Anda di halaman 1dari 43

REFERAT

UVEITIS

Ramilya Elvera Silaban (42160072)


Charlina Amelia Br Barus (42160073)

Pembimbing
dr. Edi Wibowo, Sp. M, MPH
Pendahuluan
• Uveitis adalah inflamasi di uvea yaitu iris, badan siliar dan koroid
yang dapat menimbulkan kebutaan.
• Di negara maju, 10% kebutaan pada populasi usia produktif adalah
akibat uveitis.
• Uveitis dapat disebabkan oleh kelainan di mata saja atau
merupakan bagian dari kelainan sistemik, trauma, iatrogenik dan
infeksi, namun sebanyak 20-30% kasus uveitis adalah idiopatik.
• Gejala uveitis umumnya ringan namun dapat memberat dan
menimbulkan komplikasi kebutaan bila tidak ditatalaksana dengan
baik.
• Karena uveitis dapat menimbulkan kebutaan, dokter harus mampu
menegakkan diagnosis klinis, memberikan terapi awal, menentukan
rujukan serta menindak lanjuti pasien rujukan balik yang telah
selesai ditatalaksana oleh dokter spesialis.
DEFINISI
• Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada
lapisan traktus uvea yang meliputi peradangan pada iris,
korpus siliaris dan koroid. (Vaughan, 2000)

• Uveitis termasuk dalam kelompok penyakit ocular


inflammatory disease yang ditandai dengan proses
peradangan pada uvea. Uvea merupakan bagian mata yang
memiliki pigmen dan pembuluh darah serta terbagi menjadi
iris, badan silier dan koroid. Salah satu komplikasi uveitis
yang paling ditakutkan adalah kebutaan. Uveitis merupakan
lima besar penyebab kebutaan di negara berkembang selain
diabetes, kelainan degeneratif pada retina, kelainan
kongenital dan trauma. (Hertanto, 2011)
ANATOMI UVEA
Iris
• Permukaan iris pipih dengan apertura bulat yang disebut pupil.
• Iris mempunyai kemampuan mengatur masuknya cahaya ke dalam
bola mata secara otomatis. Reaksi pupil ini merupakan juga
indikator untuk fungsi simpatis (midriasis) dan parasimpatis
(miosis).
• Iris terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a. Lapisan anterior yang terdiri dari fibroblast, melanosit, dan
kolagen.
b. Lapisan tengah (stroma) yang terdiri sel berpigmen dan non
pigmen, matriks kolagen, mukopolisakarida, pembuluh darah,
saraf, dan otot spingter pupilae.
c. Lapisan posterior yang terdiri dari otot dilatator pupillae dan sel
berpigmen.
(Jusuf, 2010)
Badan Siliar
• Badan siliar terbagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Pars plicata (2mm) merupakan zona anterior yang
berombak-ombak
b. Pars plana (4mm) merupakan zona posterior yang datar.
• Prosesus siliaris dan epitel siliaris berfungsi sebagai
pembentuk humor aquos.
• Di dalam badan siliar terdapat 3 otot akomodasi yang
tersusun secara longitudinal, radial, dan sirkuler. Fungsi
otot siliar adalah untuk akomodasi. Kontraksi dan relaksasi
otot-otot ini akan mengakibatkan kontraksi dan relaksasi
dari kapsula lentis, sehingga lensa menjadi cembung atau
kurang embung untuk mengatur penglihatan dekat dan
jauh.
Koroid
• Koroid merupakan segmen posterior uvea,
yang terletak di antara retina dan sklera.
• Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh
membran Bruch dan di sebelah luar oleh
sklera. Koroid melekat erat ke posterior di tepi
nervus optikus, sedangkan pada anterior
bersambung dengan badan siliar.
Persarafan Uvea
1. Saraf Sensoris  Saraf yang berasal dari saraf
nasosiliar mengandung serabut sensoris untuk
kornea, iris, dan badan siliar.
2. Saraf Simpatis  Saraf simpatis membuat pupil
berdilatasi, yang berasal dari saraf simpatis yang
melingkari arteri karotis, mempersarafi
pembuluh darah uvea dan untuk dilatasi pupil.
3. Akar Saraf Motor  Akar saraf motor akan
memberikan saraf parasimpatis untuk
mengecilkan pupil.
PATOFISIOLOGI
• Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aquoeus) yang
memberi makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya peradangan di iris
dan badan siliar, maka timbulah hiperemi perikorneal yang aktif, pembuluh darah
melebar, permeabilitas pembuluh darah meningkat dan pembentukan cairan iris
bertambah. Edema pada pupil ini mengakibatkan refleks pupil menurun sampai
hilang, akibatnya pupil miosis. Bilik mata depan keruh akibat adanya akumulasi sel
radang yang membentuk flare. Pada proses akut dapat terjadi hipopion dan
hifema.
• Sel radang juga dapat melekat ke endotel kornea berupa keratic precipitate. Selain
itu, sel radang, fibrin, dan fibroblast dapat menyebabkan iris melekat pada kapsul
lensa anterior (sinekia posterior) dan pada endotel kornea (sinekia anterior). Jika
terjadi proses lebih lanjut, sel radang, fibrin, dan fibroblast ini dapat mentup pupil
sehingga terjadi seklusio pupil/oklusio pupil. Bila terjadi oklusio pupil, maka akan
terjadi gangguan aliran aquos humor sehingga terjadi peningkatan TIO dan
menjadi glaukoma sekunder. Selain itu, sinekia posterior juga dapat mengganggu
metabolisme lensa, sehingga lensa menjadi keruh dan terjadi katarak komplikata.
• Jika peradangan ini menyebar luas dapat menyebabkan endoftalmitis atau
panoftalmitis bahkan mengenai mata sebelahnya.
KLASIFIKASI UVEITIS
The International Uveitis Study Group (IUSG) dan
The Standardization of Uveitis Nomenclatur (SUN)
membagi uveitis berdasarkan :
1. Klasifikasi Anatomi
a. Uveitis Anterior
Uveitis anterior adalah inflamasi di iris dan
badan siliar. Inflamasi di iris saja disebut iritis
sedangkan bila inflamasi meliputi iris dan badan
siliar maka disebut iridosiklitis.
Gejala klasik dari uveitis anterior akut terdapat
trias khas yaitu nyeri, merah, dan photophobia.
Pada kasus berat dapat menunjukkan protein koagulasi di
aquos humor dan kadang terjadi hipopion (tumpukan sel
radang di sudut inferior) dan hifema (migrasi sel-sel darah
merah).
Iris dapat mengalami perlengketan dengan kapsul lensa
anterior (sinekia posterior) atau dengan kornea perifer
(sinekia anterior)
Pada banyak kasus ditemukan keratic precipitate, yaitu
kumpulan sel radang berwarna putih yang melekat pada
endotel kornea. Kornea mungkin menjadi oedem akut karena
adanya disfungsi endothelial.
Di bilik mata depan terdapat pelepasan sel radang,
pengeluaran protein (cells and flare).
Derajat inflamasi dapat ditentukan dengan menghitung sel di
bilik mata depan seluas 1x1 mm lapang pemeriksaan slit
beam.
Keratic presipitate Hipopion

Hifema Sinekia Posterior


b. Uveitis Intermediate
Uveitis intermediet adalah peradangan di pars plana yang
sering diikuti vitritis dan uveitis posterior.
Penyakit tersebut biasanya terjadi pada usia dekade
ketiga-keempat dan 20% terjadi pada anak. Penyebabnya
sebagian besar idiopatik (69,1%), sarkoidosis (22,2%),
multiple sclerosis (7,4%), dan lyme disease (0,6%).
Gejala uveitis intermediet biasanya ringan yaitu
penurunan tajam penglihatan tanpa disertai nyeri dan
mata merah, namun jika terjadi edema makula dan
agregasi sel di vitreus (snowballs) penurunan tajam
penglihatan dapat lebih buruk.
Pars planitis berupa bercak putih akibat agregasi sel
inflamasi dan jaringan fibrovaskular (snowbanking) yang
menunjukkan inflamasi berat dan memerlukan terapi
agresif.
Snowball Snowbanking
c. Uveitis Posterior
Uveitis posterior adalah peradangan lapisan koroid
yang sering melibatkan jaringan sekitar seperti
vitreus, retina, dan nervus optik.
Pasien mengeluh penglihatan kabur yang tidak
disertai nyeri, mata merah, dan fotofobia. Komplikasi
dapat berupa katarak, glaukoma, kekeruhan vitreus,
edema makula, kelainan pembuluh darah retina,
parut retina, ablasio retinae, dan atrofi nervus optik.
Prognosis uveitis posterior lebih buruk dibandingkan
uveitis anterior karena menurunkan tajam
penglihatan dan kebutaan apabila tidak ditatalaksana
dengan baik.
d. Panuveitis
Panuveitis adalah peradangan seluruh uvea
dan struktur sekitarnya seperti retina dan
vitreus. Penyebab tersering adalah
tuberkulosis, sindrom VKH, oftalmia
simpatika, penyakit behcet, dan sarkoidosis.
Diagnosis panuveitis ditegakkan bila terdapat
koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior.
2. Klasifikasi Etiologi
a. Uveitis non – infeksi
Uveitis non-infeksi dapat terjadi hanya di mata
namun dapat juga sebagai peradangan ikutan
pada penyakit autoimun atau neoplasma di
organ lain. Penyakit autoimun yang sering
menimbulkan uveitis adalah spondiloartropati,
artritis idiopatik juvenil, sindrom uveitis fuchs,
kolitis ulseratif chron, penyakit whipple,
tubulointerstitial nephritis and uveitis, sindrom
VKH, sindrom behcet, uveitis fakogenik, dan
sarkoidosis.
b. Uveitis infeksi
 Uveitis Toksoplasmosis
Sebanyak 20-60% kasus uveitis posterior
disebabkan oleh T.gondii dengan gejala
utama necrotizing chorioretinitis.
Dapat ditemukan lesi nekrosis fokal di retina,
berwarna putih kekuningan seperti kapas dan
batas tidak jelas.
Pada proses penyembuhan, batas lesi
menjadi lebih tegas disertai pigmentasi
perifer.
Retinokoroiditis
Toksoplasmosis.
Papil bulat,
batas tidak tegas
dengan eksudat
berwarna putih
kekuningan di
daerah macula
 Uveitis Tuberkulosis
Gambaran uveitis anterior tuberkulosis
umumnya iridosiklitis granulomatosa di kedua
mata, nodul di tepi iris (nodul koeppe) atau di
permukaan iris (nodul busacca), presipitat
keratik, hipopion, dan sinekia posterior.
Uveitis intermediet dapat berupa pars planitis,
vitritis, vitreous snowballs, snowbanking,
granuloma perifer, vaskulitis dan edema makular
sistoid. Pada uveitis posterior dapat timbul
koroiditis, tuberkel tuberkuloma atau abses
subretina dengan gambaran khas koroiditis
serpiginosa.
