Anda di halaman 1dari 38

Review Article of Systemic therapy for

atopic dermatitis

DISUSUN OLEH HARTOMAS BUMIHARJO (406182013)


PEMBIMBING : DR. JULIANA, M.KES, SP. KK
F K U N I V E R S I TA S TA R U M A N A G A R A 2 0 1 9
K E PA N I T E R A A N I L M U P E N YA K I T K U L I T D A N K E L A M I N
PERIODE 17 NOV – 22 DES 2019
Identifikasi Jurnal

 Judul :“Systemic therapy for atopic dermatitis ”

 Penulis : D. Simon & T. Bieber.


 Tahun : 29 Oktober 2013
 Korespondensi : Dagmar Simon, MD, Department
of
Dermatology, Inselspital, Bern University
Hospital, Switzerland
Pendahuluan
Terapi sistemik ditujukan bagi pasien pengidap AD dengan tingkat kekebalan yang tinggi terhadap
obat topikal. Dengan obat-obatan yang:
- Mengurangi inflamasi dengan mengatur/menekan respon sistem imun.
- Diharapkan memperbaiki fungsi perlindungan alami kulit secara tidak langsung.
Dermatitis Atopik (AD)
Merupakan kondisi kulit yang paling umum ditemui pada usia anak. Namun, 40-60% pasien AD
usia anak tetap menunjukkan gejala dan gangguan bahkan saat pasien telah berusia dewasa.

Umumnya, pasien dapat mengendalikan kondisi dengan obat topikal dan perawatan kulit lain.
Namun, terdapat beberapa pasien dengan kondisi yang resisten terhadap metode ini. Oleh
karena itu, diperlukan diagnosa yang tepat, serta mempertimbangkan akan adanya diagnosa
diferensial.
Patogenesis
Multifaktor: interaksi faktor internal & eksternal
Faktor internal
• Gen (multigen, Faktor eksternal
poligen) (lingkungan)
• Hipersensitivitas • Alergen
• Kerusakan • Lingkungan
sawar kulit • dst.
GENETIK
Atopi pada orangtua
Kromosom terkait (1q21 & 17q25)  masih pradoksal karena psoriasis juga terkait dengan
penyakit atopi lainnya
Peran kromosom 5q31-33 (gen sitokin Th2)
Seramid /-
Variasi pH  gangguan
lipid kulit

