Anda di halaman 1dari 44

REFARAT

Oktober 2019

TRAUMA AKUSTIK

 OLEH:
TATIANA DASMASELA
2018-84-085

PEMBIMBING:
dr. RODRIGO LIMMON, Sp.THT-KL.,MARS

 
 
 
 

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
Rumah Sakit Umum Daerah dr. M. Haulussy
Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura
Ambon
2019
PENDAHULUAN

Tujuan ; untuk membedakan pasien anak adenoiditis kronis dengan rinosinusitis


kronis (CRS) berdasarkan gejala yang muncul.

Sebuah review grafik yang disajikan dari fasilitas perawatan tersier pada pasien
anak dengan dugaan CRS dari tahun 2006-2014

membandingkan karakteristik pasien, gejala klinis, durasi gejala, serta riwayat penyakit
dahulu menggunakan model regresi logistik univariat dan multivariat yang
memanfaatkan skor computed tomography (CT).
ANATOMI TELINGA TENGAH
ANATOMI TELINGA DALAM
 Aurikula mengarahkan gelombang suara ke meatus acusticus externus.

Fisiologi Pendengaran
Ketika gelombang suara sampai ke timpani, gelombang suara tersebut akan menggetarkan membran
timpani. Membran timpani bergetar perlahan sebagai respon pada frekuensi suara rendah (nada rendah)
dan bergetar cepat sebagai respons pada frekuensi tinggi (nada tinggi).
 Bagian tengah membran timpani terhubung ke tulang pendengaran, yakni maleus yang akan bergetar
bersamaan dengan membran timpani. Getaran ini akan dilanjutkan dari maleus, incus dan kemudian ke
stapes.
 Saat stapes bergetar, foramen ovale akan ikut bergetar. Getaran pada foramen ovale sekitar 20 kali lebih
kuat dibandingkan getaran pada membran timpani karena tulang pendengaran secara efisien
mentransmisikan getaran kecil pada area permukaan yang besar (membran timpani) menjadi getaran yang
lebih besar pada permukaan yang lebih kecil (foramen ovale).
 Pergerakan stapes pada formaen ovale, akan mengatur gelombang tekanan cairan di perilymph pada
koklea. Ketika foramen ovale menonjol kedalam, akan mendorong perilymph pada skala vestibuli.
 Tekanan gelombang ditransmisikan dari skala vestibuli ke skala timpani dan akhirnya ke foramen rotundum.
 Tekanan gelombang akan berjalan melalui perilymph pada skala vestibuli, lalu menuju membran vestibular,
dan kemudin bergerak ke endolymph di dalam koklea.
 Tekanan gelombang pada endolimf akan menyebabkan membran basilar bergetar, yang akan
menggerakkan sel-sel rambut organo corti terhadap membran tectorial. Hal ini akan menyebabkan
pergerakan stereocilia dan akhirnya ke impuls saraf di neuron dalam serabut saraf koklea.
 Gelombang suara dari berbagai frekuensi menyebabkan membran basilar bergetar lebih intens daripada
daerah lain. Setiap segmen dari membran basiler bergetar lebih intens dibandingkan daerah lain. Setiap
segmen dari membran basiler “diratakan” untuk nada-nada tertentu. Karena membran di dasar koklea lebih
sempit dan kaku (lebih dekat ke formaen ovale), frekuensi tinggi (nada tinggi) berbunyi dalam mengurangi
getaran maksimal di wilayah ini. Menuju puncak koklea, membran basilar lebih lebar dan lebih lentur; suara
frekuensi rendah (nada rendah) menyebabkan getaran maksimal dari membran basilar. Kenyaringan
ditentukan oleh intensitas gelombang suara. Gelombang suara intensitas tinggi menyebabkan getaran yang
lebih besar dari membran balisel, yang menyebabkan frekuensi impuls saraf yang lebih tinggi mencapai
otak. Suara yang lebih keras juga dapat merangsang sel rambut yang lebih besar.
Peristiwa dan stimulasi reseptor pendengaran pada telinga kanan
JALUR PENDENGARAN
DEFINISI

