Anda di halaman 1dari 42

PRESENTASI JURNAL BEDAH

MULUT
KELOMPOK A KEPANITERAAN
KLINIK 2019

Ari Stevanofiq Nadia Shabrina


Alya Hanifah Siti Nur Fajriyah
Ismiratul Maulida
AN OVERVIEW OF THE DIAGNOSIS AND
MANAGEMENT OF COMMON
MAXILLOFACIAL INJURIES IN THE
EMERGENCY SETTING
Review Article
Abdullah S Al-Gorashi et.al.
EC Dental Science 19.1 (2020): 01-12.
PENDAHULUAN

 Regio Maxillofasial merupakan daerah yang cukup rentan


terhadap injury
 Trauma akibat kecelakaan lalulintas merupakan injury
yang paling sering terjadi khususnya di area jaringan
lunak atau pun tulang.
 Daerah 1/3 tengah wajah merupakan bagian yang paling
rentan.
 Injury dapat diklasifikasikan menjadi:
 Facialbone fractures
 Dentoalveolar injuries.
PENDAHULUAN

 Manajemen dari injury maxillofacial mencangkup


aspek Fungsi dan estetika
 Pasien yang memerlukan intervensi bedah,
biasanya dirawat melalui: debridement luka,
mandibulo-maxillary fixation (MMF)
menggunakan arch bars atau eyelet wiring, open
reduction and internal fixation (ORIF), yang mana
biasanya menghasilkan hasil estetik dan fungsional
yang baik.
TUJUAN PENELITIAN
 Studi ini bertujuan untuk memberikan gambaran
umum (overview) mengenai manajemen injuri
maksilofasial dalam konteks emergensi
 Jurnal ini mengambil data data literatur dari sumber
pencarian Medline, Cochrane, dan EMBASE pada
25 Oktober 2019.
 Tulisan yang memuat diskusi terkait diagnosis, dan
manajemen dari injuri maxillofacial dalam bidang
kegawat daruratan untuk memperoleh informasi
yang relevan.
PEMBAHASAN JURNAL
MANAJEMEN AWAL PADA INJURI
MAXILLOFACIAL
 Manajemen dari injuri maxillofacial dapat dikategorikan menjadi
2 kelompok:
1. Perawatan kegawatdaruratan
2. Perawatan Definitif

 Protokol Advanced Trauma and Life Support (ATLS) diikuti


dengan baik pada unit perawatan kegawat daruratan
 Selama proses ini, beberapa aspek dari keadaan pasien di periksa,
dan tindakan intervensi mendesak dilakukan untuk
menyelamatkan pasien dari hal hal buruk lanjutan.
MANAJEMEN AWAL PADA INJURI
MAXILLOFACIAL
 Kondisi Airway (Jalan pernapasan) adalah hal yang
penting, dan dapat tetap dijaga menggunakan manuver
chin lift atau jaw thrust.
 Seorang tenaga medis harus memiliki kecurigaan
terhadap terjadinya cedera tulang leher pada pasien
tersebut, dan penggunaan cervical collar adalah hal
yang penting.
 Perdarahan harus dikontrol untuk mencegah shok
hipovolemik.
AIRWAY & BREATHING

 Terhambatnya jalur nafas merupakan penyebab utama


kematian pada pasien dengan trauma maxillofacial.
 Pemeriksaan tenggorokan & gejala gejala obstruksi
seperti: bunyi pernafasan, dengkuran, dan kesulitan
bernafas
 Menghilangkan debris dan suction adalah langkah awal
untuk memperoleh airway yang baik.
 Manuver chin lift & jaw thrust dapat menghilangkan
obstruksi jalan nafas dari jaringan lunak.
AIRWAY & BREATHING
 Pada pasien yang tidak sadarkan diri (pingsan), untuk
mencegah lidah jatuh ke belakang dapat menggunakan towel
clip.
 Jika prosedur ini tidak dapat membantuk jalur nafas,
laryngoscope dapat digunakan untuk memeriksa keberadaan
benda asing ataupun debri.

laryngoscope
towel clip
CIRCULATION
 Jika pembuluh darah major tidak mengalami
injuri, maka hal tersebut mengurangi
kemungkinan terjadinya shok hipovolemik.
 Perdarahan pada jaringan lunak dapat di
kurangi dengan metode penekanan pada area
perdarahan.
 Pada jenis luka perdarahan yang tidak
berhenti, dapat dilakukan penjahitan untuk
mendekatkan tepi dari luka.
INITIAL EXAMINATION OF THE FACE
 Pemeriksaan klinis dari wajah, harus dilakukan
dengan baik khususnya pada area yang
berdarah, mengalami deformitas, kebas,
edema, ekimosis, dan asimetris wajah.
 Lakukan evaluasi dengan melakukan palpasi
dari bagian superior dan inferior dari orbital,
hidung, maksila, arkus zygomatic, mandibula,
dan alveolar ridge.
CLASSIFICATION OF MANDIBULAR
FRACTURES
 Ada beberapa klasifikasi dari fraktur mandibula.
 Klasifikasi yang paling sering dipakai dari fraktur
mandibula adalah berdasarkan lokasi anatomis, yaitu:
Angle Fracture, Alveolar process, Body, Condyle,
Coronoid, Ramus & Simfisis/parasimfisis
 Metode lain dari klasifikasi fraktur mandibula adalah
di bagi menjadi traumatic dan pathological fractures
(Karena infeksi, tumor, dan kista)
MANAJEMEN DARI FRAKTUR
MANDIBULA
 Tujuan utama dari manajemen fraktur adalah menahan
kekuatan mekanis pada lokasi fraktur kepada lokasi yang
sehat dengan mengembalikan fungsi dari otot otot
mastikasi
 Langkah: Reduksi  fiksasi  imobilisasi

 Reduksi: langkah pertama dengan mengembalikan


bagian dari fraktur ke posisi anatomis semula.
 Fiksasi: yaitu melakukan fiksasi bagian fraktur tersebut
pada lokasi anatomisnya. Fiksasi dapat dilakukan dengan
atau tanpa anestesi lokal.
 Imobilisasi: yaitu mobilitas dari struktur dentoalveolar
dilakukan fiksasi dengan wire ataupun cara lainnya
MANAJEMEN DARI FRAKTUR MANDIBULA

 Reduksi dari fraktur mandibula dapat dilakukan dengan


Close method ataupun open method.
 Closed Reduction adalah mengembalikan fraktur tanpa
visualisasi dengan tujuan mengembalikan hubungan
maxila-mandibula. Hal ini disebut intermaxillary fixation
(IMF) atau maxillomandibula fixation (MMF).
 Jika closed reduction tidak memungkinkan dilakukan
ataupun pada kasus dari kegagalan closed reduction,
metode open reduction (dengan metode bedah) adalah
langkah yang dipilih.
LE FORT FRACTURES

Le Fort I (A), II (B), III (C) fracture patterns


on a three-dimensional model
TANDA DAN GEJALA
 Evaluasi mobilitas maksila
 Lengkung gigi rahang atas didukung oleh satu tangan dengan
menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, tangan lain memeriksa
mobilitas pada anterior nasal aperture, frontonasal suture, dan
zygomaticofrontal suture
 Sebagai hasil dragging force dari Pterygoids lateral dan
medial, fraktur akan berpindah ke belakang dan inferior
deformitas anterior open bite. Salah satu tanda penting
dalam diagnosis adalah maloklusi
 Hidung berdarah, raccoon eye, dan hipoestesi saraf
infraorbital pada beberapa tipe fraktur.
 Kebocoran cairan serebrospinal mungkin terjadi dengan
fraktur tipe II dan III
MANAJEMEN DARI FRAKTUR LE
FORT

Maloklusi minor,
Skeletal suspension
Teknik perpindahan
atau
minor, dan
tertutup maxillomandibular
penurunan
fixation (MMF)
mobilitas fraktur
Perawatan
Fraktur
Le Fort
Teknik open reduction and
Maloklusi parah internal fixation
terbuka (ORIF)
PALATAL FRACTURES

Classification of palatal fractures


TANDA DAN GEJALA
 Untuk diagnosis, periksa mobilitas segmen alveolar dari
seluruh RA
 Kemungkinan ada maloklusi akibat dari perpindahan
segmen
 Pertimbangkan fraktur garis dengan adanya ekimosis
palatal
MANAJEMEN DARI FRAKTUR
PALATAL

Jika tidak ada maloklusi atau


Minimal displacement
displacementobservasi
MMF (jika tidak ada
tanpa menggunakan
kontraindikasi)
intervensi apa pun.

Palatal splints dan gunning ORFI  diindikasikan untuk


dapat digunakan dalam tipe highly mobile dan
teknik tertutup displaced
NASO-ORBITAL-ETHMOID (NOE) FRACTURES

Naso-orbital-ethmoid fracture types. A, type I Naso-orbital-ethmoid fracture. B, type II


naso-orbital-ethmoid fracture. C, type III naso-orbital-ethmoid fracture
Fraktur NOE tiga jenis (I, II
dan III) dan epistaksis adalah
tanda umum pada semua jenis
tersebut.

Pelebaran nasal bridge dan


splayed nasal complex umum
terjadi pada pasien trauma.

TANDA DAN
GEJALAN Pembulatan canthus medial adalah
tanda traumatic telecanthus (jarak
intercanthal > 40mm) dan
detachment medial canthal tendon.

Untuk mendeteksi
ketidakstabilan fraktur
NOEtes bimanual
MANAJEMEN
 Pada tipe Imenstabilkan fraktur
 Pada tipe II menstabilkan segmen sentral.

 Pada tipe IIIrekonstruksi dinding orbital medial dan


transnasal wiring
ORBITAL FRACTURES
TANDA DAN GEJALA

Saat mencurigai fraktur dinding Ekimosis periorbital dan


Fraktur dinding orbita memiliki
orbital, otot ekstraokular perdarahan
lima pola dan diplopia adalah
entrapment harus diperiksa dan subkonjungtivaindikasi fraktur
tanda umum pada semuanya.
dilakukan forced duction test. orbital.

Enophthalmussaat peningkatan
volume orbital atau kehilangan
Hypoesthesiaterutama dalam
kontennya, terutama komponen
kasus keterlibatan tepi
lemak, yang merupakan indikasi
infraorbital.
untuk melakukan orbital
reconstruction.
MANAJEMEN

Observasi  pada fraktur orbital yang tidak atau bergeser minimal


tanpa ada pemasalahan pada mata

Positive-forced duction dan enophthalmos adalah indikasi


penting dari rekonstruksi / perbaikan orbital.

Ukuran fraktur, waktu, dan ketersediaan biomaterial merupakan


faktor penentu dalam proses rekonstruksi.

Fraktur yang mempengaruhi lebih dari 50% atau 2 cm dari orbital


harus diperbaiki.
DENTOALVEOLAR INJURIES

 Riwayat cedera
 Hanya dentoalveolar atau disertai cedera bagian lain.
 Kemungkinan patah, longgar atau berpindah dari posisi atau
bahkan avulsi dapat terjadi (kemungkinan besar di gigi seri
sentral)
 Riwayat dari mekanisme cedera, durasi avulsi, dan
profilaksis tetanus.
 Riwayat medis menentukan kebutuhan akan profilaksis
bakteri endokarditis
PEMERIKSAAN KLINIS

 Pemeriksaan jaringan lunak ekstra-oral


 Laserasi, memar, fraktur Maxillofasial
 Bibir, gingiva, dan mukosa harus diperiksa dan diperiksa
untuk gigi yang di dalam mukosa .
 Menghitung semua gigi dan jika ada gigi yang
hilangrontgen dada.
 Menilai mobilitas semua gigi, alveolus dan oklusi
PENILAIAN RADIOLOGIS

 Radiograf panoramik dan posteroanterior untuk


diagnosis
 Cone-beam computed tomography (CBCT) jika
memungkinkan
 Rontgen dadauntuk mendeteksi gigi yang terhirup
MANAJEMEN
 Displaced segments pada tulang alveolar ditempatkan
kembali secara manual dan memerlukan anestesi lokal.
 Dicetak dan pemasangan splint
GIGI AVULSI
 Gigi susu tidak perlu direimplantasi
 Reimplantasi gigi permanen dilakukan secepat mungkin
untuk menghindari nekrosis dari sel ligament periodontal.
 Saat reimplantasi, gigi dipegang pada mahkota dan dicuci
lembut dengan saline. Jangan disterilisasi, dan gumpalan
dalam soket tidak boleh dilepas sebelum reimplantasi.
 Setelah memasukkan gigi ke soket, bagian bukal dan
alveolar plate harus dikompresi dan jika gigi tidak dapat
ditempatkan dengan mudah, pasien harus menggigit kasa
untuk menahan gigi ditempat tsb.
 Diberikan antibiotic oral, analgesic, dan chlorohexidine,
serta profilaksis tetatus jika pasien tidak diimunisasi.
 Media penyimpanan
 Saliva sulkus bukal
 Susu dingin
 Salinpilihan terakhir

 Laserasi harus dibersihkan dan dicuci. Laserasi dapat


dijahit dan dilakukan anestesi lokal
KESIMPULAN
 Manajemen cedera maksilofasial dapat dikategorikan secara luas
menjadi dua kelompok; perawatan darurat dan perawatan
definitif.
 Perhatian besar harus diberikan pada jalan napas karena
obstruksinya adalah penyebab utama kematian di antara pasien
dengan cedera maksilofasial yang parah.
 Langkah selanjutnya adalah mengendalikan setiap perdarahan,
pembentukan jalur intravena dengan lubang besar dan larutan
kristaloid atau darah dapat diberikan untuk resusitasi.
 Akhirnya, evaluasi dan palpasi superior and inferior orbital rims,
hidung, rahang atas, lengkung zygomatik, mandibula, dan kedua
alveolar ridge.
 Pemeriksaan lebih lanjut, investigasi atau manajemen terutama
didasarkan pada penilaian awal dan stabilisasi pasien.
REFERENSI
 Abdullah S Al-Gorashi., et al. “An Overview of the
Diagnosis and Management of Common Maxillofacial
Injuries in the Emergency Setting”. EC Dental Science
19.1 (2020): 01-12.

Anda mungkin juga menyukai