/8jam
Urinter 400mg/8jam
Misoprostol 500mg/8jam
Amprizolam 0,5mg/8jam
System buka tutup DC sebagai terapi untuk merangsang rasa ingin
BAK
8) Mendokumentasikan tindakan
DAFTAR PUSTAKA

Aullia, MT. 2017. Asuhan Kebidanan pada Ibu Masa Hamil, Bersalin, Nifas, Bayi
Baru Lahir Serta Keluarga Berencana di BPM Sulistyowati, S.ST Balong
Ponorogo. Ponorogo: Prodi DIII Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Ponorogo.

Handayani, SH., Mulyati, TS. 2017. Bahan Ajar Kebidanan: Dokumentasi


Kebidanan. Jakarta: Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kemenkes
RI.

Herawati, Puspitarani. Hubungan Perawatan Perineum Dengan Kesembuhan Luka


Perineum Pada Ibu Nifas Hari Keenam Di Bidan Praktik Swasta (BPS) Ny. Sri Suhersi
Mojokerto Kedawung Sragen. Diss. Universitas Sebelas Maret, 2010.

Lestari, SP. 2013. Asuhan Keperawatan pada Ny. E dengan Postpartum Spontan di
Ruang Anyelir RSUD Banyudono Boyolali. Surakarta: Prodi DIII Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan UMS.

Modul Asuhan Kebidanan Nifas: Konsep Dasar Nifas. 2015. Medan: Prodi DIII
Kebidanan Poltekkes Kemenkes Medan.

Safitri, Y., Cahyanti, RD. 2016. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Motivasi
Terhadap Kemandirian Ibu Nifas Dalam Perawatan Diri Selama Early
Postpartum (Doctoral dissertation, Diponegoro University).

Stanton, S. L., (1984). Clinical gynecologic urology. C.V. Mosby .


Susilowati, D. 2015. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ibu Nifas dalam
Pelaksanaan Mobilisasi Dini. Surakarta: Infokes Poltekkes Kemenkes Surakarta
Jurusan Kebidanan.

Timbawa, Sriani, Rina Kundre, and Yolanda Bataha. "Hubungan vulva hygiene dengan
pencegahan infeksi luka perineum pada ibu post partum Di Rumah Sakit Pancaran Kasih
Gmim Manado." Jurnal Keperawatan 3.2 (2015).

Anda mungkin juga menyukai