Anda di halaman 1dari 14

DEFINISI

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang


secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendekstruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,
pipi, mata dan daerah tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit di
tentukan.
ETIOLOGI
Berdasarkan jaringan tempat asal tumbuh tumor

• Pada teori berdasarkan jaringan asal tumbuh diduga bahwa tumor


terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago
embryonal di daerah oksipitalis os sfenoidalis. Angiofibroma
nasofaring dengan perluasan intra kranial.

Berdasarkan adanya gangguan hormonal.

• Sedangkan teori hormonal menyatakan bahwa terjadinya


angiofibroma diduga karena ketidakseimbangan hormon androgen
atau kelebihan estrogen.
EPIDEMIOLOGI

Frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari pasien THT,


diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor Glad dan rekannya
leher dan kepala melaporkan insidensi JA di
Denmark sebesar 0,4 kasus per
Tumor ini umurnya terjadi pada laki-laki decade ke-2
satu juta penduduk per tahun.
antara 7-19 tahun. Jarang terjadi pada usia lebih dari
25 tahun.
Di Timur Tengah dan India,
Di Amerika Serikat, lesi ini mewakili tumor kepala dan
insidensinya tampaknya jauh
leher yang paling sering terjadi pada populasi remaja lebih tinggi dibandingkan
dengan satu kasus baru per 5000 hingga 50.000
pasien yang dirujuk ke dokter spesialis telinga hidung dengan di Eropa.
tenggorok (THT).
PATOGENESIS
Tumor tumbuh pertama Bila meluas terus, akan
kali di posterior dan Mendorong septum ke masuk ke fosa intra
lateral koana dan atap sisi kontralateral ke temporal yang akan
nasofaring arah lateral menimbulkan benjolan
di pipi

Jika tumor telah


Meluas mencapai tepi mendorong salah satu
posterior septum dan Mengisi rongga hidung atau ke dua mata,
meluas ke arah bawah maka akan tampak
gejala muka kodok.

Perluasan intracranial
Membentuk tonjolan Terjadi perluasan ke dapat terjadi melalui
masa di atas rongga arah anterior fosa intratemporal dan
hidung posterior pterigomaksila masuk
ke fosa serebrimedia.
P E NA M PAN G MIK ROS KOPIK JA ( P E WA R NAA N H E M ATOK S IL IN - E OS IN (A ) DA N
IM U N OH IS TOK IMIA U N T U K FA K TOR V III (B )). K A L IP E R P E M BU LU H DA R A H
S A N G AT B E RVARIA S I , T U N IK A M U S K U L A RI S B IA S A N YA T I DA K A DA , DA N S E L - S E L Histopatologi
S T ROMA L B IA S A N YA ME N U N JU K KA N G A MBA R AN B E R B E N T UK SPINDLE .
GEJALA KLINIS

Epistaksis berat rekuren disertai dengan


obstruksi nasal progresif merupakan gejala
khas angiofibroma juvenil.

Pembengkakan pada pipi, trismus, gangguan


pendengaran sekunder akibat obstruksi tuba
Eustachius, anosmia dan intonasi nasal atau
plummy voice.

Pertumbuhan tumor yang lebih luas dengan


invasi orbita dan sinus kavernosus dapat
menyebabkan proptosis, diplopia, gangguan
penglihatan, nyeri wajah dan nyeri kepala. NS: septum nasi; IT: konka inferior; JA:
angiofibroma belia
DIAGNOSIS [ANAMNESIS]

Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis.

Gejala yang yang paLing sering ditemukan (lebih dari 80%) iyalah
hidung tersumbat progresif dan epistaksis berulang yang massif.

Adanya obstruksi hidung yang memudahkan terjadinya penimbunan


secret, sehingga timbul rinorea kronis yang diikuti gangguan penciuman.

Tuba Eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat


biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial.
DIAGNOSIS [PEMFIS]

Rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang konsistensinya kenyak,


warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda.

Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput


lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar
nasofaring berwarna putih abu-abu.

