Anda di halaman 1dari 33

TROMBOSIS VENA PROFUNDA

(DEEP VENOUS THROMBOSIS/ DVT)


Oleh :
Dr. Tjahyo K. Utomo, Sp.B
DEFINISI
 Adalah suatu trombosis yang mengenai vena profunda.
 Paling sering mengenai vena profunda pada tungkai dan lengan
 Dapat berakibat timbulnya keadaan yang membahayakan jiwa berupa
emboli ke paru, disfungsi sistem vena dan pembengkakan tungkai
kronis.
Principal
deep veins of
the lower
extremity.
PATOFISIOLOGI
 Rudolf Virchow mendeskripsikan 3 faktor yang sangat penting pada
terjadinya trombosis vena :
1. Stasis vena
2. Aktivasi koagulasi darah
3. Kerusakan vena
 Trombosis vena dapat terjadi akibat beragam faktor, dengan variasi
dari trias tersebut di atas pada tiap individu.
PATOFISIOLOGI
 Penelitian menunjukkan bahwa tempat-tempat aliran darah yang lambat,
seperti sinus soleus, kantong di belakang katup vena, dan pada percabangan
vena, adalah tempat dengan resiko tertinggi untuk terjadinya trombus vena.
 Akan tetapi keadaan stasis sendirian tidak cukup untuk memfasilitasi
terjadinya trombosis vena. Memerlukan rangsangan tambahan untuk
menyebabkan terjadinya trombosis vena profunda.
 Percobaan ligasi vena jugularis kelinci selama lebih dari 60 menit gagal
untuk menyebabkan terjadinya trombosis vena secara konsisten.
 Pasien dengan imobilisasi memiliki resiko yang tinggi untuk terjadinya
trombosis vena profunda.
PATOFISIOLOGI
 Cedera mekanis pada dinding vena dapat menjadi pemicu terjadinya
trombosis vena profunda.
 Pasien artroplasti sendi panggul dengan manipulasi vena femoralis
menunjukkan resiko tinggi trombosis vena, dengan 57% trombus
berasal dari vena femoralis bersangkutan.
 Cedera endotelial dapat mengkonversi endotel yang antitrombogenik
menjadi protrombotik dengan merangsang produksi faktor jaringan,
faktor Von Willebrand, dan fibronektin.
PATOFISIOLOGI
 Mutasi genetik pada jalur koagulasi darah menunjukkan resiko yang
tertinggi untuk terjadinya trombosis vena.
 Defisiensi primer inhibitor koagulasi antitrombin, protein C, dan
protein S berhubungan dengan 5-10% kejadian trombosis.
 Resistensi faktor prokoagulan pada sistem antikoagulasi yang
intakjuga sering dikenal dengan adanya mutasi faktor V Leiden,
mewakili 10-65% pasien dengan trombosis vena profunda.
 Pada keadaan stasis vena, faktor ini memberikan peluang untuk
berkumpulnya faktor-faktor tersebut di atas pada tempat tertentu,
dimana cedera mekanis vaskular terjadi, merangsang endotelium
menjadi protrombotik.
PATOFISIOLOGI
Komponen dari Trias Virchow memiliki peran yang bervariasi pada
tiap individu pasien, tetapi hasil akhirnya adalah interaksi yang cepat
antara trombus dengan endotelium. Interaksi ini menstimulasi
produksi sitokin lokal dan memfasilitasi adhesi leukosit ke endotelium,
dimana kedua hal ini mempermudah trombosis vena. Dengan
didasarkan atas keseimbangan relatif antara aktivasi koagulasi dan
trombolisis, propagasi trombus terjadi.
PATOFISIOLOGI
 Selanjutnya, organisasi trombus dimulai dengan infiltrasi sel-sel
radang ke dalam bekuan darah. Hal ini menghasilkan penebalan tunika
intima lapisan fibroelastik pada sisi perlekatan trombus pada
sebagian besar pasien dan suatu sinekia fibrosa pada lebih dari 11%
pasien.
 Pada banyak pasien, interaksi antara dinding pembuluh darah dengan
trombus ini akan menyebabkan disfungsi dan fibrosis keseluruhan
dinding vena.
 Pemeriksaan histologis dari remodeling dinding vena setelah
trombosis vena menunjukkan ketidakseimbangan regulasi matriks
jaringan ikat dan hilangnya regulasi kontraktilitas vena yang
berpengaruh pada terjadinya insufisiensi vena kronis.
FAKTOR RISIKO
 Banyak faktor telah teridentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya
trombosis vena. Faktor risiko yang paling kuat adalah adanya riwayat
trombosis vena profunda sebelumnya dengan angka sebesar 25%
trombosis vena akut terjadi pada pasien-pasien tersebut.
 Secara patologi, sisa dari trombus yang sebelumnya sering terlihat pada
spesimen trombus akut.
 Trombosis rekuren dapat juga merupakan akibat adanya kondisi
hiperkoagulasi primer.
 Abnormalitas jalur koagulasi adalah hasil langsung dari mutasi genetik
diskret pada jalur koagulasi.
 Defisiensi protein C, atau antitrombin III tercatat merupakan 5-10% dari
keseluruhan kasus trombosis vena profunda (DVT).
FAKTOR RISIKO
 Usia merupakan faktor risiko selanjutnya.
 Terdapat peningkatan risiko sebanyak 30 kali lipat terjadinya DVT
tercatat pada usia 30-80 tahun.
 Pasien berusia >40 tahun memiliki risiko yang lebih besar untuk
terjadinya DVT dibanding pasien dengan usia <40 tahun.

 Stasis vena pada pasien dengan imobilisasi dan pasien dengan


kelumpuhan ekstremitas juga berperan dalam terjadinya trombosis
vena.
FAKTOR RISIKO
 Keganasan tercatat pada lebih dari 30% pasien dengan trombosis
vena. Mekanisme trombogenik diantaranya koagulasi yang abnormal,
dimana sekitar 90% pasien kanker mengalami abnormalitas faktor
koagulasi.
 Kemoterapi meningkatkan risiko trombosis vena dengan
mempengaruhi endotel vaskuler, jalur koagulasi, dan lisis sel tumor.
 Insidensi meningkat pada pasien yang menjalani terapi jangka panjang
untuk kanker payudara, dari 4,9% untuk terapi 12 minggu menjadi
8,8% untuk terapi 36 minggu.
 DVT juga merupakan komplikasi pada 29% prosedur bedah yang
dilakukan pada keganasan.
FAKTOR RISIKO
 Trombosis vena post operatif terjadi secara bervariasi tergantung
pada faktor pasien, dan jenis pembedahan yang dilakukan.
 Tanpa profilaksis, operasi bedah umum memiliki insidensi DVT sekitar
20%, operasi ortopedi pada pangggul risiko DVT terjadi pada 50%
pasien.
 Berdasarkan penelitian dengan fibrinogen dengan label radioaktif,
setengah dari trombus ektremitas bawah terjadi intraoperatif.
Immobilisasi perioperatif, abnormalitas koagulasi, dan cedera vena
semuanya memiliki peranan dalam terbentuknya trombosis vena pada
pembedahan.
RISIKO RELATIF UNTUK TROMBOSIS VENA
Thrombophilic Defect Relative Risk

Antithrombin deficiency 8-10

Protein C deficiency 7-10

Protein S deficiency 8-10

Factor V Leiden 3-7

Hyperhomocysteinemia 2.5

Anticardiolipin antibodies 3.2


FAKTOR RISIKO UNTUK PENYAKIT
TROMBOEMBOLIK VENA

Risk Factor Odds Ratio


Hospitalization with recent surgery 21.72

Hospitalization without surgery 7.98

Trauma 12.69

Malignancy 6.53

Central venous catheter 5.55

Neurologic disease with paralysis 3.04


DIAGNOSIS KLINIS
 Diagnosis klinis DVT seringkali sulit. Tanda dan gejala klasik DVT
adalah semua yang berhubungan dengan obstruksi drainase vena
termasuk nyeri, pegal&rasa tidak nyaman dan pembengkakan
unilateral.
 Tanda lain yang nonspesifik diantaranya kulit terasa hangat, eritema,
terabanya vena dalam dan nyeri pada dorsofleksi pasif pada kaki
(Homan sign).
DIAGNOSIS KLINIS
 Gejala dapat muncul atau tidak, unilateral atau bilateral, ringan atau
berat.
 Trombus yang tidak menyebabkan obstruksi aliran vena biasanya
asimptomatik.
 Trombus yang terjadi pada bifurkasio iliaka, vena pelvis, atau vena
kava dapat menimbulkan edema tungkai yang lebih sering bersifat
bilateral.
 Obstruksi parsial tinggi dapat menyebabkan edema ringan bilateral,
yang sering disalah diagnosiskan dengan gagal jantung kanan,
overload cairan, ataupun insufisiensi hati dan ginjal.
DIAGNOSIS KLINIS
 Kongesti vena berat menyebabkan gambaran klinis yang dapat
dianggap sebagai selulitis.
 Pasien dengan tungkai yang hangat, membengkak, dan pegal harus
dievaluasi untuk selulitis maupun DVT karena pasien dengan DVT
primer dapat berkembang menjadi selulitis sekunder, dan sebaliknya
pasien dengan selulitis primer dapat berkembang menjadi DVT
sekunder.
 Tromboflebitis superfisial, juga sering berhubungan dengan DVT
sebagai penyakit yang mendasarinya.
DIAGNOSIS KLINIS
 Pasien dengan emboli paru, dengan tanpa disertai gejala rasa pegal,
eritema, terabanya vena dalam pada pemeriksaan ekstremitas
bawahtidak menyingkirkan tromboflebitis.
 Lebih dari sepertiga pasien yang terbukti mengalami emboli paru
mempunyai sumber dari DVT yang tidak teridentifikasi.
 Penelitian dengan otopsi menunjukkan bahwa sumber DVT tidak
tampak secara klinis, sumbernya terletak secara tidak terdeteksi
dalam sistem vena profunda pada ekstremitas bawah dan pelvis pada
sekitar 90% kasus.
DIAGNOSIS KLINIS
 Kriteria standar untuk imaging diagnosis untuk DVT masih
menggunakan venografi dengan kanulasi vena pedis, injeksi kontras
intravena, dan radiograf ekstremitas serial.
 Identifikasi filling defect adalah diagnostik untuk DVT.
TERAPI MEDIS
 Obat-obat antikoagulan :
 Heparin
 Antagonis vitamin K (Warfarin)
 Low Molecular Weight Heparin (LWMH)

 Kontraindikasi :
 Perdarahan intrakranial
 Perdarahan aktif berat
 Baru saja menjalani operasi bedah saraf, mata atau korda spinalis.
 Trombositopenia berat
 Kehamilan
 Bleeding diasthesis
 Neoplasma intrakranial
TERAPI BEDAH
 Filter vena cava inferior
 Intervensi dengan kateter
 Trombektomi bedah
FILTER VENA KAVA INFERIOR
 Inferior vena cava filters were developed in an attempt to trap emboli and
minimize venous stasis.
 Filter vena kava inferior dikembangkan untuk menangkap emboli dan
mengurangi stasis vena.
 Indikkasi absolut
 Pasien DVT atau emboli pulmonal dengan kontraindikasi untuk terapi antikoagulan
 Tromboemboli rekuren walaupun sudah mendapat antikoagulan
 Komplikasi yang timbul akibat terapi antikoagulan yang mengharuskan penghentian
terapi antikoagilan.
 Kontraindikasi relatif
 Trombus ileofemoral yang besar , dan bergerak pada pasien risiko tinggi.
 Propagasi trombus ileofemoral selama terapi antikoagulan.
 Emboli pulmonal kronis pada pasien hipertensi pulmonal dan kor pulmonal.
 Pasien dengan risiko tinggi jatuh
FILTER VENA KAVA INFERIOR
 Filter vena kava yang ideal dapat menangkap emboli vena dengan
tetap menjaga aliran vena normal.
 Banyak konfigurasi filter yang digunakan, tetapi yang paling banyak
dipakai adalah filter Greenfield. Bentuknya yang mengerucut dapat
menyebabkan terkumpulnya emboli pada bagian tengah dan tetap
menjaga aliran darah secara bebas di bagian tepi.
INTERVENSI DENGAN KATETER
 Teknik dengan kateter perkutan ditujukan untuk mengurangi
pembentukan trombus. Resolusi trombus dini terbukti dapat
mengembalikan fungsi katup vena dan relaksasi yang terkait dengan
endotelium.
 Penelitian observasional di Universitas Washington menunjukkan
bahwa lisis trombus secara dini dapat mengembalikan fungsi katup
vena, sementara trombus yang persisten dapat mengakibatkan
keadaan yang berat dari morbiditas post-trombotik.
INTERVENSI DENGAN KATETER
 Trombolisis dengan kateter bekerja mempercepat jalur trombolitik
alami tubuh. Mekanisme aksi dasarnya adalah aktivasi plasminogen
yang terikat pada fibrin.
 Injeksi aktivator plasminogen intratrombus melindungi dekativasi obat
oleh inhibitor sirkulasi dan memungkinkan pemberian dosis yang lebih
rendah untuk meminimalisir potensi komplikasi perdarahan.
INTERVENSI DENGAN KATETER
 Angka keberhasilan trombolitik dengan kateter sangat dipengaruhi
oleh usia trombus dan perkiraan penempatan Intra Venous Catheter
(IVC). Keberhasilan trombolitik pada trombosis vena iliofemoral
dilaporkan antara 80-85%, dengan 1 year patency berkisar antara
60-65%.

 Komplikasi perdarahan mayor bervariasi antara 5-11%, sebagian


besar terjadi pada tempat penusukan kateter.
TROMBEKTOMI BEDAH
 Pengangkatan trombus secara bedah telah digunakan secara
tradisional pada pasien dengan pembengkakan massif dan phlegmasia
cerulean dolens. Pada banyak pasien, fibrinolisis sendiri sangat
efektif, dan ini menjadi terapi primer pilihan untuk berbagai bentuk
trombosis arteri maupun vena.
 Sayangnya,apabila trombosis meluas, fibrinolisis sendirian menjadi
tidak adekuat untuk menghancurkan volume trombus yang terbentuk.
 Pada keadaan dimana trombus yang terbentuk tidak ekstensif, tetapi
pasien tidak dapat diterapkan pengobatan fibrinolisis karena baru
saja mengalami pembedahan atau trauma pada sistem saraf pusat
atau tempat lain yang noncompressible.
TROMBEKTOMI BEDAH
 Menentukan tempat terbentuknya trombosis sebelum melakukan
pendekatan bedah adalah sangat penting.
 Ultrasonografi duplex seringkali cukup untuk tujuan tersebut, tetapi
venografi (termasuk iliocavografi kontralateral rutin) merupakan
cara yang lebih baik.
TROMBEKTOMI BEDAH
 Pasien harus diheparinisasi sebelum prosedur dilaksanakan.
Trombektomi vena dilakukan dengan mengekspose vena femoral dan
saphenofemoral junction melalui insisi kulit secara longitudinal.
 Kateter Fogarty dimasukkan menembus bekuan darah, kemudian balon
kateter dikembangkan, kemudian kateter ditarik, sehingga bekuan
darah akan ikut tertarik keluar.
 Hal yang harus diperhatikan adalah harus menjaga agar bekuan darah
dapat dikeluarkan dengan sempurna tanpa ada bekuan darah yang
lepas karena hal itu akan mengakibatkan terjadinya emboli pulmonal.
KOMPLIKASI
 Komplikasi setelah trombosis vena bervariasi dari yang mengancam
jiwa hingga komplikasi kronis yang buruk.
 Emboli pulmonal, menyebabkan defek perfusi ventilasi dan cardiac
strain yang berakibat fatal.
 Trombosis vena dapat menyebabkan cedera lapisan endotelial yang
dapat memicu kaskade proses inflamasi yang berakhir dengan
fibrosis dinding vena. Penurunan kontraktilitas dinding vena dan
disfungsi katup vena akan menyebabkan insufisiensi vena kronis.
Postphlebitic chronic venous insufficiency with
ulceration.

Anda mungkin juga menyukai