Anda di halaman 1dari 43

DAERAH MELONGUANE

ADE IRWAN SURYADI


A. PROFIL MELONGUANE

1. Kondisi Geografi

Kota Melonguane yang terdiri dari Kelurahan


Melonguane Barat, Kelurahan Melonguane dan
Kelurahan Melonguane Timur merupakan sebuah kota di
kepulauan Talaud, Propinsi Sulawesi Utara. Kepulauan
Talaud, sebelum pemekaran merupakan bagian dari
Kabupaten Sangihe –Talaud.
Lanjutan..

Namun pada tahun 2002, kepulauan ini


memisahkan diri untuk membentuk wilayah
administrasi baru menjadi Kabupaten
Kepulauan Talaud, yang beribukota di
Melonguane. Daerah ini merupakan daerah
bahari dengan luas lautnya sekitar 37.800 Km²
(95,24%) dan luas wilayah daratan 1.251,02
Km². Terdapat tiga pulau utama di Kabupaten
Kepulauan Talaud, yaitu Pulau Karakelang,
Pulau Salibabu, dan Pulau Kabaruan.
Lanjutan..

Sebagaian Besar Desa di Kecamatan Melonguane


berbatasan langsung dengan laut. Terdapat dua
alternatif transportasi yang rutin melayani jasa
transportasi dari ibu kota propinsi menuju Kepulauan
Talaud yaitu :
1. Kapal laut dari Pelabuhan Manado, yang ditempuh
sekitar 10 jam perjalanan laut, bersandar di
pelabuhan Melonguane atau di pelabuhan Beo.
2. Pesawat terbang, dari bandara Sam Ratulangi
Manado ditempuh hanya sekitar 45 menit,
mendarat di bandara Melonguane.
Lanjutan..

Kota Melonguane berbatasan langsung


dengan :
 Sebelah Utara : Kec. Beo Selatan
 Sebelah Timur : Kec. Melonguane Timur
 Sebelah Selatan : Selat Lirung
 Sebelah Barat : Selat Lirung
Jarak dari Kota Melonguane ke Ibukota
Propinsi : 280 km
2. Kondisi Demografi

Berdasarkan data statistik pada tahun 2010, jumlah


penduduk di Kecamatan Melonguane
Mencapai10.058 Jiwa dengan kepadatan
penduduk sebesar 1.423,23 Jiwa/Km2. Jumlah ini
mencapai kenaikan 10% dibandingkan tahun 2009
yang mencapai jumlah penduduk sebesar 9.749
Jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 79,34
Jiwa/Km2 Kenaikan ini disebabkan karena
bertambahnya penduduk dari luar Kecamatan
Melonguane yang ingin menetap di Kecamatan
Melonguane.
Tabel 1 : Penduduk Menurut Jenis
Kelamin Kota Melanguane

Kelurahan Penduduk Jumlah


Laki-laki Perempuan
Melenguane 667 580 1.247

Melenguane 987 981 1.965


Timur
Melenguane 1.101 951 2.052
Barat
Jumlah 2.755 2.512 5264

Sumber: Kepala Kelurahan Melonguane,


Melonguane Barat, MelonguaneTimur.
Tabel 2 : Banyaknya Penduduk Menurut Mata
Pencaharian Di Kota Melonguane 2010

Kelurahan Peta Pedag Nelaya PNS Pegaw ABRI Lainya


ni ang n ai
Swasta
Malangu 801 511 117 116 233 162 852
ane

Malangu 163 44 55 176 25 35 30


ane Timur

Malangu 90 15 20 272 15 27 31
ane Barat

Jumlah 105 570 192 564 273 198 913


4
Tabel 3 : Banyaknya Penduduk Menurut
Agama dan Kepercayaan Kota
Melonguane 2010

Kelurahan Kristen Kristen Islam Hindu Budha


Protestan Katolik

Melanguane 1.133 43 71 0 0

Melanguane 1.779 30 169 0 0


Timur

Melenguane 1.627 102 23 3 4


Barat

Jumlah 4.539 175 263 3 4


Tabel 4 : Banyaknya Tempat Ibadah Kota
Melonguane

Kelurahan Gereja Mesjid Mushalla Pura Vihara

Melanguane 10 1 1 0 0

Melanguane 2 0 0 0 0
Timur
Melanguane 4 0 0 0 0
Barat
3. Sejarah Kota Melanguane

Awalnya kota Melonguane adalah sebuah desa.


