Anda di halaman 1dari 20

Persentasi Jurnal

Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada Anak

Novie Homenta Rampengan


Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/RSU
Prof.Dr.R.D. Kandou, Manado

Oleh: Hilda Tri Damayanti


Preseptor: dr. Aspri Sulanto, MSc, Sp.A
Latar Belakang

• Demam Tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik akut


yang disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi.
• Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah
kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan angka
kejadian penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh dunia
dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per tahun.
• Insidens demam tifoid masih tinggi meskipun komplikasi dan angka kematian
sudah menurun dengan upaya diagnosis cepat dan pemberian antibiotik yang
tepat. Dari telaah kasus di beberapa rumah sakit besar, kasus tersangka demam
tifoid menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun dengan
rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian 0,6-5,0%.
• Kloramfenikol merupakan obat pilihan lini pertama untuk terapi demam tifoid
tanpa komplikasi pada anak sampai saat ini. Antibiotik lain yang dipergunakan
adalah tiamfenikol, sefiksim dan azitromisin.
Tujuan

Melakukan evaluasi respon antibiotik yang digunakan dalam terapi


demam tifoid tanpa komplikasi di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU
Prof.Dr.R.D.Kandou, Manado.
 Metode Penelitian

Rancangan penelitian : Kohort Retrospektif


Terdiri dari 161 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eklusi penelitian
Terdiri dari 50 pasien diberikan antibiotik kloramfenikol, 44 pasien diberikan antibiotik
tiamfenikol, 37 pasien diberikan antibiotik sefiksim, dan 30 pasien diberikan antibiotik
azitromisin.
 Yang Dinilai

Mengevaluasi respon antibiotik yang digunakan dalam terapi demam


tifoid tanpa komplikasi berdasarkan waktu bebas demam dan lama
rawat inap di ruang rawat inap anak bagian IKA/RSU
Prof.Dr.R.D.Kandou, Manado.
 Hasil Penelitian

Subyek penelitian berjumlah 161 anak


Terdiri dari :
• 50 diberikan antibiotik kloramfenikol (dosis 100mg/kg/hari)
• 44 diberikan antibiotik tiamfenikol (dosis 75mg/kg/hari)
• 37 diberikan antibiotik sefiksim (dosis 10mg/kg/hari)
• 30 diberikan antibiotik azitromisin (dosis 10mg/kg/hari)

*dengan lama pemberian antibiotik pada semua kelompok antibiotik adalah 7 hari
 Hasil Penelitian (CONT..)

• Rerata insidens demam tifoid pada laki-laki dan perempuan hampir sama
• Rerata usia pasien demam tifoid terbanyak diatas 5 tahun
• Lama demam sebelum masuk RS berkisar antara 8-8,6 hari.
• Rerata suhu tubuh saat masuk RS antara 37,6-38,1ºC
• Gejala klinis paling banyak diderita adalah anoreksia, mual muntah, nyeri perut,
serta batuk.
• Waktu bebas panas paling pendek dicapai pada pasien yang di berikan azitromisin
yaitu 37,9 jam, kemudian diikuti oleh kloramfenikol yaitu 40,3 jam, tiamfenikol
45,27 jam, dan sefiksim 50,81 jam
 Hasil Penelitian (CONT..)

Rerata rawat inap paling singkat ditemukan pada :


• Kelompok kloramfenikol, yaitu 4,42 hari
• kelompok azitromisin 4,56 hari
• kelompok tiamfenikol 4,75 hari
• kelompok sefiksim 4,81 hari.
Hasil Anova dengan uji F menyatakan tidak terdapat perbedaan bermakna rerata
lama rawat inap pada ke-4 jenis obat antibiotik diatas (p=0,600).
 Hasil Penelitian (CONT..)
 Hasil Penelitian (CONT..)
 Hasil Penelitian (CONT..)
 Hasil Penelitian (CONT..)
 Pembahasan

• Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan yang
signifikan, ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Rampengan, TH pada tahun 2007.
• Berdasarkan usia, didapatkan usia terbanyak adalah usia diatas 5 tahun, hal ini
sesuai dengan laporan Bhan dan Bhatnagar, bahwa didaerah endemis kasus
demam tifoid tersering pada usia 5-19 tahun, diikuti dengan usia 1-5 tahun.
Menurut Adisasmito AW, 2006 pada usia 6-10 tahun merupakan masa anak mulai
mengenal lingkungan dan bersosialisasi dengan temannya, mereka mulai
mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak diketahui dengan jelas
kebersihan.
• Berdasarkan gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari ringan sampai
dengan berat sehingga memerlukan perawatan di RS. Gejala klinis terbanyak
adalah anoreksia diikuti mual, muntah, dan nyeri perut. Hasil penelitian ini juga
sejalan dengan Crump dkk, yang meenyatakan anoreksia ditemukan 85%, muan
maupun nyeri perut 50%, dan batuk 35%.
• Pembahasan (Cont..)
Rerata hasil laboratorium darah perifer normal, berdasarkan kepustakaan, pada demam
tifoid tidak selalu ditemukan leukopenia. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan
dapat pula leukositosis, terutama apabila disertai komplikasi lain

Respons terapi berbagai antibiotik dinilai dengan waktu bebas demam dan lama rawat di
rumah sakit. Saat reda demam (time of fever defervescence) merupakan parameter
keberhasilan pengobatan dan Dalam penelitian tahun 1990-1994 di Bagian IKA FKUI
RSCM, pasien demam tifoid anak yang diberi antibiotik kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin,
seftriakson, sefiksim dan kotrimoksasol, melihat saat demam turun berturut-turut 4,2; 5,2;
5,4; 5,7; dan 6,5 hari. Dengan demikian, pemantauan suhu pada hari ke-4 sampai hari ke-5
setelah pemberian antibiotik dapat digunakan sebagai titik evaluasi. Apabila suhu turun dan
klinis anak membaik berarti terapi berhasil. Sedangkan apabila demam menetap mungkin
terdapat infeksi lain, komplikasi, atau kuman penyebab adalah MDR S. typhi. saat tersebut
menentukan efektifitas antibiotik. Dalam penelitian kami, waktu bebas panas paling pendek
dicapai pada pasien yang
• Pembahasan (Cont..)

Antibiotik berasal dari kata Yunani tua, yang merupakan gabungan dari kata anti (lawan)
dan bios (hidup) yang berarti "melawan sesuatu yang hidup". Secara medis, antibiotik
merupakan senyawa mikroorganisme seperti jamur atau bakteri tertentu yang telah
“dijinakkan” dan bila dimasukkan ke dalam tubuh dapat menjadi penyembuh yang ampuh.
Antibiotik berperang melawan bakteri-bakteri di dalam tubuh. Namun perlu diingat,
penggunaannya tidak boleh sembarangan. Bila dikonsumsi berlebihan akan berisiko tinggi
pada kesehatan.
Pada dasarnya, obat yang ditemukan oleh Alexander Fleming dari Scotlandia di tahun
1928 ini mempunyai dua cara kerja. Pertama, mampu menghambat pertumbuhan bakteri
penyakit (bakteriostasis) kedua membunuh bakteri penyakit tersebut (baktericidal).
Sehingga obat ini mampu menghilangkan dan membasmi bakteri tanpa menimbulkan efek
samping yang berarti pada tubuh yang mengonsumsinya.
Namun, bukan berarti semua penyakit dapat diberikan antibiotik. Menurut Dr Hinky Hindra
Irawan, obat antibiotik umumnya diberikan pada penyakit-penyakit infeksi atau yang
disebabkan oleh bakteria saja. Misalnya, penyakit-penyakit yang berkenaan dengan infeksi
saluran pernapasan, saluran pencernaan atau peradangan telinga.
Pembahasan (Cont..)

• Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek
menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya
dalam proses infeksi oleh bakteri.Literatur lain mendefinisikan antibiotik sebagai substansi
yang bahkan di dalam konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan dan
reproduksi bakteri dan fungi.
• Sifat antibiotik untuk terapi harus memiliki toksisitas selektif yaitu harus dapat
menghambat mikroorganisme infektif dan bersifat toksik hanya terhadap patogen infektif
tidak terhadap inangnya.
• Berdasarkan sifat nya antibiotik dibagi menjadi 2 yaitu antibiotik yang bersifat bakterisidal
dan antibiotik yang bersifat bakteriostatik
• Mekanisme kerja antibiotik dalam menghambat proses biokimia di dalam organisme dapat
dijadikan dasar untuk mengklsifikasikan antibiotik.
• Pemberian antibiotik adalah dosis serta jenis antibiotik yang diberikan haruslah tepat. Jika
antibiotik diberikan dalam jenis yang kurang efektif atau dosis yang tanggung maka yang
terjadi adalah bakteri tidak akan mati melainkan mengalami mutasi atau membentuk
kekebalan terhadap antibiotik tersebut.
Kesimpulan

Pemberian antibiotik kloramfenikol, tiamfenikol, sefiksim, dan azitromisin


pada demam tifoid anak tidak terdapat perbedaan bermakna pada rerata
waktu bebas demam dan lama rawat inap.
Saran

• Dibutuhkan penelitian lanjutan dengan subjek yang lebih besar,


pemeriksaan laboratorium mikrobiologi, serta dilakukan secara kohort
prospektif untuk dapat mengevaluasi keberhasilan dan kegagalan
terapi, perbaikan klinis maupun mikrobiologis, kejadian relaps secara
klinis dan mikrobiologis, serta mengevaluasi berbagai faktor yang
dapat mempengaruhi lama rawat.

Anda mungkin juga menyukai