Anda di halaman 1dari 34

Laporan kasus

Pembimbing : Disusun Oleh :

Letkol CKM dr. Roedi


Djatmiko, Sp.A DIFTERI Septiana Abdurrahim
1620221166

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RST DR.SOEDJONO MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN”
JAKARTA
2018
Anamnesis

Nama : An DA
Umur : 7 tahun 5 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kaligaleg secang
Tanggal masuk RS : 06 Januari 2018
Tanggal keluar RS : 08 Januari 2018
Keluhan utama :
Sulit menelan, muncul bercak putih di kedua
amandel.
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) :
• Pasien datang dengan keluhan demam sudah 2 hari disertai nyeri menelan dan
saat datang terdapat bercak putih di kedua amandel. Karena keluhan kesulitan
menelan tersebut sehingga menurunkan nafsu makan pasien.
• Awalnya pasien masih dapat untuk makan dan minum tetapi saat ini pasien
merasa perih sekali untuk makan dan minum air putih.
• Sebelumnya pasien mengaku sering berobat ke dokter karena keluhan
amandelnya. Dan 5 hari SMRS pasien berobat ke THT untuk rencana
tonsilektomi, tetapi ditunda dan dikonsulkan ke dokter anak karena terdapat 2
pembesaran KGB di regio cervical. Sehari kemudian setelah berobat ke dokter
anak pasien mengeluhkan keluhan yang dirasakan nya saat ini.
• Pasien juga mengeluhkan kepala terasa pusing. Keluhan lain disangkal. Keluhan
batuk pilek (-), mual muntah (-), mimisan (-), sesak (-). BAB dalam batas normal,
tidak berwarna merah atau cokelat. BAK dalam batas normal.
• Pasien mengaku riwayat vaksin lengkap.
• riwayat alergi disangkal, riwayat keluhan serupa
sebelumnya disangkal, riwayat keluarga dan
RPD lingkungan dengan keluhan serupa disangkal.

• Penyakit serupa pada anggota keluarga dan


lingkungan sekitar disangkal.
RPK

• -
Riw.
pengobatan
Keadaan umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
• Nadi : 98x/menit
• Pernafasan :26x/menit
• Suhu : 37,8 ºC
Berat badan : 23 kg
Pemeriksaan generalis
 Kepala : Normocephali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
 Ekspresi : Ekspresi baik
 Mata : Pupil bulat isokor, reaksi cahaya langsung +/+, reaksi cahaya tidak
langsung +/+, konjungtiva pucat, skera ikterik
 Telinga : Normotia, sekret -/-
 Hidung : Deviasi septum -/-, mukosa hiperemis-/-, sekret-/-, pernafasan cuping
 hidung (-)
 Mulut : Lidah kotor(+), tonsil T3/T3, mukosa bibir lembab.
 Leher : KGB cervical (+)
 Kulit : Sianosis(-), turgor baik, ruam (-)

Thoraks
Cor
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat Abdomen
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba  Inspeksi : datar
 Perkusi : Kesan normal  Palpasi : nyeri tekan (-)
 Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-),  Perkusi : Timpani
gallop (-)  Auskultasi : Bising usus (+) normal
Pulmo 2x/menit
 Inspeksi :Simetris dalam keadaan Genitalia : Laki-laki, tidak ada
stastis dan dinamis, retraksi kelainan
sela iga (-) Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-),
 Palpasi :Gerak nafas simetris, vocal udem (-)
fremitus sama kuat di kedua
hemitoraks
 Perkusi :Terdengar sonor di kedua
hemitoraks
 Auskultasi :Suara nafas vesikuler, ronkhi
-/-, wheezing -/-
DIFTERI
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hb 10.2 (L) 12,0 – 16,0 gr/dl


Ht 27.6 (L) 35 - 47%
Eritrosit 3.78 (L) 3,9 – 5,5 juta/µL
MCV 73.1 (L) 80 – 100 fL
MCH 27.1 26 – 35 pg
MCHC 37.1 (H) 31 – 36 gr/dL
Trombosit 153.000 150.000 – 440.000/µL
Leukosit 9.500 3.600 –11.000/µL
LYM 3.9 0,5 – 5,0/µL
LYM% 41.4 15 – 50 %
MID 0.9 0,1 – 1,5/µL
MID% 9.5 2 – 15 %
GRA 4.7 1,2 - 8/µL

GRA% 49.1 35 – 80 %
LED 15
Rontgen
thorax PA
Hasil :
view • Corakan bronchovascular tak tampak
kelainan
• Kedua sinus costophrenicus lancip
• Kedua diafragma licin, dumb diafragma
normal
• CTR < 0,5
• Trachea dan mediastinum di tengah
• Sisterna tulang tak tampak kelainan

Kesan :
• Pulmo tak tampak kelainan
• Besar cor norma.
DIFTERI
 Eritromisin syr forte 250mg 4x1 cth
 Lapifed Dm 3x1 cth
 Sanmol syr 3x2 cth
 Nindia drop 3x1cc
 Tantum garglin 3x1hari
 Difteria merupakan penyakit infeksi akut yang sangat
menular, disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudo-
membran pada kulit dan/atau mukosa.
 Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman
batang gram-positif (basil aerob), tidak bergerak,
pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati
pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan
kering.
 Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya
bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh
C.diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang
mengandung toxigene
 Difteria mempunyai masa tunas 2 hari
Melekat & Efek toksin :
Masuk melalui berkembang biak Produksi hambat
mukosa/kulit pada permukaan toksin pembentukan
mukosa sal nafas protein dalam sel
Fragmen a :
Sel akan aminoterminal
Fragmen B :
Nekrosis jelas mati Tidak terbentuk karboksiterminal Toksin menempel
pada daerah rangkaian pada memb. Sel
kolonisasi polipeptida yg (frag B)
diperlukan Proses
translokasi tidak
Respon inflamasi berjalan Frag. A masuk akibatkan
lokal  jar. inaktivasi enzim
Toksin semakin
Nekrotik bentuk Membran melekat translokase
>>  daerah
bercak eksudat berwarna keabu-
infeksi melebar
mudah dilepas abuan  mudah Sumbat jalan
 terbentuk
berdarah nafas
eksudat fibrin
 Tergantung dari beberapa faktor :
1. Faktor primer : imunitas pejamu thd toksin difteria, virulensi serta tokseginitas c.
diptheriae (kemampuan bentuk toksik), dan lokasi penyakit
2. Faktor lain : umur, penyakit sistemik penyerta
• Demam jarang melebihi 38,9 dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi
difteria :
 Difteria saluran pernapasan
 Difteria hidung
 Difteria tonsil faring
 Difteria laring
 Difteria kulit
 Difteria vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga
Lokasi Gejala dan tanda gambar

Merupakan infeksi primer terjadi pada 94% kasus


difteri, terjadi tanda dan gejala radang lokal sesudah
Saluran masa inkubasi 2-4 hari, demam jarang > 39°𝑐
pernapasan

Awalnya menyerupai common cold (pilek ringan &


tanpa/disertai gejala sistemik ringan) , infeksi nares
anterior, rhinitis erosif, purulen, serosanguinis,
hidung ulserasi putih pada septum nasi, absorbsi toksin
lambat, gejala sistemik tidak nyata, diagnosis lambat.

Nyeri tenggorokan, disfagia (1/2 penderita), serak,


malaise atau nyeri kepala, 2 hr muncul membrane
Tonsil faring putih kelabu, membrane tonsil unu/bilateral yg
meluas ke uvulla dll, bull neck.
Lokasi Gejala dan tanda gambar

Merupakan perluasan difteri faring, cendrung lebih


terasa tercekik, gejala toksik kurang nyata, obstruksi
saluran nafas atas lebih mencolok, nafas berbunyi,
Laring stridor, suara parau, batuk kering.

Tukak dikulit, terdapat membrane pada dasarnya


(kelainan cenderung menahun), ulkus yang tidak
menyembuh, superficial, ektimik, membran coklat
Kulit keabuan, sering terkena pada badan dan kepala,
nyeri, sakit, eritema, eksudat khas hiperestesi lokal

Ulserasi, pembentukan membrane dan perarahan


Vulvovaginal, submukosa.
konjungtiva dan
telinga
 Diagnosis dini sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin
mempengaruhi prognosa
 Diagnosis ditegakan berdasarkan gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi
 Menggunakan identifikasi dengan media agar sistin tellurite agar darah
 Diagnosis pasti menggunakan isolasi C diptheriae dengan pembiakan loeffler
dilanjutkan toksigenitas secara in-vivo (marmot) dan in-vitro (tes elek)
 Diagnosis diambil dari klinis sesuai kejadian tempat anatomisnya
Agar tellurite Medium loeffler

 Kultur spesimen pada media agar • Hasil swab tenggorokan langsung di


darah diinkubasi pada suhu 35°𝐶 swab pada media looefler kemudian
secara aerob, selama 18-48 jam ditunggu pertumbuhan kumannya
• Sekitar 3-4 hari
 C. deptheriae mengurangi kallium • Setelah diinkubasi dilakukan
tellurite sehingga menghasilkan koloni pewarnaan dengan metylen blue
berwarna abu-abu kehitaman untuk mengidentifikasi.
• Kuman difteri menghasilkan koloni
berwarna hitam