Desa Melonguane merupakan Desa yang baru
dibuka oleh orang yang baru berdiam
dipenghujung “Arangaca” mereka membuka
tempat yang bernama Sobouane atau
Melonguane yang letaknya sangat strategis
memanjang disepanjang pantai Melonguane.
Pada masa bangsa Belanda berkuasa di Negara
Republik Indonesia, dikenal dengan istilah
pemerintahan Presidentil dan Petshoder.
Lanjutan..

Sekitar tahun 1875 diadakanlah perkunjungan ke desa-


desa di wilayah Pemerintahan Lirung. Salah satu desa
yang dikunjungi adalah tempat pemukiman beberapa
keluarga di Arangaca, pada waktu itu dipimpin oleh
seorang kepala desa Atasen Maengga. Rombongan
tersebut menumpang sebuah perahu dan saat itu cuaca
tidak bersahabat, sehingga perahu yang ditumpangi
terbalik karena terpaan ombak. Akibat dari keadaan
pelabuhan yang sewaktu-waktu tidak bersahabat itu
petshoder dan presidenti menganjurkan kepada kepala
desa untuk pindah ke lokasi yang lebih aman, yang
pelabuhannya baik
Lanjutan..

Kepala desa Arangaca Atasen Maengga


waktu itu bertitik tolak pada anjuran dan saran
dari presidentil dan petshoder yang terus
berkunjung pada waktu itu terus
mengumpulkan kepala keluarga yang
dipimpinnya untuk bermusyawarah
mengambil titik mufakat memindahkan desa
Arangaca ke salah satu lokasi yang aman,
yang pelabuhannya baik.
Lanjutan..

Pada bulan Oktober tahun 1876. Tempat yang


dimufakati adalah Sobouane (Lobo). Kemudian
diganti dengan nama Melonguane. Suatu
tempat yang baik, rata, tak ada sungai dan tak
ada gunung, pasirnya putih dan merupakan
suatu teluk yang diapit oleh kedua tanjung
Dapapaca/Batupalili dan disebelah utara
tanjung Dalungulahu Inapongere
Lanjutan...

Pada Tahun 1876 Bulan Oktober Kepala desa


arangaca “Atasen Maengga” memimpin dua puluh dua
kepala Keluarga di Arangaca membuka Melonguane
sebagai lokasi baru dan pada bulan Maret tahun 1877
mereka pindah ke Melonguane sebagai tempat
pemukiman baru disitu mereka hidup rukun dan damai.
Seiring berjalannya waktu, desa Melonguane yang
dahulunya hanya di tempati beberapa keluarga telah
berkembang hingga pada tahun 2006 pemerintah di
Talaud berinisiatif untuk membagi desa Melonguane
menjadi tiga kelurahan yaitu kelurahan Melonguane
Barat, kelurahan Melonguane Tengah dan kelurahan
Melonguane Timur.
4. Sejarah Masuknya Agama
Ditalaud

Sejak tahun 1550 kebudayaan Islam telah


dijumpai digugusan kepulauan ini. Menurut
Scheneke, kehadiran agama dan
kebudayaan Islam melalui dua jurusan:
1. Dari utara yaitu Mindanao, merupakan
lanjutan dari Malaka, Sumatra, Brunai, ke
pulau Talaud dan Sangihe.
2. Dari arah Ternate sebagai lanjutan dari
Jawa, Ambon, Bacan, Tidore, Ternate dan
Sangihe besar (kira-kira tahun 1540).
Lanjutan..