SAWAR KULIT Kelainan fungsi sawar


kulit
Mekanisme kompleks 
terkait kerusakan sawar
kulit TEWL

Kulit kering

Port d’entree alergen,


iritan, bakteri ,virus
Patogenesis
AD disebabkan oleh interaksi kompleks antara gen-gen dan gen-lingkungan.
Gen yang berkaitan dengan patogenesis AD telah dikenali sebagai gen yang
terlibat dalam fungsi pelindung epidermal dan gen yang terlibat dalam
regulasi respon imun bawaan dan adaptif . Dalam lapisan pelindung kulit yang
tidak sempurna, sebagai contoh, disebabkan oleh hilangnya atau
pengurangan ekspresi dan/atau fungsi dari filaggrin , LEKTI , atau peptides
antimicrobial, sehingga kulit menjadi rentan terhadap iritan dari faktor
lingkungan, mikrobial, dan alergi yang dapat menimbulkan reaksi peradangan
yang melibatkan respon imun bawaan dan adaptif. Peradangan kulit yang
ditimbulkan didominasi oleh respon T-2 helper, dimana respon ini sendiri
dapat menyebabkan tambahan gangguan fungsi perlindungan kulit.
Dengan mempertimbangkan kejadian patogenik ini sebagai faktor
kunci pada terbentuknya AD menunjukkan bahwa pengobatan perlu
difokuskan pada penyembuhan fungsi pelindung kulit dan
penyelesaian radang kulit serta menghindari elemen pemicu dari
lingkungan. Walau terapi immunosuppressive sistemik dapat
mengurangi kerusakan sel dan ekspresi cytokine secara efektif, 2
tujuan terapeutik lainnya tidak boleh diabaikan untuk mendapatkan
hasil maksimal dan menghindari AD yang memburuk
Hal yang Perlu Diperhitungkan
Sebelum memberikan pengobatan sistemik pada pasien AD, ada hal-hal yang perlu diperhitungkan terlebih
dahulu:
1. Penggunaan obat topikal
2. Perawatan kulit pasien
3. Tingkat keparahan penyakit
4. Lokalisasi dan komplikasi penyakit
5. Penyakit konkomitan (Asma)
6. Usia pasien
7. Ketersediaan dan biaya obat
8. Pengalaman dokter dengan obat tersebut
Faktor yang Mempengaruhi
Keberhasilan Terapi
1. Kepatuhan pasien
2. Perhatian akan kondisi spesifik pasien (lesi kulit, daerah terdampak, kekeringan kulit)
3. Menghindari stress psikologi
4. Menghindari bahan pemicu alergi dan iritasi
5. Edukasi mengenai AD oleh tenaga medis yang berpengalaman
Opsi Terapi: Terapi Immunosuppresive,
Immunomodulatory, dan Corticosteroid
Terapi immunosuppressive dan immunomodulatory masih menjadi metode sistemik
utama, karena belum tersedianya obat sistemik untuk mengembalikan fungsi
perlindungan dari kulit.
kortikosteroid
Dengan mengaitkan elemen regulator dari banyak gen melalui reseptor mereka,
glucocorticosteroids mempengaruhi transkripsi dari mediator yang terlibat dalam
patogenesis AD, termasuk cytokines, chemokines, dan penempelan molekul yang
disebabkan oleh sel radang serta sel residen. Hal ini menghasilkan hambatan dari
proliferasi sel, vasoconstriction, dan selesainya peradangan
Terapi dengan kortikosteroid oral perlu dilarang untuk menghentikan bertambah
parahnya AD dan pruritus. Uji klinis terkontrol pada anak dan dewasa masih
belum mencukupi. Karena potensi dari efek samping kortikosteroid itu sendiri.
Efek samping meliputi diabetes, hipertensi, tukak lambung, osteoporosis, atropi
kulit, glaucoma, sindrom Cushing, dan hambatan pertumbuhan. Karena pasien
kerap mengalami kembalinya kondisi setelah pengurangan dosis
Zat Immunosuppressive
Beberapa zat dengan efek immunosuppressive umum adalah:
1. Cyclosporine
2. Azathioprine
3. Myphenolate mofetil
4. Methotrexate
Zat Immunomodulatory
Beberapa zat dengan efek immunomodulatory adalah:
1. Alitretinon
2. Interferon
3. Immunoglobulin intravena
4. Biologics
Cyclosporine
Cyclosporine menghambat aktivasi dan proliferasi T-cell
dengan mengambat faktor nuklir dari produksi cytokine yang
bergantung pada sel T yang telah aktif (NFAT). Dosis sebesar 3-
5 mg/kg berat tubuh per hari direkomendasikan pada tahap
awal terapi, dimana dosis ini dapat dikurangi setelah terdapat
peningkatan dalam kondisi AD. Bila pasien mengalami
kambuhnya kembali AD, terapi dapat diulang seperlunya.
Dikarenakan adanya potensi efek samping, terutama
keracunan renal dan hipertensi, pengawasan fungsi renal dan
tekanan darah wajib dilakukan. Selain itu, pengobatan dengan
cyclosporine tidak boleh digabungkan dengan fototerapi
karena adanya risiko peningkatan kanker kulit.
Cyclosporine memiliki izin untuk pengobatan AD parah hanya
di beberapa negara Eropa.
Azathioprine
Azathioprine adalah zat yang
menghambat sintesis RNA dan DNA
sehingga menghambat proliferasi
antara sel T dan B, telah digunakan
untuk mengobati AD parah selama
bertahun-tahun, terutama di Amerika
Serikat dan Inggris .
Azathioprine dapat menyebabkan efek
samping serius, termasuk gangguan
gastrointestinal, disfungsi liver, dan
leukopenia.
Asam mikofenolat
Efektivitas dari mikofenolat mofetil (MMF) dalam menangani AD
yang parah telah dibuktikan dalam beberapa kasus dan studi
skala kecil (49-54). Monoterapi dengan MMF dengan dosis awal
sebesar 2 x 1 g per hari selama 4 minggu yang diikuti dengan
pemberian dalam dosis 2 x 0.5 g per hari menghasilkan
penurunan signifikan pada tingkat keparahan penyakit dengan
peningkatan yang dapat dipertahankan selama follow-up hingga
minggu ke-20 dengan tingkat respon sebesar 70-80% dari total
pasien.

