Maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, maqashid
dan syari’ah. Kata maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqshad yang berarti maksud dan tujuan, sedangkan syari’ah mempunyai pengertian hukum- hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Maka dengan demikian, maqashid al-syari’ah berarti kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Maka dengan demikian, maqashid al-syari’ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum Pengertian maqasid dibagi menjadi dua : 1. Umum : mengacu pada apa yang dimaksud oleh ayat- ayat hukum atau hadits-hadits hukum, baik yang ditunjukkan oleh pengertian kebahasaannya atau tujuan yang terkandung di dalamnya. Pengertian yang bersifat umum itu identik dengan pengertian istilah maqashid al-syari’ (maksud Allah dalam menurunkan ayat hukum, atau maksud Rasulullah dalam mengeluarkan hadits hukum 2. Khusus : substansi atau tujuan yang hendak dicapai oleh suatu rumusan hukum 1. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu Tuhan dan diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karena itu, ia akan selalu berhadapan dengan perubahan sosial. 2. Dilihat dari aspek historis, sesungguhnya perhatian terhadap teori ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi mujtahid sesudahnya. 3. Pengetahuan tentang maqashid al-syari’ah merupakan kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya, karena di atas landasan tujuan hukum itulah setiap persoalan. Para ulama kemudian menyimpulkan bahwasanya maqasid itu ada lima 1. Maqashid hifzhud-din, yaitu tujuannya adalah menjaga agama 2. Maqashid hifzhun-nafsi, yaitu menjaga diri 3. Maqashid hifzhul-aqli, menjaga pikiran (akal) agar selalu jernih 4. Maqashid hifzhun-nasab, yaitu menjaga keturunan 5. Maqashid hifzhun-maal, menjaga harta. Peranan Maqashid al-Syari`ah Dalam Pengembangan Hukum saat ini : • Berperan sebagai alat Bantu untuk memahami redaksi al-qur`an dan sunnah, • Menyelesaikan dalil- dalil yang bertentangan, • Dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam al-qur`an dan sunnah secara kajian kebahasaan . Para ulama menggolongkan maslahah menjadi tiga tingkatan : 1. Kemaslahatan dharuriyyah (inti/pokok) Dibagi menjadi 5 : • Menjaga agama (Hifdz Ad-Din) untuk memelihara agama maka disyariatkan manusia untuk beribadah kepada Allah, menjalani semua perintahNya dan menjauhi semua laranganNya. • Menjaga jiwa (Hifdz An-Nafs) untuk memlihara agama maka agama mengharamkan pembunuhan tanpa alasan yang benar, dan bagi yang melakukannya dijatuhi hukuman qishas. • Menjaga Akal (Hifdz Al-Aql) untuk memelihara akal maka agama mengharamkan miu khomr. • Menjaga harta (Hifdz Al-Aml) untuk memelihara harta benda maka agama mengharamkan pencurian, bagi yang melakukannya diberi siksaan. • Menjaga keturunan (Hifdz An-Nafs) untuk memelihara keturunan maka agama mengharamkan zina, dan bagi yang melakukannya didera. 2. Kemaslahatan ghairu dharuriyyah (bukan kemaslahatan pokok) Dibagi menjadi 2 : • Hajjiyah (Bersifat kebutuhan) • Tahsini (bersifat perbaikan) 3. Kebutuhan tahsiniyat Para ulama membagi maslahah menjadi tiga macam, yakni: 1. Maslahah Mu’tabaroh 2. Maslahah Mulghoh 3. Maslahah Mursalah • Kontroversi tentang maslahah 1. Pemikiran imam malik Abû Ishâi Ibrâhîm al-Syâtibi, Imam Malik beserta penganut madzhab Maliki adalah kelompok yang secara jelas menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad Imam Malik memberikan kriteria tersendiri dalam maslahah mursalah sebagai sumber