Anda di halaman 1dari 17

Materi Analisis Teks Biografi

Tokoh Indonesia

Adam Abdul Azis Effendi


Alika Idzni Inayah
Elisa Romasta Manurung
Mohammad Dafi Nazwa Aulia
Kanjeng Pangeran Haryo, atau Prof. Dr. Selo Soemardjan lahir
di Yogyakarta, 23 Mei 1915 dan meninggal di Jakarta, 11 Juni 2003
pada umur 88 tahun. Selo Soemardjan dibesarkan di lingkungan abdi
dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden
Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan
Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama aslinya-
mendapat pendidikan Belanda.

Ia adalah seorang tokoh pendidikan dan pemerintahan


Indonesia. Selama hidupnya, Selo pernah berkarir sebagai pegawai
Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil
Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan
Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap
Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil
Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Asisten Wakil
Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli
Presiden HM Soeharto. Pengalamannya sebagai camat membuat Selo
menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif pemecahan
berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo
dengan peneliti lain.
Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun
1959 -- seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, AS --
mengajar sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri
sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan
Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus
1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan
pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.

Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan


adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei
1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo berjudul
Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima Anugerah
Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gajah Mada (UGM)
pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari
2002 diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah
uang.
Meski lebih dikenal sebagai guru besar, tetapi Selo jauh dari
kesan orang yang suka "mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga
dan kampus, dia justru dikenal sebagai orang yang suka melucu dan
kaya imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-
istilah ilmu yang diajarkannya. Ia dikenal sangat disiplin dan selalu
memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan banyak bekal
ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas
Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar
dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas,
punya komitmen sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.

Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan.


Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia pantas menjadi teladan
kaum birokrat karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi
kepada masyarakat.
Analisis
Keteladanan Tokoh
a. Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan
konkret.
b. Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar
dengan semangat tinggi.
c. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya
komitmen sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.
d. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana.
e. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos
kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada
masyarakat.
Keunggulan Tokoh
Paragraf 1:
Selo Soemardjan dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan
Yogyakarta Hadiningrat.

Paragraf 2:
1. Selama hidupnya, Selo pernah berkarir sebagai pegawai
Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf
Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf
Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat
Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan,
Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973-
1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-
1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto.
2. Pengalamannya sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang
mampu menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan
sosial secara jitu.
Paragraf 3:
1. Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun
1959 …
2. Dialah pendiri sekaligus dekan pertama …
3. …, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah
dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama
sosiologi.

Paragraf 4:
Terakhir ia menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari
Universitas Gajah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies
Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam
bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
Struktur
A. Orientasi:
Kanjeng Pangeran Haryo, atau Prof. Dr. Selo
Soemardjan lahir di Yogyakarta, 23 Mei 1915 dan
meninggal di Jakarta, 11 Juni 2003 pada umur 88
tahun. Selo Soemardjan dibesarkan di lingkungan
abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.
Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung
Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor
Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek,
Soemardjan- begitu nama aslinya-mendapat
pendidikan Belanda.
B. Peristiwa penting:
Ia adalah seorang tokoh pendidikan dan pemerintahan Indonesia. Selama
hidupnya, Selo pernah berkarir sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala
Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara
merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI
Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan
Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto.
Pengalamannya sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu
menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang
membedakan Selo dengan peneliti lain.

Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 -- seusai


meraih gelar doktornya di Cornell University, AS -- mengajar sosiologi di Universitas
Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu
Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994,
ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus
menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.

Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social


Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian
terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima Anugerah
Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gajah Mada (UGM) pada puncak
peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam bentuk
piagam, lencana, dan sejumlah uang.
C. Reorientasi:
Meski lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan
orang yang suka "mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga dan
kampus, dia justru dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya
imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah
ilmu yang diajarkannya. Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi
teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan banyak bekal ilmu
pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas Indonesia
(UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan
semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya
komitmen sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.

Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan.


Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia pantas menjadi teladan
kaum birokrat karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi
kepada masyarakat.
Pola Penyajian

Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 -- seusai


meraih gelar doktornya di Cornell University, AS -- mengajar sosiologi di
Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10
tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI.
Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra
Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar
ilmuwan utama sosiologi.

Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa


biografi diceritakan secara langsung tanpa kata-kata
tersirat.
Kebahasaan
a. Pronomina : kata ganti

Paragraf 1
Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi
di kantor Kasultanan Yogyakarta.

Paragraf 2
Ia adalah seorang tokoh pendidikan dan pemerintahan Indonesia.
Selama hidupnya, Selo pernah berkarir sebagai ….

Paragraf 3
Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia ….
… seusai meraih gelar doktornya ….
Dialah pendiri sekaligus dekan pertama ….
Paragraf 4
Terakhir ia menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX ….

Paragraf 5
Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal sebagai
….
…, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-
istilah ilmu yang diajarkannya.
Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret.

Paragraf 6
Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan.
Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana.
b. Kata Kerja Tindakan
Paragraf 1
Selo Soemardjan dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta
Hadiningrat.

Paragraf 2
Pengalamannya sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu
menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu.

Paragraf 3
… mengajar sosiologi di Universitas Indonesia (UI)

Paragraf 4
Terakhir ia menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX …/

Paragraf 5
terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang
diajarkannya.

Paragraf 6
Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan.
c. Adjektiva
Paragraf 1 : Utama
Paragraf 2 : Kata sifat dasar : Sipil, umum, ahli, istimewa
Kata sifat dengan konfiks : Keamanan, kesejahteraan,
Paragraf 3 : Tinggi, asli
Paragraf 4 : Kata sifat prefiks : menengah
Kata sifat dasar : pertama
Paragraf 5 : terakhir
Paragraf 6 : Besar, jauh, suka, melucu, kaya, terutama,

d. Kata Kerja Pasif


Paragraf 1 : dikenal
Paragraf 3 : dibesarkan
Paragraf 5 : dipublikasikan, diwujudkan
e. Kata Kerja Mental
Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 -
- seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, AS -- mengajar
sosiologi di Universitas Indonesia (UI).
Dia justru dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya
imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah
ilmu yang diajarkannya.

f. Konjungsi
Konjungsi koordinatif
Kanjeng Pangeran Haryo, atau Prof. Dr. Selo Soemardjan lahir di
Yogyakarta, 23 Mei 1915 dan meninggal di Jakarta, 11 Juni 2003 pada
umur 88 tahun.
Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan semangat tinggi

Konjungsi subordinatif
Ini pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain.
Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang
Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30
Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.
Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos kerjanya
yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat.

Konjungsi korelatif
Meski lebih dikenal sebagai guru besar, tetapi Selo jauh dari
kesan orang yang suka "mengerutkan kening".

g. Kata rujukan
Ini pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain.

Anda mungkin juga menyukai