Anda di halaman 1dari 24

Presentator : dr Wika Lydia

Pembimbing : dr Lenni Sihotang, SpPD


Pendahuluan
Pendahuluan
Insidens infeksi saluran kemih 0.9 sampai 2.4 kasus per 1000 pria < 55 tahun
Insidens mencapai 7.7 per 1000 pada yang berumur 85 tahun dan lebih tua,
angka yang sama dapat dilihat pada wanita dari kelompok umur yang sama.

Strategi program pengendalian antibiotika menganjurkan penggunaan antibiotika


spektrum sempit dengan durasi paling singkat yang dibutuhkan untuk penyembuhan
klinis.

Akan tetapi, pada studi terbaru mengenai penatalaksanaan infeksi saluran kemih pada
pria yang lebih tua, rekomendasi durasi terapi yang optimal terhambat oleh karena
kurangnya penelitian yang membandingkan efikasi regimen yang berbeda.
Your Picture Here

Tujuan Penelitian

Mempelajari hubungan antara durasi terapi dan rekurensi infeksi


saluran kemih pada pasien rawat jalan pria dengan ISK dengan
dan tanpa faktor penyulit.
Metode
Metode
Design : kohort retrospektif
Sumber data : electronic health record (EHR) system (EPIC Clarity Data
base)
Waktu : 1 Januari 2011 s/d 30 September 2015
Analisis statistik : SPSS (version 24; SPSS, Chicago, IL)

Kriteria Eksklusi

Dapat dilihat di bagan selanjutnya (lingkaran merah)


VARIABEL OUTCOME
Seluruh kunjungan dengan ISK diklasifikasikan sebagai:

- Kasus indeks : kunjungan pertama dengan ISK yang jelas


(klinis yang sesuai dengan kode ICD-9 untuk ISK atau gejala,
ditambah dengan pemberian antiotika yang relevan terhadap
ISK) selama periode penelitian.

- Rekurensi awal : kunjungan selanjutnya di antara 6 dan 29 hari


setelah kasus indeks dengan kode ICD-9 untuk ISK atau
gejala ditambah dengan pemberian antibiotika yang baru.

- Rekurensi terlambat : kunjungan selanjutnya antara 30 dan 365


hari setelah kasus indeks dengan kode ICD-9 untuk ISK atau
gejala, ditambah pemberian antibiotika yang relevan terhadap
ISK.
KOVARIAT

Paparan utama studi ini yaitu durasi terapi, diklasifikasikan menjadi sing
kat (≤7 hari) atau lama (>7 hari) berdasarkan rekomendasi ahli untuk ter
api ISK.

Kunjungan kemudian diklasifikasikan menjadi ada atau tidaknya faktor


penyulit, berdasarkan adanya 1 atau lebih diagnosis berikut : pyeloneph
ritis (590.xx), prostatitis (601.xx), atau nephrolithiasis (592.xx, 594.xx).

Versi modifikasi dari Charlson Comorbidity Index (CCI) digunakan untuk


mengukur status penyakit ko morbid dan dikalkulasi menggunakan kod
e ICD-9-CM yang berhubungan dengan kunjungan di pertanyaan atau k
unjungan sebelumnya.
ANALISIS STATISTIK

Penelitian ini menggunakan uji χ2 , Fisher’s exact, dan Mann-Whitney


U untuk membandingkan karakteristik pasien dan regimen terapi antara
kunjungan disertai ada atau tidaknya faktor penyulit.

Crude (unadjusted) and logistic regression models digunakan untuk me


ngidentifikasi prediktor relevan pilihan antibiotika.
Hasil
Pria tanpa indikasi faktor penyulit cenderung diterapi dengan durasi yang
lebih singkat dan cenderung menderita diabetes.

Fluorokuinolon merupakan kelas antibiotika yang paling umum diberikan


untuk semua kunjungan. (69.7%)

Usia, CCI, dan departemen merupakan prediktor signifikan terhadap


pemilihan antibiotika.

Faktor penyulit, ras, diabetes, BPH, dan demam tidak berhubungan


dengan pemilihan antibiotika.

Adanya faktor penyulit (pyelonephritis, nephrolithiasis, or prostatitis),


kelas antibiotika, dan spesialis departemen merupakan prediktor
signifikan terhadap durasi terapi pada multiple linear regression analysis.
Secara keseluruhan, 32 pasien (5.6%) memiliki rekurensi diantaranya 7
pasien memiliki rekurensi awal, 25 pasien memiliki rekurensi terlambat,
dan 1 pasien memiliki rekurensi baik awal maupun terlambat.

Durasi terapi yang lebih lama tidak secara signifikan berhubungan deng
an rekurensi ISK (OR = 1.95; 95% CI, 0.91–4.21).
Diskusi
Diskusi
Studi ini menunjukkan terapi antibiotika yang lebih lama berhubungan dengan
2 kali lipat peningkatan rekurensi ISK setelah mengeksklusi pria dengan
kelainan urologis, kondisi immunocompromised, prostatitis, pyelonephritis,
nephrolithiasis, dan BPH.

Penemuan tak diduga yaitu angka rekurensi yang lebih tinggi dengan terapi
yang lebih lama pada subgrup dengan faktor penyulit yang lebih sedikit.
Pemilihan antibiotika tidak berhubungan dengan rekurensi ISK, yang mana dapat
mendukung penggunaan nitroflurantoin atau TMP-SMX sebagai terapi lini
pertama pada populasi pasien.

Hasil studi observasional ini harus diinterpretasi dengan hati-hati, terutama olah
karena kemungkinan dibaurkan dengan indikasi. Penggunaan antibiotika yang
lebih lama dapat diberikan pada pasien yang lebih parah, sehingga
membingungkan hubungan durasi terapi dan rekurensi
Strengths and limitations
1. Kriteria inklusi membutuhkan antibiotika yang
relevan terhadap ISK yang diberikan pada saat
kunjungan untuk mengindikasikan adanya
kecurigaan infeksi
2. Kunjungan dengan indikasi alternatif infeksi
dieksklusikan untuk mengeksklusi kemungkinan
pemberian antibiotika untuk infeksi non saluran
kemih
3. Tidak memperpanjang tanggal inklusi di atas 30 Keterbatasan Penelitian
September 2015 untuk menghindari sampling
yang bias Data yang digunakan dikumpul untuk
4. Meninjau kunjungan berulang dengan detail tujuan administrasi dan tagihan, bukan
untuk mengeksklusi kunjungan follow-up dan untuk tujuan penelitian.
kasus bakteriuria rekuren dari rekurensi yang
sebenarnya.
Kesimpulan
Kesimpulan
Durasi terapi yang lama pada pasien rawat jalan
berhubungan dengan peningkatan rekurensi ISK
pada pria tanpa faktor penyulit tambahan.

Terapi antibiotika dengan durasi singkat untuk ISK pria


dapat menyebabkan penurunan resiko resistensi
antibiotika, efek samping yang lebih sedikit, dan biaya
yang lebih rendah.
Thank you

Anda mungkin juga menyukai