Anda di halaman 1dari 28

SUBJEK DAN OBJEK SENGKETA

TATA USAHA NEGARA


 

Oleh
Husni Jalil
BAB III
SUBJEK DAN OBJEK SENGKETA
TATA USAHA NEGARA
 

A. Subjek Sengketa
1. Pihak Penggugat
Pasal 53 uu No. 5 tahun 1986 menyebutkan, bahwa yang dapat
menjadi subjek sengketa adalah orang dan Badan Hukum Perdata
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara. Selanjutnya siapa yang berhak menggugat
diperjelas dalam Memori Penjelasan pasal demi pasal, bahwa
sesuai dengan ketentuan pasal I angka 4, hanya orang atau Badan
Hukum Perdata yang dapat berkedudukan sebagai subjek hukum
yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan, sedangkan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat mengajukan gugatan
ke Pengadilan untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Kriteria: siapa yang berkualitas atau berkedudukan sebagai
pcnggugat ialah kepentingan yang dilanggar. Yang
menjadi persoalan adalah siapa yang dimaksud dengan
orang (natuurlijke persoon) dan badan hukum
(rechtpersoon). Undang­Undang Peradilan Administrasi
tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian orang
dan badan hukum. Oleh karena itu, pengertian tentang
orang dan badan hukum diturut ketentuan­ketentuan dari
bidang lain yaitu Hukum Perdata dan Hukum Dagang.
Dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) Tentang Orang (van Personen) yang
dimaksudkan dengan "orang" tidak hanya manusia biasa,
tetapi juga badan hukum. Manusia dan badan hukum
dapat mempunyai atau menjadi pendukung hak-hak. Istilah
"orang", jadi dapat diartikan sebagai subjek hukum. 
2. Pihak Tergugat
Mengenai siapa yang dapat berkedudukan
sebagai tergugat, maka Pasal 1 angka 6 UU
No. 5 tahun 1986 memberikan jawaban,
siapa-siapa yang dapat menjadi subjek
hukum, tergugat, yang dirumuskan, sebagai
berikut: "tergugat adalah Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewe­nang yang ada
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya,
yang digugat oleh orang atau badan hukum
perdata", termasuk di dalamnya Badan Usaha
Milik Negara (BUMN).
1. Tentang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang untuk
mengeluarkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara, ialah
Lembaga lembaga atau instansi-instansi yang memiliki
kewenangan menjalan­kan urusan pemerintahan berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku; Persekutuan-persekutuan
di bidang dagang, industri, pertanian dan lainnya yang
didirikan oleh kekuasaan umum. Kelom­pok tersebut adalah
aparat perdagangan, perekonomian dan perindus­trian negara
yang merupakan lembaga yang melakukan tugas-tugas
pemerintahan di bidang usaha negara, seperti: Perusahaan
Negara, yang didirikan berdasarkan UU No. 19/Pip/1960
tentang Perusahaan Negara; selanjutnya Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), yaitu: Pcrusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan
Umum (Perum), Perusahaan Perseroan (Persero), yang didirikan
berdasarkan UU No. 9 tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk
Usaha Negara jo Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1969.
Kriteria untuk Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang berwenang mengeluarkan Surat
Keputusan Tata Usaha Negara, ialah "organ atau
pejabat yang mempunyai fungsi pemerintahan
(ekseku­tif)", yang dilaksanakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jadi, bukan kedudukan struktural dalam
lingkungan kekuasaan negara, dan bukan nama
resminya. (Indroharto, 1991: 49). "Urusan
pemerintahan" adalah segala macam urusan
mengenai masyarakat bangsa dan negara
(eksekutif), yang bukan tugas legislatif maupun
judikatif. (Indroharto, 1992: 104,105). 
2. Tentang Perusahaan yang Didirikan oleh Kekuasaan Umum
Pada awal Kemerdekaan Republik Indonesia, di mana Penjajah
Belanda ingin menjajah kembali dan melakukan agresi ke
wilayah kedaulatan Republik Indonesia, hingga terjadi agresi
I(21 Juli 1947)/ dan agresi II (19 Desember 1948), selanjutnya
disusul merebut kembali Irian Barat (Tri Komando Rakyat,
1961) maka perusahaan-perusahaan milik Belanda, seperti
waterschappen, sclanjutnya "product, hoofdbedrijf dan
dochterbedrijfschappen" yang didirikan berda­sarkan Wet op
de Bedrijfsorganisatie, seperti Algemeene Nederlands Indisch
Electrisiteit Maatschappy (ANIEM), Spoorwegen Maatschappy,
seperti Staatsspoorwegen (SS) dan Nederlands Indische
Spoorwegen (NIS), Maskapai Pelayaran Jakarta Lloyd, Maskapai
Perindustrian dan sebagainya, dinasionalisasi olch Pcmerintah
Repub­lik Indonesia dan dijadikan alat perjuangan di bidang
perekonomi­an, perdagangan dan industri Pemerintah Republik
Indonesia, selanjutnya dijadikan Perusahaan Negara (U.U No.
68 tahun 1958 L.N. No. 162).
Kemudian dalam era perdagangan dan industrialisasi
yang makin maju dan pcnaingan ketat, Pemerintah
menciptakan bentuk­bentuk usaha negara, yaitu
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang menjalankan
urusan pcmerintahan di bidang perekonomian,
dengan berbagai bcntuk: Perusahaan Jawatan,
Perusahaan Umum, Perusahaan Persero.
Kriteria untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
ialah: "jabatan yang menjalankan urusan pemerintah
di bidang perekonomi­an, perdagangan,
perindustrian, pertanian yaitu tugas atau fungsi
pelayanan publik/umum (public service) untuk
menunjang kegiatan negara di bidang kesejahteraan
rakyat (public utilities) dan mencari untung (profit-
making).
Contoh: Badan atau Pejabat di lingkungan
kekuasaan negara tingkat pusat, ialah: Jabatan
Presiden sebagai Kepala Negara, Jabatan Menteri
Negara sebagai Kepala Departemen, Jabatan
Direktur Jenderal Pajak sebagai Kepala Direktorat
Jenderal Perpajakan Departemen Keuangan, dan
sebagainya.
Badan atau Pejabat di lingkungan kekuasaan negara
di tingkat daerah, ialah: Jabatan Gubemur sebagai
Kepala Daerah Provinsi, Jabatan Bupati/Walikota
sebagai Kepala Daerah Kabupaten/Kota, Jabatan
Camat sebagai Kepala Daerah tingkat Kecamatan,
Jabatan Lurah sebagai Kepala Desa, dan lain-
lainnya.
Instansi atau Pejabat di lingkungan BUMN, ialah: Direktur
Utama Perusahaan Perseroan (Persero) scbagai kepala
Perusahaan Perseroan, misalnya Direktur Utama PT Aneka
Gas Industri (Persero); Direktur Utama Semen Padang
(Persero), Direktur Utama Perusahaan Umum (Perum) sebagai
Kepala Perusahaan Umum, misalnya Direktur lJtama
Perusahaan Umum Kereta Api (Perum), Direktur Utama
DAMRI (Perum), Direktur Utama PT Perseroan Penerbangan
Garuda Indonesia.

Dalam praktik yang digugat Badan atau Pejabat Tata Usaha


Negara dalam kedudukan sebagai tergugat, ialah: Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I, misalnya Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibukota Jakarta; Direktur Utama Perusahaan
Perseroan (Persero), misalnya Direktur Utama PT Barata
Indonesia (Persero), Direktur Utama PT Krakatau Steel
(Persero), dan lain sebagainya.
B. Unsur Kepentingan
Gugatan ke Pengadilan diajukan, karena penggugat merasa
kepentingannya dirugikan akibat tindakan-tindakan
administrasi negara, yang dituangkan dalam surat Ketetapan.
Unsur "kepentingan" tersebut merupakan salah satu syarat bagi
penggugat dan pihak ketiga dalam proses PTUN (Pasal 53, jo
Pasal 83).
Unsur "kepentingan" dihubungkan dengan kedudukan orang
atau Badan Hukum Perdata dan pihak ketiga sebagai subjek
hukum, mempunyai arti yang penting.
Dalam HATUN diintrodusir lembaga pihak ketiga dalam proses,
baik atas prakarsa sendiri atau atas permohonan salah satu
pihak atau atas prakarsa Hakim, dapat masuk mencampuri
dalam proses sengketa.
Pasal 83 mengatur masuknya pihak ketiga selama proses
sengketa TUN, merupakan replika dari Reglement
Rechtsvordering (Rv) yang berlaku di muka Raad van Justitie
pada zaman Hindia Belanda.
Dalam Reglement Rechtsvordering (Rv) untuk golongan
Eropa dahulu ada lembaga intervensi ini, yaitu ikut
sertanya pihak ketiga dalam proses yang sedang berjalan.
(Pasal 279 - 282 Rv). Intervensi ada dua macam: yaitu
voeging dan tussenkomst. Jika pihak ketiga itu akan
menempatkan diri di samping salah satu pihak untuk
bersama­sama dengan pihak itu menghadapi pihak lain,
maka intervensi demikian disebut: voeging (ikut serta);
Jika masuknya pihak ketiga itu menempatkan diri di
tengah-tengah antara kedua belah pihak, membela
kepentingannya sendiri, maka intervensi demikian
disebut: tussenkomst (mencampuri). Di samping itu,
dalam Rv dikenal juga pemanggilan pihak ketiga ditarik
masuk dalam proses untuk menang­gung, disebut
vrijwaren (ditarik masuk), agar supaya tergugat bebas dari
penuntutan yang dapat merugikan dia. (Pasal 70-76 Rv).
Masuknya pihak ketiga dalam acara Rv itu
disyaratkan "kepentingan", artinya
kepentingannya akan terganggu, jikalau ia tidak
mencampuri proses, atau dengan mencampuri
proses itu ia dapat mempertahankan hak-haknya.
Apakah pengertian "kepentingan" dalam acara
PERATUN sama dengan "kepentingan" dalam
acara Rv; Tentu pengertiannya tidak sama, karena
dalam hubungan perdata tidak sama dengan
hubungan administrasi Negara. Undang-Undang
No. 5 tahun 1986 tidak memberikan penjelasan
mengenai pengertian "kepentingan". Oleh karena
itu haruslah dicari dalam ilmu pengetahuan dan
jurisprudensi.
Menurut Indroharto (1992: 181-184, 185-186), unsur "kepen­
tingan" tersebut dimaksudkan, mengandung dua arti, yakni:
a. Menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum.
Kepentingan dalam arti nilai, yang harus dilindungi oleh hukum,
adalah suatu nilai, baik yang bersifat menguntungkan maupun
yang merugikan yang ditimbulkan atau menurut nalar diharap­kan
akan timbul oleh keputusan keluarnya keputusan Tata Usaha
Negara atau suatu keputusan penolakan Tata Usaha Negara.
Kepentingan semacam itu dapat bersifat material atau imaterial,
individual atau umum (kolektif),
b. Kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan
melakukan proses gugatan. Kepentingan berproses, harus
mempunyai tujuan, apakah ada manfaatnya bagi kepentingan
umum.
Dari kedua arti kepentingan itu disimpulkan, bahwa menggu­nakan
hak menggugat yang ditentukan dalam Pasal 53 ada suatu
kepentingan yang dirugikan dengan keluamya keputusan TUN yang
digugat, secara konkreto kepentingan yang dirugikan tersebut
adalah:
1. Kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, yang
eksistensinya ditentukan oleh:
a. Faktor-faktor yang berkaitan dengan penggugat
sendiri yang harus merupakan:
- kepentingan penggugat sendiri, yang dalam
kaitannya dengan hak menggugat dan bukan
kepentingan orang lain.
- kepentingan pribadi maksudnya bukan
kepentingan pihak ketiga.
- kepentingan penggugat sendiri yang terkena
langsung oleh akibat ketetapan administrasi
negara.
- kepentingan yang dapat ditentukan, yakni
ditentukan secara objektif mengenai luas dan
intensitasnya.
b. Faktor-faktor yang ada kaitannya dengan keputusan TUN yang
digugat itu sendiri, artinya hanya keputusan yang menimbulkan
akibat-akibat hukum yang relevan untuk digugat.
 Menggambarkan adanya suatu kepentingan yang hendak
dicapai mengapa dilakukan proses gugatan yang
bersangkutan.
 Objek Sengketa Sengketa antara individu dan masyarakat
menyebabkan keseimbangan dan ketenteraman masyarakat
terganggu dan haruslah dipulihkan.
Apabila terdapat sengketa antara individu dan Alat-Alat
Negara (Pemerintah), maka hal ini secara umum diselesaikan
oleh Pengadilan Negeri, yang dalam kebanyakan hal hasilnya
kurang memuaskan, karena perselisihan antara Rakyat dan
Pemerintah (masyarakat), timbul di bidang khusus, yaitu
bidang TUN, yang tidak sama dengan perselisihan perdata
yang diadili oleh Pengadilan Negeri; Untuk maksud itu
dibentuk badan-badan peradilan yang melaksanakan
Peradilan Tata Usaha Negara (Rochmat Soemitro, 1987: 2-4).
C. Keputusan Tata Usaha Negara
Apakah yang dimaksud dengan "sengketa Tata Usaha Negara" itu? Tolok ukur
pangkal sengketa, yaitu sengketa administrasi yang diakibatkan oleh ketetapan
sebagai hasil perbuatan penetapan admi­nistrasi negara.
Administrasi Negara di dalam menjalankan tugas melakukan berbagai tindakan.
Tindakan-tindakan administrasi negara yang menimbulkan sengketa
administrasi baik secara intern maupun ekstem tentu berkaitan erat dengan
perbuatan hukum yang dilakukan oleh administrasi Negara itu sendiri. (Sjachran
Basah, 1989:15).
Jadi "sengketa tata usaha negara” ialah sengketa yang timbul dalam bidang Tata
Usaha negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, schagai akibat
dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan perundang­undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4).
Istilah "ketetapan", belum ada kesatuan pendapat di antara banyak pakar hukum
administrasi. Sering kali dipakai kata lain yang sepadan, seperti "beschikking"
atau "ketetapan", "surat penetapan", "penetapan". Akan tetapi maksudnya adalah
sama, ialah: "keputusan tertulis dari administrasi negara yang mempunyai akibat
hukum, untuk menyelenggarakan pemerintahan (dalam arti sempit). Atas dasar
itu, maka ketetapan menentukan situasi hukum yang konkrit dan mem­punyai
akibat hukum bagi yang terkena. (Sjachran Basah, 1989:21).
Unsur Keputusan Tata Usaha Negara
Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara mengandung
beberapa unsur, sebagai berikut:
1. Bentuk Tertulis
Suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara disyaratkan tertulis, bukan menunjuk kepada bentuk format
(formaliteiten), seperti surat pengangkatan atau pemberhentian pegawai
negeri, akan tetapi kepada isi (materi) yang menunjuk kepada hubungan
hukum. Oleh karena itu "Memo" atau "Nota" tertulis, asal maksudnya
jelas dan terang, sudah dianggap memenuhi syarat Keputusan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara; Misalnya: pembe­rian/pencabutan/ izin
praktik dokter, advokat/penasihat hukum; pemberian/penghentian bea
siswa; pemberikn/pencabutan izin bangun­an; pemberian/pencabutan
izin pergudangan; pemberian/pembatalan konsesi hutan; penetapan
pajak, pemberian atau pencabutan izin usaha dan lain-lain.
Persyaratan tertulis ini guna memudahkan segi pembuktian serta untuk
kepastian hukum, sehingga dengan demikian tindakan hukum yang
dilakukan secara lisan tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata
Usaha Negara. Misal Polisi mengatur tertib lalu lintas, karena kemacetan.
b. Materi Berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara
Tugas administrasi negara melaksanakan penyelenggaraan atau
pelayanan publik (umum), di berbagai bidang untuk
pembangunan, sehingga administrasi negara melakukan
perbuatan penetapan, yang selanjutnya berwujud ketetapan-
ketetapan. Berkaitan dengan perbuat­an penetapan tersebut,
maka tindakan administrasi negara sering melakukan
penyimpangan-penyimpangan, sehingga merupakan pe­
langgaran hak dan kewajiban asasi manusia dan mengakibatkan
terganggu keseimbangan antara kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat. Karena itu tindakan administrasi
negara, dirasakan melawan hukum dan mendatangkan kerugian
bagi yang terkena ketetapan tersebut, dalam hal ini masyarakat.
(Sjachran Basah, 1991:33).
Misalnya: keputusan mengenai_ izin usaha si Polan;
pemberhentian si B sebagai pegawai negeri; keputusan tentang
pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang
menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan itu;
c. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara
Keputusan Tata Usaha Negara yang
merupakan hasil perbuatan administrasi
negara dalam rangka pelaksanaan urusan
pemerintahan, dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara maupun Bad
Usaha Negara, termasuk Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) telah diuraikan di bagian
subjek hukum t
d. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku
Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mengambil tindakan
hukum dan sclanjutnya mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara
harus dilandasi atau bersumber pada ketentuan-ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Perkataan "perundang-undangan", di sini harus diartikan dalam arti
formil, artinya undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah bersama-
sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, baik di pusat maupun di daerah;
Tcrniasuk pengertian undang-undang meliputi segala peraturan-
peraturan yang dikeluarkan pihak eksekutif, yang merupakan
pelaksanaan undang-undang atau peraturan dacrah terse but. Juga
petunjuk tertulis atau pedoman, asal dibuat oleh Badan atau t'cjabat
eksekutif.
Jadi bukan perundang-undangan yang bersumber I lukum tak tertulis,
seperti: hukum adat atau kebiasaan. Misalnya: sumber tertulis di bidang
kepegawaian, ialah UU No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, PP No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri, dan lain-lainnya.
Selanjutnya termasuk pengertian "perundang-undangan" ialah
peraturan-peraturan yang dibuat oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
e. Bersifat Individual, Konkret dan Final
Tindakan Hukum Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
Badan atau pejabat Tata Usaha Negara bersumber pada ketentuan hukum
Tata Usaha negara menimbulkan hak dan kewajiban pada orang lain,
yakni:
Bersifat konkrit, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata
Usaha Negara itu, tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat
ditentukan, umpamanya keputusan mengenai rumah si A, izin usaha bagi
B, pemberhentian si C sebagai pegawai negeri.
Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak
ditujukan kepada umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang
dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang
yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya: keputusan tentang
pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan
nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut.
Bersifat konkrit, artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan
akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi
atasan atau instansi lain belum bersifat final, karenanya belum dapat
menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan.
Umpamanya: keputusan pengangkatan pegawai negeri memerlukan
persetujuan dari Badan Kepegawaian Negara.
f. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang atau Badan ffukum
Perdata
Keputusan Tata Usaha Negara yang tertuju kepada orang atau Badan
Hukum Perdata tertentu, menimbulkan akibat hukum, artinya
menimbulkan isuatu perubahan dalam suasana hubungan hukum
yang telah ada. Karena penetapan tertulis selalu menimbulkan
akibat hukum. Jika ia tidak menimbulkan akibat hukum, maka ia
bukan suatu penetapan tertulis sebagai dimaksud oleh Pasal 1
angka 3 tersebut. Sebagai suatu tindakan hukum penetapan tertulis
mampu menimbul­kan suatu perubahan dalam hubungan hukum
yang telah ada, umpamanya: melahirkan hubungan hukum baru,
menghapuskan hubungan yang telah ada, menetapkan status dan
sebagainya. Suatu penetapan tertulis itu melahirkan suatu
wewenang bagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang lain
untuk berbuat sesuatu, atau menyebabkan diubahnya atau
dicabutnya wewenang yang pemah dimiliki olch Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara, Contoh: penerap­an upaya paksa pada tindakan
penertiban, yang sebelum tindakan itu dilakukan didahului dengan
pemberitahuan tertulis, bahwa terhadap­nya akan dilakukan tindakan
penertiban (Indroharto, 1991: 118-119).
D. Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha
Negara
Ada sekelompok Keputusan Tata Usaha Negara yang
ditentukan dalam Pasal 2 UU No. 9 tahun 2004, tidak
dianggap tidak termasuk atau dikeluarkan dari
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan
demikian Pasal 2 ini, memberikan pcmbatasan
pengertian Penetapan Tertulis yang berakibat pula
mempersempit ruang lingkup kompetensi Pengadilan.
Alasan pembatasan ini diadakan oleh karena ada
beberapa jenis keputusan yang karena sifatnya atau
maksudnya memang tidak dapat digolongkan dalam
pengcrtian keputusan Tata Usaha Negara menurut
Undang-Undang Peradilan Administrasi Negara.
Jenis keputusan yang karena sifatnya atau maksudnya tersebut
adalah:

◦ Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan-Hukum Perdata,


umpamanya kcputusan yang menyangkut masalah jual­ beli, tukar-
menukar, sewa-menyewa, pemborongan kerja yang dilakukan antara
instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan
hukum perdata.
◦ Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum. Yakni pengaturan yang bersifat umum mengandung pengaturan
yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk
peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang. Umpamanya:
perubahan arus lalu lintas.
◦ Keputusan TUN yang masih memerlukan persetujuan. Yaitu keputusan
yang untuk dapat berlaku masih memerlukan persetujuan instansi atasan
atau instansi lain. Adakalanya peraturan dasar menentukan bahwa
persetujuan instansi lain itu diperlukan karena instansi lain tersebut
terlibat dalam akibat hukum yang akan ditimbulkan oleh keputusan itu.
Keputusan yang masih memerlu­kan persetujuan tetapi sudah menimbulkan
kerugian dapat digugat di Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.
◦ Keputusan TUN berdasarkan ketentuan Kitab Undang-­Undang
Hukum Pidana. Umpamanya dalam perkara lalu lintas di mana
terdakwa dipi ana dengan suatu pidana bersyarat, yang
mewajibkannya memikul biaya perawatan si korban selama
dirawat di rumah sakit. Karena kewajiban itu merupakan syarat
yang harus dipenuhi oleh terpidana, maka Jaksa yang menurut
Pasal 14 huruf d KUHP ditunjuk mengawasi dipenuhi atau tidaknya
syarat yang dijatuhkan dalam pidana itu, lalu mengeluarkan
perintah kepada terpidana agar segera mengirimkan bukti
pembayaran biaya perawatan tersebut kepadanya, atau Keputusan
TUN berdasarkan ketentuan Kitab Undang­Undang Hukum Acara
Pidana. Umpamanya kalau penuntut umum mengeluarkan surat
perintah penahanan tersangka, atau Keputusan TUN berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang bersifat
hukum pidana ialah umpamanya perintah Jaksa Ekonomi untuk
melakukan penyitaan barang-barang terdakwa dalam perkara
tindak pidana ekonomi. Penilaian dari segi penerapan hukumnya
terhadap ketiga macam keputusan TUN tersebut dapat dilakukan
hanya oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.
◦ Keputusan TUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pcmeriksaan Badan
Peradilan berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Umpamanya: keputusan Direktur Jendral Agraria yang
mengeluarkan sertifikat tanah atas nama seseorang yang didasarkan atas
pertimbangan putusan Pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, yang menjelaskan bahwa tanah sengketa tersebut merupakan
tanah negara dan tidak berstatus tanah warisan yang dipcrkarakan olch para
pihak, atau kcputusan serupa contoh di atas, tetapi didasarkan atas amar
putusan Pengadilan Perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Umpama lain: keputusan pemecatan seorang notaris oleh Menteri Kehakiman,
setelah menerima usul Ketua Pengadilan Negeri atas dasar kewenangannya
menurut Pasal 54 Undang-Undang No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
◦ Keputusan TUN mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia. Pada
dasamya Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan TNI tidak
berbeda dengan kedudukan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan Sipil. Akan tetapi karena TNI mempunyai sifat khusus, yang tidak
diperlakukan di luar lingkungan TNI, maka penetapan-penetapan yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN di lingkungan TNI dikeluarkan dari
kompetensi lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (Indroharto, 1991: 139-
140).
◦ Keputusan Komisi Pemilihan Umum , baik di pusat maupun di daerah
mengenai hasil pemilihan umum.
Sekiandan
terimakasih

Anda mungkin juga menyukai