Secara Etimologi Al-Wadi’ah berarti titipan murni (amanah). Wadiah bermakna amanah. Wadiah dikatakan bermakna amanah karena Allah menyebut wadiah dengan kata amanah dibeberapa ayat Al-Qur’an. Wadiah secara istilah adalah akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan) Para ulama sepakat bahwa wadi’ah adalah salah satu akad dalam rangka tolong-menolong antara sesama manusia. Dasar-dasar hukum wadi’ah yaitu : 1. Al-Qur’an Al-Wadi’ah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik memintanya kembali. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (Qs. An-Nisa 4:58) 2. As-Sunnah Rasulullah Saw bersabda, “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi menurut hadist ini hasan sedangkan Imam Hakim mengkategorikannya shahih). 3. Ijma Ibnu Qudamah rh menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah Saw sampai generasi berikutnya, wadi’ah telah menjadi ijma’ ‘amali yaitu konsensus dalam praktek bagi umat Islam dan tidak ada orang yang mengingkarinya. Jumhur ulama mengatakan bahwa rukun wadi’ah ada 3 : 1. Orang yang berakad, yaitu terdiri dari : a. Pemilik barang/penitip (Muwaddi’) b. Pihak yang menyimpan /dititipi (Mustauda’) 2. Barang/uang yang disimpan (Wadi’ah) 3. Ijab qobul/kata sepakat (Sighat) 1. Orang yang berakad harus : - Baligh - Berakal - Cerdas (‘alim) 2. Barang titipan - Jelas (dapat diketahui jenis atau identitasnya) - Dapat dipegang - Dapat dikuasai untuk dipelihara Wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadi’ah yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum dan piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Sebagaimana nasabah terbebas dari segala risiko yang terjadi pada dananya. Karena alasan ini, banyak dari ulama kontemporer yang mengkritisi penamaannya dengan wadi’ah. Dan sebagai gantinya mereka mengusulkan untuk menggunakan istilah lain, semisal al-hisab al-jari atau yang secara bahasa bermakna account Secara etimologi, rahn berarti tetap dan lama yakni tetap berarti pengekangan dan keharusan. Sedangkan menurut istilah ialah penahanan terhadap suatu barang sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. Akan tetapi menurut ulama hanafiyah Gadai secara istilah ialah mnjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang. 1. Al-Qur’an Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah 282 yang artinya ‘ hai orang-orang yanhg beriman jika kamu tidak bermuamalah secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya dan persaksikanlah dengan orang lelaki saksi diantaramu. Jika tidak ada 2 lelaki maka voleh 1 orang lelaki dan 2 orang perempuan ’ 2. Hadits Hadits riwayat Aisyah ‘Dari Aisyah ra sesungguhnya Nabi SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan berutang dengan tempo tertentu. Beliau menjadikan baju perangnya menjadi jaminan utang tersebut’ 3. Ijtihad Ulama Perjanjian gadai dalam pengembangan selanjutnya dilakukan dengan jalan ijtihad, dengan kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah mempertentangka kebolehannya demikian juga dengan landasan hukumnya Rukun rahn ada 5, yaitu:
Yang menggadaikan (ar-Rahin)
Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan. Penerima gadai (al-murtahin) Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai). Barang Jaminan (al-marhun) Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang. Utang (marhun bihi) Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun. Sighat, ijab, dan qabul Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai. Dalam setiap akad, unsur dan rukunnya harus memenuhi syarat. Berkaitan dengan rahn, syarat bagi para pihak yang berakad sama dengan syarat dalam akad lainnya. Syarat tersebut adalah : Para pihak harus berakal Sudah baligh Tidak dalam paksaan atau terpaksa Syarat yang terkait dengan utang adalah: Utang merupakan hak yang harus dibayar; Jumlah utang dapat tertutupi dengan nilai barang yang digadaikan atau jumlah utang tidak boleh melebihi dari nilai barang yang menjadi jaminan; Hak utang harus jelas. Menurut kalangan Syafi’iyah dan Hambaliah mensyaratkan utang adalah: Utang merupakan utang yang tetap dan wajib dibayar oleh Rahin; Utang harus mengikat kedua belah pihak; Jumlah, ukuran dan sifat utang harus jelas diantara pihak yang berakad Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek jual beli adalah: Barang yang digadaikan harus benar-benar ada dan nyata. Transaksi terhadap barang yang belum atau tidak ada berarti tidak sah, begitu juga barang yang belum pasti adanya, seperti binatang yang masih dikandungan ibunya; Objek transaksi berupa barang yang bernilai, halal, dapat dimiliki, dapat disimpan dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya serta tidak menimbulkan kerusakan; Barang yang dijadaikan transaksi merupakan hak mlik secara sah dan kepemilikan sempurna. Objek harus dapat diserahkan saat transaksi, berdasarkan.berdasarkan syarat ini maka tidak sah menggadaikan binatar liar, ikan dilautan atau burung yang berada di awang, karena tidak bisa diserahkan kembali kepada pembeli; Selain syarat diatas,ada satu syarat lagi yang mutlakhrus terpenuhi, yaitu barang yang digadaikan harus tahan lama dan tidak mudah rusak, seperti emas, perak, logam mulia,jendaraan dan seterusnya. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah menjadikan makananyang mudah busuk, seperti kue basah sebagai jaminan utang, karena tidak tahan lama. Menurut ulama Hanafiyah, syarat barang yang harus digadaikan harus barang yang berharga, jelas, dapat diserahterimakan, dapat disimpan tahan lama, terpisah dari barang lainnya, baik benda bergerak maupun tidak. Lebih rincinya, dijelaskan sebagai berikut: Barang yang digadaikan harus dapat diperjualbelikan; harus pada waktu akad dan dapat diserahterimakan; Barang yang digadaikan harus berupa harta (kekayaan) yang bernilai; Barang yang digadaikan harus halal digunakan atau dimanfaatkan, sekiranya barang tersebut dapat untuk melunasi utang; Barang harus jelas spesifikasinya, ukuran, jenis jumlah, kualitas, dan seterusnya; Barang harus milik pihak yang menggadaikan secara sempurna; Barang yang digadaikan harus menyatu, tidak terpisah-pisah; Barang harus tidak ditempeli sesuatu yang tidak ikut digadaikan; Barang yang digadaikan harus utuh; tidak sah menggadaikan mobil hanya seperempat atau separuhnya. Jadi, rahn dapat dikatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat-syarat yang telah dijelaskan diatas. Jika tidak terpenuhi salah satunya, baik dari rukun ataupun syarat rahn, maka rahn tersebut dikatakan tidak sah. Dalam implementasi akad rahn di lembaga keuangan syariah ada dua jenis, yaitu akad rahn dijadikan produk turunan berupa agungan atas pembiayaan, dan kedua akad rahn sebagai produk utama, dalam bentuk gadai. 1. Akad Rahn sebagai Produk Turunan (Jaminan Pembiayaan) Harta yang diagunkan disebut al-marhûn (yang diagunkan). Harta agunan itu harus diserahterimakan oleh ar-râhin kepada al-murtahin pada saat dilangsungkan akad rahn tersebut. Dengan serah terima itu, agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan barang elektronik, perhiasan, dan semisalnya, maka serah terimanya adalah dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada penerima agunan (al-murtahin). Bisa juga yang diserahterimakan adalah sesuatu dari harta itu, yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti rumah, tanah dan lain-lain. 2. Akad Rahn sebagai Produk Utama (Gadai Syariah). Konsep operasional pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Perbedaan Pegadauan Syariah dengan Pegadaian Konvensional Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap mempermemberlakukan biaya pemeliharaan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah pinjaman. Sedangkan pada pegadaian konvesional, biaya yang harus dibayar sejumlah dari yang dipinjamkan. Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata: ( قرضqaradha) yang sinonimnya: qatha’a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang (muqtaridh). Pengertian- pengertian Qardh menurut para ulama’: Hanafiah: harta yang diberikan kepada orang lain dari maal mitslii untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Sayid Sabiq: harta yang diberikan oleh pemberi utang (muqridh) kepada penerima utang (muqtaridh) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya. Hanabilah: memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya. Syafi’iyah: sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan). Qardh secara etimologi adalah pinjaman. Secara terminologi muamalah adalah memiliki sesuatu (hasil pinjaman) yang dikembalikan (pinjaman tersebut) sebagai penggantinya dengan nilai yang sama. Surat Al Baqarah (2): 245 َ ِضعَافًا َكث ً يرة ْ َ ضا ِعفَهُ لَهُ أَ ُسنًا فَي َ ضا َح ً َّللا قَ ْر َ َّ ضُ َم ْن ذَا الَّ ِذي يُ ْق ِر ُ س َط َو ِإلَ ْي ِه ت ُ ْر َجعُون ُ ض َويَ ْبُ َّللاُ يَ ْق ِب َّ َو Barang siapa yang mau memberi pinjaman kepada Alloh pinjaman yang baik, maka Alloh akan melipatgabdakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak dan Alloh menggenggam (menyempitkan) dan membentangkan (melapangkan) (rezeki) dan kepada Alloh dikembalikan kamu sekalian. Menurut Malikiyah, qardh hukumnya sama dengan hibah, shadaqah dan ‘ariyah, berlaku dan mengikat dengan telah terjadinya akad walaupun muqtaridh belum menrima barangnya. Muqtaridh boleh mengembalikan persamaan dari barang yang dipinjamnya, dan boleh pula mengembalikan jenis barangnya, baik barang tersebut mitslii atau ghair mitslii, apabila barang tersebut belum berubah dengan tambah atau kurang. Apabila barang telah berubah, maka muqtaridh wajib mengembalikan barang yang sama. Para ulama sepakat bahwa setiap utang yang mengambil manfaat hukumnya haram, apabila hal itu disyaratkan atau ditetapkan dalam perjanjian. Hal ini sesuai dengan kaidah: Apabila manfaat (kelebihan) tidak disyaratkan pada waktu akad maka hukumnya boleh. Pengembalian utang dianjurkan untuk dilakukan secepatnya, apabila orang yang berutang telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan. Apabila kondisi orang yang sedang berutang sedang berada dalam kesulitan dan ketidakmampuan, maka kepada orang yang memberikan utang dianjurkan untuk memberikan kelonggaran dengan menunggu sampai ia mampu untuk membayar utangnya. Hal ini sesuai dengan firman Alloh dalam surah Al Baqarah (2): 280 Rukun Qardh Menurut Hanafiah, rukun qardh adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur fuqaha, rukun qardh adalah 1) ‘aaqid, yaitu muqridh dan muqtaridh; 2) ma’qud ‘alaih, yaitu uang dan barang; dan 3) shigaht, yaitu ijab dan qabul. 1. ‘Aaqid Baik muqridh maupun muqtaridh disyaratkan harus orang yang dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul adaa’. Syafi’iyah memberikan persyaratan untuk muqridh, antara lain: a) ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru’; b) mukhtar (memiliki pilihan). Sedangkan untuk muqtaridh disyaratkan harus memiliki ahliyah atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal, dan tidak mahjur ‘alaih. 2. Ma’qud ‘Alaih Menurut jumhur ulama yang terdiri atas Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, yang menjadi obyek akad dalam al qardh sama dengan obyek akad salam, baik berupa barang-barang yang ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzunat), maupun qimiyat (barang-barang yang tidak ada persamaannya di pasaran), seperti hewan, barang-barang dagangan, dan barang yang dihitung. Setiap barang yang boleh dijadikan obyek jual beli, boleh pula dijadikan obyek akad qardh. 3. Shighat Qardh adalah suatu akad kepemilikan atas harta, oleh karena itu akad tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan qabul, sama seperti akad jual beli dan hibah. Shighat ihab dengan lafal qardh dan salaf, atau dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “Saya milikkan kepadamu barang ini, dengan ketentuan Anda harus mengembalikan pada saya penggantinya”. 1. Karena utang piutang sesungguhnya merupakan sebuah transaksi (akad), maka harus dilaksanakan melalui ijab dan qabul yang jelas sebagaimana jual beli, dengan menggunakan lafadzh qard, salaf atau yang sepadan dengannya. Masing-masing pihak harus memenuhi persyaratan kecakapan bertindak hukum dan berdasarkan iradah (kehendak bebas). 2. Harta benda yang menjadi objeknya harus mal-mutaqawim. Mengenai jenis harta benda yang dapat menjadi objek utang piutang terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha mazhab. 3. Akad utang piutang tidak boleh dikaitkan dengan suatu persyaratan diluar utang piutang itu sendiri yang menguntungkan pihak muqridh (pihak yang menghutanginya). Implementasi Qardh di perbankan syariah, secara teknik diatur dalam pasal18 PBI No. 7/46/PBI/2005, dan SE BI No. 10/14DPb/2008, Bagian III 8. Keberadaan kedua peraturan ini satu denngan yang lainnya saling melengkapi. Persyaratan pembiayaan berdasarkan akad qardh di kedua peraturan ini, meliputi: ketentuan yang terkait dengan bank; ketentuan yang terkait dengan nasabah; dan sumber dana pinjaman. Persyaratan yang terkait dengan bankk adalah: (1) bank bertindak sebagai penyedia dana untuk pinjamana qardh bagi kepentingan nasabah serta menjelaskan kepadannya karakteristik produk pembiayaan atas dasar qardh disamping hak dan kewajiban nasabah; (2) bank berkewajiban memeriksa dan menganilisis rencana pembiayaan atas dasar qardh kepada nasabah. Namun, di sisi lain bankdilarang untuk meminta pengembalian melebihi jumlah nominal sesuai akad serta dilarang pula membebankan biaya apa pun, kecuali biaya administrasi dalam batas kewajaran. Ketentuan bagi bank selaku muqarridh dalam PBI dan SE.BI ini bersinergi dengan yang tertuang dala fatwa DSN MUI No. 19 tahun 2000 yang menjelaskan bahwa al-qardh adalah pinjamman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) semntara bank adalah pihak yang menyediakan dana.