Pada usia muda telinganya merah muda, pada usia lebih tua warnanya
kebuiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya
mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulserasi.
DIAGNOSIS [PEMERIKSAAN PENUNJANG]
CT Scan
Pemeriksaan kadar hormonal dan
• Tampak secara tepat perluasan massa tumor ke jaringan
sekitarnya. pemeriksaan immunohistokimia terhadap
Arteriografi arteri karotis eksterna
reseptor estrogen, progesterone dan
androgen sebaik baiknya dilakukan untuk
• memperlihatkan vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari
cabang arteri maksila interna homolateral. melihat adanya gangguan hormonal.
• Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi
thrombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang
berkurang dan akan mempermudah penganggkatan tumor .
Pemeriksaan Radiologi Konvensial
• AP, Lateral, dan waters Pemeriksaan patologi anatomik
• Holman Miller
• Adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat
mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar
nasofaring
• Magnetic resonasi imaging (MRI) • Tidak dapat dilakukan, karena biopsi merupakan
• menentukan batas tumor terutama yang telah meluas di daerah kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan
intrakrnanial. perdarahan yang massif.
GAMBARAN CT POTONGAN AKSIAL DAN (B) KORONAL DARI
SUATU ANGIOFIBROMA JUVENIL TIPE 3A SISI KANAN.
TERDAPAT DESTRUKSI DASAR PTERYGOIDEUS DAN PERLUASAN
TUMOR MELALUI BASIS CRANII (PANAH).
STADIUM TUMOR
Fisch Radkowski
Tipe Penjelasan Stadium Penjelasan
1 Tumor terbatas pada rongga nasofaring; destruksi tulang terbatas
Ia Terbatas pada daerah hidung dan nasofaring
pada formaen sfenopalatina
Ib Perluasan ke satu atau lebih sinus
2 Tumor menginvasi fossa pterigopalatina atau sinus maksilaris,
ethmoid, atau sfenoid dengan destruksi tulang Iia Perluasan minimal ke fossa pterigopalatina

3 Tumor menginvasi fossa infratemporal atau regio orbita : Iib Tumor meliputi fossa pterigopalatina tanpa erosi
(a) Tanpa keterlibatan intrakranial orbita
(b) Dengan keterlibatan intrakranial ekstradural (parasella)
Iic Perluasan ke fossa infratemporal tanpa keterlibatan
4 Tumor intrakranial intradural :
pipi atau dasar pterigoid
(a) Tanpa infiltrasi sinus kavernosa, fossa hipofisis, atau kiasma
optikum IIIa Erosi basis kranii (fossa kranii media atau pterigoid)
(b) Dengan infiltrasi sinus kavernosa, fossa hipofisis, atau kiasma
IIIb Erosis basis kranii dengan perluasan intrakranial
optikum
dengan atau tanpa keterlibatan sinus kavernosa
PENATALAKSANAAN
Tindakan operasi
• merupakan pilihan utama selain terpi hormonal, radioterapi. Pengobatan hornmonal
• Berbagai pendekan operasi dapat dilakukan sesuai dengan
lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal,
rhinotomi lateral, rinotomi sublabial (sub labial mid- fasial • diberikan pada pasien dengan stadium
degloving) atau kombinasi dengan kranialtomi I dan II dengan prefarat testosterone
frontotemporal bila sudah meluas ke intracranial.
• Selain itu operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga reseptor bloker (flutamid)
dapat dilakukan dengan dipandu CT-Scan 3 Dimensi dan
pengangkatan tumor dapat dibantu dengan laser.
• Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor selain Pengobatan radioterapi
embolisasi untuk mengurangi perdarahan yang banyakdapat
dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan anastesi dengan
teknik hipotensi • dapat dilakukan dengan stereotaktik
• Untuk tumor yang sudah meluas kejaringan sekitarnya dan radio terapi (Gamma Knife) atau jika
mendekstruksi dasar tengkorak sebaiknya diberukan radio
terapi pra-bedah atau dapat pula diberikan terapi tumor meluas ke intracranial dengan
hormonal dengan prefarat testosterone reseptor bloker ( radioterapi konformal 3 Dimensi
flutamid) 6 minggu sebelum operasi, meskipun hasilnya tidak
sebaik radioterapi.
KOMPLIKASI

Hingga saat ini, rekurensi merupakan komplikasi yang paling


sering terjadi dan dilaporkan mencapai 25% pasien, tanpa Dengan reseksi yang lebih luas, gangguan okuler dapat
memerhatikan metode pengobatan. Rekurensi lebih lanjut dapat terjadi. Displacement bola mata yang disebabkan oleh
terjadi pada 40% dari pasien tersebut. hilangnya tulang, oftalmoplegia dan gangguan
penglihatan dialami oleh beberapa pasien, tetapi mungkin
tidak dianggap sebagai komplikasi dari reseksi komplit
Keadaan ini bukan merupakan satu–satunya komplikasi, tetapi kraniofasial.
komplikasi lain lebih ringan dibandingkan dengan rekurensi.
Defisit saraf sensorik infraorbital yang disebabkan oleh
pembedahan diketahui sebagai komplikasi dari mid-facial Komplikasi lambat juga terjadi setelah radioterapi dan
degloving, seperti stenosis vestibulum nasal.
relatif sering ditemukan. Keadaan ini terjadi pada 33%
pasien dalam rangkaian kasus yang dilaporkan. Retardasi
pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis lobus temporal,
Krusta hidung berkepanjangan juga sering terjadi dan katarak, keratopati radiasi, serta keganasan pada kulit,
keadaan ini mungkin berlanjut menjadi ozaena. tiroid, dan nasofaring merupakan masalah yang cukup
sering dalam 10 – 15 tahun pertama setelah tatalaksana.

Anda mungkin juga menyukai