 Trauma akustik atau Noise Induced Temporary Threshold Shift (NITTS)


merupakan istilah yang dipakai untuk menyatakan ketulian akibat pajanan
bising atau tuli mendadak akibat ledakan hebat, dentuman, tembakan
pistol atau trauma langsung ke telinga. Trauma ini menyebabkan kerusakan
pada saraf di telinga bagian dalam akibat pajanan akustik yang kuat dan
tiba-tiba. Seseorang yang pertama kali terpapar suara bising akan
mengalami berbagai gejala, gejala awal adalah ambang pendengaran
bertambah tinggi pada frekuensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak
sebagai “notch“ yang curam pada frekuensi 4000 Hz, yang disebut juga
acoustic notch. Gangguan yang dialami bisa terjadi pada satu atau kedua
telinga. Pada tingkat awal terjadi pergeseran ambang pendengaran yang
bersifat sementara, apabila penderita beristirahat diluar lingkungan bising
maka pendengarannya akan kembali normal. Salah satu bidang pekerjaan
yang berisiko tinggi terhadap terjadinya trauma akustik ini adalah militer.
ETIOLOGI

 Dapat disebabkan oleh bising yang keras dan secara tiba-tiba atau secara perlahan-
lahan yang dapat dikarenakan oleh suara ledakan bom, petasan, tembakan, konser, dan
telepontelinga (earphone). Paparan suara yang berlebihan apalagi berupa suara ledakan
dapat menyebabkan kerusakan organ korti. Terdapat berbagai cara bising dapat merusak
telinga dalam. Pemaparan bising yang sangat keras lebih dari 150 dB, scperti pada
ledakan, dapat menyebabkan tuli sensorineural ringan sampai berat. Biasanya ini timbul
pada cara pemaparan yang lebih halus dan progresif sampai pemaparan bising keras
intermitten yang kurang intensif atau pemaparan kronis bising yang kurang intensif.
Pemaparan singkat berulang ke bising keras intermitten dalam batas 120-150 dB, seperti
yang terjadi akibat pemaparan senjata api atau mesin jet, akan merusak telinga dalam.
Pemaparan kronis berupa bising keras pada pekerja dengan intensitas bising di atas 85
dB, seperti yang terjadi akibat mengendarai traktor atau mobil salju atau gergaji rantai,
nerupakan penyebab tersering dari tuli sensorineural yang diakibatkan oleh bising. Di
samping itu, pada lingkungan yang besar, seseorang dapat terpapar bising diatas dB
puda wakiu mendengarkan musik dari siste suara sterefonik atau panggung musik.
Patofisiologi

 2.5
 Pada trauma akustik terjadi kerusakan organik telinga akibat adanya energi
suara yang sangat besar. Efek ini terjadi akibat dilampauinya kemanpuan
fisiologis telinga dalam sehingga terjadi gangguan kemampuan meneruskan
getaran ke organ corti. Kerusakan dapat berupa pecahnya gendang telinga,
kerusakan tulang-tulang pendengaran, atau kerusakan langsung organ corti.
Pada trauma akustik, cedera koklea terjadi akibat rangsangan fisik berlebihan
berupa getaran yang sangat besar sehingga merusak sel-sel rambut. Namun
pada pajanan berulang kerusakan bukan hanya semata-mata akibat proses
fisik berupa mekanik
EFEK FISIOLOGI SUARA KERAS

 Perubahan fisiologis dalam tubuh hanya mulai terjadi pada tingkat tekanan suara yang lebih besar. Pada
sekitar 120 dB ketidaknyamanan dimulai di telinga dan nyeri terjadi ketika tingkat tekanan suara
mencapai gendang telinga sekitar 140 dB. Gendang telinga bisa pecah/ rusak jika tekanan suara sekitar
160 ds. Penelitian telah menyimpulkan bahwa dengan frekuensi suara rendah di wilayah 50-100 Hz
dengan tingkat suara 150 dB atau lebih, sensasi getarannya berpengauh buruk pada dada dan organ
thorax walaupun telinga terlindungi dari getaran tersebut. Perubahan fisiologis lain yang terjadi meliputi
getaran di dada dan perubahan irama pernafasan, serta sensasi getaran hipofaring (sesak nafas).
  
 Rentang frekuensi antara 50-100 Hz pada tingkat tekanan suara 150-155 dB berakibat mual ringan dan
pusing, Pada level tekanan 150 -155 dB (0,63-1,1 kPa); berpengaruh pacia respirusi. Hai ini iemasuk
juga ketidaknyamanan sub cosi, batuk, tekanan substernal parah, respirasi tersedak, dan
ketidaknyamanan hipofaring. Pada tingkat tekanan yang cukup tinggi di wilayah 140 dB maka efcknya
bisa menghilangnya pendengaran bersifat sementara atau permanen bila tckanan suara di level atasnya
140 dB ke naas, Pada tingkat akustik di atas 185 d. membran timpani bisu peuh Pudu tingkut ukustik
duri sekitur 200 dB, paru-paru mulai pecah, dan di atas sekitar 210 dB berakibat pada kematian.
Manifestasi Klinis

 Pada anamnesis penderita biasanya tidak kesulitan untuk menentukan saat terjadinya trauma
yang menyebabkan kehilangan pendengaran. 16 Ketulian yang terjadi biasanya parsial dan
melibatkan bunyi bernada tinggi. Sifat dari ketuliannya dapat progresif secara perlahan. Penderita
tuli akibat trauma akustik awalnya akan kesulitan mendengarkan suara bernada tinggi seperti
bunyi bel, suara wanita atau anak-anak. Bila paparan bising terjadi berulang kali dapat terjadi
gangguan pendengaran suara bernada rendah seperti kemampuan mendengarkan orang bicara. 6,
7, 8

 Pasien dapat mengeluhkan telinganya berbunyi (tinitus), misalnya berdering. Bila paparan tunggal,
maka lambat laun tinitus akan berkurang. Namun jika paparan berulang dan intensitas besar
makan tinitus dapat menetap. Tinitus akan lebih terasa terutama dalam suasana sunyi atau saat
akan tidur.13
 Suatu trauma akustik juga dapat diikuti oleh keluhan vertigo, terutama bila terpapar bising dengan
intensitas lebih dari 130 dB.10'12
 Pada otoskopi biasanya tidak didapati kelainan, kecuali pada kasus ekstrim dimana intensitas
bising sangat besar dapat ditemukan perforasi membran timpani dan biasanya bersifat sentral dan
steril.16
Manifestasi Klinis
DIAGNOSIS

 a. Anamnesis.10,11,12
 Pada anamnesis dapat ditanyakan:
 Jenis onset hilangnya pendengaran atau berkurangnya pendengaran, apakah tiba-tiba atau pelan-pelan (bertahap).
 Sudah berapa lama dirasakan, Apakah hilangnya pendengaran tetap (tidak ada perubahan) atau malah semakin memburuk.
 Apa disertai dengan uyeri, otore, tinitus (berdengiung di telinga), telinga terasa tersumbat, vertigo, atau gangguan
keseimbangan.
 Apakah kehilangan pendengarannya unilateral atau bilateral.
 Apakah mengalami kesulitan berbicara dan mendengar di lingkungan yang bising.
 Pada orang yang menderita tuli saraf koklea sangat terganggu oleh bising, sehingga bila orang tersebut berkomunikasi di
tempat yang ramai akan mendapat kesulitan mendengar dan mengerti pembicaraan.
 Ditanyakan juga apakah pemah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising daiam jangka waktu yang cukup lama
biasanya 5 tahun atau lebih.
 Pernahkah terpapar atau mendapat trauma pada kepala maupun telinga baik itu berupa suaru bising, suara ledakan, suara
yang keras dalam jangka waktu cukup lama.
 Apakah mempunyai kebiasaan mendengarkan headphone, mendengarkan musik dengan volume yang keras.
 Apakah mengkonsumsi obat-obatan ototoksis dalam jangka wakiu lama.
DIAGNOSIS

 b. Pemeriksaan Fisik
 Pada pemeriksaan fisis telinga tidak ditemukan adanya kelainan dari telinga luar hingga membran timpani. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan
perlu dilakukan secara lengkap dan seksama untuk menyingkirkan penyebab kelainan organik yang menimbulkan gangguan pendengaran seperti infeksi
telinga, trauma telinga karena agen fisik lainnya, gangguan telinga karena agen toksik dan alergi. Selain itu pemeriksaan saraf kranial (nervus
vestibulocochlearis) perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya masalah pada saraf yang (dapat) mengganggu pendengaran.
 c. Pemeriksaan dengan Garpu Tala
 Pada tes dengan garpu tala menunjukkan adanya tuli Sensorineural. 7,10,1
 Tes Batas Atas dan Batas Bawah: batas atas menurun
 Tes Rinne: Hasil positif
 Tes Weber: Lateralisasi ke arah telinga sehat
 Tes Schwabach: Schwabach memendek.
 d. Pemeriksaan Audiometri
 Pada pemeriksaan audiometri nada murni terdapat audiogram hantaran udara dan hantaran tulang. Kegunaan audiogram hantaran udara adalah untukk
mengukur kepekaan seluruh mekanisme pendengaran, telinga luar dan tengah serta mekanisme sensorineural koklea dan nervus auditori. Audiogram
hantaran udara diperoleh dengan memperdengarkan pulsa nada murni melalui earphone ke telinga. Kegunaan audiometri hantaran tulang adalah untuk
mengukur kepekaan mekanisme sensorineural saja. Audiogram hantaran tulang diperoleh dengan memberikan bunyi penguji langsung ke tengkorak
pasien menggunakan vibrator hantaran tulang.69.10.11
 Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat
takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian akibat taruma akustik.10,11,14
  
