Anda di halaman 1dari 18

PENGOLAHAN DAN

PENGUMPULAN DATA

NAMA : AZMI ALFIDA FITRI


N I M : 1 7 1 3 2 11 0 0 5
M K : P E R E N C A N A A N PA N G A N
DAN GIZI
PENGERTIAN PENGOLAHAN DAN
PENGUMPULAN DATA
• Data adalah sesuatu yang belum memiliki arti bagi
penerimanya dan masih membutuhkan adanya suatu
pengolahan.

• Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi


yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian.
JENIS-JENIS DATA

Menurut cara memperolehnya:


• Data primer, yaitu data yang dikumpulkan dan diolah sendiri
oleh peneliti langsung dari subjek atau objek penelitian.
• Data sekunder, yaitu data yang didapatkan tidak secara langsung
dari objek atau subjek penelitian.

Menurut sumbernya:
• Data internal, yaitu data yang menggambarkan keadaan atau
kegiatan dalam sebuah organisasi
• Data eksternal, yaitu data yang menggambarkan duatu keadaan
atau kegiatan di luar sebuah organisasi
Menurut sifatnya
• Data kuantitatif, yaitu data yang berbentuk angka pasti
• Data kualitatif, yaitu data yang bukan berbentuk angka

Menurut waktu pengumpulannya


• Cross section/insidentil, yaitu data yang dikumpulkan hanya
pada suatu waktu tertentu
• Data berkala/ time series, yaitu data yang dikumpulkan dari
waktu ke waktu untuk menggambarkan suatu perkembangan
atau kecenderungan keadaan/ peristiwa/ kegiatan.
METODE PENGUMPULAN DATA

1. Wawancara
• Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan
melalui tatap muka dan tanya jawab langsung antara peneliti
dan narasumber.

2. Observasi
• Observasi adalah metode pengumpulan data yang kompleks
karena melibatkan berbagai faktor dalam pelaksanaannya.
METODE PENGUMPULAN DATA

3. Angket (kuesioner)
• Kuesioner merupakan metode pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau
pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab.

4. Studi Dokumen
• Studi dokumen adalah metode pengumpulan data yang tidak
ditujukan langsung kepada subjek penelitian.
ANALISIS DETERMINAN DAN PENGARUH STUNTING
TERHADAP PRESTASI BELAJAR ANAK SEKOLAH DI
KUPANG DAN SUMBA TIMUR, NTT
DATA PRIMER
Tabel 1 menunjukkan bahwa latar belakang
karakteristik sosial ekonomi keluarga subjek
masih cukup memuaskan walaupun dari segi
tingkat pendapatan di Kabupaten Sumba
Timur masih rendah. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar keluarga bekerja di
sektor swasta dan pertanian dengan jenis
pendapatan harian, musiman, dan bahkan
tidak menentu. Selain itu diduga bahwa
tingginya tingkat pendidikan dan
pengetahuan gizi ibu tidak didukung oleh
faktor sikap dan tindakan. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar (>95%)
ibu subjek lebih banyak mengalokasikan
waktu diluar rumah sehingga cenderung
mengabaikan pola asuh gizi yang tepat pada
anak.
DATA PRIMER

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar subjek memiliki asupan zat gizi protein
dalam kategori kurang (65—71%). Jika dihubungkan dengan indikator pendapatan (Tabel 1)
diketahui bahwa kondisi inilah yang memperburuk peluang terpenuhinya kebutuhan zat gizi
dimaksud. Riyadi et al. (2006) mengatakan bahwa jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi
kelompok anak normal lebih beragam dan banyak dibanding kelompok anak yang stunting.
Oleh karena itu, kontribusi protein terhadap AKG pada kelompok anak normal lebih tinggi
dibanding kelompok anak stunting.
DATA PRIMER

Tabel 3 menjelaskan bahwa masalah stunting pada dua wilayah penelitian telah melebihi
batas ambang penerimaan derajat kesehatan masyarakat (10%) yaitu sebesar 25—31.75%.
Hal ini menandakan bahwa adanya permasalahan yang serius dalam proses peningkatan
kualitas sumberdaya manusia. Hasil penelitian Mahgoub et al. (2006) sejalan dengan hasil
penelitian dari Lana et al. (2012) dan Kusumaningrum et al. (2013) yang menunjukkan
bahwa masalah kekurangan pangan serta masalah gizi yang berkepanjangan dapat
memengaruhi kualitas Balita khususnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Namun
dengan upaya perbaikan dengan metode pendekatan Positive Deviance (PD) Pos Gizi yang
lebih baik maka permasalah gizi dapat tertanggulangi.
DATA PRIMER

Sawadogo et al. (2006) menyatakan bahwa


perilaku ibu dalam menyusui atau memberi
makan, cara makan yang sehat, memberi
makanan yang bergizi dan mengontrol besar
porsi yang dihabiskan akan meningkatkan
status gizi anak. Lebih lanjut Setiati (2006)
mengatakan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi pola asuh adalah pendidikan,
pekerjaan, umur dan tingkat pengetahuan ibu.
Kenyataan tersebut tidak berbeda dengan kasus
pada wilayah Kota Kupang dan Kabupaten
Sumba Timur (Tabel 4).
DATA PRIMER
Tabel 6 menunjukkan bahwa pada Wilayah Kota
Kupang dan Wilayah Kabupaten Sumba Timur
memiliki siswa stunting dengan prestasi belajar
yang rendah dan sudah melebihi 15%. Hal ini
menandakan bahwa kejadian masalah stunting tidak
mempertimbangkan letak wilayah dan faktor-faktor
pengganggu lainnya (Fanggi 2012 dan Bora 2012).
Dikatakan
bahwa prestasi belajar yang rendah tidak
mempertimbangkan kondisi stunting atau non
stunting. Informasi yang diperoleh dari berbagai
pihak seperti orang tua murid dan guru (kelas dan
mata pelajaran) dan diperkuat oleh hasil penelitian
Semba et al. (2008) dan Yustika (2006) bahwa siswa
yang mempunyai prestasi rendah pada umumnya
dihadapi dengan dua permasalahan inti yaitu
tingginya jumlah absensi serta rendahnya kualitas
penyerapan dan penguasaan materi pembelajaran
oleh siswa yang stunting.
DATA SEKUNDER
DATA SEKUNDER

• Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) menunjukan bahwa terjadi


peningkatan prevalensi stunting di Indonesia dari 36,8 % pada
tahun 2007 menjadi 37,2 % pada tahun 2013, artinya 1 dari 3
anak Indonesia tergolong pendek (Riskesdas, 2013).
• Prevalensi anak pendek di Indonesia bervariasi dari prevalensi
menengah sampai sangat tinggi. Prevalensi tertinggi berada di
Nusa Tenggara Timur (NTT) dan terendah di Kepulauan Riau.
Hanya 5 provinsi yang mempunyai prevalensi kurang dari 30
persen yaitu Kepulauan Riau, Yogyakarta, DKI, Kalimantan
Timur dan Bangka Belitung (Gambar 1).
DATA PRIMER

• Berdasarkan kelompok umur pada balita, semakin bertambah umur prevalensi stunting
semakin meningkat. Prevalensi stunting paling tinggi pada usia 24-35 bulan yaitu sebesar
42,0% dan menurun pada usia 36-47 bulan (Gambar 2). Stunting lebih banyak terjadi
pada anak laki-laki (38,1%) dibandingkan dengan anak perempuan (36,2%). Daerah
perdesaan (42,1%) mempunyai prevalensi stunting yang lebih tinggi dibandingkan
daerah perkotaan (32,5%). Menurut tingkat kepemilikan atau ekonomi penduduk,
stunting lebih banyak terjadi pada mereka yang berada pada kuintil terbawah (Gambar 3)
(Riskesdas, 2013).

• Prevalensi kejadian stunting lebih tinggi dibandingkan dengan permasalahan gizi lainnya
seperti gizi kurang (19,6%), kurus (6,8%) dan kegemukan (11,9%) (Riskesdas, 2013).
Dibandingkan dengan negara ASEAN, prevalensi stunting di Indonesia berada pada
kelompok high prevalence, sama halnya dengan negara Kamboja dan Myanmar (Bloem
et al, 2013). Dari 556 juta balita di negara berkembang 178 juta anak (32%) bertubuh
pendek dan 19 juta anak sangat kurus (<-3SD) dan 3.5 juta anak meninggal setiap tahun
(Black et al, 2008; Cobham, 2013).
KESIMPULAN
• Masalah stunting merupakan permasalahan gizi yang dihadapi dunia
khususnya negara-negara miskin dan berkembang. Stunting merupakan
kegagalan pertumbuhan akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang
berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai dengan usia 24 bulan.
Banyak faktor yang menyebabkan tingginya kejadian stunting pada balita.
Masyarakat belum menyadari stunting sebagai suatu masalah dibandingkan
dengan permasalahan kurang gizi lainnya. Secara global kebijakan yang
dilakukan untuk penurunan kejadian stunting difokuskan pada kelompok
1000 hari pertama atau yang disebut dengan Scaling Up Nutrition. WHO
merekomendasikan penurunan stunting sebesar 3,9% pertahun dalam
rangka memenuhi target 40% penurunan stunting pada tahun 2025.
Intervensi dilakukan pada sepanjang siklus kehidupan baik di sektor
kesehatan maupun non kesehatan yang melibatkan berbagai lapisan
masyarakat seperti pemerintah, swasta, masyarakat sipil, PBB melalui
tindakan kolektif untuk peningkatan perbaikan gizi, baik jangka pendek
(intervensi spesifik) maupun jangka panjang (sensitif).
KESIMPULAN

• Determinan kejadian stunting adalah pendapatan keluarga,


pengetahuan gizi ibu, pola asuh ibu, riwayat infeksi penyakit, riwayat
imunisasi, asupan protein, dan pendidikan ibu. Faktor risiko kejadian
stunting yakni pendapatan keluarga, ibu bekerja, pengetahuan gizi dan
pola asuh ibu, memiliki riwayat infeksi penyakit, tidak memiliki
riwayat imunisasi yang lengkap, dan asupan protein rendah.
Sedangkan pendidikan ibu rendah merupakan faktor protektif kejadian
stunting. Terdapat indikasi stunting berpengaruh terhadap prestasi
belajar anak. Sampai saat ini masih dicurigai faktor kekurangan
iodium sebagai salah satu penyebab tingginya masalah stunting. Oleh
karena itu, diharapkan penelitian lanjutan hendaknya
mempertimbangkan analisis pada faktor asupan iodium dan
hubungannya dengan kejadian masalah stunting.
DAFTAR PUSTAKA

• Departemen Kesehatan RI. 2008. Laporan Riset Kesehatan


Dasar Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2007.
www.scribd.com/Laporan_ Hasil_ Riskesdas_ NTT_ 2007.pdf
(15 Desember 2011).
• World Health Organization, 2013.Nutrition Landcape
Information System (NLIS) Country Profile Indicators :
Interpretation quite (Serial Online) Akses :
http://www.WHO.int//nutrition. Tanggal 17 Desember 2013

Anda mungkin juga menyukai