Faktor-faktor resiko terjadinya BPH masih belum jelas,beberapa penelitian mengarah pada
predisposisi genetik atau perbedaan ras. Kira-kira 50% laki laki berusia dibawah 60 tahun yang
menjalani operasi BPH memiliki faktor keturunan yang kemungkinan besar bersifat autosomal
dominan,dimana penderita yang memiliki orangtua menderita BPH memiliki resiko 4x lipat lebih
besar dibandingkan dengan yang normal (Cooperberg,2013)
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi BPH yang didiagnosis secara histologis meningkat dari 8% pada pria
berusia 31-40, menjadi 40-50% pada pria berusia 51-60 tahun, hingga lebih
dari 80% pada pria yang lebih tua dari usia 80. Ras memiliki beberapa
pengaruh pada risiko untuk BPH yang cukup parah sehingga membutuhkan
pembedahan. Sementara risiko relatif yang disesuaikan usia dari BPH
mengharuskan operasi serupa pada pria kulit hitam dan kulit putih, pria kulit
hitam yang berusia kurang dari 65 tahun mungkin memerlukan perawatan
lebih sering daripada pria kulit putih.
Di dunia diperkirakan jumlah penderita BPH sebesar 30 juta. Jika dilihat seara
epidemiologi nya, di dunia menurut usia,maka dapat dilihat kadar insiden
BPH, pada usia 40 an kemungkinan seseorang menderita penyakit ini sebesar
40% , dan seiring meningkatnya usia , dalam rentang usia 60-70 tahun ,
persentase meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk
mendapatkan bisa sehingga 90%. Akan tetapi jika dilihat secara histoloi
penyakit BPH, seara umum sejumlah 20% pria pada usia 40 tahun an dan
meningkat pada pria berusia 60 an dan 90% pada usia 70 (Pearson, 2010)
Goiter
Definisi
Goiter adalah suatu pembengkakan pada area leher yang
disebabkan karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan
glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan
susunan kelenjar dan morfologinya. Goiter terjadi akibat
kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan
hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Goiter endemik sering
terdapat di daerah-daerah yang air minumya kurang
mengandung yodium.
Penyakit gondok adalah pembengkakan atau benjolan besar
pada leher sebelah depan (pada tenggorokan) dan terjadi akibat
pertumbuhan kelenjar gondok yang tidak normal
Etiologi
a. Fisiologis : peningkatan ukuran kelenjar akibat
peningkatan kebutuhan hormone tiroid saat
pubertas dan selama kehamilan
b. Defisiensi iodium (endemic) : yang mana
menyebabkan penurunan kadar T4 dan
peningkatan stimulasi TSH yang menyebabkan
struma difus
c. Struma adenomatosa (nodular) : hyperplasia
jinak kelenjar tiroid
Epidemiologi
Distribusi dan frekuensi
1. Orang : data dari rekam medis DIvisi Ilmu Bedah RSU
Dr. Soetomo pada tahun 2001-2005 struma nedusa
toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang laki-
laki dan 435 orang perempuan, dengan usia terbanyak
3-40 tahun
2. Tempat dan waktu : penelitian Ersoy dijerman pada
tahun 2009 dilakukan pemeriksaan benjolan pada
bagian leher dan ditemukan 81 anak dari 1.018
mengalami struma endemis atau gondok.
Patofisiologi BPH (Benign Prostatic
Hyperplasia)
Prostat tumbuh membesar secara bertahap setelah umur 50 tahun keatas.
Pembesaran prostat melibatkan faktor hormonal yang terjadi dalam tipe jaringan
berbeda yaitu otot dan glandular. Faktor hormonal tersebut mempunyai pengaruh
yang berbeda pada masing – masing laki – laki dewasa. Pertumbuhan prostat
terjadi melalui dua cara. Cara pertama, multiplikasi sel disekitar uretra, sedangkan
cara kedua melalui pertumbuhan lobus medius dimana sel – sel prostat tumbuh
mendesak ke arah uretra dan daerah bladder neck.
Jumlah sel dan volume dari suatu organ termasuk prostat tergantung pada
keseimbangan antara proliferasi sel dan kematian sel. Sebuah organ dapat membesar
tidak hanya disebabkan oleh meningkatnya proliferasi sel, tetapi dapat juga disebabkan
oleh menurunnya kematian sel. Meskipun androgen dan faktor pertumbuhan pada
sebuah model eksperimen menstimulasi proliferasi sel, tetapi proliferasi sel yang
menyebabkan pembesaran kelenjar prostat pada manusia masih menjadi pertanyaan,
sebab tidak secara jelas terjadi proses proliferasi yang aktif. Androgen tidak hanya
dibutuhkan untuk proses proliferasi yang normal dan diferensiasi dan kelenjar prostat
saja, tetapi juga secara aktif menghambat kematian sel.
Adanya hormone Luteinizing Hormon Releasing Hormon (LHRH) yang
dihasilkan oleh hipotalamus merangsang hipofisis untuk menghasilkan Luteinizing
Hormon (LH). LH ini kemudian merangsang sel Leydig dalam testis untuk mensekresi
hormon testosteron dan pregnolon yang bersifat reversibel.
Testosteron diproduksi oleh tubuh setiap harinya berkisar antara 6 mg hingga
7 mg. Dari keseluruhan testosterone yang diproduksi oleh tubuh, 95% testosteron
diproduksi oleh sel leydig, sedangkan 5% diproduksi oleh kelenjar adrenal. Testosteron
kemudian mengalami proses reduksi menjadi dehidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5 α
reduktase, atau berubah menjadi estrogen oleh pengaruh enzim aromatase, dan proses
ini bersifat irreversible. DHT ini lebih kuat afinitasnya terhadap androgen reseptor
daripada testosterone di dalam inti sel. Setelah berikatan dengan androgen reseptor
akan mempengaruhi deoxyribo nucleic acid (DNA) dalam inti sel, kemudian
ditranskripsi menjadi messenger ribo nucleic acid (mRNA) selanjutnya terbentuk
protein growth factor dan PSA (Prostate Spesific Antigen). Growth factor inilah yang
menjadikan prostat tumbuh menjadi besar. Peranan testosterone ini cukup besar
terhadap prostat. Hal ini terbukti apabila anak laki– laki yang dilakukan kastrasi
sebelum dewasa, maka prostatnya tidak akan tumbuh menjadi BPH pada usia lanjut.
Meskipun diketahui bahwa androgen memiliki peranan yang penting dalam
perkembangan prostat yang normal, tetapi testosterone atau DHT tidak pernah terbukti
berperan secara langsung sebagai mitogen pertumbuhan BPH pada pria berusia tua. Hal
ini dibuktikan pada kultur sel epitel prostat, yang mana hormon tersebut tidak pernah
memiliki efek mitogenik.
Hiperplasia prostat mengakibatkan peningkatan tahanan outflow urine
pada daerah bladder neck akibat gangguan mekanisme pembukaan bladder
neck sewaktu miksi. Hiperplasia prostat juga menyebabkan perubahan fungsi
buli – buli. Peningkatan tekanan detrusor diperlukan untuk tetap
mempertahankan pancaran miksi normal pada keadaan peningkatan tahanan
outflow urine. Perubahan fungsi detrusor akibat obstruksi dan perubahan
sistem saraf buli – buli pada usia tua menyebabkan beberapa keluhan utama
frequency, urgency, dan nocturia (sering kencing). Korelasi antara besarnya
prostat dengan gejala gangguan miksi dan residual urin tidak jelas. Prostat
yang besar tidak selalu mengakibatkan gangguan miksi, sebaliknya pada
fibrotik prostat dimana prostatnya kecil dapat timbul gangguan miksi yang
hebat. Buli-buli memompakan urine ke luar tubuh harus berkontraksi lebih
kuat untuk mengimbangi tahanan outflow pada bladder neck. Seiring dengan
ini maka otot detrusor buli-buli mengalami hipertrofi, akibatnya terbentuk
trabekula, cellula dan divertikula. Sedangkan tekanan di dalam buli-buli dapat
meningkat dari 20-40 cm air menjadi 50-100cm air atau lebih hingga
melampaui tahanan outflow. Keadaan ini kita sebut masa kompensasi. Bila
proses berlangsung terus dan tahanan outflow meningkat, maka daya kontraksi
dan tekanan di dalam buli-buli meningkat lebih tinggi lagi untuk mengimbangi
daya tahanan outflow.
