Anda di halaman 1dari 28

Fahreza Ananda F 022141028

Dessy Farentia 022141037


 Secara Etimologi Al-Wadi’ah berarti titipan
murni (amanah). Wadiah bermakna amanah.
Wadiah dikatakan bermakna amanah karena
Allah menyebut wadiah dengan kata amanah
dibeberapa ayat Al-Qur’an.
 Wadiah secara istilah adalah akad seseorang
kepada pihak lain dengan menitipkan suatu
barang untuk dijaga secara layak (menurut
kebiasaan)
 Para ulama sepakat bahwa wadi’ah adalah salah
satu akad dalam rangka tolong-menolong
antara sesama manusia. Dasar-dasar hukum
wadi’ah yaitu :
 1. Al-Qur’an
Al-Wadi’ah adalah amanat bagi orang yang
menerima titipan dan ia wajib
mengembalikannya pada waktu pemilik
memintanya kembali. Allah Swt berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya” (Qs. An-Nisa 4:58)
 2. As-Sunnah
Rasulullah Saw bersabda, “Tunaikanlah amanah
(titipan) kepada yang berhak menerimanya dan
jangan membalas khianat kepada orang yang telah
mengkhianatimu” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi
menurut hadist ini hasan sedangkan Imam Hakim
mengkategorikannya shahih).
 3. Ijma
Ibnu Qudamah rh menyatakan bahwa sejak zaman
Rasulullah Saw sampai generasi berikutnya, wadi’ah
telah menjadi ijma’ ‘amali yaitu konsensus dalam
praktek bagi umat Islam dan tidak ada orang yang
mengingkarinya.
 Jumhur ulama mengatakan bahwa rukun
wadi’ah ada 3 :
1. Orang yang berakad, yaitu terdiri dari :
a. Pemilik barang/penitip (Muwaddi’)
b. Pihak yang menyimpan /dititipi
(Mustauda’)
2. Barang/uang yang disimpan (Wadi’ah)
3. Ijab qobul/kata sepakat (Sighat)
 1. Orang yang berakad harus :
- Baligh
- Berakal
- Cerdas (‘alim)
 2. Barang titipan
- Jelas (dapat diketahui jenis atau
identitasnya)
- Dapat dipegang
- Dapat dikuasai untuk dipelihara
 Wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah
wadi’ah yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih.
Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini
dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum dan
piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang
nasabah dalam berbagai proyeknya.
 Sebagaimana nasabah terbebas dari segala risiko
yang terjadi pada dananya. Karena alasan ini, banyak
dari ulama kontemporer yang mengkritisi
penamaannya dengan wadi’ah. Dan sebagai gantinya
mereka mengusulkan untuk menggunakan istilah lain,
semisal al-hisab al-jari atau yang secara bahasa
bermakna account
 Secara etimologi, rahn berarti tetap dan lama
yakni tetap berarti pengekangan dan keharusan.
 Sedangkan menurut istilah ialah penahanan
terhadap suatu barang sehingga dapat dijadikan
sebagai pembayaran dari barang tersebut.
 Akan tetapi menurut ulama hanafiyah Gadai
secara istilah ialah mnjadikan suatu benda
sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan
pembayar ketika berhalangan dalam membayar
utang.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah 282 yang artinya
‘ hai orang-orang yanhg beriman jika kamu tidak bermuamalah secara tunai
untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya dan
persaksikanlah dengan orang lelaki saksi diantaramu. Jika tidak ada 2 lelaki
maka voleh 1 orang lelaki dan 2 orang perempuan ’
2. Hadits
Hadits riwayat Aisyah
‘Dari Aisyah ra sesungguhnya Nabi SAW pernah membeli makanan dari
seorang Yahudi dengan berutang dengan tempo tertentu. Beliau menjadikan
baju perangnya menjadi jaminan utang tersebut’
3. Ijtihad Ulama
Perjanjian gadai dalam pengembangan selanjutnya dilakukan dengan jalan
ijtihad, dengan kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan
para ulama tidak pernah mempertentangka kebolehannya demikian juga
dengan landasan hukumnya
 Rukun rahn ada 5, yaitu:

 Yang menggadaikan (ar-Rahin)


Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang
yang akan digadaikan.
 Penerima gadai (al-murtahin)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk
mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).
 Barang Jaminan (al-marhun)
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam
mendapatkan utang.
 Utang (marhun bihi)
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar
besarnya tafsiran marhun.
 Sighat, ijab, dan qabul
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi
gadai.
Dalam setiap akad, unsur dan rukunnya harus
memenuhi syarat. Berkaitan dengan rahn,
syarat bagi para pihak yang berakad sama
dengan syarat dalam akad lainnya. Syarat
tersebut adalah :
 Para pihak harus berakal
 Sudah baligh
 Tidak dalam paksaan atau terpaksa
Syarat yang terkait dengan utang adalah:
 Utang merupakan hak yang harus dibayar;
 Jumlah utang dapat tertutupi dengan nilai
barang yang digadaikan atau jumlah utang
tidak boleh melebihi dari nilai barang yang
menjadi jaminan;
 Hak utang harus jelas.
Menurut kalangan Syafi’iyah dan Hambaliah
mensyaratkan utang adalah:
 Utang merupakan utang yang tetap dan
wajib dibayar oleh Rahin;
 Utang harus mengikat kedua belah pihak;
 Jumlah, ukuran dan sifat utang harus jelas
diantara pihak yang berakad
 Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek jual beli adalah:
 Barang yang digadaikan harus benar-benar ada dan nyata. Transaksi terhadap
barang yang belum atau tidak ada berarti tidak sah, begitu juga barang yang
belum pasti adanya, seperti binatang yang masih dikandungan ibunya;
 Objek transaksi berupa barang yang bernilai, halal, dapat dimiliki, dapat
disimpan dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya serta tidak menimbulkan
kerusakan;
 Barang yang dijadaikan transaksi merupakan hak mlik secara sah dan
kepemilikan sempurna.
 Objek harus dapat diserahkan saat transaksi, berdasarkan.berdasarkan syarat ini
maka tidak sah menggadaikan binatar liar, ikan dilautan atau burung yang
berada di awang, karena tidak bisa diserahkan kembali kepada pembeli;
 Selain syarat diatas,ada satu syarat lagi yang mutlakhrus terpenuhi, yaitu barang
yang digadaikan harus tahan lama dan tidak mudah rusak, seperti emas, perak,
logam mulia,jendaraan dan seterusnya. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah
menjadikan makananyang mudah busuk, seperti kue basah sebagai jaminan
utang, karena tidak tahan lama.
 Menurut ulama Hanafiyah, syarat barang yang harus digadaikan harus barang
yang berharga, jelas, dapat diserahterimakan, dapat disimpan tahan lama,
terpisah dari barang lainnya, baik benda bergerak maupun tidak. Lebih rincinya,
dijelaskan sebagai berikut:
 Barang yang digadaikan harus dapat diperjualbelikan; harus pada waktu akad
dan dapat diserahterimakan;
 Barang yang digadaikan harus berupa harta (kekayaan) yang bernilai;
 Barang yang digadaikan harus halal digunakan atau dimanfaatkan, sekiranya
barang tersebut dapat untuk melunasi utang;
 Barang harus jelas spesifikasinya, ukuran, jenis jumlah, kualitas, dan seterusnya;
 Barang harus milik pihak yang menggadaikan secara sempurna;
 Barang yang digadaikan harus menyatu, tidak terpisah-pisah;
 Barang harus tidak ditempeli sesuatu yang tidak ikut digadaikan;
 Barang yang digadaikan harus utuh; tidak sah menggadaikan mobil hanya
seperempat atau separuhnya.
Jadi, rahn dapat dikatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat-syarat yang
telah dijelaskan diatas. Jika tidak terpenuhi salah satunya, baik dari rukun
ataupun syarat rahn, maka rahn tersebut dikatakan tidak sah.
 Dalam implementasi akad rahn di lembaga keuangan syariah ada dua
jenis, yaitu akad rahn dijadikan produk turunan berupa agungan atas
pembiayaan, dan kedua akad rahn sebagai produk utama, dalam bentuk
gadai.
1. Akad Rahn sebagai Produk Turunan (Jaminan Pembiayaan)
Harta yang diagunkan disebut al-marhûn (yang diagunkan). Harta
agunan itu harus diserahterimakan oleh ar-râhin kepada al-murtahin
pada saat dilangsungkan akad rahn tersebut. Dengan serah terima itu,
agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan
itu termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan barang
elektronik, perhiasan, dan semisalnya, maka serah terimanya adalah
dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada penerima agunan
(al-murtahin). Bisa juga yang diserahterimakan adalah sesuatu dari harta
itu, yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan
al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti
rumah, tanah dan lain-lain.
 2. Akad Rahn sebagai Produk Utama (Gadai Syariah).
Konsep operasional pegadaian syariah mengacu pada
sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas,
efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai
Islam.
Perbedaan Pegadauan Syariah dengan Pegadaian
Konvensional
Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian
bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga,
pegadaian syariah tetap mempermemberlakukan biaya
pemeliharaan dari barang yang digadaikan. Biaya itu
dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah pinjaman.
Sedangkan pada pegadaian konvesional, biaya yang harus
dibayar sejumlah dari yang dipinjamkan.
 Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata: ‫( قرض‬qaradha) yang
sinonimnya: qatha’a artinya memotong. Diartikan demikian karena
orang yang memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk
diberikan kepada orang yang menerima utang (muqtaridh). Pengertian-
pengertian Qardh menurut para ulama’:
 Hanafiah: harta yang diberikan kepada orang lain dari maal mitslii untuk
kemudian dibayar atau dikembalikan.
 Sayid Sabiq: harta yang diberikan oleh pemberi utang (muqridh) kepada
penerima utang (muqtaridh) untuk kemudian dikembalikan kepadanya
(muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu
membayarnya.
 Hanabilah: memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya
dan kemudian mengembalikan penggantinya.
 Syafi’iyah: sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu
saat harus dikembalikan).
 Qardh secara etimologi adalah pinjaman. Secara terminologi muamalah
adalah memiliki sesuatu (hasil pinjaman) yang dikembalikan (pinjaman
tersebut) sebagai penggantinya dengan nilai yang sama.
 Surat Al Baqarah (2): 245
 َ ِ‫ضعَافًا َكث‬
ً ‫يرة‬ ْ َ ‫ضا ِعفَهُ لَهُ أ‬َ ُ‫سنًا فَي‬ َ ‫ضا َح‬ ً ‫َّللا قَ ْر‬
َ َّ ‫ض‬ُ ‫َم ْن ذَا الَّ ِذي يُ ْق ِر‬
ُ ‫س‬
َ‫ط َو ِإلَ ْي ِه ت ُ ْر َجعُون‬ ُ ‫ض َويَ ْب‬ُ ‫َّللاُ يَ ْق ِب‬
َّ ‫َو‬
 Barang siapa yang mau memberi pinjaman
kepada Alloh pinjaman yang baik, maka Alloh
akan melipatgabdakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak dan Alloh
menggenggam (menyempitkan) dan
membentangkan (melapangkan) (rezeki) dan
kepada Alloh dikembalikan kamu sekalian.
 Menurut Malikiyah, qardh hukumnya sama dengan hibah, shadaqah dan ‘ariyah,
berlaku dan mengikat dengan telah terjadinya akad walaupun muqtaridh belum
menrima barangnya. Muqtaridh boleh mengembalikan persamaan dari barang
yang dipinjamnya, dan boleh pula mengembalikan jenis barangnya, baik barang
tersebut mitslii atau ghair mitslii, apabila barang tersebut belum berubah dengan
tambah atau kurang. Apabila barang telah berubah, maka muqtaridh wajib
mengembalikan barang yang sama.
 Para ulama sepakat bahwa setiap utang yang mengambil manfaat hukumnya
haram, apabila hal itu disyaratkan atau ditetapkan dalam perjanjian. Hal ini
sesuai dengan kaidah:
 Apabila manfaat (kelebihan) tidak disyaratkan pada waktu akad maka hukumnya
boleh.
 Pengembalian utang dianjurkan untuk dilakukan secepatnya, apabila orang yang
berutang telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan. Apabila kondisi
orang yang sedang berutang sedang berada dalam kesulitan dan
ketidakmampuan, maka kepada orang yang memberikan utang dianjurkan untuk
memberikan kelonggaran dengan menunggu sampai ia mampu untuk membayar
utangnya. Hal ini sesuai dengan firman Alloh dalam surah Al Baqarah (2): 280
 Rukun Qardh
Menurut Hanafiah, rukun qardh adalah ijab dan qabul. Sedangkan
menurut jumhur fuqaha, rukun qardh adalah 1) ‘aaqid, yaitu
muqridh dan muqtaridh; 2) ma’qud ‘alaih, yaitu uang dan barang;
dan 3) shigaht, yaitu ijab dan qabul.
 1. ‘Aaqid
Baik muqridh maupun muqtaridh disyaratkan harus orang yang
dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul adaa’.
Syafi’iyah memberikan persyaratan untuk muqridh, antara lain: a)
ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru’; b) mukhtar
(memiliki pilihan). Sedangkan untuk muqtaridh disyaratkan harus
memiliki ahliyah atau kecakapan untuk melakukan muamalat,
seperti baligh, berakal, dan tidak mahjur ‘alaih.
 2. Ma’qud ‘Alaih
Menurut jumhur ulama yang terdiri atas Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah, yang menjadi obyek akad dalam al qardh sama dengan obyek
akad salam, baik berupa barang-barang yang ditakar (makilat) dan
ditimbang (mauzunat), maupun qimiyat (barang-barang yang tidak ada
persamaannya di pasaran), seperti hewan, barang-barang dagangan, dan
barang yang dihitung. Setiap barang yang boleh dijadikan obyek jual beli,
boleh pula dijadikan obyek akad qardh.
 3. Shighat
Qardh adalah suatu akad kepemilikan atas harta, oleh karena itu akad
tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan qabul, sama seperti
akad jual beli dan hibah. Shighat ihab dengan lafal qardh dan salaf, atau
dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “Saya
milikkan kepadamu barang ini, dengan ketentuan Anda harus
mengembalikan pada saya penggantinya”.
 1. Karena utang piutang sesungguhnya merupakan sebuah
transaksi (akad), maka harus dilaksanakan melalui ijab dan qabul
yang jelas sebagaimana jual beli, dengan menggunakan lafadzh
qard, salaf atau yang sepadan dengannya. Masing-masing pihak
harus memenuhi persyaratan kecakapan bertindak hukum dan
berdasarkan iradah (kehendak bebas).
 2. Harta benda yang menjadi objeknya harus mal-mutaqawim.
Mengenai jenis harta benda yang dapat menjadi objek utang
piutang terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha mazhab.
 3. Akad utang piutang tidak boleh dikaitkan dengan suatu
persyaratan diluar utang piutang itu sendiri yang menguntungkan
pihak muqridh (pihak yang menghutanginya).
 Implementasi Qardh di perbankan syariah, secara teknik diatur dalam pasal18
PBI No. 7/46/PBI/2005, dan SE BI No. 10/14DPb/2008, Bagian III 8. Keberadaan
kedua peraturan ini satu denngan yang lainnya saling melengkapi. Persyaratan
pembiayaan berdasarkan akad qardh di kedua peraturan ini, meliputi: ketentuan
yang terkait dengan bank; ketentuan yang terkait dengan nasabah; dan sumber
dana pinjaman. Persyaratan yang terkait dengan bankk adalah:
 (1) bank bertindak sebagai penyedia dana untuk pinjamana qardh bagi
kepentingan nasabah serta menjelaskan kepadannya karakteristik produk
pembiayaan atas dasar qardh disamping hak dan kewajiban nasabah;
 (2) bank berkewajiban memeriksa dan menganilisis rencana pembiayaan atas
dasar qardh kepada nasabah. Namun, di sisi lain bankdilarang untuk meminta
pengembalian melebihi jumlah nominal sesuai akad serta dilarang pula
membebankan biaya apa pun, kecuali biaya administrasi dalam batas kewajaran.
Ketentuan bagi bank selaku muqarridh dalam PBI dan SE.BI ini bersinergi dengan
yang tertuang dala fatwa DSN MUI No. 19 tahun 2000 yang menjelaskan bahwa
al-qardh adalah pinjamman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh)
semntara bank adalah pihak yang menyediakan dana.

Anda mungkin juga menyukai