Bioinsektisida ??? Bioinsektisida adalah pestisida yang berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada serangga tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap hewan-hewan lainnya maupun tumbuhan. jenis mikroba yang akan digunakan senagai insektisida harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada jenis-jenis lainnya. Asal-usul penggunaan Bioinsektisida
Pengendalian hayati khususnya pada penyakit tumbuhan
dengan menggunakan mikroorganisme telah dimulai sejak lebih dari 70 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1920 sampai 1930. Sejumlah mikroba telah dilaporkan dalam berbagai penelitian efektif sebagai agen pengendalian hayati hama dan penyakit tumbuhan. Bacillus thuringiensis, digunakan sebagai pengendali hama karena sifatnya yang spesifik terhadap hama dan tidak berbahaya bagi manusia, ikan, burung, anjing, babi, tikus, atau hama-hama tanaman lainnya juga tidak bersifat kasrinogenik, kemampuannya sebagai pengendali hama disebabkan oleh kristal protein yang diproduksinya • Penggunaan insektisida kimia sering menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, seperti serangga menjadi resisten, matinya serangga bukan target serta kerusakan ekosistem. Oleh karena itu dibutuhkan agen biologi yang mempunyai sifat-sifat seperti insektisida kimia, yaitu mempunyai toksisitas tinggi terhadap serangga target, dapat diproduksi pada skala industri, mempunyai masa simpan lama dan mudah dalam transportasi Proses pembuatan Bioinsektisida ini Menggunakan Bakteri Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis adalah bakteri gram positif, berbentuk batang yang tersebar luas di berbagai negara. Bakteri ini termasuk patogen falkultatif dan dapat hidup di daun tanaman konifer maupun pada tanah. Apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan maka bakteri ini akan membentuk fase sporulasi. Saat sporulasi terjadi, tubuhnya akan terdiri dari protein Cry yang termasuk ke dalam protein kristal kelas endotoksin delta. Apabila serangga memakan toksin tersebut maka serangga tersebut dapat mati. Oleh karena itu, protein atau toksn Cry dapat dimanfaatkan sebagai pestisida alami Bacillus thuringiensis ini menghasilkan kristal protein yang bersifat membunuh serangga (insektisidal) sewaktu mengalami proses sporulasinya. Kristal protein yang bersifat insektisidal ini sering disebut dengan δ-endotoksin. Kristal ini sebenarnya hanya merupakan protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek serta mempunyai sifat insektisidal. Pada umumnya kristal Bacillus thuringiensis di alam bersifat protoksin, karena adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga dapat mengubah Bt-protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin. Pemilihan Bacillus thuringiensis sebagai bioinsektisida didasarkan pada berbagai pertimbangan keuntungan dan kelemahannya. Keuntungannya antara lain : • δ-endotoksin tidak bersifat toksik terhadap vertebrata serta tanaman dan tidak mengganggu predator dan serangga berguna. Keamanan preparat ini menyebabkan insektisida mikrobial dapat digunakan sampai waktu panen, ini sangat menguntungkan bagi sayuran khususnya • Seleksi Bacillus thuringiensis dapat menghasilkan strain dengan´δ- endotoksin yang lebih ampuh serta kisaran serangga sasaran yang berbeda dengan preparat komersial yang ada. • Proses pertumbuhan dan pembentukan kristal protein dapat diatur. Ini berarti bahwa untuk produksi kristal protein pengendalian biakan mikroba sampai terbentuknya kristal protein relatif mudah dilakukan. • Proses pertumbuhan dan pembentukan kristal protein dapat diatur. Ini berarti bahwa untuk produksi kristal protein pengendalian biakan mikroba sampai terbentuknya kristal protein relatif mudah dilakukan. • Persistensi yang rendah di alam. Aplikasi B. thuringiensis biasanya dilakukan berulang kali. Germinasi yang lambat dari B. thuringiensis menjadi salah satu sebab lemahnya persistensi mikroba ini di dalam tanah • Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epithelium di midgut serangga. Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa toksin Bt ini menyebabkan terbentuknya pori-pori atau lubang yang sangat kecil di sel membran di saluran pencernaan dan mengganggu keseimbangan osmotik dari sel-sel tersebut. Karena keseimbangan osmotik terganggu, sel menjadi bengkak dan pecah dan menyebabkan matinya serangga Bagaimana Prosesnya???
Proses pembuatan Formulasi B. thuringienis Formulasi dilakukan
dalam dua bentuk yaitu padat dan cair. Formulasi dalam bentuk padat (bubuk) menggunakan beberapa macam bahan pembawa yaitu lempung (kaolin, white clay, dan brown clay) dan atau gom arab (arabic gum). Pada saat awal dilakukan pengujian volume optimum B. thuringiensis untuk masing-masing lempung untuk menghasilkan bioinsektisida dengan kelembaban yang optimum. Dalam pengujian ini, volume yang diuji adalah 3 level yaitu 1,5; 5; dan 10%. Bahan utama dalam formulasi padat adalah kaolin, white clay, dan brown clay yang dicampur dengan atau tanpa gom arab sebagai perekat kristal protein. Pada formula cair digunakan larutan osmoprotektan yaitu maltosa dan natrium khlorida. Proses produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis Produksi bioinsektisida diawali dengan penyegaran isolat, dilanjutkan dengan persiapan inokulum medium kultivasi. Satu lup biakan Bacillus thuringiensis diinokulasi dalam 50 mL media limbah cair tahu yang telah disterilisasi menggunakan autoclave, kemudian diinkubasi pada rotary shaking incubator, dengan kecepatan agitasi 150 rpm, suhu 28-32oC, selama 16 jam. Selanjutnya kultur tersebut digunakan sebagai starter media kultivasi dengan penambahan 10% (v/w) dari berat media yang digunakan Kultivasi media padat mengacu pada metode Capablo et al. (2001) yang dimodifikasi. Media kultivasi menggunakan campuran ampas sagu: ampas iles-iles dengan perbandingan 1 : 2. Konsentrasi elemen mikro disesuaikan dengan kondisi minimum yang dipergunakan yaitu 1 g/L CaCO3, 0,3 g/L MgSO4.7H2O, 0,02 g/L MnSO4.7H2O, 0,02 g/L FeSO4.7H2O dan 0,02 g/L ZnSO4.7H2O. Kelembaban bahan diatur hingga nilai aw mencapai 0,92, kondisi pH diatur pada pH 6,8 – 7,2, dan diinkubasi pada suhu 30oC UJI HAYATI Pengujian kemampuan bioinsektisida dengan melihat toksisitas produk dari hasil kultivasi 96 jam. Pengujian kemampuan toksisitas pada serangga, dilakukan terhadap larva nyamuk Aedes aegepty dan ulat Crocidolomia pavonana, keduanya pada kondisi instar II. Pengujian kemampuan toksisitas terhadap larva Aedes aegepty dilakukan dengan menggunakan metode yakni sampel diencerkan secara serial sebanyak lima taraf konsentrasi menggunakan akuades, volume larutan dibuat 10 mL. Sebanyak 10 ekor larva nyamuk Aedes aegepty dimasukan ke dalam tabung yang telah berisi sampel. Sebagai kontrol digunakan akuades tanpa sampel. Pengamatan jumlah larva nyamuk yang mati dilakukan setelah 24 jam. Jumlah ulangan dilakukan 5 kali. KULTIVASI PRODUK
Pertumbuhan dan pembentukan produk selama proses
kultivasi dapat diamati melalui perubahan pH cairan kultivasi, pengukuran jumlah sel, pembentukan spora, konsumsi Selama kultivasi berlangsung terjadi perubahan pH pada media kultivasi, perubahan ini disebabkan oleh adanya perubahan kesetimbangan ion hidrogen yang terjadi akibat pengaruh pembentukan produk. Selama kultivasi Bacillus thuringiensis dapat menghasilkan asam laktat, asam piruvat, asam asetat dan poli--hidroksi butirat. Pembentukan spora oleh Bacillus thuringiensis selama kultivasi merupakan hal yang sangat penting dalam proses produksi bioinsektisida. Bacillus thuringiensis akan membentuk spora bersamaan dengan terbentuknya kristal protein yang berfungsi sebagai bahan aktif pada bioinsektisida. Oleh sebab itu semakin banyak spora yang terbentuk maka diharapkan makin tinggi jumlah kristal protein yang dihasilkan, sehingga dengan melihat jumlah spora yang terbentuk dapat digunakan untuk menentukan waktu panen sebagai indikator bahwa produk telah terbentuk TERIMAKASIH