PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembaharuan Hukum Islam terus berkembang di Negara-negara muslim, atau
bukan muslim tapi memiliki mayoritas penduduknya muslim, disebabkan begitu
kompleksnya problem yang muncul dipermukaan akan tetapi Al-Quran dan sunnah
tidak menjelaskan secara eksplisit dan implisit, di antara pembaharuan hukum Islam
yang terjadi banyak pada bidang perkawinan, diantaranya aspek pencatatan perkawinan.
Terdapat fenomena yang menyakitkan, terutama pada posisi perempuan dan
anak, perkawinan tanda adanya catatan dari PPN sebagai tugas dari pemerintah,
menjadikan sewenang-wenangnya seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab untuk
melaksanakan perkawinan setelah itu melepaskan tanggung jawabnya dalam menafkahi
istri dan anak-anaknya, karena tak ada bukti otentik yang menjelaskan tentang adanya
perkawinan, sehingga menyulitkan sang istri untuk menuntut haknya kepada pengadilan,
ini slah satu problem sehingga melahirkan kebutuhan adanya pencatatan perkawinan.
Berkembangnya zaman, mayoritas negara-negara dengan islam sebagai agama
resmi, atau muslim menjadi mayoritas penduduk terbanyak di negara itu, mengharuskan
adanya pencatatan perkawinan sebagai salah satu upaya-upaya untuk memastikan
hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Pencatatan Perkawinan Di Negara-negara Islam
1. Negara Indonesia
Masalah pencatatan perkawinan di Indonesia sangat diwajibkan sesuai dengan
landasan-landasan hukum yang ada. Landasan hukum keharusan adanya pencatatan
perkawinan ini disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan yakni UU No. 1 tahun
1974 pasal 2:
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975:
pasal 2 ayat (1):
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Pasal 11 ayat (3):
Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara
resmi
Pasal 13 ayat (2)
Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.
Sementara Kompilasi Hukum Islam memuat ketentuan keharusan pencatatan perkawinan
ini pada:
Pasal 5 ayat (1):
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus
dicatat.
Pasal 5 ayat (2):
Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22/1946 jo. UU No. 32/1954.
Pasal 6:
(1) Untuk memenuhi ketentuan di dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan
di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 7 ayat (1):
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah
Dari beberapa ketentuan yang menjelaskan tentang kedudukan pencatatan perkawinan
di atas dapat disimpulkan bahwa eksistensi pencatatan perkawinan dari segi hukum
sudah sangat kuat sekali. Secara tegas dalam pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam
menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
2. Negara Iran
Iran menetapkan bahwa setiap perkawinan dan percerain harus dicatatkan.
Perkawinan atau perceraian yang tidak dicatatkan adalah satu pelanggaran.
Pencatatan perkawinan merupakan salah satu materi reformasi hukum keluarga
yang dilakukan di Iran. Dalam hal ini, setiap perkawinan, sebelum dilaksanakan harus
dicatatkan pada lembaga yang berwenang sesuai dengan aturan yang berlaku. Aturan
tentang pencatatan perkawinan ini merupakan pembaruan yang bersifat regulatory
(administratif). Pelanggaran terhadap ketentuan ini tidak sampai mengakibatkan tidak
sahnya pernikahan, namun terhadap pelanggarnya dikenai hukuman fisik, yaitu penjara
selama satu hingga enam bulan (Hukum Perkawinan 1931, Pasal 1) Peraturan seperti ini
tidak ditemui dalam pemikiran fiqh klasik, baik dalam mazhab Syi`i maupun Sunni.
3. Negara Mesir
Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir di mulai dengan terbitnya
Ordonasi 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai
pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan
pelaksananan pencatatan nikah kepada kemauan para pihak yang berakad dan
pertimbangan kepentingan mereka. Ordonasi tahun 1880 itu diikuti dengan lahirnya
ordonasi tahun 1897 yang pasal 31 menyatakan bahwa gugatan perkara nikah atau
pengakuan adanya hubungan perkawiann tidak akan didengar oleh pengadilan setelah
meninggalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan adanya suatu dokumen
yang bebas dari dugaan pemalsuan. Tampak bahwa pasal ini mengandung persyaratan
adanya dokumen yang diduga tidak palsu agar dapat dijadikan dasar keputusan.
Demikian pula Ordonasi tahun 1921 mengandung ketentuan bahwa dokumen itu harus
bersifat resmi, dibuat oleh pegawai berwenang yang ditugaskan untuk itu.1
Dalam pasal ini pula ditegaskan bahwa yang berwenang mengangkat pejabat-
pejabat pencatat nikah dan mengizinkan mereka untuk melakukan pencatatan akad nikah
adalah Majelis Keluarga(Union Council) dan bahwa majelis ini memberi izin untuk
melakukan pekerjaan tersebut hanya kepada satu orang pada setiap daerah tertentu.
Selain itu disebutkan dalam UU No.2 tahun 1946 bahwa tujuan dicatatkannya
perkawinan adalah agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Dalam penjelasan
pasal 1 ayat (1) UU tersebut dijelaskan bahwa: Maksud pasal ini ialah agar nikah, talak
dan rujuk menurut agama Islam dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam Negara
yang teratur segala hal-hal yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, sebagai
kelahiran, pernikahan , kematian dan sebagainya. Lagi pula perkawinan bergandengan
rapat dengan waris sehingga perkaiwnan perlu dicatat untuk menjaga jangan sampai ada
kekacauan. Selanjutnya tersebut pula dalam Kompilasi Hukum Isla m disebutkan bahwa
tujuan pencatatan yang dilakukan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan. dan ditegaskan Perkawinan yang
dilakukan diluar Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum, dan
perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah.
PENUTUP
A. Kesimpulan
NO NEGARA HUKUM PENCATATAN PERNIKAHAN
1 Indonesia Harus dicatatkan sesuai dengan UU No. 1
Tahun 1974
2 Iran Harus dicatatkan sesuai UU yang ada, karena
termasuk syarat administratif
3 Mesir Harus dicatatkan berdasarkan Ordonasi Tahun
1897
4 Turki Harus dicatatkan
5 Malaysia Harus dicatatkan
6 Pakistan Muslim Family Laws Ordinance Tahun 1961