Efek samping yang dilaporkan dalam terapi dengan asam


mikofenolat pada pasien pengidap AD meliputi rasa pusing,
lelah, gejala menyerupai flu, kelainan enzim liver, dan infeksi
seperti herpes zoster, herpes simplex, dan infeksi staphylococcal.
Methotrexate
Methotrexate adalah analog asam folat yang menghambat
dengan metabolisme asam folat, sehingga menekan produksi
asam folat, sehingga menekan produksi pyrimide dan purine
nucleotides yang diperlukan untuk sintesis DNA dan RNA. Dengan
demikian, methotrexate dapat mengurangi chemotaxis dari dan
produksi cytokine oleh limfosit atau memicu kematian sel.

Sebelum memulai terapi methotrexate, kadar racun dalam liver


dan teratogenicity perlu diperhitungkan. Rasa pusing dan
peningkatan enzim liver adalah beberapa dampak negatif utama
yang timbul, dimana dampak ini menyebabkan penghentian
sementara atau total dari terapi methotrexate.
Alitretinoin
Alitretinoin, 9-cis asam retinoat, adalah turunan antagonis vitamin A yang mengikat
reseptor asam retinoat RAR dan RXR. Alitretinoin telah menunjukkan efektivitas dalam
menangani eksim tangan yang parah, meliputi eksim tangan atopik.

Efek samping yang paling umum dilaporkan adalah sakit kepala, peningkatan kolesterol
serum dan trigliserida, serta penurunan pada hormon perangsang tiroid. Karena semua
retinoid adalah teratogenic, alitretinoid tidak diindikasikan untuk wanita hamil dan
pengobatan bagi wanita pada usia kehamilan perlu dihindari, atau diberikan dengan
kontrasepsi yang ketat.
Immunoglobulin intravena
Dikarenakan potensi immunomodulatorynya, immunoglobulin intravena (IVIg) telah
digunakan untuk mengobati autoimmune parah dan penyakit kulit berupa peradangan,
termasuk AD yang parah. Observasi pertama pada peningkatan gejala AD kulit
ditemukan pada pasien yang diobati menggunakan gamma-globulins intravena untuk
penyakit Kawasaki atau idiopathic thrombocytopenic purpura yang disertai dengan AD.

Manfaat dari terapi IVIg pada pasien pengidap AD yang parah telah didiskusikan
kontroversinya, dimana sebagian lapooran menunjukkan sedikit atau tidak adanya
peningkatan pada pasien. IVIg telah digunakan pada pasien anak pengidap AD parah (3
siklus dengan 2 g/kg IVIg per bulan), dengan hasil yang menunjukkan penurunan
signifikan pada aktivitas penyakit dan penanda peradangan.
Interferon-gamma
Pengobatan dengan interferon (rIFN)-gamma rekombinan menjurus pada normalisasi
dari ketimpangan cytokine pada AD dengan mengurangi IL-4 dan IL-6.
Dampak negatif utama yang dilaporkan berupa gejala menyerupai flu.
Walau disebutkann dalam beberapa ulasan dan panduan, terapi interferon (rIFN)-gamma
menjadi semakin tidak penting, dimana hal ini kemungkinan disebabkan adanya obat-
obatan alternatif dengan profil manfaat-risiko yang lebih baik.
Biologics
Biologics telah digunakan secara umum dalam bidang dermatologi, terutama untuk pengobatan
psoriasis dan penyakit autoimmune. Sejauh ini, tidak ada biologics yang tersedia yang telah
disetujui untuk digunakan dalam terapi AD. Beberapa biologics yang memiliki potensi untuk
menyasar cytokine atau mediator yang diketahui berperan dalam patogenesis AD telah digunakan
pada pasien secara individu dan uji klinis skala kecil.

Beberapa biologic adalah:


1. Anti-CD20
2. Anti-IL-5
3. Anti-IgE
4. Anti-TNF-α
Anti-CD20
Habisnya sel B, diketahui perannya sebagai sel pemberi antigen, mendorong aktivasi sel
dan memproduksi cytokines proinflammatory dan IgE, dengan rituximab (antibodi anti-
CD20) menghasilkan penurunan cepat pada peradangan kulit bagi seluruh pasien dengan
efek yang bertahan selama 5 bulan pada 5 dari 6 pasien, dimana tingkat IgE spesifik tidak
terpengaruh.
Anti-IL-5
Radang kulit dari AD diasosiasikan dengan infiltrasi eosinophilic. Sehingga, penghabisan
eosinophils tampak sebagai pendekatan yang menjanjikan untuk pengobatan AD. Dalam
terapi jangka pendek menggunakan antibodi anti-IL5, (mepolizumab; 2 x 750 mg),
ditemukan sebuah perbaikan yang sedang pada gejala klinis, namun ditemukan juga
penurunan eosinophils secara cepat pada darah perifer.
Anti-IL-5
Radang kulit dari AD diasosiasikan dengan infiltrasi eosinophilic. Sehingga, penghabisan
eosinophils tampak sebagai pendekatan yang menjanjikan untuk pengobatan AD. Dalam
terapi jangka pendek menggunakan antibodi anti-IL5, (mepolizumab; 2 x 750 mg),
ditemukan sebuah perbaikan yang sedang pada gejala klinis, namun ditemukan juga
penurunan eosinophils secara cepat pada darah perifer.
Anti-IgE
Berdasarkan dari observasi dimana diperkirakan 80% dari pasien pengidap AD mengalami
peningkatan kadar IgE dalam darah, terapi antibodi anti-IgE telah dilakukan. Saat
pemberian terapi antibodi anti-IgE dosis rendah (omalizumab, 10 siklus 150 mg), tingkat
SCO-RAD mengalami penurunan sebesar 50% pada 2 pasien dan 25-50% pada 4 dari 11
pasien pengidap AD.
Peningkatan signifikan pada gejala kulit telah dilaporkan pada pasien pengidap AD
konkomitan asma bronchial yang diberikan omalizumab dikarenakan penyakit saluran
udara yang parah.
Studi double-blind acak yang dikontrol dengan placebo menunjukkan tidak adanya efek
signifikan oleh omalizumab pada tanda klinis AD, walaupun ditemukan penurunan tingkat
serum IgE, IgE permukaan, dan ekspresi reseptor FceRI pada sel darah serta pennurunan
sel IgE+ namun tidak pada sel FceRI+ dalam kulit.
Anti-TNF-α
Terapi anti-TNF-alpha telah dilaporkan untuk menurunkan gejala dan tanda AD secara
signifikan, termasuk pruritus, selama terapi induksi, namun tidak berhasil untuk menjaga
hasil jangka panjang. Namun, efek yang tidak cukup atau bahkan memburuknya kondisi
AD yang parah saat terapi anti-TNF-alpha juga telah dilaporkan.

Terapi ini tidak direkomendasikan untuk mengobati AD.


Metode Lain
Menutup jalan reseptor IL-6 menghasilkan peningkatan pada pasien terdampak AD yang
parah, namun menghasilkan efek samping berupa infeksi yang parah.
Dengan mempertimbangkan patogenesis AD, terdapat beberapa mediator dan reseptor
menarik yang berpotensi sebagai target terapeutik, sebagai contoh, IL-4, IL-13, dan
reseptornya, serta IL-25, IL-31, histamine, dan reseptor histamine 1 dan 4.
Immunoabsorption
Berdasarkan pengamatan pada sub-grup pasien pengidap AD yang parah memiliki
tingkat total serum IgE yang jauh lebih tinggi, kelompok ini diberikan immunoabsorption.
Studi percontohan yang menginvestigasi 12 pasien pengidap AD refraktori dengan
pengobatan sistemik menunjukkan 24% hingga 82% penurunan SCORAD individual saat
diberikan 10 immunoabsorption.

Sejauh ini, uji acak atas immunoabsorption belum ada, sehingga efek jangka panjangnya
belum diketahui.
Imunoterapi allergen spesifik
Walau imunoterapi allergen spesifik (ASIT) telah umum digunakan untuk penyakit atopik lain,
seperti allergic rhinitis dan asma, jumlah studi ASIT terkait AD sangatlah terbatas. ASIT
umumnya telah diamati pada pasien pengidap AD yang sensitif terhadap tungau debu rumah
dan serbuk sari pohon birch. Aplikasi bawah kulit dan lidah telah diterapkan.
Setelah 1 tahun penggunaan ASIT untuk tungau debu rumah, ditemukan penurunan tingkat
keparahan AD dan penggunaan kortikosteroid topikal konkomitan yang bergantung pada dosis.
Penggunaan ASIT dengan ekstrak serbuk sari pohon birch selama 12 minggu menunjukkan
reaksi pada kulit yang signifikan serta peningkatan kualitas hidup pasien walaupun pasien
mengalami paparan yang tinggi terhadap serbuk sari pohon birch.
Walau demikian, data yang ada saat ini belum mengizinkan rekomendasi penggunaan ASIT
secara luas.
Pengobatan Antimikrobial: Antibiotik
Lapisan pelindung kulit yang tidak sempurna memberikan peluang kolonisasi mikrobial,
baik pada kulit dengan lesi maupun tidak. Sebagai contoh, Staphylococcus aureus
ditemukan pada 90% pasien pengidap AD. S. aureus dapat memicu memburuknya lesi
serta mempersulit penyembuhan lesi pada pasien AD dengan melepaskan toksin yang
berfungsi sebagai superantigen dan memicu aktivasi sel T secara ekstensif.

Dengan demikian, pengurangan kolonisasi S. aureus dengan mengendalikan peradangan


dan meningkatkan fungsi pelindung kulit ditujukan untuk mengatasi AD. Mengembalikan
pelindung epithelial menggunakan pelindung kulit dan terapi anti radang juga
memberikan hasil berupa penurunan kolonisasi S. aureus.
Pengobatan Antimikrobial: Antiviral
Ezcema herpeticum adalah infeksi herpes simplex yang tersebar luas, dimana kondisi ini
berupa peradangan kulit pada pasien AD yang diasosiasikan dengan gejala sistemik.
Pasien dengan AD yang parah, lesi kulit yang tidak ditangani, gejala awal penyakit, dan
total tingkat serum igE yang tinggi memiliki risiko tinggi untuk terkena eczema
herpeticum, kondisi dimana pasien mengalami pecahnya lepuhan berbentuk kubah dan
pustula, demam, rasa tidak nyaman, dan lymphadenopathy.
Oleh karena itu, eczema herpetium perlu ditangani sesegera mungkin menggunakan
terapi antiviral sistemik seperti acyclovir.
Pengobatan Antimikrobial: Antimikotik
Pada sebagian pasien AD, reaksi autoimmune IgE dan T-cell-mediated terhadap
manganese superoxide dismutase (MnSOD) telah didentifikasi sebagai faktor pemicu.

Ketoconazole sistemik telah terbukti efektif dalam mengobati dermatitis atopik dengan
hipersensitivitas yang dimediasi IgE terhadap ragi. Namun, pada kasus AD yang dipicu
oleh ragi, terutama pada bagian kepala dan leher, terapi antimikotik topikal tampak
mencukupi, sebagaimana ditunjukkan oleh krim ciclopiroxolamine.
Pengobatan Antimikrobial: Vitamin D
Kekurangan vitamin D telah diasosiasikan dengan peningkatan risiko untuk terjangkit penyakit
atopik, termasuk AD. Vitamin D menunjukkan pengaruh atas sistem imun adaptif dan bawaan,
sehingga tingkat vitamin D yang rendah dapat mempengaruhi fitur utama dari AD, seperti
gagalnya lapisan pelindung kulit dan radang kulit akut. Vitamin D merangsang ekspresi peptide
antimikrobial dengan sel endothelial; menghambat aktivasi sel dendrit, kemunculan antigen, dan
produksi cytokine; dan mendukung macrophage dalam melindungi infeksi oportunistik.
Hasil dari status dan efek terapeutik dari pemberian vitamin D merupakan hasil yang
kontroversial. Studi terbaru menunjukkan kesamaan tingkat vitamin D dalam darah antara pasien
AD dan kontrol dengan usia serta kelamin yang sama, dan adanya korelasi terbalik antara eksim
dan vitamin D pada pasien anak.
Namun, pasien AD dengan tingkat 25 (OH) D3 yang sangat rendah (4 dan 15 ng/ml) merasakan
peningkatan dari pemberian vitamin D selama 3 bulan, sebagaimana dinilai dengan penurunan
signifikan dari SCORAD subjektif dan objektif.
Kesimpulan
Pengendalian dari beberapa AD menengah-serius (SCORAD 18-40) yang memiliki
resistensi terhadap pengobatan topikal dan AD yang parah (SCORAD >40) memerlukan
pemberian obat yang sistemik. Sayangnya, selain cyclosporine, yang penggunaannya
hanya disetujui di beberapa negara Eropa untuk indikasi ini, belum ada
immunosuppressive atau immunomodulatory sistemik yang disarankan untuk digunakan
dalam panduan nasional dan internasional yang telah disetujui penggunaannya.
Mengingat beban sosioekonomi yang substansial dari AD, adanya kebutuhan medis yang
perlu dijawab oleh industri farmasi sangatlah nyata.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai