Anda di halaman 1dari 16

• Usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan khusus yang dibutuhkan

masyarakat seperti produksi barang, pertukaran/perdagangan barang


membuat mereka menata tempat/wilayah/region dalam melengkapi
fungsi tersebut. Daerah itu disebut “CITY”.
– Terminologi City merupakan turunan dari bahasa Latin dan Perancis.
– Dalam Bahasa Latin, CIVITAS = kesatuandaribeberapapenghuni (citizens)
– Dalam Bahasa Perancis, Cite, Ville
– Stadt (Jerman), Town (Inggris)…
• Semuanya dimaksudkan untuk menyebut wilayah yang merupakan pusat
pertumbuhan lama/kuno.
• Di Amerika, kata City dipakai untuk mengartikan konsentrasi yang besar
dari manusia dalam ukuran yang jelas, tingkat fungsi tertentu, dan
mempunyai status hukum yang jelas dan berbeda dengan TOWN.
• A meeting place for
people
• There are many
institutions :
schools, hospitals,
workplaces,etc -----
a part of our
everyday lives
• As a result ------
people are severely
with activities ------
lost ownership the
places and spaces. •Taman
•TK/SD
•Toko
•Tempat Hiburan
•Pasar
•Tempat OR
•Tempat Ibadah
• perkembangan awal kota = sejarah “Perkembangan Peradaban Manusia”
• Sejarah perkembangan peradaban manusia dalam hubungannya dengan
alam sekitarnya dibagi menjadi dua masa, yaitu : Jaman Food Gathering,
Palaeolithic (Jaman Batu Tua), kelompok manusia menjalankan
kehidupannya dengan berburu, menangkap ikan, dan mengumpulkan
barang-barang/makanan kebutuhannya langsung dari alam; sehingga
tempat tinggal mereka selalu berpindah-pindah, dan Jaman Food
Producing, (10.000-8000) SM, Neolithic Revolution, di Timur Tengah,
manusia mulai memodifikasi alam lingkungan daripada hanya beradaptasi
dengannya -- memelihara binatang, bercocok tanam, dan berbudi daya
tanaman rumput-rumputan dan akar-akaran -- yang memungkinkan
untuk membuat tempat tinggal yang tetap. Pada masa inilah manusia
mulai menemukan peralatan-peralatan seperti kendaraan beroda, perahu
layar dan proses-proses kimia serta peralatan manusia untuk kehidupan
lainnya (Childe, 1951).
• Tujuh kawasan generasi pertama kota yang disebut-sebut sebagai bentuk
masyarakat pre-industrial. city adalah: Mesopotamia, Mesir (Egypt),
Lembah Indus (Indus Valley), Dataran Utara Cina, Meso-Amerika, Central
Andes, dan Nigeria Barat Daya (Wheatley, 1971).
• Kisaran waktu kawasan yang diakui sebagai bentuk awal kota dalam artian
kelahiran peradaban (cradles of civilization), dalam hal ini, yaitu Tigris,
Euphrat dan Lembah sungai Nile (3500-3000 SM) di Mesopotamia.
Sedangkan kawasan lain seperti Lembah Indus -- Mohenjo-Daro dan
Harappa -- (2500-1500 SM), Dataran aluvial Sungai Kuning -- Anyang dan
Chengchow -- (1500 SM), Meso-Amerika -- Teotihuacan Mexico -- (1000
SM), Central Andes -- (500 SM), serta Nigeria -- Yoruba -- (akhir millenium
pertama).
Carter (1977,1983) mengemukakan teori
tentang faktor pembentuk kota, yaitu :
1. Faktor lingkungan/ekologi, kesuburan alam yang menghasilkan
surplus hasil pertanian
2. Economic Theories, fungsi perdagangan (sebagai tempat
persinggahan untuk mengadakan transaksi bagi para pedagang)
ataupun untuk keperluan lokal.
3. Military Purpose, merupakan titik pertahanan terhadap serangan
musuh.
4. Religious Theories, bahwa perkembangan kota terjadi karena
adanya pusat kegiatan ritual berbentuk tempat keramat ataupun
kuil / candi.
Menurut teori 3 dan 4 (military and religious purpose), sangat jelas
diuraikan tentang keberadaaan / kemunculan kelompok elite non-
agriculture yang memanfaatkan food surplus sebagai sebuah upeti
ataupun imbalan bagi keperluan spiritual dan atau perlindungan fisik
dan keamanan.
• Bahwa dalam hal ini terdapat hubungan antara perkampungan jaman Neolithic
dengan kehidupan kota yaitu adanya produksi makanan (production of food
surplus). Jadi bisa disimpulkan bahwa kesuburan alam -- meskipun tidak cukup
untuk dianggap sebagai faktor pendorong urbanisasi -- merupakan faktor / kondisi
yang membentuk kota (Childe, 1950). .
• Pembentuk kota bukan karena adanya kesuburan alam, tetapi lebih karena faktor
perubahan sosial yang mempercepat terjadinya perubahan dalam bercocok tanam
dan perikehidupan lain, atau yang disebut dengan social factor (Adam, 1966;
Johnston, 1977).
• Kehidupan kota selalu diasosiasikan dengan pembagian kekuatan dan perbedaan
sosial dalam masyarakat. Faktor inilah yang menjadi pertimbangan penting dalam
diskusi tentang urbanisasi.
• Bagi kalangan yang berorientasi pada teori sosial, yang penting adalah mengetahui
bagaimana sebuah masyarakat yang sederajat (egaliter) menjadi terkelompok
secara khusus dalam hal pekerjaan maupun strata sosialnya, sehingga perubahan
bolak-balik dari kedua fase ini terhadap susunan redistribusi dapat terjadi.
Dari uraian berbagai pendapat tentang “urban
origin” ini, nampaknya dapat diambil
pelajaran bahwa karakter dan bentuk
urbanisasi tidak dapat dipisahkan dari sifat
perkembangan kota itu sendiri.
SOCIAL SURPLUS PRODUCT
Social surplus product diartikan sebagai ekses
dari produksi yang melebihi kebutuhan pokok
manusia, sehingga membuat sebagian anggota
masyarakat melepaskan diri dari keinginan untuk
memproduksi. Tanpa adanya “social surplus
product” ini, kota tidak akan dapat terbentuk
ataupun eksis.
Cities are formed through the geographic
concentration of a social surplus product (Harvey,
1973).
Social Surplus Product (SSP)
1. SSP merupakan “communist form of a surplus”, yaitu sejumlah
produk material yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki
kesejahteraan manusia. Dengan demikian, selama surplus ini
ditujukan bagi perbaikan sosial masyarakat secara general, maka
tidak ada alasan untuk mengkonsentrasikannya dalam kawasan
tertentu.
2. SSP adalah sejumlah sumber-sumber material dan produk yang
cocok bagi kelompok / segmen masyarakat tertentu dengan
mengorbankan yang lain. Bentuk dari surplus inilah yang
merupakan karakteristik perkotaan jaman Neolithic, pergerakan
rural-urban, dan perkotaan di bawah kapitalisme. Dengan
demikian munculah anggapan tentang “a Chain of Disequilibria”
ataupun inequality yang justru efisien dan merupakan roda
penggerak ekonomi, sehingga harus dikonsentrasikan dalam
kawasan tertentu (spatially concentrated).
Pendekatan Classical-Traditional
Perkembangan kawasan dipengaruhi oleh adanya dua “dualistic structure”, yaitu satu sisi adalah
tradisional, asli/pribumi (indigenous), kurang maju ; sedangkan sisi lain berupa modern, maju dan
telah berkembang.