Elek test

• Menaruh kertas saring pada cawan


molten agar, kemudian diberikan
antitoksin corynebacterium
diphteriae
• Bila positif, isolat akan membentuk
sudut 9o ° ke strip antitoksin
1. Difteria hidung : rinorrhea, benda asing dalam hidung, snuffles
2. Difteria faring : tonsilitis membranosa akut, tonsilitis membranosa non-bakterial,
moniliasis
3. Difteria laring : laryngitis, infectious croups, spasmodic croup, angioneurotic.
4. Difteria kulit : impetigo dan infeksi kulit
• Obstruksi jalan napas
• Edema jalan nafas
• Miokarditis
• Neuropati toksik
Tujuan :
 menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya
 Mencegah dan mengusahakan agar penyulit terjadi minimal
 Mengeliminasi c.diptheriae untuk mencegah penularan
 Mengobati infeksi penyerta dan penyulit
Pengobatan umum Pengobatan khusus
1. Antitoksin : Anti Diptheria Serum
 Pasien diisolasi sampai masa akut
terlampaui dan biakan hapusan 2. Antibiotik
tengorokan negative 2 kali.
3. Kortikosteroid
 Umumnya diisolasi 2-3 minggu.
 Pemberian cairan serta diet yang Pengobatan penyulit
adekuat
 Hemodinamika tetap baik
 Makanan lunak mudah dicerna  Penyulit dsbbkn oleh toksin umumnya
 Diawasi ketat terjadinya komplikasi reversible
dengan px. EKG pada hari 0,3,7 dan  Bila tampak kegelisahan, iritabilitas &
setiap minggu selama 5 minggu. gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi trakeostomi
 Khusus pada difteri laring dijaga agar
nafas tetap bebas serta dijaga
kelembapan udara dengan Pengobatan karier
menggunakan nebulizer.
Karier adalah pasien yang tidak
menunjukan keluhan, uji schick (-), basil
difteria (+)
Anti toksin diptheria (ADS) Antibiotik Kortikosteroid
 Harus segera diberikan detelah  Bukan pengganti antitoksin
melainkan untuk membunuh  Diberikan pada kasus difteria
dibuat diagnosis difteria
bakteri dan menghentikan produksi yang disertai dengan gejala
 Harus dilakukan uji kulit / mata toksin dan juga mencegah obstruksi saluran nafas bagian
terlebih dahulu, oleh karna penularan organisme
atas (disertai/tidak bullneck) dan
pemberian ADS dapat terjadi reaksi
 Yang dianjurkan ialah penisilin dan bila terdapat penyulit miokarditis
anafilaktik eritromisin (eritromisin lebih
 Sediakan adrenalin unggul)  Dosis prednison 1,0-
Tipe Difteria Dosis ADS Cara pemberian  Terapi diberikan selama 14 hari, 1,5mg/kgBB/hari P>O tiap 6-8
(KI)
difteri kulit 7-10hari jam pada kasus berat selama 14
Difteria Hidung 20.000 Intramuscular  Jika sudah sembuh harus ditest hari
biakan minimal 2 kali berjarak 24
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular /Intravena jam sesuah terapi
Difteria Faring 40.000 Intramuscular /Intravena

Difteria Laring 40.000 Intramuscular /Intravena


• Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. ,
Kombinasi 80.000 Intravena tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3
lokasi diatas hari berturut-turut (-).
• Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari,
Difteria+penyuli 80.000- Intravena p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
t, bullneck 100.000 • Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000
U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis.
Terlambat 80.000- Intravena • Amoksisilin.
berobat(>72jam 100.000 • Rifampisin.
)
• Klindamisin.
Biakan Uji Schick Tindakan

(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan
booster toksoid difteria

Uji schick : untuk


(+) (-) Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau
mengetahui apakah
eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu
seseorang telah
mengandung antitoksin.
Pada orang yang tidak
mengandung antitoksin
akan timbul vesikel pada
(+) (+) Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40
bekas suntikan dan
mg/kgBB + ADS 20.000 KI
menghilang dalam beberapa
minggu.
(-) : tidak terdapat respon
(-) (+) Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunisasi
apapun
 Tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status
imunisasi, kecepatan pengobatan, ketetapan diagnosis dan perawatan umum
 Setelah ditemukan ADS dan antibiotik prognosis difteria lebih baik
 Menurut krugman, kematian mendadak pada kasus difteria disebabkan karena :
1. Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria
2. Adanya miokarditis dan gagal jantung
3. Paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus
 Secara umum, jaga kebersihan dan pengetahuan bahaya difteri bagi snak.
 Anak yang menderita difteri kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier
 Pada anak yang mendapatkan imunisasi lengkap mempunyai antibodi terhadap toksin
difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap mikroorganimenya, keadaan demikian
memungkinkan seseorang mengidap difteria dalam nasofaringnya
 Rencana jadwal :
1. Untuk anak 6 minggu-7tahun, beri 0,5ml dosis mengandung (D)
2. Seri pertama : dosis pada sekitar 2, 4 dan 6 bulan
3. Dosis ke empat : bagian intergral seri pertama diberikan sekitar 6-12bulan sesudah dosis
ketiga
4. Dosis booster diberikan pada umur 4-6tahun
5. Anak usia 7 tahun/> gunakan tiga dosis 0,5ml yang mengandung vaksin (D)  seri primer
meliputi 2 dosis yang berjarak 4-8minggu  dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua

Anda mungkin juga menyukai