Anda di halaman 1dari 34

Fazria Nasriati

Pendahuluan
 = Enteric fever
 Etiologi : bakteri gram negatif, S. enterica serotype Typhi
(dulu dikenal dengan S.typhi): genus Salmonella, famili
Enterobacteriaceae.
 Tidak berkapsul, mempunyai flagela, mempunyai
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapisan
luar dari dinding sel  ENDOTOKSIN ..
Pendahuluan
 Berdasarkan manifestasinya, dibagi menjadi :
 salmonella invasif (typhoidal) dan non invasif
(non typhoidal).
 typhoidal dibagi menjadi S. Typhii dan S.
paratyphii.
 Bakteri dapat bertahan hidup selama berhari-hari di
air tanah, air kolam, atau air laut dan selama
berbulan-bulan dalam telur yang sudah
terkontaminasi atau tiram yang dibekukan.
 ditularkan melalui makanan atau air yang
terkontaminasi oleh feses. Semakin sedikit jumlah
kuman semakin lama masa inkubasinya

Bhutta ZA. Typhoid fever: current concepts. . Infect Dis Clin Pract 2006;14:266-72.
Patogenesis

Widodo D. Demam Tifoid. In: Setiati S AI, Sudoyo AW, Simadibrata K, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI
ed. Jakarta: InternaPublishing; 2015. p. 549-58
• Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan dan gangguan organ lainnya. Bila tidak
terdapat komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan dalam waktu 2-4 minggu.

Widodo D. Demam Tifoid. In: Setiati S AI, Sudoyo AW, Simadibrata K, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI ed.
Jakarta: InternaPublishing; 2015. p. 549-58
de Jong HK, Parry CM, van der Poll T, Wiersinga WJ (2012) Host–Pathogen Interaction in Invasive Salmonellosis. PLoS
Pathog 8(10): e1002933.
Manifestasi Klinis
 Inkubasi : 7 – 14 hari (rentang 5 – 21 hari)
 Minggu ke 1 :
- demam remiten (meningkat perlahan-lahan
terutama pada sore hingga malam hari)
- nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, dispepsia, batuk
ringan non produktif.
 Minggu ke 2 :
- demam kontinyu 40ºC, bradikardia relatif, lidah
berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan
mental (somnolen, sopor, koma, delirium, atau psikosis),
roseolae.
Manifestasi Klinis
 Minggu ke 3 :
 Perburukan kondisi secara progresif
- Komplikasi perdarahan saluran cerna,
hepatosplenomegali, perforasi usus terutama di
distal ileum dan peritonitis.
- Syok sepsis atau perubahan kesadaran (15%).
- Demam masih tinggi dengan perubahan suhu
yang minimal sepanjang hari.
- Toksemia berat, miokarditis, perdarahan atau
perforasi usus Kematian
Diagnosis
 Gejala klinis
 Definitif : kultur darah /sumsum tulang (ditemukan S.
Typhii atau S. Paratyphii
 Non spesifik :
- Leukopenia, hitung jenis leukosit  aneosinofilia,
limfopenia, atau neutropenia.
- Anemia ringan dan trombositopenia.
- LED ↑
- SGOT dan SGPT sering kali meningkat (akan
normal setelah sembuh)
Skor Nelwan
No Tanda dan/atau gejala Skor
1 Demam < 1 minggu 1
2 Sakit kepala 1
3 Lemas 1  skor >13  Kemungkinan besar
4 Mual 1 demam tifoid
5 Nyeri perut 1  skor 8-12  kemungkinan demam
6 Anoreksia 1 tifoid sebesar 50%.
7 Muntah 1  skor <7 kemungkinan kecil menderita
8 Gangguan motilitas usus 1 demam tifoid.
9 Insomnia 1
10 Hepatomegali 1
11 Splenomegali 1
12 Demam > 1 minggu 2
13 Bradikardia relatif 2
14 Lidah kotor 2
15 Melena 2
16 Gangguan kesadaran 2
Skor total 20
Tes Widal
 mendeteksi antibodi terhadap kuman S. typhi.
 terjadi aglutinasi antara antigen kuman S. Typhi
dengan antibodi  aglutinin.
 Antibodi yang dideteksi tersebut dapat berasal dari
aglutinin O (dari lipopolisakarida/LPS kuman),
aglutinin H (dari flagel kuman) atau aglutinin Vi .
 aglutinin O dan H  diagnosis demam tifoid.
 Pembentukan aglutinin mulai terjadi akhir minggu I
demam, meningkat cepat dan mencapai puncak pada
minggu IV dan tetap tinggi selama beberapa minggu.
Tes Widal
 Pada fase akut timbul aglutinin O (hari ke 6-8) yang meningkat
secara progresif, lalu menurun dan menghilang setelah 4-6
bulan.
 Antibodi H muncul sesudah O (hari 10-12) dan bertahan lebih
lama (9-12 bulan).
 Belum ada kesepakatan pendapat mengenai titer aglutinin
yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid.
 Penelitian terakhir di Jakarta menggunakan Widal dengan
batas cut-off agglutinin O >1/640 atau H >1/1280 atau
peningkatan titer O dua kali dibandingkan dengan titer
sebelumnya untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dan titer
O 1/320 atau titer H 1/640 untuk kasus probable.