Nodul koeppe di tepi pupil Nodul Bussaca di tepi iris Tuberkel koroid pada TB Milier
 Uveitis Sifilis
Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum
yang ditularkan melalui abrasi kulit atau
mukosa saat berhubungan seksual.
Sifilis dapat menyebabkan kelainan di semua
organ termasuk mata dengan gejala uveitis,
keratitis, korioretinitis, retinitis, vaskulitis
retina, dan neuropati optik.
Di iris dapat dijumpai nodul kekuningan
(roseola) yang merupakan dilatasi kapiler iris.
 Infeksi virus
Uveitis anterior merupakan bentuk uveitis yang paling
sering dijumpai pada infeksi virus terutama HSV, VVZ, dan
CMV.
HSV, VZV dan CMV juga dapat menyebabkan keratitis
dengan karakteristik yang berbeda.
Sekitar 60% kasus HSV memperlihatkan ulkus dendritik,
keratitis disiformis, dan keratitis interstisial. Pada HSV,
keratitis dendrit berupa infiltrat di epitel kornea berbentuk
dendrit, lesi bercabang dan membentuk bulb diujungnya.
VZV dapat menyebabkan ulkus pseudodendritik, keratitis
numularis, dan keratitis limbal.
Pada CMV, kelainan kornea berupa endotelitis, presipitat
keratik berbentuk koin dengan atau tanpa edema kornea.
 Infeksi Jamur
Uveitis jamur dapat disebabkan oleh
Histoplasma capsulatum, Pneumocystis
choroiditis, Pneumocytis jirovecii, Cryptococcal
choroiditis, Candida, dan Coccidioidomycosis
yang umumnya terjadi pada individu dengan
gangguan imun.
Presumed ocular histoplasmosis syndrome
(POHS) terjadi akibat respons imun terhadap
antigen.
Gejala klinis yang khas berupa trias infiltrat putih
multipel, parut atrofi koroid, perubahan pigmen
peripapiler, dan makulopati.
3. Klasifikasi Berdasarkan Onset
a. Akut, onset mendadak dan durasi kurang dari
empat minggu.
b. Rekuren, episode uveitis berulang.
c. Kronik, uveitis persisten atau kambuh
sebelum tiga bulan setelah pengobatan
dihentikan.
d. Remisi, tidak ada gejala uveitis selama tiga
bulan atau lebih setelah semua terapi
dihentikan.
4. Klasifikasi Berdasarkan Histopatologi
a. Uveitis non-granulomatosa
Uveitis non granulomatosa terutama timbul di bagian
anterior traktus uvealis, yaitu iris dan korpus siliaris.
Merupakan infiltrat yang terdiri dari sel plasma dan
limfosit dengan sedikit sel mononuklear.
Pada bentuk non granulomatosa onsetnya akut, nyeri,
fotofobia, dan pandangan kabur. Terdapat kemerahan
sirkum korneal yang disebabkan oleh dilatasi
pembuluh darah limbus. Pupil mengecil dan mungkin
terdapat kumpulan fibrin di bilik mata depan. Jika
terdapat sinekia posterior maka pupil tampak tidak
teratur.
b. Uveitis Granulomatosa
Uveitis granulomatosa adalah adanya invasi mikroba
aktif ke jaringan oleh bakteri. Dapat mengenai uvea
bagian anterior maupun posterior.
Merupakan infiltrat yang terdiri dari sel epiteloid dan
makrofag. Terdapat kelompok nodular sel raksasa
yang dikelilingi limfosit di daerah yang terkena.
Pada bentuk granulomatosa, biasanya onsetnya tidak
terlalu kelihatan, penglihatan kabur, nyeri minimal,
fotofobia tidak seberat bentuk non-granulomatosa,
dan mata memerah difus di daerah sirkum korneal.
Pupil sering mengecil dan menjadi tidak teratur
karena terbentuk sinekia posterior.
Perbedaan Uveitis Granulomatosa dan Non - Granulomatosa
Non-granulomatosa Granulomatosa

Onset Akut Tersembunyi

Nyeri Nyata Tidak ada atau ringan

Photophobia Nyata Ringan

Penglihatan kabur Sedang Nyata

Merah sirkumkorneal Nyata Ringan

Keratic precipitate Putih halus Kelabu besar (mutton fat)

Pupil Kecil dan tidak teratur Kecil dan tidak teratur

Sinekia posterior Kadang-kadang Kadang-kadang

Nodul iris Tidak ada Kadang-kadang

Lokasi Uvea anterior Uvea anterior, posterior, atau difus

Perjalanan Penyakit Akut Kronik

Kekambuhan Sering Kadang-kadang


DIAGNOSIS UVEITIS
ANAMNESIS
Klasifikasi uveitis yang disusun oleh SUN sangat
membantu menegakkan diagnosis uveitis.
Gejala uveitis anterior dapat berupa nyeri, fotofobia,
penglihatan kabur, injeksi siliar, dan hipopion.
Uveitis posterior dapat menurunkan tajam penglihatan
namun tidak disertai nyeri, mata merah, dan fotofobia
bahkan sering asimtomatik.
Gejala uveitis intermediet umumnya ringan, mata tenang
dan tidak nyeri namun dapat menurunkan tajam
penglihatan
Panuveitis merupakan peradangan seluruh uvea yang
menimbulkan koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior.
PEMERIKSAAN FISIK
Slit-lamp digunakan untuk menilai segmen
anterior karena dapat memperlihatkan injeksi
siliar dan episklera, skleritis, edema kornea,
presipitat keratik, bentuk dan jumlah sel di bilik
mata, hipopion serta kekeruhan lensa.
Pemeriksaan oftalmoskop indirek ditujukan
untuk menilai kelainan di segmen posterior
seperti vitritis, retinitis, perdarahan retina,
koroiditis dan kelainan papil nervus optik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium bermanfaat pada
kelainan sistemik misalnya darah perifer
lengkap, laju endap darah, serologi, urinalisis,
dan antinuclear antibody.
Pemeriksaan laboratorium tidak bermanfaat
pada kondisi tertentu misalnya uveitis ringan
dan trauma.
b. Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi sifilis dibagi menjadi nontreponema
dan treponema. Serologi nontreponema meliputi venereal
disease research laboratory (VDLR) dan rapid plasma
reagin sedangkan serologi treponema meliputi fluorescent
treponemal antibody absorbed dan T.pallidum particle
agglutination.
c. Pemeriksaan Optical coherence tomography (OCT)
Optical coherence tomography (OCT) merupakan
pemeriksaan non-invasif yang dapat memperlihatkan
edema makula, membran epiretina, dan sindrom traksi
vitreomakula. Saat ini telah dikembangkan high-definition
spectraldomain OCT yang memberikan resolusi lebih
tinggi dan waktu lebih singkat dibandingkan time-domain
OCT. Spectral-domain OCT bermanfaat pada uveitis
dengan media keruh.
d. USG B-Scan
USG B-scan sangat membantu memeriksa segmen
posterior mata pada keadaan media keruh misalnya pada
katarak dan vitritis. USG B-scan dapat membedakan
ablasio retinae eksudatif dengan regmatosa serta
membedakan uveitis akibat neoplasma atau abses. USG B-
scan dapat menilai penebalan koroid seperti pada
sindrom VKH dan menilai pelebaran ruang tenon yang
sangat khas pada skleritis posterior.
e. Pemeriksaan Fundus Fluoresen Angiografi (FFA)
Fundus Fluoresen Angiografi (FFA) adalah fotografi fundus
yang dilakukan berurutan dengan cepat setelah injeksi zat
warna natrium fluoresen (FNa) intravena.
FFA memberikan informasi mengenai sirkulasi pembuluh
darah retina dan koroid, detail epitel pigmen retina dan
sirkulasi retina serta menilai integritas pembuluh darah
saat fluoresen bersirkulasi di koroid dan retina.
PENATALAKSANAAN UVEITIS
Prinsip penatalaksanaan uveitis adalah untuk menekan reaksi
inflamasi, mencegah dan memperbaiki kerusakan struktur,
memperbaiki fungsi penglihatan serta menghilangkan nyeri dan
fotofobia.
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat pilihan di sebagian besar jenis uveitis.
Cara kerja dengan menghambat proses inflamasi dengan menekan
metabolisme asam arakidonat dan aktivasi komplemen.
Kortikosteroid topikal merupakan terapi pilihan untuk mengurangi
inflamasi yaitu prednisolon 0,5%, prednisolon asetat 1%,
betametason 1%, deksametason 0,1%, dan fluorometolon 0,1%.
Injeksi kortikosteroid periokular diberikan pada kasus yang
membutuhkan depo steroid dan menghindari efek samping
kortikosteroid jangka panjang.
Kortikosteroid sistemik diberikan untuk mengatasi uveitis berat
atau uveitis bilateral.
2. Imunosupresan
Agen imunosupresan diberikan bila
peradangan tidak membaik dengan
kortikosteroid atau sebagai obat pendamping
agar kortikosteroid tidak digunakan untuk
jangka waktu lama dan dosis tinggi.
Imunosupresan dapat dipertimbangkan
sebagai terapi lini pertama pada penyakit
behcet, granulomatosis wegener, dan skleritis
nekrotik karena penyakit tersebut dapat
mengancam jiwa.
3. Mydriatic dan cycloplegic Agen
Obat-obat topikal digunakan untuk mengobati
ciliary spasm yang sering terjadi dengan uveitis
anterior akut dan mengobati sinekia posterior
dan/ atau mencegah perkembangan sinekia
baru.
Homatropin, skopolamin, atau atropin, yang
digunakan untuk meringankan ciliary spasm.
Tropikamid atau cyclopentolate mungkin
memainkan peran dalam mencegah
pembentukan sinekia posterior baru pada
pasien yang memiliki iridocyclitis kronis
(misalnya, sekunder untuk JIA) dan minimal
fotofobia dan pupil.
4. Terapi Spesifik
Diberikan sesuai dengan agen penyebabnya.
5. Terapi Bedah
Terapi bedah diindikasikan untuk memperbaiki
penglihatan. Operasi dilakukan pada kasus uveitis
yang telah tenang (teratasi) tetapi mengalami
perubahan permanen akibat komplikasi seperti
katarak, glaukoma sekunder, dan ablasio retina.
Kekeruhan vitreus sering terjadi pada uveitis
intermediet dan posterior sedangkan neovaskularisasi
diskus optik dan retina sering menimbulkan
perdarahan vitreus. Vitrektomi ditujukan untuk
memperbaiki tajam penglihatan bila kekeruhan
menetap setelah pengobatan.
(American Academy of Ophthalmology, 2008)
KOMPLIKASI
• Komplikasi terpenting yaitu terjadinya
peningkatan tekanan intraokuler (TIO) akut yang
terjadi sekunder akibat blok pupil (sinekia
posterior), inflamasi, atau penggunaan
kortikosteroid topikal. Peningkatan TIO dapat
menyebabkan atrofi nervus optikus dan
kehilangan penglihatan permanen. Komplikasi
lain meliputi corneal band-shape keratopathy,
katarak, pengerutan permukaan makula, edema
diskus optikus dan makula, edema kornea, dan
retinal detachment.
PROGNOSIS
• Perjalanan penyakit dan prognosis uveitis
tergantung pada banyak hal, seperti derajat
keparahan, lokasi, dan penyebab peradangan.
Selain itu, uveitis anterior cenderung lebih
cepat merespon pengobatan dibandingkan
uveitis intermediet, posterior, atau difus.
Keterlibatan retina, koroid, dan nervus optikus
cenderung memberi prognosis yang lebih
buruk.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophthalmology. Intraocular inflammation and uveitis. Basic and clinical
science course. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2007-2008.
Eva, P.R., and Whitcher, J.P. 2007. Vaughan and Asbury’s General Ophthalmology 17th Edition. USA:
McGrawHill
Guyton, AC; Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta. EGC; 1997.
Hertanto, M. Perkembangan Tata Laksana Uveitis: dari Kortikosteroid hingga Imunomodulator . J
Indon Med Assoc, 2011; (6); 61; 235 p.
Huang JJ, Gaudio PA . Ocular inflammatory disease and uveitis manual: diagnosis and treatment .
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010.
Jusuf, AA. Sistem Penglihatan. 2010. Available from URL:
www.staff.ui.ac.id/internal/132015140/material/SISTEMPENGLIHATAN.doc
Kementerian Kesehatan RI. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS
untuk praktik dokter swasta. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2012.
Pleyer U, Chee SP. Current aspects on the management of viral uveitis in immunocompetent
individuals. Clin Ophthalmol. 2015;9:1017–28
Soewono, W. Diktat Kuliah: Ilmu Penyakit Mata . Jilid 2. Surabaya. Sie Bursa Senat Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 1992-1993.
Vaughan, DG; Asbury, T; Riordan-Eva, P. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta. Widya Medika. 2000;
150-62.

