Anda di halaman 1dari 39

INFEKSI MENULAR SEKSUAL

Oleh:
Queen Yosefin Mailoa, S.Ked
2018-84-035
 
PAPILOMA LARING
DEFINISI

• Papiloma laring adalah tumor jinak yang sering dijumpai


pada anak-anak, yang seringkali menimbulkan sumbatan
jalan napas yang dapat mengakibatkan kematian.

• Papiloma laring berkembang dengan cepat walaupun tidak


ganas. Tumor ini dapat menyebar ke rongga mulut, hidung,
trakea dan paru-paru, tetapi lokasi tersering adalah laring.
ETIOLOGI

• Diduga berhubungan dengan infeksi Human Papiloma virus


(HPV) tipe 6 dan 11.

• Beberapa keadaan diduga berperan sebagai faktor


predisposisi seperti keadaan ekonomi rendah, higiene yang
buruk, infeksi saluran nafas kronik, dan terdapatnya
kondiloma akuminata pada ibu.
EPIDEMIOLOGI
• Papiloma laring lebih sering dijumpai pada anak-anak, 80% pada
kelompok usia di bawah 7 tahun. Insidensi papilloma laring pada
dewasa adalah 0,54 per 100.000 / tahun

• Terdapat 2 bimodal distribusi usia berdasarkan onset terjadinya yaitu


Juvenile Recurrent Respiratory Papillomatosis (JRRP) onset saat
umur 2-4 tahun / < 7 tahun dan Adult Recurrent Respiratory
Papillomatosis (ARRP) onset saat umur 20-40 tahun

• Menurut jenis kelamin, perbandingan JRRP pada laki-laki dan


perempuan sama banyak, sedangkan ARRP lebih sering dijumpai
pada laki-laki dengan perbandingn 4:1
GEJALA KLINIS

• Suara serak yang progresif

• Sesak napas dengan stridor dan distress respirasi

• Tenggorokan terasa menganjal

• Batuk yang kronis


Sumbatan saluran napas atas dapat dibagi menjadi 4 derajat
berdasarkan kriteria Jackson :

• Jackson I : ditandai dengan sesak, stridor inspirasi, retraksi


suprasternal, tanpa sianosis

• Jackson II : adalah gejala Jackson I tetapi lebih berat yaitu disertai


retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak
mulai gelisah

• Jackson III : adalah Jackson II yang bertambah berat disertai retraksi


interkostal, epigastrium, dan sianosis lebih jelas

• Jackson IV : ditandai dengan gejala Jackson III disertai wajah yang


tampak tegang, dan terkadang gagal napas
DIAGNOSIS

• Anamnesis : adanya riwayat suara parau

• Pemeriksaan :

*Laringoskopi indirek dan direk

*Pada anak-anak dapat dipertimbangkan pemakaian “flexible


fibreoptic nasopharyngoscopy“

*Biopsi dan pemeriksaan histopatologi


DIAGNOSIS BANDING

• Polip pita suara

• Kista pita suara


PENATALAKSANAAN

• Pembedahan : untuk mengambil seluruh papilloma dan


memelihara struktur normal sehingga membebaskan
obstruksi jalan napas, memperbaiki kualitas suara,
mengembalikan ke fungsi senormal mungkin

• Modalitas pembedahan yang sering digunakan untuk


papilloma laring adalah mikrolaringoskopi dengan
ekstirpasi/reseksi menggunakan forsep
• Terapi adjuvan bertujuan untuk meningkatkan hasil dari
tindakan pembedahan, biasanya diberikan pada penderita
yang menjalani pembedahan ≥ 4 kali dalam setahun,
papillomanya meluas terutama ke arah distal dan
pertumbuhan yang sangat cepat sehingga sering menutup
jalan napas

• Terapi adjuvan tersebut antara lain pemberian anti viral


seperti acyclovir dan ribavirin, pemberian vaksin HPV, vaksin
MMR
PROGNOSIS

• Angka rekurensi dapat mencapai 40%

• Diagnosis dini dan penanganan yang tepat merupakan faktor


yang berpengaruh terhadap rekurensi

• Penyebab kematian biasanya karena penyebaran ke paru


MOLUSKUM
KONTAGIOSUM
DEFINISI

• Moluskum kontagiosum adalah penyakit kulit jinak


memiliki ciri membran mukus dan disebabkan oleh
poxvirus

• Manifestasi penyakitnya asimptomatis


ETIOLOGI
• Etiologi dari penyakit ini adalah virus (genus
Molluscipoxvirus) yang menyebabkan moluskum
kontagiosum menjadi anggota dari family poxviridae.

• Molluscum Contagiosum Virus (MCV) merupakan


virus double stranded DNA, berbentuk lonjong dengan
ukuran 230 x 330 nm.
EPIDEMIOLOGI
• Angka kejadian moluskum kontagiosum di seluruh dunia
diperkirakan sebesar 2% - 8%, dengan prevalensi 5% -
18% pada pasien HIV/AIDS.
• Moluskum kontagiosum bersifat endemis pada komunitas
padat penduduk, higiene buruk dan daerah miskin.
• Penyakit ini terutama menyerang anak-anak, usia dewasa
dengan aktivitas seksual aktif dan status imunodefisiensi.
• Penularan dapat melalui kontak langsung dengan lesi
aktif atau autoinokulasi, penularan secara tidak langsung
melalui pemakaian bersama alat-alat pribadi seperti
handuk, pisau cukur, alat pemotong rambut serta
penularan melalui kontak seksual.
GEJALA KLINIS
• Lesi yang ditimbulkan oleh MCV biasanya berwarna putih,
pink, atau warna daging, papul yang meninggi atau nodul
• Lesi moluskum kontagiosum dapat timbul sebagai lesi
multipel atau single (biasanya <30 papul)
• Walaupun pada pasien biasanya asimtomatis, mungkin
muncul ekzema di sekitar lesi dan pasien bisa
mengeluhkan gatal atau nyeri
• Pada orang dewasa lesi dapat pula ditemui di daerah
perigenital dan perianal (hal ini berkaitan dengan penularan
virus melalui hubungan seksual)
DIAGNOSIS
• Penegakan diagnosis moluskum kontagiosum secara pasti
dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik lesi yang cermat.

• Pemeriksaan histopatologi moluskum kontagiosum


menunjukkan gambaran proliferasi sel-sel stratum spinosum
yang membentuk lobules disertai central cellular dan viral
debris.

• Lobulus intraepidermal dipisahkan oleh septa jaringan ikat


dan didapatkan badan moluskum di dalam lobulus berupa sel
berbentuk bulat atau lonjong yang mengalami degenerasi
keratohialin.
• Pada stratum basalis dijumpai gambaran mitosis sel
dengan pembesaran nukleus basofilik.

• Beberapa kasus lesi moluskum kontagiosum dengan


infeksi sekunder, didapatkan gambaran inflamasi
predominan limfosit dan neutrophil pada pemeriksaan
histopatologi.
DIAGNOSIS BANDING

• Intradermal nevus

• Granuloma pyogeni
PENATALAKSANAAN
• Bedah Beku (Cryosurgery) merupakan salah satu terapi yang
umum dan efisien digunakan dalam pengobatan moluskum
kontagiosum, terutama pada lesi predileksi perianal dan perigenital.
Efek samping meliputi rasa nyeri saat pemberian terapi, erosi,
ulserasi serta terbentuknya jaringan parut hipopigmentasi maupun
hiperpigmentasi.
• Terapi lainnya berupa eviserasi yang merupakan metode yang
mudah untuk menghilangkan lesi dengan cara mengeluarkan inti
umbilikasi sentral melalui penggunaan instrumen seperti skalpel,
ekstraktor komedo dan jarum suntik. Penggunaan metode ini
kebanyakan tidak dapat ditoleransi oleh anak-anak.
• Suspensi podofilin 25% dalam larutan benzoin atau alkohol dapat
diaplikasikan pada lesi dengan menggunakan lidi kapas, dibiarkan
selama 1 -4 jam kemudian dilakukan pembilasan dengan
menggunakan air bersih. Pemberian terapi dapat diulang sekali
seminggu
• Sedangkan cantharidin merupakan agen keratolitik berupa larutan
yang mengandung 0,9% collodian dan acetone. Telah
menunjukkan hasil memuaskan pada penanganan infeksi
Molluscum Contagiosum Virus (MCV). Pemberian bahan ini
terbatas pada puncak lesi serta didiamkan selama kurang lebih 4
jam sebelum lesi dicuci. Cantharidin menginduksi lepuhan pada
kulit sehingga perlu dilakukan tes terlebih dahulu pada lesi sebelum
digunakan. Bila pasien mampu menoleransi bahan ini, terapi dapat
diulang sekali seminggu sampai lesi hilang.

• Medikamentosa lainnya adalah Cimetidine yang merupakan


antagonis reseptor histamin H2 yang menstimulasi reaksi
hipersensitifitas tipe lambat.Mekanisme kerja Cimetidine pada
terapi moluskum kontagiosum masih belun diketahui secara jelas.
Sebuah studi menunjukkan keberhasilan penggunaan cimetidine
dosis 40 mg / kgBB / oral / hari dosis terbagi dua pada pengobatan
moluskum kontagiosum dengan lesi ekstensif. Cimetidine
berinteraksi dengan berbagai pengobatan sistemik lain, sehingga
perlu dilakukan anamnesis riwayat pengobatan pada pasien yang
akan mendapat terapi obat ini.
PROGNOSIS

Pasien akan sembuh spontan, tapi biasanya setelah


waktu yang lama, berbulan – bulan sampai tahunan. Dengan
menghilangkan semua lesi, penyakit ini jarang atau tidak
residif.
HIV – AIDS
DEFINISI HIV-AIDS
• HIV adalah singkatan dari Human Immunodefficiency
Virus, yaitu nama virus yang menyebabkan
berjangkitnya AIDS

• AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno


Defficiency Syndrome, yaitu kumpulan gejala
akibat menurunnya kekebalan tubuh yang terjadi
karena seseorang terinfeksi virus HIV
EPIDEMIOLOGI
Penyebaran HIV AIDS menurut Menkes, presentasi
kasus AIDS pada tahun 1987 – Juni tahun 2012
dilaporkan berdasarkan kelompok umur tertinggi pada
kelompok umur 20-29 tahun (41,5%), diikuti kelompok
umur 30-39 tahun (30,8%), kelompok umur 40-49 tahun
(11,6%), kelompok umur 15-19 tahun (4,1%) dan umur
50-59 tahun (3,7%).
Sedangkan presentasi kasus AIDS lebih banyak
terdapat pada laki-laki (70%) dari pada perempuan
(29%).
FAKTOR RISIKO
Faktor risiko epidemiologis infeksi HIV adalah sebagai
berikut :
1. Perilaku berisiko tinggi :
• Hubungan seksual dengan pasangan berisiko tinggi
tanpa menggunakan kondom
• Pengguna narkotika intravena, terutama bila
pemakaian jarum secara bersama tanpa sterilisasi
yang memadai
• Hubungan seksual yang tidak aman : multi partner,
pasangan seks individu yang diketahui terinfeksi HIV,
kontak seks per anal
2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.

3. Riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa


penapisan.

4. Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik, atau sirkumsisi


dengan alat yang tidak disterilisasi.
PENULARAN HIV
• Hubungan Seksual

• Darah, jaringan dan organ

– Transfusi, transplantasi.
– Penggunaan ulang jarum suntik, dan
instrumen tusuk lainnya.
• Ibu ke anak
GEJALA KLINIS

• Perjalanan infeksi HIV, jumlah limfosit T–CD4, jumlah


virus dan gejala klinis melalui 3 fase yaitu :
1. Fase Infeksi Akut
2. Fase Infeksi Laten
3. Fase Infeksi Kronis
1. Fase Infeksi Akut
• Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang
menghasilkan virus-virus baru (virion) jumlahnya berjuta-juta virion.
Diperkirakan bahwa sekitar 50 – 70 % orang yang terinfeksi HIV
mengalami sindrom infeksi akut selama 3 sampai 6 minggu setelah
terinfeksi virus dengan gejala umum yaitu demam, faringitis,
limfadenopati, artralgis, mialgia, latargi, malaise, nyeri kepala,
mual, muntah, diare, anoreksia, penurunan berat badan. HIV juga
sering menimbulkan kelainan pada sistem saraf meskipun paparan
HIV terjadi pada stadium infeksi masih awal. Menyebabkan
meningitis, ensefalitis, neuropati parifer, dan mielopati.
• Gejala pada dermatologi yaitu ruam makropapuler eritematosa dan
ulkus mukokutan. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang
dramatis dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai
terjadi respon imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih di atas
500 sel/mm3 dan kemudian akan mengaalami penurunan setelah 6
minggu terinfeksi HIV.
2. Fase Infeksi Laten
• Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus
dalam Sel Dendritik Folikuler (SDF) di pusat germinativum kelenjar
limfe menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang, dan
mulai memasuki fase laten. Pada fese ini virus jarang ditemukan di
plasma karena sebagian besar virion terakumulasi di kelenjar limfe
dan terjadi replikasi di kelenjar limfe. Sehingga penurunan limfosit T
terus berlangsung terus terjadi walaupun virus di plasma jumlahnya
sedikit.
• Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500
sampai 200 sel/mm3, meskipun terlah terjadi setelah serokonversi
positif individu umumnya belum menunjukkan gejala klinis
(asimtomatis). Fase ini berlangsung rerata sekitar 8-10 tahun
(dapat 3-13 tahun) setelah terinfeksi HIV. Pada tahun ke delapan
setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam,
banyak berkeringat pada malam hari, kehilangan berat badan
kurang dari 10 %, diare, lesi pada mukosa dan kulit berulang,
penyakit infeksi kulit berulang. Gejala ini merupakan tanda awal
infeksi oportunistik.
3. Fase Infeksi Kronis
• Selama berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfe terus
terjadi replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF
karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap
virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahkan ke dalam
darah.

• Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di


dalam sirkulasi sistemik. Respon imun tidak mampu meredam
jumlah virion yang berlebihan tersebut. Limfosit semakin tertekan
karena intervensi HIV yang semakin banyak.

• Terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4 hingga dibawah 200


sel/mm3. Penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun
menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam
penyakit infeksi sekunder. Perjalanan penyakit semakin progresif
yang mendorong kearah AIDS.
• Infeksi sekunder yang sering menyertai adalah pneumonia yang
disebabkan Pneumocytis carinni, tuberkulosis, sepsis,
toksoplasmosis ensefalitis, diare akibat kriptosporidiasis, infeksi
virus sitomegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis esofagus,
kandidiasis trakhea, kandidiasis bronkus atau paru serta infeksi
jamur jenis lain misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis.
Terkadang ditemukan beberapa jenis kanker yaitu kanker kelenjar
getah bening dan kanker sarkoma Kaposi’s

• Selain 3 fase tersebut ada periode masa jendela yaitu periode


dimana pemeriksaan tes antibodi HIV masih menunjukkan hasil
negatif walaupun virus sudah ada dalam darah pasien dengan
jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup
terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium kadarnya belum
memadai. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul dalam 3-6
minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Periode jendela
sangat penting diperhatikan karena pada periode jendela ini pasien
sudah mampu dan potensial menularkan HIV kepada orang lain.
Infeksi HIV Primer
Asimtomatis
Sindrom infeksi akut
Stadium I
Asimtomatis
Pembesaran kelenjar getah bening
Stadium II
Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan (< 10% dari berat badan sebelumnya)

Infeksi berulang pada saluran pernapasan atas (sinusitis, bronkhitis, pharingitis)


Herpes zoster
Angular cheiltis
Ulserasi mukosa oral berulang
Prurigo
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur di kuku
Stadium III
Kehilangan berat badan
Diare kronis dengan penyebab tidak jelas , > 1 bulan
Demam dengan sebab yang tidak jelas (intermitten atau tetap), > 1 bulan
Kandidiasis oral
Oral hairy leukoplakia
TB Pulmoner, dalam dua tahun terkahir
Infeksi bacterial berat (missal: pneumonia, empyema, meningitis,piomiositis)
Keluhan gigi geligi (gingivitis atau periodontitis)
Stadium IV
HIV wasting syndrome
Pneumocystis pneumonia
Infeksi Herpes simpleks, > 1 bulan
Kandidiasis esophagus, trachea, bronkus, dan paru-paru
TB ekstrapulmonari
Sarkoma Kaposi’s
Toxoplasmosis
Ensefalopathy HIV
Kriptokokosis ektrapulmoner termasuk meningitis
Infeksi mikobakteri non-TB
Salmonelosis non tifoid disertai setikemia
Limfoma maligna
Berbagai infeksi jamur berat (histoplasma, coccidiomycosis,penicilliosis)
DIAGNOSIS
• Anamnesis

• Pemeriksaan Fisik

• Pemeriksaan Penunjang
PENCEGAHAN
• A : Abstinance (tidak hubungan seks)

• B : Be Faithful (setia)

• C : Use Condom (kondom)

• D : No. Drug (narkoba)

• E : Early Treatment/Tes (segera berobat/tes)


TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai