Anda di halaman 1dari 21

SYMPTOM-BASED VERSUS LABORATORY-BASED

DIAGNOSIS OF FIVE SEXUALLY TRANSMITTED


INFECTIONS IN FEMALE SEX WORKERS IN IRAN

Disusun Oleh : Pembimbing :


Ni Made Galuh Ayu Saraswati dr. Dartri Cahyawari, Sp.DV
1361050134

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia
Periode 1 Oktober 2018 – 3 November 2018
ABSTRACT
Vaginal Discharge (VD)  37,7%
Nyeri atau rasa terbakar (P/B)  25.9%
1337 FSW di Iran (2015)  dinilai
diagnostic value dari 4 gejala STI Genital Ulcers (GU)  3,0%
(gonorrhea, chlamydia, trichomoniasis, Genital Warts (GW)  1,4% .
human papillomavirus (HPV), dan
syphilis) yang sudah ditegakkan melalui Prevalensi dari laboratory-confirmed
tes laboratorium. syphilis : gonorrhea (0,4%), chlamydia
(1,3%), trichomoniasis (6,0%), dan HPV
(41.9%).

Sensitivitas :
VD
Tricomoniasis  40.3% Asimptomatik :
Chlamydia dan GO  37,5% 41.2%  HPV
P/B
11.8%  Trichomoniasis
Gonorrhea  12.5%
Trichomoniasis  25.2%
6.6%  STIs lainnya.
Sensitivitas untuk semua gejala
digabungkan kurang dari 50%.
INTRODUCTION
Masalah kesehatan masyarakat seluruh dunia

• Terhitung 357 juta kasus STIs terjadi di seluruh dunia (2012)


• Jika tidak diobati  infertilitas, ectopic pregnancy, preterm labor, dan kematian neonatal,
kanker, dan peningkatan resiko HIV.

Strategi paling efektif :

• Screening, diagnosis, dan tatalaksana untuk individu yang terinfeksi

2 pendekatan diagnosis :

• Laboratory-based STI tests  gold standard ; harganya mahal, membutuhkan pelatihan dan
masalah di infrastruktur.
• Symptom based diagnosis  didasarkan hanya dari gejala-gejala yang dilaporkan dan
riwayat medis ; lebih tidak spesifik dan bisa menjurus kepada under- atau over-diagnosis.
Mengandalkan laboratory-based diagnosis untuk manajemen STI pada sex worker wanita (FSW) di Iran menjadi sebuah
tantangan, karena mereka adalah populasi yang sulit didekati, dan kebanyakan laboratory-based STI tests membutuhkan
waktu yang lama dan bisa menghambat inisiasi pengobatan, karena hasil tidak bisa didapatkan langsung setelah
pemeriksaan. Karenanya, diagnosis dan manajemen STIs bergantung pada pendekatan symptom-based, tapi validitasnya
masih terbatas.

Konteks sociocultural Iran sangat berbeda dari negara berkembang lainnya, dan stigma mengenai STI
sangat luas. Sebagai contoh, pada sebuah studi mengenai FSW di 3 kota pada tahun 2012, ditemukan
bahwa hanya 63.9% yang melaporkan memiliki gejala STI.

Karenanya, kami menggunakan data dari Iran’s national biobehavioral surveillance survey pada FSW untuk
mengevaluasi karakteristik diagnostik dari 4 gejala utama untuk mendiagnosis STI yang sudah dikonfirmasi
melalui pemeriksaan lab.

Hasil dari studi ini memiliki tujuan yang signifikan untuk penelitian STI pada FSW di masa mendatang, juga
evaluasi STI di Iran.
METHOD
Study Sample
1337 sampel FSW dari 20 tempat di
Data Collection
13 kota di Iran
Organisasi non-pemerintah dan Melalui wawancara langsung menggunakan kuesioner tentang faktor
klinik STD khusus wanita tidak risiko yang terstruktur.
mampu Informasi dikumpulkan berdasarkan karakteristik sociodemografis dari
Perempuan yang berusia ≥ 18 tahun FSW, perilaku seksual mereka, dan gejala terkait STI yang dialami saat ini.
yang tinggal atau bekerja di kota
tempat studi dilangsungkan Untuk mengevaluasi validitas dari manajemen symptom-based pada
Melaporkan pernah berhubungan populasi ini, kami meminta pastisipan untuk melaporkan apakah mereka
vaginal, anal, atau oral sex. memiliki gejala-gejala seperti VD, P/B genital, genital ulcers, atau genital
warts pada saat studi berlangsung.
Daftar gejala-gejala STI dibacakan kepada semua partisipan, dan
pewawancara menandai gejala-gejala yang dilaporkan. Kami juga
menanyakan apakah ada gejala yang dikeluhkan tapi tak ada dalam daftar.
LABORATORY TEST
• Syphilis  Rapid diagnostic tests (SD BIOLINE HIV/Syphilis Duo rapid
test)
– Partisipan yang reaktif pada tes pertama, harus lanjut melakukan tes kedua
(Alere Syphilis RPR).
– Jika kedua tes memiliki hasil reaktif, pasien dikatakan positif. Jika reaktif pada tes
pertama dan nonreaktif pada tes kedua, diagnosis ditegakkan melalui enzyme-
linked immunosorbent assay.
• Diagnosis gonorrhea, chlamydia, trichomoniasis, dan human
papillomavirus didasarkan pada polymerase chain reaction test
menggunakan vaginal swab.
• Data Analysis