Anda mungkin juga menyukai

  • Spondylolisthes
    Spondylolisthes
    Dokumen16 halaman
    Spondylolisthes
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Jurding Anak-Harjo
    Jurding Anak-Harjo
    Dokumen10 halaman
    Jurding Anak-Harjo
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Aktor Kebijakan
    Aktor Kebijakan
    Dokumen2 halaman
    Aktor Kebijakan
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Uveitis Referat
    Uveitis Referat
    Dokumen29 halaman
    Uveitis Referat
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Uveitis Referat
    Uveitis Referat
    Dokumen29 halaman
    Uveitis Referat
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Permasalahan Permukiman Perkotaan
    Permasalahan Permukiman Perkotaan
    Dokumen2 halaman
    Permasalahan Permukiman Perkotaan
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Tutorial Interna3
    Tutorial Interna3
    Dokumen18 halaman
    Tutorial Interna3
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Pengaruh Tingkat Kolesterol Pada Gangguan Pendengaran Yang Diinduksi Kebisingan
    Pengaruh Tingkat Kolesterol Pada Gangguan Pendengaran Yang Diinduksi Kebisingan
    Dokumen3 halaman
    Pengaruh Tingkat Kolesterol Pada Gangguan Pendengaran Yang Diinduksi Kebisingan
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Tindakan Operasi Pada Sinusitis
    Tindakan Operasi Pada Sinusitis
    Dokumen9 halaman
    Tindakan Operasi Pada Sinusitis
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • IMD Inisiasi Menyusui Dini
    IMD Inisiasi Menyusui Dini
    Dokumen6 halaman
    IMD Inisiasi Menyusui Dini
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Mini Cex THT
    Mini Cex THT
    Dokumen31 halaman
    Mini Cex THT
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Mini Cex Kejang Neonatus
    Mini Cex Kejang Neonatus
    Dokumen29 halaman
    Mini Cex Kejang Neonatus
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Tutorial Interna2
    Tutorial Interna2
    Dokumen29 halaman
    Tutorial Interna2
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • RefKas Gyn
    RefKas Gyn
    Dokumen14 halaman
    RefKas Gyn
    LinNizz
    Belum ada peringkat
  • TP (Dr. Arry B)
    TP (Dr. Arry B)
    Dokumen7 halaman
    TP (Dr. Arry B)
    Latifah Ituh Adis
    Belum ada peringkat
  • An Tibi Otik
    An Tibi Otik
    Dokumen2 halaman
    An Tibi Otik
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Genitourinaria
    Penyakit Genitourinaria
    Dokumen6 halaman
    Penyakit Genitourinaria
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Infeksi Parasit
    Infeksi Parasit
    Dokumen9 halaman
    Infeksi Parasit
    Muhammad Fathoni Hakka
    Belum ada peringkat
  • Lidoka in
    Lidoka in
    Dokumen1 halaman
    Lidoka in
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Toga
    Toga
    Dokumen11 halaman
    Toga
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • An Tibi Otik
    An Tibi Otik
    Dokumen2 halaman
    An Tibi Otik
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Konsep Iud
    Konsep Iud
    Dokumen12 halaman
    Konsep Iud
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Anestesi Lokal
    Anestesi Lokal
    Dokumen4 halaman
    Anestesi Lokal
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Triage
    Triage
    Dokumen6 halaman
    Triage
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Frambusia
    Frambusia
    Dokumen2 halaman
    Frambusia
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Ancy Lost Oma
    Ancy Lost Oma
    Dokumen1 halaman
    Ancy Lost Oma
    -'ramilya Elvera Silaban'-
    Belum ada peringkat
  • Konsep Iud
    Konsep Iud
    Dokumen12 halaman
    Konsep Iud
    Charlina Amelia Br-Barus
    Belum ada peringkat
  • Infeksi Parasit
    Infeksi Parasit
    Dokumen9 halaman
    Infeksi Parasit
    Muhammad Fathoni Hakka
    Belum ada peringkat
  • Kesehatan Reproduksi
    Kesehatan Reproduksi
    Dokumen3 halaman
    Kesehatan Reproduksi
    dinar_damaryanti
    100% (1)