 PENATALAKSANAAN

 Tidak ada pengobatan yang spesifik dapat diberikan pada penderita dengan trauma
akustik. Oleh karena tuli karena trauma akustik adalah tuli saraf koklea yang bersifat
menetap (irreversible). Apabila penderita sudah sampai pada tahap gangguan pendengaran
yang dapat menimbulkan kesulitan berkomunikasi maka dapat dipertimbangkan
menggunakan ABD (alat bantu dengar) atau hearing aid. Pada pasien yang gangguan
pendengarannya lebih buruk harus dibantu dengan penanganan psikoterapi untuk dapat
menerima keadaan. Latihan pendengaran dengan alat bantu dengar dibantu dengan
membaca ucapan bibir, mimik, anggota gerak badan, serta bahasa isyarat agar dapat
berkomunikasi.15,14s
 Selain itu diperlukan juga rehabilitasi suara agar dapat mengendalikan volume, tinggi
rendah dan irama percakapan. Bila terjadi tuli bilateral berat yang tidak dapat dibantu
dengan alat bantu dengar, maka dapat dipertimbangkan dengan memasang implan koklea.
Implan koklea ialah suatu perangkat elektronik yang mempunyai kemampuan memperbaiki
fungsi pendengaran sehingga akan meningkatkan kemampuan berkomunikasi penderita tuli
saraf berat dan tuli saraf bilateral, 15,16,17
KOMPLIKASI

 Kehilangan pendengaran progresif itu adalah komplikasi utama dari trauma akustik. 3,14,17
  
 2.12 Pencegahan
 Pencegahan terhadap trauma akustik antara lain dengan menghindari suara bising dan gaduh (mendengarkan musik
yang terlalu keras dalam jangka waktu yang lama),berhati-hati dalam aktivitas yang berisiko seperti menembak, pelindung
pendengaran. Langkah terakhir dalam pengendalian kebisingan adalah dengan menggunakan alat pelindung pendengaran
(earplug, earmuff, dan helmet). Pencegahan kebisingan dapat dilakukan juga dengan pencegahan secara medis yaitu
dengan cara pemeriksaan kesehatan secara teratur.,5,17.18
 Ada 3 jenis alat pelindung pendengaran. Bentuk yang pertama berupa sumbat telinga (earplug) dapat mengurangi
kebisingan 8-25 dB. Biasanya digunakan untuk proteksi sampai dengan 100 dB. Beberapa tipe dari sumbat telinga antara
lain: Formabłe type, Costum-molded type, Premolded type. Bentuk kedua berupa tutup telinga (earmuff) dapat
menurunkan kcbisingan 25-40 dB. Digunakan untuk proteksi sapai dengan 110 dB. Bentuk ketiga berupa helm (helmet).
dapat mengurangi kebisingan 40-50.
  
 2.13 Prognosis
 Jenis ketulian pada trauma akustik ini merupakan ketulian saraf koklea yang sifatnya menetap dan tidak dapat diobati
maka prognosisnya kurang baik sehingga faktor pencegahan lebih diutamakan.
Pencegahan

 Pencegahan terhadap trauma akustik antara lain dengan menghindari suara bising dan
gaduh (mendengarkan musik yang terlalu keras dalam jangka waktu yang lama),berhati-
hati dalam aktivitas yang berisiko seperti menembak, pelindung pendengaran. Langkah
terakhir dalam pengendalian kebisingan adalah dengan menggunakan alat pelindung
pendengaran (earplug, earmuff, dan helmet). Pencegahan kebisingan dapat dilakukan juga
dengan pencegahan secara medis yaitu dengan cara pemeriksaan kesehatan secara
teratur.,5,17.18
 Ada 3 jenis alat pelindung pendengaran. Bentuk yang pertama berupa sumbat telinga
(earplug) dapat mengurangi kebisingan 8-25 dB. Biasanya digunakan untuk proteksi
sampai dengan 100 dB. Beberapa tipe dari sumbat telinga antara lain: Formabłe type,
Costum-molded type, Premolded type. Bentuk kedua berupa tutup telinga (earmuff) dapat
menurunkan kcbisingan 25-40 dB. Digunakan untuk proteksi sapai dengan 110 dB. Bentuk
ketiga berupa helm (helmet). dapat mengurangi kebisingan 40-50.
  
Prognosis

 Jenis ketulian pada trauma akustik ini merupakan ketulian saraf koklea
yang sifatnya menetap dan tidak dapat diobati maka prognosisnya
kurang baik sehingga faktor pencegahan lebih diutamakan.
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN

Rinosinusitis kronis merupakan suatu inflamasi pada sinus paranasal yg


berlangsung selama minimal 3 bulan.

Gejala CRS pada anak tidak spesifik tetapi sering berupa obstruksi
nasal, nyeri pada wajah, batuk kronis, dan drainase hidung yg purulen.

Meskipun data epidemiologi mengenai CRS pada pasien pediatrik


terbatas, saat ini diperkirakan bahwa anak dengan CRS > 5 juta
kunjungan klinik per tahun di Amerika Serikat saja.
- Gejala CRS pada anak dapat sama persis dengan adenoiditis kronis.
- Sebuah studi ; skor CT scan sinus dapat membedakan 2 penyakit
- Penelitian terbaru ; adanya discharge hidung sbg prediktor terkuat
CRS.

- Pengobatan CRS saat ini terdiri dari manajemen medis


- Jika gagal dengan terapi medis maksimal adenoidektomi/ bedah
sinus endoskopi telah terbukti efektif.

Tujuan penelitian ; menentukan apakah gejala gejala dapat


membedakan CRS dengan adenoiditis kronis menggunakan skor CT
Lund-Mackay.’
PASIEN DAN METODE
Meninjau semua anak yang datang pada Departemen Otolaringologi
anak antara tahun 2006 dan 2014 dengan diagnosis CRS.

Kriteria inklusi ; kriteria eksklusi ;


1. Anak dengan usia antara 5-15 1. Pasien dengan fibrosis kistik,
tahun diskinesia silia primer,
2. memiliki CT scan sinus yang imunodefisiensi, kelainan
dilakukan pada akhir 3 minggu kraniofasial, riwayat
setelah pemberian antibiotik oral adenoidektomi atau operasi
serta steroid topikal hidung sinus, atau polip hidung.
sebagai bagian dari perencanaan
preoperatif.
usia pasien, jenis kelamin, durasi gejala, status alergi,
status asma, dan riwayat paparan rokok dicatat.

Ditinjau ; keluhan obstruksi hidung, batuk, sakit kepala/


tekanan wajah, dan rhinorrhea purulen.

• CT scan ditinjau menggunakan parameter skoring Lund-


MacKay.
• skor CT  > 5 dianggap positif CRS
• CT skor ≤ 5 dianggap adenoiditis kronis
ANALISIS
ANALISIS
Uji  • untuk  membandingkan  variabel  antara 
Chi- pasien  yg  memiliki  skor  CT  ≤  5  dengan 
pasien yg memiliki skor CT > 5. 
square 
• untuk  membandingkan  variabel  kuantitatif 
t Tes antara kelompok (umur, durasi gejala). 
ANALISIS

x2 dihitung
dengan
t tes  gejala-gejala
software R (SXS) ;
Analisis • Obstruksi
hidung
regresi
odds ratio  • Rhinorrhea
logistik • Batuk
(OR) 
multipel • Nyeri wajah
interval   serta efek
kepercayaan interaksi yg
signifikan
nilai  P
HASIL
99 pasien anak berusia 5 -15 tahun. Diagnosis CRS 
berdasarkan skor CT > 5 pada 77 anak (77%), dan 22 anak 
(22%) dengan skor CT ≤ 5 didiagnosis adenoiditis kronis. 

Tidak ada perbedaan statistik pada jenis kelamin atau 
usia rata-rata pasien. (usia rata-rata 8,7 tahun.)

Tidak ada hubungan yg signifikan antara alergi, asma, atau 
paparan asap dengan CRS pada populasi pasien ini; Namun, 
48,8% dari pasien dengan CRS memiliki riwayat alergi.
Analisis data ; obstruksi nasal terdapat pada semua pasien
(kedua kelompok).

Tidak ada perbedaan statistik antara 2 kelompok (Tabel 2) .


regresi logistik hanya menggunakan obstruksi nasal sebagai
prediktor yang diamati ( P =. 049).

gejala batuk (SXS 3) signifikan (P=. 022). Purulen rhinorrhea


(SXS 2) = nilai P .267 dan nyeri wajah (SXS 4) = nilai P .975.
ANALISIS REGRESI             obstruksi hidung (SXS 1) terdapat pada semua 
pasien), efek interaksinya tidak dianggap. 

Jadi ada 3 kemungkinan interaksi: antara SXS 2 dan SXS 3,  SXS 2 dan 
SXS 4, dan antara SXS 3 dan SXS 4. 

Dalam model regresi untuk menunjukkan interaksi antara rhinorrhea 
purulen (SXS 2) dan nyeri wajah (SXS 4) =  signifikan ( P = . 0174). 
Jadi adanya rhinorrhea purulen (SXS 2) dan nyeri wajah (SXS 4) selalu 
ada pada pasien dengan nilai CT lebih dari 5. 
DISKUSI
adanya 3 gejala ; obstruksi nasal, batuk, Diagnosis
dan nyeri wajah tanpa rhinorrhea. CRS pada
Studi oleh 91% anak
Leo et al
Diagnosis menggunakan endoskopi hidung

Diagnosis CRS Rhinorrhea purulen ,


Tujuan penelitian ini ; berdasarkan obstruksi nasal,
menguji gejala-gejala gejala seperti tekanan wajah, dan
umum rinosinusitis oleh konsensus batuk masih sulit.
anak, menggunakan klinis
CT sebagai standar
baku
Rekomendasi 
ketika 2 gejala  Perlu CT scan konfirmasi 
EPOS dan 
muncul  diagnosis
pernyataan 
konsensus bersamaan
karena 4 gejala dapat ada 
dalam satu kombinasi 
pada CRS dan adenoiditis 
kronis.  

discharge  hidung  purulen  dan  tekanan  wajah 


Penelitian ini lebih  merupakan  karakteristik  CRS  daripada 
adenoiditis kronis.
Batuk meningkat signifikan 
studi oleh  nyeri wajah pada pasien CRS yg 
Leo et al  rhinorrhea didiagnosis dengan 
obstruksi nasal endoskopi hidung. 

Hal yang memperumit ; Membedakan ?

Gejala- gejala tersebut 
dapat ada pd 
CT scan sinus
adenoiditis kronis 
tanpa rhinosinusitis
Adenoiditis
kronis tanpa Adenoidektomi
rhinosinusitis

Adenoidektomi + Tindakan
CRS pencucian sinus/ operasi sinus

tidak ada perbedaan Penelitian oleh Sedaghat et al ;


antara asma atau kejadian ada hubungan yang kuat
alergi pada pasien CRS, antara paparan asap tembakau
tetapi ada peningkatan dengan CRS (OR: 3,9)
risiko CRS dengan
paparan asap tembakau
(OR: 2,4).
obstruksi nasal ditemukan
Hasil
pada kedua kelompok
penelitian

Jika gejala mengarah


CT scan untuk
discharge nasal pada CRS
konfirmasi diagnosis,
purulen + nyeri
terutama jika ingin
wajah
dilakukan operasi
KESIMPULAN
sulit untuk membedakan CRS dengan adenoiditis kronis
berdasarkan gejala saja kecuali jika CT scan digunakan.

Dari 99 anak yg diteliti, ditemukan bahwa discharge nasal


purulen disertai nyeri wajah secara statistik dapat
membedakaan anak-anak dengan CRS.
Obstruksi nasal terdapat pada semua anak dengan CRS
dan adenoiditis

Jika gejala berupa discharge nasal purulen disertai


adanya nyeri wajah maka diagnosis lebih mengarah
pada CRS daripada adenoiditis, maka untuk perencanaan
preoperatif, CT scan bermanfaat untuk konfirmasi
diagnosis.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai