Anda di halaman 1dari 29

REFERAT FRAKTUR MAKSILOFACIAL

Disusun oleh :
Albert Arifin 112017189
Febby Farihindarto 112018060
Gabriella Selara Pangarepo 112018046
Angelia Winoto 112018095
Latar Belakang

Fraktur nasal merupakan suatu keadaan yang disebabkan


oleh trauma yang ditandai dengan patahnya tulang hidung
baik sederhana maupun kominunitiva. Fraktur nasal sering
menyebabkan deformitas septum nasal karena adanya
pergeseran septum dan fraktur septum. Fraktur tulang ini
harus cepat direposisi dengan anestesi local dan imobilisasi
dilakukan dengan memasukan tampon ke dalam lubang
hidung dan dipertahankan dalam 3-4 hari.
Definisi

Fraktur maksilofasial adalah hilangnya kontiunitas


pada tulang-tulang pembentuk wajah akibat
langsung dari trauma. Tulang-tulang maksilofasial
merupakan tulang-tulang pembentuk tengkorak
bagian depan, terdiri dari tulang-tulang pipih dan
menonjol seperti tulang nasal, zigoma, maksila dan
mandibula sehingga lebih rentan terkena trauma
dan terjadi fraktur.
Tulang-tulang • Tulang hidung (os
maksilofasial nasale)
terdiri dari • os zygomaticus
• os maxilaris
• os mandibula
• Os lacrimale
• Os palatinum
• Concha nasal inferior
• Vomer
Anatomi Maksilofasial
Klasifikasi Fraktur Maksilofasial

• Fraktur Nasal
Fraktur nasal disebabkan oleh trauma langsung. Pada
pemeriksaan didapatkan pembengkakan, epitaksis, nyeri tekan
dan teraba garis fraktur. Foto rotgen dari arah lateral dapat
menunjang diagnosis. Fraktur tulang hidung harus segera
direposisi dengan anastesia lokal dan imobilisasi dilakukan
dengan memasukkan tampon ke dalam lubang hidung yang
dipertahankan selama tiga sampai empat hari. Patahan dapat
dilindungi dengan gips tipis berbentuk kupu-kupu untuk satu
hingga dua minggu.
• Fraktur Maksila
Le Fort membedakan fraktur atas tiga macam yaitu fraktur
sepertiga atas (Le Fort III) dengan batas tepi atas orbita yaitu
bagian os frontalis, fraktur sepertiga tengah (Le Fort II) yang
dibatasi oleh tepi atas orbita dan tepi bawah baris gigi atas atau
bagian maksila dan fraktur sepertiga bawah
• Lefort (Le Fort
I fraktur I) yang
transversal
meliputi daerah mandibula • Lefort II fraktur berbebntuk piramida
• Lefort III fraktur yang melewati sutura
zigomatikofrontalis
Gejala klinis

Gejala klinis akibat fraktur maxilla : nyeri, bengkak


terutama pada jaringan periorbita, hematom periorbita,
maloklusi yaitu rasa tidak nyaman ketika menggigit karena
gigi geligi pada rahang atas tidak pas terkatup dengan gigi
geligi pada rahang bawah, laserasi intraoral, nyeri ketika
mengunyah, krepitasi, deformitas, floating maxilla,
epistaksis, dan rinore
• Anamnesis
Penegakan fraktur • pemeriksaan fisik
maksila • pemeriksaan
penunjang

Pemeriksaan fraktur maxilla Pemeriksaan penunjang untuk


pemeriksaan floating maxilla penegakan diagnosis fraktur maksila
dengan cara dahi difiksasi dengan CT-scan 3D merupakan gold standard
tangan kiri, kemudian maxilla pemeriksaan pada pasien yang dicurigai
dipegang dengan ibu jari di luar mengalami fraktur maksilofasial.
dan telunjuk di palatum durum, Pemeriksaan fraktur maksila juga dapat
gerakan maksila ke depan dan ke dilakukan dengan menggunakan foto
belakang menunjukkan adanya polos Waters, Caldwel,
fraktur maxilla submentovertek, dan lateral
Fraktur Kompleks Zigoma
Cedera yang menimbulkan fraktur zigoma
biasanya akibat suatu benturan pada korpus
zigoma atau tonjolan malar.
Dasar orbita juga dapat mengalami fraktur pada
proses tersebut sehingga akan menimbulkan
desakan pada cavum orbita dan diteruskan ke
dinding-dinding cavum orbita, dimana daerah
yang lemah adalah tepi medial bawah cavum
orbita (lamina papirasea) menyebabkan terjadinya
fraktur di daerah tersebut disertai bola mata
masuk ke dalam (enoftalmus) disertai dengan
terjepitnya m. rektus inferior di dalam patahan
sehingga gerakan bola mata sangat terganggu dan
mengalami diplopia. Gejala lain yaitu keliling mata
kehitaman, yakni ekhimosis dan pembengkakan
pada kelopak mata, hipoestesi/anestesi pipi akibat
cedera n. infraorbitalis atau hipoestesi/anestesi
dahi karena kerusakan n. supraorbitalis.
Gejala klinis fraktur zigoma

• Pipi menjadi lebih rata jika dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum trauma
• Diplopia
• terbatasnya gerakan bola mata
• edema periorbita
• Ekimosis
• Perdarahan subkonjungtiva
• Enoftalmus
• Ptosis
• Terdapatnya hipestesia atau anetesia karena kerusakan saraf infra orbitalis
• Terbatasnya gerakan mandibula
• Efisema subkutis
• Epistaksis yang terjadi pada antrum.
• Penggunaan CT-scan dan foto rontgen sangat membantu
menegakkan diagnosa, mengetahui luasnya kerusakan akibat
trauma, dan perawatan. CT-scan pada potonan axial maupun
coronal merupakan gold standard pada pasien dengan
kecurigaan fraktur zigoma. Penilaian foto polos untuk menilai
kecurigaan fraktur zigoma dapat menggunakan foto Waters,
Caldwel, submentovertek, dan lateral.
Fraktur Mandibula

• Dingman mengklasifikasikan fraktur mandibula secara


sederhana, dibagimenjadi tujuh regio yaitu:
– badan (corpus),
– simfisis sudut (angulus)
– ramus
– prosesus koroideus
– prosesus kondilus
– prosesus alveolar
Fraktur Multipel Maksilofasial
a. Fraktur Nasoorbitoetmoidalis
Fraktur pada daerah nasoorbitoethmoid (NOE) yang terdiri
dari:
– os frontal
– nasal
– maksila
– lakrimal
– etmoid
– sfenoid
sering terjadi karena benturan dengan kecepatan tinggi dan
biasanya disertai trauma lain seperti toraks dan abdomen.
b. Fraktur Tripod
– Fraktur tripod disebabkan oleh trauma tumpul yang
kuat pada wajah.
– Fraktur tripod meliputi tiga titik pemisahan yaitu fraktur
pada rima infraorbitalis, diastasis sutura zigomatikus-
temporalis pada arkus zigomatikus, dan terputusnya
sutura zigomatikus-frontal pada dinding lateral orbita.

– Tiga garis fraktur dapat menyebabkan


terbentuknya fragmen tulang yang
mengambang bebas menyerupai tripod.
– Pemeriksaanfisik dapat memperlihatkan
asimetri wajah, perdarahan subkonjungtiva
lateral, ekimosis periorbita, dan epistaksis.
c. Fraktur Panfasial
– Fraktur panfasial adalah fraktur yang
mencakup dua dari tiga area wajah yaitu
tulang frontal, wajah tengah dan mandibula.
- Dengan pemerikasaan ct-scan 3D, keparahan
dan pola fraktur pansial dapat ditentukan
dengan seksama sehingga rekonstruksi dapat
direncanakan dengan baik.
Etiologi

Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu:


• ¤Mendapat serangan misal dipukul.
• ¤Injury karena olah raga
• ¤Kecelakaan (personal accident).
• ¤Kecelakaan lalu lintas.
Manifestasi Klinis

Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :


• Dislokasi, berupa perubahan posisi yang menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur mandibula
• Pergerakan abnormal pada sisi fraktur
• Rasa nyeri pada sisi fraktur
• Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur
• Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
• Laserasi yang terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur
• Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
• Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola mata dan
penurunan visus.
Diagnosis
Anamnesis
Aspek yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai
berikut :
• Bagaimana mekanisme cedera? Apakah
• pasien kehilangan kesadaran ?
• Apakah ada gangguan penglihatan, pandangan
kabur, nyeri, ada perubahan gerakan mata?
• Apakah pasien memiliki kesulitan bernafas
melalui hidung ? Apakah pasien memiliki
manifestasi berdarah seperti keluar darah dari
hidung ?
• Apakah pasien mengalami kesulitan membuka atau
menutup mulut?
• Apakah pasien ada merasakan seperti kedudukan tidak
normal
Pemeriksaan Fisik

• Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan
perdarahan, Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.
• Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi.
• Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang
frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang
atas.
• Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos, ketajaman visual, kelainan
gerakan okular dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.
• Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
• Periksa hidung meraba fraktur dan krepitasi.
• Periksa septum hidung untuk hematoma, laserasi, fraktur, atau dislokasi,
• Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara Bimanual meraba
mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas.
Penatalaksanaan

• Fraktur pada maksilofasial cara penanganan pertama : primary


survey, resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi definitif.
• Medikamentosa bertujuan untuk mengurangi morbiditas pada
pasien, dengan pemberian analgetik, antibiotik, ATS, dan
antiemetik.
• Prinsip penanganan fraktur maksila sama dengan penanganan
fraktur yang lain : reposisi, fiksasi, imobilisasi dan rehabilitasi.
• Tindakan penanganan fraktur secara definitif yaitu
reduksi/reposisi fragmen fraktur, fiksasi fragmen fraktur dan
imobilisasi sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan
tidak bergerak sampai fase penyambungan dan penyembuhan
tulang selesai.
• Pada teknik tertutup, fiksasi fraktur dan imobilisasi fraktur
dilakukan dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi
maksilomandibular misalnya dengan arch bar atau
interdental wiring.
• Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan
pembedahan, dan segmen direduksi dan difiksasi secara
langsung dengan menggunakan kawat (wiring) atau mini
plat dan skrup (mini plate).
• Reposisi terbuka pada fraktur maxilla bertujuan untuk
melakukan koreksi deformitas dan maloklusi yang dapat
dilakukan dengan :
1. Suspensi zygomatico circumferential wiring adalah
tindakan operasi untuk stabilisasi tulang maxilla yang
patah dengan jalan menggantungkan ke arkus zigomatikus
dengan menggunakan kawat. Suspensi ini digunakan
untuk fraktur maxilla Le Fort I atau Le Fort II.
2. Suspensi fronto circumferential wiring ialah tindakan operasi
untuk stabilisasi tulang maxilla yang terlepas dari dasar tengkorak
dengan jalan menggantungkan ke prosesus zigomatikus tulang
frontalis, bisa dilakukan untuk fraktur maxilla Le Fort I, II, dan III.
3. Interoseus wiring adalah tindakan operasi untuk fiksasi antara
dua fragmen tulang yang patah dengan cara mengikat kedua
fragmen menggunakan kawat kecil.
Komplikasi

1. Hematom septi = komplikasi yang sering dan serius


dari trauma nasal. Septum hematom ditandai dengan
adanya akumulasi darah pada ruang subperikondrial.
Ruangan ini akan menekan kartilago di bawahnya, dan
mengakibatkan nekrosis septum irreversible.

Bilateral septal hematomas associated


with a nasal fracture
2. Fraktur dinding orbita
Fraktur pada dinding orbita dan lantai orbita akibat pukulan dapat terjadi. Gejala
klinis yang muncul adalah disfungsi otot ekstraokuler
3. Fraktur septum nasal
Trauma pada hidung bagian bawah akan menyebabkan fraktur septum nasal tanpa
adanya kerusakan tulang hidung.
4. Fraktur lamina kribriformis
Merupakan predisposisi pengeluaran cairan cerebrospinalis, yang akan
menyebabkan komplikasi berupa meningitis, encephalitis dan abses otak
Prognosis

• Kebanyakan fraktur nasal tanpa disertai dengan perpindahan posisi akan


sembuh tanpa adanya kelainan kosmetik dan fungsional. Dengan teknik reduksi
terbuka dan tertutup akan mengurangi kelainan kosmetik dan fungsional pada
70 % pasien.
Kesimpulan

Fraktur maksilofasial adalah fraktur pada tulang-tulang pembentuk wajah akibat


langsung dari trauma. Fraktur maksilofasial melibatkan tulang – tulang
penyusun wajah atau tengkorak bagian depan dan bisa terjadi hanya pada satu
tempat ataupun kompleks. Diagnosa klinis fraktur maksilofasial ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan fraktur maksilofasial memiliki prinsip penatalaksaan yang
sama dengan penatalaksanaan kasus trauma pada umumnya. Penanganan
dimulai dengan penilaian awal pada primary survey, resusitasi, secondary
survey, dan terapi definitif.

Anda mungkin juga menyukai