Pancaran urine semakin lama semakin lemah, aliran urin kecil
sehingga penderita harus menunggu sebentar untuk memulai miksi. Pada suatu
saat daya kontraksi otot detrusor melemah, masa kontraksi menjadi lebih
pendek, otot detrusor menipis sehingga terjadi masa dekompensasi. Pada masa
dekompensasi daya pompa buli-buli untuk mengalirkan urine keluar tubuh
lebih kecil dari pada daya tahanan outflow, sehingga pengosongan buli-buli
tidak sempurna dan terdapat sisa urine (residual urine) di dalam buli – buli.
Pada masa dekompensasi ini sisa urine semakin lama semakin bertambah
banyak. Dengan demikian daya tampung dari buli-buli jadi lebih kecil. Hajat
miksi jadi lebih sering, sedangkan daya kontraksi otot detrusor sudah
melemah. Penderita harus mengejan untuk miksi, tetapi pancaran urine tetap
lemah, aliran urine semakin kecil, menetes dan akhirnya pengeluaran urine
menjadi tertahan dari subtotal menjadi total.
Ada dua macam masa dekompensasi yaitu masa dekompensasi akut
dan masa dekompensasi kronis. Pada masa dekompensasi kronis buli-buli
membesar dan meregang dengan hebatnya sehingga daya kontraksi
menghilang dan mengakibatkan overflow incontinence. Secara histopatologis,
BPH ditandai dengan peningkatan jumlah sel-sel epithelial dan stromal di
daerah periuretra prostat.
Peningkatan jumlah sel disebabkan oleh proliferasi epithelial dan stromal
atau gangguan program kematian sel (impaired programmed cell death) yang
mengakibatkan akumulasi seluler (celluler accumulation). Hormon androgen,
estrogens, interaksi epitel stromal, growth factors, dan neurotransmitter mempunyai
peran, baik secara sendiri-sendiri ataupun kombinasi pada proses hyperplasia prostat.
Pertumbuhan BPH memerlukan androgen testikular selama pertumbuhan
prostat, saat pubertas, dan penuaan. Di dalam prostat, membrane nucleus (nuclear
membrane) mengikat enzyme steroid 5α – reductase untuk mengubah hormone
testosterone menjadi dehydrotestosteron (DHT), yang merupakan androgen utama
prostat. 90% androgen prostat berbentuk DHT, yang merupakan derivat utama dari
androgen testicular. Sedangkan androgen adrenal menyumbangkan 10% dari
keseluruhan androgen prostat.
Di dalam sel, kedua hormon baik androgen testosteron maupun DHT
menempel pada androgen receptor protein (AR). Androgen DHT lebih potensial dari
pada testosterone karena lebih tinggi afinitasnya (affinity) terhadap AR. Apalagi
komplek DHT – reseptor lebih stabil dari pada komplek testosterone – receptor.
Komplek hormon – reseptor ini kemudian menempel pada spesifik DNA yang terdapat
di dalam nucleus, yang mengakibatkan peningkatan transcription of androgen –
dependent genes dan selanjutnya akan menstimulasi sintesis protein. Sedangkan
androgen withdrawal dari androgen – sensitive tissue menyebabkan penurunan sintesa
protein.
Disamping inaktivasi key androgen – dependent genes (misalnya
prostate specific antigen), androgen withdrawal menyebabkan aktivasi
spesifik gen yang terlibat dalam program kematian sel. Walaupun peran
androgen penting dalam pertumbuhan prostat normal dan sekresi fisiologis,
namun tidak terdapat bukti bahwa testosterone maupun DHT memberikan
pengaruh langsung sebagai mitogen pertumbuhan prostat pada pria usia lanjut.
Namun demikian , beberapa faktor pertumbuhan dan reseptornya diatur oleh
androgen. Sehingga, peran testosterone dan DHT di dalam prostat adalah
sebagai mediator tidak langsung melalui autocrine dan paracrine pathways.
Organ prostat tidak seperti organ yang lain dalam hal kemampuannya
untuk merespon androgen. Pada prostat, kadar AR tetap tinggi hingga lanjut
usia. Terdapat bukti bahwa kadar AR lebih tinggi pada jaringan hyperplasia
dibandingkan jaringan yang normal. Peningkatan ekspresi AR pada aging
prostate mengakibatkan pertumbuhan prostat berlangsung terus dan kematian
sel menurun, walaupun terdapat penurunan kadar androgen di sirkulasi perifer
dan kadar DHT prostat normal.
Konsentrasi DHT pada prostat tidak meningkat pada BPH. Pada
beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa kadar DHT hyperplasia prostat
sama dengan prostat normal. Namun demikian, kadar DHT dan AR yang tetap
tinggi pada usia lanjut menyebabkan mekanisme androgen – dependent cell
growth tetap berlanjut. Tipe 2 5α- reductase berperan untuk pertumbuhan
normal prostat dan juga pada hyperplasia prostat. Sedangkan peran tipe 1 5α-
reductase pada pertumbuhan prostat normal dan abnormal masih diteliti lebih
lanjut. Kadar estrogen pada prostat juga meningkat pada pasien BPH. Pasien
BPH dengan volume yang lebih besar mempunyai kadar estrogen perifer yang
lebih besar pula.
Patofisiologi Goiter
Berbagai faktor diidentifikasikan sebagai penyebab terjadinya
hipertropi kelenjar tiroid termasuk defisiensi yodium, goitrogenik glikosida
agent (zat atau bahan ini dapat menekan sekresi hormone tiroid). Secara
fisiologis kelenjar tiroid dapat membesar sebagai akibat peningkatan aktivitas
kelenjar tiroid sebagai upaya untuk mengimbangi kebutuhan tubuh yang
meningkat pada masa pertumbuhan dan masa kehamilan.
Berdasarkan kejadian atau penyebarannya ada yang disebut struma
endemis dan sporadic. Secara sporadis dimana kasus-kasus struma dijumpai
menyebar diberbagai tempat atau daerah. Apabila dihubungkan dengan
penyebab maka struma sporadic banyak disebabkan oleh faktor goitrogenik,
anomaly dan penggunaan obat-obatan anti tiroid, peradangan dan neoplasma.
Secara endemis dimana kasus-kasus struma dijumpai pada sekelompok orang
di suatu daerah tertentu dihubungkan dengan penyebab defisiensi yodium.
Bahan dasar pembentukan hormone-hormon kelenjar tiroid adalah yodium
yang diperoleh dar makanan dan minuman yang mengandung yodium. Ion Iodium
(Iodida) darah masuk ke dalam kelenjar tiroid secara transport aktif dengan ATP
(Adenosina trifosfat) sebagai sumber energy. Selanjutnya sel-sel folikel kelenjar tiroid
akan mensintesis Tiroglobulin (sejenis glikoprotein) dan selanjutnya mengalami
iodinisasi sehingga akan terbentuk di iodotironin (DIT) dan mono iodotironin (MIT).
Proses ini memerlukan enzim peroksida sebagai katalisator. Proses akhir adalah berupa
reaksi penggabungan. Penggabungan dua molekul iodotironin (DIT) akan membentuk
tetra iodotironin atau tiroksin (T4) dan molekul iodotironin (DIT) bergabung dengan
mono iodotironin (MIT) menjadi tri iodotironin (T3) untuk selanjutnya masuk ke
dalam plasma dan berikatan dengan protein binding iodine. Reaksi penggabungan ini
dirangsang oleh hormone TSH (Thyroid Stimulating Hormone) dan dihambat oleh
Tiourasil, Tiourea, sulfonamide dan metilkaptoimidazol.
Melihat proses singkat terbentuknya hormone tiroid maka pemasukan iodium
yang kurang, gangguan berbagai enzim dalam tubuh, hiposekresi TSH (Thyroid
Stimulating Hormone), bahan atau zat yang mengandung tiourea, tiourasil, sulfonamide
dan metilkaptoimidazol, glukosil goitrogenik, gangguan pada kelenjar tiroid sendiri
serta faktor pengikat dalam plasma sangat menentukan adekuat tidaknya sekresi
hormone tiroid. Apabila kadar hormone-hormon tiroid kurang maka akan terjadi
mekanisme umpan balik terhadap kelenjar tiroid sehingga aktivitas kelenjar meningkat
dan terjadi pembesaran (hipertropi).
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar
tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ disekitarnya.
Dibagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus.
Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan
pita suara sehingga kesulitan bernafas dan disfagia (sulit menelan) yang akan
berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan
elektrolit. Penekanan pada pita suara akan menyebabkan suara menjadi serak.
Apabila pembesaran keluar maka akan member bentuk leher yang besar dapat
simetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernafas dan disfagia. Dampaknya
lebih kearah estetika atau kecantikan. Perubahan bentuk leher dapat
mempengaruhi rasa aman dan konsep diri klien.
Goiter
Manifestasi Klinis
• Papiler: nodul tiroid soliter
• Folikular: massa tiroid dengan pertumbuhan
lambat, gejala-gejala metastasis jauh
• Anaplastik : massa tiroid yang tumbuh cepat
menyebabkan penekanan trakea dan esofagus
• Meduler : benjolan tiroid, dapat berupa sindrom
NEM IIA (Karsinoma tiroid meduler,
feokromositoma, hiperparatiroidisme) atau NEM
IIB (Karsinoma tiroid meduler, Feokromositoma,
neuroma mukosa multipel, habitus marfanoid)
Pemeriksaan Penunjang
• Ultrasonografi kelenjar tiroid
• FNAC dapat memberikan diagnosis histologis
• SCAN tulang dan radiografi tulang untuk
deposit sekunder
• Kadar kalsitonin sebagai pertanda karsinoma
meduler.
BPH
Manifestasi Klinis
Obstruksi diri pada saluran keluar:
• Pancaran lemah, hesitansi, intermitensi, menetes/dribbling,
mengedan saat berkemih, retensi urin akut
Ketidakstabilan detrusor menyebabkan:
• Frekuensi, urgensi, nokturia, disuria, inkontinensia
Akhirnya terjadi kegagalan otot detrusor dan retensi kronis :
• Kandung kemih yang teraba (atau dapat diperkusi),
inkontinensia
• Pembesaran prostat yang licin pada pemeriksaan RT
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan colok dubur. Dokter memasukkan jari
kedalam rektum untuk memeriksa prostat
• Tes urine. Menganalisis sampel urin dapat membantu
mengesampingkan infeksi atau kondisi lain yang dapat
menyebabkan gejala serupa
• Tes darah. Hasilnya bisa menunjukkan masalah ginjal
• Tes darah antigen khusus prostat (PSA)
• Tes aliran urin buang air kecil ke wadah yang melekat
pada mesin yang mengukur kekuatan dan jumlah aliran
urin
Pemeriksaan Penunjang Dasar
• Urinalisis dan kultur urin membuktikan adanya
infeksi atau hematuria
• DPL :infeksi
• Ureum+elektrolit dan kreatinin serum :fungsi
ginjal
• PSA :kecurigaan terhadap adanya keganasan
Pemeriksaan penunjang lanjutan
• Catatan harian berkemih
• Uroflowmetri dan pengukuran volume residu
urin (normal<100ml): membuktikan obstruksi
• Ultrasonografi transektal: untuk menentukan
ukuran prostat
• IVU : kelainan struktural
• Sistoskopi
Penatalaksanaan Medis Goiter
1. Operasi/Pembedahan
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum
pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan
dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan
tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormone dalam
jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan
struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.
3. Kemoterapi
Merupakan terapi tambahan yang dapat meningkatkan hasil terapi,
terutama pada stadium lanjut atau keadaan yang sering kambuh.
Penatalaksanaan Non Medis Goiter
1. Istirahat
Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita agar tidak
semakin meningkat. Penderita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan
yang melelahkan/mengganggu pikiran baik dirumah atau di tempat kerja.
Dalam keadaan berat dianjurkan bedrest total di rumah sakit.
2. Diet
Makanan yang harus dikonsumsi yaitu makanan tinggi kalori, protein,
multivitamin serta mineral. Karena pada kondisi ini sering terjadi
peningkatan metabolisme, keseimbangan nitrogen dan kalsium yang
negatif.
3. Pemberian makanan beryodium
Hal ini dilakukan untuk menghambat sintesa hormon secara akut tetapi
hanya dalam 3 minggu, efek ini akan menghilang dengan adanya escape
mekanisme dari kelenjar yang bersangkutan maski sekresi terhambat
sintesa tetap ada.
Penatalaksanaan Medis BPH
Dalam penatalaksanaan medis pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari
gambaran klinis, yaitu :
a. Stadium I.
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin.
Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini
tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II.
Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi
endoskopi melalui uretra (trans uretra).
c. Stadium III.
Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya
dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans
vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV.
Pada stadium IV yang harus dilakukan terapi definitive dengan Transurethral
Resection (TUR) atau pembedahan terbuka.
Penatalaksanaan Non Medis BPH
Terapi pada BPH dapat berupa watchfull waiting yaitu pasien
tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya
tetap diawasi oleh dokter. Indikasi pasien BPH dengan keluhan ringan
yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari .
Pada watchfull waiting ini, pasien diberi penjelasan mengenai segala
sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhan, misalnya :
1. Jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol s
etelah makan malam
2. Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan
iritasi pada kandung kemih (kopi atau cokelat)
3. Batasi penggunaan obat-
obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin
4. Jangan menahan kencing terlalu lama
• BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS BPH
• 2.1 Pengkajian
Identitas Klien
Nama :-
Umur : Gejala terjadi pada orang yang berusia kurang dari 30
tahun, dan prevalensi kejadian meningkat pada umur diatas 80 tahun.
Jenis Kelamin: Terjadi pada laki-laki
No. RM : ZZZZ
Suku :-
Alamat :
Riwayat Kesehatan
Keluhan Utama
Klien biasanya datang ke rumah sakit dengan keluhan sulit kencing bahkan
untuk mengeluarkan kencing harus mengejan.
• Riwayat Penyakit Sekarang
Klien dengan BPH sering mengeluhkan bahwa kencing berdarah,
terganggunya aliran urin , sulit buang air kecil, keiginan untuk buang air
kecil namun pancaran urin lemah.
Inspeksi
• Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada pada
posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat
pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran,
jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk
menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan.
• Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher dalam
posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan
menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita
Pada pemeriksaan fisik kelenjar tiroid, catat bentuk, simetri asimetri, ukuran besarnya dan
kesesuaian dengan goiter non toksik; limfadenopati dan periksa fungsi tiroid. Derajad besarnya
kelenjar tiroid, ditentukan dengan stadium: Stadium 0 : tidak ada pembesaran tiroid Stadium Ia :
Teraba pada pemeriksaan, tidak terlihat walaupun leher ekstensi penuh Stadium Ib : Goiter teraba
pada pemeriksaan dan terllihat saat leher ekstensi penuh Stadium II : Goiter terlihat saat leher
dalam posisi normal Stadium III: Goiter cukup besar dan dapat terlihat dari jauh.
• a. Inspeksi pada leher untuk pembesaran kelenjar
tiroid, seringkali pembesaran tiroid hanya dapat
dideteksi saat pasien menelan.
• b. Isthmus tiroid biasanya terletak sedikit di bawah
kartilago krikoid trakea. Lobus tiroid melebar kelateral
dan bila membesar dapat meluas sampai ke posterior
muskulus sternokleidomastoideus. Lebih dari 80%
lobus kelenjar tiroid berbentuk piramid, dari isthmus
meluas ke superior.
• c. Raba seluruh kelenjar, cari bila ada asimetri atau
nodul yang kadang ada pada kelenjar normal.
Pemeriksaan fisik BPH
Kriteria hasil:
1. Berat badan ideal sesuai tinggi
badan
2. Mampu mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
3. Tidak ada tanda-tanda
malnutrisi
4. Peningkatan fungsi pengecapan
dan menelan
5. Tidak ada penurunan BB yang
berarti
4 Domain 11. Tujuan: 1. Monitor kerentanan terhadap infeksi
. Keamanan/Perlindung Setelah dilakukan tindakan 2. Batasi penunjang
an asuhan keperawatan yang 3. Pertahankan teeknik asepsis
Kelas 1. Infeksi dilakukan 2x24 jam, menurunnya 4. Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
resiko infeksi. 5. Berikan perawatan luka
Resiko infeksi 6. Motivasi untuk istirahat
(00004) 1. Status Imunitas (0702) 7. Motivasi masukan nutrisi yang cukup
2. Knowledge : infection 8. Ajarkan cuci tangan
control 9. Jika terlihat tanda-tanda infeksi
3. Kontrol Risiko: Proses Infeksi kolaborasi dengan tim medis lain.
(1924)
Kriteria hasil:
1. Klien bebas dari tanda-
tanda infeksi
2. Mampu mencegah
timbulnya infeksi
3. Jumlah leukosit dalam
jumlah normal
4. Menunjukan perilaku hidup
sehat
5 Domain 5. Tujuan: 1. Kaji pengetahuan tentang diet yang
. Persepsi/Kognisi Setelah dilakuakan perawatan dianjurkan
Kelas 4. Kognisi selama 1 x 24 jam skala pasien 2. Berikan penyuluhan diit pada pasien
dapat memahami mengenai post operasi
Defisiensi sakitnya.
pengetahuan
(00126) 1. Pengetahuan: Proses
penyakit (1803)
2. Pengetahuan: Perilaku
Kesehatan (1805)
Kriteria hasil:
1. Mampu mengambarkan diet
yang dianjurkan
2. Mengetahui makanan-
makanan yang boleh
dikonsumsi
3. Mengetahui tujuan dari diet
yang dianjurkan
4. Mampu memilih makanan
yang dianjurkan dalam diet
6. Domain 4. Tujuan: 1. Monitor vital sign
Aktivitas/Istirahat Setelah dilakuakan perawatan selama 2. Ajarkan ambulasi
Kelas 2. Aktivitas/Olahraga 1 x 24 jam pasien dapat memenuhi 3. Ajarkan RROM
kebutuhan mobilisasinya dan 4. Ajarkan senam kegel
Hambatan mobilitas fisik perawatan diri. 5. Latih klien dalam pemenuhan kebutuahn
(00085) ADLs secara mandiri
1. Self care status 6. Dampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan
2. Self care : dressing bantu kebutuhan ADLs
3. Activity tolerance 7. Ajarkan klien bagaimana merubah posisi dan
4. Fatigue level berikan bantuan jika diperlukan
5. Mobility : physiocal impaired
6. Ambulation
7. Activity intolerance
Kriteria hasil:
1. Mampu melakukan ADLs yang
paling mendasar dari aktivitas
perawatan diri
2. Mengetahui tujuan dari
peningkatan mobilitas
3. Menyatakan perasaan dalam
meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah
NCP GOITER
Paraf &
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Nama