Nelwan R, Chen K, Nafrialdi, Paramita D. . Open study on efficacy and safety of levofloxacin in treatment of uncomplicated typhoid fever in
Southeast Asian. J Trop Med Public Health. 2006;37:126-30.
Suhendro, Chen K, Pohan HT. Open study on efficacy and tolerability of ciprofloxacin XR compared with ciprofloxacin BID in the treatment of
typhoid fever. Indones J Intern Med. 2007;39:22-6.
Tes Widal
 Faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain:3
 Pengobatan dini antibiotik
 Gangguan pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid
 Waktu pengambilan darah
 Daerah endemik atau nonendemik
 Riwayat vaksinasi
 Reaksi anamnestic (peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam
tifoid akibat infeksi demam tifoid di masa lalu atau vaksinasi)
 Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang,
dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen

 Dapat terjadi reaksi silang dengan kuman Salmonella non typhoid, kuman
Enterobacteriacae lainnya, atau dengan malaria, dengue, dan TB.
Typhidot
 Miniatur dot-blot ELISA yang mendeteksi antibodi IgG dan IgM
terhadap protein membran luar S. typhi
 Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah
infeksi.
 Sensitivitas TUBEX TF dan Typhidot 56-95% dan 56-84%
berturut-turut, serta spesifisitas 72-95% dan 31-97% berturut-
turut.
 Pada kasus reinfeksi respons imun sekunder (IgG) teraktivasi
secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat
bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja
tidak dapat untuk membedakan infeksi akut dan kasus
reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer
Tubex
 Uji diagnostik in vitro semi kuantitatif, deteksi spesifik
adanya serum antibodi lgM dalam menghambat
reaksi antara antigen berlabel partikel lateks
magnetik (reagen warna coklat) dan monoklonal
antibodi berlabel lateks warna (reagen warna biru),
 Tingkat inhibisi yang dihasilkan setara dengan
konsentrasi antibodi lgM S. Typhi dalam sampel.
 Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan
warna akhir reaksi terhadap skala warna
Kultur Darah
 Hasil positif  dx pasti demam tifoid, hasil negatif tidak menyingkirkan dx.
 Sensitivitas 40-80% (lebih tinggi pada pemeriksaan minggu I demam.) 13.
 Dipengaruhi oleh :
1. Terapi antibiotik sebelumnya
2. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah
dan sebaiknya langsung dimasukkan ke media cairan empedu)
3. Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama demam.
4. Riwayat vaksinasi sebelumnya
Kultur aspirasi sumsum tlg sensitivitas tinggi >80% walau telah mendapat AB
dan tidak tergantung waktu pengambilan sampel.
 Kekurangan: perlu lab mikrobiologi yang umumnya tidak tersedia atau tidak
sesuai standar di negara endemis dan perlu waktu lama u/ hasil biakan (>1
hari).3
Kultur Sumsum Tulang
 Sensitivitas tinggi >80% (walau telah mendapat AB dan tidak
tergantung waktu pengambilan sampel)
 Kekurangan : perlu lab mikrobiologi yang umumnya tidak
tersedia atau tidak sesuai standar di negara endemis dan perlu
waktu lama u/ hasil biakan (>1 hari).3
Kultur Lain
 Kultur dari tempat lain : urin, feses, atau swab rektal
(lebih tidak invasif).
 Kuman pada feses, urin  minggu ke-2 dan ke-3 u/
karier tifoid terutama daerah endemik.
 Kuman dalam tinja minggu pertama (10-15%) hingga
minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.
 Kekurangan: perlu lab mikrobiologi yang umumnya
tidak tersedia atau tidak sesuai standar di negara
endemis dan perlu waktu lama u/ hasil biakan (>1
hari).3
Typhoid Carrier
 Ditemukan kuman salmonella typhii pada kultur feses
atau urin , namun tidak ditemukan tanda klinis.
 Dikatakan bukan karier apabila setelah dilakukan
minimal 6 kali pemeriksaan tidak ditemukan S.
Typhii.
 Tata laksana :
- fluoroquinolone selama 14 hari.
- kolesistektomi dipertimbangkan.
Komplikasi
Komplikasi intestinal:
 Perdarahan  luka menembus lumen usus dan mengenai
pembuluh darah
 Perforasi  3% pasien yg dirawat. Gejala nyeri perut
hebat di kuadran kanan bawah yang menyebar ke seluruh
perut dan disertai tanda ileus. Bising usus melemah pada
50% kasus, pekak hati hilang, nadi cepat, tekanan darah
turun, syok, leukositosis, BNO 3 posisi  udara bebas
pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan
 ileus paralitik,
 pancreatitis
Tata Laksana
 Istirahat dan perawatan: dg tujuan mencegah
komplikasi dan mempercepat penyembuhan
 Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di
tempat tidur
 Jaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
peralatan yang dipakai
 Jaga hygiene perorangan
Tata Laksana
 Terapi simptomatik dan suportif :
Diet bubur saring /lunak, rendah serat (untuk
menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna
atau perforasi usus)
 Cairan adekuat
 Antipiretik
Terapi antimikroba
Antibiotik
 Fluoroquinolone : paling efektif (angka kesembuhan 98%,
kekambuhan dan karier <2%), bebas demam dalam 3—5 hari,
menembus jaringan baik, mampu membunuh S.thypi yang
berada dalam stadium statis dalam monosit/makrofag dan dapat
mencapai level obat yang lebih tinggi dalam kantung empedu
dibanding dengan obat yang lain.
 Ceftriaxon (dosis 1x3-4 gram dalam dextrose 100 cc drip IV
selama 30 menit, diberikan selama 3-5 hari), cefotaxim, dan
cefoperazone efektif untuk tata laksana demam enterik yanga
resisten dengan banyak antibiotik, angka kekambuhan dan
karier <3%, bebas demam dalam 1 minggu.
 Azithromycin (dosis 2x500 mg ) : angka kekambuhan dan karier
<3%, turun demam dalam 4-6 hari.
Kortikosteroid
 Dexamethason, 3 mg/kg  1 mg/kg tiap 6 jam..
 Diindikasikan pada toksik tifoid / demam tifoid
dengan syok sepsis.
 Wanita hamil dg demam tifoid, pilihan obat yang
paling aman  ampicillin, amoksisilin, dan
ceftriaxone.
 Pemberian kloramfenikol tidak dianjurkan pada
trimester 3 (partus prematurus, kematian fetus
intrauterine, dan grey baby syndrome).
 Tiamfenikol tidak dianjurkan pada TM 1 karena efek
teratogenik terhadap fetus manusia masih belum
dapat disingkirkan. 3
Komplikasi
Komplikasi ekstra-intestinal:
 Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis
(1-5%), tromboflebitis
 Komplikasi hematologi: anemia hemolitik, trombositopenia, DIC,
thrombosis. Trombositopenia dapat terjadi karena menurunnya
produksi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau
meningkatkanya destruksi trombosit di RES. Pelepasan kinin,
prostaglandin, dan histamine menyebabkan vasokonstriksi dan
kerusakan endotel pembuluh darah.
 Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis
 Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis. Pembengkakan hati
ringan-sedang dijumpai pada 50% kasus.
• Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis,
arthritis.
• Komplikasi neuropsikiatri/tifoid toksik: delirium, koma,
kejang, transient parkinsonism, mioklonus generalisata,
meningitis, polyneuritis perifer, psikosis.
Vaksinasi
 Indikasi  rencana berkunjung ke daerah endemik tifoid (1
minggu sebelumnya), pada orang yang terpapar penderita
tifoid karier, atau petugas laboratorium/ mikrobiologi, anak
usia sekolah di daerah endemik, industri makanan/ minuman.
 Vaksin hidup oral Ty21a (belum beredar di Indonesia) : vaksin
S. Typhii yang dilemahkan, oral, diberikan pada hari ke 1,3,5
dan 7 dengan booster tiap 5 tahun. Minimal usia 6 tahun.
 Vaksin parenteral Vi Capsular Polisakarida (ViCPS) :
dimurnikan dari kapsul bakteri, dosis tunggal, booster tiap 2
tahun, minimal usia 2 tahun
 Kontraindikasi: Vaksin hidup oral dikontraindikasikan pada
pasien yang alergi, imunitas menurun, dan kehamilan (karena
sedikitnya data).

Anda mungkin juga menyukai