Ada beberapa pendapat yang berbeda dalam debat tentang masalah ini, yaitu :
• Kelompok “Top-Down Paradigm of Development” :
HIRSCHMAN (1958) berpendapat :
– Polarisasi harus dihargai sebagai karakteristik yang tidak dapat dielakkan dari tahapan awal pengembangan
ekonomi, strategi pengembangan ekonomi melalui sektor-sektor khusus (a chain of disequilibria) akan
mendorong terjadinya pertumbuhan, dan pengembangan pusat kota akan mendorong adanya rembesan ke
bawah (ke periphery) atau yang disebut dengan “trickling down effects”. Trickling down atau spread effect
ini akan berproses dengan sendirinya.
FRIEDMANN AND WEAVER (1979) : inequality was efficient for growth, equality was inefficient.
RICHARDSON (1977,1980) : Suatu proses yang mana polarisasi berkecenderungan memberikan jalan bagi
penyebaran ruang keluar pusat kota akan diikuti oleh suatu keadaan yang disebut dengan “polarization
reversal”.

• Kelompok “Bottom-Up Paradigm of Development”


Ketidakseimbangan pertumbuhan kawasan kota akan menjadi sebuah konflik yang nyata antara
efisiensi ekonomi dengan keadilan sosial. Dalam pandangan kaum sosialis, keadilan sosial lebih
diutamakan walaupun resikonya akan terjadi pengurangan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Pendekatan Sejarah (Historical Approach)

Seorang ahli ekonomi Swedia bernama Gunnar Myrdal (1957) mempunyai pendapat yang
berlawanan dengan Hirschman yaitu bahwa pertumbuhan pusat kota yang diharapkan
membawa “spread effects” ke wilayah pinggiran maupun rural area justru relatif kurang
efektif jika dibandingkan “backwash effects” yang deras seperti : migrasi penduduk,
pergerakan perdagangan dan kapital menuju ke pusat kota. Dengan demikian masalah
kesenjangan sosial, marginalisasi kelompok bawah, dan kemiskinan (pemiskinan) yang
bersumber dari keadaan ini (ketidak adilan pertumbuhan wilayah kota) harus dicegah dengan
policy pemerintah melalui usaha penyeimbangan pertumbuhan wilayah kota secara
keseluruhan.
Pandangan ini -- dimana social surplus product dan development menjadi begitu cepat
terpolarisasi dalam masyarakat transisional -- telah berkembang pada akhir tahun 1960
sampai dengan awal tahun 1970.
Sebagai contohnya ialah thesis tentang core-periphery model oleh seorang planner Amerika,
John Friedmann (1966 -- berdasarkan studi sejarah perkembangan regional di Venezuela),
mercantile model oleh seorang geografer Amerika , Jay E. Vance (1970), plantopolis model
(berdasarkan studi di Karibia) oleh Rojas (1989) dan Potter (1995).
Dari ketiga model di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan awal kota-kota di
negara-negara yang sedang berkembang, dimulai dari pertumbuhan kota linier sepanjang
pantai (fase awal) dan selanjutnya berkembang sebuah kota yang menonjol sebagai akibat
dari pengaruh eksternal.
JOHN FRIEDMANN’s Centre-Periphery
Model (1966)
Terdapat empat
fase/tahapan
pengembangan kota, yaitu :
1. Pusat yang bebas dan
tanpa hirarki
2. Sebuah pusat yang
sangat kuat
3. Sebuah pusat yang kuat
dengan subcenter-
subcenter yang kuat pula
pada periphery
4. Sistem keterkaitan antar
kota
REFLEKSI DI INDONESIA???

Anda mungkin juga menyukai