Anda di halaman 1dari 43

HUKUM KETENAGAKERJAAN

ASPEK HUKUM
KETENAGAKERJAAN
PENGANTAR
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan
bahwa ketenagakerjaan adalah segala yang berhubungan
dengan tenga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah
masa kerja.
Pengertian ini sesuai dengan perkembangan ketenagakerjaan
saat ini yang sudah sedemikian pesat akibat intervensi
pemerintah. Karena itulah substansi kajian hokum
ketenagakerjaan tidak hanya meliputi hubungan antara buruh
dengan pekerja dalam hubungan hokum kerja semata, tetapi
telah bergeser menjadi hubungan hokum antara pekerja,
pengusaha, dan pemerintah yang substansi kajian tidak hanya
mengatur hubungan hokum dalam hubungan kerja saja (during
employment), tetapi mulai dari sebelum hubungan kerja (pra
employment) sampai setelah hubungan kerja (post
employment).
A. Aspek Hukum Ketenagakerjaan Sebelum
Hubungan Kerja (Pra Employment :
Bidang hokum ketenagakerjaan sebelum
hubungan kerja adalah bidang yang
berkenaan dengan kegiatan mempersiapkan
calon tenaga kerja sehingga memiliki
ketrampilan yang cukup untuk memasuki
dunia kerja, termasuk upaya untuk
memperoleh/mengakses lowongan pekerjaan
baik di dalam maupun di luar negeri dan
mekanisme yang harus dilalui oleh tenaga
kerja sebelum mendapatkan pekerjaan.
Bidang-bidang tersebut meiputi :
1. Penempatan Tenaga Kkerja Di Dalam Negeri

Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) atau


Penempatan Tenaga Kerja di dalam Negeri adalah
antar kerja yang dilaksanakan antar kantor-kantor
wilayah Departemen Tenaga Kerja yang satu
dengan lainnya dalam suatu wilayah/propinsi
(tujuan penyebaran tenaga kerja yang merata).
Contoh : Program Transmigrasi. Landasan
Hukum : Permen Tenaga Kerja No. 02 tahun 1994
tentang Penempatan Tenaga Kerja di dalam dan
ke Luar Negeri.
Setiap calon tenaga kerja yang dipersiapkan
untuk dipekerjakan didalam negeri harus
memenuhi persyaratan umum sebagai berikut :
a. Minimal berusia 18 tahun
b. Memiliki kartu tanda penduduk
c. Sehat mental maupun fisik.
d. Berpendidikan tertentu, memiliki
ketrampilan atau keahlian sesuai dengan
persyaratan jabatan atau pekerjaan yang
diperlukan
e. Terdaftar pada kantor Depnaker di wilayah
tempat tinggalnya.
2. Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri

Antar Kerja Antar Negara (AKAN) atau


Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri
adalah sebagai upaya untuk mewujudkan hak
dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja
untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan
yang layak yang sesuai dengan HAM dan
hokum yang berlaku. Landasan Hukum : UUD
1945 pasal 27 ayat (2), UU No. 39 tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia ke Luar Negeri. Contoh : TKI
Penempatan tenaga kerja ke luar negeri dilaksanakan
dengan persyaratan yang ketat baik menyangkut
badan pelaksanaan, persyaratannya, dan tahapan
penyelenggaraannya. Hal ini dimaksud agar
penempatan tenaga kerja tersebut berjalan secara
baik. Pengerahan tenaga kerja ke luar negeri harus
dilakukan secara selektif dan tidak menyulitkan tenaga
kerja untuk menghindari kecenderungan pencari kerja
Indonesia ke luar negeri secara illegal, yang sangat
merugikan pencari kerja itu sendiri maupun bagi nama
baik Negara. Oleh karena itu Peraturan Pemerintah
No. 2 Tahun 1994 tentang penempatan Tenaga Kerja
ke Luar Negeri diatur mengenai pelaksanaan
penempatan tenaga kerja meliputi:
(1) lembaga penempatan tenaga kerja;
(2) penyiapan kualitas tenaga kerja;
(3) promosi dan pemasaran jasa tenaga kerja;
(4) pelaksanaan penempatan tenaga kerja ke luar
negeri;
(5) pembinaan, evaluasi, dan penindakan.

Lembaga penempatan tenaga kerja: adalah kegiatan


pengerahan tenaga kerja yang dilakukan dalam rangka
proses Antar Kerja, untuk mempertemukan persediaan
dan permintaan. Lembaga-lembaga dimaksud diatas
terdiri atas:
1. Lembaga dan Instansi pemerintah,
2. Direktur Jendral Pembinaan Penempatan Tenaga
Kerja atas nama Menteri,
3. Badan Kerja Khusus (BKK) bekerja sama dengan
PJTKI,
4. Badan usaha tertentu yang ditunjuk oleh Menteri.
Penyiapan kualitas tenaga kerja: yaitu bagi tenaga
kerja yang belum memiliki ketrampilan dilaksanakan
melalui kegiatan pelatihan, uji ketrampilan dan
orientasi pra pemberangkatan yang dilaksanakan oleh
balai latihan kerja milik PJTKI atau lembaga pelatihan
ketenagakerjaan lainnya yang telah mendapat
akreditasi dari Departemen Tenaga Kerja.
Setiap calon TKI yang dipersiapkan untuk dipekerjakan
keluar negeri harus memenuhi persyaratan umum, yaitu:
1. Usia minimal 18 tahun;
2. Memiliki Kartu Tanda Penduduk;
3. Sehat mental dan fisik;
4. Berpendidikan tertentu, memiliki ketrampilan atau
keahlian sesuai dengan persyaratan jabatan atau
pekerjaan yang diperlukan;
5. Terdaftar pada kantor Depnaker di wilayah tempat
tinggalnya;
6. Memiliki passport yang dikeluarkan oleh Kantor
Imigrasi secara sah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku .
Pembinaan, evaluasi dan penindakan: setiap pelaksanaan
penempatan tenaga kerja dikenakan biaya pembinaan sesuai
dengan jenis dan tingkat jabatan serta tujuan penempatan
TKI yang bersangkutan. Pembinaan terhadap kinerja PJTKI
dan BKK dilakukan secara berkala atau insidental oleh tim
evaluasi yang dibentuk dan diatur pelaksanaan tugasnya
oleh Direktur Jendral Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja
atas nama Menteri Tenaga Kerja atau pejabat structural
sesuai dengan fungsi serta tingkat kewenangannya dapat
melakukan tindakan administrasi seperti:
1. Teguran atau peringatan secara lisan;
2. Teguran atau peringatan secara tertulis;
3. Penghentian sementara kegiatan atau skorsing;
4. Pencabutan SIUP – PJTKI
Perlindungan Tenaga Kerja yang Bekerja di Luar Negeri

Berdasarkan keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No.


Kep/92/MEN/1998, perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar
negeri dilaksanakan dengan asuransi, dimana lembaga pelaksana
penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri bertanggung
jawab atas keselamatan dan kesejahteraan tenaga kerja,
penyelesaian masalah dan hak-hak tenaga kerja Indonesia di luar
negeri.
Untuk merealisasikan tanggung jawab pelaksana penempatan
tenaga kerja Indonesia tersebut maka setiap tenaga kerja
Indonesia yang ditempatkan di luar negeri wajib diikutsertakan
dalam program asuransi perlindungan tenaga kerja, dimana
penyelenggaraannya dilaksanakan oleh asuransi yang diakui dan
terdaftar pada Departemen Keuangan RI. Preminya dibayar oleh
pengguna jasa tenaga kerja Indonesia atau lembaga pelaksana
penempatan.
Bentuk asuransi perlindungan dimaksud berupa:
Santunan bagi tenaga kerja Indonesia yang
meninggal dunia sejak keberangkatan dari daerah
asal sampai kembali ke daerah asal.
Santunan bagi tenaga kerja Indonesia yang
mengalami kecelakaan sejak diberangkatkan dari
daerah asal sampai kembali ke daerah asal.
Santunan bagi tenaga kerja Indonesia yang terkena
pemutusan hubunga kerja setelah melampui waktu 3
(tiga) bulan setelah perjanjian kerja ditanda tangani.
Santunan bagi tenaga kerja Indonesia yang tidak
dibayar gajinya dan tidak memperoleh hak-haknya.
Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan
Berbicara tentang wajib lapor ketenagakerjaan di
perusahaan maka, Keppres No. 4 tahun 1981
tentang Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan
menetapkan: setiap perusahaan wajib
melaporkan secara tertulis setiap lowongan
pekerjaan yang ada atau yang aka nada kepada
Menteri/pejabat yang ditunjuk. Adapun bentuk
laporannya memuat tentang:
Jenis tenaga kerja yang dibutuhkan.
Jenis pekerjaan dan syarat-syarat jabatan yang
digolongkan dalam jenis kelamin serta syarat-
syarat lain yang dipandang perlu.
Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan
Undang-undang No. 7 tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di Perusahaan menetapkan, bahwa setiap
pengusaha wajib melaporkan secara tertulis setiap
mendirikan,menghentikan, menjalankan kembali, memindahkan
atau membubarkan perusahaan kepada menteri/pejabat yang
ditunjuk.

Tujuan wajib lapor ini sesungguhnya adalah:


Sebagai informasi resmi bagi pemerintah dalam menetapkan
kebijakan di bidang ketenagakerjaan.
Memudahkan pemerintah melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan perlindungan tenaga kerja terutama yang berkenaan
dengan kepesertaan dalam program jaminan sosial tenaga kerja.
Bermanfaat bagi pemerintah untuk menentukan garis kebijakan
dibidang ketenagakerjaan seperti untuk kepentingan data jumlah
perusahaan tertentu, pajak, dll.
B.Aspek Hukum Ketenagakerjaan Dalam Hubungan
Kerja (During Employment)
Aaspek yang berkaitan dengan dengan tenaga kerja selama
hubungan kerja. Perjanjian Kerja Sebagai Dasar Lahirnya
Hubungan Kerja.
1. Hubungan Kerja
Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan
pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja.
Pasal 1 angka 13 Undang-undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang
mempunyai unsur: pekerjaan, upah, dan perintah.
Substansi perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja
dengan pengusaha tersebut tidak boleh bertentangan
dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
2. Perjanjian Kerja
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pasal 1 angka 14 memberikan
pengertian yakni:”Perjanjian kerja adalah suatu
perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak
dan kewajiban kedua belah pihak.”
Pengertian perjanjian kerja menurut Undang-undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sifatnya
lebih umum. Dikatakan lebih umum karena menunjuk
pada hubungan antara pekerja dan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para
pihak.
Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap
serikat pekerja, sedangkan hak dan kewajiban para
pihak salah satunya adalah upah disamping hak dan
kewajiban lain.
Unsur-unsur perjanjian kerja dan syarat sahnya
perjanjian kerja yaitu:
Adanya unsur work atau pekerjaan
Menurut pasal 1603a KUHPerdata: “buruh wajib
melakukan sendiri pekerjaannya, hanya dengan
seizin majikan ia dapat menyuruh orang lain
menggantikannya”. Hal ini berhubungan dengan
sifat pekerjaan yang sangat pribadi karena
bersangkutan dengan ketrampilan/keahliannya.
Adanya unsur perintah
Pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah
pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang
diperjanjikan. Disinilah perbedaan hubungan kerja dengan
hubungan lainnya, misalnya: hubungan antara dokter
dengan pasien, pengacara dengan klien. Pengacara dan
dokter tidak tunduk pada perintah klien atau pasien.
Adanya upah
Tujuan utama seorang pekerja bekerja pada perusahaan
adalah untuk memperoleh upah. Karena itu jika tidak ada
unsur upah maka hubungan tersebut bukannlah hubungan
kerja. Misalnya seorang narapidana yang diharuskan untuk
melakukan pekerjaan tertentu, seorang mahasiswa
perhotelan yang sedang melakukan praktek di hotel.
Syarat Sahnya Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja merupakan bagian dari perjanjian kerja
pada umumnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi
syarat sahnya perjanjian sebagaiman diatur dalam pasal
1320 KUHPerdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam pasal
52 ayat 1 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa perjanjian kerja
yang dibuat atas dasar:
Kesepakatan kedua belah pihak.
Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan
hukum.
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan.
Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif
artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat
dikatakan perjanjian itu sah. Syarat (a) dan
(b) merupakan syarat subyektif karena
menyangkut orang yang membuat
perjanjian sedangkan (c) merupakan syarat
obyektif karena menyangkut obyek
perjanjian. Kalau syarat obyektif tidak
dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum.
Artinya perjanjian dianggap tidak pernah
ada. Jika syarat subyektif tidak dipenuhi
maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Bentuk dan Jangka Waktu Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan bisa juga
tertulis. Secara normative bentuk tertulis menjamin kepastian
hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan
akan sangat membantu proses pembuktian. Namun tidak dapat
dipungkiri masih banyak pengusaha yang belum membuat
perjanjian kerja secara tertulis disebabkan karena
ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karena
kelaziman, sehingga dasar kepercayaan membuat perjanjian
kerja secara lisan. Pasal 54 Undang-undang No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja
yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat
keterangan:
Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
Jabatan atau jenis pekerjaan;tempat pekerjaan;
Tempat pekerjaan;
Besarnya upah dan cara pembayaran;
Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban
pengusaha dan pekerja/buruh;
Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Jangka waktu perjanjian kerja dibuat untuk: (1) waktu
tertentu dan (2) waktu tidak tertentu. Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) lazim disebut dengan perjanjian
kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap yaitu
perjanjian kerja yang akan berakhir jikalau jangka waktu
yang telah ditentukan berakhir. Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu (PKWTT) biasa disebut dengan perjanjian
kerja tetap dan status pekerjanya adalah pekerja tetap.
Artinya perjanjian kerja akan berakhir apabila yang
bersangkutan telah mencapai usia pension, atau jika
terjadi sesuatu hal yang membuat perjanjian kerja diakhiri
sebelum pekerja yang bersangkutan mencapai usia
pension misalnya pekerja meninggal dunia, PHK dan
sebagainya.
Dalam membuat perjanjian kerja, Undang-undang
memperbolehkan adanya masa percobaan paling lama 4
(empat) bulan, tetapi untuk perjanjian kerja kontrak tidak
boleh mensyaratkan adanya masa percobaan. Masa
percobaan adalah masa untuk menilai kinerja dan
kesungguhan, keahlian seorang pekerja. Dalam masa
percobaan, pengusaha dilarang membayar upah pekerja
dibawah upah minimum yang berlaku.
Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja
a. Kewajiban buruh/pekerja
Dalam KUHPerdata dinyatakan bahwa pada intinya
kewajiban buruh/pekerja adalah:
Buruh/pekerja wajib melakukan pekerjaan.
Buruh/pekerja wajib mentaati aturan dan petunjuk
majikan/pengusaha
Kewajiban membayar ganti rugi dan denda.
b. Kewajiban Pengusaha
Kewajiban membayar upah
Kewajiban memberikan istirahat/cuti
Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan
Kewajiban memberikan surat keterangan (sebagai
pengalam kerja)
Peraturan Perusahaan
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 memberikan pengertian
tentang Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara
tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja serta tata
tertib perusahaan. Dari pengertian tersebut jelas bahwa peraturan
perusahaan dibuat oleh pengusaha secara sepihak mengenai syarat
kerja, hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha, dan tata tertib
perusahaan. Pada perusahaan yang telah memiliki PKB, maka
peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang
ada dalam PKB.
Pasal 108:1 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 menetapkan,
pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-
kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan
perusahaan, yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk. Kewajiban membuat peraturan perusahaan
tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki PKB (psl 108:2).
Artinya jika dalam suatu perusahaan telah terbentuk PKB maka
peraturan perusahaan yang ada menjadi tidak berlaku lagi.
Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat:
Hak dan kewajiban pengusaha,
Hak dan kewajiban pekerja/buruh,
Syarat kerja
Tata tertib perusahaan, dan
Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Masa berlakunya peraturan perusahaan paling lama 2 (dua)
tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya (psl
111:3). Selama masih berlakunya peraturan perusahaan, apabila
serikat pekerja/buruh diperusahaan menghendaki perundingan
pembuatan perjanjian kerja sama, maka pengusaha wajib
melayani (psl 111:4). Dalam hal perundingan pembuatan PKB
tidak mencapai kata sepakat, maka peraturan perusahaan tetap
berlaku sampai habis jangka waktunya (psl 111:5).
Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 1 angka 21 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa: Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) adalah perjanjian yang merupakan hasil
perundingan antara serikat pekerja/buruh atau beberapa serikat
pekerja/buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggun
jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau
beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah
pihak.
Masa berlakunya PKB paling lama 2 (dua) tahun dan hanya
dapat diperpanjang satu kali paling lama 1 (satu) tahun
berdasarkan kesepakatan tertulis antara serikat buruh/pekerja
dengan pengusaha. PKB paling sedikit memuat:
Hak dan kewajiban pengusaha,
Hak dan kewajiban serikat pekerja/buruh serta pekerja/buruh,
Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya PKB,
Tanda tangan para pihak pembuat PKB.
Hubungan antara Perjanjian Kerja dengan PKB
adalah:
PKB merupakan perjanjian induk dari perjanjian
kerja,
Perjanjian kerja tidak dapat mengeyampingkan
PKB, bahkan sebaliknya Perjanjian Kerja dapat
dikesampingkan oleh PKB jika isinya bertentangan,
Ketentuan yang ada dalam PKB secara otomatis
beralih dalam isi perjanjian kerja yang dibuat,
PKB merupakan jembatan untuk menuju perjanjian
kerja yang baik.
C. Aspek Hukum Ketenagakerjaan Sesudah
Hubungan Kerja (Post Employment) :
Maksudnya adalah aspek yang berkaitan dengan
dengan tenaga kerja pada saat purna kerja termasuk
pada saat pemutusan hubungan kerja dan hak-
haknya akibat terjadinya PHK tersebut.

Pemutusan Hubungan kerja (PHK)

Hak-hak tenaga Kerja yang di PHK


Jamsostek khususnya untuk Program
Kematian dan Hari Tua
I. Pemutusan Hubungan Kerja
Pemutusan hubungan kerja bagi perusahaan swasta diatur
dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1964. PHK adalah
pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dengan
pekerja yang terjadi karena berbagai sebab. Undang-
undang ini menjadi tidak berlaku atau dicabut dengan
dikeluarkannya Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. UU No 2
Tahun 2004 menetapkan bahwa, PHK hanya dapat terjadi
setelah ada penetapan dari Lembaga yang berwenang
yaitu Lembaga Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan memberikan pengertian tentang PHK
adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara buruh/pekerja dengan pengusaha.
Undang-undang ketenagakerjaan tersebut menetapkan
bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan
hubungan kerja dengan alasan antara lain:
Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit
yang menurut keterangan dokter selama waktu tidak
melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya
karena memenuhi kewajiban terhadap Negara sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya.
Pekerja/buruh menikah.
Pekerja mengadukan pengusaha kepada yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak
pidana kejahatan, dll.
Dalam literatur Hukum Perburuhan/ketenagakerjaan
atau secara teoritis dikenal beberapa jenis pemutusan
hubungan kerja, yaitu:
1. Pemutusan hubungan kerja demi hukum;
2. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan;
3. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh;
4. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha/majikan.
Tampaknya pemutusan hubungan kerja yang terakhir (PHK
oleh pengusaha) lebih dominan diatur dalam hukum
ketenagakerjaan. Hal ini karena PHK oleh pengusaha sering
tidak dapat diterima oleh pekerja/buruh, sehingga
menimbulkan permasalahan. Karena itu perlu perlindungan
bagi pekerja/buruh dari kemungkinan tindakan pengusaha
yang sewenang-wenang.
Ad.1. Pemutusan hubungan kerja demi hukum
Pemutusan hubungan kerja demi hukum terjadi dengan
sendirinya secara hukum yang secara yuridis disebabkan oleh:
Berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu
Pekerja mencapai usia pensiun
Pekerja meninggal dunia.

Ad.2. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan


PHK oleh pengadilan adalah tindakan pemutusan hubungan
kerja karena adanya putusan hakim pengadilan. Hal ini salah
satu pihak (pengusaha atau pekerja/keluarganya) mengajukan
gugatan pembatalan perjanjian kepada pengadilan. Contoh:
bila pengusaha mempekerjakan anak dibawah umur kurang
dari 18 tahun, dimana wali anak tersebut mengajukan
pembatalan perjanjian kerja ke pengadilan.
Ad.3. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja
PHK oleh pekerja adalah pemutusan hubungan kerja yang
timbul karena kehendak pekerja/buruh secara murrni tanpa
adanya rekayasa pihak lain. Dalam praktek bentuk PHK oleh
pekerja/buruh adalah mengundurkan diri dari perusahaan
tempat ia bekerja. Supaya tindakan pemutusan hubungan
kerja oleh pekerja/buruh tidak melawan hukum, maka
pekerja/buruh yang bersangkutan wajib memenuhi 2 (dua)
syarat yaitu harus ada persetujuan pengusaha dan
memperhatikan tenggang waktu pengakhiran hubungan kerja.
Pasal 162 ayat 3 Undang-undang no. 13 Tahun 2003 mengatur
syarat-syarat pengunduran diri yang harus dipenuhi oleh
seorang pekerja/buruh:
a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal
mulai pengunduran diri;
b. Tidak terikat dalam ikatan dinas;
c. Tetap menjalankan kewajibannya sampai tanggal pengunduran diri.
Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh juga dapat dilakukan
dengan mengajukan permohonan kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial apabila pengusaha melakukan perbuatan-
perbuatan:
a. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh.
b. Membujuk dan atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3
(tiga) kali berturut-turut atau lebih,
d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh,
e. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar
yang diperjanjikan, atau
f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut
tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja.
Ad.4. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha adalah
pemutusan hubungan kerja atas prakarsa pengusaha karena
adanya pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan
pekerja/buruh atau mungkin karena faktor-faktor lain, seperti
pengurangan tenaga kerja, perusahaan tutup karena rugi,
perubahan status dan sebagainya.
Menurut UU No. 13 Tahun 2003 pasal 151, PHK oleh
pengusaha harus memperoleh penetapan terlebih dahulu dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Jadi
mem-PHK pekerja/buruh tidak bisa semena-mena atau
sekehendak pengusaha. Pengusaha dilarang melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap tenaga kerja yang karena
alasan pekerja:
a. Sakit menurut keterangan dokter dalam waktu tidak melebihi
12 (dua belas) bulan secara terus menerus;
b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan.
c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan
atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
dilingkungan kerja.
d. Melakukan perbuatan asusila dan perjudian di tempat kerja.
e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha dilingkungan kerja.
f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan,dll.
Persyaratan lainnya yang harus dipenuhi pengusaha dalam melakukan
pemutusan hubungan kerja adalah bukti pendukung:
a. Pekerja/buruh tertangkap tangan
b. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan, atau
c. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Dengan demikian maka pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan pengusaha harus beralasan dan cukup bukti yang kuat.
Namun sebagaimana telah dijelaskan tedahulu bahwa seringkali
pekerja/buruh tidak dapat menerima pemutusan kerja yang
dilakukan oleh pengusaha, maka timbul permasalahan. Di negeri
ini pengaturan penyelesaian permasalahan pemutusan hubungan
kerja dilakukan oleh Pengadilan Hubungan Industrial yang
merupakan peradilan ad hoc di Pengadilan Negeri.
Hak-hak Tenaga Kerja yang di PHK :
Bilamana terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang pengganti
masa kerja dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima,
yaitu:
a. Uang pesangon
Uang pesangon merupakan pembayaran dalam bentuk uang
dari pengusaha kepada buruh/pekerja sebagai akibat dari
adanya PHK yang jumlahnya disesuaikan dengan masa
kerja buruh/pekerja yang bersangkutan. Menurut UU No. 13 Tahun 2003
perhitungannya sebagai berikut:

Masa kerja kurang dari 1 tahun = 1 bulan upah


Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun = 2 bulan upah
Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun = 3 bulan upah
Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun = 4 bulan upah
Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun = 5 bulan upah
Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun = 6 bulan upah
Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun = 7 bulan upah
Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun = 8 bulan upah
Masa kerja 8 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun = 9 bulan upah
b. Uang pengganti Masa Kerja
Perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai
berikut:
Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun = 2 bulan
upah
Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun = 3 bulan
upah
Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun = 4 bulan
upah
Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun = 5 bulan
upah
Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun = 6 bulan
upah
Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun = 7 bulan
upah
Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun = 8 bulan
upah
Masa kerja 24 tahun atau lebih = 10 bulan upah
c. Uang pengganti Hak
Uang pengganti hak yaitu uang penggantian hak yang
seharusnya pekerja/buruh terima yaitu:
Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur,
Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke
tempat dimana pekerja diterima,
Penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan
ditetapkan 15% dari uang pesangon dan uang penghargaan
masa kerja bagi yang memenuhi syarat,
Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja
juga berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja/jamsostek khususnya program kematian dan hari tua,
yang perolehan hak-hak tersebut setelah putusnya hubungan
kerja.
SEKIAN
TERIMA KASIH N GBU
ALL.

Anda mungkin juga menyukai