Anda di halaman 1dari 38

RUBEOLA

(MEASLES, MORBILI,
CAMPAK)
DEFINISI
• Rubeola adalah penyakit infeksi virus akut,menular, dengan gejala
klinis khas yang terdiri dari 3 stadium yaitu stadium prodromal,
stadium erupsi, dan stadium konvalensens. Rubeola dapat disebut
juga campak, measles, morbili
ETIOLOGI
• Morbilivirus
- Virus RNA, family paramyxoviridae
- Dikenal hanya 1 tipe antigen saja; yang strukturnya mirip
dengan virus penyebab parotitis dan parainfluenza.
- Ditemukan di dalam sekret nasofaring, darah dan air kemih, paling tidak
selama periode prodromal dan untuk waktu singkat setelah munculnya ruam
kulit.
- Pada suhu ruangan, virus tersebut dapat tetap aktif selama 34 jam.
FAKTOR RISIKO
• Bayi yang tidak mendapatkan imunisasi
• Daya tahan tubuh yang lemah
• Belum pernah terkena campak
• Belum pernah mendapat vaksinasi campak.
• Remaja dan dewasa muda yang belum mendapatkan imunisasi kedua.
Rubeola dapat ditularkan dengan 3 cara, antara lain :
• Percikan ludah yang mengandung virus
• Kontak langsung dengan penderita
• Penggunaan peralatan makan & minum bersama.

Masa penularan : sejak akhir masa inkubasi sampai 5 hari setelah


timbulnya ruam
EPIDEMIOLOGI
• Bersifat endemis hampir di seluruh dunia, merupakan masalah
kesehatan di negara berkembang, tetapi pada saat ini terjadi
peningkatan kasus di Amerika Serikat dan Eropa. Diduga berhubungan
dengan cakupan imunisasi yang menurun
• Kelompok usia : <12 bulan (terbanyak), 1-4 tahun, dan 5-14 tahun
PATOGENESIS
• Masa inkubasi : 10-12 hari
• Penularan melalui droplet udara  masuk saluran nafas  ditangkap
oleh makrofag  KGB regional (virus replikasi perlahan dan dimulai
penyebaran ke sel jaringan limforetikular, exp : limpa)  sel MN
terinfeksi (terbentuknya banyak sel raksasa berinti banyak “Sel
Warthin”, Limfosit T (termasuk T-supresor dan T-helper rentan
terhadap infeksi  turut membelah)  terbentuk fokus infeksi 
virus masuk ke PD dan menyebar ke permukaan epitel orofaring,
konjungtiva, saluran napas, kulit, kandung kemih, usus.
• Fokus infeksi pada epitel saluran napas dan konjungtiva  nekrosis pada 1-2
lapis sel  virus dalam jumlah banyak akan masuk PD  batuk pilek,
konjungtivitis.

• Respon imun  proses peradangan epitel pada saluran napas  demam


tinggi, sakit berat, dan tampak ulserasi kecil di mukosa pipi  Koplik’s spot
(tanda patognomosis)

• Daya tahan tubuh menurun ec delayed hypersensitivity terhadap Ag virus 


ruam maculopapular pada hari ke 14 sesudah awal infeksi dan saat itu
antibodi humoral dapat terdeteksi pada kulit
• Vesikel tampak secara mikroskopik di epidermis tapi daerah nekrotik
di nasofaring dan saluran napas  kesempatan infeksi bakteri
sekunder  BP, pneumonia
MANIFESTASI KLINIK
• Tiga stadium: prodromal-erupsi-konvalesens

Stadium Prodromal
3-5 hari biasanya ringan tetapi pada akhir stadium erupsi dapat
meningkat mencapai 40oC
Ditemukan tanda 3 C (coryza, cough, conjunctivitis)
Koplik’s spot : patognomonis, ditemukan 1-2 hari sebelum sampai 1-2
hari sesudah timbul ruam (stadium erupsi), berupa lesi putih di
daerah mukosa bukal, tersering di daerah molar 2 bawah)
Stadium Erupsi
Pada akhir stadium prodromal  peningkatan suhu tubuh, pada saat
panas mencapai puncaknya timbul ruam berupa ruam
makuloeritematous, bersifat konfluens, dimulai dari belakang telinga
 menyebar ke badan, lengan, dan tungkai. Dalam 3 hari ruam sudah
tersebar ke seluruh tubuh
Panas badan masih tetap tinggi selama 2-3 hari sesudah ruam timbul,
bila tidak mengalami penyulit  masuk masa konvalesens

Stadium Konvalensens
Panas badan mulai turun, ruam meninggalkan bekas hiperpigmentasi
yang dapat bertahan sampai 7-14 hari.
Koplik’s spot

Rubeola
DIAGNOSIS
• Anamnesis
- Demam tinggi terus menerus >= 38,5oC, disertai batuk, pilek, nyeri menelan,
mata merah, fotofobia, sering diikuti diare
- Timbul ruam kulit, didahului oleh suhu yang meningkat lebih tinggi dari
semula
- Saat ruam timbul, batuk dan diare dapat bertambah parah  sehingga timbul
sesak napas dan dehidrasi
- Bila terdapat lesi kulit kehitaman dan bersisik (hiperpigmentasi)  tanda
konvalesens
• Pemeriksaan Fisik (stadium prodromal, erupsi, dan konvalesens)
DIAGNOSIS BANDING
• Rubella
• Roseola infantum
• Infeksi mononukleosis
• Erupsi obat
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pemeriksan darah tepi  Leukopenia dengan limfopenia
• Pemeriksaan serologis (IgM antibody)  terdeteksi sesudah 3 hari timbul
ruam
• Deteksi antigen dapat dilakukan dengan teknik
- PCR : dapat mendeteksi 5 hari sebelum gejala muncul
- Fluorescent antibody staining (rapid method) dari apus nasofaring
• Pemeriksaan untuk komplikasi :
- Pemeriksaan cairan serebrospinalis, kadar elektrolit lengkap, analisis gula darah 
ensefalopati
- Foto thorax dan analisis gula darah  Bronkopneumonia
- Pemeriksaan feses lengkap  Enteritis
PENATALAKSANAAN
• Pengobatan bersifat suportif  pemberian cairan yang cukup, kalori dan
jenis makanan disesuaikan dengan tingkat kesadaran dan ada tidaknya
komplikasi, suplemen nutrisi, antibiotik (bila ada infeksi sekunder),
antikonvulsi bila terjadi kejang, dan pemberian vitamin A 100.000 IU, bila
disertasi malnutrisi  dilanjutkan 1500 IU/hari

• Indikasi rawat inap : hiperpireksia (suhu >39oC), dehidrasi, kejang, asupan


oral sulit, atau adanya komplikasi (Ensefalopati, Bronkopneumonia,
Enteritis)
• Pasien dengan komplikasi
- Ensefalopati  Kloramfenikol dan ampisilin, kortikosteroid,
kebutuhan cairan dikurangi ¾ kebutuhan, koreksi terhadap
gangguan elektrolit
- Bronkopneumonia  kloramfenikol dan ampisilin, oksigen 2
liter/menit per nasal, koreksi gangguan analisis gas darah dan
elektrolit
- Enteritis  koreksi dehidrasi sesuai derajat dehidrasi
PENCEGAHAN
• Vaksinasi bersama rubela dan mumps (MMR) pada usia 15-18 bulan
dan ulangan pada usia 10-12 tahun atau 12-18 tahun
KOMPLIKASI
• Diare, sering diikuti dehidrasi
• Otitis media
• Bronkopneumonia
• Laringotrakeobronkitis (croup)
• Ensefalitis akut
• Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE)
PROGNOSIS
• Prognosis baik jika tidak terjadi komplikasi
• Prognosis buruk bahkan akan mengakibatkan kematian yang
disebabkan komplikasi yang terjadi
Sumber
Markum.AH. 2009. Ilmu Kesehatan Anak. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
Sari Pediatri, Vol. 4, No. 3, Desember 2002
Pedoman diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak. Edisi ke 5. Tahun 2014
STAPHYLOCOCCAL
SCALDED SKIN
SYNDROME (SSSS)
DEFINISI
• Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) adalah penyakit pada
kulit akibat infeksi bakteri Staphylococcus aureus yang menyebabkan
kulit menjadi kemerahan, melepuh, dan seperti terbakar.
ETIOLOGI
• Infeksi disebabkan karena Staphylococcus Aureus 3a, 3b, 55 dan 57
phage II yang menghasilkan eksfoliatin toksin A (ETA) dan eksfoliatin
toksin B (ETB). Eksfoliatin toksin ini bersifat epidermolitik.
FAKTOR RISIKO
• Anak-anak  kekurangan imunitas dan kemampuan renal imatur
dalam pembersihan toksin (toksin exfoliative). Antibodi maternal
dapat ditransfer kepada infant melalui ASI tetapi SSSS masih dapat
terjadi karena inadekuat imunitas dan imatur ginjal.
EPIDEMIOLOGI
• SSSS jarang terjadi pada dewasa kecuali dengan gangguan ginjal,
defisiensi imun dan penyakit kronik.
• Prevalensi pada anak kurang dari 2 tahun sebesar 62% dan hampir
seluruh kasus terjadi pada anak kurang dari 6 tahun (98%).
• Laki-laki > perempuan = 2:1.
PATOGENESIS
• ETA dan ETB beraksi pada protein desmoglein (DG-1) yang merupakan
protein di epidermis superficial. Inisial infeksi terjadi pada oral, cavitas
nasal, laring atau umbilikus.

• Toksin epidermolitik yang diproduksi oleh Staphylococcus Aureus 


ruam kemerahan dan menyebar ke dalam epidermis kemudian bula
muncul dan akhirnya terjadi deskuamasi.
• ETA dan ETB (superantigen)  mengaktivasi makrofag  makrofag
memproduksi sitokin proinflamatori seperti TNF alpha dan IL-6. Ikatan
desmoglein-1 dengan toksin eksfoliatif staphylococcus aureus 
menyebabkan terbentuknya antibodi IgG spesifik desmoglein-1
Mekanisme SSSS secara umum:

ETA dan ETB disekresikan Staphylococcus Aureus phage II



Toksin menyebar melalui sirkulasi dan beraksi pad desmoglein-1

Epidermolisis
(Pemecahan stratum granulosum dan stratum spinosum pada protein
desmoglein)

Terbentuk lepuhan lunak berdinding tipis yang mudah pecah dengan tanda
Nikolsky positif
MANIFESTASI KLINIK
• Gejala prodromal berupa demam dan iritabel
• Ruam berupa makula eritem tampak pertama kali di sekitar mulut dan
hidung. Kulit tampak halus yang kemudan menyebar generalisata dan
kemudian tampak seperti “sandpaper”
• Lesi terutama pada daerah fleksor, terutama lipat pada,aksila dan leher
• Setelah 1-2 hari kulit menjadi berkerut dan dapat terjadi bula, mudah
mengelupas (Nikolsky’s sign), kulit nyeri bila disentuh
• Selanjutnya 2-3 hari pemukaan kulit menjadi kering dan berkrusta
• Penyembuhan terjadi setelah 10-14 hari
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS)
DIAGNOSIS BANDING
• Impetigo
• TEN (Toxic Epidermal Necrolysis)
• Dermatitis kontak
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pemeriksaan Gram / Kultur dari kulit dan cairan bula
• Biopsi kulit
• PCR
PENATALAKSANAAN
• Pengobatan suportif, mencegah sepsis, menjaga keseimbangan cairan
dan elektrolit
• Antibiotik oral
Cloxacillin  menghambat sintesis dinding sel sel bakteri
Dosis : Anak BB<20 kg = 50-100 mg/kgBB/hari per oral dibagi setiap 6 jam (tidak
boleh melebihi 4 g per hari), BB>20 kg = 250-500 mg per oral setiap 6 jam
• Antibiotik topikal
Salep Mupirocin 2%  menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara
menghambat sintesis RNA dan protein
• Kortikosteroid  kontraindikasi mutlak karena dapat meningkatkan
angka morbiditas dan mortalitas
• Krim emolien  mengurangi rasa nyeri pada kulit yang terkelupas
PENCEGAHAN
• Menjaga higenitas dengan mencuci tangan secara rutin
• Menjaga kebersihan daerah luka bila terdapat bagian tubuhan yang
mengalami luka
• Mengobati penderita infeksi Staphylococcus sesegera mungkin.
KOMPLIKASI
• Sepsis
• Selulitis
• Pneumonia
PROGNOSIS
• Kematian dapat terjadi, terutama pada bayi berusia dibawah 1 tahun,
yang berkisar antara 1-10%. Penyebab utama kematian adalah tidak
adanya keseimbangan cairan/elektrolit dan sepsis
Sumber
Sari Pediatri, Vol. 4, No. 3, Desember 2002
Ladhani S. Understanding the mechanism of action of the exfoliative toxins of
Staphylococcus aureus. FEMS Immunol Med Microbiol. 2003; 39(2): 181-9.
Millett CR, Heymann WR, Manders SM. Pyodermas and toxin-mediated syndromes. Dalam:
Irvine AD, Hoeger PH, Yan AC. Harper's textbook of pediatric dermatology. Edisi ke-3.
England: Blackwell Publishing Ltd; 2011. h. 54 1 - 8.

Anda mungkin juga menyukai