Inflasi
1991-5 8,9 3,6 10 2,6 4,8
1996 6,5 3,5 8,4 1,4 5,8
1997 11,6 2,6 5,1 2,0 5,6
1998 65 5,4 9,0 -0,2 8,1
Rek Brjalan/ GDP
1991-5
1996 -2,4 -7,0 -3,6 12,9 -6,2
1997 -3,3 -4,9 -4,5 15,0 -7,9
1998 -2,9 -5,2 -5,2 15,4 -2,0
5,4 7,5 1,2 17,8 8,1
Neraca
Pemerintah/ GDP
1991-5
1996 -0,2 0,3 -1,6 12,4 2,8
1997 1,2 1,1 -0,4 13,9 2,4
1998 1,2 5,5 -1,8 6,0 -0,4
-5,5 -1,0 -3,6 -1,0 -4,5
Thailand adalah pemicu krisis asia. Indonesia melonggarkan sokongannya
terhadap nilai rupiah pada pertengahan agustus. Meski demikian nilai rupiah yang
mengambang mengikuti pasar (Floating) ternyata memperburuk krisis, sehingga
para investor banyak yang keluar dari mata uang ini. Ditambah lagi pemerintah
memperketat kebijakan moneter dengan meniikkan suku bunga secara bertahap.
Sehingga melemahkan sistem perbankan dan mengakibatkan kontraksi dalam
ekonomi riil.
Pada tanggal 21 mei berakhirlah era 32 tahun kekuasaan soeharto dan
mengangkat wakil presiden B.J Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia
ketiga. Pada titik inilah nilai tukar rupiah menjadi Rp. 16.000 pada pertengahan
juni, inflasi mendekati 100 persen, dan harga pokok mengalami kenaikan
sehingga mengakibatkan pendduduk miskin berlipat ganda hingga 27 persen.
Sebab Krisis
Sejak tahun 1999 Bank Dunia Bank Dunia menunjukkan bahwa antara
menerbitkan the World Wide Governance tahun 1996 dan 2005, Indonesia telah
Indicator. Indikator- indikator tersebut membaik pada satu indikator
menilai enam dimensi pemerintahan. pemerintahan, namun memburuk di
1. Penyuaraan hak dan akuntabilitas lima indikator lainnya. Perbaikan pada
penyuaraan hak dan akuntabilitas jelas
2. Tabilitas politik dan absennya adalah berkah dari gerakan reformasi
kekerasan dan demokrasi yang terwujud sejak
3. Efektivitas pemerintah jatuhnya Soeharto.namun demikian,
dilima indikator lainnya Indonesia pada
4. Kualitas pengaturan
awalnya masih buruk, sebelum kembali
5. Penegakan hukum ke level kualitas pemerintahan yang
6. Kontrol atas praktik korupsi sebanding dengan pemerintahan pada
akhir Orde Baru.
Catatan Simpul
Cukup beralasan untuk mengatakan bahwa Indonesia sejak krisis Asia telah
berhasil membuat kemajuan yang meskipun lamban tapi cukup signifikan. Ia
berhasil melewati transisi dari kekuasaan otoriter ke demokrasi dalam kurun
waktu kurang dari satu dekade, dan pertumbuhan telah kembali, yang didukung
oleh manajemen makroekonomi yang lebih bijaksana.
Evolusi Standar Hidup Sejak
Kemerdekaan
Selama lebih dari enam puluh tahun sejak Indonesia secara resmi merdeka
sebuah transisi ekonomi dan politik yang nyata telah terjadi. GDP per kapita
telah tumbuh hingga mendekati 500 persen, atau rata- rata 3,1 persen per tahun
antara 1949 dan 2007. Pada tahun 1949 hampir 70 persen penduduk bekerja di
sektor pertanian, angka ini jatuh menjadi 45 persen padah tahun 2007.
Upah Riil
Pertumbuhan dengan pemerataan adalah pesan kunci dari Bank Dunia dalam
kajiannya yang terkenal mengenai keajaiban Pertumbuhan Asia Timur (East
Asian Growth Miiracle) (World Bank 1993). Dalam periode Soeharto,
karakteristiknya yang utama adalah kombinasi pertumbuhan pesat dari semua
segmen penduduk telah memperoleh keuntungan. gagasan diatas didasarkan
atas data yang terbatas dan sedikit problamatik.
Pada grafik 9,7, menjelaskan sumber data utama mengenai tren kensenjangan selama
masa kepresidenan Soeharto (1966-1998). Koefisien Gini dari distribusi pengeluaran
konsumsi nasional berfluktuasi antara 0,33 dan 0,38 yang menunjukan kesenjangan di
Indonesia adala relatife sedang (Modest) dibandingkan dengan standart Internasional
dan telah cukup stabil dari waktu ke waktu.
Boediono (1990), menyimpulkan angka pertumbuhan yang tinggi di Indonesia telah
diasosiasikan dengan penurunan cukup menyeluruh dalam total kesenjangan, yang
menegaskan kesuksesan trilogi pembangunan Soeharto.
Permasalahan yang dihadapi
Dick dkk (2002: 227) berpendapat dalam bukti statistik itu, orang memandang
bahwa disparitas memperkaya diri sendiri yang eksesif di dalam lingkaran elite
di sekitar keluarga soeharto ditambah meningkatnya kesenjangan pendapatan
antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Mishra (2004: 5) mengatakan survei Susenas cenderung meniadakan
penduduk yang sangat kaya karena mereka sangat sulit ditemui oleh para
enumerator, dan jika mereka dimasukan ke dalam data tersebut kebanyakan
dikeluarkan dari data sebagai orang yang tidak bisa ditemui (outliers).
Nyberg (1976) menunjukkan kelemahan lain dari Sunsenas, yaitu waktu
pelaksanaan surveynya. Pada beberapa tahun, hari raya Islam – yakni lebaran
di akhir bulan puasa dimasukkan, sementara di tahun-tahun lain tidak yang
mungkin mempengaruhi pada pengeluaran penduduk. Ini membuat data
Sunsenas sulit dibandingkan antar tahun.
Paradigma yang digunakan