Sensitivitas :
VD
Tricomoniasis 40.3% Asimptomatik :
Chlamydia dan GO 37,5% 41.2% HPV
P/B
11.8% Trichomoniasis
Gonorrhea 12.5%
Trichomoniasis 25.2%
6.6% STIs lainnya.
Sensitivitas untuk semua gejala
digabungkan kurang dari 50%.
INTRODUCTION
Masalah kesehatan masyarakat seluruh dunia
2 pendekatan diagnosis :
• Laboratory-based STI tests gold standard ; harganya mahal, membutuhkan pelatihan dan
masalah di infrastruktur.
• Symptom based diagnosis didasarkan hanya dari gejala-gejala yang dilaporkan dan
riwayat medis ; lebih tidak spesifik dan bisa menjurus kepada under- atau over-diagnosis.
Mengandalkan laboratory-based diagnosis untuk manajemen STI pada sex worker wanita (FSW) di Iran menjadi sebuah
tantangan, karena mereka adalah populasi yang sulit didekati, dan kebanyakan laboratory-based STI tests membutuhkan
waktu yang lama dan bisa menghambat inisiasi pengobatan, karena hasil tidak bisa didapatkan langsung setelah
pemeriksaan. Karenanya, diagnosis dan manajemen STIs bergantung pada pendekatan symptom-based, tapi validitasnya
masih terbatas.
Konteks sociocultural Iran sangat berbeda dari negara berkembang lainnya, dan stigma mengenai STI
sangat luas. Sebagai contoh, pada sebuah studi mengenai FSW di 3 kota pada tahun 2012, ditemukan
bahwa hanya 63.9% yang melaporkan memiliki gejala STI.
Karenanya, kami menggunakan data dari Iran’s national biobehavioral surveillance survey pada FSW untuk
mengevaluasi karakteristik diagnostik dari 4 gejala utama untuk mendiagnosis STI yang sudah dikonfirmasi
melalui pemeriksaan lab.
Hasil dari studi ini memiliki tujuan yang signifikan untuk penelitian STI pada FSW di masa mendatang, juga
evaluasi STI di Iran.
METHOD
Study Sample
1337 sampel FSW dari 20 tempat di
Data Collection
13 kota di Iran
Organisasi non-pemerintah dan Melalui wawancara langsung menggunakan kuesioner tentang faktor
klinik STD khusus wanita tidak risiko yang terstruktur.
mampu Informasi dikumpulkan berdasarkan karakteristik sociodemografis dari
Perempuan yang berusia ≥ 18 tahun FSW, perilaku seksual mereka, dan gejala terkait STI yang dialami saat ini.
yang tinggal atau bekerja di kota
tempat studi dilangsungkan Untuk mengevaluasi validitas dari manajemen symptom-based pada
Melaporkan pernah berhubungan populasi ini, kami meminta pastisipan untuk melaporkan apakah mereka
vaginal, anal, atau oral sex. memiliki gejala-gejala seperti VD, P/B genital, genital ulcers, atau genital
warts pada saat studi berlangsung.
Daftar gejala-gejala STI dibacakan kepada semua partisipan, dan
pewawancara menandai gejala-gejala yang dilaporkan. Kami juga
menanyakan apakah ada gejala yang dikeluhkan tapi tak ada dalam daftar.
LABORATORY TEST
• Syphilis Rapid diagnostic tests (SD BIOLINE HIV/Syphilis Duo rapid
test)
– Partisipan yang reaktif pada tes pertama, harus lanjut melakukan tes kedua
(Alere Syphilis RPR).
– Jika kedua tes memiliki hasil reaktif, pasien dikatakan positif. Jika reaktif pada tes
pertama dan nonreaktif pada tes kedua, diagnosis ditegakkan melalui enzyme-
linked immunosorbent assay.
• Diagnosis gonorrhea, chlamydia, trichomoniasis, dan human
papillomavirus didasarkan pada polymerase chain reaction test
menggunakan vaginal swab.
• Data Analysis
STI yang paling banyak terjadi adalah HPV, dan gejala yang paling sering ditemukan adalah
VD Walaupun VD sering dipertimbangkan sebagai kriteria kunci pada deteksi symptom-
based, gonorrhea, chlamydia, dan trichomoniasis, gejala ini jarang terjadi pada pasien yang
terinfeksi syphilis atau HPV, sehingga sensitivitasnya rendah untuk kedua penyakit ini.
Walaupun penyebab utama dari GU adalah syphilis dan herpes simplex virus, kurang dari
10% FSW yang terinfeksi 5 STIs pada studi mengeluhkan gejala genital ulcers. Terlebih,
kombinasi dari 4 gejala tersebut tidak secara signifikan meningkatkan karakteiristik
diagnostik dari pendekatan syndromic.
PPV dari gejala-gejala untuk semua STI pada studi ini sangat rendah,
yang tertinggi adalah pada HPV (64.7%), ini dikarenakan prevalensi
HPV memang lebih tinggi dibanding STI yang lain. Ditemukan
sejumlah FSW melaporkan gejala STI dan ternyata tidak terdiagnosis
satupun dari 5 STI tersebut.
Beberapa hasil false positive untuk gejala STI yang diobservasi bukan
berarti memang hasilnya false positive. Untuk kasus-kasus seperti
itu, bisa saja infeksi telah ditangani dengan tidak tepat ; sebagai
konsekuensinya, overtreatment dapat menyebabkan berbagai efek
samping, dan salah satunya menyebabkan resistensi antibiotik.
Walaupun FSW direkruit melalui berbagai lokasi dan
fasilitas, generalisasi dari hasil-hasil terbatas pada FSW
yang mendapat akses ke tenaga kesehatan Pengumpulan data sebagai bagian dari survei pengamatan
biobehavioral nasional mengenai HIV/STI pada FSW, yang mana
tidak dibuat khusus untuk pengaturan manajemen symptom-
based sebagai strategi untuk mengontrol STI.
Penemuan kami menyorot tentang pentingnya diagnosis laboratory-based, ketimbang hanya mengandalkan gejala
yang dilaporkan partisipan. Karenanya, penelitian di masa mendatang dapat lebih fokus pada pemeriksaan yang lebih
dapat diterima, baik dari segi biaya dan pelatihan terhadap pemeriksa.
Tetapi, walaupun kebanyakan STI dapat diperiksa melalui rapid tests, tingginya biaya untuk melakukan pemeriksaan
mengakibatkan cara ini jadi dipertanyakan (tiap rapid test seharga $70, dan untuk populasi ini, diperlukan tes
berulang).
Karenanya, pendekatan yang paling tepat untuk kasus STI yaitu yang bersifat preventif. Sebuah studi mengenai
intervensi behavioral di kalangan FSW pada negara maju dan juga berkembang, melaporkan bahwa promosi kondom
dan edukasi pada masyarakat efektif untuk mengurangi transmisi STI diantara populasi ini dan klien-kliennya.
CONCLUSION