Ada 4 indikator yang


digunakan :

Sensitivity Specificity Positive Predictive Value Negative Predictive Value


(PPV) (NPV)
Probabilitas memiliki Probabilitas tidak memiliki
gejala STI pada partisipan gejala STI pada partisipan Probabilitas terdiagnosis Probabilitas tidak
yang sudah terdiagnosis yang tidak terdiagnosis STI pasti STI pada partisipan didiagnosis STI pada
STI melalui pemeriksaan melalui pemeriksaan yang mengeluhkan gejala partisipan yang tidak
laboratorium. laboratorium. STI. mengeluhkan gejala STI.
RESULT
Characteristics of the Sample

• Total 1337 FSW  Tingkat respons sangat tinggi (1195/1337 = 90%) 


99% dari partisipan setuju untuk diperiksa.
• Rata-rata / mean usia partisipan adalah 35.6 tahun, 10.1% partisipan
illiterate, sekitar setengahnya (52.6%) sudah bercerai, dan 8.1%
dilaporkan menjalani temporary marriage.
• Median usia saat pertama kali melakukan vaginal sex dan pekerjaan sex
pertama adalah saat usia 17 tahun dan 25 tahun.
• Median jumlah klien pada bulan sebelumnya adalah 3 orang, dan
hanya 32.9% dari partisipan yang melaporkan pemakaian kondom
yang konsisten.
STI-Associated Symptoms and STIs Prevalence

49% FSW melaporkan setidaknya Prevalensi dari laboratory-


1 dari 4 STI-associated symptoms
(Table 2). based :

• Excessive vaginal discharge  • Syphilis  0,4%


37.7% • Gonorrhea  1,3%
• P/B  25.9% • Chlamydia  6,0%
• Genital ulcers  3.0% • Trichomoniasis  11,9%
• Genital warts  1.4% • HPV  41.9%
Sensitivity of STI-Associated Symptoms

• Secara keseluruhan, gejala STI memiliki sensitivitas yang rendah dalam


mendeteksi STI (0 - 40%).
– P/B : 25%  Trichomoniasis atau HPV (kurang dari 17% pada 3 kasus STI lainnya)
Genital ulcers : 4%  HPV, tidak ada pada sifilis.
– Excessive vaginal discharge : 40%  Gonorrhea, Chlamydia, Trichomoniasis atau HPV.
– Genital warts : 2.2%  HPV.
• Kurang dari 50% FSW terdiagnosis 5 STI tersebut memiliki setidaknya 1
gejala.
• Sensitivitas minimum adalah pada syphilis (33.3%), dan sensitivitas
maximum adalah pada gonorrhea (50.0%).
• Specificity of STI-Associated Symptoms
– Genital warts  98.5 - 99.1%
– Genital ulcers  96.9 - 97.7%
– excessive vaginal discharge  62%
– P/B  74%
• Positive Predictive Value (PPV)
– Genital warts : 64.7%  HPV.
– Excessive vaginal discharge : Gonorrhea  1.4%, Chlamydia  6.1%, Trichomoniasis
 12.7%.
– Tidak ada partisipan yang melaporkan genital ulcers atau genital warts terdiagnosis
syphilis.
– P/B : Syphilis 0,3%, HPV  40.9%
DISCUSSION
Setengah dari FSW  positif untuk setidaknya 1 STI / memiliki setidaknya 1 gejala STI saat
studi dilakukan. Tapi tidak ada satupun dari 4 gejala tersebut yang cukup sensitivitas nya
untuk mendiagnosis ke 5 STI pada studi ini. Sebaliknya, sesuai dugaan, spesifitas dan NPV
untuk menegakkan diagnosis dari 4 gejala tersebut terhitung tinggi.

STI yang paling banyak terjadi adalah HPV, dan gejala yang paling sering ditemukan adalah
VD Walaupun VD sering dipertimbangkan sebagai kriteria kunci pada deteksi symptom-
based, gonorrhea, chlamydia, dan trichomoniasis, gejala ini jarang terjadi pada pasien yang
terinfeksi syphilis atau HPV, sehingga sensitivitasnya rendah untuk kedua penyakit ini.

Walaupun penyebab utama dari GU adalah syphilis dan herpes simplex virus, kurang dari
10% FSW yang terinfeksi 5 STIs pada studi mengeluhkan gejala genital ulcers. Terlebih,
kombinasi dari 4 gejala tersebut tidak secara signifikan meningkatkan karakteiristik
diagnostik dari pendekatan syndromic.

