Anda di halaman 1dari 14

 Di samping pengertian tersebut, M.M.

Azami
mendefinisikan bahwa kata ‘hadits’(Arab: al-
hadits), secara etimologi (lughawiyah), berarti
‘komunikasi’, ‘kisah’, ‘percakapan’: religius atau
secular, historis atau kontemporer
 Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada nabi Muhammad saw, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan
dan himmahnya Nabi SAW
 Ulama sepakat bahwa yang dimaksud
dengan tahamul adalah “mengambil atau
menerima hadits dari seorang guru dengan salah
satu cara tertentu.
 Kata ada’ (ٌ‫ )أ َ َداء‬berasal dari kata ‫تَا ْ ِديَةٌ –يُؤْ ِدى –أ َ َّدى‬
yang artiya melaksanakan pekerjaan pada
waktunya, membayar pada waktunya, atau
menyampaikan kepadanya
 Para ulama mengistilahkan menyampaikan atau
meriwayatkan hadits kepada orang lain dengan
istilah al-ada’
 Syarat yang pertama perawi dalam tahammul al-hadits adalah tamyiz.
 Menurut al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hamal seorang anak bisa disebut
tamyiz jika sudah mampu untuk membedakan antara sapi dan khimar.
 Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan
menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal
 Seorang yang belum baligh boleh menerima hadits asalkan ia sudah
tamyiz. baligh seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas,
dan lain-lain
 Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman
anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan
baik dan benar.
 Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul adalah usia lima
tahun
 Abu Abdullah az-Zubairi mengatakan bahwa seorang anak boleh
bertahammul jika telah berusia sepuluh tahun
 Sedangkan Yahya ibn Ma’in menetapkan usia lima belas tahun
 Mengenai Penerimaan hadist bagi orang kafir dan fasik
jumhur ulama ahli hadist menganggap sah asalkan hadist
tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka
telah masuk islam dan bertobat . alasan yang mereka
kemukan adalah banyaknya kejadian yang mereka
saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda
Nabi SAW sebelum mereka masuk islam . diantara
sahabat yang mendengar sabda nabi sebelum masuk
islam adalah sahabat Zubair. Dia pernah mendengar rasul
membacakan surat At Thur pada waktu sembayang
magrib ketika dia di madinah untuk menyelasaikan urusan
perang badar dalam keadaan masih kafir akhirnya ia
masuk islam
 a. As-Sima’, yaitu guru membaca hadis didepan para muridnya. Bentuknya
bisa membaca hafalan, membaca dari kitab, tanya jawab dan dikte.
 b. Al-‘ardlu, yaitu seorang murid membaca hadis di depan guru. Dalam metode
ini seorang guru dapat mengoreksi hadis yang dbaca oleh muridnya. Istilah yang
dipakai adalah akhbarana.
 c. Al-Ijazah, yaitu pemberian ijin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan
buku hadis tanpa membaca hadis tersebut satu demi satu. Istilah yang dipakai
adalah an-ba-ana.
 d. Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadis
tanpa menyuruh untuk meriwayatkannya. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
 e. Al-Kitabah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk seseorang, hal ini mirip
dengan metode ijazah.
 f. I’lam as-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadis
dalam kitab tertentu adalah hasil periwayatan yang diproleh dari seseorang
tanpa menyebut namanya.
 g. Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis kepada muridnya
sebelum meninggal.
 h. Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan hadis seseorang tanpa
ada rekomendasi untuk meriwayatkannya
 Yakni medengar sendiri dari perkataan gurunya, baik
dengan cara didektekan mauipun bukan, dan baik dari
hafalannya maupun dari tulisannya. Sehingga yang
menghadirinya mendengar apa yang disampaikan
tersebut.
 Lafadh-lafadh yang digunakan oleh rawi dalam
meriwayatkan hadis atas dasar sama'
 ‫ أخبرنا‬،‫( أخبرنى‬seseorang mengabarkan kepadaku/kami)
 ‫ حدثنا‬،‫( حدثنى‬seseorang telah bercerita kepadaku/kami)