hukum, antara lain: • Maslahah tersebut harus bersifat reasonable dan relevan terhadap kasus hukum yang telah ditetapkan. • Maslahah tersebut dijadikan dasar untuk memelihara sesuatu yang dharuri dan menghilangkan kesulitan (raf ’ul haraj), dengan cara menghilangkan kepayahan (masyaqat) dan bahaya (madharat). • Maslahah tersebut harus sesuai dengan maqashid syari’ah, dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qat’i. 2. Pemikiran imam syafi’I Sumber hukum Islam Madzhab Syafi’i ada empat, yaitu: • al-Qur’an, • Sunnah, • ijma’ • Qiyas Dari pernyataan Imam Syafi’i diatas, maka dapat disimpulkan bahwa semakin seseorang memahami bahasa arab dengan baik, maka semakin baik pula pemahamannya terhadap dalil dan hukum yang terkandung dalam dalil itu, dengan demikian mereka yang sebahasa dengan Nabi adalah mereka yang mempunyai kemampuan terbaik dalam memahami dalil. Kesimpulan Imam Malik dengan Imam Syafi’i tentang maslahah mursalah : 1. Imam Malik menggunakan maslahah mursalah sebagai sumber hukum, tetapi Imam Malik menekankan bahwa pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan yaitu dengan menggunakan rasio tidak boleh bertentangan dengan tata hukum atau dasar yang telah ditetapkan nash atau ijma’. Apabila terjadi pertentangan maka wajib mendahulukan nash dibandingkan maslahat. 2. Imam Syafi’i tidak menggunakan maslahah mursalah sebagai sumber hukum karena mashlahah mursalah tidak memiliki standar yang pasti dari nash maupun iiyas, sedangkan pendirian Imam Syafi’i semua hukum haruslah diberdasarkan nash atau di sandarkan pada nash sebagai mana iiyas. Persamaan pemikiran antara imam malik dan imam syafi’i dalam Maslahah Mursalah 1. Mashlahah mursalah yang selama ini seakan diperdebatkan relevansinya sebagai metode pengambilan hukum antara Imam Malik dan Imam Syafi’i, pada dasarnya telah disepakati keduanya meskipun dengan menggunakan bahasa yang berbeda-beda. 2. kedua tokoh ini sama-sama mengakui keberadaan maslahah atau kepentingan umum yang secara eksplisit maupun implisit dalam nash al-Qur’an maupun Sunnah. Perbedaan pemikiran antara Imam Malik dengan Imam Syafi’i dalam maslahah mursalah 1. Imam Malik menggunakan maslahah mursalah sebagai sumber hukum, menekankan bahwa pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan yaitu dengan menggunakan rasio tidak boleh bertentangan dengan tata hukum atau dasar yang telah ditetapkan nash atau ijma’. Apabila terjadi pertentangan maka wajib mendahulukan nash dibandingkan maslahat. Imam Syafi’i tidak menggunakan maslahah mursalah sebagai sumber hukum karena itu tidak memiliki standar yang pasti dari nash maupun qiyas, karena pendirian Imam Syafi’i semua hukum haruslah diberdasarkan nash atau di sandarkan pada nash sebagai mana qiyas. 2. Imam Malik menyatakan alasan Allah mengutus seorang rasul adalah untuk membimbing umatnya kepada kemaslahatan. Sedangkan Imam Syafi’i adalah yang paling tegas menentang atas kehujjahan maslahah mursalah sebagai dalil hukum karena tidak memiliki standar yang pasti dari nash maupun qiyas, sedangkan pendirian Imam Syafi’i semua hukum haruslah diberdasarkan nash atau di sandarkan pada nash sebagaimana qiyas. 3. Adanya kontroversi antara Imam Malik dengan Imam Syafi’i tentang maslahah mursalah sebagai sumber hukum ini karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya maslahah itu oleh Syar’i baik secara langsung maupun tidak langsung karena maslahah itu bisa diaplikasikan kalau ada dukungan dari Syar’i, meskipun secara tidak langsung