Kasus-kasus asimptomatik dapat disebabkan oleh :


• Underreporting  Pada studi yang dilakukan sebelumnya mengenai akurasi dari gejala STI yang
dilaporkan sendiri oleh FSW di Iran, underreporting dilaporkan mencapai sekitar 36%
• Sifat STI yang memang tidak menimbulkan gejala  Studi lain menyebutkan bahwa 60 - 70% infeksi
gonococcal dan chlamydial adalah asimptomatik.
NPV : Syphilis  0.4%, HPV  41.9%

PPV dari gejala-gejala untuk semua STI pada studi ini sangat rendah,
yang tertinggi adalah pada HPV (64.7%), ini dikarenakan prevalensi
HPV memang lebih tinggi dibanding STI yang lain. Ditemukan
sejumlah FSW melaporkan gejala STI dan ternyata tidak terdiagnosis
satupun dari 5 STI tersebut.

Beberapa hasil false positive untuk gejala STI yang diobservasi bukan
berarti memang hasilnya false positive. Untuk kasus-kasus seperti
itu, bisa saja infeksi telah ditangani dengan tidak tepat ; sebagai
konsekuensinya, overtreatment dapat menyebabkan berbagai efek
samping, dan salah satunya menyebabkan resistensi antibiotik.
Walaupun FSW direkruit melalui berbagai lokasi dan
fasilitas, generalisasi dari hasil-hasil terbatas pada FSW
yang mendapat akses ke tenaga kesehatan Pengumpulan data sebagai bagian dari survei pengamatan
biobehavioral nasional mengenai HIV/STI pada FSW, yang mana
tidak dibuat khusus untuk pengaturan manajemen symptom-
based sebagai strategi untuk mengontrol STI.

Pelaporan gejala hanya pada saat studi dilakukan, sehingga


dapat menyebabkan ketidak tepatan dalam penentuan Tidak dilakukan pemeriksaan fisik klinis untuk
klasifikasi memeriksa gejala-gejala infeksi, Vaginal swab
dilakukan oleh partisipan sendiri

Hanya wanita-wanita yang setuju untuk melakukan


pemeriksaan STI yang dilibatkan dalam analisis ini

Beberapa gejala yang dilaporkan ternyata berasal dari


infeksi yang tidak diteliti dalam studi ini.
Manajemen symptom-based STI sesungguhnya bukan merupakan kandidat yang terbaik untuk screening STI pada
FSW, karena pendekatan yang direkomendasikan  sensitive test pada screening awal infeksi, diikuti oleh
pemeriksaan lanjutan yang lebih spesifik

Penemuan kami menyorot tentang pentingnya diagnosis laboratory-based, ketimbang hanya mengandalkan gejala
yang dilaporkan partisipan. Karenanya, penelitian di masa mendatang dapat lebih fokus pada pemeriksaan yang lebih
dapat diterima, baik dari segi biaya dan pelatihan terhadap pemeriksa.

Tetapi, walaupun kebanyakan STI dapat diperiksa melalui rapid tests, tingginya biaya untuk melakukan pemeriksaan
mengakibatkan cara ini jadi dipertanyakan (tiap rapid test seharga $70, dan untuk populasi ini, diperlukan tes
berulang).

Karenanya, pendekatan yang paling tepat untuk kasus STI yaitu yang bersifat preventif. Sebuah studi mengenai
intervensi behavioral di kalangan FSW pada negara maju dan juga berkembang, melaporkan bahwa promosi kondom
dan edukasi pada masyarakat efektif untuk mengurangi transmisi STI diantara populasi ini dan klien-kliennya.
CONCLUSION

Studi ini membuktikan rendahnya sensitivitas dan


Keterjangkauan dan penerimaan tes-tes tersebut
PPV dari manajemen STI symptom-based pada FSW
pada FSW pada negara berkembang seperti Iran,
di Iran. Walaupun, berdasarkan pengalaman,
perlu penelitian lebih lanjut untuk kedepannya.
syndromic management dipertimbangkan sebagai
Dikarenakan sekarang ini tes-tes untuk STI tersedia Mengingat jumlah FSW di iran yang cukup banyak,
pendekatan yang efektif disaat diagnosis
dalam bentuk rapid point-of-care testing kits,tes STI pengurangan transmisi STI harus difokuskan pada
berdasarkan etiologi terbatas, pemanfaatan
yang lebih mudah dan lebih akurat dapat dilakukan. usaha preventif, dengan cara distribusi kondom
pendekatan ini dapat ditargetkan kepada populasi
gratis, promosi sex aman, dan intervensi untuk
yang lebih spesifik. Penelitian di masa mendatang
kesehatan diri sendiri untuk populasi ini dan klien-
harus lebh fokus pada efikasi dari evaluasi klinis yang
kliennya.
digabungkan dengan manajemen symptom-based.
 THANK YOU 

Anda mungkin juga menyukai