Beberapa tahun sesudah masuknya agama Islam


masuk pula agama Kristen. Hal ini ditandai
dengan dampak pengaruhnya pada zaman
VOC. Dimana, mulai tahun 1670-an, agama
Kristen ini lebih banyak dijalankan dengan
menggunakan bahasa setempat (bahasa
daerah). Dengan demikian masuknya agama
Kristen di kepulauan Talaud tidak dapat
dilepaskan dari kedatangan bangsa Portugis dan
Belanda di daerah tersebut.
5. Sistem Kepercayaan

Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen di kepulauan


Sangihe dan Talaud, bahkan sampai sekara ng masih ada
yang mempercayai adanya anggapan bahwa ada satu
dunia yang berada di „luar‟ dan di „atas‟ dunia yang ada
dan didiami sekarang, „dunia gaib‟ “(superanatural).Dunia
gaib ini merupakan tempat-tempat dewa bermukin. Dan
satu-satunya dewa (duataatau ruata) yang mendiami dunia
gaib itu ialah Chenggonalangi, merupaan dewa tertinggi
(high god), mahakusa, pencipta, dan berkuasa atas semua
dewa yang ada. Ghenggonalangi adalah Duatangsalulung,
(Dewa alam semesta)
Lanjutan..

Selain Chenggonalangi, ada juga dewa-dewa tertentu


dan menguasai lapangan-lapangan hidup dan dipuja
melalui upacara-upacara tertentu
, seperti :
1. Duata langitta (dewa langit).
2. Duatambinangunanna (dewa alam).
3. Mawendo (dewa laut).
4. Aditinggi (dewa gunung api siau).
5. Datu ngkasuang (raja orang mati) dan sebagainya
Lanjutan..

Orang-orang Sangihe dan Talaud juga mempercayai


adanya makhluk-makhluk halus yang berdiam dimana-
mana, misalnya :
1. Di gunung-gunung.
2. Di sungai.
3. Di batu-batu besar.
4. Di tanjung-tanjung.
5. Di pohon.
6. Di teluk dan tempat-tempat lainnya.
Lanjutan..

Makhluk-makhluk halus atau jin-jin yang dipercayai antara lain disebutkan:


1. Jin kabanasa, yang asalnya dari pohon enau, pehang (jin sungai).
2. Menangkaru (jin dari dalam tanah) dan banyak ragam makhluk
lainnya.
Ada juga anggapan bahwa setiap benda tertentu, apakah terujud pada
benda-benda tertentu, apakah itu terujud pada benda-benda alamiah
seperti:
 Batu, pohon, akar-akaran tertentu.
Atau juga benda-benda hasil ciptaan manusia dan dimiliki oleh nenek
moyang, seperti:
 Keris, pedang, gelang, baju dan lain-lain
Maupun anggota badan manusia seperti:
 Rambut, kuku, kotoran telinga dan sebagainya.
Mempunyai kekuatan-kekuatan gaib.
6. Sistem Kesatuan dan Kekerabatan
Komunitas Melonguane (Talaud)

“Wanua”atau kampung (desa) merupakan kesatuan


hidup yang terkecil yang ada di kepulauan Talaud. Setiap
wanua atau kampung (desa) dikepalai oleh seorang
yang memegang pemerintahan dan disebut kepala
kampung atauOpolao, atau juga yang dinamakan
Kapiten Laut. Opolao atau Kapiten Laut, dibantu oleh
beberapa Juru tulis dan meweteng. Sedangkan di bidang
adat terdapat satu dewan yang dikepalai oleh
Ratumbanua (sebagai ketua adat). Inangu Wanua
(sebagai wakil ketua adat), dan Timadu Ruangana
(sebagai ketua ruanganna)
Lanjutan..

Keluarga batih (nucleat family), merupakan satuan inti


dalam kekerabatan yang terdapat pada lingkungan sosial
orang Sangihe dan Talaud.
Beberapa keluarga batih, bergabung dan membentuk
satu kelompok kekerabatan yang dalam bahasa Talaud
disebut ruanganna.
Ruangan ini merupakan suatu kelompok kekerabatan
yang berkorporasi (corpotat kingroups) pada beberapa
puluh tahun yang lalu mempunyai fungsi antara lain:
Lanjutan..

 Memegang hak atas tanah milik komunal


 Mengatur perkawinan dengan adat exogami,
 Sebagai kesatuan yang menjalankan aktivitas
kerjasama pangan kehidupan, dan
 Merupakan suatu kesatuan hidup setempat
Lanjutan..

Di Melonguane sistem adat masih sangat kuat dalam mengatur


harmonisasi warga masyarakat.Terdapat 7 kelompok kekerabatan
(ruanganna) dalam masyarakat Melonguane.Yakni:
 Ruanganna Maengga
 Ruanganna Mansa
 Ruanganna Masarahe
 Ruanganna Sawedulung
 Ruanganna Essing
 Ruanganna Timpua
 Ruanganna Untulang
7. Bahasa

Bahasa sehari-hari penduduk yang mendiami


kepulauan Talaud adalah bahasa daerah setempat,
yakni bahasa Talaud. Bahasa Talaud termasuk pada
rumpun bahasa Austronesia atau Melayu Polinesia
yang tergolong dalam bahasa-bahasa Philipina.
Dalam hal pemakaian bahasa sebagai alat
komunikasi, terdiri atas bahasa umum, yang
digunakan dalam pergaulan hidup sehari-hari
diantara sesama teman; bahasa halus (bahasa sastra)
yang biasanya digunakan pada upacara tertentu
8. Aktivitas Orang Melonguane
pada Hari Minggu

Sebagai pusat pemerintahan, ketersediaan peluang


kerja dalam bidang tersebut relatif besar. Para
pendatang tersebut berasal dari berbagai tempat
diluar Kabupaten Talaud untuk bekerja antara lain
sebagai guru, perawat, polisi, tentara dan Pegawai
Negeri Sipil di berbagai kantor. Bagi pegawai kantor
rutinitas pekerjaan yang mereka jalani dimulai dari
hari Senin sampai Jumat, sementara Sabtu dan
Minggu tidak merupakan hari kerja. Sedangkan bagi
para guru mulai dari TK sampai SMA/SMK menjalani
kegiatan rutin mulai dari hari Senin sampai Sabtu,
hari Minggu adalah hari libur.
Lanjutan...

Terdapat perbedaan aktivitas pasar di antara hari


Senin-Sabtu dan di hari Minggu. Dari hari senin
sampai sabtu, pasar ini beroprasi dari pukul 04.00
sampai 22.00 WITA, sedangkan di hari Minggu pasar
dan pertokoan hanya beroprasi dari pukul 04.00 wita
-06.00 WITA dan dari pukul 18.00 sampai 22.00 WITA.
Pada hari Minggu terlihat ada jenjang waktu antara
pukul 06-00 pagi sampai 18.00 sore. Di antara jenjang
waktu tersebut tidak diperbolehkan melakukan
aktivitas pasar berdasarkan surat ketetapan
peraturan adat larangan bekerja pada hari Minggu
B. KASUS LARANGAN BEKERJA DALAM
LINGKUP SOSIAL MELONGUANE

1. Sejarah Munculnya Kasus Larangan Bekerja pada Hari Minggu


Ketika ditelusuri asal-usul munculnya larangan bekerja pada hari
Minggu dalam lingkup sosial Melonguane, maka ditemukanlah
hal-hal yang melatar belakangi pemberlakuan larangan tersebut
sampai sekarang. Menurut salah seorang warga setempat yang
diwawancarai diperoleh keterangan, bahwa larangan ini
sebenarnya sudah ada sejak lama dan berlaku dalam kehidupan
komunitas asli Melonguane. Kendatipun larangan tersebut sudah
diterapkan namun tidak dapat dikatakan secara pasti sejak
kapan (tanggal, bulan dan tahun). Namun larangan ini sudah
ada sejak dahulu dan berlaku secara turun temurun.
Lanjutan..

Menurut ketua adat Melonguane, kebiasaan tradisional tersebut


dipengaruhi oleh agama Kristen, ketika kekristenan masuk di
tempat ini. Setelah penduduk asli di tempat ini masuk agama
Kristen dan kegiatan beribadah pada hari Minggu aktif
dilaksanakan, mulailah masyarakat memberlakukan hari Minggu
sebagai hari istirahat dari segala aktivitas. Kebiasaan ini
berlangsung terus-menerus hingga akhirnya ditetapkanlah hari
Minggu sebagai hari yang sakral dan tidak boleh dicemari
dengan kegiatan-kegiatan duniawi. Sejak itulah larangan
bekerja pada hari Minggu menjadi ikatan moral masyarakat
yang harus dipatuhi dan wajib dilaksanakan oleh masyarakat
Melonguane.
Lanjutan..

Ketentuan ini diberlakukan tidak hanya untuk


satu agama saja, melainkan bagi seluruh
penduduk yang mendiami kota Melonguane.
Sebab diberlakukannya larangan ini sudah
sejak lama diakui penduduk setempat. Dari
generasi ke generasi tradisi ini di sosialisasikan
secara komunal melalui pertemuan keluarga,
pertemuan adat dan pertemuan kampong.
2. Penetapan Kesepakatan Larangan Bekerja
pada Hari Minggu Sebagai Peraturan Adat

Sejak kekristenan masuk di Talaud khususnya di Melonguane


pada tahun 1670-an, setiap tatanan dalam lingkup kehidupan
sosial mengalami perubahan dan mempengaruhi tatanan
hukum adat setempat. Kekristenan ternyata mempu
mempengaruhi citra hukum adat dalam penduduk
Melonguane. Masyarakat Melonguane yang sudah memeluk
agama Kristen melakukan penerapan asas-asas hukum-kristen
dalam kehidupan mereka sehari-hari, sebagaimana tercantum
dalam Alkitab.
Lanjutan..

Hukum Kristen yang diberlakukan salah satunya mengenai


larangan bekerja pada hari Minggu. Larangan ini ditetapkan
untuk menghormati hari Tuhan. Dimana hari Minggu dipisahkan
dari hari-hari lainnya dan dianggap sebagai hari yang sakral.
Ketika ada yang melanggarnya diyakini akan mendapat sanksi
dari Tuhan yaitu berdosa terhadap Tuhan. Larangan ini
ditetapkan tujuannya adalah agar tercipta sebuah keharmonisan
dengan memberikan waktu atau meluangkan waktu sehari
dalam seminggu untuk bersekutu dengan Tuhan. Larangan
bekerja pada hari Minggu,karena diberlakukan terus menerus
pada akhirnya menjadi kebiasaan dan ditetapkanlah sebagai
peraturan adat dalam masyarakat.
Lanjutan..

Penetapan peraturan adat larangan bekerja pada hari Minggu


tidak hanya dibuat oleh ketua adat sendiri tetapi melibatkan
unsur pemerintah daerah, Kakandep Agama, Dewan Adat dan
Pihak GERMITA serta Tokoh Masyarakat atau Tokoh Adat di
Melonguane. Pada hari/tanggal : Jumat, 27 April 2007,
bertempat pada ruangan rapat kantor bupati Kabupaten
Kepulauan Talaud ditetapkanlah sebuah kesepakatan dalam
Rapat Lembaga Adat Melonguane dengan hasil keputusan
sebagai berikut:
Lanjutan..

1. Hari Minggu dikhususkan orang Talaud telah turun-


temurun sangat dipatuhi untuk tidak melakukan program
kegiatan usaha pertanian, perikanan, perdagangan dan
program kegiatan pembangunan lainnya, kecuali
ibadah, penanganan bencana alam dan bencana
sosial.
2. Maka khusus kegiatan perdagangan pasar dihari
Minggu hanya boleh berlaku pada jam 03.00s/d 06.00
wita. Dan dibuka kembali jam 18.00 wita
3. Penerapan dan Dampak dari Larangan
bekerja pada Hari Minggu dalam Komunitas
Melonguane

Menurut seorang pedagang beragama Islam, larangan


bekerja pada hari Minggu merupakan peraturan adat
yang harus dipatuhi, tapi ia juga menyadari dampak dari
larangan ini adalah kerugian dari mata pencahariannya.
Karena dihari tersebut ia tak dapat berdagang seperti hari-
hari biasanya. Waktunya untuk berdagang sangat terbatas
yakni dimulai jam 18.00 (jam 6 sore). Jadi dengan adanya
larangan bekerja pada hari Minggu membatasi aktivitas
perekonomian dan menyebabkan omsetnya berkurang tak
seperti hari-hari biasanya.Salah seorang pedagang
beragama Kristen juga memiliki pandangan yang sama.
Lanjutan..

Berbeda dengan seorang pedagang beragama Kristen


lainnya, ketika diwawancara. Menurutnya larangan bekerja
pada hari Minggu memiliki dampak positif karena meskipun
omsetnya tak seperti hari biasanya, namun pada hari itu ia bisa
pergunakan untuk berkumpul bersama keluarganya. Jadi ia
tidak keberatan dengan larangan tersebut.Hal yang sama
juga diutarakan oleh seorang yang bermata pencaharian
sebagai petani. Ia tak keberatan dengan mematuhi peraturan
adat larangan bekerja pada hari Minggu, Menurutnya hari
Minggu adalah hari Tuhan dan dikuduskan, jadi tidak ada
salahnya untuk beristirahat pada hari tersebut
C. PERSEPSI TOKOH ADAT, TOKOH AGAMA DAN MASYARAKAT
KRISTEN MAUPUN NON KRISTEN MENGENAI LARANGAN BEKERJA
PADA HARI MINGGU.

1. Persepsi Tokoh Adat


Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap Ratumbanua
(ketua adat), ia mengutarakan bahwa “saya sebagai ketua adat
tetap berada pada posisi saya, untuk menjaga setiap peraturan
adat termasuk larangan bekerja pada hari Minggu agar ditaati oleh
seluruh masyarakat tak terkecuali siapapun dia, agama apa pun
dia atau apapun pekerjaannya. Sebagai peraturan adat yang
diwariskan oleh nenek moyang, hal ini dirasa penting untuk
dilestarikan. Cara pelestariannya adalah kami sebagai perangkat
adat senantiasa mengingatkan seluruh masyarakat yang tingal di
Melonguane dengan mengumumkan pada acara-acara
pernikahan, ibadah digedung gereja, ibadah pemakaman bahkan
dalam acara umat non-Kristen untuk mematuhi ketetapan adat
larangan bekerja pada hari Minggu
2. Persepsi Tokoh Agama Kristen
dan non-Kristen

Seorang Pendeta yang melayani di Jemaat GERMITA


(Gereja Masehi Injili di Talaud) Sangkundiman
Melonguane Timur menjelaskan bahwa larangan bekerja
pada hari Minggu berasal dari agama Kristen, larangan
ini memiliki dampak positif dalam kehidupan persekutuan
jemaat di Gereja maupun dalam ibadah-ibadah Rumah
Tangga. Dengan adanya larangan ini secara otomatis
anggota jemaat berhenti sejenak dari berbagai aktivitas
dan mengkhususkan waktu mereka untuk beribadah
Lanjutan..

Pada saat mewawancarai salah seorang tokoh agama non


Kristen (Tokoh Agama Islam), Menurut Haji Kasim bahwa “saya
menyadari dalam setiap daerah memiliki peraturan adat
masing-masing. Dan salah satu peraturan adat di Melonguane
ini adalah larangan bekerja pada hari Minggu. Sebagai
pendatang saya menyadari bahwa saya harus mematuhi
peraturan adat ini. Hari Minggu memang bukanlah hari
beribadah bagi kami, tapi dengan adanya larangan bekerja
pada hari Minggu kami bisa menggunakannya untuk kegiatan
sosial
3. Persepsi Masyarakat Umum

Menurut seorang bapak berprofesi sebagai petani, ia


berujar bahwa larangan bekerja pada hari Minggu
tidaklah terlalu menjadi beban baginya karena setelah
enam hari melakukan usaha pertanian, perlu adanya
waktu untuk beristirahat di rumah dan bercengkramah
dengan keluarga. Terlebih khusus bisa meluangkan waktu
untuk beribadah. Karena biasanya selama enam hari ia
bekerja dari pagi hingga petang dan tidak memiliki waktu
luang bagi keluarga bahkan untuk beristirahat serta
melepaskan lelah dari pekerjaannya
Lanjutan..

Disampaikan pula oleh salah seorang masyarakat


yang bekerja sebagai nelayan.Menurutnya,
“larangan bekerja pada hari Minggu tidaklah
membatasi aktivita saya, karena saya juga
membutuhkan waktu untuk beristirahat. Selain itu
di hari Minggu juga biasanya saya gunakan untuk
bersilaturahmi dengan keluarga yang berada
diluar kampung.
WASSALAM
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai