Anda di halaman 1dari 16

Donor dan Komersialisasi

Organ Serta Jaringan


Tubuh Manusia
Pendahuluan

Jasad manusia adalah titipan allah, berarti bukan miliknya. Jika bukan miliknya
mestinya tidak boleh dihibahkan , diwasiatkan atau diperjual-belikan, sebab diantara
syarat sahnya bahwa barang tersebut hak sah miliknya. Di sisi lain, ada orang yang sangat
memerlukan uang untuk menunjang kebutuhan kehidupannya, yang bersangkutan ada
yang merasa tidak mendapatkan cara lain untuk mengatasinya , selain menjual bagian
tertentu dari tubuhnya untuk orang lain dengan imbalan sejumlah uang. Sekurangnya ada
tiga kondisi memberikan organ atau jaringan tubuhnya, mendonorkannya sewaktu masih
hidup, berwasiat yang pemberiannya setelah meninggal, atau mengkomersialisasikan
sewaktu hidup atau penunaiannya setelah mati.
Donor Organ dan Jaringan Tubuh
Manusia
Sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya, bab transfusi darah dan bedah mayat. Secara

umum, dikaitkan dengan batasan berobat, dan batasan-batasan syar’i yang lain, ulama ada yang

membolehkannya dan ada yang menolaknya. Ulama yang membolehkannya memandang bahwa tindakan

mendonorkan bagian tubuh tertentu terdapat kemaslahatan yang nyata, termasuk jenis pengobatan yang

diperkenankan dalam syariat islam. Juga merupakan bentuk tolong menolong dalam kebaikan dan

ketakwaan. Nilai kebaikan tersebut, didukung banyak dalil dalam nash. Sedangkan ulama yang

menolaknya, mereka berargumen tentang kepemilikan tubuh manusia yang merupakan milik allah

sebagaimana banyak disebutkan dalam alquran dan hadis rasulullah saw. Juga merujuk kepada pendapat

ulama klasik yang mengharamkannya berobat menggunakan bagian dari tubuh manusia.
Donor Organ dan Jaringan Tubuh
Manusia
Pertimbangan ulama dalam menetapkan hukumnya, juga berkisar pada masalah batasan berobat, mashlahah dan mafsadah,
dan kepemilikan tubuh tersebut dikaitkan dengan kondisi pendonornya, dalam keadaan hidup sehat, dalam keadaan sakit (koma)
yang diduga kuat akan meninggal segera, atau donor dalam keadaan meninggal, dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Tidak boleh melakukan pencangkokan organ yang pendonornya dalam keadaan sehat. Dasarnya , antara lain Q.s. al-Baqarah
(2): 195 yang melarang melakukan tindakan pembinasaan diri. Juga sejalan dengan kaidah hukum islam, bahwa “ menolak
kerusakan ( mudarat) harus didahulukan atas meraih kemaslahatan” juga kaidah: bahaya tidak boleh dihilangkan dengan
bahaya lainnya.”

2. Tidak boleh translantasi pada saat pendonor dalam keadaan sakit (koma) atau hampir meninggal. Alasannya, antara lain, hadis
nabi yang melarang melakukan yang membahayakan diri sendiri dan atau orang lain, yang berarti menjadikan pendonor mati.

3. Jika proses pencangkokan, pendonor sudah meninggal, baik secara medis maupun yuridis, ulama berbeda pendapat, ada yang
membolehkan dengan mempersyaratkan dua hal, yaitu: resipien dalam keadaan darurat yang dapat mengancam jiwanya dan ia
sudah menempuh pengobatan secara media dan non- media, tetapi tidak berhasil dan pencangkokan tidak mnimbulkan
komplikasi penyakit yang lebih berat bagi repisien dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan tidak menimbulkan
komplikasi penyakit yang lebih berat bagi repisien dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan.
Definisi dan Batasan Komersialisasi

Komersialisasi atau perdagangan dalam istilah hukum islam


disebut al-Bay, jamaknya al-Buyu. Secara Bahasa berarti menjual,
mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Pada
umumnya definisi yang dikemukakan oleh ulama klasik mengandung
pengertian tukar menukar barang sistem barter.
Rukun Jual Beli

Menurut mayoritas ulama, rukun jual beli ada empat, yaitu :

1. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)

2. Sighat (lafal ijab dan kabul)

3. Ada barang yang diperjual belikan

4. Harga, atau nilai barang yang diperjual-belikan. Mayoritas Ulama menyebutkan


syarat sahnya jual beli dari sisi orang yang bertransaksi, yang terkait dengan
transaksinya itu sendiri, dan syarat barang yang diperjual belikan.
Syarat Sah Orang yang Bertransaksi

Syarat sahnya pihak yang bertransaksi jual beli menurut kesepakatan ulama ada dua,
yaitu berakal dan yang melakukannya adalah orang yang berbeda. Syarat yang terkait
dengan transaksi, ulama sepakat, syarat utama dalam menentukan sahnya transaksi jual
beli adalah kerelaan. Selanjutnya mereka mengemukakan syarat khusus sahnya ijab kabul,
yaitu:

1. Balig dan berakal

2. Kabul sesuai atau sejalan dengan ijabnya

3. Ijab dan kabul dilaksanakan dalam satu majlis.


Syarat Sah Orang yang Bertransaksi

Adapun syarat barang yang diperjualbelikan, meliputi:

1. Barangnya ada dan jelas, atau dijamin akan adanya, misalnya penjual menyatakan
kesanggupannya untuk mengadakan atau membawanya.

2. Dapat dimanfaatkan atau bermanfaat bagi manusia

3. Milik sah penjual atau yang dikuasakannya

4. Dapat diserahterimakan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakati
bersama.
Syarat Sah Orang yang Bertransaksi

Syarat sahnya nilai tukar dalam transaksi jual beli ada tiga, yaitu :

1. Harga yang disepakati harus jelas jumlahnya

2. Bisa diserahkan saat transaksi dilakukan

3. Barang yang ditransaksi tidak termasuk haram.


Kepemilikan Tubuh Manusia

Ulama menyatakan bahwa organ tubuh manusia merupakan bagian


yang tak terpisahkan dari diri manusia itu sendiri, karena masing
masing anggota tubuh mempunyai fungsi yang melekat dengan
manusia itu sendiri. Dengan demikian, bahwa anggota tubuh manusia
sejatinya bukan hal miliknya dan tidak boleh diperjual-belikan, maka
memperjualbelikannya termasuk kategori menjual yang bukan
miliknya.
Pandangan Fukaha Tentang Jual-beli
Organ Manusia
Secara umum, dalam literatur fikih konvesional yanag disusun dalam era teknologi
kedokteran masih sederhana, dinyatakan bahwa ulama fikih mengharamkan memperjual-
belikan organ tubuhnya. Karena dalam hal itu akan mencelakai dirinya. Perbuatan mencelakai
diri sendiri sangat dikencam dalam syariat islam, disebutkan dalam ayat.

َِ‫ّللاَ يُ ِحبِ ْال ُم ْح ِسنِين‬


َِ ‫ن‬ َِ ‫ل ت ُ ْلقُوا ِبأ َ ْيدِي ُك ِْم ِإلَى الت َ ْهلُ َك ِِة ِۛ َوأ َ ْح ِسنُوا ِۛ ِإ‬
ِ َ ‫ّللاِ َو‬
َِ ‫ل‬ َ ‫َوأ َ ْن ِفقُوا فِي‬
ِِ ‫س ِبي‬

“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat baiklah
karena Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. al-Baqarah (2):195).
Pendapat yang Memperbolehkan
Komersialisasi
Ulama yang memperbolehkan jual-beli organ atau jaringan tubuh manusia
berargumen mengkiyaskannya dengan ASI manusia. Ulama al-Syafi’iyyah dan al-
Hanabilah berpendapat membolehkan jual-beli ASI yang telah ditampung dalam tempat
tertentu. Karena jika keberadaan ASI dalam payudara ibu menuntut dikeluarkan, jika tidak
dikeluarkan akan menyebabkan ibu sakit. Selain itu mereka mengkiyaskan dengan
kebolehan memperjual-belikan budak di zaman perbudakan masa lalu, jika dperbolehkan
menjual satu badan utuh maka memperjual-belikan sebagiannya juga boleh. Tetapi
argumen ini memiliki kelemahan mendasar, sebab islam menolak adanya perbudakan,
maka dijadikanlah pembebasan budak sebagai kaffarah atas pelanggaran terhadap
ketentuan hukum tertentu dalam syariat islam.
Pendapat yang Mengharamkan
Komersialisasi
Alasan yang kemukakan oleh ulama yang mengharamkan segala bentuk komersialisasi organ atau jaringan
tubuh manusia diantara lain:

1. Bahwa anggota tubuh manusia bukan miliknya, karena itu syariat Islam mengharamkan memperjual-
belikannya.

2. Memperjual-belikan anggota tubuh berarti penghinaan atau penistaan, karena Allah sangat
memuliakan manusia, karena kemuliaannya itu maka sejumlah ulama menetapkan haramnya
memperjual-belikan anggota tubuh manusia, termasuk rambutnya, meskipun milik orang kafir.

3. Alasan haramnya memanfaatkan organ manusia karena najis, sebagian ulama lain menyatakan karena
makruhnya mengobati luka menggunakan tulang manusia, hal tersebut disebabkan kemuliaan
manusia. Al-Syatibi menyatakan bahwa kehidupan manusia, kesempurnaan akal dan jasad manusia
merupakan hak Allah, bukan hak manusia.
Memperjual-belikan Tubuh Terpidana
Mati
Meskipun belum terdengar pernah terjadi, namun ulama sudah membahas tentang bisnis jasad orang terpidana
mati. Pendapat yang menyatakan boleh, di antaranya disampaikan oleh Muhammad Said al-Buthi. Alasannya,
antara lain:

1. Memilih melakukan yang kadar mudaratnya lebih ringan, karena kehidupan orang yang mashum (terjaga
darahnya) lebih diutamakan dan hal itu akan terwujud dengan menghilangkan kehidupan orang yang tidak
muhtaramah.

2. Merujuk pada pendapat dari kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah yang memperbolehkan memakan
mayat orang yang termasuk golongan ghairu ma’shum demi mempertahankan orang-orang yang ma’shum.

3. Menjaga kehidupan orang yang ma’shum termasuk salah satu ari lima dlaruriyyah yang mesti dijaga.

4. Menjaga anggota tubuh tertentu dari orang yang tidak termasuk muhtaramah termasuk pepringkat hajjiyah
yang kadar peringkatnya di bawah dlaruriyyah.
Memperjual-belikan Tubuh Terpidana
Mati
Alasan ulama atau lembaga fatwa yang mengharamkannyadi antaranya di sampaikan oleh al-
majma’ al-Faqhi al-Islami dinyatakan:

1. Bahwa anggota tubuh manusia bukan hak manusi, maka jika hal ersebut terjadi berarti
memperjual-belikan sesuatu yang bukan miliknya. Tubuh adalah hak Allah.

2. Tindakan memperjual-belikan tubuh mereka bertanggungjawab dengan penghormatan


terhadap manusia.

Dr. Muhammad Sallam al-Bathwasy menyatakan alasan yang benar, tidak diperbolekannya
memperjual-belikan organ manusia karena tubuh manusia tidak termasuk harta miliknya.
Memperjual-belikan Tubuh Terpidana
Mati
Di sisi lain yang juga menjadi pertimbangan tentang hukum haramnya memperjual-belikan organ
dan jaringan manusia mengenaik status kesucian atau tidaknya bagian tubuh manusiayang telah terpisah
dari tubuhnya. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut:

1. Kalangan ulama hanafiyah menyatakan bahwa bagian tubuh manusia yang telah terpisah darai jasad
orang hidup yang di dalamnya mengandung darah, hukumnya najis, maka boleh memanfaatkannya.

2. Mayoritas sebagian ulama menyatakan bahwa bagian tubuh manusia adalah suci, sama dengan status
tubuh keseluruhannya. Sebagian mereka kemudian menyatakan, memperjual-belikannya boleh jika
bermanfaat.

3. Status mayat manusia menurut fukaha hukumnya suci, namun demikian sebagian mereka, di antaranya
adalah al-Nawawi menolak memanfaatkan bagian daari tubuhnya karena kemualiaannya.

Anda mungkin juga menyukai