KELOMPOK 2
PENYAKIT KRONIK
Penyakit Kronik
Penyakit kronik didefinisikan sebagai kondisi atau masalah
kesehatan yang berkaitan dengan gejala-gejala atau
kecacatan yang membutuhkan penatalaksanaan jangka
panjang.
Berdasarkan data WHO, prevalensi penyakit kronik di dunia
mencapai 70% dari kasus yang menyebabkan kematian.
Hal ini disebabkan karena adanya perubahan gaya hidup,
mengkonsumsi makanan tinggi lemak, kolesterol, merokok
dan stress yang tinggi.
Jenis penyakit kronik yang menyebabkan kematian adalah
penyakit kardiovaskuler, kanker, penyakit paru obstruksi
kronik, hipertensi dan diabetes mellitus.
Depkes RI
PENYAKIT KRONIK
FASE PRA-
FASE TRAJECTORY FASE STABIL
TRAJECTORY
Dampak psikologis/
Dampak somatic
Perubahan Perilaku
• Klien menjadi pasif • Dampak terhadap gangguan
• Ketergantungan seksual akibat dari perubahan
• Kekanak-kanakan fungsi secara fisik (kerusakan
organ) dan perubahan secara
• Merasa tidak nyaman
psikologis (persepsi klien
• Bingung terhadap fungsi seksual)
• Merasa menderita • Dampak gangguan aktivitas total
atau sebagian
PENYAKIT KRONIK
Kehilangan situasi
Kehilangan kesehatan
Kehilangan kemandirian
kehilangan fungsi kecemasan dan kronik merasa dirinya dalam kelompok dan
organ tubuh seperti depresi berubah mencakup keluarga
klien dengan gagal tidak dapat bentuk dan fungsi
ginjal harus dibantu berkonsentrasi dan sehingga klien tidak
melalui hemodialisa berpikir efisien dapat berpikir secara
sehingga klien tidak rasional (bodi image)
dapat berpikir secara peran serta
rasional identitasnya
Hal ini dapat akan
mempengaruhi
idealism diri dan harga
diri rendah
PERILAKU KLIEN DENGAN PENYAKIT KRONIS
• reaksi yang umum terjadi • Beberapa pasien merasa • Kurang lebih sepertiga
pada penderita penyakit terkejut atas reaksi dan dari individu penderita
kronis seperti jantung, perubahan yang terjadi stroke, kanker dan
stroke dan kanker pada dirinya bahkan penyakit jantung
• pasien akan membayangkan kematian mengalami depresi.
memperlihatkan sikap yang akan terjadi padanya
seolah-olah penyakit yang • Perubahan fisik yang
diderita tidak terlalu terjadi dengan cepat akan
berat memicu reaksi cemas
pada individu (misal :
dengan penyakit kanker)
PATOFISIOLOGI GAGAL JANTUNG
Kelainan fungsi otot jantung disebabkan oleh aterosklerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif atau
inflamasi. Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung.
Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark Miokardium biasanya mendahului terjadinya gagal
jantung. Hipertensi sistemik/ pulmonal (peningkatan afterload) meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme
kompensasi karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung. Tetapi untuk alasan tidak jelas, hipertrofi otot jantung tadi
tidak dapat berfungsi secara normal, dan akhrinya terjadi gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokarium degeneratif berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan secara terpisah. Gagal ventrikel kiri paling sering mendahului gagal
ventrikel kanan. Gagal ventrikel kiri murni sinonim dengan edema paru akut. Karena curah ventrikel berpasangan/ sinkron,
maka kegagalan salah satu ventrikel dapat mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.
PATOFISIOLOGI PENYAKIT DIABETES MELITUS (DM)
Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin
berikut:
1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel – sel tubuh yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi
300 – 1200 mg/dl.
2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang
abnormal disertai dengan endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah.
3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh. Pasien – pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah
yang melebihi ambang ginjal normal ( konsentrasi glukosa darah sebesar 160 – 180 mg/100 ml ), akan timbul glikosuria
karena tubulus – tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa.
Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium,
dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka
pasien akan mengalami , skeseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi.
Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat telah dan mengantuk yang disebabkan
oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk
energi. Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada
saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren.
PATOFISIOLOGI ATHRITIS
Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema, kongesti vaskular, eksudat febrin dan infiltrasi
selular. Peradangan yang berkelanjutan, sinovial menjadi menebal, terutama pada sendi artikular kartilago dari
sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago. Pannus masuk
ke tulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago
artikuer. Kartilago menjadi nekrosis. Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi.
Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena jaringan fibrosa atau
tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa
menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang sub chondrial bisa menyebkan
osteoporosis setempat.
Lamanya arthritis rhematoid berbeda dari tiap orang. Ditandai dengan masa adanya serangan dan tidak adanya
serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Yang
lain. terutama yang mempunyai faktor rhematoid (gangguan rhematoid) gangguan akan menjadi kronis yang
progresif.