‫ سمعنا‬،‫( سمعت‬saya telah mendengar, kami telah
mendengar)
 Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang
membacakan hadis dihadapan gurunya, baik dia sendiri
yang membacakan maupun orang lain, sedangkan sang
guru mendengarkan atau menyimak, baik guru itu hafal
maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau
mengetahui tulisannya
 Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan
hadis-hadis berdasarkan Qira’ah
 ‫قرآت عليه‬
 (aku telah membacakan dihadapannya)

‫قرئ على فالن و أنا أسمع‬
 (dibacakan seseorang dihadapannya sedang aku
mendengarkannya)
 Yakni Seorang guru mengijinkan muridnya
meriwayatkan hadis atau riwayat, baik dengan
ucapan atau tulisan
 Lafadh-lafdh yang dipakai dalam
menyampaikan riwayat yang diterima dengan
jalur ijazah adalah ajaza li fulan – ‫أجاز‬
‫( لفالن‬beliau telah memberikan ijazah kepada si
fulan), haddatsana ijaazatan – ‫حدثنا إجازة‬,
akhbarana ijaazatan – ‫أخبرنا إجازة‬, dan anba-ana
ijaazatan – ‫(أنبأنا إجازة‬beliau telah
memberitahukan kepada kami secara ijazah).
 Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau
sebuah kitab hadis kepada muridnya untu diriwayatkan
 a. Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya
paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq.
Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang
murid, lalu mengatakan kepadannya,”Ini riwayatku dari si fulan,
maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan
bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka
diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya
lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
 b. Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang
syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya
mengatakan : ”Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh
diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.
 Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang
lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya
atau yang tidak hadir di situ
 a. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan
syaikh,”Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”,
atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah
shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah
yang disertai ijazah.
 b. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh
menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu
kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di
sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian
tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain
memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah
karya syaikh itu sendiri.
 Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang
muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini
adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak
disertakan ijin untuk
meriwayatkandaripadanya. Ketika
menyampaikan riwayat dengan cara ini, si
perawi berkata : A’lamanii syaikhi – ‫أعلمني‬
‫(شيخي‬guruku telah memberitahu
kepadaku)
 Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat
mendekati ajalnya atau dalam perjalanan,
sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang
perawi.
 Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini
perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi
kitaabin – ‫( أوصى إلي فالن بكتاب‬si fulan telah
mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau
haddatsanii fulaanun washiyyatan – ‫حدثني‬
‫( فالن وصية‬si fulan telah bercerita kepadaku
dengan sebuah wasiat).
 Islam
 Pada waktu periwayatan suatu hadits seorang
perowi harus muslim. Menurut ijma’, periwayatan hadits
oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena terhadap
riwayat orang muslim yang fasik saja dimauqufkan,
apalagi hadits yang diriwayatkan oleh orang kafir.
Walaupun dalam tahammul hadits orang kafir
diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadits ia harus
sudah masuk Islam
 Baligh
 Yang dimaksud baligh adalah perowi cukup usia ketika ia
meriwayatkan hadits. Baik baligh karena sudah berusia
lima belas tahun atau baligh karena sudah keluar mani.
Batasan baligh ini bisa diketahui dalam kitab-kitah fiqih.
 Adalah (adil)
 ‘Adl merupakan suatu sifat yang melekat, yang berupa ketaqwaan
dan muru’ah (harga diri). Sifat ‘adalahnya seorang rowi berarti
sifat ‘adlnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadits sifat ‘adalah ini
berarti orang islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari
perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya
harga diri.Jadi syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup
dua syarat sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu
sifat ‘adalah ini mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan
orang yang tak dikenal (‫)مجهول‬
 Dhabit
 Dhait ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadits harus
ingat akan hadits yang ia sampaikan tersebut. Ketika ia
mendengar hadits dan memahami apa yang didengarnya, serta
hafal sejak ia menerima hadits hingga ia meriwayatkannya.

Anda mungkin juga menyukai