bella-FRAKTUR DAN PENANGANAN AWAL (Penyuluhan Bella)

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 22

FRAKTUR DAN PENANGANAN

AWAL
Oleh :
Salsabila Lukman Makarim
30101206797
Pendahuluan
• Patah tulang merupakan cedera yang sering terjadi
pada kecelakaan baik itu kecelakaan kerja, rumah
tangga, maupun lalu lintas. Angka kecelakaan di Indonesia
bisa dikatakan cukup tinggi.
• Pada sebuah studi di Indonesia, proporsi cedera patah
tulang atau amputasi paling tinggi terjadi karena
kecelakaan lalu lintas.
• Namun, seringkali kejadian patah tulang tidak ditangani
secara cepat dan tepat sehingga kondisi korban kecelakaan
pun menjadi semakin parah dan bahkan fatal.
• Tulang merupakan suatu organ yang tersusun dari
jaringan ikat padat. Tulangmemiliki banyak fungsi,
yaitu menyangga tubuh, mendukung pergerakan,
melindungi organ-organ, tempat dibentuknya sel darah
merah, dan tempat penyimpanan mineral serta lemak.
• Dalam fungsinya mendukung pergerakan, tulang
membentuk persendian dengan tulang yang lainnya.
• Cedera pada tulang atau sendi dapat menyebabkan
gagal fungsi tulang baik sebagai pendukung pergerakan
maupun dalam fungsinya sebagai organ. Cedera
tulang akan menurunkan kualitas hidup penderitanya
dan berpengaruh banyak terhadap pekerjaan.
FRAKTUR (PATAH TULANG)
• Diskontinuitas atau hilangnya integritas tulang dinamakan fraktur atau biasa
disebut dengan patah tulang.
• Lebih dari 75% kasus patah tulang dapat dikenali berdasarkan riwayat, gejala, dan
tanda yang ada pada korban.
• Tanda dan gejala yang biasanya diakui korban patah tulang yaitu rasa nyeri,
penurunan fungsi, perubahan bentuk (deformitas), serta riwayat trauma.
Selanjutnya, pemeriksaan fisik untuk mendeteksi patah tulang dilakukan
dengan cara melihat (look), meraba/merasakan (feel), dan menggerakkan
(move). Pemeriksaan fisik juga harus dilakukan dengan membandingkan bagian
tubuh yang dicurigai patah tulang dengan sisi lainnya (kanan/kiri). Dengan
melihat secaracermat (look) dapat ditemukan bengkak, perubahan bentuk,
gerakan tidak normal, atau perubahan warna. Dengan melakukan perabaan,
memegang, mengenali dengan kedua tangan (feel) dapat ditemukan rasa hangat
dan lunak, nyeri ketika ditekan, atau spasme (kram) otot. Dengan menggerakkan
sendi yang berdekatan dengan daerah patah baik bagian ujung maupun pangkal
(move) akan didapatkan gerakan sendi yang terbatas, tertahan, rasa nyeri dsb.
Pertolongan Pertama pada Patah Tulang
• Selama korban masih di tempat kejadian cedera, ada
pertolongan pertama yang dapat dilakukan oleh masyarakat
awam. Tatalaksana tersebut adalah pemasangan bidai
sederhana. Pemasangan bidai dilakukan setelah dipastikan
tidak ada gangguan pada pernapasan dan sirkulasi korban dan
luka sudah ditangani. Bidai bertujuan untuk mencegah
pergerakan (imobilisasi) pada tulang dan sendi yang
mengalami cedera. Imobilisasi ini menghindari pergerakan
yang tidak perlu, sehingga mencegah perburukan patah tulang
dan cedera sendi serta menghindari rasa nyeri.Pemasangan
bidai juga akan memberikan gaya tarik dengan perlahan
namun konsisten sehingga membantu mereposisi bagian
yang cedera mendekati posisi normalnya.
• Bidai sederhana dapat dibuat dari bahan apapun yang kaku,
seperti kayu, penggaris, atau tongkat. Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam pemasangan bidai, yaitu:
1. Bidai harus cukup panjang. Pada kasus patah tulang: Melewati
sendi yang ada di pangkal dan ujung tulang yang patah. Pada
kasus cedera sendi: Mencapai dua tulang yang mengapit sendi
yang cedera.
2. Bidai harus cukup kuat untuk menghindari gerakan pada
bagian yang patah tulang atau sendi yang cedera, namun
tidak mengganggu sirkulasi.
3. Bila tidak ada alat yang kaku untuk dijadikan bidai, bagian
tubuh yang cedera bisa diikatkan dengan bagian tubuh yang
sehat, misalnya dengan membalut lengan ke tubuh, atau
membalut kaki ke kaki yang sehat.
4. Jangan meluruskan (reposisi) tangan atau kaki yang
mengalami deformitas, pasang bidai apa adanya.
Langkah-langkah Pemasangan Bidai
1. Pastikan lokasi luka, patah tulang atau cedera
sendi dengan memeriksa keseluruhan tubuh korban
(expose) dan membuka segala jenis aksesoris yang
menghalangi (apabila tidak melukai korban lebih jauh).
2. Perhatikan kondisi tubuh korban, tangani perdarahan
jika perlu. Bila terdapat tulang yang mencuat, buatlah
donat dengan menggunakan kain dan letakkan pada
tulang untuk mencegah pergerakan tulang.
3. Memeriksa PMS korban, apakah pada ujung tubuh
korban yang cedera masih teraba nadi (P, Pulsasi),
masih dapat digerakkan (M, Motorik), dan masih
dapat merasakan sentuhan (S, Sensorik) atau tidak.
4. Tempatkan bidai di minimal dua sisi anggota badan
yang cedera (misal sisi samping kanan, kiri, atau bagian
bawah). Letakkan bidai sesuai dengan lokasi cedera.
5. Hindari mengangkat tubuh pasien untuk memindahkan
pengikat bidai melalui bawah bagian tubuh tersebut.
Pindahkan pengikat bidai melalui celah antara lekukan
tubuh dan lantai. Hindari membuat simpul di permukaan
patah tulang.
6. Buatlah simpul di daerah pangkal dan ujung area yang
patah berada pada satu sisi yang sama. Lalu, pastikan bidai
dapat mencegah pergerakan sisi anggota badan yang patah.
Beri bantalan/padding pada daerah tonjolan tulang yang
bersentuhan dengan papan bidai dengan menggunakan kain.
7. Memeriksa kembali PMS korban, apakah pada ujung tubuh
korban yang cedera masih teraba nadi (P, Pulsasi), masih dapat
digerakkan (M, Motorik), dan masih dapat merasakan sentuhan
(S, Sensorik) atau tidak. Bandingkan dengan keadaan saat
sebelum pemasangan bidai. Apabila terjadi perubahan kondisi
yang memburuk (seperti: nadi tidak teraba dan / atau tidak
dapat merasakan sentuhan dan / atau tidak dapat digerakkan)
maka pemasangan bidai perlu dilonggarkan.
8. Tanyakan kepada korban apakah bidai dipasang terlalu ketat
atau tidak. Longgarkan balutan bidai jika kulit disekitarnya
menjadi:
• Pucat atau kebiruan
• Sakit bertambah
• Kulit di ujung tubuh yang cedera menjadi dingin
• Ada kesemutan atau mati rasa
OPEN FRACTURE (FRAKTUR TERBUKA)
• Dikatakan fraktur terbuka jika terdapat hubungan antara
daerah yang fraktur dengan dunia luar, biasanya karena kulit
di atasnya sudah tidak intak. Fraktur merupakan terbuka
emergensi bedah ortopedi, karena risiko untuk terjadinya
infeksi pada tulang yang fraktur tinggi. Komplikasi jangka
panjang adalah terancamnya fungsi tungkai, dan dalam kasus
infeksi sistemik dapat mengancam jiwa .
• Manajemen fraktur awal adalah untuk mengontrol
perdarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kontaminasi
serta infeksi misal benda asing dan jaringan nonviable. Hal ini
akan meminimalkan komplikasi yang mungkin dapat terjadi
Klasifikasi Fraktur Terbuka
• Menurut Gustilo dan Anderson :
Penanganan Fraktur Terbuka di IGD
1. ABCD
• Nilai status kesadaran, bebaskan airway, breathing, resusitasi cairan,
dan hentikan perdarahan.
2. Cuci luka
• Mencuci luka dengan larutan NaCl fisiologis bertujuan menghilangkan
kontaminasi makro dan bekuan darah yang dapat meminimalkan
kontaminasi serta kerusakan jaringan (Schaller,2012).
3. Debridement dalam golden period (6 jam) dengan general anestesia.
• Adanya jaringan yang mati akan mengganggu proses penyembuhan
luka dan merupakan daerah tempat pembenihan bakteri sehingga
diperlukan eksisi secara operasi pada kulit, jaringan subkutaneus,
lemak, fasia, otot dan fragmen-fragmen yang lepas (Buckley, 2012).
4. Imobilisasi, luka ditutup kain bersih, fragmen jangan dimasukkan
• Pembidaian dan imobilisasi fraktur penting pada emergensi ortopedi.
Fungsinya adalah untuk mengontrol nyeri dan pembengkakan,
mengurangi deformitas/dislokasi, dan imobilisasi fraktur atau cedera.
Tujuan pembidaian dan imobilisasi adalah membebaskan nyeri,
meningkatkan penyembuhan, stabilisasi fraktur, mencegah sehingga
cedera lebih lanjut. Untuk fraktur terbuka grade I-II dapat diberikan
internal fixasi, gips dengan window. Sedangkan untuk grade III yaitu
external fixasi, gips dengan window hingga amputasi apabila organ
tidak viable/beresiko menimbulkan mortalitas. Kebanyakan cedera
ekstremitas atas dapat ditangani dengan menggunakan belat
posterior long arm. Cedera pada jari ditangani dengan belat jari busa
atau belat plastik kaku. Cedera bahu dapat ditangani dengan sebuah
selempang/balutan gendong, atau imobiliser bahu. Cedera
ekstremitas bawah dapat ditangani dengan imobiliser lutut atau bidai
cetak posterior (Budiman, 2010).
5. Antibiotik dan analgetik
• Pemberian antibiotik bertujuan untuk
mencegah infeksi. Antibiotik diberikan dalam
dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan
sesudah tindakan operasi.
Daftar Pustaka
• Budiman C. 2010. Patah Tulang dan Pembidaian. Bandung: KORPS Sukarela PMI UNPAD.
xa.yimg.com/kq/groups/.../Patah+Tulang+dan+Pembidaian.pptx (10 Desember 2012)

• Georgopoulos D, Bouros D. 2003. Fat embolism syndrome clinical examination is still the preferable diagnostic method. Chest. 2003;123:982–3.

• Guthrie HC, Owens R, Bircher MD, 2010. Focus On Pelvic Fractures. The journal of bone and joint
surgery.http://www.jbjs.org.uk/media/29777/focuson_pelvic.pdf (29 Januari 2013)

• Jawed M, Naseem M. 2005. An update on fat embolism syndrome. Pak J Med Sci. 2005;21:2–6.

• John L Brusch. 2011. Septic Arthritis. http://emedicine.medscape.com/article/236299-treatment#showall Diakses tanggal 30 Januari 2013.

• Moira Davenport. Spine serviks Fraktur di Pengobatan Darurat.2008. http://emedicine.medscape.com/article/824380-overview#showall Diakses
tanggal 30 Januari 2013

• Paula R. 2007. Compartment syndrome, extremity. http://www.emedicine.com (29 Januari 2013)

• Pike, Rockville. 2001. Amputation- Traumatic. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000006.html (30 Januari 2012)

• Rasjad, C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif Watampone. Makassar: 2007. pp. 352-489

• Richard Buckley. 2012. TREATMENT FRACTURE. http://emedicine.medscape.com/article/1270717-treatment#showall Diakses tanggal 29 Januari 2013

• Schwartz.SI; Shires.GT; Spencer.FC. 2000. Intisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah. EGC: Jakarta.

• Scott H Bjerke. 2011. Ekstremitas Vascular Trauma Perawatan & Manajemen. http://emedicine.medscape.com/article/462752-workup#showall
Diakses tanggal 30 Januari 2013

• Shaikh, Nissar. 2009. Emergency management of fat embolism syndrome. J Emerg Trauma Shock. 2009 Jan-Apr; 2(1): 29–33. doi: 10.4103/0974-
2700.44680
• Thomas M Schaller. 2012. Open fracture.
http://emedicine.medscape.com/article/1269242-overview#showall Diakses
tanggal 29 Januari 2013

• Wofe WG, De Vries WC. 1975. Oxygen toxicity. Annu Rev Med 1975;26:203-14.

• Yuliasih. 2009. Artritis Septik.
http://penelitian.unair.ac.id/artikel/879a293390a8508635485ed7e5b2e45f_Unair.p
df (10
Desember 2012)

Anda mungkin juga menyukai